NILAI-NILAI SOSIOLOGI CERITA RAKYAT
SELENDANG
DELIMA
MASYARAKAT MELAYU LANGKAT
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
NAMA
: MUHAMMAD CITRA HANJAYA
NIM
: 040702013
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU
MEDAN
NILAI-NILAI SOSIOLOGI CERITA RAKYAT SELENDANG DELIMA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT
SKRIPSI SARJANA Dikerjakan
O L E H
MUHAMMAD CITRA HANJAYA 040702013
Pebimbing I Pembimbing II
Drs. Yos Rizal, MSP
NIP 19650909 199403 1 004 NIP 19600101 198803 1 007
Drs.Baharuddin,M.Hum
Skripsi ini disajikan kepada panitia Ujian fakultas Sastra USU melengkapii salah satu syarat ujian SARJANA dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Melayu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU
MEDAN
Pengesahan
Diterima Oleh :
Panitia ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Ilmu Bahasa & Sastra Daerah Fakultas Sastra USU Medan
Tanggal :
Hari :
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dekan
NIP 19650909 199403 1 004 Prof.Syaifuddin,M.A,Ph.D
Panitia Ujian
No Nama Tanda Tangan
1. ……….... ( )
2. ……….... ( )
3. ……….... ( )
4. ……….... ( )
5. ……….... ( )
6. ……….... ( )
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senatiasa memberikan nikmat
dan rahmatnya, sehingga sekripsi ini dapat diselesaikan. Syalawat beriring
salam penulis atas NAbi Muhammad SAW sebagai penuntun kita dari alam
kegelapan ke alam yang “terang benderang”.
Skripsi ini berjudul “NILAI-NILAI SOSIOLOGI CERITA RAKYAT
SELENDANG DELIMA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT”. Skripsi ini
merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara Jurusan Sastra Daerah Program Studi Bahasa
dan Sastra Melayu.
Selama penyusunan skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan,
tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, penulis dapat
memyelesaikan skripsi ini. Untuk itu sewajarnyalah penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof.Syahfuddin,M.A,Ph.D (selaku Dekan fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara) yang telah banyak memberikan masukan,
nasehat, serta bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Drs.Yos Rizal,MSP baik sebagai Dosen sekaligus pembimbing I
3. Bapak Drs.Baharuddin,M.Hum baik sebagai Ketua Jurusan Sastra
Daerah maupun sebagai pembimbing II yang telah banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak warisman sinaga, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Sastra
Daerah.
5. Semua dosen di lingkungan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
6. Teristimewa kepada Ayahanda Drs. Tengku Ismeth dan Almarhumah
Ibunda khadijah tercinta yang telah membantu penulis secara moril
maupun materil.
7. Ibunda Hj. Tengku Maherani, dan suaminya Fahzrul Cahyari Nasution,
selaku saudara dan sekaligus orang tua angkat penulis yang telah
banyak membantu penulis dalam memberikan semangat untuk dapat
menyelesaikan kuliah secepatnya, tanpa ada dorongan dari beliau
mungkin penulis tidak dapat secepatnya menyelesaikan skripsi.
8. Saudara-saudaraku yang tercinta: T.Ferisha Saviera,T. Ferdyan Andry,
T.Reza Rupiandy, T.Ilham Fadillah, T.Indah Permata Sari, T. Bella
Safira, T. Ayu Syahfitri, dan seluruh keluarga yang telah banyak
memberikan doa dan semangat kepada penulis dalam menempuh
perkuliahan sampai selesai.
9. Teristimewa buat Eni Febrisari, Rahmad Hdayat, SS, Fuad Syahrial, SS,
Armen Sofyan Hrp, SS, Eri Syahputra, SS, Jandriwico Simamora, Eka
Laily Hazwani,SS, Sunarto,SS, dan seluruh mahasiswa jurusan sastra
daerah yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, telah banyak
10. memberikan masukkan-masukkan yang berharga dalam penyelesaian
Skripsi ini.
Penulis tidak dapat membalas kebaikan dan bantuannya yang telah
diberikan, sehingga terwujudnya skripsi ini, Hanya Allah yang dapat
membalasnya. Akhirnya, penulis menyadari sedalam-dalamnnya bahwa
skripsi ini hanya merupakan salah satu persyaratan untuk menempuh ujian
kesarjanaan pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Kalau dilihat
dari isinya mungkin masih jauh dari apa yang di harapkan , namun itulah
kemampuan penulis. Dengan rendah hati penulis menerima kritikan dan
saran yang membangun dari pembaca, sehingga skripsi ini lebih
disempurnakan dan bermanfaat bagi kita semua, khususnya mahasiswa
Fakultas Sastra Dan Masyarakat Melayu.
Semoga Allah SWT akan Selalu Memberikan taufik dan hidayahNya
kepada orang-orang yang mau berbuat baik.
Medan, 2010
Penulis
Nim : 040702013
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberi
rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun
judul skripsi ini adalah NILAI-NILAI SOSIOLOGI CERITA RAKYAT SELENDANG
DELIMA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT. Skripsi ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai dasar penyusunan skripsi untuk para penulis lain.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan
banyak kekurangannya karena keterbatasan yang penulis miliki, namun
penulis berusaha sebaik mungkin untuk mendeskripsikan Tinjauan sosiologis
yang terdapat dalam cerita Rakyat Selendang Delima tersebut. Pada
kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran dari para Dosen
Penguji dan pembimbing agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik lagi.
Medan, 2010
Penulis
Nim : 040702013
DISETUJUI OLEH :
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
JURUSAN SASTRA DAERAH
KETUA JURUSAN
DAFTAR ISI
Halaman UCAPAN TERIMA KASIH ... I
KATA PENGANTAR ... IV DAFTAR ISI ... VI BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1.2 Rumusan Masalah ... 1.3 Tujuan Penelitian ... 1.4 Manfaat Penelitian ... 1.5 Orisinilitas Penelitian ... 1.6 Objek Penelitian ... 1.7 Landasan Teori ... 1.7.1 Teori Struktural... 1.7.2 Sosiologi Sastra ... 1.8 Metode Penelitian ... 1.8.1 Jenis Penelitian ... 1.8.2 Metode Penelitian Data ... 1.8.3 Metode Analisis Data ...
BAB II ANALISIS STRUKTUR CERITA RAKYAT SELENDANG DELIMA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT ... 2.1 Analisis Struktur cerita... 2.2 Ringkasan Cerita ... 2.3 Tema ... 2.4 Alur ... 2.5 Latar ... 2.6 Watak dan Perwatakan ...
BAB III NILAI-NILAI SOSIOLOGI CERITA RAKYAT
SELENDANG DELIMA PADA MASYARAKAT
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 4.1 Kesimpulan ... 4.2 Saran ...
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Masalah
Karya sastra diciptakan untuk dinikmati dan dijadkan sebagai
kebudayaan, dipahami dan dimanfaatkan oleh pembaca. Perkembangan
karya sastra dari zaman ke zaman tidak luput dari populasi manusia yang
semakin terus bertambah. Seiring perkembangan dan kemajuan zaman,
karya sastra semakin berkembang pula.
Melayu mempunyai banyak kesusasteraan dan masih berkisar pada
sastra lisan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa alat utama dari kesusasteraan
itu adalah bahasa. Bahasa adalah pendukung kesusasteraan, sedangkan
tulisan hanya merupakan lambang-lambang pengganti bahasa ( parkamin,
1973:11). Sastra itu sebagian besar tersimpan di dalam ingatan orang tua,
pawang atau tukang cerita yang jumlahnya semakin berkurang dimakan usia.
Di mana pengarang hasil sastra lisan biasanya tidak diketahui dengan pasti
(anonim).
Sastra lisan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sastra
tertulis. Dengan adanya sastra tertulis, sastra lisan terus hidup berdampingan
dengan sastra tertulis. Oleh sebab itu, studi tentang sastra lisan merupakan
hal penting bagi para ahli yang ingin memahami peristiwa perkembangan
yang terjadi. Hal ini disebabkan adanya hubungan antara studi sastra lisan
dengan sastra tertulis sebagaimana adanya kelangsungan tidak terputus
antara sastra lisan dan sastra tertulis (Wellek, 1996:47).
