• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aglomerasi Dan Kemiskinan Perkotaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aglomerasi Dan Kemiskinan Perkotaan"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

AGLOMERASI DAN KEMISKINAN PERKOTAAN

Matias Siagian

Abstract: The glorious of Jakarta metropolitan is not means that it’s region hunger edema disease proof, that special suffered by family poor. This fact indicated that the social economy and welfare are very in equal. Even though there is not mass poverty in the metropolises as in the rural, but the poor people existence in the main cities indicated how the welfare distribution is not equal between main cities community. This condition knew us that development concentration in the main cities and areas is not only to go upward the community welfare, but also appeared social problems. These cases have to use to change the development strategy, especially social policy, so all of people will get life improvement.

Keywords: agglomeration, poverty and welfare distribution.

PENDAHULUAN

Dr. J. H. Boeke, Guru Besar ilmu Ekonomi Timur di Universitas Leiden sangat ”mengutuk” kebijakan pembangunan di ber-bagai negara Asia yang sangat tidak merata atau sangat timpang. Pada awalnya, kebijakan pembangunan ekonomi yang demikian sesungguhnya dilakukan oleh penguasa impor atau penjajah, di mana mereka diilhami oleh keinginan menguasai bangsa-bangsa terbelakang seperti Asia melalui penciptaan konflik dan perang di antara sesama bangsa dalam suatu wilayah yang bakal menjadi nega-ra. Kesenjangan sosial ekonomi dan kesejahte-raan sebagai buah dari ketidakmerataan pembangunan dipastikan sangat ampuh dalam mengembangkan disintegrasi bangsa sebagai jalan masuk bagi bangsa-bangsa maju, khususnya Eropa Barat sebagai penguasa tung-gal import di negeri orang. Kedudukan ini tentu diperoleh bukan hanya karena pemilikan kekuatan yang jauh lebih besar dari bangsa ter-jajah, melainkan juga karena mereka mendapat dukungan dari kelompok-kelompok elite dalam negeri (Boeke 1958: 12 – 17).

Kesenjangan pembangunan sebagai dampak dari pemusatan pembangunan di kota atau daerah-daerah tertentu di suatu negara pada gilirannya melahirkan dua wajah masyarakat yang berbeda secara fantastik, bagaikan langit dan bumi. Sebagai contoh, pada umumnya orang desa sejak lahir hingga melambaikan tangan menuju alam baka tidak pernah menyentuhkan jari tangannya pada

keyboard komputer, bahkan mesin tik sekali pun. Sedangkan anak kaum elite perkotaan sejak kecil sudah akrab dengan teknologi canggih seperti komputer, dan berbagai fasili-tas lain yang merupakan pintu informasi dunia dan pengetahuan modern. Perbedaan ini kemu-dian melahirkan terminologi baru dalam kehi-dupan sosial, yakni “dualisme” kehikehi-dupan masyarakat, yang kemudian membelah masyarakat negara itu menjadi dua kelompok besar, yakni masyarakat tradisional atau prakapitalis dan masyarakat kapitalis. Kedua kelompok masyarakat ini memiliki kompetensi yang jauh berbeda bagai siang dan malam. Jika kedua kelompok besar yang berbeda secara fantastik ini dikelola atau diatur dengan aturan yang sama, maka salah satu di antaranya akan menjadi korban. Semua kita tentu mengetahui, pihak mana yang menjadi korban.

(2)

bagi mereka untuk mewarisi kebijakan yang menyengsarakan rakyat banyak tersebut. Secara psikis, kecenderungan itu boleh jadi sebagai suatu kewajaran, karena memang mayoritas pemimpin bangsa ini dapat mencapai keberhasilan dalam hidupnya memang karena mereka merupakan keturunan yang memperoleh berbagai fasilitas dari penjajah sebagai “tips” kemesraan mereka dengan kaum penjajah.

Kajian awal aglomerasi dalam kaitan-nya dengan strategi pembangunan selalu dikaitkan dengan ideologi yang berkembang dan dianut suatu negara. Oleh karena itu, banyak pakar ekonomi mengemukakan bahwa negara-negara komunis jauh lebih adil dalam pembangunannya dibandingkan dengan negara-negara liberal. Namun studi lebih mendalam tentang pembangunan justru menemukan fakta, bahwa pada umumnya negara-negara yang sekarang ini malu disebut sebagai negara-negara terbelakang, yang pada umumnya bejas jajahan Barat ternyata mewarisi kebijakan pembangunan yang sangat aglomeratis, tanpa memandang ideologi negara itu (Lloyd 25: 1981).

