• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Organization-Based Self Esteem Dengan Etos Kerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Organization-Based Self Esteem Dengan Etos Kerja"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA ORGANIZATION-BASED SELF-ESTEEM

DENGAN ETOS KERJA

DISUSUN OLEH:

Ferry Novliadi, S.Psi, M.Si

NIP. 132 316 960

DIKETAHUI OLEH:

DEKAN FAKULTAS PSIKOLOGI USU

Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A(K) NIP. 140 080 762

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

DAFTAR ISI

II.A.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Etos Kerja ...

II.B. ORGANIZATION-BASED SELF-ESTEEM ... II.B.1. Pengertian Organization-Based Self-Esteem ……..……… II.B.2. Aspek-aspek Organization-Based Self-Esteem ………...………

II.C. HUBUNGAN ANTARA ORGANIZATION-BASED SELF-ESTEEM DAN ETOS KERJA ………..

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN …...………...

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, karena itu penulis berharap mendapat masukan dari para pembaca untuk penyempurnaan tulisan ini.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah memberi penulis kesempatan untuk mengabdikan diri di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para mahasiswa dan rekan-rekan sejawat di tempat penulis bekerja atas dukungan dan hangatnya persaudaraan.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Iskandar yang senantiasa mengingatkan dan memberi motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan karya tulis ini, semoga Allah SWT membalas dengan yang lebih baik atas budi baik dan ketulusan yang telah diberikan. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi

semua pihak. Amin!

Medan, 01 Februari 2009

(4)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. LATAR BELAKANG

Dalam era globalisasi, persaingan kerja yang semakin meningkat memaksa setiap orang untuk menguasai keahlian dan kemampuan tertentu (Wills, 1993).

Untuk dapat menjawab tantangan ini diperlukan adanya dedikasi, kerja keras dan kejujuran dalam bekerja. Menurut Anoraga (1992) manusia yang berhasil harus memiliki pandangan dan sikap yang menghargai kerja sebagai sesuatu yang luhur untuk eksistensi manusia. Suatu pandangan dan sikap demikian dikenal dengan istilah Etos Kerja. Dewasa ini Etos Kerja merupakan topik yang kembali hangat.

Telah sekian lama Indonesia selalu berkutat dengan masalah korupsi, ”jam karet”, asal kerja, semrawut dan predikat negatif lainnya. Berbeda dengan kondisi di negara Jepang, yang menjadikan kerja sebagai sesuatu yang sangat mulia, dan kualitas kerja merupakan nilai-nilai penting yang didasari spiritualitas agama (Anoraga, 1992).

Suatu opini untuk menggambarkan kondisi Etos Kerja bangsa kita saat ini dinyatakan oleh Muhtadi (2005) bahwa kondisi masyarakat kita kurang memiliki Etos Kerja. Secara khusus Muhtadi menyoroti kondisi perguruan tinggi dan sekolah di Indonesia. Sebagai lingkungan organisasi yang berfokus pada tujuan utama mendidik serta mengembangkan ilmu pengetahuan, perguruan-perguruan tinggi dan sekolah-sekolah sering ditemui sebagai organisasi yang kurang efektif

dalam mencapai sasarannya karena kinerja individu-individu yang terlibat didalamnya tidak didukung oleh Etos Kerja yang baik. Sepertinya Etos Kerja di Indonesia relatif masih belum tinggi. Untuk dapat meningkatkan Etos Kerja ini, diperlukan adanya suatu sikap yang menilai tinggi pada kerja keras dan sungguh-sungguh. Karena itu perlu ditemukan suatu dorongan yang tepat untuk

(5)

Manusia merupakan mahluk sosial yang bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri saja, tetapi juga untuk melayani sesama. Melalui pekerjaan, kita bekerjasama dan melayani teman sekerja, memenuhi kebutuhan keluarga, mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara (Anoraga, 1992). Untuk mempermudah tercapainya berbagai tujuan ini di dalam masyarakat, maka manusia berkumpul untuk bekerja secara bersama-sama dan terbentuklah berbagai

organisasi. Setiap organisasi diatur dan dikelola oleh manusia. Tanpa adanya manusia yang mengelola dan bekerja, suatu organisasi tidak dapat eksis di tengah-tengah masyarakat (Cascio, 2003). Setiap organisasi memiliki tujuan bersama yang tertuang dalam visi dan misi organisasi. Untuk mencapai tujuan ini organisasi menerapkan filosofi, kebijakan, serta target. Filosofi, target, dan

kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi dibuat agar dapat mensejajarkan arah pencapaian, tujuan, dan nilai-nilai yang terdapat dalam individu sebagai anggota organisasi dengan tujuan organisasi itu sendiri. Hal ini dikenal dengan istilah penjajaran/alignment (Wills, 1993). Proses penjajaran ini tentunya akan mempengaruhi individu dalam memberikan penilaian terhadap

dirinya sendiri, karena apa yang ditanamkan oleh organisasi pada individu merupakan suatu harapan yang bernilai ideal atas dirinya.

