• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Penggunaan Lahan Di Pinggir Danau Sebagai Lahan Pengembangan Kota Studi Kasus Danau Laut Tawar Kota Takengon Aceh Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Penggunaan Lahan Di Pinggir Danau Sebagai Lahan Pengembangan Kota Studi Kasus Danau Laut Tawar Kota Takengon Aceh Tengah"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

ACEH TENGAH

TESIS

Oleh

MAUIZA USWA

067020007/AR

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008

Mauiza Uswa : Kajian Penggunaan Lahan Di Pinggir Danau Sebagai Lahan Pengembangan Kota Studi Kasus Danau Laut Tawar Kota Takengon Aceh Tengah, 2008

(2)

KAJIAN PENGGUNAAN LAHAN DI PINGGIR DANAU

SEBAGAI LAHAN PENGEMBANGAN KOTA

STUDI KASUS DANAU LAUT TAWAR

KOTA TAKENGON

ACEH TENGAH

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Megister Teknik dalam Program Studi Teknik Arsitektur

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MAUIZA USWA

067020007/AR

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : KAJIAN PENGGUNAAN LAHAN DI PINGGIR DANAU SEBAGAI LAHAN PENGEMBANGAN KOTA STUDI KASUS DANAU LAUT TAWAR KOTA TAKENGON, ACEH TENGAH

Nama Mahasiswa : Mauiza Uswa Nomor Pokok : 067020007

Program Studi : Teknik Arsitektur/Manajemen Pembangunan Kota

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(A/Prof. Julaihi Wahid, Dipl. Arch, B. Arch, M,Arch, PhD) (Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc) Ketua Anggota

Ketua Program Studi,

(Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 6 Desember 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : A/Prof. Julaihi Wahid, Dipl. Arch, B. Arch, M,Arch, PhD Anggota : 1. Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc

2. Salmina W Ginting, ST, MT 3. Wahyuni Zahra, ST, M.Si

(5)

ABSTRAK

Perkembangan dan pertumbuhan fisik suatu kota menyangkut beberapa faktor-faktor yaitu: Faktor Sosial, Faktor Ekonomi, Faktor Politik, Faktor pertambahan penduduk dan perkembangan dari jumlah fasilitas dan utilitas, di mana unsur tersebut merupakan faktor dasar perkembangan dan perubahan fisik yang terjadi pada suatu kota.

Kawasan perkotaan Kota Takengon yang merupakan Ibukota Kabupaten

Aceh-Tengah berada tepat disisi Barat Danau Laut Tawar. Di mana Danau Laut

Tawar merupakan satu-satunya danau di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sejalan dengan perkembangan kota dan pertumbuhan penduduk yang terus bertambah setiap tahunnya mengakibatkan kebutuhan akan lahan untuk berusaha semakin besar.

Pemanfaatan ruang dan tanah di sekitar kawasan Danau Laut Tawar dilakukan dalam bentuk Permukiman Prasarana jalan, pembuangan saluran limbah rumah tangga, perkebunan, tanah pertanian, rekreasi dan sebagainya. Sehingga sering terjadi pemanfaatan danau dan konservasi danau yang tidak berimbang, di mana pemanfaatan danau lebih mendominasi sumber daya alam danau dan kawasan aliran

sungai (watershed).

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa bentuk perubahan pola penggunaan lahan Daerah pinggiran Danau sebagai lahan perkembangan kota yang dapat membawa terjadinya suksesi pada kawasan danau dan pertumbuhan penduduk dan penyebarannya sebagai aktor dan pelaku perubahan penggunaan lahan untuk permukiman, perdagangan, perkantoran, pedidikan dan fasilitas kota lainnya. Dengan melihat perkembangan fisik kota dan pola penggunaan lahannya pada Rencana Tata Ruang Kota Takengon dalam periode 10 tahun kebelakang, yaitu sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2007, sehingga dapat dilihat pola dan arah serta percepatan Perkembangan Kota Takengon terutama pada Bagian Wilayah Kota Pusat Kota Takengon (BWK Pusat Kota Takengon).

(6)

ABSTRACT

Physical growth and development of a city involves some factors such as: social, economic, political and increase in population and development of facility and utility in which the element is fundamental factor of the physical growth and development occurred in a city.

The urban area of Takengon as the capital of Central Aceh Regency exactly located in west of Lake Laut Tawar in which the lake is the only one found in Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). In compliance with the urban development and growth of population that continuously increase yearly, the demand for land also increases.

The use of space and land around the Lake Laut Tawar is carried out in settlement, road infrastructure, discharge of domestic waste, agriculture, agricultural land, recreation, etc. Thus, the use and conservation of the land is often unbalanced, in which the use of the lake is more dominated by natural resources of the lake and watershed.

The objective of the present study is to analyze the changed pattern in use of the surrounding of the Lake as the land of urban development that can lead to succession in the lake area and growth of population and the distribution as the actors of the change in use of the land for settlement, trade, office, education and other facilities. Considering the physical development of the city and the pattern in use of the land in the Masterplan of Takengon within recently 10 years since 1998 until 2007, it could be shown the pattern and direction and even acceleration of the Takengon development especially in central area of the city BWK down town of Takengon).

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

anugerah dan hidayah-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Tesis ini

berjudul “Kajian Penggunaan Lahan Dipinggir Danau Sebagai Lahan Pengembangan

Kota Studi Kasus Danau Laut Tawar Kota Takengon Aceh Tengah”.

Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna

mencapai Gelar Magister Teknik dalam Program Studi Teknik Arsitektur pada

Sekolah Pascasarjana Uneversitas Sumatera Utara (SPs USU) Medan.

Terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada yang

terhormat: Bpk Prof. Julaihi Wahid, Dipl. Arch, B. Arch, M,Arch, PhD, selaku Ketua

Komisi Pembimbing, Ibu Ir. Nurlisa Ginting M.Sc selaku Anggota Komisi

Pembimbing, Ibu Salmina WGinting, ST, MT, Ibu Wahyuni Zahra, ST, M.Si, Bpk

M. Dolok Lubis, ST, M.Sc Selaku dosen penguji yang telah bersedia memberikan

bimbingan, serta petunjuk kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada:

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

(8)

3. Ir. Nurlisa Ginting M.Sc, selaku Ketua Program Studi Teknik Arsitektur

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ir. Dwira N Aulia, M.Sc, selaku Sekretaris Program Studi Teknik Arsitektur

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu para dosen Program Studi Teknik Arsitektur

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

6. Para karyawan dan karyawati pada Program Studi Teknik Arsitektur Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

7. Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, khususnya Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah, serta Badan Kepegawaian Daerah, yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat mengembangkan diri.

8. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Teknik Arsitektur Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

9. Ayahanda H. Usman Wahid dan (Alm) Ibunda tercinta Mariana, Bapak dan

Ibu Mertua H. Firman Purba (Alm), dan Hj. Habsyah Boru Saragih serta istri

tercinta Inma Irawati, ST dan buah hati tersayang Athira Nabila Uswa dan

Apta Bhadrika Uswa, dan tidak lupa penulis ucapkan rasa terima kasih buat

kakak-kakak dan abang-abang serta sahabat-sahabat seperjuangan.

10. Pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis yang tidak dapat disebutkan

satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, untuk itu

(9)

yang bersifat konstruktif dari semua pihak untuk kesempurnaan usulan penelitian ini.

Akhirnya dengan satu harapan, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak. Amin.

Medan, 25 Februari 2009

Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis, merupakan putra keenam dari enam bersaudara, yang berasal dari

keluarga pasangan Bapak H. Usman Wahid dan Ibu Mariana (Alm). Penulis

dilahirkan di Takengon, Aceh-Tengah pada tanggal 20 Agustus 1973.

Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) diselesaikan pada tahun 1986

dan pendidikan Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) diselesaikan pada tahun 1989,

dan pada tahun1992 penulis menyelesaikan SMU yang kesemua jenjang pendidikan

tersebut diselesaikan di Takengon Kabupaten Aceh Tengah.

Pendidikan sarjana (Strata-1) diselesaikan di Institut Teknologi Medan (ITM)

pada tahun 1998. Penulis menyelesaikan pendidikan Strata- 2 pada Magister Teknik

Arsitektur Universitas Sumatera Utara Medan pada tahun 2008. Sekarang ini penulis

bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Pemerintah Kabupaten Aceh

(11)

DAFTAR ISI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 11

2.1. Pengertian Kota...

2.2. Pertumbuhan Kota...

2.2.1. Faktor-faktor Perkembangan Kota...

2.2.2. Mekanisme Perkembangan Kota...

2.3. Penduduk dan Penggunaan Lahan Perkotaan...

2.4. Tata Guna Lahan...

2.5. Perubahan Struktur Ruang Kota...

(12)

BAB III METODE PENELITIAN... 38

3.1. Lokasi Penelitian...

3.2. Jenis dan Sumber Data...

3.3. Materi Penelitian...

3.4. Rancangan Penelitian...

3.5. Parameter, Variabel dan Indikator Penelitian... 38

39

40

41

42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 44

4.1. Deskripsi Kota Takengon...

4.1.1. Sejarah Perkembangan Kota Takengon...

4.1.2. Letak dan Kondisi Geografis Kota Takengon...

4.1.3. Struktur Ruang Kota Takengon...

4.2. Ruang Lingkup Wilayah Penelitian...

4.2.1. Karakteristik Wilayah Penelitian (BWK Pusat Kota

Takengon)...

