• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai-Nilai Sosiologi Cerita Rakyat Selendang Delima Masyarakat Melayu Langkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Nilai-Nilai Sosiologi Cerita Rakyat Selendang Delima Masyarakat Melayu Langkat"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI SOSIOLOGI CERITA RAKYAT

SELENDANG

DELIMA

MASYARAKAT MELAYU LANGKAT

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA

: MUHAMMAD CITRA HANJAYA

NIM

: 040702013

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU

MEDAN

(2)

NILAI-NILAI SOSIOLOGI CERITA RAKYAT SELENDANG DELIMA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT

SKRIPSI SARJANA Dikerjakan

O L E H

MUHAMMAD CITRA HANJAYA 040702013

Pebimbing I Pembimbing II

Drs. Yos Rizal, MSP

NIP 19650909 199403 1 004 NIP 19600101 198803 1 007

Drs.Baharuddin,M.Hum

Skripsi ini disajikan kepada panitia Ujian fakultas Sastra USU melengkapii salah satu syarat ujian SARJANA dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Melayu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU

MEDAN

(3)

Pengesahan

Diterima Oleh :

Panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Ilmu Bahasa & Sastra Daerah Fakultas Sastra USU Medan

Tanggal :

Hari :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dekan

NIP 19650909 199403 1 004 Prof.Syaifuddin,M.A,Ph.D

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan

1. ……….... ( )

2. ……….... ( )

3. ……….... ( )

4. ……….... ( )

5. ……….... ( )

6. ……….... ( )

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senatiasa memberikan nikmat

dan rahmatnya, sehingga sekripsi ini dapat diselesaikan. Syalawat beriring

salam penulis atas NAbi Muhammad SAW sebagai penuntun kita dari alam

kegelapan ke alam yang “terang benderang”.

Skripsi ini berjudul “NILAI-NILAI SOSIOLOGI CERITA RAKYAT

SELENDANG DELIMA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT”. Skripsi ini

merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Jurusan Sastra Daerah Program Studi Bahasa

dan Sastra Melayu.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan,

tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, penulis dapat

memyelesaikan skripsi ini. Untuk itu sewajarnyalah penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Syahfuddin,M.A,Ph.D (selaku Dekan fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara) yang telah banyak memberikan masukan,

nasehat, serta bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Drs.Yos Rizal,MSP baik sebagai Dosen sekaligus pembimbing I

(5)

3. Bapak Drs.Baharuddin,M.Hum baik sebagai Ketua Jurusan Sastra

Daerah maupun sebagai pembimbing II yang telah banyak membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak warisman sinaga, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Sastra

Daerah.

5. Semua dosen di lingkungan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

6. Teristimewa kepada Ayahanda Drs. Tengku Ismeth dan Almarhumah

Ibunda khadijah tercinta yang telah membantu penulis secara moril

maupun materil.

7. Ibunda Hj. Tengku Maherani, dan suaminya Fahzrul Cahyari Nasution,

selaku saudara dan sekaligus orang tua angkat penulis yang telah

banyak membantu penulis dalam memberikan semangat untuk dapat

menyelesaikan kuliah secepatnya, tanpa ada dorongan dari beliau

mungkin penulis tidak dapat secepatnya menyelesaikan skripsi.

8. Saudara-saudaraku yang tercinta: T.Ferisha Saviera,T. Ferdyan Andry,

T.Reza Rupiandy, T.Ilham Fadillah, T.Indah Permata Sari, T. Bella

Safira, T. Ayu Syahfitri, dan seluruh keluarga yang telah banyak

memberikan doa dan semangat kepada penulis dalam menempuh

perkuliahan sampai selesai.

9. Teristimewa buat Eni Febrisari, Rahmad Hdayat, SS, Fuad Syahrial, SS,

Armen Sofyan Hrp, SS, Eri Syahputra, SS, Jandriwico Simamora, Eka

(6)

Laily Hazwani,SS, Sunarto,SS, dan seluruh mahasiswa jurusan sastra

daerah yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, telah banyak

10. memberikan masukkan-masukkan yang berharga dalam penyelesaian

Skripsi ini.

Penulis tidak dapat membalas kebaikan dan bantuannya yang telah

diberikan, sehingga terwujudnya skripsi ini, Hanya Allah yang dapat

membalasnya. Akhirnya, penulis menyadari sedalam-dalamnnya bahwa

skripsi ini hanya merupakan salah satu persyaratan untuk menempuh ujian

kesarjanaan pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Kalau dilihat

dari isinya mungkin masih jauh dari apa yang di harapkan , namun itulah

kemampuan penulis. Dengan rendah hati penulis menerima kritikan dan

saran yang membangun dari pembaca, sehingga skripsi ini lebih

disempurnakan dan bermanfaat bagi kita semua, khususnya mahasiswa

Fakultas Sastra Dan Masyarakat Melayu.

Semoga Allah SWT akan Selalu Memberikan taufik dan hidayahNya

kepada orang-orang yang mau berbuat baik.

Medan, 2010

Penulis

Nim : 040702013

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberi

rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun

judul skripsi ini adalah NILAI-NILAI SOSIOLOGI CERITA RAKYAT SELENDANG

DELIMA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT. Skripsi ini diharapkan dapat

dijadikan sebagai dasar penyusunan skripsi untuk para penulis lain.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan

banyak kekurangannya karena keterbatasan yang penulis miliki, namun

penulis berusaha sebaik mungkin untuk mendeskripsikan Tinjauan sosiologis

yang terdapat dalam cerita Rakyat Selendang Delima tersebut. Pada

kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran dari para Dosen

Penguji dan pembimbing agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik lagi.

Medan, 2010

Penulis

Nim : 040702013

(8)

DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

JURUSAN SASTRA DAERAH

KETUA JURUSAN

(9)

DAFTAR ISI

Halaman UCAPAN TERIMA KASIH ... I

KATA PENGANTAR ... IV DAFTAR ISI ... VI BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1.2 Rumusan Masalah ... 1.3 Tujuan Penelitian ... 1.4 Manfaat Penelitian ... 1.5 Orisinilitas Penelitian ... 1.6 Objek Penelitian ... 1.7 Landasan Teori ... 1.7.1 Teori Struktural... 1.7.2 Sosiologi Sastra ... 1.8 Metode Penelitian ... 1.8.1 Jenis Penelitian ... 1.8.2 Metode Penelitian Data ... 1.8.3 Metode Analisis Data ...

BAB II ANALISIS STRUKTUR CERITA RAKYAT SELENDANG DELIMA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT ... 2.1 Analisis Struktur cerita... 2.2 Ringkasan Cerita ... 2.3 Tema ... 2.4 Alur ... 2.5 Latar ... 2.6 Watak dan Perwatakan ...

BAB III NILAI-NILAI SOSIOLOGI CERITA RAKYAT

SELENDANG DELIMA PADA MASYARAKAT

(10)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 4.1 Kesimpulan ... 4.2 Saran ...

(11)
(12)
(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Masalah

Karya sastra diciptakan untuk dinikmati dan dijadkan sebagai

kebudayaan, dipahami dan dimanfaatkan oleh pembaca. Perkembangan

karya sastra dari zaman ke zaman tidak luput dari populasi manusia yang

semakin terus bertambah. Seiring perkembangan dan kemajuan zaman,

karya sastra semakin berkembang pula.

Melayu mempunyai banyak kesusasteraan dan masih berkisar pada

sastra lisan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa alat utama dari kesusasteraan

itu adalah bahasa. Bahasa adalah pendukung kesusasteraan, sedangkan

tulisan hanya merupakan lambang-lambang pengganti bahasa ( parkamin,

1973:11). Sastra itu sebagian besar tersimpan di dalam ingatan orang tua,

pawang atau tukang cerita yang jumlahnya semakin berkurang dimakan usia.

Di mana pengarang hasil sastra lisan biasanya tidak diketahui dengan pasti

(anonim).

Sastra lisan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sastra

tertulis. Dengan adanya sastra tertulis, sastra lisan terus hidup berdampingan

dengan sastra tertulis. Oleh sebab itu, studi tentang sastra lisan merupakan

hal penting bagi para ahli yang ingin memahami peristiwa perkembangan

(14)

yang terjadi. Hal ini disebabkan adanya hubungan antara studi sastra lisan

dengan sastra tertulis sebagaimana adanya kelangsungan tidak terputus

antara sastra lisan dan sastra tertulis (Wellek, 1996:47).