Sastra lisan merupakan bagian dari satu kebudayaan yang tumbuh
dan berkembang di tengah-tengah masyarakat serta diwariskan
turun-menurun secara lisan sebagai milik bersama. Ragam sastra yang demikian
tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang, dan
penyalur perasaan serta pendengaran, melainkan juga sebagai alat
pemeliharaan norma-norma masyarakat.
Sastra lisan, termasuk cerita lisan tersebut. Merupakan warisan
budaya nasional yang masih mempunyai nilai-nilai positif untuk
dikembangkan dan dimanfaatkan dalam kehidupan yang akan datang, antara
lain dalam hubungan dengan pembinaan apresiasi sastra. Sastra lisan juga
telah lama berperan sebagai wahana pemahaman gagasan pewarisan tata
nilai yang tumbuh dalam masyarakat. Bahkan, sastra lisan telah
berabad-abad berperan sebagai dasar komunikasi antara penulis dan masyarakat,
dalam arti sebuah karya sastra yang berdasarkan lisan akan lebih mudah
diterima karena ada unsur yang dikenal masyarakat (Rusyana, 1995).
Dalam keadaan masyarakat yang tengah membangun, seperti halnya
masyarakat Indonesia sekarang ini, berbagai bentuk kebudayaan lama
termasuk sastra lisan, bukan mustahil akan terabaikan di tengah-tengah
Sehingga dikhawatirkan lama kelamaan akan hilang tanpa bekas atau
berbagai unsurnya yang asli sudah tidak muncul lagi dalam cerita.
Berdasarkan kedudukan dan peranan sastra lisan yang cukup penting,
maka penelitian sastra lisan perlu dilakukan upaya penyelamatan karya
sastra. Mengingat terjadinya perubahan dalam masyarakat, seperti adanya
kemajuan dalam teknologi, seperti radio dan televisi dapat menyebabkan
hilangnya sastra lisan di seluruh Nusantara. Dengan demikian, penelitian
sastra lisan berarti melakukan penyelamatan karya sastra dari kepunahan,
yang dengan sendirinya merupakan usaha pewarisan nilai budaya, karena
dalam sastra lisan itu banyak ditemui nilai, cara hidup serta berfikir
masyarakat (nilai-nilai sosiologis masyarakat) yang memiliki sastra lisan.
Demikain halnya dengan sastra lisan Melayu Langkat.
Salah satu genre prosa rakyat dari kesusasteraan melayu adalah
cerita rakyat yang lahir dari etnik masyarakat Melayu Langkat. Sastra lisan
Melayu Langkat merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang perlu
diselamatkan. Salah satu usaha penyelamatannya adalah dengan
mengadakan penelitian dan inventarisasi. Di samping itu, penelitian ini
bermanfaat pula sebagai salah satu upaya pembinaan dan pengembangan
sastra lisan yang bersangkutan, serta sekaligus mempunyai manfaat dalam
rangka pembinaan dan pembagunan budaya daerah yang menjadi bagian
Dari sekian banyak sastra lisan Melayu Langkat, satu diantaranya
adalah cerita rakyat Selendang Delima yang selanjutanya akan disingkat
menjadi SD. SD adalah cerita rakyat Melayu Langkat yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat serta merupakan cerminan masyarakatnya.
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara penulis tanggal 20 oktober 2008
dengan salah seorang nara sumber, Sahridin telah berusia 68 Tahun
bertempat tinggal Di kampung Perhiasan, Kecamatan Selesai, Kabupaten
Langkat, beliau mengatakan bahwa cerita ini dahulunya sangat populer
dalam masyarakat Melayu Langkat.
SD menceritakan musibah dialami oleh kerajaan bernama Bandar Pirus, akibat datangnya seekor burung garuda yang menyambar dan
melenyapkan kampung Bandar Pirus itu, sehingga kampung itu musnah
semuanya. Adapun yang dapat selamat hanyalah seorang anak muda yang
bernama Mambang Segara dan adiknya yang bernama Sri Bunian.
Penulis mengharapkan agar cerita rakyat SD ini perlu dilakukan
penelitian yang ditinjau dari aspek nilai-nilai sosiologis di dalam masyarakat.
Dengan dilakukan penelitian tersebut, penulis dapat mengetahui adanya
hubungan masyarakat dengan cerita rakyat SD, dan apakah masyarakat
masih mempercayai serta mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakat
Melayu Langkat.
Ditinjau dari segi kemasyarakatan, penelitian ini juga mempunyai arti
Indonesia dan Daerah. Secara tidak langsung penelitian ini juga memberikan
sumbangan bahan pembinaan kepribadian bangsa, terutama sastra lisan
yang memuat unsur pendidikan budi pekerti luhur.
1. 2 Rumusan Masalah
Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka diperlukan perumusan
masalah yang tepat agar pembahasan terhadap cerita rakyat Selendang
Delima tidak meluas dan tidak mencapai sasaran yang dikehendaki.
Permasalahan yang akan dibicarakan dalam tulisan ini pada
hakikatnya mencakup aspek nilai-nilai sosiologis dalam cerita rakyat tersebut
maka dianggap perlu untuk menelaah terlebih dahulu dari aspek-aspek
pembangun dari cerita rakyat tersebut atau unsur-unsur pembentuk dalaman
cerita (unsur intrinsik) rakyat SD.
Adapun masalah yang akan dibahas dalam skrisi ini adalah :
1. Struktur Intrinsik apa sajakah yang membangun cerita SD ?
2. Nilai-nilai sosiologi apa sajakah yang terdapat dalam cerita rakyat SD ?
1. 3 Manfaat Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah maka kajian sosiologis dalam
cerita rakyat SD secara khusus bertujuan untuk :
1. Mengetahui struktur intrinsik cerita rakyat SD yang terdiri dari tema,
2. Mengetahui nilai-nilai sosiologi dalam cerita rakyat SD.
Manfaat yang diharapkan oleh penelitian harus :
1. membantu pembaca untuk memahami unsur-unsur yang membangun
cerita rakyat SD.
2. membantu pembaca untuk memahami adanya nilai-nilai sosiologi
dalam cerita rakyat SD.
3. memelihara karya sastra lisan agar terhindar dari kemusnahan dan
dapat diwariskan pada generasi yang akan datang.
1. 4 Anggapan Dasar
Suatu penelitian memerlukan anggapan dasar yang dapat
memberikan gambaran arah pengumpulan data yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti. Syah (1997:3), mengatakan ”anggapan dasar adalah
titik tolak pemikiran untuk peneyelidikan tertentu, titik tolak yang dapat
diterima kebenarannya”. Berdasarkan pemikiran pendapat di atas maka
penulis memiliki anggapan dasar bahwa dalam cerita rakyat SD memiliki
1. 5 Orisinalitas Penelitian
Penelitian terhadap cerita rakyat SD ini telah dilakukan oleh Trisna
Jayawati dan kawan-kawan yang bekerjasama dengan Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara pada tahun 1997. Dengan
menerbitkan naskah cerita rakyat SD. Namun mereka hanya membuat
naskah saja, tidak mengkaji lebih lanjut atau menerbitkan hasil penelitian
mereka ke dalam buku, melainkan hanya menceritakan kembali cerita
tersebut tanpa menganalisis cerita rakyat SD baik dengan pendekatan sastra
maupun dengan pendekatan sosiologi sastra.
Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa kajian yang penulis
kerjakan terhadap cerita rakyat SD merupakan karya ilmiah yang asli (orisinil)
dan belum pernah dikaji oleh peneliti manapun. Adapun kajian yang penulis
fokuskan adalah nilai-nilai sosiologi yang terkandung di dalam cerita SD.
1. 6 Objek Penelitian
Naskah yang menkjadi objek penelitian penulis adalah kumpulan cerita
Rakyat Melayu Sumatera Utara yang diteliti oleh Trisna Jayawati, Sulistiati,
dan Yeni Mulyani pada tahun 1997 dengan data sebagai berikut :
a. Judul Buku : Cerita Rakyat Selendang Delima
b. Penulis : Trisna Jayawati, Sulistiati, dan Yeni Mulyani
c. Cover Depan : Tidak Bergambar Berwarna Merah dan Kuning
e. Tebal Halaman : 187 Halman
f. Ukuran : 12 x 17,5
g. Tahun Penerbit : 1997
h. Penerbit : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera
Utara
1.7 LANDASAN TEORI
Untuk membahas tentang struktur dalam teori struktural dan
nilai-nilai sosiologi yang terkandung di dalam cerita rakyat SD digunakan
teori pendekatan yaitu teori strukutural dan teori Sosiologi Sastra.
