ANALISIS DETERMINAN PENERIMAAN PAJAK
PENGHASILAN (PPh) ORANG PRIBADI
DI PROVINSI SUMATERA UTARA
TESIS
Oleh
ISMAIL FAHMI NASUTION
067018052/EP
S
E K O L A H
P A
S C
A S A R JA
NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS DETERMINAN PENERIMAAN PAJAK
PENGHASILAN (PPh) ORANG PRIBADI
DI PROVINSI SUMATERA UTARA
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ISMAIL FAHMI NASUTION
067018052/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS DETERMINAN PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) ORANG PRIBADI DI PROVINSI SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa : Ismail Fahmi Nasution
Nomor Pokok : 067018052
Program Studi : Ekonomi Pembangunan (EP)
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Drs. Iskandar Syarief, M.A)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal: 23 Desember 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Murni Daulay, M.Si
Anggota : 1. Drs. Iskandar Syarief, M.A
2. Dr. Rahmanta, M.Si
3. Drs. Rujiman, M.A
ABSTRAK
Pajak merupakan sumber pemasukan utama APBN yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Untuk lebih mengoptimalkan penerimaan negara di sektor perpajakan, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah salah satunya adalah pemberlakuan sejak 1 Januari 1984, Reformasi Perpajakan dengan mengubah sistem pemungutan
pajak "valuasi pemerintah" (official assessment) dalam pengumpulan pajak diganti
menjadi "penghitungan diri" (self-assessment). Tujuan utama reformasi perpajakan
adalah untuk menegakkan kemandirian ekonomi dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih mengerahkan kemampuan sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi, inflasi, dan Pendapatan per Kapita terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi di Provinsi Sumatera Utara.
Penelitian dilakukan di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara II. Jenis data
yang digunakan adalah data sekunder berupa time series tahun 2000 – 2007 yaitu data
Pajak Penghasilan Orang Pribadi, Jumlah Wajib Pajak, Inflasi, dan Pendapatan
Perkapita. Model Ekonometrika yang digunakan adalah Autoregressive dengan
Metode Ordinary Least Square.
Hasil Penelitian menunjukkan, secara serempak (bersama) variabel-variabel independen (Jumlah Wajib Pajak, Inflasi periode sebelumnya, dan Pendapatan Perkapita berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen (Pajak Penghasilan Orang Pribadi). Secara parsial variabel-variabel independen yaitu Pendapatan Perkapita mempunyai pengaruh positif, signifikan dan terbesar terhadap
variabel dependen (Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi) di Sumatera Utara.
Variasi variabel-variabel independen (Jumlah Wajib Pajak, Inflasi periode sebelumnya, dan Pendapatan Perkapita) dapat menjelaskan variabel dependen (Pajak Penghasilan Orang Pribadi) sebesar 85,2 persen.
ABSTRACT
Tax is a major source for Indonesian State Budget (APBN), and used to finance the state’s expenditure, routine and development expenditure. The government has done many efforts to increase the income from tax, such as Tax Reform, January 1, 1984; in the Tax Reform the government changed the technique of collecting Personal Income Tax, from official assessment to self-assessment. The main purpose of the tax reform is to build the economic self reliance in supporting the national development. This research discusses the effect of the number of tax payer, inflation, income per capita on personal income tax in North Sumatera.
This research was held in Regional Tax Office of North Sumatera I and Regional Tax Office of North Sumatera II. The data used in this research is secondary data in time series from 2000-2007, that is data Personal Income Tax, Tax Payers, Inflation Previous Period, and Income Percapita. The econometric model employed is autoregressive with Ordinary Least Square Method (OLS).
The result showed the variation of independent variables (WP, INFt-1, and
YKAP) can explain the dependent variable (PPH OP) in 85, 2 percent that
simultaneously independent variables (WP, INFt-1, and YKAP) significantly
influenced on the dependent variable (PPH OP), and partially independent variables (YKAP) had the most dominant influenced on the dependent variable (PPH OP).
KATA PENGANTAR
Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah serta bimbingan-Nya selama mengikuti perkuliahan dan
menyelesaikan tesis ini, yang berjudul “Analisis Pengaruh Produk Domestik Bruto
terhadap Perubahan Struktur Ekonomi di Indonesia”. Penulis menyadari bahwa tanpa
bantuan berbagai pihak tidak mungkin tesis dapat terselesaikan. Untuk ini
perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program
magister.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc selaku Direktur dan Prof. Dr. Ir. A.
Rahim Matondang, MSIE dan Dr. Pandapotan Nasution, MS selaku Wakil
Direktur I dan Wakil Direktur II Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, atas kesempatan kami menjadi mahasiswa program magister pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si selaku Ketua Program Studi Magister Ekonomi
Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara atas
kesempatan kami untuk menyelesaikan pendidikan program magister.
4. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si dan Bapak Iskandar Syarief, M.A selaku
pembimbing yang telah memberikan perhatian dan dorongan melalui
bimbingan dan saran dalam penyelesaian tesis ini.
5. Seluruh dosen dan Guru Besar pada Program Studi Ekonomi Pembangunan
Sekolah Pascasarjana USU.
6. Agus Edy Rangkuti, SE, M.Si, atas segala bantuan dan dukungan kepada
7. Saepudin, S.Sos, M.Si atas segala bantuan dan dukungan kepada penulis
untuk menyelesaikan studi ini.
8. Sembah sujud penulis kepada Ibunda tercinta, Almarhumah Siti Malur Lubis,
dan Ayahanda tercinta, Almarhum Drs. Landarat Nasution yang terus
mendukung untuk menyelesaikan studi. Doa dan kasih sayang penulis selalu
untuk Ayahanda dan Ibunda.
9. Terima kasih kepada Bapak dan Ibu Mertua, H. Muhidin Panjaitan dan Hj.
Halida Anum atas dorongan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan
studi.
10.Kepada Abang, Kakak, dan Adik penulis yang telah banyak membantu
penulis untuk menyelesaikan studi ini.
11.Khusus bagi istri tercinta, Muan Ridhani Panjaitan, SH dan kedua anakku
tersayang. Fakhri Yazid Ilmany Nasution dan Farid Zaidan Ilmy Nasution
yang tetap memberikan doa, dorongan dan semangat bagi penulis dalam
menyelesaikan studi ini.
12.Rekan-rekan kerja di Bidang Pengurangan, Keberatan, dan Banding Kanwil
DJP Sumatera Utara I yang telah mendukung penulis untuk menyelesaikan
studi ini.
Penulis menyadari bahwa dengan keterbatasan pengetahuan penulis, maka
hasil penelitian ini masih perlu disempurnakan. Karena itu dengan segala kerendahan
hati penulis memohon segala kritik dan saran demi perbaikan hasil penelitian ini.
Terima kasih.