Sastra lisan merupakan bagian dari satu kebudayaan yang tumbuh

dan berkembang di tengah-tengah masyarakat serta diwariskan

turun-menurun secara lisan sebagai milik bersama. Ragam sastra yang demikian

tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang, dan

penyalur perasaan serta pendengaran, melainkan juga sebagai alat

pemeliharaan norma-norma masyarakat.

Sastra lisan, termasuk cerita lisan tersebut. Merupakan warisan

budaya nasional yang masih mempunyai nilai-nilai positif untuk

dikembangkan dan dimanfaatkan dalam kehidupan yang akan datang, antara

lain dalam hubungan dengan pembinaan apresiasi sastra. Sastra lisan juga

telah lama berperan sebagai wahana pemahaman gagasan pewarisan tata

nilai yang tumbuh dalam masyarakat. Bahkan, sastra lisan telah

berabad-abad berperan sebagai dasar komunikasi antara penulis dan masyarakat,

dalam arti sebuah karya sastra yang berdasarkan lisan akan lebih mudah

diterima karena ada unsur yang dikenal masyarakat (Rusyana, 1995).

Dalam keadaan masyarakat yang tengah membangun, seperti halnya

masyarakat Indonesia sekarang ini, berbagai bentuk kebudayaan lama

termasuk sastra lisan, bukan mustahil akan terabaikan di tengah-tengah

(15)

Sehingga dikhawatirkan lama kelamaan akan hilang tanpa bekas atau

berbagai unsurnya yang asli sudah tidak muncul lagi dalam cerita.

Berdasarkan kedudukan dan peranan sastra lisan yang cukup penting,

maka penelitian sastra lisan perlu dilakukan upaya penyelamatan karya

sastra. Mengingat terjadinya perubahan dalam masyarakat, seperti adanya

kemajuan dalam teknologi, seperti radio dan televisi dapat menyebabkan

hilangnya sastra lisan di seluruh Nusantara. Dengan demikian, penelitian

sastra lisan berarti melakukan penyelamatan karya sastra dari kepunahan,

yang dengan sendirinya merupakan usaha pewarisan nilai budaya, karena

dalam sastra lisan itu banyak ditemui nilai, cara hidup serta berfikir

masyarakat (nilai-nilai sosiologis masyarakat) yang memiliki sastra lisan.

Demikain halnya dengan sastra lisan Melayu Langkat.

Salah satu genre prosa rakyat dari kesusasteraan melayu adalah

cerita rakyat yang lahir dari etnik masyarakat Melayu Langkat. Sastra lisan

Melayu Langkat merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang perlu

diselamatkan. Salah satu usaha penyelamatannya adalah dengan

mengadakan penelitian dan inventarisasi. Di samping itu, penelitian ini

bermanfaat pula sebagai salah satu upaya pembinaan dan pengembangan

sastra lisan yang bersangkutan, serta sekaligus mempunyai manfaat dalam

rangka pembinaan dan pembagunan budaya daerah yang menjadi bagian

(16)

Dari sekian banyak sastra lisan Melayu Langkat, satu diantaranya

adalah cerita rakyat Selendang Delima yang selanjutanya akan disingkat

menjadi SD. SD adalah cerita rakyat Melayu Langkat yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat serta merupakan cerminan masyarakatnya.

Hal ini sesuai dengan hasil wawancara penulis tanggal 20 oktober 2008

dengan salah seorang nara sumber, Sahridin telah berusia 68 Tahun

bertempat tinggal Di kampung Perhiasan, Kecamatan Selesai, Kabupaten

Langkat, beliau mengatakan bahwa cerita ini dahulunya sangat populer

dalam masyarakat Melayu Langkat.

SD menceritakan musibah dialami oleh kerajaan bernama Bandar Pirus, akibat datangnya seekor burung garuda yang menyambar dan

melenyapkan kampung Bandar Pirus itu, sehingga kampung itu musnah

semuanya. Adapun yang dapat selamat hanyalah seorang anak muda yang

bernama Mambang Segara dan adiknya yang bernama Sri Bunian.

Penulis mengharapkan agar cerita rakyat SD ini perlu dilakukan

penelitian yang ditinjau dari aspek nilai-nilai sosiologis di dalam masyarakat.

Dengan dilakukan penelitian tersebut, penulis dapat mengetahui adanya

hubungan masyarakat dengan cerita rakyat SD, dan apakah masyarakat

masih mempercayai serta mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakat

Melayu Langkat.

Ditinjau dari segi kemasyarakatan, penelitian ini juga mempunyai arti

(17)

Indonesia dan Daerah. Secara tidak langsung penelitian ini juga memberikan

sumbangan bahan pembinaan kepribadian bangsa, terutama sastra lisan

yang memuat unsur pendidikan budi pekerti luhur.

1. 2 Rumusan Masalah

Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka diperlukan perumusan

masalah yang tepat agar pembahasan terhadap cerita rakyat Selendang

Delima tidak meluas dan tidak mencapai sasaran yang dikehendaki.

Permasalahan yang akan dibicarakan dalam tulisan ini pada

hakikatnya mencakup aspek nilai-nilai sosiologis dalam cerita rakyat tersebut

maka dianggap perlu untuk menelaah terlebih dahulu dari aspek-aspek

pembangun dari cerita rakyat tersebut atau unsur-unsur pembentuk dalaman

cerita (unsur intrinsik) rakyat SD.

Adapun masalah yang akan dibahas dalam skrisi ini adalah :

1. Struktur Intrinsik apa sajakah yang membangun cerita SD ?

2. Nilai-nilai sosiologi apa sajakah yang terdapat dalam cerita rakyat SD ?

1. 3 Manfaat Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah maka kajian sosiologis dalam

cerita rakyat SD secara khusus bertujuan untuk :

1. Mengetahui struktur intrinsik cerita rakyat SD yang terdiri dari tema,

(18)

2. Mengetahui nilai-nilai sosiologi dalam cerita rakyat SD.

Manfaat yang diharapkan oleh penelitian harus :

1. membantu pembaca untuk memahami unsur-unsur yang membangun

cerita rakyat SD.

2. membantu pembaca untuk memahami adanya nilai-nilai sosiologi

dalam cerita rakyat SD.

3. memelihara karya sastra lisan agar terhindar dari kemusnahan dan

dapat diwariskan pada generasi yang akan datang.

1. 4 Anggapan Dasar

Suatu penelitian memerlukan anggapan dasar yang dapat

memberikan gambaran arah pengumpulan data yang berhubungan dengan

masalah yang diteliti. Syah (1997:3), mengatakan ”anggapan dasar adalah

titik tolak pemikiran untuk peneyelidikan tertentu, titik tolak yang dapat

diterima kebenarannya”. Berdasarkan pemikiran pendapat di atas maka

penulis memiliki anggapan dasar bahwa dalam cerita rakyat SD memiliki

(19)

1. 5 Orisinalitas Penelitian

Penelitian terhadap cerita rakyat SD ini telah dilakukan oleh Trisna

Jayawati dan kawan-kawan yang bekerjasama dengan Departemen

Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara pada tahun 1997. Dengan

menerbitkan naskah cerita rakyat SD. Namun mereka hanya membuat

naskah saja, tidak mengkaji lebih lanjut atau menerbitkan hasil penelitian

mereka ke dalam buku, melainkan hanya menceritakan kembali cerita

tersebut tanpa menganalisis cerita rakyat SD baik dengan pendekatan sastra

maupun dengan pendekatan sosiologi sastra.

Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa kajian yang penulis

kerjakan terhadap cerita rakyat SD merupakan karya ilmiah yang asli (orisinil)

dan belum pernah dikaji oleh peneliti manapun. Adapun kajian yang penulis

fokuskan adalah nilai-nilai sosiologi yang terkandung di dalam cerita SD.

1. 6 Objek Penelitian

Naskah yang menkjadi objek penelitian penulis adalah kumpulan cerita

Rakyat Melayu Sumatera Utara yang diteliti oleh Trisna Jayawati, Sulistiati,

dan Yeni Mulyani pada tahun 1997 dengan data sebagai berikut :

a. Judul Buku : Cerita Rakyat Selendang Delima

b. Penulis : Trisna Jayawati, Sulistiati, dan Yeni Mulyani

c. Cover Depan : Tidak Bergambar Berwarna Merah dan Kuning

(20)

e. Tebal Halaman : 187 Halman

f. Ukuran : 12 x 17,5

g. Tahun Penerbit : 1997

h. Penerbit : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera

Utara

1.7 LANDASAN TEORI

Untuk membahas tentang struktur dalam teori struktural dan

nilai-nilai sosiologi yang terkandung di dalam cerita rakyat SD digunakan

teori pendekatan yaitu teori strukutural dan teori Sosiologi Sastra.