Kedua teori pendekatan tersebut digunakan untuk mengetahui
sekaligus mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang
terdapat di dalam cerita tersebut. Berikut akan dipaparkan kedua teori
pendekatan tersebut.
1.7.1 Teori Struktural
Pendekatan Struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan
Strukturalisme Praha. Pendekatan ini mendapat pengaruh langsung
ke sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah
perkembangannya, melainkan pada hubungan antar unsurnya.
Masalah unsur dan hubungan antar unsur merupakan hal yang penting
dalam pendekatan ini.
Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut strukturalisme
adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh unsur
(pembangunnannya). Disatu pihak, struktur karya satra dapat diartikan
sebagai susunan penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian
yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk
kebulatan yang indah (Abrams dalam Nurgiyanto, 2001 : 46).
Di pihak lain, Struktur karya sastra juga menyarankan pada
pengertian hubungan antar unsur (intrinsik) yang bersifat timbal-balik,
saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama
membentuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri, terisolasi dari
keseluruhannya, bahan, unsur atau bagian-bagian tersebut tidak
penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang
lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana.
Selain istilah struktural yang terdapat di atas, dunia kesasteraan
mengenal istilah struturalisme. Strukturalisme dapat di pandang
kajian hubungan antar unsur pembangunan karya yang bersangkutan.
Jadi strukturalisme (disamakan dengan pendekatan objektifnya
Abrams) dapat dipertentangkan dengan pendekatan yang lain, seperti
pendekatan mimetik, ekspresif, dan pragmatik (Abrams dalam Teeuw,
1989: 89).
Namun di pihak lain, strukturalisme, menurut Hawkes (dalam
Nurgiyantoro, 2004: 47), pada dasarnya juga dapat dipandang sebagai
cara berfikir tentang dunia yang lebih merupakan susunan hubungan
dari pada susunan benda. Dengan demikian, kodrat setiap unsur dalam
bagian sistem struktur itu baru mempunyai makna setelah berada
dalam hubungannya dengan unsur-unsur yang lain yang terkandung di
dalamnya. Kedua pengertian tersebut tidak perlu dipertentangkan
namun justru dapat dimanfaatkan secara saling melengkapi.
Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini, dapat
dilakukan dengan mengidentifikasikan, mengkaji, dan mendeskripsikan
fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik cerita yang bersangkutan.
Mula-mula diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya bagaiman
keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut
pandang, dan lain-lain. Setelah coba dijelaskan bagaimana fungsi
bagaimana hubungan antar unsur itu sehingga secara bersama
membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Misalnya,
bagaimana hubungan antar peristiwa yang satu dengan yang lain,
kaitannya dengan pemplotan yang tidak selalu kronologis, kaitannya
dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya.
Dengan demikian pada dasarnya analisis struktural bertujuan
memaparkan secermat mungkin fungsi dan kekaitan antar berbagai
unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah
keseluruhan. Analisis struktural tidak cukup dilakukan hanya sekedar
mendata unsur tertentu sebuah karya sastra, misalnya peristiwa, plot,
tokoh, latar, atau yang lain. Namun yang lebih penting adalah
menunjukan bagaimana hubungan anatar unsur itu, dan sumbangan
apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan
yang ingin dicapai. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa karya
sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan unik, disamping
setiap karya mempunyai ciri ke kompleksan dan keunikan tersendiri.
Hal ini antara lain yang membedakan antara karya yang satu dengan
yang lain. Namun, tidak jarang analisis fragmentaris yang
terpisah-pisah. Analisis yang demikian inilah yang dapat dituduh sebagai
Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi
unsur-unsur dan mikrotes, suatu keseluruhan wacana, interstekstual
(Hartoko dan Rahmanto, 1996: 136), Analisis unsur-unsur mikrotes itu
misalnya berupa analisis dalam kata-kata kalimat, atau kalimat-kalimat
dalam alinea atau konteks wacana yang lebih besar. Namun, ia dapat
juga berupa analisis dan hubungan antar unsur satu keseluruhan
wacana dapat berupa analisis bab per bab, atau bagian-bagian secara
keseluruahan seperti dibicarakan di atas. Analisis relasi intertekstual
berupa kajian hubungan antarteks, baik dalam satu periode (misalnya
untuk karya-karya sastra Melayu zaman Hindu) maupun dalam
periode-periode yang berbeda (misalnya antar karya-karya sastra Melayu
zaman Hindu dengan sastra Melayu zaman Islam).
Karena pandangan keotonomian karya di atas, disamping itu
juga pandangan bahwa setiap karya sastra memiliki sifat keunikannya
tersendiri, analisis terhadap sebuah karya sastra pun tidak perlu
dikait-kaitkan dengan karya-karya yang lain. Karya-karya yang lain pun
berarti sesuatu yang diluar karya yang di analisis itu. Atau, jika
melibatkan karya-karya lain, hal itu sangat bersifat sangat terbatas
pada karya-karya tertentu yang berkaitan. Pandangan disini sejalan
memisahkan kajian aspek kebahasan pada tataran fonetik, morfomik,
sintaksis, antara hubungan paradigmatik dan sintagmatik (Abrams dan
Teeuw, 1989: 188). Hal itu bisa dimengerti sebab analisis struktural
dalam bidang kesastraan mendasarkan diri pada model strukturalisme
dalam bidang lingusitik.
Pandangan diatas sebenarnya bukannya tidak ada
keuntungannya. Sebab, analisis karya sastra, dengan demikian, tidak
lagi membutuhan berbagai ilmu pengetahuan lain sebagai referensi,
misalnya dari referensi sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain.
Namun penekanan pada sifat otonomi karya sastra dewasa ini
dipandang orang sebagai kelemahan aliran strukturalisme dan atau
kajian struktural. Hal ini disebabkan sebuah karya sastra tidak mungkin
dipisahkan sama sekali dari latar belakang sosial budaya dan atau latar
belakang sejarahnya.
Melepaskan karya sastra dari latar belakang sosial budaya dan
sejarahnya, akan menyebabkan karya itu menjadi kurang bermakna,
atau paling tidak maknanya menjadi sangat terbatas, atau bahkan
makna menjadi sulit ditafsirkan. Hal itu berarti karya sastra menjadi
struktural sebaiknya dilengkapi dengan analsis yang lain, yang dalam
hal ini dikaitkan dengan keadaan sosial budaya secara luas.
1.7.2 Sosiologi Sastra
Membicarkan sosiologi sastra adalah membicarakan sampai
dimana hubungan antar sosiologi dan sastra, dan membicarakan hasil
sastra yang relevan. Sastra tercipta untuk dinikmati, dipahami, dan
dimanfaatkan manusia dalam suatu masyarakat. Sebagai sesuatu yang
perlu dinikmati, karya sastra harus mengandung keindahan yang
berasal dari keorisinalitasan sehingga dapat memenuhi dan
memuaskan kehausan estetis masyarakat penikmatnya. Sebagai suatu
yang perlu dipahami, karya sastra memendam kompleksitas yang
dapat dimengerti dengan usaha yang sungguh-sungguh dan teliti oleh
masyarakat pembacanya. Dengan demikian, untuk mengungkapkan
kandungan karya sastra yang dibutuhkan kepekaan yang luar biasa.
Sebagai suatu yang perlu dimanfaatkan, karya sastra mengandung nilai
berharga yang dapat dipergunakan untuk kesejahteraan manusia.
Banyak kenyataan sosial yang dihadapi manusia dalam
kehidupan bermasyarakat. Kenyataan sosial itu dapat berupa
keberhasilan, frustasi dalam situasi kegagalan, kesedihan dalam
suasana kemalangan, dan lain sebagianya. Kenyataan sosial tersebut
muncul sebagai akibat hubungan antar manusia, hubungan antara
masyarakat dan hubungan antar peristiwa dalam batin seseorang.