4.2.2. Penggunaan Lahan...

4.2.3. Jumlah dan Pertumbahan Penduduk...

4.2.4. Kepadatan Penduduk...

4.3. Peranan dan Fungsi BWK Pusat Kota Takengon...

4.4. Kebijakan Pemerintah dalam Penggunaan Ruang...

4.5. Analisa Perubahan Penggunaan Lahan...

4.5.1. Pola Penggunaan Lahan Kota...

4.5.2. Struktur Keruangan Kota...

4.5.3. Pertumbuhan Fisik dan Perkembangan

Kota Takengon...

4.5.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Percepatan

Perkembangan Kota...

4.5.5. Pola Percepatan Perkembangan Fisik Kekotaan...

(13)

4.5.7. Pengaruh Kegiatan Perkotaan terhadap Danau Laut Tawar...

4.5.8. Kondisi Lingkungan Sekitar Danau Laut Tawar...

4.6. Konsep Penggunaan Lahan pada BWK Pusat Kota Takengon...

83

85

87

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... 92

5.1. Kesimpulan...

5.2. Rekomendasi... 92

95

DAFTAR PUSTAKA...96

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3-1 Parameter, Variabel dan Indikator Penelitian...42

4-1 Luas Wilayah Kota Takengon Tahun 2006…….………..46

4-2 Luas Wilayah Penelitian………...52

4-3 Pembagian Sub BWK Pusat Kota Takengon………...…..54

4-4 Penggunaan Lahan di BWK Pusat Kota Takengon………...….58

4-5 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk BWK Pusat Kota Takengon...59

4-6 Jumlah Kepadatan Penduduk Kota Takengon...60

4-7 Jumlah Kepadatan Penduduk di BWK Pusat Kota Takengon...61

4-8 Luas Lahan dan Kepadatan Penduduk...62

4-9 Persentase Perubahan Penggunaan Lahan...70

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1-1 Peta Kabupaten Aceh Tengah...2

1-2 Peta Kota Takengon yang Bersinggungan Langsung dengan Danau ...4

1-3 Visual Kondisi Lingkungan Pinggiran Danau Laut Tawar...6

1-4 Visual Penggunaan Lahan Pinggiran Danau Sebagai Permukiman...6

1-5 Kerangka Berfikir...10

2-1 Kota dalam Stadium Pembentukan Inti Kota...16

2-2 Kota dalam Stadium Formatip...17

2-3 Kota dalam Stadium Modern...19

2-4 Mekanisme Perkembangan Kota... ..23

2-5 Perkembangan Kota Secara Horizontal...25

2-6 Perkembangan Vertikal...26

2-7 Perkembangan Interstisial...26

3-1 Peta Kecamatan-kecamatan di Kota Takengon...38

3-2 Peta Lokasi Penelitian (BWK Kota Takengon)...39

4-1 Stadia Perkembangan Kota Takengon...45

4-2 Pembagian BWK Kota Takengon...47

4-3 Hirarki Pusat-pusat Pelayanan Kota Takengon...49

(16)

4-5 Peta Wilayah Penelitian...53

4-6 Peta Penggunaan Lahan BWK Pusat Kota Takengon Tahun 1998...67

4-7 Peta Penggunaan Lahan BWK Pusat Kota Takengon Tahun 2002...68

4-8 Peta Penggunaan Lahan BWK Pusat Kota Takengon Tahun 2007...69

4-9 Peta Jaringan Transportasi yang Mempengaruhi Perkembangan Kota...78

4-10 Peta Intensitas Kota terhadap Danau Laut Tawar ...85

4-11 Peta Kondisi Lingkungan Daerah Pinggiran Danau...87

4-12 Peta Konsep Makro...90

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan dan pertumbuhan fisik suatu kota menyangkut beberapa faktor

yang mempengaruhinya yaitu, Pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi,

kondisi keamanan dan politik, yang membawa pengaruh terhadap berkembangnya

jumlah fasilitas dan utilitas, di mana unsur tersebut merupakan faktor dasar

perkembangan dan perubahan fisik yang terjadi pada suatu kota.

Kota Takengon yang merupakan Ibukota Kabupaten Aceh-Tengah berada

tepat disisi Barat Danau Laut Tawar (Gambar 1-1). Di mana Danau Laut Tawar

merupakan satu-satunya danau di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Danau Laut Tawar merupakan kawasan hulu dari Daerah Aliran Sungai

Peusangan yang mengalir ke Selat Malaka, dengan jalur lintasan melewati Kabupaten

Aceh-Tengah, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Aceh

Utara. Keberadaan Danau Laut Tawar dan kawasan sekitarnya memiliki arti penting

bagi masyarakat Kabupaten Aceh Tengah umumnya dan masyarakat yang berada

dalam kawasan tersebut khususnya. Selain sebagai sumber air bersih, kawasan Danau

Laut Tawar juga menjadi tempat masyarakat mencari penghidupan seperti, bertani

dan berkebun serta mencari ikan yang merupakan mata pencaharian penduduk yang

(18)
(19)

Selain fungsi di atas, Danau Laut Tawar juga berfungsi sebagai obyek wisata

utama di Kabupaten Aceh Tengah dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Potensi

utama Danau Laut Tawar adalah keindahan dan keunikan alamnya.

Kedatangan pengunjung adalah dalam rangka untuk menikmati potensi utama

tersebut. Namun akibat penanganannya yang belum optimal membuat potensi wisata

Danau Laut Tawar belum banyak mendatangkan sumber pemasukan bagi Pemerintah

dan masyarakat Kabupaten Aceh Tengah.

Sejalan dengan perkembangan kota dan pertumbuhan penduduk yang terus

bertambah setiap tahunnya mengakibatkan kebutuhan akan lahan untuk berusaha

semakin besar, hal ini menyebabkan bertambahnya permukiman di pinggiran danau.

Letak posisi kawasan perkotaan Takengon yang bersinggungan langsung dengan

Danau Laut Tawar (Gambar 1-2) mengakibatkan setiap pembangunan yang dilakukan

di kawasan perkotaan Kota Takengon secara langsung maupun tidak langsung

mempengaruhi perubahan fisik Danau Laut Tawar. Pembangunan fisik di Kawasan

Perkotaan Takengon telah mengalami perubahan yang cukup drastis pada tahun-tahun

terakhir, hal ini ditandai dengan banyaknya perubahan fungsi lahan menjadi

perumahan dan perdagangan, terutama pada pusat kota dan bagian timur kota yang

(20)
(21)

Pemanfaatan lahan dan ruang di sekitar kawasan Danau Laut Tawar dilakukan

dalam bentuk permukiman prasarana jalan, pembuangan saluran limbah rumah

tangga, perkebunan, tanah pertanian, rekreasi dan sebagainya. Sehingga sering terjadi

pemanfaatan danau dan konservasi danau yang tidak berimbang, di mana

pemanfaatan danau lebih mendominasi sumber daya alam danau dan kawasan aliran

sungai (watershed).

Dari sudut ekologi, danau merupakan ekosistem yang terdiri dari unsur air,

kehidupan akuatik, dan daratan yang dipengaruhi tinggi rendahnya muka air, selain

itu, kehadiran danau juga akan mempengaruhi iklim mikro dan keseimbangan

ekosistem di wilayah sekitarnya (Kumurur VA, 2001). Di sisi barat Danau Laut

Tawar yang bersinggungan langsung dengan kawasan perkotaan Kota Takengon telah

tampak terjadi perubahan fisik lahan dan dikhawatirkan akan menyebabkan

masalah-masalah pada Danau Laut Tawar yang mengakibatkan penurunan fungsi-fungsi

ekosistem pada Danau Laut Tawar (Gambar 1-3 dan 1-4).

Menurut Haeruman dalam Coutrier (1988) disebutkan bahwa salah satu

pendekatan yang dapat berperan besar dalam penggunaan sumber alam adalah tata

(22)

Sumber: Hasil Survei 2008

Gambar 1-3. Visual Kondisi Lingkungan Pinggiran Danau Laut Tawar

Sumber: Hasil Survei 2008

(23)

Salah satu aspek penentu kualitas tata ruang adalah terwujudnya pemanfaatan

lahan yang serasi antara fungsi lingkungan dengan kawasan pembangunan, dengan

ditetapkannya kawasan lindung dan kawasan budidaya (Sugandhy dalam Kumurur

VA, 2001). Dalam kriteria pemanfaatan ruang, terdapat kriteria kawasan sekitar

danau dan waduk sebagai salah satu kawasan yang harus dilindungi melalui Peraturan

Daerah dengan tujuan untuk melindungi danau dan waduk dari kegiatan-kegiatan

yang dapat mengganggu kelestarian fungsi danau dan waduk (Karsima, dkk, dalam

Kumurur VA, 2001).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu

permasalahan, yaitu:

1. Bagaimanakah arahan tata guna lahan dan pola pemanfaatan lahan di pinggiran

Danau Laut Tawar dalam rangka pengembangan kota.

2. Pertumbuhan penduduk dan meningkatnya aktivitas kota merupakan faktor

mendasar perubahan penggunaan lahan untuk permukiman dan fasilitas kota.