Kedua teori pendekatan tersebut digunakan untuk mengetahui

sekaligus mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang

terdapat di dalam cerita tersebut. Berikut akan dipaparkan kedua teori

pendekatan tersebut.

1.7.1 Teori Struktural

Pendekatan Struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan

Strukturalisme Praha. Pendekatan ini mendapat pengaruh langsung

(21)

ke sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah

perkembangannya, melainkan pada hubungan antar unsurnya.

Masalah unsur dan hubungan antar unsur merupakan hal yang penting

dalam pendekatan ini.

Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut strukturalisme

adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh unsur

(pembangunnannya). Disatu pihak, struktur karya satra dapat diartikan

sebagai susunan penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian

yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk

kebulatan yang indah (Abrams dalam Nurgiyanto, 2001 : 46).

Di pihak lain, Struktur karya sastra juga menyarankan pada

pengertian hubungan antar unsur (intrinsik) yang bersifat timbal-balik,

saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama

membentuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri, terisolasi dari

keseluruhannya, bahan, unsur atau bagian-bagian tersebut tidak

penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang

lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana.

Selain istilah struktural yang terdapat di atas, dunia kesasteraan

mengenal istilah struturalisme. Strukturalisme dapat di pandang

(22)

kajian hubungan antar unsur pembangunan karya yang bersangkutan.

Jadi strukturalisme (disamakan dengan pendekatan objektifnya

Abrams) dapat dipertentangkan dengan pendekatan yang lain, seperti

pendekatan mimetik, ekspresif, dan pragmatik (Abrams dalam Teeuw,

1989: 89).

Namun di pihak lain, strukturalisme, menurut Hawkes (dalam

Nurgiyantoro, 2004: 47), pada dasarnya juga dapat dipandang sebagai

cara berfikir tentang dunia yang lebih merupakan susunan hubungan

dari pada susunan benda. Dengan demikian, kodrat setiap unsur dalam

bagian sistem struktur itu baru mempunyai makna setelah berada

dalam hubungannya dengan unsur-unsur yang lain yang terkandung di

dalamnya. Kedua pengertian tersebut tidak perlu dipertentangkan

namun justru dapat dimanfaatkan secara saling melengkapi.

Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini, dapat

dilakukan dengan mengidentifikasikan, mengkaji, dan mendeskripsikan

fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik cerita yang bersangkutan.

Mula-mula diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya bagaiman

keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut

pandang, dan lain-lain. Setelah coba dijelaskan bagaimana fungsi

(23)

bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama

membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Misalnya,

bagaimana hubungan antar peristiwa yang satu dengan yang lain,

kaitannya dengan pemplotan yang tidak selalu kronologis, kaitannya

dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya.

Dengan demikian pada dasarnya analisis struktural bertujuan

memaparkan secermat mungkin fungsi dan kekaitan antar berbagai

unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah

keseluruhan. Analisis struktural tidak cukup dilakukan hanya sekedar

mendata unsur tertentu sebuah karya sastra, misalnya peristiwa, plot,

tokoh, latar, atau yang lain. Namun yang lebih penting adalah

menunjukan bagaimana hubungan anatar unsur itu, dan sumbangan

apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan

yang ingin dicapai. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa karya

sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan unik, disamping

setiap karya mempunyai ciri ke kompleksan dan keunikan tersendiri.

Hal ini antara lain yang membedakan antara karya yang satu dengan

yang lain. Namun, tidak jarang analisis fragmentaris yang

terpisah-pisah. Analisis yang demikian inilah yang dapat dituduh sebagai

(24)

Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi

unsur-unsur dan mikrotes, suatu keseluruhan wacana, interstekstual

(Hartoko dan Rahmanto, 1996: 136), Analisis unsur-unsur mikrotes itu

misalnya berupa analisis dalam kata-kata kalimat, atau kalimat-kalimat

dalam alinea atau konteks wacana yang lebih besar. Namun, ia dapat

juga berupa analisis dan hubungan antar unsur satu keseluruhan

wacana dapat berupa analisis bab per bab, atau bagian-bagian secara

keseluruahan seperti dibicarakan di atas. Analisis relasi intertekstual

berupa kajian hubungan antarteks, baik dalam satu periode (misalnya

untuk karya-karya sastra Melayu zaman Hindu) maupun dalam

periode-periode yang berbeda (misalnya antar karya-karya sastra Melayu

zaman Hindu dengan sastra Melayu zaman Islam).

Karena pandangan keotonomian karya di atas, disamping itu

juga pandangan bahwa setiap karya sastra memiliki sifat keunikannya

tersendiri, analisis terhadap sebuah karya sastra pun tidak perlu

dikait-kaitkan dengan karya-karya yang lain. Karya-karya yang lain pun

berarti sesuatu yang diluar karya yang di analisis itu. Atau, jika

melibatkan karya-karya lain, hal itu sangat bersifat sangat terbatas

pada karya-karya tertentu yang berkaitan. Pandangan disini sejalan

(25)

memisahkan kajian aspek kebahasan pada tataran fonetik, morfomik,

sintaksis, antara hubungan paradigmatik dan sintagmatik (Abrams dan

Teeuw, 1989: 188). Hal itu bisa dimengerti sebab analisis struktural

dalam bidang kesastraan mendasarkan diri pada model strukturalisme

dalam bidang lingusitik.

Pandangan diatas sebenarnya bukannya tidak ada

keuntungannya. Sebab, analisis karya sastra, dengan demikian, tidak

lagi membutuhan berbagai ilmu pengetahuan lain sebagai referensi,

misalnya dari referensi sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain.

Namun penekanan pada sifat otonomi karya sastra dewasa ini

dipandang orang sebagai kelemahan aliran strukturalisme dan atau

kajian struktural. Hal ini disebabkan sebuah karya sastra tidak mungkin

dipisahkan sama sekali dari latar belakang sosial budaya dan atau latar

belakang sejarahnya.

Melepaskan karya sastra dari latar belakang sosial budaya dan

sejarahnya, akan menyebabkan karya itu menjadi kurang bermakna,

atau paling tidak maknanya menjadi sangat terbatas, atau bahkan

makna menjadi sulit ditafsirkan. Hal itu berarti karya sastra menjadi

(26)

struktural sebaiknya dilengkapi dengan analsis yang lain, yang dalam

hal ini dikaitkan dengan keadaan sosial budaya secara luas.

1.7.2 Sosiologi Sastra

Membicarkan sosiologi sastra adalah membicarakan sampai

dimana hubungan antar sosiologi dan sastra, dan membicarakan hasil

sastra yang relevan. Sastra tercipta untuk dinikmati, dipahami, dan

dimanfaatkan manusia dalam suatu masyarakat. Sebagai sesuatu yang

perlu dinikmati, karya sastra harus mengandung keindahan yang

berasal dari keorisinalitasan sehingga dapat memenuhi dan

memuaskan kehausan estetis masyarakat penikmatnya. Sebagai suatu

yang perlu dipahami, karya sastra memendam kompleksitas yang

dapat dimengerti dengan usaha yang sungguh-sungguh dan teliti oleh

masyarakat pembacanya. Dengan demikian, untuk mengungkapkan

kandungan karya sastra yang dibutuhkan kepekaan yang luar biasa.

Sebagai suatu yang perlu dimanfaatkan, karya sastra mengandung nilai

berharga yang dapat dipergunakan untuk kesejahteraan manusia.

Banyak kenyataan sosial yang dihadapi manusia dalam

kehidupan bermasyarakat. Kenyataan sosial itu dapat berupa

(27)

keberhasilan, frustasi dalam situasi kegagalan, kesedihan dalam

suasana kemalangan, dan lain sebagianya. Kenyataan sosial tersebut

muncul sebagai akibat hubungan antar manusia, hubungan antara

masyarakat dan hubungan antar peristiwa dalam batin seseorang.

Hal diatas senada dengan apa yang disampaikan oleh Damoncy

(1984: 4-5) bahwa :

Kenyataan sosial tersebut mendapatkan perhatian sang pengarang, baik karena dia menyaksikannya maupun karena dia mengalaminya sendiri. Dengan demikian, sastra, melalui ramuan pengarang, mereflesikan gambaran kehidupan. Namun, tujuan utama sang pengarang bukanlah hanya menampilkan kenyataan sosial atau gambaran kehidupan, melainkan dia hendak menjadikan sastra sebagai resep kehidupan yang mampu menangkal penyakit dan manjur sebagai obat penyembuh. Sastra menjadi peralatan kehidupan manusia. Sastra dengan demikian berperan sebagai : 1. Pelipur lara 2. Ungkapan kekesalan 3. Kritik sosial 4. Kritik, dan 5. Nasehat.