Medan, 23 Desember 2008
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Ismail Fahmi Nasution
2. Agama : Islam
3. Tempat/Tanggal Lahir : Medan/17 Maret 1977
4. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
5. Nama Ayah : Drs. Landarat Nasution (Alm)
Nama Ibu : Siti Malur Lubis (Alm)
6. Pendidikan : a. SD Negeri 060840 Medan, lulus tahun 1989
b. SMP Negeri 16 Medan, lulus tahun 1992
c. SMA Negeri 1 Medan, lulus tahun 1995
d. Prodip III Keuangan Jakarta, lulus tahun
1998
e. Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi USU
Medan, lulus tahun 2003
f. Sekolah Pascasarjana USU, lulus tahun
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR... ix
DAFTAR LAMPIRAN... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah... 4
1.3 Tujuan Penelitian... 5
1.4 Manfaat Penelitian... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 6
2.1 Pengertian Pajak... 6
2.2 Fungsi Pajak dalam Suatu Negara... 8
2.3 Azas-azas dalam Pemungutan Pajak... 9
2.4 Cara Pemungutan Pajak... 10
2.5 Pembagian Pajak ... 12
2.6 Teori Pembenaran Pemungutan Pajak ... 13
2.7 Sistem Pemungutan Pajak... 16
2.9 Inflasi... 26
2.10 Income per Kapita... 29
2.11 Penelitian Terdahulu... 32
2.12 Kerangka Pemikiran... 34
2.13 Hipotesis Penelitian... 35
BAB III METODE PENELITIAN... 36
3.1 Ruang Lingkup Penelitian... 36
3.2 Jenis dan Sumber Data... 36
3.3 Model Analisis... 37
3.4 Definisi Operasional Variabel... 38
3.5 Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit)…... 38
3.6 Uji Asumsi Klasik……… 39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 41
4.1 Pembahasan Variabel-variabel Penelitian... 41
4.2 Pembahasan Hasil Estimasi... 53
4.3 Pembahasan Hasil Estimasi Variabel yang Mempengaruhi Pajak Penghasilan (PPh) di Sumatera Utara... 55
4.4 Uji Asumsi Klasik... 56
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 58
5.1 Kesimpulan... 58
5.2 Saran... 59
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
1.1 Realisasi Pajak Penghasilan Orang Pribadi di Sumatera Utara
Tahun 2007 (Juta Rupiah)... 3
4.1 Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi di Sumut (Jutaan Rupiah)……….……… 44
4.2 Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi di Sumatera Utara (Jumlah Terdaftar)……….……… 47
4.3 Perkembangan Inflasi di Sumatera Utara (%)... 49
4.4 Perkembangan Pendapatan Perkapita Sumatera Utara (Rupiah)... 52
4.5 Estimasi Uji R2 (Hasil Regresi Antar Variabel Bebas)... 57
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1 Kerangka Konseptual Penelitian... 34
4.1 Penerimaan PPh OP Sumatera Utara……… 45
4.2 Jumlah Wajib Pajak Sumatera Utara…..………. 48
4.3 Perkembangan Inflasi di Sumatera Utara... 51
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Data Penelitian... 63
2. Data Penelitian Model Autoregressive Log-Lin... 64
3. Regresi Utama... 65
4. Uji Multikolinearitas... 66
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pajak merupakan sumber pemasukan utama APBN yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran
pembangunan. Pajak bertujuan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat melalui
perbaikan dan peningkatan pelayanan publik. Alokasi pajak tidak hanya untuk rakyat
pembayar pajak, tetapi juga untuk kepentingan rakyat yang tidak wajib membayar
pajak. Dengan demikian, pajak berfungsi mengurangi kesenjangan antar penduduk
sehingga pemerataan kesejahteraan bisa tercapai.
Untuk lebih mengoptimalkan penerimaan negara di sektor perpajakan,
berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya adalah dengan Tax
Reform (penyempuraan Undang-Undang Perpajakan) sejak tahun 1983, 1991, 1994,
1997, kemudian diubah lagi pada tahun 2000. Karena sejalan dengan adanya
perkembangan perekonomian, Undang-Undang Perpajakan yang lama ternyata tidak
sesuai lagi dengan sosial ekonomi masyarakat Indonesia baik dari sisi
kegotongroyongan nasional maupun dari laju pembangunan nasional yang telah
dicapai, juga belum dapat menggerakkan peran dari semua lapisan Subjek Pajak
Melalui reformasi perpajakan pada tahun 1983 sistem perpajakan di Indonesia
telah berubah dari official assesment system menjadi self assesment system. Di mana
dalam sistem official assesment system wewenang untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh Wajib Pajak terletak pada fiskus atau aparat pajak. Wajib Pajak
bersifat pasif, jadi fiskuslah yang lebih aktif mencari Wajib Pajak dan menentukan
berapa jumlah pajak yang harus dibayar, sedangkan dalam self assesment system
wajib pajak diberi kepercayaan untuk, menentukan, menghitung, memperhitungkan,
menyetor dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang harus dibayar kepada Kantor
Pelayanan Pajak di mana wajib pajak terdaftar (Undang-Undang No. 16 Tahun 2000
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). Pada self assesment system,
penerapan sistem ini bukan berarti wajib pajak diberi kebebasan penuh untuk
memenuhi kewajiban pajak semaunya, sebab di dalam Undang-Undang telah diatur
mekanisme kontrol serta sanksi-sanksi bagi wajib pajak yang tidak memenuhi
kewajiban perpajakannya secara benar dan tepat waktu.
Penerimaan dari sektor pajak memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan
kas Negara, oleh karena itu perlu dioptimalkan penerimaannya. Pemungutan pajak
dengan self assessment system diharapkan dapat meningkatkan penerimaan Negara,
tapi fenomena yang terjadi ketika diterapkan sistem ini mulai tahun 1984 hingga
sekarang tidak berjalan secara optimal, hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya
potensial loss pada sektor pajak di Indonesia, meskipun secara umum tiap tahun
jumlah penerimaan pajak meningkat. Jumlah peningkatan penerimaan pajak di setiap
seiring dengan perkembangan jumlah penduduk yang secara umum penghasilannya
diatas PTKP jika dilihat dari sudut penerimaan PPh Orang Pribadi.
Potensial loss yang cukup signifikan ini terjadi hampir di seluruh wilayah
Indonesia, termasuk di wilayah Provinsi Sumatera Utara yang dikenal sebagai
provinsi terbesar ketiga di Indonesia, yang memiliki banyak sarana pendukung untuk
kelancaran perdagangan.
Tabel 1.1 : Realisasi Pajak Penghasilan Orang Pribadi di Sumatera Utara Tahun 2007 (Juta Rupiah)
Penerimaan PPh Orang Pribadi
KPP Realisasi Rencana
Persentase (%)
1. Medan Barat 2.684,52 15.993,32 16,78
2. Medan Belawan 1.250,04 1.279,24 97,71
3. Medan Timur 3.834,29 9.831,17 39,00
4. Binjai 1.839,56 2.746,30 66,98
5. Medan Polonia 4.931,56 35.901,19 13,73
6. Medan Kota 2.813,62 14.774,21 19,04
7. Madya Medan 0,00 0,00 0,00
8. Padang Sidempuan 1.480,90 1.788,01 82,82
9. Pematang Siantar 3.184,81 4.676,06 68,10
10. Rantau Prapat 1.495,52 2.214,59 67,53
11. Kisaran 2.106,92 2.713,62 77,64
12. Tebing Tinggi 3.265,03 3.962,97 82,38
Total 28.886,77 95.880,68 30.12
Sumber: Modul Penerimaan Negara
Penduduk Provinsi Sumatera Utara terkenal dengan kemajemukan dalam
berusaha (bisnis) dan kerja kerasnya jadi sangatlah disayangkan jika sektor Wajib
Pajak Orang Pribadi kurang diperhatikan. Hampir sebagian besar Wajib Pajak Orang
Sungguh suatu fenomena yang menarik juga apabila kita melihat bagaimana
penerimaan PPh untuk seluruh Indonesia cenderung untuk terus naik demikian juga
dengan penerimaan PPh Sumatera Utara, tetapi sumbangan dari penerimaan PPh
Sumatera Utara sebetulnya masih bisa lebih dioptimalkan dan masih banyak lagi
potensi yang bisa diperoleh dari PPh.