Dengan melihat pada perkembangan fisik Kota Takengon dan pola

penggunaan lahan selama 10 tahun kebelakang yaitu sejak tahun 1998 sampai 2007,

(24)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa bentuk perubahan pola

penggunaan lahan Kota Takengon yang bersinggungan langsung dengan daerah

pinggiran danau sebagai lahan perkembangan kota, dan pertumbuhan penduduk dan

penyebarannya sebagai pelaku perubahan penggunaan lahan untuk permukiman,

perdagangan, perkantoran, pendidikan dan fasilitas kota lainnya, dengan melihat

perkembangan fisik kota dan pola penggunaan lahannya pada Rencana Tata Ruang

Kota Takengon dalam periode 10 tahun kebelakang, yaitu sejak tahun 1998 sampai

dengan tahun 2007.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat menjadi masukan bagi Pemerintah,

masyarakat dan perencana kota di dalam menentukan pola penggunaan lahan

di daerah pinggiran Danau. Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ialah:

1. Mengetahui lokasi dan arah pertumbuhan wilayah kota.

2. Mengetahui adanya perubahan penggunaan lahan dan fungsi ruang dari konsep

rencana yang telah ditetapkan.

(25)

1.5. Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini kerangka berfikir diawali dengan aspek pengembangan

pembangunan kota yang dipengaruhi oleh sektor pertumbuhan dan perkembangan

penduduk, serta tuntutan akan adanya fasilitas kota, hal tersebut membawa dampak

terhadap meningkatnya aktivitas kota, dengan dilanjutkan kebutuhan akan lahan

dalam pengembangan kota terutama untuk pemukiman, perdagangan dan fasilitas

kota lainnya. Pada pendahuluan sudah dijelaskan bahwa fungsi danau dalam tatanan

ekosistim sangat berguna bagi manusia dan mahluk hidup lainnya sehingga harus

dipertahankan eksistensinya dan letak danau laut tawar yang bersinggungan langsung

dengan Kota Takengon, mengakibatkan setiap pembangunan yang dilakukan

di kawasan perkotaan Kota Takengon secara langsung maupun tidak langsung

mempengaruhi perubahan fisik Danau Laut Tawar. Maka untuk selanjutnya dalam

pengembangan Kota Takengon, dan untuk memenuhi kepentingan manusia,

lingkungan sekitar danau diubah untuk dicocokkan dengan cara hidup dan bermukim

manusia. Ruang dan tanah di sekitar kawasan ini dirombak untuk menampung

berbagai bentuk kegiatan manusia seperti permukiman, prasarana jalan, saluran

limbah rumah tangga, tanah pertanian, rekreasi dan sebagainya. Untuk mengetahui

perkembangan fisik dan pola penggunaan lahan pada daerah pinggiran Danau Laut

Tawar, diperlukan suatu data tentang perubahan fisik kota dan pola penggunaan lahan

selama kurun waktu beberapa tahun kebelakang, maka digunakanlah metode periode

waktu (Time Series), dengan rentang waktu yang digunakan tahun 1998 sampai

(26)

Perkembangan pembangunan Kota

Pertumbuhan penduduk Aktivitas pembangunan

Kota meningkat dirubah dengan pola hidup

manusia penggunaan lahan pada Kota

Takengon

Rencana Tata Ruang Kota Analisa pemanfaatan

lahan thn 1998-2007

REKOMENDASI

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kota

Dari segi geografis, kota dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan

kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan strata

sosial - ekonomi yang heterogen dan memiliki corak yang materialistis, atau dapat

pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan

non - alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan

corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan

daerah belakangnya (Bintaro, 1984).

Keadaan geografis suatu kota bukan hanya merupakan pertimbangan yang

esensial pada awal penentuan suatu lokasi, tetapi mempengaruhi fungsi dan bentuk

fisiknya. Jika para pendiri kota memiliki maksud untuk mengembangkan kota sebagai

kegiatan niaga kelautan di dalam permukimannya, yaitu sebagai tempat pertukaran

barang antara daerah dengan lautan, maka kota mestinya berlokasi ditepi pantai atau

sepanjang sungai yang memiliki akses kelaut dengan menggunakan kapal. Jika suatu

kota dimaksud untuk menampung para pekerja perusahaan galian di pegunungan,

maka kota mestinya dibangun cukup dekat dengan daerah penambangan untuk

menghemat waktu dan biaya menglaju. Sebuah kota diharapkan menjadi pusat

(28)

pada lokasi yang dekat dengan daerah atau pusat tersedianya sumber air bersih, pada

persimpangan jalan atau tempat yang dapat menyebarkan jalur pergerakan dari dan

keempat penjuru yang merupakan daerah pertanian (Branch, 1995).

Zahnd (1999) menggambarkan bahwa salah satu watak dalam kehidupan

perkotaan ialah kenyataan bahwa bentuk sebuah kota tidak akan pernah selesai. Suatu

perancangan kota yang berfokus pada suatu bentuk perancangan yang “terakhir”

sudah dapat dianggap gagal karena sebuah bentuk kota akan terus menerus berlanjut,

dan bentuk sebuah kota tidak akan pernah sempurna. Suatu perancangan kota yang

terfokus pada bentuk kota yang komplit akan mengalami kegagalan karena bentuk

suatu kota akan terus menerus dikembangkan. Hal ini dapat dilihat dari berubahnya

fungsi-fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan permukiman dan perdagangan

yang diawali dari bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya sektor

ekonomi, kota bukanlah sesuatu yang bersifat statis karena memiliki hubungan yang

erat dengan kehidupan pelakunya yang dilaksanakan dalam dimensi waktu. Oleh

karena itu dinamika perkembangan merupakan ekspresi dari perkembangan

masyarakat di dalam kota tersebut. Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana

seharusnya sebuah kota atau kawasan perkotaan dapat berkembang secara konkrit?

Dengan cara yang mana? Prinsip-prinsip manakah yang berlaku pada suatu tempat?

Kota juga merupakan pusat aglomerasi penduduk dengan berbagai kegiatan

baik ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dan di kota pada umumnya terjadi

pengelompokan kegiatan di lokasi-lokasi tertentu, sehingga di kota terjadi berbagai

(29)

dan pusat industri. Gejala yang kemudian timbul ialah terjadinya persaingan untuk

memperebutkan lokasi-lokasi di sekitar pusat kegiatan kota atau paling dekat dengan

pusat kegiatan. Gejala persaingan ini juga berlaku untuk daerah permukiman

penduduk, hingga yang menjadi permasalahan di perkotaan tidak hanya menyangkut

perbandingan perumahan antara jumlah rumah dengan jumlah penduduk yang terus

meningkat, tetapi juga menyangkut persaingan yang makin lama semakin intensif

dalam menempatkan lokasi yang dekat dengan pusat kota. Persaingan ini timbul

karena luas tanah yang sangat terbatas, dan manusia cenderung untuk memilih lokasi

yang terdekat dengan pusat kegiatan dan pusat fasilitas kota (Nasution dalam Gedy,

2001).

Colby dalam Yunus (1994) menjelaskan bahwa dalam suatu kota terdapat

kekuatan-kekuatan dinamis yang mempengaruhi pola penggunaan lahan kota.

Kekuatan-kekuatan tersebut dikelompokkan menjadi dua hal yaitu: Kekuatan

Sentripetal (Centripetal Forces) dan kekuatan Sentrifugal (Centrifugal Forces).

Kekuatan sentrifugal adalah kekuatan yang menyebabkan terjadinya pergerakan

peercepatan pertumbuhan kenampakan fisik kota kebagian terluar kota. Kekuatan

Sentripetal adalah kekuatan yang menyebabkan terjadinya pergerakan penduduk dan

fungsi-fungsi kota dari bagian luar kota menuju bagian dalam kota. Kekuatan tersebut

ada karena adanya faktor pendorong dan faktor penarik. Dalam kekuatan sentripental

kekuatan penariknya (full strength), hal ini disebabkan tingkat kemudahan yang

tinggi di kota misalnya, kemudahan aksesibilitas di pusat kegiatan kota, letak lahan

(30)

di perkotaan. Dalam kekuatan sentrifugal kekuatan pendorong (push strength) sangat rendah, hal ini disebabkan rendahnya tingkat kemudahan di daerah asal dibanding

dengan kota, terbatasnya fasilitas dan pelayanan yang dapat diakses oleh masyarakat,

serta rendahnya gengsi. Selanjutnya Yunus (1999) mengatakan bahwa percepatan

pertumbuhan kenampakan fisik kota tidak sama untuk bagian terluar kota, bentuk

morfologi kota sangat bervariasi, dari waktu kewaktu bentuk fisik kota selalu

mengalami perubahan sementara itu bentuk atau batas administrasi kota relatif tetap

untuk masa tertentu.

Jayadinata (1999) secara umum mengungkapkan pengertian kota sebagai

tempat yang mempunyai prasarana seperti, bangunan-bangunan tinggi dan besar,

banyaknya bangunan perkantoran, jalan-jalan yang lebar, pasar-pasar yang luas

beserta pertokoannya, adanya jaringan listrik dan jaringan pipa air minum dan

penduduknya sebagian besar bukan bernafkah sebagai petani, dan dalam pengertian

hukum di Indonesia terdapat 4 macam kota yaitu Kota sebagai Ibukota Negara, Kota

sebagai Ibukota Propinsi, Kota sebagai Ibukota Kabupaten dan Kotamadya, serta

Kota sebagai Kota Administratif.