Suatu keyakinan nilai diri sendiri yang didasarkan pada evaluasi diri secara keseluruhan dikenal dengan istilah harga diri atau self-esteem. Nilai yang dimiliki oleh seorang individu atas dirinya sebagai anggota organisasi yang bertindak dalam konteks organisasi disebut harga diri berbasis organisasi/Organization-

Based Self-esteem; selanjutnya disingkat dengan OBSE. Individu dengan nilai

OBSE yang tinggi cenderung memandang diri mereka sendiri sebagai seorang

yang penting, berharga, berpengaruh, dan berarti dalam konteks organisasi yang mempekerjakannya. Dari beberapa aspek yang dipengaruhi OBSE, salah satunya adalah motivasi intrinsik (Kreitner & Kinicki, 2000). Faktor yang terakhir ini

seperti yang dinyatakan Anoraga (1992) merupakan elemen yang penting dalam mengembangkan Etos Kerja. Penulisan membuktikan bahwa tidak selamanya self-esteem yang tinggi itu memberikan indikasi yang positif. Pada penulisan

(6)

individu yang self-esteem-nya tinggi dihadapkan pada situasi yang menekan. Artinya self-esteem yang tinggi menjadi sesuatu yang baik hanya jika dijaga dan disalurkan dengan cara yang membangun dan etis (Kreitner & Kinicki, 2000).

I.B. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan ini adalah untuk menjelaskan hubungan antara

Organization-Based Self-Esteem (OBSE) dengan Etos Kerja.

I.C. MANFAAT PENULISAN

Diharapkan tulisan ini bermanfaat untuk:

1. Memperkuat pemahaman ilmu pengetahuan di bidang Psikologi Industri dan

Organisasi mengenai hubungan Organization-Based Self-Esteem (OBSE) dengan Etos Kerja.

(7)

BAB II LANDASAN TEORI

II.A. ETOS KERJA

II.A.1. Pengertian Etos Kerja

Secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti

’tempat hidup’. Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks. Dari kata yang sama muncul pula istilah Ethikos yang berarti ’teori kehidupan’, yang kemudian menjadi ’etika’. Dalam bahasa Inggris Etos dapat diterjemahkan menjadi beberapa pengertian antara lain ‘starting point',

'to appear', 'disposition' hingga disimpulkan sebagai 'character'. Dalam bahasa

Indonesia kita dapat menterjemahkannya sebagai ’sifat dasar’, ’pemunculan’ atau ’disposisi/watak’. Aristoteles menggambarkan etos sebagai salah satu dari tiga mode persuasi selain logos dan pathos dan mengartikannya sebagai ’kompetensi moral’. Tetapi Aristoteles berusaha memperluas makna istilah ini hingga

’keahlian’ dan ’pengetahuan’ tercakup didalamnya. Ia menyatakan bahwa etos hanya dapat dicapai hanya dengan apa yang dikatakan seorang pembicara, tidak dengan apa yang dipikirkan orang tentang sifatnya sebelum ia mulai berbicara. Disini terlihat bahwa etos dikenali berdasarkan sifat-sifat yang dapat terdeteksi oleh indera. Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai; guiding beliefs of a person, group or institution; etos adalah keyakinan yang menuntun seseorang,

kelompok atau suatu institusi. A. S. Hornby (1995) dalam The New Oxford Advances Learner’s Dictionary mendefinisikan etos sebagai; the characteristic

spirit, moral values, ideas or beliefs of a group, community or culture;

karakteristik rohani, nilai-nilai moral, ide atau keyakinan suatu kelompok, komunitas, atau budaya. Sedangkan dalam The American Heritage Dictionary of

English Language, etos diartikan dalam dua pemaknaan; 1.the disposition,

character, or attitude peculiar to a specific people, culture or a group that

distinguishes it from other peoples or group; fundamental values or spirit; mores;

(8)

membedakannya dari orang atau kelompok lain; nilai atau jiwa yang mendasari; adat-istiadat. Makna berikutnya yaitu 2.The governing or central principles in a movement, work of art, mode of expression, or the like; Prinsip utama atau

pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi, atau sejenisnya. Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos merupakan seperangkat pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar

mempengaruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan, dan cara berekspresi yang khas pada sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang sama.

Menurut Anoraga (1992) Etos Kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas

memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka Etos Kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan, maka Etos Kerja dengan sendirinya akan rendah.

Dalam situs resmi kementerian KUKM, Etos Kerja diartikan sebagai sikap

mental yang mencerminkan kebenaran dan kesungguhan serta rasa tanggung jawab untuk meningkatkan produktivitas (www.depkop.go.id). Pada Webster's Online Dictionary, Work Ethic diartikan sebagai; Earnestness or fervor in

working, morale with regard to the tasks at hand; kesungguhan atau semangat

dalam bekerja, suatu pandangan moral pada pekerjaan yang dilakoni. Dari rumusan ini kita dapat melihat bagaimana Etos Kerja dipandang dari sisi

praktisnya yaitu sikap yang mengarah pada penghargaan terhadap kerja dan upaya peningkatan produktivitas.

Dalam rumusan Jansen Sinamo (2005), Etos Kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya, jika seseorang, suatu

(9)

sukses yang sejati dan otentik. Pandangan ini dipengaruhi oleh kajiannya terhadap studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penulisan-penulisan manajemen dua puluh tahun belakangan ini yang semuanya bermuara pada satu kesimpulan utama; bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Sebagian orang menyebut perilaku kerja ini sebagai motivasi, kebiasaan (habit) dan budaya kerja.

Sinamo (2005) lebih memilih menggunakan istilah etos karena menemukan bahwa kata etos mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari sebuah organisasi atau komunitas tetapi juga mencakup motivasi yang menggerakkan mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan,

prinsip-prinsip, dan standar-standar.

Melalui berbagai pengertian diatas baik secara etimologis maupun praktis dapat disimpulkan bahwa Etos Kerja merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang sekelompok manusia untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan sehingga

mempengaruhi perilaku kerjanya.