Hal diatas senada dengan apa yang disampaikan oleh Damoncy
(1984: 4-5) bahwa :
Kenyataan sosial tersebut mendapatkan perhatian sang pengarang, baik karena dia menyaksikannya maupun karena dia mengalaminya sendiri. Dengan demikian, sastra, melalui ramuan pengarang, mereflesikan gambaran kehidupan. Namun, tujuan utama sang pengarang bukanlah hanya menampilkan kenyataan sosial atau gambaran kehidupan, melainkan dia hendak menjadikan sastra sebagai resep kehidupan yang mampu menangkal penyakit dan manjur sebagai obat penyembuh. Sastra menjadi peralatan kehidupan manusia. Sastra dengan demikian berperan sebagai : 1. Pelipur lara 2. Ungkapan kekesalan 3. Kritik sosial 4. Kritik, dan 5. Nasehat.
Secara sosiologi, sastra adalah strategi (sikap) untuk
menghadapi situasi yang dialami manusia demi mengembangkan
kemasyarakatan, situasi yang dialami manusia demi mengembangkan
kemasyarakatan atau kesejahteraan manusia, demi mengembangkan
kemasyarakatan atau kesejahteraan manusia itu sendiri sesuai dengan
norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, pengarang
Pengarang harus mampu menilai sesuatu dengan tepat dan teliti.
Pengarang tidak akan dapat mengetahui dan mengantisipasi masa
depan sesuatu dengan tepat, apa yang akan memberikan harapan dan
apa yang akan menyuguhkan ancaman, apabila dia tidak mengetahui
keadaan sesuatu dengan jelas. Dengan demikian, seorang ahli strategi
yang bijaksana tidak akan puas dengan strategi yang hanya
memuaskan dirinya sendiri. Pengarang akan waspada terhadap
ancaman atau bahaya yang sewaktu-waktu dapat menghadang.
Dari uraian diatas dapat dilihat tiga aspek yang saling
berhubungan yaitu hubungan antara sastrawan, sastra, dan
masyarakat. Hubungan ini bersifat sosial dan tertuang dalam satu karya
sastra sebagai sarana penghubung antar sastrawan dan masyarakat
pembaca. Dengan demikian, pembicara ini bersifat sosiologi yang
disebut sosiologis sastra.
Secara singat dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra adalah
studi sosiologis terhadap karya sastra yang membicarakan hubungan
dan pengaruh timbal balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat,
dengan menitik beratkan pada realitas dan gejala nilai-nilai sosiologis
yang ada diantara ketiganya. Dengan batasan seperti itu tampaklah
masyarakat yang dirujuk karya sastra tersebut serta sikap budaya dan
kreativitas pengarang sebagai seorang anggota masyarakat.
Danandjaya (1999: 414) mengungkapkan bahwa :
”berbagai alasan dapat mendorong seseorang untuk menganalisis keadaan sosial suatu masyarakat melalui karya sosial suatu masyarakat melalui karya sastra. Misalnya dengan membaca karangan Ranggawarsito maka ia dapat menemukan suatu khazanah nasehat-nasehat bijaksana mengenai sikap dan perilaku seseorang di dalam masyarakat. Bahkan untuk karya sastra yang semacam itu, sangat relevan untuk mengerti kode etika dan harapan-harapan yang berlaku di dalam masyarakat”.
Untuk mengetahui sikap dan perilaku seseorang di dalam suatu
masyarakat tertentu, apabila di daerah yang belum dikenal seseorang,
maka seseorang itu dapat membaca atau menganalisis karya sastra.
Sebab, karya sastra semacam itu akan membicarakan suatu gambaran
tentang sikap perilaku masyarakat melukiskan sikap dan perilaku suatu
masyarakat pada zamannya. Atau dengan kata lain bahwa karya sastra
merupakan pencerminan masyarakat pada zamannya.
Pencerminan suatu masyarakat yang dimaksud seperti yang
diungkapkan Semi (1984: 55) bahwa :
dalam karya sastranya, maka gambaran itu hanyalah karena telah menjadi persoalan pribadinya sendiri”.
Sastra sebagai ungkapan pribadi pengarang, juga dikemukakan
Sumarjo (1986: 3) yakni : ” sastra adalah ungkapan pribadi manusia
yang berupa pengalaman, pemikiran, penasaran, ide, semangat, dan
keyakinan yang dapat membangkitkan gairah pembaca melalui bahasa.
Berdasarkan kedua pendapat yang berbeda tersebut, penulis
berada diantaranya. Artinya, dari satu sisi, benar bahwa karya sastra
merupakan karya individual pengarang dan karena itu tidak harus
mencerminkan keadaan suatu masyarakat, pada zamannya. Kalaupun
sastra melukiskan keadaan suatu masyarakat, hal itu karena telah
menjadi persoalan pribadi pengarang. Akan tetapi, dari sisi lain, benar
bahwa karya sastra merupakan pencerminan suatu masyarakat pada
zamannya.
Dalam hal ini Salleh (1980: 64) berpendapat bahwa :
”Seorang sosiologi dan sastrawan bahwa sosiologi menerima sumbangan sastra, dan begitu pula sastra yakni masalah-masalah sosiologi dapat dijadikan sebagai sarana pengembangan. Sosiologi dapat dijadikan sebagai sarana pengembangan sosiologi”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sosiologi dapat dijadikan
sebagai salah satu pendekatan sastra, sebab antara sosiologi dan
bukanlah merupakan cermin yang didahului pikiran masyarakat
zamannya, melainkan karya sastra hanyalah cerminan masyarakat
zamannya.
Hal ini merupakan bahwa kehadiran sastra mempunyai peranan
penting dalam membentuk struktur masyarakat. Pengarang dan
karyanya merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dalam
rangka membicarakan sebuah karya sastra. Disatu sisi, pengarang
adalah anggota dari kelompok masyarakat yang hidup di tengah-tengah
kelompok masyarakat tersebut.
Soemarjo (1995: 15) juga menekankan, bahwa kehadiran karya
sastra merupakan salah satu wujud pelestarian dari keadaan
sosio-kultur suatu masyarakat dimana ia tercipta. Lebih jauh lagi Yakub
Soemarjo mengatakan ”karya sastra menampilkan wajah kultur
zamannya, tetap lebih dari sifat-sifat sastra juga ditentukan oleh
masyarakat”.
Pendapat Soemarjo di atas didukung pula oleh Semi (1989: 54)
yang mengatakan bahwa :
a. Konteks Sosial yakni yang menyangkut posisi sosial dan
kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalam
sebagai perseorangan disamping mempengaruhi isi karya
sastranya.
b. Sastra sebagai cermin masyarakat yang telaah adalah sampai
sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan
masyarakat.
c. Sosial sastra dalam hal ini telah sampai berada jauh nilai sastra
berkaitan dengan nilai sosial dan sampai berada jauh nilai sastra
dipengaruhi oleh nilai sosial dan sampai berapa jauh pula sastra
dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai
pendidikan bagi masyarakat pembacanya.
Sosiologi pada sisi lain sebagi ilmu yang berbicara tentang
aspek-aspek kemasyarakatan selalu dapat dimanfaatkan untuk
pembicaraan sebuah cipta sastra, nilai-nilai sosiologi dalam sebuah
karya sastra dapat terwujudkan untuk mencapai pemahaman yang
lebih dalam.
Banyak hal-hal yang menjadi fokus pengamatan seorang
sastrawan kehidupan pribadinya, lingkungan serta harapan-harapannya
menjadi hal yang menarik dalam penelitian sebuah cipta sastra.
Kompleks permasalahan itu merupakan hadiah seorang pengarang
Dengan menggambarkan fenomena dari hasil pengamatan pengarang,
masyarakat pembacanya memperoleh hal yang bermakna dalam
hidupnya.
Pengarang sendiri mendapat sumber dalam aspek-aspek yang
membangun keutuhan sebuah cerita adalah menyangkut perwatakan
tokoh-tokohnya. Tokoh yang berfikiran primitif akan bertindak sebagai
manusia yang modern yang serba luwes.
Ciri-ciri perwatakan seorang tokoh selalu berkaitan dengan
pengarang, lingkungan dimana dia hidup. Demikian juga menyangkut
tipe orang atau tokohnya. Biasanya dalam setiap cerita selalu terdapat
beberapa tokoh, dalam hal inilah pengetahuan sosiologi berperna
menggunakan isi sebuah karya sastra.
