• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Ketebalan Isolasi Terhadap Keseimbangan Suhu Kabel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Ketebalan Isolasi Terhadap Keseimbangan Suhu Kabel"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KETEBALAN ISOLASI TERHADAP

KESEIMBANGAN SUHU KABEL

OLEH:

HOTMAN P SIMANULLANG

NIM: 060422010

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA EKSTENSI

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGARUH KETEBALAN ISOLASI TERHADAP

KESEIMBANGAN SUHU KABEL

Oleh :

HOTMAN P SIMANULLANG

NIM : 060422010

Tugas Akhir ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA EKSTENSI

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Sidang pada tanggal 16 Mei 2009 di depan penguji: 1.Ir. Syahrawardi : Ketua Penguji 2.Ir. R. Sugih Arto Yusuf : Anggota Penguji 3.Ir. Nasrul Abdi, MT : Anggota Penguji

Diketahui Oleh: Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Teknik Elektro Pembimbing Tugas Akhir

Ir. Nasrul Abdi, MT Ir. Bonggas L. Tobing

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana Ekstension Departemen Teknik Elektro Universitas Sumatera Utara. Adapun judul Tugas Akhir saya ini adalah PENGARUH KETEBALAN ISOLASI TERHADAP KESEIMBANGAN SUHU KABEL.

Penulis juga mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini yaitu:

1. Bapak Ir. Nasrul Abdi, MT, selaku Ketua Departemen Teknik Elektro Universitas Sumatera Utara,

2. Bapak Rahmat Fauzi, ST, MT, selaku Sekretaris Departemen Teknik Elektro Universitas Sumatera Utara,

3. Bapak Ir. Bonggas L. Tobing, selaku dosen pembimbing Tugas Ahir ini, 4. Bapak Ir. Panusur SM L. Tobing, selaku dosen wali,

5. Bapak dan ibu dan b’Henry, k’Nita, b’Edis yang memberikan doa dan dukungan,

6. Keluarga besar H. Simamora yang turut memberikan doa dan dukungan, 7. Bapak Prof. Dr. Ir. Farel Napitupulu, yang membimbing penulis dalam

Bab II,

8. Lamringan, Andry, Herman, selaku asisten Laboratorium Teknik Tegangan Tinggi,

9. Teman-teman mahasiswa Program Pendidikan Sarjana Ekstension angkatan 06,

10. Teman-teman Naposobulung HKBP Kemenangan,

(4)

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tugas Akhir ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang membangun demi penyempurnaan Tugas Akhir ini. Semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi kita.

Terima kasih.

Medan, Maret 2009

Penulis,

(5)

ABSTRAK

Apabila suatu logam atau penghantar dipanaskan maka suhu logam atau penghantar tersebut akan naik sampai mencapai suhu setimbang (steady state). Demikian halnya dengan sebuah kabel yang dialiri arus listrik. Arus akan menimbulkan panas pada penghantar sehingga suhunya naik sampai mencapai suhu setimbang (steady state). Kenaikan suhu dan waktu mencapai keadaan suhu setimbang tergantung kepada sifat dan ketebalan bahan isolasi kabel. Dari penelitian diperoleh untuk kawat telanjang suhu akhirnya 51,0 oC dengan waktu untuk mencapai kesetimbangan suhu 80 menit. Untuk kabel dengan tebal isolasi 3,67 mm suhu akhir inti kabel adalah 41,6 oC dan suhu luar isolasinya adalah 39,3

o

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Tujuan Penulisan ... 1

1.3. Batasan Masalah ... 1

1.4. Metodologi Penelitian... 1

1.5. Sistematika Penulisan ... 2

BAB II PERPINDAHAN PANAS 2.1. Umum ... 3

2.2.Konduksi... 3

2.2.1. Laju Perpindahan Panas... 3

2.2.2. Konduksi pada Bidang Datar... 6

2.2.3. Konduksi pada Silinder ... 8

2.3. Konveksi ... 10

2.4. Radiasi ... 12

2.5. Perpindahan Panas pada Kabel... 13

2.5. Contoh Perhitungan ... 16

BAB III BAHAN ISOLASI 3.1. Umum ... 20

3.2. Sifat Kelistrikan ... 20

(7)

3.2.2. Konduktansi... 22

3.2.3. Rugi-Rugi Dielektrik ... 23

3.2.4. Peluahan Parsial... 26

3.2.5. Tahanan Isolasi ... 28

3.3. Sifat Terhadap Panas ... 30

3.3.1. Ketahanan terhadap Suhu Rendah ... 31

3.4. Sifat Kimia... 31

3.4.1. Sifat Kemampuan Larut... 31

3.4.2. Resistansi Kimia ... 32

3.4.3. Higroskopisitas ... 32

3.4.4. Permeabilitas Uap... 33

3.4.5. Pengaruh Tropis... 33

3.4.6. Resistansi Radiasi ... 34

3.5. Sifat-Sifat Mekanis ... 34

3.5.1. Kekuatan (Strength)... 34

3.5.2.Modulus Elastisitas... 35

3.5.3. Kekerasan ... 35

BAB IV PENGUKURAN KESEIMBANGAN SUHU KABEL 4.1. Sampel ... 37

4.2. Pengumpulan Data... 39

4.3. Pengolahan Data ... 40

4.4. Analisis Data... 43

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 50

5.2. Saran ... 50

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2-1 Perpindahan panas secara konduksi... 4

Gambar 2-2 Konduksi pada dinding datar ... 6

Gambar 2-3 Dinding lapis rangkap ... 7

Gambar 2-4 Analogi listrik perpindahan panas pada dinding lapis rangkap... 7

Gambar 2-5 Aliran radial panas di dalam silinder ... 8

Gambar 2-6 Analogi listrik aliran panas pada silinder... 9

Gambar 2-7 Silinder lapis rangkap dan analogi listriknya... 10

Gambar 2-8 Perpindahan panas konveksi dari suatu plat ... 11

Gambar 2-9 Perpindahan panas pada kawat telanjang dan analogi listriknya... 13

Gambar 2-10 Perpindahan panas pada kabel dan analogi listriknya... 14

Gambar 2-11 Perpindahan panas pada kabel lapis rangkap dan analogi listriknya... 16

Gambar 2-12 Kawat tanpa isolasi ... 16

Gambar 2-13 Kabel dengan satu lapisan isolasi ... 17

Gambar 2-14 Kabel dengan dua lapisan isolasi ... 18

Gambar 3-1 Terpaan elektrik dalam dielektrik ... 20

Gambar 3-2 Arus konduksi pada suatu dielektrik... 22

Gambar 3-3 Rangkaian ekivalen suatu dielektrik ... 24

Gambar 3-4 Rangkaian ekivalen dielektrik... 25

Gambar 3-5 Faktor rugi-rugi dielektrik... 25

Gambar 3-6 Ragkaian ekivalen dielektrik berongga... 27

Gambar 3-7 Arus pada suatu dielektrik ... 28

Gambar 3-8 Pengaruh tegangan terhadap tahanan isolasi... 29

Gambar 3-9 Perubahan tahanan terhadap waktu... 29

Gambar 4-1 Isolasi sampel dari bahan polyolefin ... 37

Gambar 4-2 Pemanasan bahan isolasi... 37

(9)

Gambar 4-4 Pengelompokan sampel ... 38

Gambar 4-5 Terminal sampel ... 39

Gambar 4-6 Rangkaian pengukuran... 39

Gambar 4-7 Hubungan antara suhu kawat telanjang dengan waktu ... 44

Gambar 4-8 Hubungan antara suhu inti kabel dengan waktu untuk tebal isolasi yang bervariasi ... 45

Gambar 4-9 Hubungan antara suhu isolasi kabel dengan waktu untuk tebal isolasi yang bervariasi ... 46

Gambar 4-10 Hubungan antara tebal isolasi dengan waktu untuk Mencapai kesetimbangan ... 47

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2-1 Konduktivitas termal berbagai bahan ... 5

Tabel 2-2 Koefisien perpindahan panas konveksi ... 11

Tabel 3-1 Klasifikasi bahan isolasi ... 30

Tabel 3-2 Permeabilitas uap beberapa bahan... 33

Tabel 4-1 Suhu rata-rata tembaga telanjang sebagai fungsi waktu... 41

Tabel 4-2 Suhu rata-rata inti kabel sebagai fungsi waktu untuk empat ukuran tebal isolasi... 41

Tabel 4-3 Suhu rata-rata isolasi kabel sebagai fungsi waktu untuk empat ukuran tebal isolasi... 42

Tabel 4-4 Waktu untuk mencapai keseimbangan suhu... 47

(11)

ABSTRAK

Apabila suatu logam atau penghantar dipanaskan maka suhu logam atau penghantar tersebut akan naik sampai mencapai suhu setimbang (steady state). Demikian halnya dengan sebuah kabel yang dialiri arus listrik. Arus akan menimbulkan panas pada penghantar sehingga suhunya naik sampai mencapai suhu setimbang (steady state). Kenaikan suhu dan waktu mencapai keadaan suhu setimbang tergantung kepada sifat dan ketebalan bahan isolasi kabel. Dari penelitian diperoleh untuk kawat telanjang suhu akhirnya 51,0 oC dengan waktu untuk mencapai kesetimbangan suhu 80 menit. Untuk kabel dengan tebal isolasi 3,67 mm suhu akhir inti kabel adalah 41,6 oC dan suhu luar isolasinya adalah 39,3

o

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Apabila suatu logam atau penghantar dipanaskan maka suhu logam atau penghantar tersebut akan naik sampai mencapai suhu setimbang (steady state). Demikian halnya dengan penghantar suatu kabel yang dialiri arus listrik. Arus akan menimbulkan panas pada penghantar sehingga suhunya naik sampai mencapai suhu setimbang (steady state). Kenaikan suhu dan waktu mencapai keadaan suhu setimbang tergantung kepada sifat dan ketebalan bahan isolasi kabel.