II.A.2. Aspek-Aspek Etos Kerja

Menurut Sinamo (2005) setiap manusia memiliki spirit/roh keberhasilan, yaitu motivasi murni untuk meraih dan menikmati keberhasilan. Roh inilah yang menjelma menjadi perilaku yang khas seperti kerja keras, disiplin, teliti, tekun,

integritas, rasional, bertanggung jawab dan sebagainya melalui keyakinan, komitmen, dan penghayatan atas paradigma kerja tertentu. Dengan ini maka orang berproses menjadi manusia kerja yang positif, kreatif dan produktif. Dari ratusan teori sukses yang beredar di masyarakat sekarang ini, Sinamo (2005) menyederhanakannya menjadi empat pilar teori utama. Keempat pilar inilah yang

(10)

sebagai Catur Dharma Mahardika (bahasa Sanskerta) yang berarti Empat Darma Keberhasilan Utama, yaitu:

1. Mencetak prestasi dengan motivasi superior.

2. Membangun masa depan dengan kepemimpinan visioner. 3. Menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif.

4. Meningkatkan mutu dengan keunggulan insani.

Keempat darma ini kemudian dirumuskan pada delapan aspek Etos Kerja sebagai berikut:

1. Kerja adalah rahmat; karena kerja merupakan pemberian dari Yang Maha Kuasa, maka individu harus dapat bekerja dengan tulus dan penuh syukur. 2. Kerja adalah amanah; kerja merupakan titipan berharga yang dipercayakan

pada kita sehingga secara moral kita harus bekerja dengan benar dan penuh tanggung jawab.

3. Kerja adalah panggilan; kerja merupakan suatu dharma yang sesuai dengan panggilan jiwa kita sehingga kita mampu bekerja dengan penuh integritas.

4. Kerja adalah aktualisasi; pekerjaan adalah sarana bagi kita untuk mencapai hakikat manusia yang tertinggi sehingga kita akan bekerja keras dengan penuh semangat

5. Kerja adalah ibadah; bekerja merupakan bentuk bakti dan ketaqwaan kepada Sang Khalik, sehingga melalui pekerjaan individu mengarahkan dirinya pada tujuan agung Sang Pencipta dalam pengabdian.

6. Kerja adalah seni; kerja dapat mendatangkan kesenangan dan kegairahan kerja sehingga lahirlah daya cipta, kreasi baru, dan gagasan inovatif. 7. Kerja adalah kehormatan; pekerjaan dapat membangkitkan harga diri

sehingga harus dilakukan dengan tekun dan penuh keunggulan.

8. Kerja adalah Pelayanan; manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi

(11)

Anoraga (1992) juga memaparkan secara eksplisit beberapa sikap yang seharusnya mendasar bagi seseorang dalam memberi nilai pada kerja, yang disimpulkan sebagai berikut:

1. Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia 2. Pekerjaan adalah suatu berkat Tuhan.

3. Pekerjaan merupakan sumber penghasilan yang halal dan tidak amoral

4. Pekerjaan merupakan suatu kesempatan untuk mengembangkan diri dan berbakti

5. Pekerjaan merupakan sarana pelayanan dan perwujudan kasih

Dalam penulisannya, Akhmad Kusnan (2004) menyimpulkan pemahaman bahwa Etos Kerja menggambarkan suatu sikap, maka ia menggunakan lima

indikator untuk mengukur Etos Kerja. Menurutnya Etos Kerja mencerminkan suatu sikap yang memiliki dua alternatif, positif dan negatif. Suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki Etos Kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:

1. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia,

2. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia,

3. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia,

4. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,

5. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.

Bagi individu atau kelompok masyarakat yang memiliki Etos Kerja yang rendah, maka akan ditunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya (Kusnan, 2004), yaitu;

1. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri, 2. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,

3. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan,

(12)

Dari berbagai aspek yang ditampilkan ketiga tokoh diatas, dapat dilihat bahwa aspek-aspek yang diusulkan oleh dua tokoh berikutnya telah termuat dalam beberapa aspek Etos Kerja yang dikemukakan oleh Sinamo, sehingga penulisan ini mendasari pemahamannya pada delapan aspek Etos Kerja yang dikemukakan oleh Sinamo sebagai indikator terhadap Etos Kerja.

II.A.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Etos Kerja Etos Kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a. Agama

Dasar pengkajian kembali makna Etos Kerja di Eropa diawali oleh buah pikiran Max Weber. Salah satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu

rasionalitas (rationality) menurut Weber (1958) lahir dari etika Protestan. Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama.

Dengan demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan atau modernisasi. Weber (1958) memperlihatkan bahwa doktrin predestinasi dalam protestanisme mampu melahirkan etos berpikir rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material), tidak mengumbar kesenangan - namun hemat dan bersahaja (asketik), serta

menabung dan berinvestasi, yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme di dunia modern.