Walaupun pada awalnya kebijakan pembangunan yang aglomeratif mampu men-ciptakan stabilitas nasional dan integrasi bangsa karena memang sangat acceptable bagi kaum elite bangsa sebagai satu-satunya kelompok partisipan dalam kehidupan bernegara pada awal kemerdekaan negara-negara tersebut, namun konsistensi policy maker pada kebijakan yang demikian saat ini telah menjadi boomerang bagi bangsa dan negara secara agregat. Diprediksikan jika konsistensi itu tetap dipertahankan, maka akibatnya secara ekonomis akan mengurangi produktivitas bangsa, sehingga menyulitkan negara itu berbicara banyak pada era globali-sasi dengan persaingan yang amat ketat me-nuju kejayaan negara itu. Sementara secara po-litisi kebijakan itu tidak pula mustahil dapat mengakibatkan gerakan rakyat menuju revolusi sosial.

PEMBAHASAN

Aglomerasi dan Kemiskinan

Salah satu masalah nasional di banyak negara sedang berkembang, khususnya Indo-nesia adalah ketidakmerataan penduduk. Dampak negatif daripada ketidakmerataan ini sangat dirasakan oleh bangsa Indonesia dan

menjadi momok dalam menetapkan kebijakan pembangunan yang dianggap tepat bagi semua pihak (Heeren dalam Swasono & Singarimbun: 86 – 93). Di kota-kota besar penyediaan fasilitas umum dan kebutuhan-kebutuhan yang sangat vital seperti air dan BBM menghadapi masalah besar dan sangat ekspansif terhadap anggaran dan devisa negara. Masalah perumahan yang layak dan terutama penyediaan lapangan kerja bagi kelompok marginal selalu menghadapi masa-lah yang hingga saat ini tetap menjadi ancaman bagi kehidupan berbangsa dan stabilitas sosial. Hal ini berarti, bahwa pem-bangunan perkotaan tidak mampu meningkatkan daya dukung wilayah itu terhadap kehidupan masyarakatnya.

Aglomerasi program dan aktivitas pembangunan mangakibatkan timbulnya fakta, di mana beberapa wilayah dan terutama kota-kota besar di Indonesia bagian barat sangat dinamis, sementara wilayah-wilayah termasuk kota-kota tertentu tumbuh sangat lamban, statis, bahkan ada di antaranya justru mengalami kemunduran karena masalah yang ditimbulkan faktor alam justru lebih dominan dibandingkan dengan investasi dan aktivitas pembangunan yang dilakukan. Hal ini kemudian mengakibatkan penduduk negara-negara sedang berkembang makin terpusat secara spasial, para migran bergerak dari wilayah-wilayah kritis ke wilayah-wilayah yang dinamis, dari pedesaan ke perkotaan, bahkan dari kota-kota kecil ke kota-kota besar atau metropolitan.

Aglomerasi gerak pembangunan bukan hanya membatasi program pembangunan di daerah tertentu, terutama kota-kota besar di negara -negara sedang berkembang. Akan tetapi spesifikasi pembangunan yang dilakukan di kota-kota besar juga didominasi oleh aktivitas yang demikian hanya membutuhkan kontribusi dari kelompok masyarakat tertentu, yakni kelom-pok yang dianggap modern atau kapitalis. Dengan demikian, gerak para migran yang di-dominasi oleh kaum marginal dan prakapitalis (jika enggan menyebutnya sebagai kaum tradi-sional) tidak mendapat sambutan dari lembaga-lembaga pengguna tenaga kerja yang dimiliki kaum kapitalis.

(3)

pertanian milik orang desa. Akibatnya, petani berdasi pun muncul dengan pesatnya, perubahan land use juga terjadi dengan deras, tanpa peduli terhadap kebutuhan masyarakat banyak. Bahkan perubahan land use sering diklaim sebagai proses dan hakikat modernisasi (Rahardi 1997: 37). Kita tentu masih ingat Menpora RI dengan bangga mengemukakan betapa pesatnya pembangunan di negara kita saat meresmikan lapangan golf, dan mentahbiskan jumlah lapangan golf sebagai kriteria absolut dari pembangunan yang makin pesat, dan diartikan bahwa negara kita sedang mengalami proses modernisasi de-ngan laju yang sangat tinggi.