Hal diatas didukung oleh pernyataan Damono (1981: 178) yang
mengataan :
Bahwa sosiologi sastra diaplikasikan pada tulis-tulisan para
kritikus sejarahwan sastra yang menaruh perhatian utama pada
cara atau keadaan seseorang pengarang dipengaruhi kelas
sosialnya, ideologi sosialnya, kondisi ekonominya, profesinya,
Waren dalam (Damono, 1996: 84) mengklasifikasikan sosiologi
sastra menjadi : Pertama, Sosiologi pengarang yang memasalahkan
status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang
sebagai penghasil sastra. Kedua, Sosiologi karya sastra yang
memasalahkan karya sastra itu sendiri; menjadi pokok penelaan adalah
apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.
Ketiga, Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh
sosial karya sastra.
Ian Watt dalam (Damono, 1996: 3-4) melihat hubungan
timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Oleh sebab itu, telaah
sosiologi suatu karya sastra akan mencakup tiga hal yaitu : Pertama,
konteks sosial pengarang yaitu menyangkut posisi sosial yang
mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan disamping
mempengaruhi isi karya sastranya. Kedua, Sastra sebagai cermin
masyarakat yaitu sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai
pencerminan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra yaitu
sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan
sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat
penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat
1.8 METODE PENELITIAN
1.8.1. Jenis Penelitian
Metode / jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian kualitatif dan bersifat deskriptif, yang oleh
Nawawi (1990: 63) diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah
yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan
objek/subjek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain)
pada saat sekarang berdasarkan fakta yang ada dan kemudian
diinterpretasikan serta dianalisis secara rasional.
1.8.2.Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan maka
digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :
a. Studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan
mempelajari buku-buku, jurnal penelitian, dan bahan-bahan
tertulis lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian.
b. Studi teks, yaitu pengumpulan data melalui naskah yang diteliti
setelah terlebih dahulu membaca kemudian menafsirkan
1.8.3.Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, karena penelitian yang digunakan adalah
kualitatif maka peneliti bersikap netral sehingga tidak mempengaruhi
data. Untuk itu peneliti hanya membaca dan memperhatiakan lalu
berusaha menjabarkan atau menginterpretasikan data tersebut untuk
dianalisis sehingga dapat memberikan kesimpulan setelah dilakukan
pengecekan ulang atas data tersebut.
Informasi dan data yang diperoleh dari naskah disusun secara
sistematis dan dikategorisasikan, selanjutnya informasi tersebut di
desain sesuai dengan bagian-bagian yang telah ditentukan sehingga
dapat menghasilkan sebuah laporan penelitian yang integretatif dan
sistematis.
BAB II
ANALISIS STRUKTUR CERITA RAKYAT SELENDANG DELIMA
2.1. ANALISIS STRUKTUR CERITA
Analisis struktur yang dilakukan terhadap cerita rakyat SD ini
merupakan langkah awal untuk memahami unsur-unsur ekstrinsik, khususnya
nilai psikologi dari hikayat tersebut.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Teeuw (1989) bahwa
kajian struktural dimaksudkan untuk membongkar, mengkaji, dan
menganalisis unsur pembentuk dalam instrinsik dari sebuah karya sastra,
yang berguna untuk pengkajian selanjutnya dari karya sastra tersebut.
Sebelum penulis mulai menganalisis struktur cerita rakyat Selendang
Delima, ada baiknya penulis menyajikan ringkasan cerita Selendang Delima
guna mempermudah pembaca sekalian untuk memahami analisis yang
penulis lakukan nantinya.
2.2. Ringkasan Cerita
Pada zamandahulu kala ada sebuah kerajaan yang bernama
Bandar Pirus, negeri ini sangat makmur dan peraturan-peraturan
kerajaan sangat baik. Tapi tanpa disangka-sangka suatu hari datang
musibah, datangnya seekor burung garuda yang menyambar dan
semuanya, hanya yang dapat selamat seorang anak muda yang
bernama Mambang Segara dengan adiknya Sri Bunian. Jadi hanya
tinggal berdua saja yang tinggal dirumah, sedangkan kampung sudah
lengang, tidak ada apapun lagi. Kesudahannya si abang bertekad
akan pergi dari kampung tersebut, karena sudah tidak ada apa-apa
lagi makanan pun sudah habis, hanya tinggal sebuah kebun dengan
buah-buahan,ini pun sudah hampir habis. Jadi kata si abang ”adikku
Sri Bunian, tinggallah kamu di rumah baik-baik, biarlah abang
membuat sebuah perahu.” jadi ditebang si abanglah sebuah pohon
untuk membuat perahu.
Dari hari kehari si adik tinggal di rumah, dan apabila sore hari si
abang pun kembali kerumah, pagi hari dia pergi lagi meneruskan
pekerjaannya untuk membuat perahu. Pada suatu hari berkatalah si
abang ”Adikku kalau lapar sekali engkau, makanlah buah-buahan
yang lain, tapi buah yang satu ini jangan kau makan, itu namanya
buah Delima, kalau kau makan juga datang aib pada dirimu.” baiklah
bang, apa yang abang larang tidak akan kulakukan.”
Jadi pada suatu hari entah bagaimana ingin sekali adik memakan
buah Delima itu, tapi ini tidak dikatakannya kepada abangnya. Maka
terjadilah perubahan pada dirinya bulan demi bulan, karena di hamil
buah itu bukan buah biasa, tapi buah jelmaan dewa, setiap hari terjadi
Sewaktu abangnya pergi lagi mengerjakan perahunya yang
hampir siap, dan ia hanya tinggal sendiri di rumah, lahirlah anaknya
yang jelmaan dari buah Delima. Setelah itu dibersihkannya itu
baik-baik dan dimasukannya ke dalam peti.
Ketika abangnya pulang Sri Bunian sudah tidak ada lagi hilang
ghaib, akibat memakan buah Delima itu, hanya tinggal anaknya saja
yang telah dimasukkannya ke dalam peti. Abangnya menjerit-jerit
memanggilnya. Dan tidak berapa lama terdengarlah suara, ” Abangku,
bila abang merantau bawalah peti ini baik-baik, jangan dibuka kalau
belum tiba saatnya. Kalau abang nanti sudah senang, sudah menjadi
raja barulah boleh abang buka.” jadi pesan adiknya itu dipatuhinya.
Maka setelah siap perahunya, berlayarlah dia merantau sehingga
sampai di sebuah negeri. Di negeri tersebut dia diangkatsebagai raja.
Karena baik dan perkasanya, banyak orang menyodorkan
puteri-puterinya untuk dijadikan isteri sampai berjumlah tujuh orang yang
enam satu istana, sedangkan isteri yang nomor tujuh dilainkan
tempatnya, karena dialah yang paling dikasihi oleh Mambang Segara.
Kesukaan Raja-raja dahulu berlayar merantau melihat-lihat
negeri lain, tidak seperti sekarang. Kalau raja hendak berlayar
isterinya yang enam banyak berpesan, bawakan ini, bawakan itu, tapi
isteri yang nomor tujuh tidak pernah berpesan apa-apa. Apa yang
Jadi sewaktu raja berlayar, datanglah keenam isterinya kerumah
isteri yang bungsu dan mereka melihat sebuah peti dan bertanya ; ”Dik
apa yang ada didalam peti itu?” ”O,... ini pesan suami kita, tidak boleh
dibuka, kalau dibuka nanti dia murka, jadi saya tidak berani
membukanya.” ”O,... jangan-jangan madu kita yang disembunyikannya
di dalam. Kita sudah tujuh cukuplah jangan sampai delapan,” kata
yang enam ini.”kakak, janganlah pesan suami kita tidak boleh kita
langgar.” ”ah, bukalah kata yang enam ini”. Karena takutnya, maka
dengan berat hati dibukalah peti itu oleh isteri yang bungsu. Maka
keluarlah seorang puteri yang bernama Selendang Delima, yaitu anak
Sri Bunian yang hilang jadi berarti adik Mambang Segara.
Sebaik puteri ini keluar, maka dia disiksa oleh isteri Mambang
Segara yang enam inilah habis-habisan, dipukul tapi puteri Selendang
Delima tidak mau bercakap, dia hanya menangis saja. ”sudahlah
kak,”kata isteri yang bungsu. Jangan disiksa lagi.” maka pergilah
isteri-isteri yang enam ini dan Selendang Delima diurus oleh isteri-isteri bungsu,
dibedaki baik-baik dan setelah itu apabila pagi tiba diseretlah dia oleh
isteri yang enam ini tadi, mukanya disapu dengan arang, disuruh
menjemur padi dan macam-macam lagi. Penyiksaan yang diberikan
oleh isteri yang enam ini, sore hari dia pulang ke rumah isteri yang
Demikianlah sampai Mambang Segara pulang dari perantauan,
diceritakanlah tentang putri yang dikeluarkan oleh isterinya yang
enam, tapi itulah bodohnya orang dahulu, tidak ada bertanya puteri
siapa sebenarnya.