Sejak Weber menelurkan karya tulis The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), berbagai studi tentang Etos Kerja berbasis agama sudah

banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum mengkonfirmasikan adanya

(13)

sebagian bersumber dari agama atau sistem kepercayaan/paham teologi tradisional. Ia menemukan Etos Kerja yang rendah secara tidak langsung dipengaruhi oleh rendahnya kualitas keagamaan dan orientasi nilai budaya yang konservatif turut menambah kokohnya tingkat Etos Kerja yang rendah itu.

b. Budaya

Selain temuan Rosmiani (1996) diatas, Usman Pelly (dalam Rahimah, 1995) mengatakan bahwa sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya dan secara operasional, etos budaya ini juga disebut sebagai Etos Kerja. Kualitas Etos Kerja ini ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat

yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki Etos Kerja yang tinggi dan sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki Etos Kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak memiliki Etos Kerja. Pernyataaan ini juga didukung oleh studi yang dilakukan Suryawati, Dharmika, Namiartha, Putri dan weda (1997) yang

menyimpulkan bahwa semangat kerja/Etos Kerja sangat ditentukan oleh nilai-nilai budaya yang ada dan tumbuh pada masyarakat yang bersangkutan. Etos Kerja juga sangat berpegang teguh pada moral etik dan bahkan Tuhan. Etos Kerja berdasarkan nilai-nilai budaya dan agama ini menurut mereka diperoleh secara lisan dan merupakan suatu tradisi yang disebarkan secara turun-temurun.

c. Sosial Politik

Soewarso, Rahardjo, Subagyo, dan Utomo (1995) menemukan bahwa tinggi rendahnya Etos Kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh. KH. Abdurrahman

(14)

kehidupan yang teracu ke masa depan yang lebih baik. Orientasi ke depan itu harus diikuti oleh penghargaan yang cukup kepada kompetisi dan pencapaian (achievement). Orientasi ini akan melahirkan orientasi lain, yaitu semangat profesionalisme yang menjadi tulang-punggung masyarakat modern.

d. Kondisi Lingkungan/Geografis

Suryawati, Dharmika, Namiartha, Putri dan weda (1997) juga menemukan

adanya indikasi bahwa Etos Kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut.

e. Pendidikan

Etos Kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai Etos Kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan

perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi (Rahimah, Fauziah, Suri dan Nasution, 1995).

f. Struktur Ekonomi

Pada penulisan Soewarso, Rahardjo, Subagyo, dan Utomo (1995) disimpulkan juga bahwa tinggi rendahnya Etos Kerja suatu masyarakat

dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur ekonomi, yang mampu memberikan insentif bagi anggota masyarakat untuk bekerja keras dan menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.

g. Motivasi Intrinsik individu

Anoraga (1992) mengatakan bahwa Individu yang akan memiliki Etos

(15)

Menurut Herzberg (dalam Siagian, 1995), motivasi yang sesungguhnya bukan bersumber dari luar diri, tetapi yang tertanam/terinternalisasi dalam diri sendiri, yang sering disebut dengan motivasi intrinsik. Ia membagi faktor pendorong manusia untuk melakukan kerja ke dalam dua faktor yaitu faktor hygiene dan faktor motivator. Faktor hygiene ini merupakan faktor dalam

kerja yang hanya akan berpengaruh bila ia tidak ada, yang akan menyebabkan

ketidakpuasan. Ketidakhadiran faktor ini dapat mencegah timbulnya motivasi, tetapi ia tidak menyebabkan munculnya motivasi. faktor ini disebut juga faktor ekstrinsik, yang termasuk diantaranya yaitu gaji, status, keamanan kerja, kondisi kerja, kebijaksanaan organisasi, hubungan dengan rekan kerja, dan supervisi. Ketika sebuah organisasi menargetkan kinerja yang lebih tinggi,

tentunya organisasi tersebut perlu memastikan terlebih dahulu bahwa faktor hygiene tidak menjadi penghalang dalam upaya menghadirkan motivasi

intrinsik.

Faktor yang kedua adalah faktor motivator sesungguhnya, yang mana ketiadaannya bukan berarti ketidakpuasan, tetapi kehadirannya menimbulkan

rasa puas sebagai manusia. Faktor ini disebut juga faktor intrinsik dalam pekerjaan, yang meliputi pencapaian sukses/achievement, pengakuan/recognition, kemungkinan untuk meningkat dalam jabatan (Karier)/advancement, tanggung jawab/responsibility, kemungkinan berkembang/growth possibilities, dan pekerjaan itu sendiri/the work itself. (Herzberg, dalam Anoraga, 1992) Hal-hal ini sangat diperlukan dalam

meningkatkan performa kerja dan menggerakkan pekerja hingga mencapai performa yang tertinggi.

II.B. ORGANIZATION-BASED SELF-ESTEEM II.B.1. Pengertian Organization-Based Self-esteem

(16)

sebagai suatu keyakinan nilai diri sendiri yang didasarkan pada evaluasi diri secara keseluruhan. Rosenberg (dalam Kernis 1995) dan para ahli lainnya telah membandingkan self-esteem dengan sikap, dan menemukan bahwa self-esteem memiliki komponen afektif dan kognitif. Komponen kognitif mengacu pada keyakinan individu tentang keberhargaan dirinya.

Tory Higgins (dalam Deaux, Dane, Wrightsman, 1993) mengajukan dua

tipe diri potensial yang menempati konsep diri kita yaitu Ideal-Self dan Ought-Self. Ideal-self mengacu kepada konsep diri yang ingin dicapai individu,

sedangkan ought-self adalah konsep diri yang sebenarnya hadir. Ketika kesenjangan antara ideal-self dan ought-self ini terlalu besar, maka akan timbullah perasaan yang tidak menyenangkan, suatu kondisi yang dihindari oleh setiap

orang. Setiap orang selalu berusaha memperoleh perasaan yang menyenangkan tentang dirinya. Biasanya tuntutan perasaan positif ini menimbulkan over-estimasi terhadap evaluasi mengenai nilai-nilai baik seseorang, kemampuannya dalam mengatasi situasi atau kejadian atau terlalu optimis. Memiliki penilaian yang akurat tentang diri memang penting, tetapi sepertinya tidak lebih penting daripada

perasaan positif seseorang tentang dirinya (Hogg & Vaughan, 2002). Gambaran diri yang positif dan self-esteem yang berhubungan dengannya merupakan tujuan penting untuk kebanyakan orang setiap waktu. Hal ini menunjukkan temuan Rosenberg mengenai komponen afektif pada self-esteem. Harga diri yang tinggi, baik yang realistis maupun yang tidak merupakan suatu hal yang menyenangkan, dan karenanya banyak ahli menganggapnya sebagai tujuan manusia yang utama

(Rosenberg dalam Deaux, Dane, Wrightsman, 1993).