Secara sosiologi, sastra adalah strategi (sikap) untuk

menghadapi situasi yang dialami manusia demi mengembangkan

kemasyarakatan, situasi yang dialami manusia demi mengembangkan

kemasyarakatan atau kesejahteraan manusia, demi mengembangkan

kemasyarakatan atau kesejahteraan manusia itu sendiri sesuai dengan

norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, pengarang

(28)

Pengarang harus mampu menilai sesuatu dengan tepat dan teliti.

Pengarang tidak akan dapat mengetahui dan mengantisipasi masa

depan sesuatu dengan tepat, apa yang akan memberikan harapan dan

apa yang akan menyuguhkan ancaman, apabila dia tidak mengetahui

keadaan sesuatu dengan jelas. Dengan demikian, seorang ahli strategi

yang bijaksana tidak akan puas dengan strategi yang hanya

memuaskan dirinya sendiri. Pengarang akan waspada terhadap

ancaman atau bahaya yang sewaktu-waktu dapat menghadang.

Dari uraian diatas dapat dilihat tiga aspek yang saling

berhubungan yaitu hubungan antara sastrawan, sastra, dan

masyarakat. Hubungan ini bersifat sosial dan tertuang dalam satu karya

sastra sebagai sarana penghubung antar sastrawan dan masyarakat

pembaca. Dengan demikian, pembicara ini bersifat sosiologi yang

disebut sosiologis sastra.

Secara singat dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra adalah

studi sosiologis terhadap karya sastra yang membicarakan hubungan

dan pengaruh timbal balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat,

dengan menitik beratkan pada realitas dan gejala nilai-nilai sosiologis

yang ada diantara ketiganya. Dengan batasan seperti itu tampaklah

(29)

masyarakat yang dirujuk karya sastra tersebut serta sikap budaya dan

kreativitas pengarang sebagai seorang anggota masyarakat.

Danandjaya (1999: 414) mengungkapkan bahwa :

”berbagai alasan dapat mendorong seseorang untuk menganalisis keadaan sosial suatu masyarakat melalui karya sosial suatu masyarakat melalui karya sastra. Misalnya dengan membaca karangan Ranggawarsito maka ia dapat menemukan suatu khazanah nasehat-nasehat bijaksana mengenai sikap dan perilaku seseorang di dalam masyarakat. Bahkan untuk karya sastra yang semacam itu, sangat relevan untuk mengerti kode etika dan harapan-harapan yang berlaku di dalam masyarakat”.

Untuk mengetahui sikap dan perilaku seseorang di dalam suatu

masyarakat tertentu, apabila di daerah yang belum dikenal seseorang,

maka seseorang itu dapat membaca atau menganalisis karya sastra.

Sebab, karya sastra semacam itu akan membicarakan suatu gambaran

tentang sikap perilaku masyarakat melukiskan sikap dan perilaku suatu

masyarakat pada zamannya. Atau dengan kata lain bahwa karya sastra

merupakan pencerminan masyarakat pada zamannya.

Pencerminan suatu masyarakat yang dimaksud seperti yang

diungkapkan Semi (1984: 55) bahwa :

(30)

dalam karya sastranya, maka gambaran itu hanyalah karena telah menjadi persoalan pribadinya sendiri”.

Sastra sebagai ungkapan pribadi pengarang, juga dikemukakan

Sumarjo (1986: 3) yakni : ” sastra adalah ungkapan pribadi manusia

yang berupa pengalaman, pemikiran, penasaran, ide, semangat, dan

keyakinan yang dapat membangkitkan gairah pembaca melalui bahasa.

Berdasarkan kedua pendapat yang berbeda tersebut, penulis

berada diantaranya. Artinya, dari satu sisi, benar bahwa karya sastra

merupakan karya individual pengarang dan karena itu tidak harus

mencerminkan keadaan suatu masyarakat, pada zamannya. Kalaupun

sastra melukiskan keadaan suatu masyarakat, hal itu karena telah

menjadi persoalan pribadi pengarang. Akan tetapi, dari sisi lain, benar

bahwa karya sastra merupakan pencerminan suatu masyarakat pada

zamannya.

Dalam hal ini Salleh (1980: 64) berpendapat bahwa :

”Seorang sosiologi dan sastrawan bahwa sosiologi menerima sumbangan sastra, dan begitu pula sastra yakni masalah-masalah sosiologi dapat dijadikan sebagai sarana pengembangan. Sosiologi dapat dijadikan sebagai sarana pengembangan sosiologi”.

Dengan demikian, jelaslah bahwa sosiologi dapat dijadikan

sebagai salah satu pendekatan sastra, sebab antara sosiologi dan

(31)

bukanlah merupakan cermin yang didahului pikiran masyarakat

zamannya, melainkan karya sastra hanyalah cerminan masyarakat

zamannya.

Hal ini merupakan bahwa kehadiran sastra mempunyai peranan

penting dalam membentuk struktur masyarakat. Pengarang dan

karyanya merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dalam

rangka membicarakan sebuah karya sastra. Disatu sisi, pengarang

adalah anggota dari kelompok masyarakat yang hidup di tengah-tengah

kelompok masyarakat tersebut.

Soemarjo (1995: 15) juga menekankan, bahwa kehadiran karya

sastra merupakan salah satu wujud pelestarian dari keadaan

sosio-kultur suatu masyarakat dimana ia tercipta. Lebih jauh lagi Yakub

Soemarjo mengatakan ”karya sastra menampilkan wajah kultur

zamannya, tetap lebih dari sifat-sifat sastra juga ditentukan oleh

masyarakat”.

Pendapat Soemarjo di atas didukung pula oleh Semi (1989: 54)

yang mengatakan bahwa :

a. Konteks Sosial yakni yang menyangkut posisi sosial dan

kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalam

(32)

sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya

sastranya.

b. Sastra sebagai cermin masyarakat yang telaah adalah sampai

sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan

masyarakat.

c. Sosial sastra dalam hal ini telah sampai berada jauh nilai sastra

berkaitan dengan nilai sosial dan sampai berada jauh nilai sastra

dipengaruhi oleh nilai sosial dan sampai berapa jauh pula sastra

dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai

pendidikan bagi masyarakat pembacanya.

Sosiologi pada sisi lain sebagi ilmu yang berbicara tentang

aspek-aspek kemasyarakatan selalu dapat dimanfaatkan untuk

pembicaraan sebuah cipta sastra, nilai-nilai sosiologi dalam sebuah

karya sastra dapat terwujudkan untuk mencapai pemahaman yang

lebih dalam.

Banyak hal-hal yang menjadi fokus pengamatan seorang

sastrawan kehidupan pribadinya, lingkungan serta harapan-harapannya

menjadi hal yang menarik dalam penelitian sebuah cipta sastra.

Kompleks permasalahan itu merupakan hadiah seorang pengarang

(33)

Dengan menggambarkan fenomena dari hasil pengamatan pengarang,

masyarakat pembacanya memperoleh hal yang bermakna dalam

hidupnya.

Pengarang sendiri mendapat sumber dalam aspek-aspek yang

membangun keutuhan sebuah cerita adalah menyangkut perwatakan

tokoh-tokohnya. Tokoh yang berfikiran primitif akan bertindak sebagai

manusia yang modern yang serba luwes.

Ciri-ciri perwatakan seorang tokoh selalu berkaitan dengan

pengarang, lingkungan dimana dia hidup. Demikian juga menyangkut

tipe orang atau tokohnya. Biasanya dalam setiap cerita selalu terdapat

beberapa tokoh, dalam hal inilah pengetahuan sosiologi berperna

menggunakan isi sebuah karya sastra.

Hal diatas didukung oleh pernyataan Damono (1981: 178) yang

mengataan :

Bahwa sosiologi sastra diaplikasikan pada tulis-tulisan para

kritikus sejarahwan sastra yang menaruh perhatian utama pada

cara atau keadaan seseorang pengarang dipengaruhi kelas

sosialnya, ideologi sosialnya, kondisi ekonominya, profesinya,

(34)

Waren dalam (Damono, 1996: 84) mengklasifikasikan sosiologi

sastra menjadi : Pertama, Sosiologi pengarang yang memasalahkan

status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang

sebagai penghasil sastra. Kedua, Sosiologi karya sastra yang

memasalahkan karya sastra itu sendiri; menjadi pokok penelaan adalah

apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.

Ketiga, Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh

sosial karya sastra.