Dilatar belakangi oleh pemikiran di atas, maka penulis memiliki ketertarikan
untuk meneliti dan mengambil topik tentang “Analisis Determinan Penerimaan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi di Provinsi Sumatera Utara.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana pengaruh Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi terhadap Penerimaan
Pajak Penghasilan Orang Pribadi di Provinsi Sumatera Utara.
b. Bagaimana pengaruh Inflasi terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Orang
Pribadi di Provinsi Sumatera Utara.
c. Bagaimana pengaruh Pendapatan per Kapita terhadap Penerimaan Pajak
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui pengaruh Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi terhadap
Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi di Provinsi Sumatera Utara.
b. Untuk mengetahui pengaruh Inflasi terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan
Orang Pribadi di Provinsi Sumatera Utara.
c. Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan per Kapita terhadap Penerimaan
Pajak Penghasilan Orang Pribadi di Provinsi Sumatera Utara.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Sebagai masukan bagi Kantor Pelayanan Pajak yang ada di Sumatera Utara
mengenai variabel-variabel yang dapat mempengaruhi penerimaan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi di Provinsi Sumatera Utara.
2. Untuk menambah wawasan, baik penulis sendiri, maupun pemerhati pajak
terutama di dalam menganalisa variabel-variabel yang mempengaruhi
penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan sebagai referensi bagi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Pajak
Secara umum "pengertian pajak lebih dikenal sebagai pungutan yang harus
dibayar oleh individu kepada pemerintah yang dapat dipaksakan berdasarkan
undang-undang, di mana dalam hal ini individu pembayar pajak tidak memiliki kontraprestasi
secara langsung atas pungutan yang dibayarnya, atas pajak yang dibayarnya
digunakan untuk kepentingan public secara umum. Salah satu diantara
batasan-batasan itu diajarkan oleh pengertian pajak oleh:
Andriani, et al. (2000), menyatakan “Pajak adalah iuran kepada negara (yang
dapat dipaksakan) yang terutang oleh Wajib Pajak pembayarannya menurut peraturan
peraturan yang tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan
yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran.pengeluaran umum berhubungan
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.
Soemitro (2000), menyatakan, “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa
timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk
Menurut Mardiasmo (2003):
1. Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang
(bukan barang) yang digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
2. Berdasarkan Undang-Undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang serta aturan
pelaksanaannya. Pajak adalah iuran wajib yang harus dibayarkan oleh rakyat
kepada negara, dalam hal ini pajak merupakan bagian dari hukum publik yang
mengatur hubungan hukum antara negara/pemerintah dengan warganya/rakyatnya
di mana negara mengambil kekayaan dari masyarakat dan dikembalikan ke
masyarakat. Undang-Undang Pajak dibuat dengan tujuan sebagai aturan dasar
pemungutan pajak, sehingga pemungutan pajak berdasarkan atas kekuatan
Undang-Undang beserta aturan pelaksanaannya. Hal ini untuk menghindari
adanya tindakan sewenang-wenang dalam memungut pajak dan supaya
masyarakat juga tidak semaunya untuk membayar pajak.
3. Dapat dipaksakan
Yang dimaksud dengan dapat dipaksakan artinya bila hutang pajak tidak dibayar,
hutang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekuasaan, salah satunya dengan
menggunakan surat paksa, bila perlu ditindak atau dikenai sanksi bila melakukan
4. Tiada mendapat kontra prestasi atau timbal balik yang langsung ditunjuk
Tujuannya untuk membedakan antar pajak dan retribusi. Pembayar pajak tidak
dapat menikmati secara langsung atas pajak yang dibayar.
5. Untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum pemerintah
Dalam negara terdapat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan pajak
merupakan salah satu penyokong utama dalam penerimaan yang kemudian
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran dari pemerintah, jadi atas
pendapatan dari pajak tidak hanya dinikmati oleh pembayar pajak saja akan tetapi
juga oleh rakyat pada umumnya.
2.2. Fungsi Pajak dalam Suatu Negara
Menurut Mardiasmo (2003), pajak mempunyai fungsi:
a. Fungsi Penerimaan atau Budgeter
Pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah yang diperuntukkan
membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
b. Fungsi mengatur atau Regulerer
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah di bidang sosial dan ekonomi
Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa pajak sebagai fungsi
penerimaan merupakan sumber dana utama bagi penerimaan dalam negeri jadi
kontribusi terhadap pembangunan juga cukup besar, maka tidaklah heran pemungutan
tentunya kesemuanya sudah diatur dalam undang-undang. Dalam fungsi mengatur
pajak yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
pemerintah dalam bidang sosial ekonomi, misalnya dengan rendahnya tarif
pemungutan pajak maka bisa mendorong investasi.
2.3. Azas-azas dalam Pemungutan Pajak
Teori klasik tentang sistem perpajakan yang baik dimulai sejak Adam Smith
dalam bukunya “The Wealth of Nations” (Waluyo, 2006) yang menyatakan bahwa
pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada:
a. Equality
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada
orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau
ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan
bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran
pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta.
b. Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu,
wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang
c. Convenience
Kapan wajib pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan
saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak sebagai contoh pada saat-saat wajib pajak
memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut pay as you earn.
d. Economy
Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban bagi
wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang
dipikul wajib pajak.
Azas keadilan dalam sistem perpajakan telah banyak didiskusikan secara luas,
dan hal ini merupakan bagian terpenting dalam mengevaluasi setiap pengajuan dalam
pembuatan kebijakan perpajakan. Musgrave (1999), memberikan pandangan yang
adil tentang distribusi beban pajak, beban administrasi dan pengaruh insentif pajak
terhadap penerimaan pajak. Diantara keempat azas di atas, Munsgrave jauga
menekankan pada tiga azas lainnya, yaitu: azas netralitas (netrality),azas perbaikan
(reformation), dan azas kestabilan dan pertumbuhan(growth and stability).
2.4. Cara Pemungutan Pajak
Tjahjono dan Husein (2000), mengatakan bahwa cara pemungutan pajak
dilakukan berdasarkan tiga stelsel, yaitu:
1. Stelsel nyata (riil stelsel),
2. Stelsel anggapan (fictive stelsel),
Berdasarkan cara pemungutan pajak di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pada cara pemungutan pajak stelsel nyata pengenaan pajak didasarkan pada objek
(penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir
tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui
sehingga cenderung lebih realistis tapi pengenaan pajak tidak bisa pada saat langsung,
jadi pengenaannya baru bisa dilakukan pada akhir periode.