Pencapain suhu setimbang ini dipengaruhi oleh ketebalan dan sifat isolasi. Ketebalan dan sifat isolasi akan berdampak pada suhu dan lamanya pencapaian suhu setimbang.

1.2.Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengamati pengaruh ketebalan isolasi terhadap keseimbangan suhu kabel sehingga dapat diketahui:

1. Hubungan antara tebal isolasi dengan suhu kabel.

2. Hubungan antara tebal isolasi dengan waktu kabel mencapai suhu setimbang.

1.3.Batasan Masalah

Kabel yang menjadi objek penelitian adalah kawat telanjang dengan luas penampang 1 mm2 yang diberi isolasi dari bahan polyolefin yang tebal isolasinya bervariasi yakni 2,07 mm, 2,62 mm, 2,99 mm dan 3, 67 mm.

1.4.Metodologi Penelitian

(13)

terhitung dari saat dialiri arus. Untuk memperoleh kesimpulan, data pengukuran dianalisis secara statistik.

1.5.Sistematika Penulisan

Tugas akhir ini disusun berdasarkan pembahasan sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN

Berisi tentang latar belakang, tujuan penulisan, batasan masalah, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : PERPINDAHAN PANAS

Berisi tentang teori perpindahan panas pada kabel. BAB III : BAHAN ISOLASI

Berisi tentang sifat-sifat bahan isolasi

BAB IV : PENGUKURAN KESEIMBANGAN SUHU KABEL

Berisi tentang rangkaian percobaan, peralatan yang digunakan, prosedur percobaan, analasis data.

BAB V : PENUTUP

(14)

BAB II

PERPINDAHAN PANAS

2.1.Umum

Perpindahan panas adalah perpindahan energi yang terjadi pada benda atau material yang bersuhu tinggi ke benda atau material yang bersuhu rendah, hingga tercapainya kesetimbangan panas. Kesetimbangan panas terjadi jika panas dari sumber panas sama dengan jumlah panas benda yang dipanaskan dengan panas yang disebarkan oleh benda tersebut ke medium sekitarnya. Proses perpindahan panas ini berlangsung dalam 3 mekanisme, yaitu:

1. Konduksi. 2. Konveksi. 3. Radiasi.

Dalam prakteknya ketiga proses perpindahan panas tersebut sering terjadi secara bersama–sama.

Dalam bab ini akan dijelaskan teori perpindahan panas secara konduksi, konveksi, dan radiasi.

2.2.Konduksi

2.2.1.Laju Perpindahan Panas

Konduksi adalah proses perpindahan panas dari suatu bagian benda padat atau material ke bagian lainnya. Perpindahan panas secara konduksi dapat berlangsung pada benda padat, umumnya logam.

(15)

Jika pada suatu logam terdapat perbedaan suhu, maka pada pada logam tersebut akan terjadi perpindahan panas dari bagian bersuhu tinggi ke bagian bersuhu rendah. Besarnya laju perpindahan panas (q) berbanding lurus dengan luas bidang (A) dan perbedaan suhu

 

x T

 pada logam tersebut seperti ditunjukkan pada Gambar 2-1. Secara matematis dinyatakan sebagai :

x T A q

 

 (2-1)

T

2

T T1

x

Dengan memasukkan konstanta kesetaraan yang disebut konduktivitas thermal didapatkan persamaan berikut yang disebut juga dengan hukum Fourier tentang konduksi:

x T kA q

  

 (2-2)

dimana : q = Laju perpindahan panas (W) k = Konduktivitas termal (W/m oC) A = Luas penampang (m2)

Tx = Gradien suhu,yaitu laju perubahan suhu T dalam arah aliran x (oC/m)

Tanda minus (-) menunjukkan arah perpindahan panas terjadi dari bagian yang bersuhu tinggi ke bagian yang bersuhu rendah.

(16)

bahan makin besar, maka makin besar juga panas yang mengalir melalui benda tersebut. Karena itu, bahan yang harga k-nya besar adalah penghantar panas yang baik, sedangkan bila k-nya kecil bahan itu kurang menghantar atau merupakan isolator. Nilai Konduktivitas thermal berbagai bahan diberikan pada Tabel 2-1.

Tabel 2-1. Konduktivitas thermal berbagai bahan

Bahan k(W/m.oC) Bahan k(W/m.oC)

Logam Bukan Logam

Perak 410 Kuarsa 41,6

Tembaga 385 Magnesit 4,15

Aluminium 202 Marmar 2,08 – 2,94

Nikel 93 Batu pasir 1,83

Besi 73 Kaca, jendela 0,78

Baja karbon 43 Kayu 0,08

Timbal 35 Serbuk gergaji 0,059 Baja krom-nikel 16,3 Wol kaca 0,038

Emas 314 Karet 0,2

Polystyrene 0,157

Polyethylene 0,33

Polypropylene 0,16

Polyvinyl Chlorida 0,09

Kertas 0,166

Zat Cair Gas

Air raksa 8,21 Hidrogen 0,175

Air 0,556 Helium 0,141

Amonia 0,540 Udara 0,024

Minyak lumas SAE 50 0,147 Uap air (jenuh) 0,0206

(17)

2.2.2.Konduksi pada bidang Datar

Perpindahan panas pada suatu dinding datar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2-2, dapat diturunkan dengan menerapkan Persamaan 2-2.

dx x  1 T 2 T

Jika persamaan 2-2 diintegrasikan :

qx  

kAT maka akan diperoleh

Qx  kAT

T2 T1

x

kA

Q

 

 (2-3)

dimana: T1 = Suhu dinding sebelah kiri (oC)

T2 = Suhu dinding sebelah kanan (oC)

x = Tebal dinding (m)

Apabila dalam sistem itu terdapat lebih dari satu macam bahan, misalnya dinding berlapis rangkap seperti pada Gambar 2-3, maka aliran panas dapat dituliskan sebagai :

2 1

3 2

T4 T3

x A k T T x A k T T x A k Q C C B B A A           

 (2-4)

(18)

1 T 2 T 3 T 4 T

Persamaan tersebut mirip dengan hukum Ohm dalam aliran listrik. Dengan demikian perpindahan panas dapat dianalogikan dengan aliran arus listrik seperti ditunjukkan pada Gambar 2-4.

A

R RB RC

1

T T2 T3 T4

A k x A AA k x B BA k x C C

Menurut analogi di atas, perpindahan panas sama dengan:

  th menyeluruh R T

Q (2-5)

Jika ketiga persamaan 2-4 dipecahkan serentak, maka aliran panas adalah:

A k x A k x A k x T T Q C C B B A

A    

 

 1 4

(19)

Sehingga persamaan Fourier dapat dituliskan sebagai berikut :

termal Tahanan

panas potensial

beda Panas

Aliran

Harga tahanan thermal total Rth tergantung pada susunan dinding penyusunnya,

apakah bersusun seri atau paralel atau gabungan.

2.2.3.Konduksi pada Silinder

Arah perpindahan panas pada benda berbentuk silinder seperti tabung atau pipa adalah radial. Pada Gambar 2-5 ditunjukkan suatu pipa logam dengan jari-jari dalam ri, jari-jari luar ro, dan panjang L, perbedaan suhu permukaan dalam

dengan permukaan luar adalah TTiTo

Q

o

r ri

r

dr

L

Gambar 2-5. Aliran radial panas di dalam silinder

Perpindahan panas pada elemen dr yang jaraknya r dari titik pusat adalah:

x T kA qr r

  

 (2-7)

Luas bidang permukaan silinder berjari–jari r adalah rL

Ar 2 (2-8)

sehingga

r T krL qr

  

(20)

Perpindahan panas dari permukaan dalam ke permukaan luar silender adalah:

   dr dT r L k q Q

r 2 (2-10)

Batas integral suhu adalah Ti dan To, sedang batas integral r adalah ri dan ro. Dengan demikian penyelesaian persamaan 2-10 adalah:

      i o o i r r T T kL Q ln 2 (2-11)

Menurut persamaan 2-11 di atas :

     i o th r r L k R ln 2 1 

maka tahanan thermal silinder adalah:

L k r r R i o th  2 ln 

 (2-12)

Dengan demikian, analogi listrik aliran panas pada silinder dapat dibuat seperti Gambar 2-6.

i

T To

kL r r R i o th  2 ln 

(21)

Konsep tahanan thermal dapat juga digunakan pada silinder berlapis seperti halnya dengan dinding datar berlapis. Pada Gambar 2-7 ditunjukkan silinder berlapis dan analogi listriknya.