Ian Watt dalam (Damono, 1996: 3-4) melihat hubungan

timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Oleh sebab itu, telaah

sosiologi suatu karya sastra akan mencakup tiga hal yaitu : Pertama,

konteks sosial pengarang yaitu menyangkut posisi sosial yang

mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan disamping

mempengaruhi isi karya sastranya. Kedua, Sastra sebagai cermin

masyarakat yaitu sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai

pencerminan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra yaitu

sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan

sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat

penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat

(35)

1.8 METODE PENELITIAN

1.8.1. Jenis Penelitian

Metode / jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode penelitian kualitatif dan bersifat deskriptif, yang oleh

Nawawi (1990: 63) diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah

yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan

objek/subjek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain)

pada saat sekarang berdasarkan fakta yang ada dan kemudian

diinterpretasikan serta dianalisis secara rasional.

1.8.2.Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan maka

digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan

mempelajari buku-buku, jurnal penelitian, dan bahan-bahan

tertulis lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian.

b. Studi teks, yaitu pengumpulan data melalui naskah yang diteliti

setelah terlebih dahulu membaca kemudian menafsirkan

(36)

1.8.3.Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, karena penelitian yang digunakan adalah

kualitatif maka peneliti bersikap netral sehingga tidak mempengaruhi

data. Untuk itu peneliti hanya membaca dan memperhatiakan lalu

berusaha menjabarkan atau menginterpretasikan data tersebut untuk

dianalisis sehingga dapat memberikan kesimpulan setelah dilakukan

pengecekan ulang atas data tersebut.

Informasi dan data yang diperoleh dari naskah disusun secara

sistematis dan dikategorisasikan, selanjutnya informasi tersebut di

desain sesuai dengan bagian-bagian yang telah ditentukan sehingga

dapat menghasilkan sebuah laporan penelitian yang integretatif dan

sistematis.

(37)

BAB II

ANALISIS STRUKTUR CERITA RAKYAT SELENDANG DELIMA

2.1. ANALISIS STRUKTUR CERITA

Analisis struktur yang dilakukan terhadap cerita rakyat SD ini

merupakan langkah awal untuk memahami unsur-unsur ekstrinsik, khususnya

nilai psikologi dari hikayat tersebut.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Teeuw (1989) bahwa

kajian struktural dimaksudkan untuk membongkar, mengkaji, dan

menganalisis unsur pembentuk dalam instrinsik dari sebuah karya sastra,

yang berguna untuk pengkajian selanjutnya dari karya sastra tersebut.

Sebelum penulis mulai menganalisis struktur cerita rakyat Selendang

Delima, ada baiknya penulis menyajikan ringkasan cerita Selendang Delima

guna mempermudah pembaca sekalian untuk memahami analisis yang

penulis lakukan nantinya.

2.2. Ringkasan Cerita

Pada zamandahulu kala ada sebuah kerajaan yang bernama

Bandar Pirus, negeri ini sangat makmur dan peraturan-peraturan

kerajaan sangat baik. Tapi tanpa disangka-sangka suatu hari datang

musibah, datangnya seekor burung garuda yang menyambar dan

(38)

semuanya, hanya yang dapat selamat seorang anak muda yang

bernama Mambang Segara dengan adiknya Sri Bunian. Jadi hanya

tinggal berdua saja yang tinggal dirumah, sedangkan kampung sudah

lengang, tidak ada apapun lagi. Kesudahannya si abang bertekad

akan pergi dari kampung tersebut, karena sudah tidak ada apa-apa

lagi makanan pun sudah habis, hanya tinggal sebuah kebun dengan

buah-buahan,ini pun sudah hampir habis. Jadi kata si abang ”adikku

Sri Bunian, tinggallah kamu di rumah baik-baik, biarlah abang

membuat sebuah perahu.” jadi ditebang si abanglah sebuah pohon

untuk membuat perahu.

Dari hari kehari si adik tinggal di rumah, dan apabila sore hari si

abang pun kembali kerumah, pagi hari dia pergi lagi meneruskan

pekerjaannya untuk membuat perahu. Pada suatu hari berkatalah si

abang ”Adikku kalau lapar sekali engkau, makanlah buah-buahan

yang lain, tapi buah yang satu ini jangan kau makan, itu namanya

buah Delima, kalau kau makan juga datang aib pada dirimu.” baiklah

bang, apa yang abang larang tidak akan kulakukan.”

Jadi pada suatu hari entah bagaimana ingin sekali adik memakan

buah Delima itu, tapi ini tidak dikatakannya kepada abangnya. Maka

terjadilah perubahan pada dirinya bulan demi bulan, karena di hamil

buah itu bukan buah biasa, tapi buah jelmaan dewa, setiap hari terjadi

(39)

Sewaktu abangnya pergi lagi mengerjakan perahunya yang

hampir siap, dan ia hanya tinggal sendiri di rumah, lahirlah anaknya

yang jelmaan dari buah Delima. Setelah itu dibersihkannya itu

baik-baik dan dimasukannya ke dalam peti.

Ketika abangnya pulang Sri Bunian sudah tidak ada lagi hilang

ghaib, akibat memakan buah Delima itu, hanya tinggal anaknya saja

yang telah dimasukkannya ke dalam peti. Abangnya menjerit-jerit

memanggilnya. Dan tidak berapa lama terdengarlah suara, ” Abangku,

bila abang merantau bawalah peti ini baik-baik, jangan dibuka kalau

belum tiba saatnya. Kalau abang nanti sudah senang, sudah menjadi

raja barulah boleh abang buka.” jadi pesan adiknya itu dipatuhinya.

Maka setelah siap perahunya, berlayarlah dia merantau sehingga

sampai di sebuah negeri. Di negeri tersebut dia diangkatsebagai raja.

Karena baik dan perkasanya, banyak orang menyodorkan

puteri-puterinya untuk dijadikan isteri sampai berjumlah tujuh orang yang

enam satu istana, sedangkan isteri yang nomor tujuh dilainkan

tempatnya, karena dialah yang paling dikasihi oleh Mambang Segara.

Kesukaan Raja-raja dahulu berlayar merantau melihat-lihat

negeri lain, tidak seperti sekarang. Kalau raja hendak berlayar

isterinya yang enam banyak berpesan, bawakan ini, bawakan itu, tapi

isteri yang nomor tujuh tidak pernah berpesan apa-apa. Apa yang

(40)

Jadi sewaktu raja berlayar, datanglah keenam isterinya kerumah

isteri yang bungsu dan mereka melihat sebuah peti dan bertanya ; ”Dik

apa yang ada didalam peti itu?” ”O,... ini pesan suami kita, tidak boleh

dibuka, kalau dibuka nanti dia murka, jadi saya tidak berani

membukanya.” ”O,... jangan-jangan madu kita yang disembunyikannya

di dalam. Kita sudah tujuh cukuplah jangan sampai delapan,” kata

yang enam ini.”kakak, janganlah pesan suami kita tidak boleh kita

langgar.” ”ah, bukalah kata yang enam ini”. Karena takutnya, maka

dengan berat hati dibukalah peti itu oleh isteri yang bungsu. Maka

keluarlah seorang puteri yang bernama Selendang Delima, yaitu anak

Sri Bunian yang hilang jadi berarti adik Mambang Segara.

Sebaik puteri ini keluar, maka dia disiksa oleh isteri Mambang

Segara yang enam inilah habis-habisan, dipukul tapi puteri Selendang

Delima tidak mau bercakap, dia hanya menangis saja. ”sudahlah

kak,”kata isteri yang bungsu. Jangan disiksa lagi.” maka pergilah

isteri-isteri yang enam ini dan Selendang Delima diurus oleh isteri-isteri bungsu,

dibedaki baik-baik dan setelah itu apabila pagi tiba diseretlah dia oleh

isteri yang enam ini tadi, mukanya disapu dengan arang, disuruh

menjemur padi dan macam-macam lagi. Penyiksaan yang diberikan

oleh isteri yang enam ini, sore hari dia pulang ke rumah isteri yang

(41)

Demikianlah sampai Mambang Segara pulang dari perantauan,

diceritakanlah tentang putri yang dikeluarkan oleh isterinya yang

enam, tapi itulah bodohnya orang dahulu, tidak ada bertanya puteri

siapa sebenarnya.

Sudah demikian raja pergi lagi berlayar dan isteri yang enam

banyak berkirim barang-barang sedangkan yang bungsu tidak ada

meminta apa-apa dan terakhir bertanya kepada anak tadi (Selendang

Delima). ” Selendang Delima, apa kirimanmu, aku mau berangkat.”