Kita cenderung menduga bahwa unsur self-esteem yang tinggi akan menghasilkan perilaku positif, yang menandakan individu yang sehat secara psikologis. Tetapi banyak studi yang menemukan bahwa tidak selamanya self-esteem yang tinggi menghasilkan individu yang percaya diri dan tidak

(17)

Kernis (dalam Hogg & Vaughan, 2002) juga menemukan individu yang arogan, angkuh dan terlalu asertif diantara orang-orang dengan harga diri yang tinggi. Rhodewalt (dalam Hogg & Vaughan, 2002) menemukan individu yang pada dasarnya memiliki harga diri tinggi yang mudah hilang, dikenal dengan individu narsistik.

Harga diri yang rendah tidak selamanya juga memiliki konsekuensi negatif.

Baumeister (dalam Kernis, 1995) menemukan individu yang self-esteemnya rendah menampilkan karakter tidak pasti namun netral daripada karakter negatif. Swann, Pelham, & Krull (dalam Kernis, 1995) menemukan individu dengan self-esteem rendah memiliki strategi pertahanan diri tertentu yang cenderung

berorientasi pada peningkatan diri.

Untuk dapat menjelaskan fenomena yang beragam terkait dengan harga diri yang tinggi dan rendah seperti yang telah dibahas diatas, Deci & Ryan (dalam Kernis, 1995) mengajukan dua jenis harga diri yaitu contingent self-esteem dan true self-esteem. Contingent self-esteem mengacu pada perasaan tentang diri

seseorang yang dihasilkan oleh – dan bergantung pada – pencapaian harapan

seseorang. Misalnya seseorang merasa dirinya adalah orang yang baik dan berharga jika ia berhasil menyelesaikan suatu tugas. Jika ia terus dapat menyelesaikan tugas berikutnya yang serupa, maka ia akan terus memiliki harga diri yang tinggi. Artinya harga diri ini bersifat labil dan hanya berpusat pada kepentingan pribadi. True self-esteem bersifat lebih stabil, didasari oleh perasaan yang kuat tentang diri pribadi. Individu dengan true self-esteem yang tinggi juga

memiliki tujuan dan aspirasi, dan akan merasa senang bila tujuannya tercapai, atau sedih bila tidak tercapai. Tetapi perasaan mereka sebagai manusia yang berharga tidak berfluktuasi bergantung pada pencapaian, sehingga mereka tidak merasa superior ketika berhasil, ataupun tertekan ketika gagal.

Berdasarkan penulisan Baumeister (dalam Hogg & Vaughan, 2002) secara

umum individu dengan karakteristik self-esteem yang tinggi memiliki ciri-ciri: 1. Gigih dan ulet dalam menghadapi masa depan

(18)

4. Tidak mudah dibujuk dan dipengaruhi

5. Bereaksi positif pada kehidupan yang menyenangkan dan sukses 6. Memiliki konsep diri yang stabil, teliti, dan konsisten

7. Berorientasi motivasi pada peningkatan diri

Sedangkan individu dengan self-esteem rendah memiliki ciri-ciri: 1. Mudah terluka pada tekanan yang ditemui sehari-hari

2. Mudah berubah dalam afeksi dan suasana hati 3. Fleksibel dan lunak

4. Mudah dibujuk dan dipengaruhi

5. Menginginkan kesuksesan dan persetujuan tetapi ragu-ragu akan memperolehnya

6. Bereaksi negatif terhadap kehidupan yang menyenangkan dan sukses 7. Memiliki konsep diri yang sederhana dan tidak stabil

8. Orientasi motivasi pada perlindungan diri.

Terdapat beberapa tipe self-esteem yang telah dibahas para ahli, diantaranya global self-esteem yaitu persepsi individu mengenai keberhargaan dirinya secara

keseluruhan. Kemudian dikenal juga role-based self-esteem, yaitu harga diri dikaitkan dengan peranan atau posisi seseorang. Ada juga task-based self-esteem yaitu harga diri yang dikaitkan dengan keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas.

Self-esteem sangat berhubungan dengan identitas sosial seseorang (Hogg &

Vaughan, 2002). Identitas sosial adalah bagian dari konsep diri yang berasal dari

keanggotaan individu dalam kelompok sosial. Ketika individu mengevaluasi dirinya, ia dipengaruhi oleh prestise dan status dalam suatu kelompok masyarakat yang dipersepsikannya juga melekat pada dirinya jika ia menganggap dirinya bagian dari atau berorientasi kepada kelompok masyarakat tertentu. Penilaian ini juga akan dibandingkan dengan kelompok diluar kelompok masyarakat yang

(19)

organisasi. Organisasi memiliki tujuan dan cita-cita yang menjiwai setiap aspek kehidupan organisasi, sehingga secara otomatis mempengaruhi setiap individu yang ada di dalamnya. Dari pemahaman ini muncullah kajian tentang harga diri dalam konteks organisasi. Nilai yang dimiliki oleh seorang individu atas dirinya sebagai anggota organisasi yang bertindak dalam konteks organisasi disebut harga diri berbasis organisasi atau Organization-based Self-esteem, yang disingkat

dengan OBSE (Kreitner & Kinicki, 2000).