Berdasarkan beberapa pengertian tentang kota yang telah diuraikan, maka

dapat diambil suatu rumusan bahwa kota merupakan tempat terjadi aglomerasi

penduduk dan tempat yang mempunyai infrastruktur yang lengkap dengan berbagai

kegiatan yang terdapat di dalamnya, seperti, kegiatan ekonomi, politik, sosial dan

(31)

2.2. Pertumbuhan Kota

Yunus (2005) menjelaskan bahwa pertumbuhan suatu kota dapat dilihat dari

berbagai segi atau pandangan, pengamat perkotaan dapat mengenali pertumbuhan

suatu kota atas dasar keadaan fisiknya, keadaan sosial kulturnya atau keadaan tekniko

kulturnya.

Houston, J.M dalam Yunus (2005), berpendapat dasar kenampakan

pertumbuhan suatu kota didasarkan pada sesuatu asumsi bahwa pertumbuhan suatu

kota secara kronologis akan tercermin dalam perkembangan fisikalnya dalam tiga

stadium, yaitu:

1) Stadium Pembentukan Inti Kota (Nuklear Phase)

Stadium ini merupakan tahap pembentukan apa yang kemudian dikenal CBD

(Central Business Distrik). Pada masa ini baru dirintis pembangunan bangunan- bangunan utama sebagai penggerak kegiatan yang ada pada pusat kota. Keadaan

ini tercermin pada kota-kota pada kawasan Eropa Barat pada masa pra abad 19.

pada masa itu daerah yang mula-mula terbentuk banyak ditandai dengan adanya

gedung-gedung yang berumur tua dengan bentuk-bentuk yang klasik serta

pengelompokan fungsi-fungsi penting dari kegiatan kota.

Pada taraf ini kenampakan Morfologikal kotanya akan berbentuk bulat/hampir

bulat/bujur sangkar/mendekati bujur sangkar.

Di samping itu perlu untuk diingat, berhubung pertumbuhan kota baru

(32)

hanya meliputi daerah yang sempit. Secara morfologikal, kenampakan

pertumbuhan kotanya adalah sebagai berikut:

Sumber: Yunus 2005

Gambar 2-1. Kota dalam Stadium Pembentukan Inti Kota

2) Stadium Formatif (Formative Phase)

Tahap ini mulai menunjukan ciri-ciri yang berbeda dengan tahap pertama pada

abad 19. Hal ini timbul sebagai dampak dari terjadinya revolusi industri yang

melanda di kawasan Eropa Barat.

Perkembangan industri pada saat itu mulai meluas dan perkembangan teknologi

juga merasuk ke sektor-sektor lain seperti transportasi, komunikasi, dan

perdagangan.

Makin majunya sektor industri, transportasi serta kegiatan perdagangan

mengakibatkan meluasnya dan makin kompleksnya keadaan pabrik-pabrik serta

(33)

tersebut beserta aspek-aspeknya paling banyak terjadi pada daerah-daerah yang

mempunyai derajad aksesibilitas yang tinggi. Dan sebagaimana diketahui

daerah-daerah seperti itu berada pada sepanjang jalur transportasi dan komunikasi.

Dampak pertumbuhan fisikal yang terlihat ialah kota terbentuk seperti Bintang

atau Gurita (Star Shaped/Octopus Shaped Like). Untuk lebih jelasnya lihat

gambar berikut:

Sumber: Yunus, 2005

Gambar 2-2. Kota dalam Stadium Formatip

3) Stadium Modern (Modern Phase)

Stadium ini mulai terlihat pada abad ke 20, sejalan dengan makin majunya

teknik elektronika. Makin majunya peralatan yang digunakan di segala bidang

khususnya peralatan komunikasi dan transportasi mengakibat seseorang tidak lagi

berpandangan bahwa bertempat tinggal didekat daerah tempat bekerja merupakan

(34)

bangunan, serta semakin berkurangnya tumbuh-tumbuhan dalam kota, dan

semakin berkecamuknya polusi (udara, air, tanah dan kehidupan sosial)

mendorong orang golongan-golongan tertentu untuk mengalihkan perhatiannya

keluar kota baik secara perorangan maupun secara kelompok. Mereka bermaksud

untuk memiliki sesuatu yang dianggap hilang dalam suasana kehidupan kota,

yaitu lingkungan kehidupan yang bebas dari segala macam bentuk polusi. Hal

inilah yang kemudian diketahui sebagai latar belakang munculnya kota-kota

satelit (Sub-Urban). Kenampakan kota tidak lagi sederhana seperti kenampakan

kota pada tahap pertama dan tahap kedua, namun jauh lebih kompleks. Bahkan

mulai timbul gejala-gejala penggabungan dengan pusat-pusat kegiatan yang lain,

baik itu kota satelit maupun kota-kota lain yang berdekatan. Mulai saat itu usaha

identifikasi kenampakan kotanya mulai mengalami kesulitan. Hal ini terletak pada

penentuan batas-batas fisikal terluar dari kota yang bersangkutan, di mana

penyebaran servis fungsinya telah masuk ke daerah-daerah pedesaan

di sekitarnya. Proses ini kemudian menunjukkan kegejala pembentukan

kegiatan-kegiatan yang baru sebagai sub-urban centres (satelite residential atreas).

Sebagai contoh nyata dapat dikemukakan di sini ialah Kota Sydney,

di mana kota tersebut setiap hari menerima Commuters dari daerah-daerah satelit

di sekitarnya yang mempunyai jarak ± 60 mil. Contoh lain adalah Kota London

yang mempunyai kondisi kurang lebih sama dengan Kota Sydney, dalam hal

inter-relasinya dengan kota-kota satelit di sekitarnya, di mana setiap hari

(35)

di sekitarnya berjarak antara 20 mil, sampai 40 mil dari Kota London. Sampai

saat ini di sekitar Kota London terdapat 8 buah kota satelit.

Berikut gambaran konsepsional mengenai keadaan suatu kota yang

terdapat dalam Stadium Modern.

Sumber: Yunus, 2005

Gambar 2-3. Kota dalam Stadium Modern

Kota-kota besar di Indonesia pun saat ini mulai menunjukkan gejala seperti

tersebut di atas. Hal ini telah disadari oleh para ahli-ahli perkotaan, sehingga mulai

dirumuskan suatu upaya pengembangan wilayah kota yang meliputi kota-kota kecil

di sekitarnya. Mengenai hal ini, perlu dicatat adanya konsep JABODETABEK untuk

wilayah Kota Jakarta, Konsep BANDUNG RAYA untuk pengembangan wilayah

Kota Bandung dan konsep GERBANG KARTASUSILA untuk pengembangan

wilayah Kota Surabaya dan sekitarnya.

Pada hakekatnya faktor yang menyebabkan pertumbuhan perkotaan

(36)

kota di negara dunia ketiga lainnya, yaitu pertambahan penduduk baik secara alamiah

maupun migrasi dari desa ke kota, kedua hal ini telah berakibat kepada semakin

meningkatnya kebutuhan akan berbagai fasilitas dan sarana pelayanan kota.

Perkembangan kota secara fisik dapat dilihat pada perkembangan kawasan

yang telah dibangun dengan mengikuti Pola Pita, Pola Linier, Pola Radial, Pola

Konsentrik Radial, yang semua itu mengikuti pola jaringan transportasi yang

memegang peranan yang sangat penting. Perkembangan kota mempunyai arah yang

berbeda tergantung pada kondisi kota dan kondisi sekitarnya, daerah perbukitan,

lautan dan rintangan alam lainnya dapat menghentikan lajunya perkembangan kota,

daerah yang mempunyai potensi ekonomi baik akan merupakan daerah yang

mempunyai daya tarik kuat untuk berkembang.

Menurut Bintarto (1983), ada tiga jenis perkembangan arah kota, yaitu:

1. Tampak bahwa daya tarik dari luar kota adalah pada daerah di mana kegiatan

ekonomi banyak menonjol, yaitu sekitar pelabuhan impor ekspor dan sekitar

hiterland yang subur. Harga tanah di sekitar jalur ini akan lebih tinggi dari pada harga tanah di sekitar pegunungan.

2. Kota yang mempunyai pusat-pusat industri dan kota dagang, mempunyai daya

tarik di sektor-sektor tersebut di samping itu daerah-daerah sekitar pusat

rekreasi tidak kalah menarik. Daerah sekitar pegunungan dan laut merupakan

daerah yang lemah untuk berkembang. Namun tidak berarti bahwa daerah ini

tidak mampu menarik penduduk untuk bermukim. Murahnya harga tanah,

(37)

3. Pertumbuhan kota ke segala arah, akan semakin mempercepat perkembangan

kota menjadi kota besar atau kota metropolitan.