1 r 2 r 2 T 3 r 4 r 3 T 4 T A

R RB RC

1

T T2 T3 T4

L k r r A  2 ln 1 2     L k r r B  2 ln 2 3     L k r r C  2 ln 3 4     1 T

Untuk silinder berlapis seperti pada Gambar 2-7 penyelesaiannya adalah:

C B A k r r k r r k r r T T L Q                 3 4 2 3 1 2 4 1 ln ln ln 2 (2-13)

dimana: kA = Konduktivitas termal bahan A kB = Konduktivitas termal bahan B kC = Konduktivitas termal bahan C

2.3.Konveksi

Konveksi adalah perpindahan panas oleh gerakan massa pada fluida dari suatu daerah ruang ke daerah lainnya. Perpindahan panas konveksi merupakan mekanisme perpindahan panas antara permukaan benda padat dengan fluida.

Pada Gambar 2-8, ditunjukkan sebuah plat panas yang suhunya T . Di atas w

(22)

Aliran

Arus bebas

Plat

T

Q

w

T

U

U

Gambar 2-8. Perpindahan panas konveksi dari suatu plat

Mekanisme fisis perpindahan panas konveksi berhubungan dengan proses konduksi. Guna menyatakan pengaruh konduksi secara menyeluruh digunakan hukum Newton tentang pendinginan :

 

hA T T

Q w (2-14)

dimana: Q = Laju perpindahan panas (W)

h = Koefisien perpindahan panas konveksi 

  

 

C m W

o

2

A = Luas permukaan (m2) Tw = Suhu dinding (oC)

T = Suhu fluida (oC)

Koefisien perpindahan panas konveksi diberikan pada Tabel 2-2.

Tabel 2-2. Koefisien perpindahan panas konveksi

Fluida–Kondisi h (W/m2.oC)

Udara–konveksi bebas 6–30

(23)

Lanjutan Tabel 2-2. Koefisien perpindahan panas konveksi

Air–konveksi bebas 170–1500 Air–konveksi paksa 300–6000

Didihan air 3000–60.000

Kondensasi uap 6000–120.000

Apabila fluida tidak bergerak (atau tanpa sumber penggerak) maka perpindahan panas tetap ada karena adanya pergerakan fluida akibat perbedaan massa jenis fluida. Peristiwa ini disebut dengan konveksi alami (natural convection) atau konveksi bebas (free convection). Lawan dari konveksi ini adalah konveksi paksa (Forced convection) yang terjadi apabila fluida dengan sengaja dialirkan (dengan suatu penggerak) di atas plat.

2.4.Radiasi

Radiasi adalah perpindahan panas tanpa memerlukan zat perantara (medium) tetapi dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Sebagai contoh, perpindahan panas dari matahari ke bumi. Panas dari matahari tidak dapat mengalir melalui atmosfer bumi secara konduksi karena antara bumi dan matahari adalah hampa udara. Panas matahari tidak dapat sampai ke bumi melalui proses konveksi karena konveksi juga harus melalui pemanasan bumi terlebih dahulu. Selain itu, konduksi dan konveksi memerlukan medium sebagai perantara untuk membawa panas. Jadi walaupun antara bumi dan matahari merupakan ruang hanpa, panas matahari tetap akan sampai ke bumi melalui perpindahan panas secara radiasi.

Besarnya laju perpindahan panas secara radiasi adalah: )

( 24 4

1 T

T A e

Q    (2-15)

dimana: Q = Laju perpindahan panas (W)

e = Emisivitas benda yang terkena radiasi ( 0 < e < 1 )

 = Konstanta Stefan-Boltzman = 5, 67 x 10-8 W/m2 K4 T1 = Suhu benda (oK)

(24)

Emisivitas benda adalah besaran yang bergantung pada sifat permukaan benda. Benda hitam sempurna (black body) memiliki harga emisivitas (e = 1). Benda ini merupakan pemancar dan penyerap yang paling baik. Permukaan pemantul sempurna memilki nilai e = 0.

2.5.Perpindahan Panas pada Kabel

Pada penghantar kawat telanjang yang dialiri arus listrik, arus akan menimbulkan panas pada penghantar. Perpindahan panas pada kawat telanjang yang dialiri arus listrik berlangsung dengan konveksi seperti di tunjukkan Gambar 2-9.

i

r

i

T

T h,

h L ri

 2

1

i

T T

Gambar 2-9. Perpindahan panas pada kawat telanjang dan analogi listriknya Q

Q

Perpindahan panas yang terjadi adalah:

 

hA T T

Q i

Jika panjang kawat adalah L, maka luas permukaan luar kawat adalah: L

r A 2 i sehingga

 

r Lh T T

Q 2 i i

Menurut persamaan di atas, seper tahanan termal adalah : h

L r Rth 2 i

1

atau

h L r R

i th

2 1

(25)

Perpindahan panas dapat dituliskan sebagai berikut: h L r T T Q i i  2 1  

 (2-17)

dimana: Q = Laju perpindahan panas (W)

i

T = Suhu kawat (oC)

T = Suhu lingkungan (oC)

i

r = Jari – jari kawat (m) L = Panjang kawat (m)

h = Koefisien perpindahan panas konveksi 

     C m W o 2

Perpindahan panas pada kabel yang dialiri arus listrik berlangsung dengan cara konduksi dan konveksi. Konduksi terjadi dari permukaan dalam isolasi (atau permukaan luar tembaga) ke permukaan luar isolasi. Sedangkan secara konveksi, dari permukaan luar isolasi ke lingkungan. Dengan demikian tahanan thermal yang dilalui panas adalah Rkonduksi dan Rkonveksi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2-10. o rT h, i T i

r Ti T

kL r r R i o kond  2 ln 

Rkonv 2roLh

1

(26)

Dengan demikian perpindahan panas yang terjadi dapat dituliskan sebagai berikut: h L r k L r r T T R R T T Q o i o i konv kond i   2 1 2 ln            

h r k r r T T L Q o i o i 1 ln 2      

   (2-18)

dimana: Q = Laju perpindahan panas (W)

i

T = Suhu permukaan dalam isolasi (oC)

T = Suhu lingkungan (oC)

o

r = Jari – jari luar isolasi (m2)

i

r = Jari – jari tembaga (m2) L = Panjang kabel (m)

k = Konduktivitas thermal isolasi 

     C m W o

h = Koefisien perpindahan panas konveksi 

     C m W o 2

Untuk kabel lapis rangkap dengan jenis isolasi yang berbeda seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2-11, maka perpindahan panas yang terjadi adalah:

h r k r r k r r T T L Q B A 3 2 3 1 2 1 1 ln ln 2           
(27)

1 T 1 r 2 T 2 r 3

r T3

A

R RB R

1

T T2 T3 T

L k r r A  2 ln 1 2     L k r r B  2 ln 2 3     h L r3 2 1   T h

2.6.Contoh Perhitungan

Berikut ini akan diberikan contoh perhitungan suhu pada suatu kabel yang dialiri arus listrik.

Misalkan sebuah kawat tembaga tanpa isolasi seperti ditunjukkan pada Gambar 2-12. Diameter kawat adalah 3,57 mm, dan panjangnya 30 cm. Suhu udara di sekitar kawat tembaga dimisalkan 20 oC. Kawat tersebut dialiri arus listrik, sehingga pada kawat terjadi rugi–rugi panas yang besarnya 10 W. Koefisien konveksi dari kawat ke udara adalah

C m W

h  25 2 o . Suhu kawat

tembaga dihitung dengan menggunakan persamaan 2-16.

i r i TT h,

(28)

C T x x x x T h L r Q T h L r T T Q o i i i i i 9 , 138 20 25 3 , 0 10 . 785 , 1 14 , 3 2 10 2 2 1 3            

Misalkan kawat tembaga pada contoh diatas dilapisi dengan bahan karet seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2-13. Tebal isolasi dimisalkan 1 mm.

o rT h, i T i r

Gambar 2-13. Kabel dengan satu lapisan isolasi

Koefisien konduktivitas thermal karet adalah

C m W

k 0,2 0 . Suhu kawat tembaga dihitung dengan persamaan 2-17.

(29)

C T x x x T o i i 04 , 108 20 3 , 0 14 , 3 2 25 10 . 785 , 2 1 2 , 0 785 , 1 785 , 2 ln 10 3                 

Misalkan kawat tembaga pada contoh diatas dilapisi dengan dua bahan isolasi yang berbeda yakni karet dan polystyrene dengan tebal masing–masing 1 mm seperti ditunjukkan pada Gambar 2-14.