Selendang Delima menjawab. ” saya tidak memesan apa-apa,cuma

apabila tuan hendak pulang, ada sebuah rotan dan batu, tuan bawalah

itu pulang untuk saya, apabila tuan lupa maka perahu akan terpacak

tidak bisa berlayar.” Maka kata Mambang Segara, sungguh bijak

engkau Selendang Delima yang tidak-tidak saja pesananmu, masak

rotan da batu, begitupun tidak mengapa, mudah-mudahan kuingat

nanti.

Maka berangkatlah Mambang Segara berlayar, beberapa bulan

kemudian pulanglah di, dan dilaluinya pulau rindu, tapi Mambang

Segara lupa mengambil rotan dab batu yang dipesankan Selendang

Delima, maka tertahanlah dia lama sekali di pulau itu, dan dia

bertanya kepada ahli nujum, mengapa bisa jadi begini. Maka setelah

direnungkan oleh ahli nujum tersebut dia berkata, ”O,... Tuanku,

(42)

pulau ini.” barulah Mambang Segara ingat maka diambilah rotan dan

batu itu, barulah dia bisa berjalan. Samapi ke negeri dia disambut oleh

rakyat. Dan raja membagi-bagikan pesanan ke enam dan tidak lupa

juga untuk isterinya yang bungsu dan barulah diberikan rotan dan batu

yang dipesan oleh anaknya Selendang Delima.

Dan Selendang Delima meminta selendang kepda makciknya

yang nomor 7. Mintalah selendang satu aku mau mengayun rotan dan

batu ini di bawah tangga. Maka rotan dan batu diayunnya di bawah

tangga sambil bernyanyi.

Ayun-ayunlah ayun rotan dan batu

Letakmu tuan di pulau rindu

Kaulah jelmaan ayah bundaku

Sungguhlah dalam hatiku rindu

Ayun-ayunlah rotan melingkar

Hayolah tuan menjelmalah segera

Obatkan hati pedih dan lara

Terdengarlah Mambang Segara, maka katanya ”Aduh

merdunya suaramu, coba ulang lagi apa yang kau katakan, masak

rotan dan batu yang kau ayun-ayun.” Selendang Delima diam saja,

tapi dia mengulanginya lagi.

Ya Illahi Tuhanku Rabbi

(43)

Mambang Segara nama uwakku

Sri Bunian nama Ibuku

Dewi laksana nama ayahku.

Maka datang Mambang Segara, dilemparkanya rotan dan batu itu

kehalaman, dan menjelmalah berupa bayang-bayang ibunya Sri

Bunian,” Oh, abang rupanya rupanya pedih sekali hati anakku dibuat

oleh isteri abang yang enam itu, hanya isteri yang bungsulah yang

sayang kepadanya, tapi mudah-mudahan Tuhan melindungi anakku

dan diri abang.” barulah Mambang Segara sadar bahwa Selendang

Delima ini adalah anak adiknya Sri Bunian. Maka dipanggilnyalah

isterinya yang enam itu tadi mau disiksanya, tapi Selendang Delima

melarangnya.

”Jangan, maafkanlah mereka . . . . kalau tidak karena perbuatan

mereka mungkin kisah ini tidak terbuka. ” jadi dimaafkanlah isteri yang

enam ini.

Pendek cerita tinggallah isteri yang bungsu dengan Selendang

Delima bersama-sama. Maka kerajaan itu kembali makmur seperti

sedia kala.

(44)

2.3. Tema

Masalah hidup dan kehidupan yang dihadapi dan dialami manusia

amat luas dan kompleks, seluas dan sekompleks permasalahan kehidupan

yang ada (Nurgiyantoro, 2001:71). Walau permasalahan yang dihadapi

manusia tidak sama, ada masalah-masalah kehidupan tertentu yang bersifat

universal. Artinya, hal itu akan dialami oleh setiap orang di manapun dan

kapan pun walau dengan tingkat intensitas yang tidak sama.

Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan

kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-subtema ke dalam karya sastra

sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan

lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dangan makna

(pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan

makna tertentu kehidupan, rnengajak pembaca untuk melihat, merasakan,

dan menghayati makna (pengalaman) kebidupan tersebut dengan cara

memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya.

Tema dalam sebuah karya sastra merupakan salah satu dan sejumlah

unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah

kernenyeluruhan. Bahkan sebenarnya, eksistensi terna itu sendiri sangat

bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang

notabene "hanya" berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita,

tidak mugkin hadir tanpa unsur bentuk yang rnenampungnya. Dengan

(45)

keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita yang lain, khususnya yang oleh

Nurgiyantoro dikelompokkan sebagai fakta cerita (alur, latar, dan tokoh) yang

mendukung dan menyampaikan tema tersebut.

Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa tingkatan yang berbeda,

tergantung dari segi mana hal itu dilakukan. Shipley dalam Nurgiyantoro

(2001:80-82) membedakan tema dalam lima tingkatan. Pembagian Shipley

ini berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, yang tersusun dari tingkatan

paling sederhana sampai tingkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai

oleh manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Tema tingkat fisik, manusja sebagai mqlekui, man as molecul.

Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan

atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan,

la lebih menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh

cerita yang bersangkutan. Unsur latar dalam karya sastra dengan

penonjolan tema tingkat ini mendapat penekanan.

b. Tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma, man as

protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut

dan atau mempersoalkan masalah seksualitas. Berbagai persoalan

kehidupan seksual manusia mendapat penekanan, khususnya

kehidupan seksual yang menyimpang.

c. Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as

(46)

aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan

alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan iain-lain

yang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu

antara lain berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan,

kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan

atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial

lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial.

d. Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as

individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia

sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa

"menuntut" pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam

kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai

banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi

manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya.

e. Tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang

belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya.

Masalah yang menonjol dalam tema tingkat ini adalah masalah

hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiusitas,

atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti

pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

Adapun kegiatan untuk menafsirkan tema sebuah karya sastra

(47)

cerita , penafsiran terhadapnya haruslah dilakukan berdasarkan fakta-fakta

yang ada secara keseluruhan membangun cerita itu. Menurut Mochtar Lubis (

1989 : 25 ) untuk mengetahui tema sebuah karya sastra maka dapat dilihat

dari tiga hal yang berkaitan, yaitu : (a) melihat persoalan yang paling

menonjol; (b) menghitung waktu penceritaan; (c) melihat konflik paling

banyak hadir.

Setelah membaca dan memahami cerita rakyat SD maka penulis

dapat menyimpulkan bahwa SD termasuk cerita rakyat yang tergolong ke

dalam jenis tema tingkat sosial. Dalam cerita rakyat ini menceritakan tentang

kehidupan kakak yang menjadi seorang raja dan keponakan yang tabah serta

pemaaf. Masalah yang menonjol dalam hikayat ini adalah masalah manusia

dengan manusia.

Untuk menentukan tema dalam cerita SD ini maka penulis

mengunakan pendapat mochtar Lubis yang menentukan tema sebuah karya

sastra berdsarkan tiga hal , yaitu :

a. Persoalan yang paling menonjol dalam cerita rakyat SD adalah

kesabaran,pemaaf dan kesetiaan.

b. Dari awal cerita sampai akhir cerita dalam cerita rakyat SD

menceritakan tentang ketulusan hati seorang kakak dan adik serta

(48)

c. Konflik yang paling banyak hadir dalam cerita rakyat SD adalah

Tentang keegoisan dan kebencian Istri-istri ke-1 sampai ke-6 terhadap

istri ke-7 dan Selendang Delima .

Berdasarkan ketiga hal di atas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa

tema dalam cerita rakyat SD adalah tentang perjuangan hidup kakak dan

adik yang tertimpa musibah bencana alam di kampungnya dan kemudian

ingin mecari sebuah negeri yang dapat untuk melanjutkan dan bertahan

hidup.

2.4. Alur

Alur merupakan unsur karya sastra yang penting, bahkan tidak sedikit

orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai

unsur karya sastra yang lain. Tinjauan struktural terhadap karya sastra pun

sering lebih ditekankan pada pembicaraan alur, walau mungkin

mempergunakan istilah lain. Masalah linearitas struktur penyajian peristiwa

dalam karya sastra banyak dijadikan objek kajian. Hal itu kiranya juga

beralasan sebab kejelasan alur, kejelasan tentang kaitan antarperistiwa yang

dikisahkan secara linear, akan mempermudah pemahaman kita terhadap

cerita yang ditampilkan. Kejelasan alur dapat berarti kejelasan cerita,

kesederhanaan alur berarti kemudahan cerita untuk dimengerti. Sebaliknya,

alur sebuah karya sastra yang kompleks, ruwet, dan sulit dikenali hubungan

(49)

Alur sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan

waktu, baik ia dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu,

dalam sebuah cerita, tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian

berikutnya, dan barangkali ada pula akhirnya (Nurgiyantoro, 2001:141).