2.2.1. Faktor-faktor Perkembangan Kota

Perkembangan kota pada hakekatnya menyangkut berbagai aspek baik secara

fisik maupun non fisik. Perkembangan adalah merupakan suatu proses, terjadinya

perubahan keadaan dari suatu waktu ke waktu yang lain. Untuk dapat melihat

perkembangan kota dengan baik maka harus dilakukan perbandingan keadaan kota

dalam beberapa periode dengan waktu yang lebih lama. Jika dilihat secara fisik maka

dengan membandingkan keadaan kota dalam beberapa periode akan ditemui

pola-pola perubahan guna lahan yang dapat mengindikasikan perkembangan suatu kota

(Yunus, 1991).

Menurut Bintaro (1983) bahwa pemekaran suatu kota tidak hanya dipengaruhi

oleh kondisi fisik saja, namun juga oleh adanya keuangan negara, modal dan jumlah

penduduk. Dan pemekaran kota pada umumnya digerakkan oleh pengaruh dari dalam

(internal) dan pengaruh dari luar (eksternal). Pengaruh dari dalam berupa rencana-rencana pengaruhnya dari perencana-rencanaan kota, desakan warga kota dari luar berupa

berbagai daya tarik bagi daerah belakang kota. Apabila kedua pengaruh ini bekerja

bersama-sama maka pemekaran akan terjadi lebih cepat. Pandangan ini sejalan

dengan pendapat Colby dalam Yunus (1991) yang melihat perkembangan kota dari

sisi penggunaan tanah. Di dalam kota terdapat kekuatan-kekuatan yang

mempengaruhi pola penggunaan lahan kota. Kekuatan-kekuatan tersebut

(38)

kekuatan sentripugal (centrifungal forces). Pada kekuatan sentripetal, kekuatan penarik misalnya tingkat kemudahan yang tinggi ke kota, kemudahan ke pusat

kegiatan, letaknya yang bergengsi, banyaknya fasilitas kota dan pelayanan kota dan

sebagainya. Pada kekuatan sentrifungal, kekuatan penarik misalnya adalah

lingkungan nyaman di luar kota, tersedianya lahan murah, rendahnya tingkat

kemacetan, bebas dari polusi dan sebagainya. Sedangkan kekuatan pendorong

misalnya mahalnya lahan di perkotaan, peraturan yang ketat, terbatasnya lahan,

tingginya polusi dan sebagainya.

Menurut Sutarjo (1989), Jika dilihat dari perkembangan kota, sebenarnya

terdapat beberapa faktor utama yang dapat menentukan perkembangan dan

pertumbuhan kota, yaitu:

a) Faktor manusia dan kegiatan manusia,

b) Faktor pola pergerakan antar kegiatan manusia.

Perkembangannya secara fisik dari kedua faktor tersebut termanifestasikan

pada perubahan akan tuntutan kebutuhan kerja. Faktor manusia menyangkut segi-segi

perkembangan tenaga kerja, perkembangan status sosial dan perkembangan

kemampuan teknologi, sedangkan faktor pola pergerakan adalah sebagai akibat dari

perkembangan yang disebabkan oleh faktor perkembangan penduduk, yang disertai

dengan perkembangan fungsi kegiatannya akan memacu pola perkembangan antara

(39)

2.2.2. Mekanisme Perkembangan Kota

Dalam perkembangannya kota tidak terjadi secara otomatis, artinya setiap

perkembangannya kota membutuhkan manusia yang bertindak. Keterlibatan manusia

tersebut dapat diamati di dalam dua skala atau perspektif yaitu dari atas serta dari

bawah. Skala dari atas memperhatikan aktivitas ekonomi, politik, (sistem keuangan,

kekuasaan dan lain-lain) yang bersifat agak abstrak, sedangkan skala bawah berfokus

secara konkrit pada perilaku manusia (cara kegiatan, pembuatannya dan lain-lain),

dan pada dasarnya perkembangan perkotaan perlu diperhatikan dari dua aspek, yaitu

perkembangan secara kuantitas dan perkembangan secara kualitas. Hubungan antara

kedua aspek tersebut sangat erat dan di dalam skala makro agak kompleks karena

masing-masing saling berpengaruh sehingga perkembangan suatu kota tidak boleh

dilihat terpisah dari lingkungan di mana kota tersebut berada (Zahnd, 1999).

Sumber: Zahnd, 1999.

(40)

Sujarto (1989), menyatakan ada tiga faktor yang sangat menentukan pola

perkembangan dan pertumbuhan kota, yaitu:

a) Faktor manusia,

b) Faktor kegiatan manusia, serta

c) Faktor pergerakan antara pusat kegiatan manusia yang satu dengan kegiatan

manusia yang lainnya.

Kemudian ketiga faktor tersebut akan termanifestasi dalam kebutuhan ruang.

Tuntutan kebutuhan ini akan tercermin dari perkembangan pemanfaatan ruang

yang kemudian persyaratan fisik akan menentukan perkembangan dan pertumbuhan

kota selanjutnya.

Berkaitan dengan ketiga faktor di atas, perkembangan kota dalam

mekanismenya juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor penentu yang terbagi atas

tiga bagian, yaitu:

a. Faktor penduduk yang menyangkut segi perkembangan penduduk kota,

segi-segi perkembangan tenaga kerja, perkembangan status sosial serta perkembangan

pengetahuan dan teknologi.

b. Faktor ekonomi menyangkut segi-segi kegiatan kerja, segi-segi kegiatan

perekonomian kota dengan hubungan regional yang luas.

c. Faktor pola perkembangan antara pusat-pusat kegiatan yang merupakan

(41)

Zahnd (1999) menerangkan secara teoritis dikenal tiga cara perkembangan

dasar dalam perkotaan dengan istilah teknis, yaitu:

1. Perkembangan Horizontal

Suatu cara perkembangan yang mengarah keluar. Artinya daerah bertambah

sedangkan ketinggian dan kuantitas lahan terbangun (coverage) tetap sama.

Perkembangan dengan cara ini sering terjadi pada daerah pinggiran kota, di mana

lahan masih lebih murah dan dekat dengan jalan raya yang mengarah ke kota

(pusat keramaian).

Sumber: Zahnd, 1999

Gambar 2-5. Perkembangan Horizontal

2. Perkembangan Vertikal

Suatu perkembangan yang mengarah keatas, Artinya daerah pembangunan dan

kuantitas lahan terbangun tetap sama. Sedangkan ketinggian bangunan-bangunan

bertambah. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi pada pusat kota dan

(42)

Sumber: Zahnd, 1999

Gambar 2-6. Perkembangan Vertikal

3. Perkembangan Interstisial

Suatu cara perkembangan yang dilangsungkan kedalam. Artinya daerah dan

ketinggian bangunan-bangunan rata-rata tetap sama sedangkan kuantitas lahan

terbangun (coverage) bertambah. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi

di pusat kota dan daerah pinggiran kota yang kawasannya sudah dibatasi dan

hanya dapat dipadatkan.

Sumber: Zahnd, 1999

(43)

Dan kembali Zahnd (1999), mengatakan bahwa fenomena kota sejak ribuan

rahun yang lalu sudah dikenal walaupun di berbagai macam suku bangsa kehidupan

perkotaan mempunyai arti yang berbeda. Berdasarkan sejarah dapat diamati

bagaimana dinamika kota dipengaruhi oleh perkembangan masyarakatnya dan

demikian pula sebaliknya. Artinya, perkembangan masyarakat terungkap dalam

perkembangan kota. Dinamika ini terjadi secara alamiah karena masyarakat yang

hidup selalu mempunyai kecenderungan untuk mengekspresikan kehidupan melalui

perkembangannya.

2.3. Penduduk dan Penggunaan Lahan perkotaan

Akibat terjadinya pertambahan penduduk maka terjadilah perubahan

penggunaan fungsi lahan yang dicirikan dengan penggunaan lahan atau ruang

di dalam kota secara intensifikasi, yaitu menggunakan ruang yang ada dengan

sedemikian rupa sehingga menjadi tepat guna dan lebih berdaya guna (efektif dan

efesien). Hal ini disebabkan oleh langkanya ruang kegiatan yang dapat disediakan

bagi perkembangan sektor-sektor kegiatan di dalam kota. Intensifikasi yang terus

menerus akan mengakibatkan persaingan antara penggunaan ruang kota yang

semakin tajam. Persaingan yang semakin tajam ini melahirkan apa yang disebut

dengan mekanisme pasar yang secara garis besar akan membawa perubahan pada

(44)

Berkenaan dengan pemanfaatan lahan kota, menurut Reksohadiprojo dan

Karseno (1994), pola pemanfaatan lahan di suatu kota dengan kota yang lain tidak

akan pernah sama karena pemanfaatan lahan kota banyak dipengaruhi:

a. Pemanfaatan lahan kota yang dipegaruhi oleh skala ekonomi dan aglomerasi.

Karena jarang menemui tipe kota dengan pusat kota yang kosong, melainkan

bagian tengah padat dan bagian luar yang kurang kepadatannya.

b. Pemanfaatan lahan kota yang dipengaruhi oleh letak yang strategis.

Kecenderungan untuk memilih lokasi yang dekat dengan pusat kegiatan seperti

tempat kerja, belanja, hiburan dan lain-lain, karena alasan biaya transportasi

seperti diketahui bahwa biaya transportasi tergantung pada jarak dan berbagai

kesenangan (amenities).

c. Pemilihan lokasi yang lingkungannya menyenangkan untuk melakukan kegiatan.