Akibatnya, di daerah pedesaan banyak penduduk yang menjadi penonton dan pekerja di tanah milik orang kaya. Kondisi marginal yang mereka alami sangat rentan terhadap pe-rubahan status kepemilikan lahan di desa-desa, di mana kelompok si kaya justru bersikap dan merasa sebagai ”malaikat” penyelamat hidup orang miskin desa, dengan cara membeli lahan-lahan pertanian di desa. Dalam kondisi yang demikian, maka wilayah pedesaan didominasi oleh penduduk miskin dan bodoh, di mana kondisi ini akan memantapkan sifat statis wilayah pedesaan tersebut. Di sisi lain, wilayah perkotaan akan berkembang benjadi benalu bagi wilayah pedesaan. Demikian halnya dengan elite perkotaan akan pula menjadi parasit bagi kaum marginal pedesaan.

Seribu satu alasan yang pernah dikemukakan mengapa kota mendapat perhatian yang sangat besar sehingga cenderung melupakan wilayah pedesaan. Mulai dari upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga pengakuan bahwa wilayah perkotaan, khususnya kota-kota metropolitan merupakan etalase negara secara menyeluruh. Dengan demikian membangun wilayah perkotaan, terutama kota metropolitan identik dengan membangun gengsi, harkat dan martabat, serta harga diri bangsa dalam kancah interaksi internasional. Sementara pertumbuhan ekonomi yang pesat merupakan titik awal dari pembangunan menuju pemerataan dianggap mustahil terjadi tanpa pertumbuhan yang tinggi. ”Jika tidak ada yang tumbuh, apanya yang akan dibagi-bagi atau diratakan?” demikian ucapan Soeharto, mantan Presiden RI di hadapan anggota DPR yang mulia (Husken et.al. 1997: 28).

Mengapa kemiskinan perkotaan itu makin subur? Bukankah aglomerasi

pemba-ngunan di wilayah perkotaan mampu meredam angka pengangguran? Bukankah pencegahan pengangguran itu secara signifikan akan mengikis habis kemiskinan? Harus diakui aglomerasi pasti mengakibatkan pemutusan investasi di wilayah-wilayah perkotaan. Selanjutnya secara ekonomis dapat dipastikan bahwa investasi memiliki signifikansi yang tinggi dengan ketersediaan lapangan kerja. Namun kenyataannya, aglomerasi pembangunan ternyata tidak terbatas hanya pada wilayah yang mengakibatkan disparitas desa-kota, disparitas wilayah Indonesia bagian barat-wilayah Indonesia bagian timur, namun lebih dari itu, aglomerasi juga sudah menembus spesifikasi aktivitas pembangunan.

Dalam kondisi di atas, maka moderni-sasi tidak cukup diartikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggi secara merata, melainkan juga harus dipastikan bahwa aktivitas pembangunan didominasi oleh sektor-sektor modern. Inilah yang dinamakan dengan spesifikasi pembangunan sektor modern. Sebagai contoh kasus, walaupun masyarakat banyak (terutama lapisan bawah dan menengah) merasa menjadi manusia yang berarti dalam aktivitasnya pada pasar-pasar tradisional di kota-kota besar dan menengah, namun bagi penguasa, yang menjadi corong dan boneka kaum kapitalis, modernisasi hanya akan ada jika pasar tradisional telah berubah wujud atau secara paksa diubah menjadi pasar modern, seperti plaza-plaza.

Kondisi ini kemudian yang membuat Romo Mangunwijaya merasa terkejut saat me-nerima pengakuan dari keluarga miskin di desa Gunung Kidul. ”Apakah pada umumnya orang disini dapat hidup dengan cukup?” tanya Romo Mangunwijaya. ”Cukup pak, jika tidak ada pembangunan,” jawab si orang desa. (Budiman 1995: 3). Hal ini menunjukkan anggapan bahwa pembangunan adalah passport bagi kesejahteraan masyarakat ternyata justru menjadi tembok besar, penghalang menuju kesejahteraan. Pernyataan ini memang merupakan realitas di kota-kota besar saat ini, di mana banyak masyarakat marginal yang justru tergusur oleh pem-bangunan.

(4)

Dengan demikian, yang salah bukanlah para policy maker, melainkan kaum marginal desa yang melakukan migrasi ke perkotaan inilah yang salah, karena mereka sesungguhnya tidaklah pantas menjadi penduduk kota-kota besar. Anggapan seperti inilah yang kemudian melahirkan kebijakan kota tertutup bagi kaum urbanis, melalui peraturan perundang-undangan.