Dalam konteks organisasi, pengaruh self-esteem yang cukup signifikan telah terlihat melalui berbagai penemuan. Misalnya individu yang memiliki self-esteem yang tinggi cenderung lebih sukses dalam upaya menemukan pekerjaan, sedangkan individu dengan self-esteem yang rendah, bila dipekerjakan akan lebih

tertarik pada organisasi yang besar dimana posisi mereka tidak terlalu diperhatikan. Pekerja dengan self-esteem yang tinggi cenderung secara aktif berusaha menemukan materi yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah pekerjaan, dan menggunakan kemampuan serta keahlian mereka secara penuh sehingga hasil kerjanya lebih maksimal. Cukup menarik untuk diperhatikan

bahwa individu dengan self-esteem rendah kelihatannya sadar dengan kemungkinan mereka memberikan hasil yang buruk. Mereka cenderung menilai dirinya secara negatif (khususnya ketika penilaian terhadap performa mereka ambigu) dan pada dasarnya bertanggungjawab terhadap hasil buruk tersebut (Greenberg, 2005).

II.B.2. Aspek-aspek Organization-based Self-esteem

Dalam konteks organisasi, penilaian seseorang terhadap dirinya terkait dengan bagaimana kondisi organisasi secara struktural, kerumitan pekerjaan yang dihadapinya, serta adanya penghargaan dari pihak managerial. OBSE cenderung meningkat ketika individu mempersepsikan bahwa atasan mereka memiliki suatu

(20)

berhubungan dengan motivasi untuk tugas yang lebih besar (Kreitner & Kinicki, 2000).

Tan Kim Sek (2003) menemukan bahwa metode sosialisasi yang efektif dapat meningkatkan kompetensi pekerja dalam menyelesaikan tugasnya terkait dengan peranannya dalam organisasi, yang akan meningkatkan OBSE-nya. Dalam konteks penulisan ini taktik sosialisasi yang digunakan adalah perencanaan

pengembangan karier, interaksi yang positif dengan rekan kerja, dan interaksi positif dengan pendatang baru di organisasi. Gardner, Dyne, & Pierce (2004) menemukan bahwa tingkatan gaji turut mempengaruhi rasa berharga seorang individu sebagai anggota organisasi, sehingga mereka menyarankan organisasi mempertimbangkan sistem penggajian berbasis kompetensi. Namun mereka juga

mengindikasikan bahwa sistem penggajian berbasis kompetensi tetap memiliki resiko dimana individu dengan tingkat gaji yang lebih rendah dapat menganggap dirinya kurang berkompeten, sehingga berpeluang menjatuhkan self-esteemnya.

Dalam studi replikasinya, Tang & Gilbert (1992) menemukan bahwa OBSE berhubungan dengan global self-esteem, need for achievement, organizational

citizenship, komitmen organisasi, motivasi untuk meningkatkan potensi dan

pendidikan. Status subyek dalam organisasi tidak berhubungan dengan OBSE. Intinya, penemuan mereka menampilkan hubungan antara OBSE dengan banyak variabel yang bernilai intrinsik tentang perasaan subyektif pekerja dalam organisasi.

Kreitner & Kinicki (2000) menyebutkan ciri-ciri individu dengan nilai

OBSE yang tinggi cenderung memandang diri mereka sendiri sebagai seorang

yang penting, berharga, berpengaruh, dan berarti dalam konteks organisasi yang mempekerjakannya. Untuk itu mereka menyarankan agar organisasi melakukan upaya untuk membangun self-esteem karyawan, yaitu dengan;

1. Mendukung dan menunjukkan kepedulian pada persoalan, kepentingan,

status, dan kontribusi individu,

(21)

3. Berjuang untuk membangun ikatan antara karyawan dan manajemen didasari kepercayaan,

4. Menunjukkan keyakinan terhadap kemampuan pengendalian pribadi dan memberi penghargaan pada keberhasilan.

Greenberg (2005) juga memiliki empat point penting yang disarankannya untuk meningkatkan self-esteem individu dalam organisasi, yaitu;

1. Buatlah orang merasa berharga; ciptakan kesempatan bagi individu untuk merasa diterima dengan mencari cara untuk memanfaatkan pengalaman dan keahlian unik mereka.

2. Buatlah orang merasa kompeten; kenali hal-hal baik yang dilakukan individu dan pujilah mereka sesuai dengan hal itu.

3. Buatlah orang merasa aman; harga diri karyawan akan lebih meningkat ketika harapan para manager tersampaikan dengan jelas dan terang-terangan pada mereka

4. Buatlah orang merasa mendapatkan wewenang; individu diberikan kesempatan untuk memutuskan bagaimana mereka akan menyelesaikan

pekerjaan yang menurut mereka baik bagi mereka dan pekerjaannya. Dari berbagai penulisan dan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa OBSE memiliki beberapa aspek (Kreitner & Kinicki, 2000; Greenberg, 2005) yaitu:

1. merasa diterima dalam organisasi 2. merasa aman dalam organisasi

3. merasa berkompeten dalam organisasi 4. merasa berpengaruh dalam organisasi 5. merasa penting bagi organisasi 6. rasa berharga bagi organisasi

7. merasa berkembang dalam organisasi

(22)

II.C. HUBUNGAN ANTARA ORGANIZATION-BASED SELF-ESTEEM (OBSE) DAN ETOS KERJA

Untuk dapat meningkatkan Etos Kerja, diperlukan adanya suatu sikap yang menilai tinggi pada kerja keras dan sungguh-sungguh. Karena itu perlu ditemukan suatu dorongan yang tepat untuk memotivasi dan merubah sikap (Anoraga, 1992). Seperti yang sudah dipaparkan Anoraga sebelumnya bahwa motivasi merupakan

kunci untuk membangun Etos Kerja yang baik. Motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. kuat lemahnya motivasi kerja seseorang ikut menentukan besar kecilnya prestasi seorang pekerja.