Namun, plot sebuah hikayat sering tidak menyajikan urutan perisitiwa secara

kronologis dan runtut, melainkan penyajian yang dapat dimulai dan diakhiri

dengan kejadian yang mana pun juga tanpa adanya keharusan untuk

memulai dan mengakhiri dengan kejadian awal dan kejadian terakhir.

Dengan demikian, tahap awal cerita tidak harus berada di awal cerita atau

djbagian awal teks, melainkan dapat terletak di bagian mana pun.

Hal yang demikian dapat terjadi disebabkan urutan waktu penceritaan

sengaja dimanipulasikan dengan urutan peristiwa la mungkin dimaksudkan

untuk mendapatkan bentuk pengucapan baru dan efek artistik tertentu,

kejutan, ataupun sebentuk suspense di pihak pembaca. Teknik

pengungkapan cerita, atau teknik pengaluran, yang demikian biasanya justru

lebih menarik karena memang langsung dapat menarik perhatian pembaca.

Pembaca tangsung berhadapan dengan konflik, yang tentu saja, ingin segera

mengetahui sebab-sebab kejadian dan bagaimana kelanjutannya.

Pada dasarnya, alur sebuah cerita haruslah bersifat padu. Antara

perisitiwa yang satu dengan yang lain, antara perisitwa yang diceritakan lebih

dahuiu dnegan yang kemudian, ada hubungan, ada sifat saling keterkaitan.

(50)

hubungan kewaktuannya lepas dari tempatnya daiam teks cerita yang

mungkin di awal, tengah atau akhir. Alur yang memiliki sifat keutuhan dan

kepaduan, tentu saja, akan menyuguhkan cerita yang bersifat utuh dan padu

pula.

Untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita, Tasrif dalam Muchtar

Lubis (1989:10) mengemukakan bahwa sebuah alur haruslah terdiri dari lima

tahapan. Kelima tahap tersebut penting untuk dikenali, terutama jika kita

bermaksud menelaah alur karya sastra yang bersangkutan. Kelima tahapan

itu adalah sebagai berikut:

(1) Tahap Situation (tahap penyituasian), tahap yang terutama berisi

pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini

merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian inforrnasi awal,

dan lain-lain yang, terutama, berfungsi untuk melandastumpui

cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

(2) Tahap Generating Circumstances (tahap pemunculan konflik),

masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut

terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan

tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan

berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada

tahap berikutnya. Tahap pertama dan kedua pada pembagian ini,

(51)

(3) Tahap Rising Action (tahap peningkatan konflik), konflik yang

telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkernbang

dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa

drarnatik yang menjadi inti cerita bersifat semakin mencekam dan

menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi mengarah ke klimaks

semakin tidak dapat dihindari.

. (4) Tahap climax (tahap klimaks), konffik dan atau

pertentangan-pertentarigan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan

kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak.

Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang

berperart sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.

Sebuah cerita yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu

klimaks, atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian.

(5) Tahap Denouement (tahap penyelesaian), konflik yang telah

mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan.

Konflik-konflik yang lain, subsubkonflik, atau konflik-konflik

tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.

Setelah penulis membaca, menghayati, dan memahami centra rakyat

SD maka dapat digambarkan alur yang terdapat dalam cerita tersebut adalah

plot lurus atau progresif. Artinya bahwa dalam cerita rakyat SD pelukisan alur

(52)

Adapun pentahapan alur dalam cerita rakyat SD adalah sebagai

berikut :

1) Tahap Situation, tahap awal dalam cerita rakyat SD dimulai pada

tahapan si pengarang mulai melukiskan sebuah kerajaan yang

bernama Bandar Pirus yang mana mengalami sebuah bencana.

Dengan datangnya seekor burung garuda yang memusnahkan seluruh

kerajaan tersebut. Yang dapat terselamatkan hanya seorang kakak

adik, yang bernama Mambang Segara dan Sri Bunian. Hal tersebut

dapat dilihat pada kutipan cerita sebagai berikut.

"pada zaman dahulu kala ada sebuah kerajaan yang benama

Bandar Pirus,negeri ini sangat makmur dan sejahtera. Namun, tidak

berapa lama datanglah seekor burung garuda yang memusnahkan

seluruh penduduk negeri itu. Hanya yang dapat selamat seorang anak

muda yang bernama Mambang Segara dengan adiknya Sri Bunian.

Kesudahanya abangnya bertekad akan pergi dari kampung tersebut.

Dari hari kehari si adik tinggal dirumah, dan apabila sore hari

tiba si abang pun kembali ke rumah, pagi hari dia pergi lagi

meneruskan pekerjaannya untuk membuat perahu. Pada suatu hari

berkatalah si abang ”Adikku kalau lapar sekali engkau, makanlah

buah-buahan yang lain, tapi buah yang satu ini jangan kau makan, itu

namanya buah delima, kalau kau makan juga datang aib pada dirimu.”

(53)

2) Tahap Generating Circumstances, yaitu tahap dimana peristiwa mulai

bergerak memunculkan konflik. Peristiwa-peristiwa yang termasuk

dalam tahapan ini adalah dimulai saat Sri Bunian memakan buah yang

dilarang oleh Mambang Segara yaitu buah Delima. Karena buah

Delima tersebut adalah buah jelmaan Dewa. Sehingga Sri Bunian

tertimpa aib karena memakan buah Delima, sampai ia menggandung

anak dari Jelmaan Dewa tersebut. Ini dikuatkan dari kutipan cerita

sebagai berikut:

Jadi pada suatu hari entah bagaimana ingin sekali adik

memakan buah Delima itu, lantas dimakannyalah buah itu, tapi ini

tidak diberitahukannya kepada abangnya. Maka terjadilah perubahan

pada dirinya bulan demi bulan, karena ia hamil buah itu bukan buah

biasa, tapi buah jelmaan Dewa, setiap hari terjadi perubahan hamilnya

semakin besar dan dia sangat malu.

Sewaktu abangnya pergi lagi mengerjakan perahunya yang

hamper selesai, dan dia hanya tinggal sendiri dirumah, lahirlah

anaknya yang jelmaan dari buah Delima. Setelah itu dibersihkannnya

anak itu baik-baik dan dimasukkannya ke dalam peti.

Ketika abangnya pulang Sri Bunian sudah tidak ada lagi hilang

ghaib, akibat memakan buah Delima itu, hanya tinggal anaknya saja

yang telah dimasukkannya ke dalam peti. Abangnya menjerit-jerit

(54)

“Abangku, bila abang merantau bawalah peti itu baik-baik, jangan

dibuka kalau belum tiba saatnya. Kalau abang nanti sudah senang,

sudah menjadi Raja barulah abang boleh buka.” Jadi pesan adiknya ini

dipatuhinya.

3) Tahap Rising Action (tahap peningkatan konflik), pada tahap ini cerita

mulai bergerak ke arah konflik cerita. Adapun peristiwa-peristiwa yang

terdapat dalam tahapan pada cerita rakyat SD adalah ketika Mambang

Segara telah siap menyelesaikan perahunya, berlayarlah dia merantau

sehingga sampai di sebuah negeri. Di negeri tersebut dia diangkat

menjadi Raja. Karena baik dan perkasanya, banyak orang

menyodorkan putri-putrinya untuk dijadikan isteri sampai berjumlah

tujuh orang yang enam satu istana, sedangkan isteri yang ke tujuh

dilainkan tempatnya, karena dia yang paling disayang Mambang

Segara.

Jadi sewaktu Raja berlayar, datanglah ke enam isterinya

kerumah isterinya yang bungsu dan mereka melihat sebuah peti dan

bertanya ; ”Dik apa yang ada di dalam peti itu?” ”O, ... jangan-jangan

madu kita yang disembunyikannya di dalam. Kita sudah tujuh cukuplah

jangan sampai delapan, ”kata yang enam ini.” ”Kakak, janganlah

pesan suami kita tida boleh kita langgar.” ”Ah, bukalah kata yang

(55)

oleh isteri yang bungsu. Maka keluarlah seorang puteri yang bernama

Selendang Delima, yaitu anak Sri Bunian.

Sebaik puteri itu keluar, maka dia disiksa oleh isteri Mambang

Segara yang enam inilah habis-habisan, dipukul tapi puteri Selendang

Delima tidak mau bercakap, dia hanya menangis saja. ”Sudahlah kak,”

kata isteri yang bungsu. Jangan disiksa lagi.” maka pergilah isteri-isteri

yang enam ini dan Selendang Delima diurus oleh isteri bungsu,

dibedakin baik-baik dan setelah itu apabila pagi tiba diseretlah dia oleh

isteri yang enam ini tadi, mukanya disapu dengan arang, disuruh

menjemur padi dan macam-macam lagi. Penyiksaan yang diberikan

oleh isteri yang enam ini, sore hari dia pulang ke rumah isteri yang

bungsu.