A B 1 T 1 r 2 T 2 r 3

r T3

T h

Gambar 2-14. Kabel dengan dua lapisan isolasi

Koefisien konduktivitas thermal kedua bahan isolasi adalah C

m W

kkaret  0,2 o ;

C m W

kpolystyrene 0,157 o . Suhu kawat tembaga

dihitung dengan persamaan 2-18

(30)

C T x x x T L h r k r r k r r Q T o i B A i 27 , 98 20 3 , 0 14 , 3 2 25 10 . 785 , 3 1 157 , 0 785 , 2 785 , 3 ln 2 , 0 785 , 1 785 , 2 ln 10 2 1 ln ln 3 3 2 3 1 2                                              

(31)

BAB III BAHAN ISOLASI

3.1.Umum

Bahan isolasi digunakan untuk memisahkan bagian-bagian peralatan listrik yang berbeda tegangan. Hal yang sangat penting diperhatikan pada suatu bahan isolasi adalah sifat kelistrikannya. Namun demikian sifat mekanis, sifat thermal, dan ketahanan terhadap bahan kimia perlu juga diperhatikan. Dalam bab ini akan dijelaskan sifat kelistrikan, sifat mekanis, sifat thermal, dan ketahanan terhadap bahan kimia dari bahan isolasi.

3.2.Sifat Kelistrikan

Berikut ini dijelaskan 5 (lima) hal sifat kelistrikan suatu bahan isolasi yakni: 1. Kekuatan dielektrik.

2. Konduktansi.

3. Rugi-rugi dielektrik. 4. Tahanan isolasi.

5. Peluahan parsial (partial discharge).

3.2.1. Kekuatan Dielektrik

(32)

Bila elektroda diberi tegangan searah V, maka timbul medan elektrik (E) di dalam dielektrik. Medan elektrik ini memberi gaya kepada elektron- elektron agar terlepas dari ikatannya dan menjadi elektron bebas. Dengan kata lain, medan elektrik merupakan suatu beban yang menekan dielektrik agar berubah sifat menjadi konduktor. Beban yang dipikul dielektrik ini disebut terpaan medan elektrik

cm Volt .

Setiap dielektrik mempunyai batas kekuatan untuk memikul terpaan elektrik. Jika terpaan elektrik yang dipikul melebihi batas tersebut, dan berlangsung cukup lama, maka dielektrik akan menghantar arus atau gagal melaksanakan fungsinya sebagai isolator. Dalam hal ini dielektrik disebut tembus listrik atau breakdown.

Terpaan elektrik tertinggi yang dapat dipikul suatu dielektrik tanpa menimbulkan tembus listrik pada dielektrik disebut kekuatan dielektrik. Jika suatu dielektrik mempunyai kekuatan dielektrik E , maka terpaan elektrik yang dapat k dipikulnya adalah lebih kecil atau sama dengan E . Jika terpaan elektriknya k melebihi E , maka di dalam dielektrik akan terjadai proses ionisasi berantai yang k

dapat membuat dielektrik mengalami tembus listrik. Proses ini membutuhkan waktu dan lamanya tidak tentu tetapi bersifat statistik. Waktu yang dibutuhkan sejak mulai terjadi ionisasi sampai terjadi tembus listrik disebut waktu tunda tembus (time lag). Jadi, tidak selamanya terpaan elektrik dapat menimbulkan tembus listrik, tetapi harus memenuhi dua syarat yaitu:

1. Terpaan elektrik yang dipikul dielektrik harus lebih besar atau sama dengan kekuatan dielektriknya, dan

2. Lama terpaan elektrik berlangsung lebih besar atau sama dengan waktu tunda tembus.

(33)

menimbulkan terpaan elektrik yang lebih besar daripada kekuatan dielektrik, masih ada kemungkinan dielektrik tidak tembus listrik. Kemungkinan ini terjadi jika terpaan elektrik itu berlangsung lebih singkat daripada waktu tunda tembus. Tembus listrik terjadi jika terpaan elektrik yang melebihi kekuatan dielektrik itu berlangsung lebih lama daripada waktu tunda tembusnya. Lamanya waktu tunda tembus tidak tentu, oleh karena itu ditentukan dengan statistik. Jadi, tembus listrik suatu dielektrik bersifat statistik, sehingga terpaan elektrik yang menimbulkan tembus listrik dinyatakan dalam suatu harga statistik, yaitu harga yang memberikan probabilitas tembus 50%.

Tegangan tembus yang menyebabkan dielektrik tersebut tembus listrik disebut tegangan tembus atau breakdown voltage. Tegangan tembus adalah besar tegangan yang menimbulkan terpaan elektrik pada dielektrik sama dengan atau lebih besar daripada kekutan dielektriknya. Untuk tegangan impuls, tegangan tembus dinyatakan dalam harga tegangan yang memberi probabilitas tembus 50%

 

V50% yang artinya adalah:

1. Jika suatu dielektrik diberi n kali tegangan impuls sebesar V50%, maka dielektrik tersebut akan mengalami tembus listrik sebanyak 0,5 n kali.

2. Jika ada sejumlah dielektrik yang sama, masing-masing diberi tegangan impuls %

50

V , maka setengah dari dielektrik itu akan tembus listrik.

3.2.2. Konduktansi

Pada Gambar 3-2.a ditunjukkan suatu dielektrik yang ditempatkan diantara dua elektroda piring sejajar. Kedua elektroda dan dielektrik merupakan suatu kondensator.

0 

t

i

i

t i

1

t t2 t3

k

[image:33.595.114.506.613.714.2]

I

(34)

Jika kondensator ini merupakan kondensator murni dan dihubungkan ke sumber arus searah (B), maka muatan mengalir ke kondensator sehingga tegangan kondensator naik. Aliran muatan akan berhenti ketika tegangan kondensator telah sama dengan tegangan sumber. Dengan perkataan lain, arus mengalir melalui dieletrik hanya selama berlangsung pengisian muatan ke kondensator dan arus ini berlangsung hanya dalam waktu yang sangat singkat. Kurva pengisian ditunjukkan pada Gambar 3-2.b.

Jika kondesator yang dibentuk dielektrik dengan kedua elektroda adalah berupa kondensator komersial, maka kurva arus adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 3-2.c. arus pengisian terjadi selama waktu t1 . kemudian arus berkurang perlahan-lahan selama waktu t2, arus ini disebut absorpsi. Akhirnya arus mencapai suatu harga tertentu

 

i , arus ini disebut arus konduksi. Arus konduksi k selalu ada karena tahanan dari dielektrik tidak benar-benar tak berhingga (R ).

Beda tegangan

 

V diantara kedua elektroda menimbulkan terpaan elektrik

 

E dalam dielektrik. Terpaan elektrik ini menggerakkan molekul-molekul dielektrik sampai semuanya terpolarisasi. Molekul-molekul tersebut ada yang bergerak cepat dan ada yang bergerak lamban. Molekul-molekul yang bergerak cepat terpolarisasi dengn cepat yang menimbulkan arus pengisian. Sedangkan molekul-molekul yang bergerak lamban, terpolarisasi dengan lambat yang menimbulkan arus absorpsi.

3.2.3. Rugi-Rugi Dielektrik

(35)

g

C

k

R

k

I

a

I

a

R Ca

p

[image:35.595.186.439.86.203.2]

I

Gambar 3-3. Rangkaian ekivalen suatu dielektrik

keterangan: C g = Kapaistansi geometris

k

R = Tahanan dilektrik

a

R = Tahanan absorbsi

a

C = Kapasitansi absorbsi

Jika terminal a-b dihubungkan ke sumber tegangan searah maka ada ketiga komponen arus mengalir pada terminal a-b. Arus i yang mengisi kondensator p

g

C , arus i yang mengisi kondensator a C dan arus a i yang mengalir melalui k tahanan R . Karena adanya tahanan k R , maka arus a i berlangsung lebih lambat a dari arus i . Arus p i berlangsung dengan cepat dan berhenti jika tegangan p kondensator telah sama dengan tegangan sumber. Ketika arus pengisian i p berhenti, i masih mengalir mengisi kondensator a C dan arus ini juga akan a berhenti ketika tegangan kondensator C telah sama dengan tegangan sumber. a Akhirnya arus yang tersisa adalah arus konduksi yang mengalir melalui tahanan

k

R .

(36)

R I

C

I

e

R

e

C

I

Maka arus tiap komponen adalah:

e R

R V

I  (3-1)

V C

IC  e (3-2)

Arus total yang diberikan sumber tegangan seperti ditunjukkan pada Gambar 3-5 adalah:

2 2

C

R I

I

I   (3-3)

R

I C

I

(37)

yang berbentuk panas karena adanya arus yang mengalir pada dielekrik dan adanya tahanan dielektrik. Besarnya rugi-rugi dielektik adalah perkalian V dan

R

I , atau:

  V I Sin Cos

I V I V

PdR   (3-4)

Menurut Gambar 3-3,

I I Cos  C

, sehingga arus sumber adalah:

Cos I

IC

(3.5) Dengan mensubsitusi persamaan 3-2 ke persamaan 3-5 maka diperoleh:

  Cos V C

Ie

(3-6) Persamaan 3-6 ke persamaan 3-4, maka diperoleh:

 

 

 2 tan

V C Sin V Cos V C

P e e

d   (3-7)

Rugi-rugi dielektrik menimbulkan panas yang dapat menaikkan temperatur dielektrik dan pada akhirnya dapat mempercepat penuaan dielektrik. Rugi-rugi dielektrik tergantung kepada frekuensi tegangan sumber. Oleh karena itu, rugi-rugi dielektrik tidak terjadi jika dielektrik dihubungkan ke sumber tegangan searah. Rugi-rugi dielektrik juga tergantung kepada Tan , yang disebut faktor rugi-rugi dielektrik. Faktor rugi-rugi dielektrik tergantung kepada jenis bahan dielektrik. Jika Tan besar, maka rugi-rugi dielektrik makin besar.