Tujuan organisasi yang ditanamkan dalam visi, misi, filosofi, dan motto organisasi merupakan suatu nilai ideal yang harus dicapai individu. Dengan proses

yang tepat organisasi berusaha menanamkan nilai-nilai ini pada para anggotanya. Nilai ideal yang dipersepsikan oleh anggota akan mempengaruhi penilaiannya terhadap dirinya, sehingga membentuk OBSE-nya. Nilai-nilai ini ditanamkan oleh organisasi dengan tujuan utama yaitu kinerja dan kualitas kerja yang meningkat. Kinerja dan kualitas kerja yang baik dapat dicapai dengan Etos Kerja yang baik,

maka organisasi secara tidak langsung berusaha untuk meningkatkan Etos Kerja anggotanya.

OBSE mempengaruhi beberapa aspek, antara lain global self-esteem/harga

diri secara keseluruhan, kepuasan secara keseluruhan, perilaku warga negara yang baik, komitmen dan kepuasan organisasi, prestasi kerja, dan terakhir adalah motivasi intrinsik (Kreitner & Kinicki, 2000). Menurut Alderfer (dalam Siagian,

1995) dengan teori motivasi ERG-nya, salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi adalah faktor R (Relatedness) yaitu kebutuhan akan pemenuhan rasa puas dalam berhubungan dengan keluarga, teman, atasan, bawahan dan rekan sekerja, dimana hal ini melibatkan unsur cinta dan self-esteem.

Dengan meningkatnya self-esteem pekerja yang didasarkan pada

(23)

(karier), tanggung jawab, kemungkinan berkembang, dan pekerjaan itu sendiri. Dapat dilihat bahwa faktor-faktor intrinsik ini merupakan aspek-aspek yang akan tergambar pada OBSE. Faktor pengakuan dapat dilihat pada persepsi tentang seberapa berharga dan pentingnya individu dalam organisasi, apakah ia merasa diterima sebagai anggota organisasi, dan merasa aman sebagai bagian dari organisasi.

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat dilihat bagaimana OBSE mempengaruhi motivasi intrinsik seseorang untuk bekerja. Ketika OBSE meningkat, motivasi intrinsik seseorang dalam bekerja turut meningkat, maka seharusnya Etos Kerjanya akan meningkat juga. Artinya kebutuhan organisasi untuk mencapai hasil dan kinerja organisasi yang lebih baik dapat dicapai salah

satunya melalui upaya meningkatkan OBSE pekerjanya.

Penelitian lain yang telah dilakukan mengenai OBSE yaitu penelitian Lanford, Roe, Carson & Carson (1997) pada teknisi unit gawat darurat. Mereka menemukan peningkatan OBSE berpeluang meningkatkan komitmen terhadap karier, menurunkan kecenderungan menarik diri dari tugas, dan meningkatkan

kesadaran akan pentingnya kualitas perlakuan. Hal ini merupakan beberapa indikasi perilaku yang mencerminkan Etos Kerja, seperti yang dikatakan Sinamo (2005), yaitu bekerja dengan integritas, bekerja dengan penuh tanggung jawab, bekerja dengan sempurna.

Secara umum dapat dikatakan bahwa bila seseorang merasa berharga dalam organisasi dikarenakan berbagai faktor, ia akan cenderung memiliki motivasi yang

(24)

Proses Alignment dalam

organisasi; proses menanamkan Filosofi, Visi, Misi, Goal, Policy

Dosen Sebagai salah satu komponen Organisasi

Penilaian individu terhadap pribadi

Harga Diri dikaitkan dengan keberadaan individu dalam organisasi (OBSE)

Etos Kerja

Universitas Sebagai Organisasi

Faktor Intrinsik Dalam Bekerja yang menimbulkan Motivasi

Hubungan Antar Variabel

Kerangka berfikir dalam penulisan ini digambarkan secara skematis sebagai berikut:

Gambar 1

(25)

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

III. A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini sebagai berikut:

1. Sesuai dengan landasan teori yang telah dibahas sebelumnya dapat dikatakan

bahwa ketika Organisation-Based Self-Esteem (OBSE) seseorang meningkat, maka motivasinya untuk mencapai kinerja yang lebih baik di dalam organisasi tersebut akan meningkat secara intrinsik (kreitner & Kinicki, 2000), sehingga cara pandangnya terhadap nilai bekerja yang dikenal dengan konsep Etos Kerja turut meningkat (Anoraga, 1992).

2. Ketika nilai Organisation-Based Self-Esteem (OBSE) seorang individu rendah, belum tentu nilai Etos Kerjanya harus rendah pula, karena selain faktor OBSE masih terdapat faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi Etos Kerja seseorang seperti yang telah dijelaskan pada bab dua, seperti agama, pendidikan, sosial budaya, struktur ekonomi, dan sebagainya. Kualitas

beragama, unsur sosial budaya, dan kondisi ekonomi misalnya, dapat mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap nilai bekerja.