Demikianlah sampai Mambang Segara pulang dari

perantauan,diceritakanlah tentang putri yang dikeluarkan oleh isterinya

yang enam, tapi itulah bodohnya orang dahulu, tidak adabertanya putri

siapa sebenarnya.

Tahap Climax (tahap puncak cerita), tahap ini terdapat pada peristiwa

ketika Mambang Segara pergi merantau dan istri ke enam banyak

meminta sesuatu kepada Mambang Segara untuk dibawa pulang.

Sedangkan, yang bungsu tidak ada meminta apa-apa begitu juga

dengan Selendang Delima. Namun apabila Mambang Segara pulang,

(56)

Mambang Segara lupa maka perahu akan terpacak tidak bisa berlayar

sehingga ia tidak bisa pulang ke negerinya lagi.

Hingga berangkatlah Mambang Segara berlayar, beberapa

bulan kemudian pulanglah dia, dan dilaluinya pulau Rindu, tapi

Mambang Segara lua membawa rotan dan batu yang dipesankan oleh

Selendang Delima.

Peristiwa tersebut dapat dijumpai dalam kutipan cerita SD

sebagai berikut :

Sudah demikian raja sering pergi lagi berlayar dan istri yang

enam banyak berkirim barang-barang sedangkan yang bungsu tidak

ada meminta apa-apa dan terakhir bertanya kepada anak tadi (

Selendang Delima). ”Selendang Delima, apa kirimanmu, aku mau

berangkat.” Selendang Delima menjawab. ”saya tidak memesan

apa-apa, cuman apabila tuan hendak pulang, ada sebuah rotan dan batu,

tuan bawalah itu pulang untuk saya, apabila tuan lupa maka perahu

akan terpacak tidak bisa berlayar.” Maka kata Mambang Segara,

sungguh bijak engkau Selendang Delima yang tidak-tidak saja

pesananmu, masak rotan dan batu, begitupun tidak mengapa,

mudah-mudahan kuingat nanti.

Maka berangkatlah Mambang Segara berlayar, beberapa bulan

kemudian pulanglah dia,dan dilaluinya pulau Rindu, tapi Mambang

(57)

Selendang Delima, maka tertahanlah dia lama sekali di pulau itu, dan

dia bertanya kepada ahli nujum, mengapa bisa jadi begini. Maka

setelah direnungkan oleh ahli nujum tersebut dia berkata. ”O, . . .

Tuanku, rupanya tuan lupa pesanan seorang anak, barang yang ajaib

dari pulau ini.” Barulah Mambang Segara ingat, maka diambillah rotan

dan batu itu, barulah dia bisa berjalan. Sampai ke Negeri dia disambut

oleh rakyat, dan raja membagi-bagikan pesanan ke enam isterinya

dan tidak lupa juga untuk isterinya yang bungsu yang paling

dikasihinya dan barulah diberikan rotan dan batu yang dipesan oleh

anaknya Selendang Delima.

4) Tahap Denoument (tahap penyelasaian cerita), peristiwa yang

terdapat pada tahapan ini adalah ketika Selendang Delima meminta

selendang kepada makciknya yang paling bungsu untuk mengayunkan

rotan dan batu di bawah tangga. Kemudian dia mulai bernyanyi sambil

mengayun-ayunkan rotan dan batu itu.

Maka terdengarlah oleh Mambang Segara dan dia menyuruh

Selendang Delima untuk menggulangi lagi nyanyiannya itu karena

terdengar sangat merdu.kemudian datanglah Mambang Segara sambil

melemparkan rotan dan batu ke halaman rumah dan menjelmalah

berupa bayang-bayang ibunya Sri Bunian. Peristiwa tersebut dapat

(58)

Dan Selendang Delima meminta selendang kepada makciknya

yang bungsu. Mintalah selendang satu aku mau mengayun rotan dan

batu ini di bawah tangga. Maka rotan dan batu diayunnya di bawah

tangga sambil bernyanyi.

Ayun-ayunlah rotan dan batu

Letakmu tuan di pulau Rindu

Kaulah jelmaan ayah bundaku

Sungguhlah dendam hatiku rindu

Ayunlah ayun rotan melingkar

Pedihnya hati bagai dibakar

Hayolah tuan menjelmah segera

Obatkan hati pedih dan lara.

Terdengarlah oleh Mambang Segara, maka katanya “Aduh

merdunya suaramu, coba ulang lagi apa yang kau katakan, masak

rotan dan batu yang kau ayun-ayunkan.” Selendang Delima diam saja,

tapi dia menggulanginya lagi.

Ya illahi Tuhanku Rabbi

Sakitnya hati bagaikan kambing dikuliti

Mambang Segara nama uwakku

Sri Bunian nama ibuku

(59)

Maka datang Mambang Segara, dilemparkannya rotan dan batu itu

kehalaman, dan menjelmalah berupa bayang-bayang ibunya Sri Bunian. Dan

berkatalah Sri Bunian, “Oh, abangku rupanya pedih sekali hati anakku dibuat

oleh isteri abang yang enam itu, hanya isteri yang bungsulah yang sayang

kepadanya, tapi mudah-mudahan tuhan melindungi anakku dan diri abang.”

Barulah Mambang Segara sadar bahwa Seledang Delima ini adalah anak

adiknya Sri Bunian. Maka dipanggilnyalah isteri yang enam itu tadi mau

disiksanya, tapi Selendang Delima melarangnya.

“jangan, maafkanlah mereka . . . . .kalau tidak karena perbuatan

mereka mungkin kisah ini tidak terbuka.” Jadi dimaafkannyalah isteri yang

enam ini. Pendek cerita tinggallah isteri yang bungsu dengan Selendang

Delima bersama-sama. Maka kerajaan itu kembali makmur sedia kala.

2.5. Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran

pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro,

201:2.18). Latar memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas. Hal ini

penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan

suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.

Pembaca, dengan demikjan, merasa dipermudah untuk "mengoperasikan"

daya imajinasi-nya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara

(60)

merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang

diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa

menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian

dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat,

warna lokal, lengkap dengar, perwatakannya ke dalam cerita.

Menurut Nurgiyantoro (2001:227) unsur latar dapat dibedakan ke

dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu

walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat

dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling

mernpengaruhi satu dengan yang iainnya. Ketiga unsur latar tersebut secara

singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Latar tempat, latar ini menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa

yang diceritakan daiam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang

dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu,

inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat

yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misainya

pantai, hutan, desa, kota, kamar, ruangan, dan lain-lain.

(2) Latar waktu, latar ini berhubungan dengan masalah ”kapan"

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra.

Masalah "kapan" tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual,

waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

Referensi

Dokumen terkait

1) Tahap Situation, tahap awal dalam cerita rakyat TBM dimulai pada tahapan si pengarang mulai melukiskan kehidupan sebuaah keluarga yang hidup di sumatera timur yang masih

Oleh demikian, objektif kajian ini adalah untuk menganalisis nilai-nilai murni dalam cerita-cerita rakyat Melayu yang terkandung dalam buku Seuntai Himpunan 366 Cerita Rakyat

Kegiatan analisa data ini dilakukan dengan cara mengkaji unsur mitos yang terkandung dalam cerita rakyat, mengkaji nilai budaya yang terkandung di dalamnya, juga

Kajian ini dilaksanakan untuk membuktikan bahawa cerita rakyat Melayu sememangnya kaya dengan nilai-nilai Islam yang dapat membentuk sosiobudaya dalam kalangan kanak-kanak..

Berdasarkan penjabaran hasil analisis dapat disimpulkan bahwa penelitian yang berjudul “Internalisasi Nilai-nilai Kearifan Lokal Masyarakat Melayu dalam Cerita Rakyat Sei Tualang

Wujud nilai moral hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang terdapat pada cerita rakyat Situ Sangiang adalah hubungan tokoh dalam novel terhadap dirinya sendiri

Analisis nilai budayayang terdapat dalam cerita legenda Batu Randuk , yaitu pandangan terhadap hidup dalam cerita tersebut yang berorientasi pada hidup untuk berbakti

Cerita rakyat tersebut mengisahkan hal-hal yang berkaitan dengan fenomena alam, kehidupan sosial budaya masyarakat, dan adat istiadat asal cerita.. Tulisan ini merupakan penelitian