Pada cara pemungutan pajak stelsel anggapan pengenaan pajak didasarkan
pada suatu anggapan yang diatur oleh Undang-Undang. Pada sistem ini berkebalikan
dengan sistem stelsel nyata, di mana dalam sistem ini pajak dapat dibayar selama
tahun berjalan tanpa menunggu akhir tahun jadi terkesan agak ringan sehigga lebih
meringankan Wajib Pajak. Di lain sisi bila pajak dapat dibayarkan pada akhir tahun
adanya kecenderungan bahwa pajak tidak dibayar berdasarkan keadaan yang
sesungguhnya.
Pemungutan pajak pada stelsel campuran merupakan kombinasi antara stelsel
nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan
suatu anggapan kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan
keadaan yang sebenarnya. Apabila dalam suatu tahun didapat bahwa pajak lebih
besar dari anggapan maka Wajib Pajak harus menambah, bila pada kenyataannya
yang dibayar terlampau besar maka Wajib Pajak bisa meminta pengembalian
2.5. Pembagian Pajak
Pembagian pajak menurut Tjahjono dan Husein (2000), dapat digolongkan
menurut golongan, sifat, dan lembaga pemungutnya. Lebih rincinya adalah sebagai
berikut:
a. Menurut golongan
1. Pajak langsung adalah pajak yang bebanannya harus dipikul sendiri oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan, tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain.
Dalam pengertian administratif, pajak langsung adalah pajak yang dipungut
secara berkala. Contoh: Pajak Penghasilan.
2. Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada
pihak lain ketiga atau konsumen. Dalam pengertian administratif, pajak tidak
langsung adalah pajak yang dipungut setiap terjadi peristiwa atau perbuatan
yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya terjadi penyerahan barang,
pembuatan akte. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai, bea materai, bea balik
nama.
b. Menurut sifatnya
1. Pajak Subjektif adalah pajak yang pertama-tama memperhatikan keadaan
pribadi Wajib Pajak. Dalam menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan
alasan yang objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya,
yaitu yang disebut gaya pikul. Menurut Damste dalam Brotodihardjo (2005),
kekayaan, susunan keluarga dari Wajib Pajak, dengan mengingat faktor-faktor
yang mempengaruhi keduanya.
2. Pajak Objektif adalah pajak yang pertama-tama melihat kepada objeknya baik
itu berupa benda, dapat pula berupa keadaan, perbuatan atau peristiwa yang
mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian barulah dicari
subjeknya (orang atau badan hukum) yang bersangkutan langsung, dengan
tidak mempersoalkan apakah subjek pajak ini berkediaman di Indonesia
ataupun tidak.
c. Menurut lembaga pemungut
1. Pajak Negara (Pajak Pusat) adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat
yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Departemen Keuangan dan
hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan rumah tangga negara pada
umumnya.
2. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah seperti
Provinsi, Kabupaten maupun Kota berdasarkan peraturan daerah
masing-masing dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerah
masing-masing.
2.6. Teori Pembenaran Pemungutan Pajak
Menurut Suandy (2002), beberapa teori yang memberikan dasar pembenaran
dan pemikir masalah pemungutan pajak mengenai apakah negara dibenarkan
memungut pajak dari rakyat? Teori tersebut adalah:
1. Teori Asuransi
Negara dalam melaksanakan tugasnya, mencakup pula tugas melindungi jiwa
raga dan harta benda perseorangan. Oleh sebab itu, negara disamakan dengan
perusahaan asuransi, untuk mendapatkan perlindungan warga negara membayar
pajak sebagai premi. Teori ini sudah lama ditinggalkan, sebab selain
perbandingan ini tidak cocok dengan kenyataan, yakni jika orang misalnya
meninggal, kecelakaan atau kehilangan, negara tidak akan mengganti kerugian
seperti halnya dalam asuransi. Di samping itu, tidak ada hubungan langsung
antara pembayaran pajak dengan nilai perlindungannya terhadap pembayar
pajak.
2. Teori Kepentingan
Menurut teori ini, pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan kepentingan
individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Makin banyak individu
mengenyam atau menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga
pajaknya. Meskipun teori ini masih berlaku pada retribusi sukar pula
dipertahankan, sebab seorang miskin dan penganggur yang memperoleh
bantuan dari pemerintah menikmati banyak sekali jasa dari pekerjaan negara,
3 Teori Daya Pikul/Teori Gaya Pikul
Teori ini mengemukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan
kekuatan membayar dari si Wajib Pajak (individu-individu). Jadi, tekanan
semua pajak harus sesuai dengan daya pikul si Wajib Pajak dengan
memperhatikan pada besarnya penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran
belanja si Wajib Pajak tersebut. Kelemahan dari teori ini adalah sulitnya
menentukan secara tepat daya pikul seseorang, karena akan berbeda-beda dan
selalu berubah. Teori ini diterapkan dalam Pajak Penghasilan, di mana Wajib
Pajak baru dikenakan Pajak Penghasilan jika memperoleh penghasilan melebihi
dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
4. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti
Teori ini didasari paham organisasi negara (Organische Staatsleer) yang
mengajarkan bahwa negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk
menyelenggarakan kepentingan umum. Negara harus mengambil tindakan atau
keputusan yang diperlukan termasuk keputusan di bidang pajak. Dengan sifat
seperti ini, maka negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dan
rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya. Menurut teori ini, dasar
hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat dengan negara, di mana
negara berhak memungut pajak dan rakyat berkewajiban membayar pajak.
Kelemahan teori ini adalah negara bisa menjadi otoriter sehingga mengabaikan
5. Teori Daya Beli
Teori ini adalah teori modern, teori ini tidak mempersoalkan asal mula negara
memungut pajak melainkan banyak melihat kepada “efeknya” dan memandang
efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini maka fungsi
pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, yaitu
mengambil daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara
dan kemudian memelihara hidup masyarakat dan membawanya ke arah tertentu.
Teori ini mengajarkan, bahwa menyelenggarakan kepentingan masyarakat
inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan
kepentingan individu, maupun kepentingan negara, melainkan kepentingan
masyarakat yang meliputi keduanya itu. Teori ini menitik beratkan ajarannya
kepada fungsi dari pemungutan pajak, yakni fungsi mengatur.
2.7. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem merupakan seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan
sehingga membentuk suatu totalitas, berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia
(2000). Selanjutnya dalam mengefektifkan pemungutan pajak secara maksimal
dibutuhkan sistem yang tepat, dimana dalam sistem ini diharapkan jumlah
penerimaan pajak meningkat.
Sejak 1 Januari 1984, Pemerintah melakukan Reformasi Perpajakan dengan
mengubah sistem pemungutan pajak "valuasi pemerintah" (official assessment) dalam
penghitungan pajak tidak lagi dimulai oleh petugas pajak, tetapi oleh wajib pajak
sendiri, lalu petugas pajak melakukan crosscheck. Perubahan sistem itu ditujukan
untuk efisiensi dan pembatasan kuasa petugas pajak bagi peningkatan revenue dari
pajak. Pada dasarnya, implikasi praktis terhadap urusan fiskal ini hanyalah
konsekuensi dari gagasan lebih fundamental tentang deregulasi: bahwa
hidup-matinya Indonesia tidak boleh lagi bergantung hanya pada inisiatif dan tindakan
aparat pemerintah.