3.2.4. Peluahan Parsial (Partial discharge)

(38)

udara akan tembus listrik. Sementara itu dielektrik padat tidak mengalami tembus listrik karena terpaan elektrik yang dialami dielektrik padat masih dibawah kekuatan dielektriknya.

Pada Gambar 3-6 ditunjukkan suatu dielektrik padat yang di dalamnya terdapat rongga udara beserta dengan rangkain ekivalennya.C1 adalah kapasitansi dari rongga udara, C2 adalah kapasitansi ekivalen dari dielektrik padat yang terhubung seri dengan rongga dan C adalah kapasitansi ekivalen dari dielektrik 3 padat yang paralel dengan rongga. Jika di C1 terjadi peluahan, maka peluahan itu diibaratkan sebagai lompatan api di sela F.

1 C

2 C

[image:38.595.129.493.302.426.2]

3 C

Gambar 3-6. Rangkaian ekivalen dielektrik berongga

Jika tegangan sumber adalah sinusoidal, maka tegangan pada C1 adalah:

V Sin t

C C

C

V maks

2 1

2 1

 (3-8)

Jika peluahan di rongga udara dimisalkan terjadi pada tegangan V , maka t tegangan sumber yang menimbulkan peluahan tersebut adalah:

Vt

C C

C V

2 1

2 1

 (3-9)

Muatan C1 saat terjadi peluahan adalah:

t

V C q1

 (3-10)

(39)

lebih besar daripada V , peluahan s C1 dan kenaikan tegangan C terulang kembali. 3 Demikian akan terjadi peluahan yang berulang-ulang di rongga udara. Peluahan yang berulang-ulang ini menghasilkan kenaikan tegangan C yang berbentuk 3 impuls dan keberadaan impuls tegangan inilah yang diukur untuk mengetahui ada tidaknya peluahan parsial dalam dielektrik. Peluahan parsial akan berhenti bila tegangan sumber lebih rendah daripada V . s

Peluahan parsial perlu dideteksi karena jika berlangsung lama akan merusak dielektrik padat yang berbatasan dengan rongga, sehingga rongga semakin besar dan pada akhirnya menurunkan tegangan tembus dielektrik.

3.2.5. Tahanan Isolasi

Jika suatu dielektrik diberi tegangan searah seperti ditunjukkan pada Gambar 3-7, maka arus yang mengalir pada dielektrik terdiri atas dua komponen yaitu:

1. Arus yang mengalir pada permukaan dielektrik (arus permukaan, I ). s

2. Arus yang mengalir melalui volume dielektrik (arus volume, I ). v

a

i

s

i

v

[image:39.595.202.432.448.599.2]

i

Gambar 3-7. Arus pada suatu dielektrik

Sehingga arus sumber adalah:

v s

a I I

I   (3-11)

Hambatan yang dialami arus permukaan disebut tahanan permukaan

 

R , sedang s
(40)

Dalam prakteknya, hasil pengukuran tahanan isolasi tergantung kepada besar dan polaritas tegangan pengukuran serta jenis bahan isolasi. Pada Gambar 3-8 ditunjukkan pengaruh tegangan terhadap hasil pengukuran tahanan isolasi, masing-masing untuk bahan isolasi gas, cair, dan bahan isolasi padat.

I

V

1

V V2

a. Isolasi cair dan gas b. Isolasi padat

[image:40.595.119.504.191.367.2]

V I

Gambar 3-8. Pengaruh tegangan terhadap tahanan isolasi

Untuk keperluan evaluasi, didefenisikan suatu faktor yang disebut faktor titik lemah, yaitu perbandingan tahanan pada tegangan V1 dengan tahanan pada tegangan V2, dimana V2 lebih tinggi daripada V1. Jika faktor titik lemah semakin besar, merupakan pertanda bahwa isolasi semakin buruk.

2 1 1

V V t

R R

 (3-12)

Akibat adanya arus absorpsi, maka hasil pengukuran tergantung juga pada waktu pengukuran. Pada Gambar 3-9 ditunjukkan perubahan tahanan isolasi terhadap waktu.

Isolasi

R

1

R

10

R

[image:40.595.241.374.620.729.2]
(41)

Perbandingan tahanan pada saat 1 menit dan 10 menit disebut indeks polarisasi.

menit menit p

R R

1 10 

 (3-13)

Indeks polarisasi untuk dielektrik kelas isolasi A> 1,5 dan kelas isolasi B > 2,5. Tahanan dielektrik juga tergantung kepada temperatur, kelembaban, dan bentuk benda uji.

3.3.Sifat Terhadap Panas

Suatu bahan isolasi dapat rusak disebabkan oleh panas dalam kurun waktu tertentu. Waktu tertentu disebut sebagai umur-panas bahan isolasi. Sedangkan kemampuan bahan menahan suatu panas tanpa terjadi kerusakan disebut ketahanan panas. (heat resistance).

[image:41.595.111.517.438.754.2]

Klasifikasi bahan isolasi menurut IEC (International Electrotechnical Commision) didasarkan atas batas suhu kerja bahan, seperti di tunjukkan pada Tabel 3-1.

Tabel 3-1. Klasifikasi bahan isolasi

Kelas Bahan Suhu kerja

maks

Y

Katun, sutera alam, wol sintetis, rayon, serat poliamid, kertas, prespan, kayu, poliakrilat, polietilen, polivinil, karet

90 oC

A

Bahan kelas Y yang telah dicelup dalam vernis, aspal, minyak trafo. Email yang dicampur dengan vernis dan poliamid.

105 oC

E

Email kawat yang terbuat dari : polivinil formal, poli urethan dan damar, bubuk plastik, bahan selulosa pengisi pertinaks, tekstolit, triasetat, polietilen tereftalat.

120 oC

B

Bahan non organik (mika, fiberglas, asbes) dicelup atau direkat menjadi satu dengan pernis atau kompon, bitumen, bakelit, poli monochloro tri flour etilen, poli etilen tereftalat, poli karbonat, sirlak.

(42)

Lanjutan Tabel 3-1.Klasifikasi bahan isolasi

F

Bahan-bahan anorganik yang dicelup atau direkat menjadi satu dengan epoksi, poliurethan atau vernis dengan ketahanan panas yang tinggi.

155 oC

H

Mika, fiberglas, dan asbes yang dicelup dalam silikon tanpa campuran bahan berserat, karet silikon, email kawat poliamid murni.

180 oC

C

Bahan-bahan anorganik yang tidak dicelup dan tidak terikat dengan substansi organik misalnya mika, mikanit yang tahan panas, mikaleks, gelas, keramik, teflon (politetra fluoroetilen) adalah satu-satunya substansi organik.

Diatas 180 oC

3.3.1. Ketahanan terhadap Suhu Rendah

Ketahanan terhadap suhu rendah ialah kemampuan bahan isolasi untuk digunakan pada suhu rendah dalam hal ini -60 oC hingga -70 oC. Hal ini perlu diperhitungkan bagi bahan isolasi yang digunakan untuk penghantar pada pesawat terbang, pegunungan, dan sebagainya.

Umumnya bahan isolasi jika bersuhu rendah akan menjadi keras. Untuk itu biasanya bahan isolasi juga diuji pada suhu rendah dengan vibrasi.

3.4.Sifat Kimia

Beberapa sifat kimia yang dibahas adalah: sifat kemampuan larut, resistansi kimia, higroskopisitas, permeabilitas uap, pengaruh tropis dan resistansi radio aktif.

3.4.1. Sifat Kemampuan Larut

(43)

Kemampuan larut bahan padat dapat dievaluasi berdasarkan banyaknya bagian permukaan bahan yang dapat larut setiap satuan waktu jika diberi bahan pelarut. Kemampuan larut suatu bahan akan lebih besar jika suhunya dinaikkan. Umumnya bahan pelarut komposisi kimianya sama dengan bahan yang dilarutkan. Contohnya : hidro karbon (parafin, karet alam) dilarutkan dengan cairan hidro karbon atau phenol formaldehida.

3.4.2. Resistansi Kimia

Bahan isolasi mempunyai kemampuan yang berbeda ketahanannya terhadap korosi yang disebabkan oleh: gas, air, asam, basa dan garam. Hal ini perlu diperhatikan untuk pemakaian bahan isolasi yang digunakan di daerah yang konsentrasi kimianya aktif, suhu di atas normal. Karena kecepatan korosi dipengaruhi pula oleh kenaikan suhu.