Kota tumbuh berkembang dengan diwarnai tingginya konsentrasi penduduk

dan kegiatan di pusat kota. Namun demikian keterbatasan lahan pusat kota yang tidak

seimbang dengan beban kota yang harus ditanggung, kemudian pusat kota kurang

mampu memberikan harapan bagi penghuninya untuk bertempat tinggal atau

berusaha. Dari uraian tersebut di atas timbul beberapa fenomena seperti beberapa

spekulasi tanah karena hasil yang diperoleh pada masa yang akan datang diharapkan

memberi hasil yang lebih baik dari keadaan sekarang. Kecenderungan untuk mencari

tempat yang dekat dengan lokasi kegiatannya maka kawasan ini berkembang dengan

(45)

2.4. Tata Guna Lahan

Menurut Jayadinata (1999), tata guna tanah/lahan perkotaan adalah suatu

istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian ruang dalam perencanaan

kota, misalnya: kawasan tempat tinggal, kawasan tempat bekerja, dan kawasan

rekreasi.

Tata guna lahan juga merupakan penggunaan lahan dengan kebijakan umum

(publik policy) dan program tata ruang adalah cara untuk memperoleh manfaat total dalam pemanfaatan ruang secara berkelanjutan dari kemampuan total lahan yang

tersedia (Notohadiprawiro, 1990) jadi dapat di artikan bahwa Tata Ruang adalah

sebuah sarana untuk menerapkan tata guna lahan secara konsep. Maka tata ruang

tunduk pada tata guna lahan, yang berarti tata ruang tidak dapat dijalankan tanpa tata

guna lahan. Tujuan tata guna lahan dalam menetapkan pelaksanaan tata ruang, yaitu:

1. Tidak mengarah kepada memaksimumkan hasil interaksi antara kegiatan dan

lahan dalam setiap pasangan budidaya (interprise) dengan tapak (site), akan tetapi

mengoptimumkan jumlah manfaat yang dapat diperoleh dengan sumbangan dari

semua pasangan budidaya-tapak.

2. Manfaat tidak diperuntukan bagi individu pengguna lahan semata-mata tanpa

mengindahkan kepentingan perorangan akan tetapi memberi manfaat pada setiap

pihak secara sebanding.

(46)

4. Jika ada pergeseran fungsi lahan hanya boleh dilakukan di dalam batas-batas yang

masih dapat diterima berdasarkan program pengembangan lahan (Land

Development) berjangka panjang.

2.5. Perubahan Struktur Ruang Kota

Struktur ruang kota dapat dilihat dari jenis-jenis mata pencaharian penduduk

atau warga kota. Sudah jelas bahwa mata pecaharian penduduk kota bidang

Non-agraris seperti pekerjaan-pekerjaan di bidang perdagangan, kepegawaian,

pengangkutan dan bidang jasa serta lainnya. Dengan demikian struktur dari

jenis-jenis mata pencaharian akan mengikuti fungsi dari suatu kota, misalnya kota yang

akan dibangun adalah kota industri maka struktur ruang kota dan mata pencaharian

penduduk atau warga kota tersebut akan mengarah atau cenderung kearah jenis

kegiatan industri, namun demikian jarang sekali suatu kota memiliki fungsi tunggal,

biasanya fungsi-fungsi lain seperti kota dagang, kota pemerintahan, kota budaya dan

sebagainya juga terdapat dalam suatu kota, walaupun fungsi-fungsi ini tidak begitu

dominan. Dalam keadaan tersebut struktur ruang kota dan penduduk dari segi mata

pencaharian akan mengalami pariasi (Bintaro, 1984).

Intensitas perubahan struktur tata ruang kota dan pola penggunaan lahan

di perkotaan sangat dipengaruhi juga oleh jarak dan aksesibilitas ke pusat kota. Hal

ini mengakibatkan perkembangan penggunaan lahan dapat dibedakan berdasarkan

(47)

a. Perkembangan lahan akan berkurang dalam intensitasnya dengan bertambah

jauhnya jarak dari Central Buesness District (CBD) atau pusat kota.

b. Lahan yang tersedia yang sudah terpakai akan berkurang kerapatannya (kegiatan

persatuan area) dengan bertambahnya jarak ke pusat kota.

c. Jumlah yang proporsional dari lahan-lahan yang dipakaikan untuk penggunaan

lahan yang berbeda-beda akan selalu stabil (Morlok, 1985).

Di dalam perencanaan pola penggunaan lahan, kota dibagi dalam beberapa

Bagian Wilayah Kota (BWK) yang disebut juga penzoningan. Zoning adalah bentuk

pengaturan kota, di mana kota dibagi dalam beberapa kawasan, yang masing-masing

mempunyai seperangkat pembatas-pembatas yang mengatur lahan (tanah) yang dapat

difungsikan. Misalnya suatu kawasan bisa dizonakan sedemikian hanya untuk

rumah-rumah satu keluarga dengan kepadatan yang tidak lebih dari dua rumah-rumah per-are yang

dapat dibangun, sedangkan zona-zona lain ditetapkan untuk perdagangan, kegiatan

industri, pengembangan perumahan dengan kepadatan lebih tinggi atau

penggunaan-penggunaan lainnya. Penzoningan dapat digunakan untuk mengendalikan penampilan

estika dari suatu kawasan (Wizling dalam Catanase, 1989).

Zoning juga dapat memberikan perlindungan kepada bangunan. Peraturan ini

dapat menentukan batas atas jumlah bangunan yang boleh didirikan di atas suatu

tapak (site), batas tersebut dinyatakan dalam angka banding luas lantai bangunan

dengan luas tapak (Floor Area Ratio = FAR), yang menunjukkan hubungan antar luas

lantai terbangun dengan luas tapak bangunan. Zoning juga dapat mempengaruhi

(48)

yang mungkin terjadi di atas tapak yang bersangkutan dan dengan demikan

mempunyai pengaruh yang langsung atas bentuk bangunan. Jarak antara dinding

kepagar minimum, atau bangunan di sepanjang jalan yang sudah dibangun perlu

diusahakan untuk meletakkan menurut garis jalan. Tinggi maksimum yang mungkin

ditentukan, kesejumlah batas yang mengatur tinggi bangunan dalam hubungan

dengan pembatas jarak bangunan ke pinggir jalan. Kebutuhan adanya tempat-tempat

parkir dengan adanya peraturan yang mengizinkan adanya tempat parkir. Secara

umum syarat-syarat zoning harus berlaku sama untuk semua bangunan dalam suatu

distrik, jadi ada pembatas tentang bagaimana masyarakat memperindah tempat

tinggal dan lingkungan mereka (Hack dalam Catanase, 1986).

Pola struktur tata ruang kota menurut “Teori Poros” yang dikemukakan oleh

Babcock dalam Yunus (2000), menekankan bahwa pentingnya peran transportasi

dalam mempengaruhi struktur keruangan kota. Teori ini merupakan penyempurnaan

teori kosentrik yang mengasumsikan bahwa mobilitas fungsi-fungsi dan penduduk

mempunyai intensitas yang sama dalam konfigurasi relief kota yang seragam,

kenyataan bahwa yang mempengaruhi mobilitas adalah poros transportasi yang

menghubungkan pusat dengan daerah bagian luarnya. Keberadaan transportasi

mengakibatkan terjadinya distorsi pola konsentris, karena sepanjang rute transportasi

tersebut berasosiasi dengan mobilitas yang tinggi. Daerah yang dilalui transportasi

akan mempunyai perkembangan fisik yang berbeda-beda dengan daerah-daerah

di luar jalur transportasi. Akibat keruangan yang timbul adalah suatu bentuk

(49)

Dalam hal ini aksesibilitas diartikan dalam perbandingan antara waktu dan biaya

(Time-Coast Term) dalam hubungannya dengan sistem transportasi yang ada.

2.6. Penggunaan Lahan di Pinggiran Danau

Menurut Fajri Zul EM dan Aprilia Ratu dalam kamus lengkap bahasa

Indonesia pengertian penggunaan lahan pinggiran danau ialah: Cara menggunakan

tanah yang sudah dibuka untuk digunakan sebagai lahan pertanian dan keperluan

lainnya yang letaknya berada di bagian tepi suatu danau.

Masih menurut Fajri Zul EM dan Aprilia Ratu dalam kamus lengkap bahasa

Indonesia pengertian danau ialah: Tempat yang digenangi air yang sangat luas yang

dikelilingi oleh daratan.