Tujuan utama reformasi perpajakan adalah untuk menegakkan kemandirian
ekonomi dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih mengerahkan
kemampuan sendiri. Secara bertahap, pajak diharapkan bisa mengurangi
ketergantungan utang luar negeri secara signifikan. Peningkatan pemasukan negara
melalui perpajakan, merupakan keharusan yang mutlak bagi berhasilnya pelaksanaan
pembangunan. Sehingga, reformasi perpajakan diharapkan mampu menciptakan
sistem pajak yang didasarkan pada prinsip keadilan dan kewajaran serta memberikan
kepastian hukum baik bagi wajib pajak maupun aparat pajak.
Berikut adalah sistem perpajakan yang diterapkan di Indonesia menurut
Mardiasmo (2003):
1. Official Assesment System
Sistem pemungutan pajak di mana wewenang untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh Wajib Pajak terletak pada fiskus/aparat pajak. Wajib Pajak
bersifat pasif, menunggu datangnya surat ketetapan pajak dan sebelum ada
yang bersangkutan belum berkewajiban membayar pajak, sedangkan fiskus
bersifat aktif yaitu mencari subjek pajak baru beserta objeknya dan menetapkan
pajaknya.
2. Semi-self Assesment System
Sistem pemungutan pajak yang merupakan perpaduan antara Self Assesment
dan Official Assesment System, hal ini terjadi pada penerapan Pajak Bumi dan
Bangunan hingga saat ini. Self Assesment System terletak pada saat Wajib Pajak
mendaftarkan objek PBB yang dimilikinya, Wajib Pajak menyusun Surat
Pemberitahuan Objek Pajak secara jelas, benar dan lengkap. Namun untuk
menghitung besarnya PBB terutang atas Objek tersebut dilakukan oleh fiskus,
dan di sinilah terletak Official Assesment System.
3. Self Assesment System
Sistem pemungutan pajak di mana wewenang untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang terletak pada Wajib Pajak. Wajib Pajak bersifat aktif yaitu
menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang,
sedangkan fiskus bersifat pasif yaitu hanya memberikan pelayanan, penerangan,
pengawasan maupun pemeriksaan.
Dianutnya Self-Assesment System diharapkan membawa misi dan konsekuensi
adanya perubahan sikap kesadaran warga masyarakat untuk membayar pajak secara
sukarela. Karena dari sisi administrasi dan pengawasan, maka semakin besar tingkat
kepatuhan sukarela (voluntary compliance) semakin kecil pula kebutuhan untuk
Pengawasan itu terutama ditujukan terhadap wajib pajak yang berusaha
menghindar atau tidak membuat pernyataan pajak, ini adalah salah satu masalah bagi
penegakan hukum administrasi pajak di negara manapun.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Soemitro (2000), bahwa keberhasilan. Self
Assesment System ditentukan oleh:
a. Kesadaran Pajak dari Wajib Pajak
Tingkat kesadaran akan membayar pajak didasarkan oleh tingkat kepatuhan
wajib pajak yang berpijak pada tingginya kesadaran hukum dalam membayar
pajak. Dalam hal ini peran fiskus amatlah berarti karena pada dasarnya tingkat
kepatuhan wajib pajak berdasarkan tingkat pemahaman yang baik seputar
pajak.
b. Kejujuran Wajib Pajak
Faktor kejujuran dalam membayar pajak sangatlah penting, karena dengan self
assessment system pemerintah memberikan sepenuhnya kepercayaan
masyarakat untuk menetapkan berapa jumlah pajak yang harus dibayar sesuai
dengan ketentuan. Masyarakat diharapkan melaporkan jumlah kewajiban
pajaknya sebenar-benarnya tanpa adanya manipulasi.
c. Hasrat untuk Membayar Pajak (Tax Mindedness)
Hasrat untuk membayar pajak pada dasarnya kepatuhan sukarela dalan
membayar pajak, dengan frame pemikiran bahwa kesadaran dalam membayar
d. Disiplin dalam Membayar Pajak (Tax Disipline)
Tax Disipline berdasar pada tingkat pemahaman yang sesuai terhadap hukum
pajak yang dianut suatu negara serta sanksi-sanksi yang menyertainya, dengan
harapan masyarakat tidak menunda-nunda dalam membayar pajak.
2.8. Pajak Penghasilan
2.8.1. Pengertian Penghasilan
Definisi penghasilan menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 adalah:
Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan
nama dan dalam bentuk apapun.
2.8.2. Pengertian Pajak Penghasilan
Menurut Subekti dan Asrori (2003), pengertian Pajak Penghasilan adalah
pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan
dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui adanya ciri-ciri tertentu Pajak
Penghasilan, yaitu:
1. Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan pada setiap tambahan
tambahan kemampuan ekonomis tersebut dapat dipakai untuk konsumsi atau
menambah kekayaan.
2. Penghasilan yang terkena pajak adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh selama satu tahun pajak. Tahun pajak adalah jangka waktu takwim
atau satu tahun buku.
3. Penghasilan yang terkena pajak adalah penghasilan yang diperoleh seseorang
baik dari dalam negeri atau luar negeri serta penghasilan yang berasal dari
Indonesia yang diperoleh orang luar negeri.
2.8.3. Dasar Hukum Pajak Penghasilan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1991,
Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2000.
2.8.4. Subjek Pajak Penghasilan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan, subjek pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Subjek Pajak Dalam Negeri
Yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri adalah: (i) Orang pribadi yang
bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
mempunyai niatan untuk bertempat tinggal di Indonesia; (ii) Badan yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; (iii) Warisan yang belum
terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak.
2. Subjek Pajak Luar Negeri
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Luar Negeri, adalah: (i) Orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia; (ii) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan (iii) Badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.
2.8.5. Objek Pajak Penghasilan
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan,
yang menjadi objek pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun, termasuk:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang
dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3. Laba usaha.
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, dan anggota.
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha.
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian Sisa Hasil Usaha
koperasi.
8. Royalti.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10.Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11.Keuntungan karena pembebasan utang.
12.Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
13.Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
14.Premi asuransi.
15.Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang
iuran tersebut ditentukan berdasarkan volume kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas anggotanya.
16.Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.
2.8.6. Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, Penghasilan
yang tidak termasuk sebagai objek Pajak Penghasilan adalah:
b) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan
sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan; sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Warisan.
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura ataupun kenikmatan dari Wajib Pajak atau
pemerintah.
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwi guna, dan
asuransi beasiswa.
6. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan
di Indonesia.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
pagawai, dan penghasilan yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
8. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi-bagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma
dan kongsi.
9. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh dari perusahaan reksa dana.
10.Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatannya di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a. Merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.
2.9. Inflasi
Inflasi adalah suatu keadaan dalam perekonomian di mana terjadi kenaikan
harga-harga secara umum. Kenaikan dalam harga barang dan jasa yang biasa terjadi
jika permintaan bertambah dibandingkan dengan jumlah penawaran atau persediaan
barang di pasar, dalam hal ini lebih banyak uang yang beredar yang digunakan untuk
membeli barang dibanding dengan jumlah barang dan jasa, tidak semua yang
namanya kenaikan harga selalu diidentikan dengan inflasi, misalnya kenaikan harga
pada hari Lebaran, ini hanya gejolak pasar yang terjadi sesaat saja dan tidak
Inflasi sebagai bagian dari keadaan perekonomian tentu akan dialami oleh
setiap negara, hanya saja setiap negara memiliki tingkat inflasi yang berbeda-beda.