Bahan isolasi yang digunakan pada instalasi tegangan tinggi harus mampu menahan terjadinya ozon. Artinya, bahan tersebut harus mempunyai resistansi ozon yang tinggi. Karena ozon dapat menyebabkan isolasi berubah menjadi regas. Pada prakteknya, bahan isolasi anorganik mempunyai ketahanan terhadap ozon yang baik.

3.4.3. Higroskopisitas

Beberapa bahan isolasi ternyata mempunyai sifat higroskopisitas, yaitu sifat menyerap air di sekelilingnya. Uap air ternyata dapat mengakibatkan perubahan mekanis–fisik (physico-mechanical) dan memperkecil daya isolasi.

Untuk itu selama penyimpanan atau pemakaian bahan isolasi agar tidak terjadi penyerapan uap air oleh bahan isolasi, maka hendaknya bahan penyerap uap air yaitu senyawa P2O5 atau CaCl2.

(44)

3.4.4. Permeabilitas Uap

Kemampuan bahan isolasi untuk dilewati uap disebut permeabilitas uap bahan tersebut. Faktor ini perlu diperhatikan bagi bahan yang digunakan untuk: isolasi kabel, rumah kapasitor.

Banyak uap M dalam satuan mikro-gram, selama t jam, melalui permukaan S meter persegi, dengan beda tekanan pada kedua sisi bahan P dalam satuan mm-Hg, adalah:

P t S

h A M

. .

10 . . 2

 (3-14)

dimana: A = Permeabilitas uap yang disebut juga konstanta difusi g = Permeabilitas uap air

  

mmHg jam

cm g

. .

[image:44.595.110.515.419.592.2]

Pada Tabel 3-2 ditunjukkan permeabilitas uap beberapa bahan.

Tabel 3-2. Permeabilitas uap beberapa bahan

No. Nama Bahan

  

mmHg jam

cm g A

. .

1 Parafin 0,007

2 Polistirin 0,03

3 Karet 0,03–0,08

4 Selulose triasetat 1

5 Cellophane 5

6 Kaca atau logam 0

3.4.5. Pengaruh Tropis

Terdapat 2 macam daerah tropis yaitu tropis yang basah (termasuk Indonesia) dan daerah tropis yang kering.

(45)

besarnya sudut rugi dielektrik, menambah permitivitas dan mengurangi kemampuan kelistrikan bahan.

Pada penggunaan bahan isolasi di daerah tropis harus diperhatikan 2 hal yaitu: perubahan sifat kelistrikan setelah bahan direndam dan kecepatan pertumbuhan jamur pada bahan tersebut. Karena hal-hal tersebut maka bahan isolasi sebaiknya dilapisi dengan bahan anti jamur, antara lain: paranitro phenol, pentha chloro phenol.

3.4.6. Resistansi Radiasi

Sifat bahan isolasi sering dipengaruhi energi radiasi yang menerpa bahan isolasi tersebut, pengaruh ini dapat mengubah sifat bahan isolasi.

Radiasi sinar matahari mempengaruhi umur bahan isolasi, khususnya jika bahan tersebut bersinggungan langsung dengan oksigen. Sinar ultra violet dapat merusak beberapa bahan organik yaitu menurunnya kekuatan mekanik, elastisitas dan retak-retak.

Sinar X, sinar-sinar dari reaktor nuklir misalnya: sinar ,  dan  partikel-partikel radio isotop, mempunyai pengaruh sangat besar pada bahan isolasi. Bahan polimer organik akan menjadi lebih keras dan akan menjadi lebih tahan terhadap panas jika terkena sinar-sinar tersebut, misalnya: politetraflouroethilen.

Kemampuan suatu bahan isolasi untuk menahan pengaruh radiasi tanpa mengalami kerusakan disebut resistansi radiasi.

3.5.Sifat–sifat Mekanis

Kekuatan mekanis bahan-bahan isolasi maupun logam adalah kemampuan menahan beban dari dalam atau luar. Beberapa sifat mekanis yang dibahas adalah: kekuatan (strength), modulus elastisitas, kekerasan.

3.5.1. Kekuatan (Strength)

Kekuatan adalah kemampuan bahan untuk tahan terhadap gaya-gaya luar tanpa mengalami kerusakan. Ukuran kekuatan bahan adalah tegangan maksimumnya, atau gaya terbesar persatuan luas

 

A

(46)

3.5.2. Modulus Elastisitas

Elastisitas adalah sifat dari suatu bahan dalam batas tegangan tertentu yang memungkinkan bahan kembali ke bentuk semula setelah gaya yang mengubah bentuknya dihilangkan. Batas elastisitas adalah tegangan satuan dimana di luar tegangan tersebut suatu bahan isolasi tidak kembali lagi ke bentuk semula. Set permanen adalah perubahan bentuk yang tetap yang dialami suatu bahan elastisitas akibat mengalami tegangan di luar batas elastis.

Ukuran elastisitas suatu bahan tertentu disebut modulus elasitisitas yang merupakan ukuran dari kekauan suatu bahan elastis atau ketahanannya terhadap perubahan bentuk akibat pembebanan.

3.5.3. Kekerasan

Kekerasan adalah kemampaun suatu bahan untuk tahan terhadap penetrasi. Pengujian derajat kekerasan dapat dilakukan dengan penggoresan atau penumbukan dengan benda lancip terhadap bahan yang dapat mengalami deformasi plastis yaitu logam dan plastik.

Satuan derajat kekerasan bahan dengan penggoresan adalah Moh dengan intan sebagai bahan terkeras nilainya 10 dan kapur sebagai yang terlunak dengan nilai 1. sedangkan untuk mengukur derajat kekerasan berdasarkan tumbukan digunakan metode-metode: Brinell, Rockwell dan Vickres.

Pada cara pengujian dengan metode Brinell, sebuah bola baja dengan diameter 10 mm dan sudah diperkeras, ditekankan ke permukaan bahan yang diuji dengan beban statis sehingga menimbulkan lekukan pada permukaan bahan yang diuji. Derajat kekerasan dapat dihitung dengan persamaan:

) (

) (

ker 2

mm lekukan bidang

Luas

kg berikan gayayangdi

asan

Ke  (3-15)

Derajat kekerasannya dinyatakan dengan satuan Brinell (HG).

(47)

membedakan di sini, lekukannya tidak berbentuk bidang bola. Pada pengujian dengan metode Vickres satuannya dalah Vickres (HD).

Pada pengujian kekerasan dengan metode Rockwell hasil pengujiannya dapat langsung terbaca pada alat pengujian. Sehingga pengujian dengan metode ini lebih mudah dan cepat. Mata penumbuk yang digunakan adalah intan bebentuk kerucut untuk bahan yang keras atau bola baja jika bahan yang diuji lunak.

(48)

BAB IV

PENGUKURAN KESEIMBANGAN SUHU KABEL

4.1.Sampel

[image:48.595.205.430.586.752.2]

Sampel terbuat dari kawat tembaga telanjang yang luas penampangnya 1 mm2 dan panjangnya 30 cm. Bahan isolasi sampel adalah polyolefin yang berbentuk sarung seperti ditunjukkan pada Gambar 4-1.

Gambar 4-1. Isolasi sampel dari bahan polyolefin

(49)
[image:49.595.185.444.134.327.2]

Gambar 4-2. Pemanasan bahan isolasi

Contoh sampel yang sudah siap diuji ditunjukkan pada Gambar 4-3.

Gambar 4-3. Sampel yang siap diuji

Semua sampel dikelompokkan menjadi terdiri dari 2 kelompok yakni: Kelompok I = Kawat telanjang ukuran 1 mm2.

Kelompok II = Kawat berukuran 1 mm2 yang dibalut dengan bahan polyolefin.

Sampel kelompok I terdiri dari 3 unit sampel, masing-masing berukuran sama. Ketiga unit sampel ini diberi nama A1, A2, dan A3. Berdasarkan ukuran isolasi

sampel kelompok II dibagi menjadi 4 unit sampel. Ukuran tebal isolasi masing-masing 2,07 mm, 2,62 mm, 2,99 mm, 3,67 mm. Ke empat unit sampel diberi nama B, C, D, dan E. Setiap unit sampel terdiri dari 3 elemen sampel yang diberi nama B1, B2, B3, C1, C2, C3, D1, D2, D3, E1, E2, dan E3. Untuk lebih jelasnya,

pengelompokan sampel diberikan pada Gambar 4-4.

[image:49.595.208.431.632.752.2]
(50)

Gambar 4-4. Pengelompokan Sampel

4.2.Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan di laboratorium Teknik Tegangan Tinggi Universitas Sumatera utara. Peralatan yang digunakan adalah:

1. Tahanan variabel, merek Yamabishi Tipe RZ-220-8A, tegangan 220 V, 50 Hz, arus 0-36, 4 A.

2. Tang amper, merek Hioki Tipe 3285, range arus 200-2000 A AC, range tegangan 30-600 V AC.

3. Termometer, merek Blue Gizmo, range suhu -10 oC–200 oC. 4. Termos.

5. Jam.

Rangkaian percobaan ditunjukkan pada Gambar 4-5.