Sudah demikian raja pergi lagi berlayar dan isteri yang enam
banyak berkirim barang-barang sedangkan yang bungsu tidak ada
meminta apa-apa dan terakhir bertanya kepada anak tadi (Selendang
Delima). ” Selendang Delima, apa kirimanmu, aku mau berangkat.”
Selendang Delima menjawab. ” saya tidak memesan apa-apa,cuma
apabila tuan hendak pulang, ada sebuah rotan dan batu, tuan bawalah
itu pulang untuk saya, apabila tuan lupa maka perahu akan terpacak
tidak bisa berlayar.” Maka kata Mambang Segara, sungguh bijak
engkau Selendang Delima yang tidak-tidak saja pesananmu, masak
rotan da batu, begitupun tidak mengapa, mudah-mudahan kuingat
nanti.
Maka berangkatlah Mambang Segara berlayar, beberapa bulan
kemudian pulanglah di, dan dilaluinya pulau rindu, tapi Mambang
Segara lupa mengambil rotan dab batu yang dipesankan Selendang
Delima, maka tertahanlah dia lama sekali di pulau itu, dan dia
bertanya kepada ahli nujum, mengapa bisa jadi begini. Maka setelah
direnungkan oleh ahli nujum tersebut dia berkata, ”O,... Tuanku,
pulau ini.” barulah Mambang Segara ingat maka diambilah rotan dan
batu itu, barulah dia bisa berjalan. Samapi ke negeri dia disambut oleh
rakyat. Dan raja membagi-bagikan pesanan ke enam dan tidak lupa
juga untuk isterinya yang bungsu dan barulah diberikan rotan dan batu
yang dipesan oleh anaknya Selendang Delima.
Dan Selendang Delima meminta selendang kepda makciknya
yang nomor 7. Mintalah selendang satu aku mau mengayun rotan dan
batu ini di bawah tangga. Maka rotan dan batu diayunnya di bawah
tangga sambil bernyanyi.
Ayun-ayunlah ayun rotan dan batu
Letakmu tuan di pulau rindu
Kaulah jelmaan ayah bundaku
Sungguhlah dalam hatiku rindu
Ayun-ayunlah rotan melingkar
Hayolah tuan menjelmalah segera
Obatkan hati pedih dan lara
Terdengarlah Mambang Segara, maka katanya ”Aduh
merdunya suaramu, coba ulang lagi apa yang kau katakan, masak
rotan dan batu yang kau ayun-ayun.” Selendang Delima diam saja,
tapi dia mengulanginya lagi.
Ya Illahi Tuhanku Rabbi
Mambang Segara nama uwakku
Sri Bunian nama Ibuku
Dewi laksana nama ayahku.
Maka datang Mambang Segara, dilemparkanya rotan dan batu itu
kehalaman, dan menjelmalah berupa bayang-bayang ibunya Sri
Bunian,” Oh, abang rupanya rupanya pedih sekali hati anakku dibuat
oleh isteri abang yang enam itu, hanya isteri yang bungsulah yang
sayang kepadanya, tapi mudah-mudahan Tuhan melindungi anakku
dan diri abang.” barulah Mambang Segara sadar bahwa Selendang
Delima ini adalah anak adiknya Sri Bunian. Maka dipanggilnyalah
isterinya yang enam itu tadi mau disiksanya, tapi Selendang Delima
melarangnya.
”Jangan, maafkanlah mereka . . . . kalau tidak karena perbuatan
mereka mungkin kisah ini tidak terbuka. ” jadi dimaafkanlah isteri yang
enam ini.
Pendek cerita tinggallah isteri yang bungsu dengan Selendang
Delima bersama-sama. Maka kerajaan itu kembali makmur seperti
sedia kala.
2.3. Tema
Masalah hidup dan kehidupan yang dihadapi dan dialami manusia
amat luas dan kompleks, seluas dan sekompleks permasalahan kehidupan
yang ada (Nurgiyantoro, 2001:71). Walau permasalahan yang dihadapi
manusia tidak sama, ada masalah-masalah kehidupan tertentu yang bersifat
universal. Artinya, hal itu akan dialami oleh setiap orang di manapun dan
kapan pun walau dengan tingkat intensitas yang tidak sama.
Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan
kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-subtema ke dalam karya sastra
sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan
lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dangan makna
(pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan
makna tertentu kehidupan, rnengajak pembaca untuk melihat, merasakan,
dan menghayati makna (pengalaman) kebidupan tersebut dengan cara
memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya.
Tema dalam sebuah karya sastra merupakan salah satu dan sejumlah
unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah
kernenyeluruhan. Bahkan sebenarnya, eksistensi terna itu sendiri sangat
bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang
notabene "hanya" berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita,
tidak mugkin hadir tanpa unsur bentuk yang rnenampungnya. Dengan
keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita yang lain, khususnya yang oleh
Nurgiyantoro dikelompokkan sebagai fakta cerita (alur, latar, dan tokoh) yang
mendukung dan menyampaikan tema tersebut.
Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa tingkatan yang berbeda,
tergantung dari segi mana hal itu dilakukan. Shipley dalam Nurgiyantoro
(2001:80-82) membedakan tema dalam lima tingkatan. Pembagian Shipley
ini berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, yang tersusun dari tingkatan
paling sederhana sampai tingkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai
oleh manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Tema tingkat fisik, manusja sebagai mqlekui, man as molecul.
Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan
atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan,
la lebih menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh
cerita yang bersangkutan. Unsur latar dalam karya sastra dengan
penonjolan tema tingkat ini mendapat penekanan.
b. Tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma, man as
protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut
dan atau mempersoalkan masalah seksualitas. Berbagai persoalan
kehidupan seksual manusia mendapat penekanan, khususnya
kehidupan seksual yang menyimpang.
c. Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as
aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan
alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan iain-lain
yang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu
antara lain berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan,
kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan
atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial
lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial.
d. Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as
individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia
sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa
"menuntut" pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam
kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai
banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi
manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya.
e. Tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang
belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya.
Masalah yang menonjol dalam tema tingkat ini adalah masalah
hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiusitas,
atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti
pandangan hidup, visi, dan keyakinan.
Adapun kegiatan untuk menafsirkan tema sebuah karya sastra
cerita , penafsiran terhadapnya haruslah dilakukan berdasarkan fakta-fakta
yang ada secara keseluruhan membangun cerita itu. Menurut Mochtar Lubis (
1989 : 25 ) untuk mengetahui tema sebuah karya sastra maka dapat dilihat
dari tiga hal yang berkaitan, yaitu : (a) melihat persoalan yang paling
menonjol; (b) menghitung waktu penceritaan; (c) melihat konflik paling
banyak hadir.
Setelah membaca dan memahami cerita rakyat SD maka penulis
dapat menyimpulkan bahwa SD termasuk cerita rakyat yang tergolong ke
dalam jenis tema tingkat sosial. Dalam cerita rakyat ini menceritakan tentang
kehidupan kakak yang menjadi seorang raja dan keponakan yang tabah serta
pemaaf. Masalah yang menonjol dalam hikayat ini adalah masalah manusia
dengan manusia.
Untuk menentukan tema dalam cerita SD ini maka penulis
mengunakan pendapat mochtar Lubis yang menentukan tema sebuah karya
sastra berdsarkan tiga hal , yaitu :
a. Persoalan yang paling menonjol dalam cerita rakyat SD adalah
kesabaran,pemaaf dan kesetiaan.
b. Dari awal cerita sampai akhir cerita dalam cerita rakyat SD
menceritakan tentang ketulusan hati seorang kakak dan adik serta
c. Konflik yang paling banyak hadir dalam cerita rakyat SD adalah
Tentang keegoisan dan kebencian Istri-istri ke-1 sampai ke-6 terhadap
istri ke-7 dan Selendang Delima .