Untuk mengukur tingkat inflasi dapat menggunakan indek harga konsumen.
Di Indonesia informasi mengenai inflasi dikelola oleh suatu badan yaitu
Badan Pusat Statistik (BPS) Inflasi yang setiap negara pasti mengalaminya, tentu
disebabkan oleh faktor yang berbeda-beda. Beberapa penyebab inflasi diantaranya
bisa disebabkan oleh sektor ekspor-impor, tabungan atau investasi, pengeluaran dan
penerimaan negara, sektor pemerintah dan swasta. Untuk lebih jelasnya, perhatikan
beberapa uraian berikut:
a. Inflasi disebabkan oleh sektor ekspor-impor. Jika ekspor suatu negara lebih besar
daripada impor, akan mengakibatkan terjadinya tekanan inflasi, tekanan inflasi
terjadi karena semakin besar jumlah uang yang beredar di dalam negeri akibat
penerimaan devisa.
b. Inflasi disebabkan oleh sektor penerimaan dan pengeluaran negara Sektor
penerimaan dan pengeluaran suatu negara yang defisit menjadi penyebab inflasi.
Karena pengeluaran pemerintah lebih besar dari penerimaannya, maka untuk
menutupi keadaan tersebut akan dilakukan dengan mengeluarkan uang baru,
pengeluaran uang baru menimbulkan tekanan inflasi.
c. Inflasi disebabkan oleh sektor swasta. Pengeluaran kredit dalam jumlah yang
cukup besar untuk memenuhi permintaan kredit swasta dapat juga menyebabkan
Dari penyebab inflasi di atas dapat kita simpulkan bahwa pengendalian
jumlah uang yang beredar di masyarakat dan keseimbangan antara permintaan dan
penawaran barang merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan untuk menekan
inflasi.
Hubungan Pajak Penghasilan dengan inflasi dapat dilihat dari tulisan Beth
Kern, seorang Assistant Professor di Indiana University South Bend, yang berjudul:
Inflation and the Individual Alternative Minimum Tax (AMT), dia menyatakan:
“The relationship between inflation and the AMT is complex. David Hulse gives some
insight into current individual AMT issues with his AMT boundary calculations.
These boundaries derive the breakeven points to determine how much in preferences
and adjustments taxpayers at varying taxable incomes may have before being subject
to the individual AMT under current law. Over time, inflation causes these breakeven
points to decline. Inflation combined with regular income tax (RIT) bracket and
exemption indexing has eroded the value of this exemption. As each year passes, the
AMT is shifting from a tax burden for high-income taxpayers to one for
moderate-income taxpayers”.
Dari hubungan di atas bahwa dapat kita simpulkan bahwa inflasi dapat
mengikis Pajak Penghasilan Orang Pribadi.
Demikian pula dengan tulisan Dr. Friedrich Heineman, seorang head of the
department "Corporate Taxation and Public Finance" pada Centre for European
Economic Research (ZEW) di Mannheim, Jerman, yang berjudul After the death of
have negative consequences for tax revenues. Phenomena such as the inflationary
bracket creep in a progressive income tax system do not work any longer. With this
background, the paper analyses the extent of fiscal drag for OECD countries since
1965. Some consideration of the role of money illusion and indexation in this context
lays the theoretical base. A framework is presented that allows for the classification
of fiscal structures with regard to the type of fiscal drag (boosting tax revenues).
The subsequent econometric panel analysis is performed for total and disaggregated
government revenues. The results back theoretical considerations of inflation's
impact on different kinds of taxes, which tends to be positive for individual income
taxes and social security contributions and is negative for corporate income taxation.
The paper concludes that both declining inflation and changing tax structures limit
the potential for future fiscal drag.
Dari tulisan di atas bahwa dapat kita simpulkan bahwa penurunan inflasi
membawa pengaruh yang negatif pada penerimaan pajak. Inflasi memiliki pengaruh
yang berbeda beda untuk setiap jenis pajak, inflasi memiliki pengaruh yang positif
terhadap Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan kontribusi sosial sekuriti, dan inflasi
memiliki pengaruh yang negatif terhadap Pajak Penghasilan Perusahaan.
2.10. Income per Kapita
Kegiatan ekonomi secara garis besarnya dapat dikelompokkan ke dalam
kegiatan memproduksi dan kegiatan mengkonsumsi barang dan jasa. Unit-unit
pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang telah dimiliki oleh
berbagai golongan dalam masyarakat, sehingga dari pendapatan ini masyarakat dapat
membeli barang dan jasa untuk keperluan konsumsi maupun investasi.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) didefinisikan sebagai jumlah nilai
tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan
jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi
di suatu wilayah.
PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa
yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun yang berarti termasuk kenaikan
harga-harga ikut dihitung, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan
nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tertentu
sebagai dasar, di mana dalam penghitungan ini digunakan tahun 2000.
PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat pergeseran dan
struktur ekonomi, sedangkan harga konstan digunakan untuk mengetahui
pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Angka-angka PDRB dapat dihitung
dengan tiga pendekatan, yaitu:
a. Menurut pendekatan produksi, PDRB adalah merupakan jumlah nilai barang
dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di dalam suatu
region/wilayah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit
produksi tersebut dikelompokkan menjadi 9 kelompok lapangan usaha, yaitu:
1. Pertanian.
3. Industri pengolahan.
4. Listrik, Gas dan Air Bersih.
5. Konstruksi.
6. Perdagangan, hotel, dan restoran.
7. Pengangkutan dan komunikasi.
8. Keuangan, persewaan, dan Jasa Perusahaan.
9. Jasa-jasa
b. Menurut pendekatan pendapatan, PDRB adalah merupakan jumlah balas jasa
yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses
produksi dalam suatu region/wilayah dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa
faktor produksi yang dimaksud adalah upah/gaji, sewa tanah, bunga modal
dan keuntungan, sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung
lainnya. Dalam definisi ini PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tak
langsung netto. Jumlah semua komponen pendapatan ini per sektor disebut
sebagai nilai tambah bruto sektoral. Oleh karena itu PDRB merupakan jumlah
dari nilai tambah bruto seluruh sektor (lapangan usaha).
c. Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah semua komponen
pengeluaran akhir seperti pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga
swasta nirlaba, konsumsi pemerintah, perubahan stok dan ekspor netto
di suatu daerah/wilayah dalam jangka waktu tertentu. Ekspor yang dimaksud
Selain itu dari PDRB dapat diturunkan ukuran-ukuran penting lainnya yaitu
Income per Kapita. Income per Kapita adalah ukuran-ukuran indikator ekonomi
PDRB dibagi dengan jumlah penduduk.
Bila pendapatan per kapita meningkat maka konsekuensinya adalah:
1. Semakin banyak penduduk yang terkena pajak karena memiliki pendapatan
di atas batas minimum bebas pajak.
2. Semakin tinggi tarif yang dikenakan terhadap income per kapita akan
mengakibatkan semakin tinggi penerimaan pajak penghasilan orang pribadi
yang diterima.