III. B. Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan maka diajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Organisation-Based Self-Esteem (OBSE) karyawan dapat ditingkatkan misalnya dengan kepedulian pada kepentingan, persoalan, status dan kontribusi setiap anggota organisasi, ikatan yang didasari kepercayaan antara rekan kerja dan atasan, serta penghargaan yang tulus pada setiap

keberhasilan individu dalam organisasi.

(26)

utama dalam agenda kerja organisasi, memelihara pemahaman nilai-nilai agama dapat membentuk Etos Kerja.

3. Faktor lain yang mempengaruhi Etos Kerja adalah sosial politik, yaitu bagaimana Etos Kerja dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh. Dalam hal ini organisasi harus

memiliki aturan-aturan dan kebijakan organisasi yang dapat mendukung suasana yang kondusif bagi peningkatan etos kerja.

4. Struktur ekonomi juga merupakan faktor pendorong Etos Kerja. Gardner, Dyne, & Pierce (2004) menemukan bahwa tingkatan gaji turut mempengaruhi rasa berharga seorang individu sebagai anggota organisasi,

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Anoraga, Drs. Pandji. (1992); Psikologi Kerja; PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Cascio, Wayne F. (2003); Managing Human Resource; Productivity, Quality of Work Life, Profits (6th ed.); McGraw Hill/Irwin, New York.

Deaux, Kay.; Dane, Francis C.; Wrightsman, Lawrence S. (1993); Social Psychology in the 90’s (6th Ed); Brooks/Cole Publishing Company, California.

Donald G. Gardner, Linn Van Dyne, and Jon L. Pierce (2004); The effects of pay level on organization-based self-esteem and performance: A field study; Journal of Occupational and Organizational Psychology (2004), 77, 307–322, The British Psychological Society www.bps.org.uk [online : Sunday, October 08, 2006, 5:02:38 PM]

Greenberg, J. (2005). Managing behavior in organizations, Prentice Hall, USA

Hogg, Michael A.; Vaughan, Graham M. (2002); Social Psychology (3rd ed); Prentice Hall Pearson education limited, Edinburgh.

Hornby, A S., (1995); Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English(5th ed.); Oxford University Press, Great Britain.

Kernis, Michael H., (1995); Efficacy, Agency, and Self Esteem; Plenum Press, New York, and London.

Kreitner, Robert.; Kinicki, Angelo., (2000); Organizational behavior (8th Ed); McGraw Hill, New York.

Kusnan, Ahmad (2004); Analisis Sikap Iklim Organisasi, Etos Kerja Dan Disiplin Kerja Dalam Menentukan Efektifitas Kinerja Organisasi di Garnizun Tetap III Surabaya; Laporan Penelitian; http://www.damandiri.or.id/ index.php [online : Monday, October 16, 2006, 6:03:24 PM]

Lee, Cynthia., Hui, Chun., (2000), Moderating Effects of Organization-Based Self-Esteem on Organizational Uncertainty: Employee Response Relationships; Journal of Management, Vol. 26, No. 2, 215-232 Southern Management Association; http://jom.sagepub.com/ [online : Sunday, October 08, 2006, 4:52:02 PM]

(28)

Wills, Mike., (1993); Managing The Training Process; putting the basic into practice; McGraw Hill, Great Britain

Siagian, Prof. Dr. Sondang P., (1995); Teori Motivasi Dan Aplikasinya; PT. Rineka Cipta, Jakarta

Sinamo, Jansen., (2005); Delapan Etos Kerja Profesional; Navigator Anda Menuju Sukses; Grafika Mardi Yuana, Bogor.

Tan Kim Sek (2003); Organizational Socializational Tactics And Organizational Based Self-Esteem; Thesis Submitted In Fulfillment Of The Requirements For The Degree Of Doctor Of Philosophy.

Tang, Thomas Li-Ping; Gilbert, Pamela Rae. (1992); Organization-Based Self Esteem among Mental Health Workers: A Replication and Extension; Research Reports; http://eric.ed.gov/ERICWebPortal/ [online : Wednesday, October 11, 006, 4:59:48 PM]

Gambar

Gambar 1 Kerangka Berfikir Penulisan

Referensi

Dokumen terkait

Sistem informasi keuangan di kabupaten Siak provinsi Riau memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terhadap peningkatan kesadaran akan biaya pada aparat SKPD

Kabupaten Karo Dalam Angka 2016.. Badan Pusat Statistik

kemampuan menulis kreatif narasi siswa, penulis juga menggunakan media gambar dalam penelitian untuk melihat pengaruh model induktif kata bergambar terhadap keterampilan

Perbedaan rata- rata ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari model induktif kata bergambar terhadap keterampilan menulis karangan narasi siswa

Berwisata alam sekaligus menapak sejarah para wali/ Itulah potensi yang dimiliki gua Cerme, yang berlokasi di perbukitan dusun Srunggo/ desa Salopamioro/ Imogiri Bantul/ Yogyakarta

Terkait dengan mempersiapkan peserta didik yang berkualitas, cabang lomba gitar solo dalam Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Hasil simluasi dari pengujian, sistem memberikan keputusan dari enam objek wisata diperoleh Pantai Marina untuk jenis objek Wisata Bahari dari titik pusat Batam

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Juni 2012 di Laboratorium Boga, Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana Universitas Negeri Yogyakarta. Metode