Berdasarkan ketiga hal di atas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa
tema dalam cerita rakyat SD adalah tentang perjuangan hidup kakak dan
adik yang tertimpa musibah bencana alam di kampungnya dan kemudian
ingin mecari sebuah negeri yang dapat untuk melanjutkan dan bertahan
hidup.
2.4. Alur
Alur merupakan unsur karya sastra yang penting, bahkan tidak sedikit
orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai
unsur karya sastra yang lain. Tinjauan struktural terhadap karya sastra pun
sering lebih ditekankan pada pembicaraan alur, walau mungkin
mempergunakan istilah lain. Masalah linearitas struktur penyajian peristiwa
dalam karya sastra banyak dijadikan objek kajian. Hal itu kiranya juga
beralasan sebab kejelasan alur, kejelasan tentang kaitan antarperistiwa yang
dikisahkan secara linear, akan mempermudah pemahaman kita terhadap
cerita yang ditampilkan. Kejelasan alur dapat berarti kejelasan cerita,
kesederhanaan alur berarti kemudahan cerita untuk dimengerti. Sebaliknya,
alur sebuah karya sastra yang kompleks, ruwet, dan sulit dikenali hubungan
Alur sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan
waktu, baik ia dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu,
dalam sebuah cerita, tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian
berikutnya, dan barangkali ada pula akhirnya (Nurgiyantoro, 2001:141).
Namun, plot sebuah hikayat sering tidak menyajikan urutan perisitiwa secara
kronologis dan runtut, melainkan penyajian yang dapat dimulai dan diakhiri
dengan kejadian yang mana pun juga tanpa adanya keharusan untuk
memulai dan mengakhiri dengan kejadian awal dan kejadian terakhir.
Dengan demikian, tahap awal cerita tidak harus berada di awal cerita atau
djbagian awal teks, melainkan dapat terletak di bagian mana pun.
Hal yang demikian dapat terjadi disebabkan urutan waktu penceritaan
sengaja dimanipulasikan dengan urutan peristiwa la mungkin dimaksudkan
untuk mendapatkan bentuk pengucapan baru dan efek artistik tertentu,
kejutan, ataupun sebentuk suspense di pihak pembaca. Teknik
pengungkapan cerita, atau teknik pengaluran, yang demikian biasanya justru
lebih menarik karena memang langsung dapat menarik perhatian pembaca.
Pembaca tangsung berhadapan dengan konflik, yang tentu saja, ingin segera
mengetahui sebab-sebab kejadian dan bagaimana kelanjutannya.
Pada dasarnya, alur sebuah cerita haruslah bersifat padu. Antara
perisitiwa yang satu dengan yang lain, antara perisitwa yang diceritakan lebih
dahuiu dnegan yang kemudian, ada hubungan, ada sifat saling keterkaitan.
hubungan kewaktuannya lepas dari tempatnya daiam teks cerita yang
mungkin di awal, tengah atau akhir. Alur yang memiliki sifat keutuhan dan
kepaduan, tentu saja, akan menyuguhkan cerita yang bersifat utuh dan padu
pula.
Untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita, Tasrif dalam Muchtar
Lubis (1989:10) mengemukakan bahwa sebuah alur haruslah terdiri dari lima
tahapan. Kelima tahap tersebut penting untuk dikenali, terutama jika kita
bermaksud menelaah alur karya sastra yang bersangkutan. Kelima tahapan
itu adalah sebagai berikut:
(1) Tahap Situation (tahap penyituasian), tahap yang terutama berisi
pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini
merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian inforrnasi awal,
dan lain-lain yang, terutama, berfungsi untuk melandastumpui
cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
(2) Tahap Generating Circumstances (tahap pemunculan konflik),
masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut
terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan
tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan
berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada
tahap berikutnya. Tahap pertama dan kedua pada pembagian ini,
(3) Tahap Rising Action (tahap peningkatan konflik), konflik yang
telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkernbang
dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa
drarnatik yang menjadi inti cerita bersifat semakin mencekam dan
menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi mengarah ke klimaks
semakin tidak dapat dihindari.
. (4) Tahap climax (tahap klimaks), konffik dan atau
pertentangan-pertentarigan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan
kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak.
Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang
berperart sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.
Sebuah cerita yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu
klimaks, atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian.
(5) Tahap Denouement (tahap penyelesaian), konflik yang telah
mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan.
Konflik-konflik yang lain, subsubkonflik, atau konflik-konflik
tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.
Setelah penulis membaca, menghayati, dan memahami centra rakyat
SD maka dapat digambarkan alur yang terdapat dalam cerita tersebut adalah
plot lurus atau progresif. Artinya bahwa dalam cerita rakyat SD pelukisan alur
Adapun pentahapan alur dalam cerita rakyat SD adalah sebagai
berikut :
1) Tahap Situation, tahap awal dalam cerita rakyat SD dimulai pada
tahapan si pengarang mulai melukiskan sebuah kerajaan yang
bernama Bandar Pirus yang mana mengalami sebuah bencana.
Dengan datangnya seekor burung garuda yang memusnahkan seluruh
kerajaan tersebut. Yang dapat terselamatkan hanya seorang kakak
adik, yang bernama Mambang Segara dan Sri Bunian. Hal tersebut
dapat dilihat pada kutipan cerita sebagai berikut.
"pada zaman dahulu kala ada sebuah kerajaan yang benama
Bandar Pirus,negeri ini sangat makmur dan sejahtera. Namun, tidak
berapa lama datanglah seekor burung garuda yang memusnahkan
seluruh penduduk negeri itu. Hanya yang dapat selamat seorang anak
muda yang bernama Mambang Segara dengan adiknya Sri Bunian.
Kesudahanya abangnya bertekad akan pergi dari kampung tersebut.
Dari hari kehari si adik tinggal dirumah, dan apabila sore hari
tiba si abang pun kembali ke rumah, pagi hari dia pergi lagi
meneruskan pekerjaannya untuk membuat perahu. Pada suatu hari
berkatalah si abang ”Adikku kalau lapar sekali engkau, makanlah
buah-buahan yang lain, tapi buah yang satu ini jangan kau makan, itu
namanya buah delima, kalau kau makan juga datang aib pada dirimu.”
2) Tahap Generating Circumstances, yaitu tahap dimana peristiwa mulai
bergerak memunculkan konflik. Peristiwa-peristiwa yang termasuk
dalam tahapan ini adalah dimulai saat Sri Bunian memakan buah yang
dilarang oleh Mambang Segara yaitu buah Delima. Karena buah
Delima tersebut adalah buah jelmaan Dewa. Sehingga Sri Bunian
tertimpa aib karena memakan buah Delima, sampai ia menggandung
anak dari Jelmaan Dewa tersebut. Ini dikuatkan dari kutipan cerita
sebagai berikut:
Jadi pada suatu hari entah bagaimana ingin sekali adik
memakan buah Delima itu, lantas dimakannyalah buah itu, tapi ini
tidak diberitahukannya kepada abangnya. Maka terjadilah perubahan
pada dirinya bulan demi bulan, karena ia hamil buah itu bukan buah
biasa, tapi buah jelmaan Dewa, setiap hari terjadi perubahan hamilnya
semakin besar dan dia sangat malu.
Sewaktu abangnya pergi lagi mengerjakan perahunya yang
hamper selesai, dan dia hanya tinggal sendiri dirumah, lahirlah
anaknya yang jelmaan dari buah Delima. Setelah itu dibersihkannnya
anak itu baik-baik dan dimasukkannya ke dalam peti.
Ketika abangnya pulang Sri Bunian sudah tidak ada lagi hilang
ghaib, akibat memakan buah Delima itu, hanya tinggal anaknya saja
yang telah dimasukkannya ke dalam peti. Abangnya menjerit-jerit
“Abangku, bila abang merantau bawalah peti itu baik-baik, jangan
dibuka kalau belum tiba saatnya. Kalau abang nanti sudah senang,
sudah menjadi Raja barulah abang boleh buka.” Jadi pesan adiknya ini
dipatuhinya.
3) Tahap Rising Action (tahap peningkatan konflik), pada tahap ini cerita
mulai bergerak ke arah konflik cerita. Adapun peristiwa-peristiwa yang
terdapat dalam tahapan pada cerita rakyat SD adalah ketika Mambang
Segara telah siap menyelesaikan perahunya, berlayarlah dia merantau
sehingga sampai di sebuah negeri. Di negeri tersebut dia diangkat
menjadi Raja. Karena baik dan perkasanya, banyak orang
menyodorkan putri-putrinya untuk dijadikan isteri sampai berjumlah
tujuh orang yang enam satu istana, sedangkan isteri yang ke tujuh
dilainkan tempatnya, karena dia yang paling disayang Mambang
Segara.