2.11. Penelitian Terdahulu
Altig dan Carlstrom (2000), penelitian ini dilakukan di Amerika Serikat
dengan memakai inflasi, pendapatan perkapita sebagai variabel bebas dan pajak
penghasilan orang pribadi sebagai variabel terikat. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa pendapatan perkapita memberikan dampak yang paling besar
terhadap pajak penghasilan dibanding dengan inflasi.
Nugraha (2005), Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerimaan
Pajak Penghasilan (PPh) di Kota Surabaya dengan meninjaunya dari sisi wajib pajak
penghasilan orang pribadi. Penelitian ini menggunakan data sekunder (time series)
dengan kurun waktu tahun 1989 sampai dengan tahun 2003, dengan memakai
variabel jumlah wajib pajak penghasilan orang pribadi (JWPOP) dan tingkat
sebagai variabel terikat. Hasil perhitungan uji regresi menunjukkan bahwa
penerimaan pajak penghasilan di Kota Surabaya dipengaruhi secara bersama-sama
oleh 2 variabel bebas. Kemampuan kedua variabel bebas dalam menjelaskan variabel
tergantung sangat tinggi, terlihat dari koefisien determinasi (R2) sebesar 96,6%.
Koefisien korelasi parsial (r2) masing-masing variabel bebas X1 (JWPOP) dan X2
(PP) adalah sebesar 0,294 dan 0,713. Hal ini memperlihatkan bahwa pendapatan
perkapita mempunyai pengaruh dominan terhadap penerimaan pajak penghasilan
di Kota Surabaya.
Andi dan Chandrarin (2005), Penelitian ini bertujuan untuk melihat Pengaruh
Upah, Dana Pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak terhadap Penerimaan Pajak
(PPh OP) pada Kantor Pelayanan Pajak Kudus, dengan memakai variabel Upah
karyawan (X1), Penghasilan tidak kena pajak (X2), dan Dana pensiun (X3) sebagai
variabel bebas, dan variabel Penerimaan Pajak (Y) sebagai variabel terikat.
Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa upah dan penghasilan tidak kena pajak
(secara terpisah) secara signifikan mempengaruhi penerimaan pajak orang pribadi.
Variabel dana pensiun secara linier tidak mempunyai pengaruh terhadap penerimaan
pajak orang pribadi khususnya karyawan, walaupun demikian, variabel dana pensiun
mempunyai korelasi yang kuat dengan variabel upah dan PTKP.
Immervoll (2005), Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh inflasi
terhadap Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Kontribusi Sekuriti Sosial di Eropa,
Orang Pribadi dan Kontribusi Sekuriti Sosial sebagai variabel terikat. Hasil Penelitian
menunjukkan Inflasi berpengaruh negatif terhadap Pajak Penghasilan Orang Pribadi.
Oktivani (2007), Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah jumlah
wajib pajak dan jumlah pemeriksaan pajak mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap penerimaan pajak penghasilan orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak
Madiun, dengan memakai variabel Jumlah Wajib pajak, dan Jumlah Pemeriksaan
Pajak sebagai variabel bebas dan Penerimaan Pajak Penghasilan orang pribadi
sebagai variabel terikat. Penelitian ini membuktikan bahwa jumlah wajib pajak lebih
dominan mempengaruhi penerimaan PPh Orang Pribadi bila dibandingkan dengan
jumlah pemeriksaan pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan orang pribadi
di Kantor Pelayanan Pajak Madiun.
2.12. Kerangka Pemikiran
Dengan demikian maka kerangka pemikiran penulis dari penelitian ini adalah
Penerimaan PPh di Sumatera Utara dipengaruhi oleh jumlah Wajib Pajak Orang
Pribadi di Sumatera Utara yang terdaftar (OP), inflasi, dan pendapatan perkapita.
Jumlah Wajib Pajak (OP)
Inflasi Penerimaan PPh Orang
Pribadi
Pendapatan Perkapita
2.13. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara ataupun kesimpulan sementara untuk
menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian.
Dalam penelitian ini, hipotesis awal sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh positif jumlah wajib pajak orang pribadi, terhadap penerimaan
Pajak Penghasilan Orang Pribadi di Provinsi Sumatera Utara ceteris paribus.
2. Terdapat pengaruh negatif inflasi terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Orang
Pribadi di Provinsi Sumatera Utara ceteris paribus.
3. Terdapat pengaruh positif pendapatan per kapita terhadap penerimaan Pajak
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
Sumatera Utara I dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara II.
Penelitian ini dilakukan untuk dapat mengetahui apakah variabel-variabel yang
dianalisis yaitu jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi di Sumatera Utara, Inflasi dan
Pendapatan Perkapita berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Orang
Pribadi di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Analisis terhadap variabel-variabel
tersebut rencananya dilakukan mulai bulan Januari 2000 sampai dengan bulan
Desember 2007.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dan data yang dipakai adalah
data triwulanan tahun 2000 – 2007. Sumber data diperoleh dari Badan Pusat Statistik,
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I dan Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara II, dan Bank Indonesia serta
3.3. Model Analisis
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
regresi linear berganda, karena penelitian ini dirancang untuk meneliti pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen. Metode yang digunakan adalah
Ordinary Least Square (OLS).
Faktor-faktor yang mempengaruhi Penerimaan PPh Orang Pribadi
di Sumatera Utara digambarkan dengan fungsi sebagai berikut:
PPh OP = f (WP, INF, YKap) ….……….……… (1)
Dan dari persamaan (1) dispesifikasikan kedalam model ekonometrika dalam
bentuk model Autoregresive, log-linear:
LPPh OP = α + β1 WP + β2INF(t-1) + β3 YKap + μ
Di mana:
PPh OP = Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (Jutaan Rupiah)
α = intercept
WP = Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi (orang)
INF t-1 = Inflasi triwulan sebelumnya (dalam %)
YKap = Pendapatan Per Kapita (Rupiah)
β1, β2, 3. = koefisien regresi
3.4. Definisi Operasional Variabel
Berdasarkan hipotesis yang diajukan maka definisi operasional untuk
masing-masing variabel adalah sebagai berikut:
1. Jumlah Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh)
Jumlah penerimaan triwulanan yang diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak yang
ada di Sumatera Utara berkenaan dengan Pajak Penghasilan yang dibayar oleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam jutaan Rupiah.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi
Jumlah Wajib Orang Pribadi triwulanan pada penelitian ini adalah jumlah Wajib
Pajak Orang Pribadi triwulanan yang terdaftar di seluruh Kantor Pelayanan Pajak
yang berada di Sumatera Utara dalam satuan.
3. Tingkat Inflasi pada penelitian ini adalah inflasi yang dipakai adalah inflasi
triwulanan dan dinyatakan dalam persen.
4. Pendapatan perkapita ialah jumlah pendapatan per kapita triwulanan yang
diterima oleh penduduk Sumatera Utara yang dinyatakan dalam Rupiah.
3.5. Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit)
3.5.1. Uji Determinasi (R2)
Uji ini bertujuan untuk menjelaskan seberapa besar variasi dari variabel
terikat dapat diterangkan oleh variabel bebas. Apabila R2 = 0, artinya variasi dari
variabel terikat tidak dapat diterangkan oleh variabel bebas sama sekali. Sementara
variabel bebas. Dengan demikian model regresi akan ditentukan oleh R2 yang
nilainya antara nol dan satu.