Tahanan variabel

A

Terminal Input

[image:50.595.122.419.407.557.2]

Terminal Sampel

Gambar 4-5. Rangkaian Pengukuran

(51)

ke sumber tegangan. Tahanan variabel dinaikkan dengan cepat sampai arus yang mengalir pada sampel 19 A. Setiap 5 menit suhu sampel dicatat sampai suhu sampel mencapai kesetimbangan. Setelah sampel mencapai kesetimbangan suhu, nilai tahanan variabel dinaikan secara bertahap sampai arus nol. Sampel kembali didinginkan selama 1 hari. Pengukuran kembali dilakukan keesokan harinya seperti langkah-langkah di atas. Pengujian untuk setiap sampel dilakukan 3 kali untuk memperoleh hasil pengukuran yang akurat.

Hasil pengukuran diberikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

4.3.Pengolahan Data

Dari data hasil pengukuran pada Lampiran 1 dan Lampiran 2 dapat dihitung suhu rata-rata elemen sampel dengan cara sebagai berikut;

) ( )

(n C

Jumlah

kuran pengu Suhu

SuhuRatarata

o (4-1)

Di bawah ini diberikn contoh perhitungan suhu rata-rata 3 hasil pengukuran pada setiap unit sampel dari kelompok II pada waktu 5 menit

Suhu rata-rata 3 kali pengukuran pada elemen sampel B1

C Suhurata rataB 40,6 o

3 5 , 40 1 , 40 3 , 41 1     

Suhu rata-rata 3 kali pengukuran pada elemen sampel B2

C Suhurata rataB 39,1 o

3 2 , 39 2 , 39 8 , 38 2     

Suhu rata-rata 3 kali pengukuran pada elemen sampel B3

C Suhurata rataB 39,8 o

3 8 , 39 7 , 39 0 , 40 3     

Suhu rata-rata unit sampel B:

C Suhurata rata 39,8 o

(52)
[image:52.595.175.458.209.472.2]

Dengan cara perhitungan yang sama seperti di atas dapat dilakukan untuk hasil pengukruan lainnya. Hasil perhitungan suhu rata-rata pengukuran diberikan pada Tabel 4-1 sampai Tabel 4-3.

Tabel 4-1. Hasil pengukuran untuk kawat tembaga telanjang Wa k t u (M e nit ) Suhu k a w a t (oC)

[image:52.595.113.513.532.757.2]

0 25.0 5 46.7 10 50.3 15 50.8 20 51.0 25 51.0 30 51.0 35 51.0 40 51.0 45 51.0 50 51.0 55 51.0 60 51.0 65 51.0 70 51.0 75 51.0 80 51.0

Tabel 4-2. Hasil pengukuran suhu inti kabel dengan tebal isolasi yang bervariasi Suhu int i k a be l (oC)

Wa k t u (M e nit )

2 .0 7 m m 2 .6 2 m m 2 .9 9 m m 3 .6 7 m m

0 25.0 25.0 25.0 25.0

1 38.7 33.4 31.0 33.2

2 41.0 37.1 33.3 36.4

3 42.2 37.9 35.1 37.8

4 43.0 38.7 36.6 38.9

5 43.6 39.2 38.0 39.8

10 44.1 40.2 39.1 40.1

15 44.5 41.1 39.8 40.4

20 44.8 41.6 40.3 40.5

25 45.0 42.0 40.6 40.7

(53)

40 45.3 42.6 41.1 40.9

50 45.4 42.8 41.4 41.0

60 45.5 42.9 41.6 41.1

70 45.5 42.9 41.8 41.2

80 45.5 43.0 42.0 41.3

90 45.5 43.0 42.1 41.4

100 45.5 43.0 42.1 41.4

110 45.5 43.0 42.2 41.5

120 45.5 43.0 42.2 41.5

130 43.0 42.2 41.6

140 43.0 42.2 41.6

150 42.2 41.6

160 42.2 41.6

170 41.6

180 41.6

190 41.6

Tabel 4-3. Hasil pengukuran suhu isolasi kabel dengan tebal isolasi yang bervariasi

Suhu isola si k a be l (oC)

Wa k t u (M e nit )

2 .0 7 m m 2 .6 2 m m 2 .9 9 m m 3 .6 7 m m

0 25.0 25.0 25.0 25.0

5 39.8 37.6 34.4 32.7

10 41.3 38.6 36.5 33.8

15 42.3 39.4 37.2 34.6

20 42.9 39.9 37.8 35.3

25 43.2 40.1 38.2 35.8

30 43.6 40.3 38.4 36.2

35 43.9 40.4 38.7 36.6

40 44.2 40.5 38.9 36.9

45 44.4 40.6 39.1 37.1

50 44.5 40.7 39.3 37.3

55 44.6 40.8 39.5 37.5

60 44.7 40.9 39.6 37.7

65 44.7 40.9 39.7 37.9

70 44.7 41.0 39.8 38.1

75 44.7 41.1 39.9 38.4

80 44.7 41.2 39.9 38.5

(54)

90 44.7 41.2 40.0 38.8

95 44.7 41.2 40.0 38.9

100 44.7 41.2 40.1 39.0

105 44.7 41.2 40.1 39.1

110 44.7 41.2 40.1 39.1

115 44.7 41.2 40.1 39.2

120 44.7 41.2 40.1 39.2

125 41.2 40.1 39.2

130 41.2 40.1 39.3

135 41.2 40.1 39.3

140 41.2 40.1 39.3

145 40.1 39.3

150 40.1 39.3

155 40.1 39.3

160 40.1 39.3

165 39.3

170 39.3

175 39.3

180 39.3

185 39.3

190 39.3

4.4.Analisis Data

(55)

25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85

Waktu (menit)

Suh

u (

o

C

[image:55.595.117.508.85.402.2]

)

(56)

25.0 26.0 27.0 28.0 29.0 30.0 31.0 32.0 33.0 34.0 35.0 36.0 37.0 38.0 39.0 40.0 41.0 42.0 43.0 44.0 45.0 46.0 47.0

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 105 110 115 120 125 130 135 140 145 150 155 160 165 170 175 180 185 190 195 200

Waktu (menit)

S

uhu

(

o

C)

Suhu inti kabel (oC) 2.07 mm Suhu inti kabel (oC) 2.62 mm Suhu inti kabel (oC) 2.99 mm Suhu inti kabel (oC) 3.67 mm

Dari Tabel 4-3 di atas

juga dapat diperoleh

kurva hubungan suhu isolasi

kabel dengan tebal isolasi yang bervariasi

dengan waktu seperti ditunjukkan pada

Ga

[image:56.595.141.752.116.497.2]

m

bar 4-8.

U

n

iv

e

r

s

ita

s

Su

m

a

te

r

a

U

(57)

25.0 26.0 27.0 28.0 29.0 30.0 31.0 32.0 33.0 34.0 35.0 36.0 37.0 38.0 39.0 40.0 41.0 42.0 43.0 44.0 45.0 46.0

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 105 110 115 120 125 130 135 140 145 150 155 160 165 170 175 180 185 190 195 200

Waktu (menit)

Suhu (oC

)

Suhu luar kabel (oC) 2.07 mm Suhu luar kabel (oC) 2.62 mm Suhu luar kabel (oC) 2.99 mm Suhu luar kabel (oC) 3.67 mm

Dari Tabel 4-2 dan Tabel 4-3, wakt

u untuk m

encapai kesetim

bangan suhu

dari setiap sam

p

el diberikan pada Tabel 4-4.

U

n

iv

e

r

s

ita

s

Su

m

a

te

r

a

U

ta

(58)
[image:58.595.129.500.129.212.2]

Tabel 4-4. Lamanya pengujian untuk mencapai kesetimbangan suhu T e ba l I sola si (m m ) Wa k t u unt uk se t im ba ng (m e nit )

2.07 120

2.62 140

2.99 160

3.67 190

Dari Tabel 4-4 di atas, hubungan antara waktu untuk mencapi kesetimbangan suhu dengan tebal isolasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4-9.

100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200

2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 3 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8

Tebal isolasi (mm)

Wa

k

tu (

m

e

n

it

)

Waktu untuk setimbang (menit) Linear (Waktu untuk setimbang (menit))

[image:58.595.117.508.316.671.2]
(59)

Dari Gambar 4-9 di atas diperoleh hubungan linier antara waktu untuk mencapai kesetimbangan dengan tebal isolasi, dimana semakin tebal isolasi dari kabel maka waktu yang dibutuhkan kabel untuk mencapai kesetimbangan akan semakin lama. Jika tebal isolasi 2,07 mm maka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan yakni 118 menit. Jika tebal isolasi 3,67 mm maka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan yakni 190 menit.

[image:59.595.130.496.313.425.2]

Dari Tabel 4-2 dan Tabel 4-3, suhu akhir di inti dan di isolasi dari setiap sampel diberikan pada Tabel 4-5.