Menurut Dwidjoseputro D (1990), danau merupakan genangan air yang

luasnya dapat mencapai ribuan kilometer persegi, yang dibagi atas tiga zona, yaitu:

a) Zona pinggiran (Littoral zone), merupakan daerah tepi danau yang kaya akan

penghuni berupa tumbuhan tingkat tinggi yang akarnya menjangkau dasar tepi

danau.

b) Zona tengah (Limnetic zone), merupakan daerah perairan yang luas dan

terbuka di bagian tengah danau.

c) Zona dasar (Profundal zone), merupakan bagian danau yang agak jauh dari

dari zona pinggiran, yang terletak di bawah zona tengah sampai pada dasar

(50)

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63/PRT/1993

pengertian danau ialah: Suatu ekosistem keairan alamiah, yang berupa wadah air dan

ekologi yang hidup padanya, yang sekelilingnya dibatasi oleh adanya daerah garis

sempadan danau; daerah sempadan danau merupakan daerah di luar batas genangan

danau tertinggi sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) meter dari titik pasang tertinggi

ke arah darat, sampai dengan garis sempadan danau, mencakup daerah potensi

longsor daerah pengamanan danau untuk kepentingan konservasi ekosistem danau,

sedangkan pengelolaan dan pemanfaatan daerah sempadan danau dilaksanakan oleh

Pemerintah/Propinsi/Kabupaten/Kota, dan badan hukum tertentu, sesuai dengan

wewenang dan tanggung jawab masing-masing terhadap wilayah yang bersangkutan.

Pemanfaatan lahan di daerah sempadan dapat dilakukan oleh masyarakat

untuk kegiatan-kegiatan tertentu sebagai berikut:

a) Untuk budidaya pertanian, dengan jenis tanaman yang diizinkan;

b) Untuk kegiatan niaga, penggalian, dan penimbunan;

c) Untuk pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan, serta

rambu-rambu;

d) Untuk pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon dan pipa air minum;

e) Untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan baik umum

maupun kereta api;

f) Untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan

kemasyarakatan yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian

(51)

g) Untuk pembangunan prasarana lalu lintas air dan bangunan pengambilan dan

pembuangan air.

Pada daerah sempadan danau dilarang:

a) Membuang sampah, limbah padat atau cair;

b) Mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha.

Sedangkan menurut Connell & Miller (1995), danau merupakan wadah air

yang terbentuk secara alamiah, yang merupakan salah satu bentuk ekosistem yang

menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan

habitat laut dan daratan, dan bagi manusia kepentingannya jauh lebih berarti

dibandingkan dengan luas daerahnya, untuk memenuhi kepentingannya, manusia

merubah lingkungan sekitar danau untuk dicocokkan dengan cara hidup dan

bermukim manusia. Ruang dan tanah di sekitar kawasan ini dirombak untuk

menampung berbagai bentuk kegiatan manusia seperti permukiman, prasarana jalan,

saluran limbah rumah tangga, tanah pertanian, rekreasi dan sebagainya. Sehingga

seringkali terjadi pemanfaatan danau dan konservasi danau yang tidak berimbang,

di mana pemanfaatan danau lebih mendominasi sumberdaya alam danau dan kawasan

daerah aliran sungai (watershed), yang mengakibatkan danau berada pada kondisi

suksesi, yaitu berubah dari ekosistem perairan ke bentuk ekosistem daratan.

Pendangkalan akibat erosi, eutrofikasi merupakan penyebab suksesi suatu perairan

danau. Hilangnya ekosistem danau mengakibatkan kekurangan cadangan air tanah

pada suatu kawasan/wilayah yang bakal mengancam ketersediaan air bersih bagi

(52)

lingkungan hidup yang di dalamnya terdapat manusia dan alam terancam tak dapat

berlanjut.

Keberadaan ekosistem danau memberikan fungsi yang menguntungkan bagi

kehidupan manusia (rumah tangga, industri, dan pertanian). Beberapa fungsi penting

ekosistem ini, sebagai berikut:

1) Sebagai sumber plasma nuftah yang berpotensi sebagai penyumbang bahan

genetik;

2) Sebagai tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora/fauna yang penting;

3) Sebagai sumber air yang dapat digunakan langsung oleh masyarakat

sekitarnya (rumah tangga, industri dan pertanian);

4) Sebagai tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan, aliran

permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah tanah;

5) Memelihara iklim mikro, di mana keberadaan ekosistem danau dapat

mempengaruhi kelembaban dan tingkat curah hujan setempat;

6) Sebagai sarana transportasi untuk memindahkan hasil-hasil pertanian dari

tempat satu ke tempat lainnya;

7) Sebagai penghasil energi melalui PLTA;

8) Sebagai sarana rekreasi dan objek pariwisata.

Dua hal lain yang ditawarkan ekosistem danau adalah:

1) Sebagai sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan

(53)

2) Sebagai sistem pembuangan yang memadai dan paling murah (Connell &

Miller, 1995).

Sebagai sumber air paling praktis, danau sudah menyediakannya melalui

terkumpulnya air secara alami melalui aliran permukaan yang masuk ke danau, aliran

sungai-sungai yang menuju ke danau dan melalui aliran di bawah tanah yang secara

alami mengisi cekungan dimuka bumi ini. Bentuk fisik danau pun memberikan daya

tarik sebagai tempat membuang yang praktis. Jika kita membiarkan semua demikian,

maka akan mengakibatkan danau tak akan bertahan lama berada di muka bumi. Saat

ini kita melihat ekosistem danau tidak dikelola sebagaimana mestinya, sebaliknya

untuk memenuhi kepentingan manusia, lingkungan sekitar danau diubah untuk

(54)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Takengon Kabupaten Aceh Tengah Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.

Kabupaten Aceh Tengah terdiri dari 14 kecamatan, dari jumlah kecamatan

tersebut tiga kecamatan masuk dalam sub wilayah Kota Takengon yaitu Kecamatan

Bebesen, Kecamatan Lut Tawar, Kecamatan Kebayakan.

Sumber: Bappeda Kabupaten Aceh Tengah 2007

(55)

Adapun yang menjadi wilayah studi atau penelitian ialah BWK Pusat Kota

Takengon. Hal ini disebabkan BWK Pusat Kota Takengon merupakan BWK yang

menjadi pusat kota dan bersinggungan langsung dengan Danau Laut Tawar.

BWK Pusat Kota Takengon

Sumber: RTRWK Aceh Tengah 2006

Gambar 3-2. Peta Lokasi Penelitian (BWK Kota Takengon)

3.2. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini data yang dipergunakan ialah data yang bersifat primer

dan data yang bersifat sekunder.

1. Data primer merupakan data pendukung hasil analisis penggunaan lahan di Kota

Takengon dan daerah pinggiran Danau Laut Tawar. Pengumpulan data primer

(56)

penggunaan lahan pada daerah pinggiran danau bersinggungan langsung dengan

kawasan perkotaan, dan berdasarkan hasil analisis peta perubahan penggunaan

lahan. Selain itu pengamatan kondisi tata ruang Kota Takengon pada saat ini dan

arahan pengembangan kota serta pergeseran pusat pelayanan yang mengarah pada

daerah pinggiran danau. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung

kelapangan serta didokumentasikan dengan penggunaan alat fotografi, dan

wawancara dengan tokoh-tokoh atau pemuka masyarakat serta pihak-pihak yang

terkait untuk dijadikan sampel.

2. Data Sekunder diperoleh dari; Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan data

perkembangan, distribusi, dan jumlah penduduk pada Kota Takengon dari tahun

1998 sampai dengan tahun 2007, Kantor Badan Perencanaan Pemerintah Daerah

(Bappeda) Kabupaten Aceh Tengah berupa buku Rencana Tata Ruang Wilayah

Kota Takengon.

Data primer dan sekunder yang telah didapatkan tersebut, dijabarkan kedalam

beberapa variabel yang dapat diukur serta terkait dengan perkembangan Kota

Takengon dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2007.

3.3. Materi Penelitian

Materi penelitian meliputi semua materi yang berhubungan dengan

perkembangan dan penggunaan lahan pingiran danau sebagai lahan perkembangan

Kota Takengon, dalam hal ini meliputi beberapa variabel, yaitu:

(57)

2. Kependudukan yaitu jumlah penduduk, kepadatan penduduk, persebaran

penduduk, pertumbuhan penduduk.

3. Sosial ekonomi yaitu fasilitas ekonomi, fasilitas sosial budaya, infrastruktur dan

utilitas.

4. Kebijakan pemerintah kabupaten kota.

3.4. Rancangan Penelitian

Penelitian tesis ini secara umum dilaksanakan sebagai berikut:

1. Tahap persiapan dalam penelitian meliputi, studi kepustakaan berupa informasi

awal yang berkaitan dengan fokus yang akan dibahas.

2. Tahap pelaksanaan meliputi, mengadakan survei instansional guna untuk

mendapatkan dan mengumpulkan data sekunder dari berbagai instansi terkait.

Instansi yang dirujuk untuk mendapatkan data tersebut ialah. Bappeda Kabupaten

Aceh Tengah, BPS Kabupaten Aceh Tengah, Dinas PU Kabupaten Aceh Tengah

dan para Camat Kabupaten Aceh Tengah yang lokasi wilayah administrasinya

masuk dalam studi seperti Camat Laut Tawar, Camat Bebesen.

3. Tahap Evaluasi meliputi, pengevaluasian data yang telah terkumpul dan apabila

terdapat data yang kurang akurat, maka akan dilakukan penyempurnaan

kelengkapan data dengan survei ulang.

4. Tahap Analisis meliputi, berbagai penilaian klasifikasi yang disajikan dalam

bentuk tabel dan peta yang disesuaikan dengan periodesasi perkembangan Kota

(58)

5. Tahap Perumusan meliputi, penulisan laporan akhir dari proses penganalisaan

yang dirangkum dalam kesimpulan studi.