3.5.2. Uji F Hitung
Uji F hitung statistik digunakan untuk melihat secara bersama sama apakah
ada pengaruh signifikan variabel bebas terhadap variabel terikat.
3.5.3. Uji Parsial (uji – t)
Uji Parsial digunakan untuk melihat apakah ada pengaruh signifikansi
variabel bebas terhadap variabel terikat.
3.6. Uji Asumsi Klasik
3.6.1. Uji Multikolinieritas
Salah satu asumsi regresi linear klasik adalah tidak adanya multikolinearitas
sempurna (no perfect multicolinearity). Ada tiga hal yang perlu dibahas terlebih
dahulu dalam multikolinearitas (Sumodinongrat, 1994): (1) multikolinearitas pada
hakekatnya adalah fenomena sampel. (2) multikolinearitas adalah persoalan derajat
bukan persoalan jenis. (3) masalah multikolinearitas hanya berkaitan dengan adanya
hubungan liniear di antara variabel-variabel bebas.
Pengujian ini untuk mendeteksi multikolinearitas dengan cara melihat gejala-
gejala yang biasa dipakai untuk melihat adanya multikolinearitas yaitu antara lain
Fhitung terhadap Ftabel tinggi tetapi tidak semua koefisien regresi signifikan. Apabila R2
tinggi yaitu 0,7 sampai 1 maka antara variabel independen yang berkorelasi mungkin
terjadi multikolinearitas.
3.6.2. Uji Autokorelasi
Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian
observasi yang diurutkan menurut waktu seperti dalam data time series. Sehingga
terdapat saling ketergantungan antara faktor pengganggu yang berhubungan dengan
observasi yang dipengaruhi oleh unsur gangguan yang berhubungan dengan
pengamatan lainnya. Oleh karena itu masalah autokorelasi biasanya muncul dalam
data time series, meskipun tidak menutup kemungkinan terjadi dalam data cross
sectional.
Uji untuk melihat autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin-Watson
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pembahasan Variabel-variabel Penelitian
4.1.1 Pajak Penghasilan Orang Pribadi
Pajak Penghasilan Orang Pribadi adalah pajak yang dikenakan terhadap
subjek pajak orang pribadi atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun
pajak. Objek pajak PPh OPDN adalah penghasilan di mana setiap penambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak berasal dari dalam
negeri maupun luar Indonesia dan dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak (WP).
Penerimaan Pajak Pusat (Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak
Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) di Provinsi
Sumatera diawasi dan dikelola oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
Sumatera Utara I yang berkedudukan di Medan dan Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak Sumatera Utara II yang berkedudukan di Pematang Siantar.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I membawahi 9
unit kerja antara lain KPP Madya Medan, KPP Pratama Medan Barat, KPP Pratama
Medan Belawan, KPP Pratama Medan Kota, KPP Pratama Medan Timur, KPP
Pratama Medan Polonia, KPP Pratama Binjai, KPP Pratama Medan Petisah (baru
KPP Pratama Lubuk Pakam (baru dibentuk pada bulan Mei tahun 2008 pecahan dari
KPP Pratama Tebing Tinggi).
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara II membawahi 8
unit kerja antara lain KPP Pratama Pematang Siantar, KPP Pratama Tebing Tinggi,
KPP Pratama Kisaran, KPP Pratama Rantau Prapat, KPP Pratama Padang
Sidempuan, KPP Pratama Kabanjahe (baru dibentuk pada bulan Mei tahun 2008
pecahan dari KPP Pratama Binjai dan KPP Pratama Pematang Siantar), KPP Pratama
Balige (baru dibentuk pada bulan Mei tahun 2008 pecahan dari KPP Pratama
Pematang Siantar dan KPP Pratama Padang Sidempuan), dan KPP Pratama Sibolga
(baru dibentuk pada bulan Mei tahun 2008 pecahan dari KPP Pratama Padang
Sidempuan).
Potensi pengumpulan pajak dari Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi di Sumut
masih terbuka lebar. Karena dari 1,14 juta orang yang potensial sebagai WP orang
pribadi, baru tergarap sebanyak 250.889 orang sedangkan sisanya sebanyak 889.111
orang belum tergarap. Kontribusi penerimaan PPh Orang Pribadi dari Wajib Pajak
sejumlah 889.111 orang pribadi ini diharapkan masih dapat ditingkatkan maksimal
selama tiga tahun ke depan (Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumut, 2007).
Untuk jangka pendek sampai akhir 2007, Kanwil DJP Sumut I dan II berhasil
memperoleh pajak sebesar 50 persen dari 250.889 WP Orang Pribadi atau sebanyak
125.444 WP Orang Pribadi. Sedangkan sisa sebesar 50 % merupakan karyawan
di mana Pajak Penghasilan mereka telah dipotong oleh Bendaharawan Pemerintah
Penerimaan pajak dari Wajib Pajak Orang Pribadi di Sumatera Utara ini,
diharapkan diperoleh dari para pejabat di Pemerintahan Daerah se-Sumatera Utara.
Kemudian dari pejabat di Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah
seperti PT. Perkebunan Nusantara II, PT. Perkebunan Nusantara III, PT. Perkebunan
Nusantara IV, dan PT. Pelabuhan Indonesia I, serta dari para Pengusaha.
Pencapaian target pajak akan ditempuh melalui dua pendekatan. Pertama
melalui pendekatan pemberi kerja dan bendaharawan pemerintah untuk calon WP
orang pribadi kepada karyawan swasta dan PNS. Kemudian melalui pendekatan
properti dan profesi WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha di pusat
perdagangan, mal, pertokoan, serta WP orang pribadi yang tergabung dalam asosiasi
profesi seperti notaris, dokter, pengacara dan lainnya. Kegiatan ekstensifikasi ini telah
dilaksanakan terhadap penduduk Sumatera Utara yang memiliki penghasilan
di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak. Di samping itu Direktorat Jenderal Pajak saat
ini sedang membangun Bank Data yang dapat digunakan untuk Optimalisasi
Penerimaan Pajak agar tidak lagi ada alasan Wajib Pajak untuk tidak mau membayar
pajak.
Untuk mengetahui perkembangan Jumlah Penerimaan Pajak Penghasilan
Tabel 4.1 : Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi di Sumut (Jutaan Rupiah)
Periode Penerimaan PPh OP
(jutaan rupiah)
0
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
PPH
Gambar 4.1: Penerimaan PPh OP Sumatera Utara Sumber : Duktekkon Kanwil DJP Sumut
Sumber: Duktekkon Kanwil DJP Sumut
Gambar 4.1 : Penerimaan PPh OP Sumatera Utara
Dari gambar di atas dapat dilihat penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi
di Provinsi Sumatera Utara mengalami fluktuasi yang sangat dinamis, khususnya
pada triwulan pertama pada setiap tahunnya, hal ini disebabkan batas akhir dari
penyetoran pajak setiap tahun adalah pada bulan Maret. Terdapat kenaikan yang
signifikan dari triwulan IV 2004 dan triwulan I 2005 serta triwulan I 2006. Kenaikan
penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi berasal dari penerimaan pembayaran