Jadi sewaktu Raja berlayar, datanglah ke enam isterinya
kerumah isterinya yang bungsu dan mereka melihat sebuah peti dan
bertanya ; ”Dik apa yang ada di dalam peti itu?” ”O, ... jangan-jangan
madu kita yang disembunyikannya di dalam. Kita sudah tujuh cukuplah
jangan sampai delapan, ”kata yang enam ini.” ”Kakak, janganlah
pesan suami kita tida boleh kita langgar.” ”Ah, bukalah kata yang
oleh isteri yang bungsu. Maka keluarlah seorang puteri yang bernama
Selendang Delima, yaitu anak Sri Bunian.
Sebaik puteri itu keluar, maka dia disiksa oleh isteri Mambang
Segara yang enam inilah habis-habisan, dipukul tapi puteri Selendang
Delima tidak mau bercakap, dia hanya menangis saja. ”Sudahlah kak,”
kata isteri yang bungsu. Jangan disiksa lagi.” maka pergilah isteri-isteri
yang enam ini dan Selendang Delima diurus oleh isteri bungsu,
dibedakin baik-baik dan setelah itu apabila pagi tiba diseretlah dia oleh
isteri yang enam ini tadi, mukanya disapu dengan arang, disuruh
menjemur padi dan macam-macam lagi. Penyiksaan yang diberikan
oleh isteri yang enam ini, sore hari dia pulang ke rumah isteri yang
bungsu.
Demikianlah sampai Mambang Segara pulang dari
perantauan,diceritakanlah tentang putri yang dikeluarkan oleh isterinya
yang enam, tapi itulah bodohnya orang dahulu, tidak adabertanya putri
siapa sebenarnya.
Tahap Climax (tahap puncak cerita), tahap ini terdapat pada peristiwa
ketika Mambang Segara pergi merantau dan istri ke enam banyak
meminta sesuatu kepada Mambang Segara untuk dibawa pulang.
Sedangkan, yang bungsu tidak ada meminta apa-apa begitu juga
dengan Selendang Delima. Namun apabila Mambang Segara pulang,
Mambang Segara lupa maka perahu akan terpacak tidak bisa berlayar
sehingga ia tidak bisa pulang ke negerinya lagi.
Hingga berangkatlah Mambang Segara berlayar, beberapa
bulan kemudian pulanglah dia, dan dilaluinya pulau Rindu, tapi
Mambang Segara lua membawa rotan dan batu yang dipesankan oleh
Selendang Delima.
Peristiwa tersebut dapat dijumpai dalam kutipan cerita SD
sebagai berikut :
Sudah demikian raja sering pergi lagi berlayar dan istri yang
enam banyak berkirim barang-barang sedangkan yang bungsu tidak
ada meminta apa-apa dan terakhir bertanya kepada anak tadi (
Selendang Delima). ”Selendang Delima, apa kirimanmu, aku mau
berangkat.” Selendang Delima menjawab. ”saya tidak memesan
apa-apa, cuman apabila tuan hendak pulang, ada sebuah rotan dan batu,
tuan bawalah itu pulang untuk saya, apabila tuan lupa maka perahu
akan terpacak tidak bisa berlayar.” Maka kata Mambang Segara,
sungguh bijak engkau Selendang Delima yang tidak-tidak saja
pesananmu, masak rotan dan batu, begitupun tidak mengapa,
mudah-mudahan kuingat nanti.
Maka berangkatlah Mambang Segara berlayar, beberapa bulan
kemudian pulanglah dia,dan dilaluinya pulau Rindu, tapi Mambang
Selendang Delima, maka tertahanlah dia lama sekali di pulau itu, dan
dia bertanya kepada ahli nujum, mengapa bisa jadi begini. Maka
setelah direnungkan oleh ahli nujum tersebut dia berkata. ”O, . . .
Tuanku, rupanya tuan lupa pesanan seorang anak, barang yang ajaib
dari pulau ini.” Barulah Mambang Segara ingat, maka diambillah rotan
dan batu itu, barulah dia bisa berjalan. Sampai ke Negeri dia disambut
oleh rakyat, dan raja membagi-bagikan pesanan ke enam isterinya
dan tidak lupa juga untuk isterinya yang bungsu yang paling
dikasihinya dan barulah diberikan rotan dan batu yang dipesan oleh
anaknya Selendang Delima.
4) Tahap Denoument (tahap penyelasaian cerita), peristiwa yang
terdapat pada tahapan ini adalah ketika Selendang Delima meminta
selendang kepada makciknya yang paling bungsu untuk mengayunkan
rotan dan batu di bawah tangga. Kemudian dia mulai bernyanyi sambil
mengayun-ayunkan rotan dan batu itu.
Maka terdengarlah oleh Mambang Segara dan dia menyuruh
Selendang Delima untuk menggulangi lagi nyanyiannya itu karena
terdengar sangat merdu.kemudian datanglah Mambang Segara sambil
melemparkan rotan dan batu ke halaman rumah dan menjelmalah
berupa bayang-bayang ibunya Sri Bunian. Peristiwa tersebut dapat
Dan Selendang Delima meminta selendang kepada makciknya
yang bungsu. Mintalah selendang satu aku mau mengayun rotan dan
batu ini di bawah tangga. Maka rotan dan batu diayunnya di bawah
tangga sambil bernyanyi.
Ayun-ayunlah rotan dan batu
Letakmu tuan di pulau Rindu
Kaulah jelmaan ayah bundaku
Sungguhlah dendam hatiku rindu
Ayunlah ayun rotan melingkar
Pedihnya hati bagai dibakar
Hayolah tuan menjelmah segera
Obatkan hati pedih dan lara.
Terdengarlah oleh Mambang Segara, maka katanya “Aduh
merdunya suaramu, coba ulang lagi apa yang kau katakan, masak
rotan dan batu yang kau ayun-ayunkan.” Selendang Delima diam saja,
tapi dia menggulanginya lagi.
Ya illahi Tuhanku Rabbi
Sakitnya hati bagaikan kambing dikuliti
Mambang Segara nama uwakku
Sri Bunian nama ibuku
Maka datang Mambang Segara, dilemparkannya rotan dan batu itu
kehalaman, dan menjelmalah berupa bayang-bayang ibunya Sri Bunian. Dan
berkatalah Sri Bunian, “Oh, abangku rupanya pedih sekali hati anakku dibuat
oleh isteri abang yang enam itu, hanya isteri yang bungsulah yang sayang
kepadanya, tapi mudah-mudahan tuhan melindungi anakku dan diri abang.”
Barulah Mambang Segara sadar bahwa Seledang Delima ini adalah anak
adiknya Sri Bunian. Maka dipanggilnyalah isteri yang enam itu tadi mau
disiksanya, tapi Selendang Delima melarangnya.
“jangan, maafkanlah mereka . . . . .kalau tidak karena perbuatan
mereka mungkin kisah ini tidak terbuka.” Jadi dimaafkannyalah isteri yang
enam ini. Pendek cerita tinggallah isteri yang bungsu dengan Selendang
Delima bersama-sama. Maka kerajaan itu kembali makmur sedia kala.
2.5. Latar
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran
pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro,
201:2.18). Latar memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas. Hal ini
penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan
suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.
Pembaca, dengan demikjan, merasa dipermudah untuk "mengoperasikan"
daya imajinasi-nya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara
merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang
diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa
menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian
dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat,
warna lokal, lengkap dengar, perwatakannya ke dalam cerita.
Menurut Nurgiyantoro (2001:227) unsur latar dapat dibedakan ke
dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu
walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat
dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling
mernpengaruhi satu dengan yang iainnya. Ketiga unsur latar tersebut secara
singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Latar tempat, latar ini menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa
yang diceritakan daiam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu,
inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat
yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misainya
pantai, hutan, desa, kota, kamar, ruangan, dan lain-lain.
(2) Latar waktu, latar ini berhubungan dengan masalah ”kapan"
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra.
Masalah "kapan" tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual,
waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.