Jika dianalisis secara lebih mendalam, hati kita miris, betapa pembangunan yang menggunakan pinjaman luar negeri dan oleh karena itu secara otomatis menjadikan seluruh rakyat Indonesia telah punya hutang sejak da-lam kandungan justru menyengsarakan diri sendiri. Dengan demikian, pembangunan yang bersifat aglomeratif justru menjadi investasi menuju kemiskinan dan kehancuran masyarakat banyak. Atau setidaknya, pembangunan justru merupakan proses pemiskinan.

Dari uraian di atas dapatlah kita pahami betapa pembangunan itu menabur kesengsaraan baik bagi orang desa maupun orang kota sendiri. Kondisi ini harusnya menjadi titik awal bagi decision maker untuk melakukan perubahan secara agregat dalam strategi pembangunan, kebijakan sosial, termasuk prioritas program. Pembangunan harus dipandang dari sudut kemanusiaan. Dengan anggapan seperti ini, maka pintu bagi indikator-indikator sosial ke dalam kebijakan pembangunan telah terbuka. Harus diingat, bahwa pernyataan yang menegaskan bahwa pembangunan harus berpusat pada manusia, dan manusia harus selalu pusat dari kegiatan pembangunan itu harus dipegang dan dipedomani secara konsisten.

Kemiskinan perkotaan sudah menjadi masalah besar saat ini. Secara politis, kemiski-nan perkotaan menunjukkan secara mudah betapa pembangunan yang dilakukan sangat timpang dan jauh dari keadilan. Di samping itu, kemiskinan perkotaan angat rawan terhadap revolusi sosial dan terutama gangguan keamanan.

KESIMPULAN

Aglomerasi pembangunan yang meng-akibatkan disparitas desa-kota, penduduk mis-kin-penduduk kaya makin mengental merupa-kan masalah yang makin rumit. Masalah ini dapat dieliminir dan dikikis secara perlahan-lahan dengan melakukan kaji ulang terhadap strategi pembangunan dengan segala kebijakan-kebijakan publik dan kebijakan sosial yang mengikutinya. Distribusi investasi yang merata harus diupayakan sehingga wilayah-wilayah terbelakang dapat mengejar ketertinggalannya menuju pada kondisi merata.

(5)

DAFTAR PUSTAKA

Boeke, J, H. 1958. The Interest of the Voiceless Far East, Introduction to Oriental Economics. Universitaire Pers Laiden, Leiden.

Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia, Jakarta.

Husken, Frans, Maria Rutten, Dirkse, dan Jan Paul. 1997. Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial Indonesia di Bawah Orde Baru. Perwakilan KITLV dan Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Lloyd, Christopher. 1981. Social Theory and Political Practice. Oxford University Press, Oxford.

Rahardi, F. 1997. Petani Berdasi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Ketepatan dalam memilih pendekatan, dan atau memilih lintasan belajar (peta konsep) untuk mencapai tujuan pembelajaran.. Kemudahan peserta didik memahami sajian

sebanyak 4 m per ton karet kering. Selain itu mutu RSS juga ditentukan oleh pengontrolan yang rutin mengenai bahan bakar kayu dan suhu ruang pengasapan. Sistem

Beta- blockers reduce the mortality after myocardial infarction by about 25%.38 Furthermore, there is some suggestion that aspirin given after TIA and mild ischaemic

Javaslom, hogy a kis- és középvállalkozások is reagáljanak az Ipar 4.0 által hozott új technológiai lehetőségekre, hiszen, ha nem teszik, akkor csúnyán lemaradnak.. A

Tujuan percobaan uji hedonik adalah untuk menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap sifat organoleptik dalam suatu produk pangan, dengan prinsip percobaan uji hedonik

Keluasan dan kedalaman materi harus sesuai, sistematika materi, kesesuaian dengan kemampuan dan kebutuhan siswa, serta kesesuaian materi dengan perkembangannya

Analisis kebutuhan modul dilakukan pada tanggal 20 sampai 31 Oktober 2014 dengan mengunjungi sekolah SMA Negeri 5 Banda Aceh, SMA Negeri 11 Banda Aceh, dan SMA Negeri

Sikap Wanita Mengenai Resiko profesi yang mereka jalani memiliki tingkat resiko yang tinggi, dengan beragam cedera yang mungkin ditimbulkan, bahkan resiko