3.5. Parameter, Variabel dan Indikator Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini variabel dan indikator yang digunakan dapat

dilihat pada Tabel 3.1 di bawah ini.

Tabel 3-1. Parameter, Variabel dan Indikator Penelitian

No Parameter Variabel Indikator

1 Fisik Perkembangan fisik kota

dan perkembangan penggunaan lahan

a. Luas wilayah terbangun b. Luas perubahan penggunaan

lahan

c. Percepatan penggunaan lahan

2 Kependudukan Perkembangan penduduk a. Jumlah penduduk

b. Pertumbuhan penduduk c. Kepadatan penduduk d. Sebaran penduduk

3 Kedudukan Kota Fasilitas skala Regional a. Pelayanan daerah Hinterland

3.6. Metode Analisis Superimpose

Metode ini menganalisa perubahan penggunaan lahan di suatu lokasi dengan

menggunakan peta penggunaan lahan. Dengan cara menggunakan peta penggunaan

lahan Kota Takengon dengan skala yang sama dari tahun yang berbeda, yaitu peta

dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2007, di mana peta tahun 2007 di Superimpose

(59)

peta tahun 1998, maka akan didapat perubahan penggunaan lahan dan arah

(60)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Kota Takengon

4.1.1. Sejarah Perkembangan Kota Takengon

Kota Takengon mulai berkembang sejak tahun 1904, dengan datangnya

bangsa Belanda mula-mula pada tahun 1901. Permukiman hanya berada di sekitar

Kampung Hakim, Kampung Bale, Kampung Asir-asir, dan Kampung Kebayakan

dengan jumlah penduduk ± 100 orang penduduk, yang didiami oleh Suku Gayo.

Kemudian pada tahun 1904 Bangsa Belanda datang yang mula-mula menyamar

sebagai orang beragama, tetapi kemudian dengan 6 kompi tentara Belanda menyerang

dengan menduduki permukiman yang berada di Kampung Hakim, Kampung Bale

dan diganti fungsi oleh Bangsa Belanda menjadi Tangsi. Pada tahun 1908 mulai

berdatangan Bangsa China, Suku Minang dan Suku Mandailing yang kemudian

mendirikan pasar yang bernama Ampun Raja Tlang.

Pada tahun 1910 Bangsa Belanda mendirikan pendopo dan membuka hutan

sampai pada daerah pinggiran Danau Laut Tawar, yang digunakan sebagai ruang

terbuka untuk pemandangan ke Danau Laut Tawar. Dari tahun 1910-1945 kota terus

berkembang kearah utara, setelah kemerdekaan banyak urbanisasi masuk kota dari

pedalaman-pedalaman dan terus membangun di daerah yang dulunya dilarang oleh

(61)

Sumber: Rencana Tata Kota Takengon 1998

Gambar 4-1. Stadia Perkembangan Kota Takengon

4.1.2. Letak dan Kondisi Geografis Kota Takengon

Kota Takengon merupakan ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Terletak ditepi

Danau Laut Tawar dengan jarak tempuh dari ibukota provinsi 423 km dengan rentang

waktu menggunakan jalan darat 7-8 jam. Secara geografis Kota Takengon terletak

antara 4° 10 '30" – 5° 57' 40" LU dan 95° 15' 20" – 97 22' 25" BT dengan jumlah

penduduk pada tahun 2006 sebanyak 64.673 jiwa.

Kota Takengon terdiri dari 3 kecamatan dari 14 kecamatan yang ada dalam

Kabupaten Aceh Tengah dan terdapat 71 desa dan 2 kelurahan pada ke 3 kecamatan

(62)

Dari 3 kecamatan tersebut Kota Takengon memiliki luas ± 203.09 km2 dan

jumlah penduduk 64.673 jiwa, dan Kota Takengon dibagi menjadi 5 buah BWK

(Bagian Wilayah Kota).

Tabel 4-1. Luas Wilayah Kota Takengon Tahun 2006 Luas Wilayah No Nama Kecamatan Jumlah-Penduduk

Thn 2006 (Km2) %

4.1.3. Struktur Ruang Kota Takengon

Untuk mengefektifkan pemanfaatan ruang pada Kota Takengon, maka

pembagian wilayah kota dibagi dalam 5 Bagian Wilayah Kota (BWK) dan kemudian

masing-masing BWK dibagi lagi dalam unit-unit wilayah yang lebih kecil yaitu unit

lingkup fasilitas. Unit lingkungan diatur hirarkinya mulai dari lingkungan terkecil

dengan pusat pelayanan lingkungan sampai dengan hirarki tertinggi yakni pusat kota

dengan skala pelayanan untuk seluruh Kota Takengon.

Di dalam alokasi ruang, sejumlah penduduk yang bermukim di suatu unit

lingkungan permukiman tingkat tertentu pada wilayah penelitian dalam prakteknya

bisa juga memperoleh aksesibilitas terhadap pelayanan yang lebih tinggi yang

diberikan oleh sejumlah fasilitas tertentu dari hirarki yang di atasnya (lihat Gambar

(63)

Gambar 4-2. Pembagian BWK Kota Takengon

4.1.3.1.Hirarki Pusat Pelayanan BWK

Pusat-pusat pelayanan kegiatan kota yang dikembangkan mempunyai hirarki,

yaitu:

a. Pusat Kota

Pusat utama Kota Takengon adalah BWK Takengon Pusat Kota yang

memberikan pelayanan utama dengan skala pelayanan seluruh wilayah Kota

Takengon yang berisi fasilitas-fasilitas yang perlu untuk mendukung kebutuhan

sejumlah penduduk kota. Untuk Kota Takengon, pusat utama Kota Takengon

(64)

(sub pusat kota). Untuk itu pusat utama kota ini mengemban dua macam fungsi,

yaitu skala kota dan BWK khususnya untuk BWK Pusat Kota.

b. Pusat BWK (Bagian Wilayah Kota)

Pusat pelayanan sub pusat kota ini dimaksudkan untuk melayani sejumlah

penduduk maksimal yang diperkirakan dapat ditampung dalam suatu wilayah

pelayanan optimal. BWK ini setingkat kecamatan (dalam struktur pelayanan

administrasi Departemen Dalam Negeri). Penentuan batas wilayah pelayanan sub

pusat kota dibatasi oleh jarak jangkau pelayanan optimal yang umum bagi suatu

BWK dan jumlah penduduk pendukung optimal yang dilayani. Sub pusat kota

yang dikembangkan di Kota Takengon adalah pusat-pusat BWK, yaitu pusat

BWK Takengon Timur, Takengon Utara, Takengon Selatan dan Takengon Barat.

Fungsi utama dari pusat BWK adalah fungsi sekunder, meliputi: perdagangan

skala BWK dan pelayanan sosial skala BWK.

c. Sub BWK dimaksudkan untuk melayani kebutuhan penduduk dengan tingkat

kelengkapan yang sesuai untuk suatu unit lingkungan yang lebih kecil dari BWK.

Sub BWK ini setingkat dengan kelurahan (dalam struktur pelayanan administrasi

Departemen Dalam Negeri). Tingkat kelengkapan dan keragaman jenis fasilitas

yang dimilikinya lebih rendah dibandingkan dengan sub pusat kota. Artinya,

pusat Sub-BWK dimaksudkan untuk melayani jumlah penduduk yang lebih

sedikit dibandingkan dengan sub pusat kota/pusat BWK. Jumlah Sub-BWK yang

dikembangkan pada masing-masing BWK tidak sama antara satu bagian wilayah

Gambar

Gambar 1-3. Visual Kondisi Lingkungan Pinggiran Danau Laut Tawar
Gambar 1-5. Kerangka Berpikir
Gambar 2-1. Kota dalam Stadium Pembentukan Inti Kota
gambar berikut:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat fungsi-fungsi yang diemban oleh Kawasan Danau Laut Tawar dalam kerangka wilayah Kabupaten Aceh Tengah, penataan ruang kawasan ini sangat penting untuk dilakukan

Pola Spasial Perubahan Guna Lahan di Daerah Pinggiran Kota Studi Kasus Pinggiran Kota di Desa Sidoarum Kabupaten Sleman dan sekitarnya.. Tesis Magister Perencanaan

Perubahan pola penggunaan lahan ini disebabkan oleh faktor kemiskinan petani dan kecilnya luas lahan menyebabkan terjadinya perubahan pengelolaan dari hutan menjadi

Perubahan pola penggunaan lahan memberi dampak pada pengurangan kapasitas resapan, terutama dilihat dari proporsi perubahan luasan pertanian ini dikawasan

Berdasarkan data pada tabel tersebut, didapati jumlah responden yang yaitu pengunjung Danau Laut Tawar dari Kabupaten/Kota dalam 1 Provinsi, merupakan asal daerah

Perubahan pola penggunaan lahan memberi dampak pada pengurangan kapasitas resapan, terutama dilihat dari proporsi perubahan luasan pertanian ini dikawasan

Perubahan penggunaan lahan secara keseluruhan, perkembangan dan perubahan pola tata guna lahan pada kawasan permukiman di wilayah perkotaan berkembang secara pesat

2,92%, sedangkan luas Lahan pertanian (perkebunan, perkebunan campuran, pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering campur semak) bertambah sebesar 7,9 %, dan permukiman