Tabel 4-5. Suhu akhir di inti dan isolasi kabel Suhu Ak hir T e ba l I sola si

(m m ) isola si k a be l (oC) int i k a be l (oC)

2.07 44.7 45.5

2.62 41.2 43.0

2.99 40.1 42.2

3.67 39.3 41.6

Dari Tabel 4-5 di atas juga dapat diperoleh kurva yang menyatakan hubungan antara suhu akhir di inti dan isolasi kabel dengan tebal isolasi. Hubungan tersebut diberikan pada Gambar 4-10.

38 39 40 41 42 43 44 45 46

2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 3 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8

Tebal Isolasi (mm)

Suhu (

o

C

)

[image:59.595.116.515.532.720.2]

Suhu Akhir isolasi kabel (oC) Suhu Akhir inti kabel (oC)

(60)

isolasi

(61)

BAB V PENUTUP

5.1.Kesimpulan

1. Suhu akhir kawat tembaga telanjang 1 mm2 adalah 51,0 oC. Jika inti kabel adalah tembaga 1 mm2, suhu akhir di inti kabel dengan tebal isolasi 3,67 mm adalah 41,6 oC. Suhu akhir di isolasi kabel dengan tebal isolasi 3,67 mm adalah 39,3 oC. Suhu akhir inti kabel semakin rendah jika diberi isolasi.

2. Waktu yang dibutuhkan kawat tembaga telanjang 1 mm2 untuk mencapai kesetimbangan suhu adalah 80 menit. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan suhu dengan tebal isolasi 3,67 mm adalah 190 menit. Waktu untuk mencapai keseimbangan semakin lama jika diberi isolasi.

3. Jika tebal isolasi 2, 07 mm, maka suhu akhir di inti kabel adalah 45,5 oC dan suhu akhir di isolasi kabel 44,7 oC. Jika tebal isolasi 3, 67 mm, maka suhu akhir di inti kabel adalah 41,6 oC dan suhu akhir di isolasi kabel adalah 39,3 oC. Suhu akhir di inti dan di isolasi kabel semakin rendah jika isolasi kabel semakin tebal.

5.2. Saran

(62)

DAFTAR PUSTAKA

1. Kreith, Frank, Principles of Heat Transfer, Harper & Row Publisher, Edisi Ketiga, Singapura, 1973

2. Muhaimin, Drs., Bahan-bahan Listrik untuk Politeknik, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999

3. Pitts, Donald R, Ph.D., Theory and Problem of Heat Transfer, Mc. Graw Hill, Singapura, 1999

4. Tobing, B.L., Dasar Teknik Pengujian Tegangan Tinggi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003

(63)

LAMPIRAN 1

Hasil pengukuran kawat tembaga Tanpa isolasi (A1) I = 19 A

Suhu pe nguk ura n (oC)

Wa k t u (M e nit )

1 2 3 Ra t a -ra t a

0 25.0 25.0 25.0 25.0

5 46.7 45.4 47.2 46.4

10 50.8 50.5 50.6 50.6

15 51.1 51.4 51.1 51.2

20 51.4 51.6 51.3 51.4

25 51.4 51.6 51.3 51.4

30 51.4 51.6 51.3 51.4

35 51.4 51.6 51.3 51.4

40 51.4 51.6 51.3 51.4

45 51.4 51.6 51.3 51.4

50 51.4 51.6 51.3 51.4

55 51.4 51.6 51.3 51.4

60 51.4 51.6 51.3 51.4

65 51.4 51.6 51.3 51.4

70 51.4 51.6 51.3 51.4

75 51.4 51.6 51.3 51.4

(64)

Hasil pengukuran kawat tembaga Tanpa isolasi (A2) I = 19 A

Suhu pe nguk ura n (oC)

Wa k t u (M e nit )

1 2 3 Ra t a -ra t a

0 25.0 25.0 25.0 25.0

5 46.6 46.7 46.7 46.7

10 50.0 50.6 49.9 50.2

15 50.2 50.9 50.5 50.5

20 50.3 50.9 50.7 50.6

25 50.3 50.9 50.7 50.6

30 50.3 50.9 50.7 50.6

35 50.3 50.9 50.7 50.6

40 50.3 50.9 50.7 50.6

45 50.3 50.9 50.7 50.6

50 50.3 50.9 50.7 50.6

55 50.3 50.9 50.7 50.6

60 50.3 50.9 50.7 50.6

65 50.3 50.9 50.7 50.6

70 50.3 50.9 50.7 50.6

75 50.3 50.9 50.7 50.6

(65)

Hasil pengukuran kawat tembaga Tanpa isolasi (A3) I = 19 A

Wa k t u (M e nit ) Suhu pe nguk ura n (oC) Ra t a -ra t a

1 2 3

0 25.0 25.0 25.0 25.0

5 46.8 46.7 47.3 46.9

10 50.2 50.0 50.4 50.2

15 50.6 50.4 50.9 50.6

20 50.8 50.6 51.0 50.8

25 50.8 50.6 51.0 50.8

30 50.8 50.6 51.0 50.8

35 50.8 50.6 51.0 50.8

40 50.8 50.6 51.0 50.8

45 50.8 50.6 51.0 50.8

50 50.8 50.6 51.0 50.8

55 50.8 50.6 51.0 50.8

60 50.8 50.6 51.0 50.8

65 50.8 50.6 51.0 50.8

70 50.8 50.6 51.0 50.8

75 50.8 50.6 51.0 50.8

(66)

LAMPIRAN 2

Hasil pengukuran suhu isolasi dengan tebal isolasi 2,07 mm

Tebal isolasi = 2.07 mm (B1) I = 19 A

Suhu pe nguk ura n (oC)

Wa k t u (M e nit )

1 2 3 Ra t a -ra t a

0 25.0 25.0 25.0 25.0

5 41.3 40.1 40.5 40.6

10 41.9 41.5 42.0 41.8

15 42.5 42.1 42.9 42.5

20 42.9 42.6 43.2 42.9

25 43.0 42.9 43.4 43.1

30 43.3 43.1 43.7 43.4

35 43.5 43.5 43.9 43.6

40 43.7 43.8 44.0 43.8

45 43.9 43.9 44.1 44.0

50 44.0 44.1 44.1 44.1

55 44.0 44.2 44.2 44.1

60 44.2 44.3 44.2 44.2

65 44.2 44.3 44.2 44.2

70 44.2 44.3 44.2 44.2

75 44.2 44.3 44.2 44.2

80 44.2 44.3 44.2 44.2

85 44.2 44.3 44.2 44.2

90 44.2 44.3 44.2 44.2

95 44.2 44.3 44.2 44.2

100 44.2 44.3 44.2 44.2

105 44.2 44.3 44.2 44.2

110 44.2 44.3 44.2 44.2

115 44.2 44.3 44.2 44.2

(67)

Hasil pengukuran suhu isolasi dengan tebal isolasi 2,07 mm Tebal isolasi = 2.07 mm (B2) I = 19 A

Suhu pe nguk ura n (oC)

Wa k t u (M e nit )

1 2 3 Ra t a -ra t a

0 25.0 25.0 25.0 25.0

5 38.8 39.2 39.2 39.1

10 40.4 41.3 41.2 41.0

Gambar

Tabel 2-1. Konduktivitas thermal berbagai bahan
Gambar 2-2, dapat diturunkan dengan menerapkan Persamaan 2-2.
Gambar 2-5. Aliran radial panas di dalam silinder
Gambar 2-6.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pengujian dapat dilihat hubungan karakteristik kenaikan temperatur inti kabel terhadap waktu selama dialiri arus listrik, dapat dilihat pada Gambar 10

Energi listrik yang disalurkan lewat saluran transmisi udara pada umumnya menggunakan kawat telanjang sehingga mengandalkan udara sebagai media isolasi antara kawat penghantar

Coil kawat tembaga memiliki respon yang baik pada perubahan suhu yang rendah yang dihasilkan oleh nitrogen cair.. Respon ini ditunjukan melalui nilai indeks

Hal tersebut terjadi karna pada suhu tersebut pola tegangan tembus yang terjadi sama seperti pola tegangan tembus pada isolasi minyak Transformator murni dimana pada

Gambar 4.5 Kurva Karakteristrik Hubungan Arus Bocor Berbagai Minyak Isolasi Pada Tingkat Viskositas 22 Cst ...44. Gambar 4.6 Kurva Karakteristrik Hubungan Arus Bocor Berbagai Minyak

Hasil dari pengujian panas eksternal, sumbu api yang memanaskan plat mulai melelehkan isolasi kabel hingga terkelupas (inti kabel bertemu dengan plat) di mulai detik

Nilai parameter listrik tersebut adalah perhitungan tahanan arus bolak balik, kemampuan hantar arus KHA, rugi daya, sisi terima kabel dan efisiensi pada kabel three core isolasi minyak

METODE Dalam rancangan penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan melakukan percobaan pengukuran nilai hambatan kawat 1 dan kawat 2 pada suhu