PEMBAGIAN HARTA WARISAN PADA MASYARAKAT LAMPUNG SAIBATIN
YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK LAKI-LAKI DI PEKON WAY MENGAKU
KECAMATAN BALIK BUKIT KABUPATEN LAMPUNG BARAT
Oleh
GANIRA OCTA MARIA AMRU
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA PENDIDIKAM
Pada
Program Studi Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
KABUPATEN LAMPUNG BARAT
ABSTRAK
Oleh
Ganira Octa Maria Amru
Pembagian harta warisan merupakan suatu pengalihan atau pemindahan harta
seorang ayah terhadap anak-anaknya terutama kepada anak laki-laki tertua yang
sudah dewasa. Pelaksanaan pembagian harta warisan tersebut dilaksanakan atau
diberikan setelah pewaris meninggal dunia atau wafat, adapun waktu yang tepat
dalam pemberian harta warisan tersebut dilaksanakan pada saat upacara
sedekahan yaitu pada saat nujuh hari, empat puluh hari dan seratus hari setelah
pewaris meninggal dunia. Dalam pembagian harta warisan tersebut biasanya di
saksikan oleh orang tua si pewaris yang masih hidup, anggota keluarga tertua
yang dianggap jujur dan adil, serta disaksikan oleh tua-tua adat atau pamong desa
yang telah ditunjuk oleh para ahli waris.
Syarat-syarat pembagian harta warisan ini harus sudah bersih dari harta orang
lain, misalnya: Menyelesaikan kewajiban yang melekat pada harta peninggalan
tersebut, biaya perawatan jenazah telah ditunaikan ( kafan, gali kubur, prosesi
pemakaman, dan lain-lain ), membayar hutang, membayar wasiat yang telah
diucapkan, dan harta suami/istri telah dipisahkan ( gono-gini ).
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa jika dalam suatu keluarga tidak
mempunyai anak laki-laki, agar tidak putus keturunan maka melakukan
pengangkatan anak laki-laki yang disahkan dalam upacara adat, Apabila proses
pengangkatan anak telah terlaksana, dengan demikian secara adat anak laki-laki
yang diangkat telah terputus hubungannya secara adat kepada orang tua
kandungnya secara adat pula akan tetapi secara pribadi, secara hukum agama dan
hukum pemerintah pemutusan hubungan itu tidak terjadi. Yang di harapkan dapat
meneruskan harta orang tua angkatnya adapin syarat
–
syarat untuk mendapatkan
harta warisan adalah harus sudah berumah tangga, dalam keadaan sehat jasmani
dan rohani, berumur cukup.
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN... 1
1.1
Latar Belakang
………
... 1
1.2
Identifikasi Masalah………
... 5
1.3
Batasan Masalah... 6
1.4
Rumusan Masalah... 6
1.5
Tujuan Penelitian... 7
1.6
Kegunaan Penelitian... 7
1.7
Ruang Lingkup Penelitian...8
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA... 9
2.1
Tinjauan Pustaka……
... 9
2.1.1
Konsep Pembagian Harta Warisan... 9
2.1.2
Konsep Jenis Harta Warisan... 11
2.1.3
Konsep Ulun Lampung... 13
2.1.4
Konsep Saibatin……..
... 14
2.2
Kerangka Pikir... 15
2.3
Paradigma……….
... 16
III. METODE PENELITIAN... 17
3.1
Metode Penelitian…………...
... 17
3.2
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel dan Sumber……...
.. 18
3.2.1
Variabel Penelitian... 18
3.2.2
Definisi Operasional Variabel... 19
3.2.3
Informan……….…..
... 19
3.3
Teknik Pengumpulan Data... 20
3.3.1
Wawancara……….
... 20
3.3.2
Dokumentasi...
………...
... 21
3.3.3
Kepustakaan...
………...
... 21
3.4
Teknik Analisis Data... 22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 23
A.
Hasil
4.1
Gambaran Umum Daerah Penelitian……….……...
.. 23
4.1.2
Sejarah Singkat Pekon Way Mengaku... 24
4.1.3
Letak dan Batas Pekon Way Mengaku... 25
4.1.4
Luas Wilayah Pekon Way Mengaku...26
4.1.4.1
Data Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan umur... 27
4.1.4.2
Data Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 28
4.1.4.3
Data Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian... 29
4.1.4.4
Data Penduduk Berdasarkan Agama... 29
4.2
Struktur Masyarakat Lampung Saibatin
………
... 30
4.3
Hukum Waris... 30
4.3.1
Hukum Waris Islam….……….
... 31
4.3.2
Hukum Waris Adat………...
... 33
4.4
Pengangkatan Anak Pada Masyarakat Lampung Saibatin... 35
4.5
Syarat-syarat pembagian harta waris bagi yang tidak memiliki anak laki-
laki...38
4.6
Proses pembagian harta waris pada masyarakat Lampung Saibatin yang
tidak memiliki anak laki-laki... 41
B.
Pembahasan
1.
Syarat-Sayar Pembagian Harta Waris Bagi Yang Tidak Memiliki Anak
Laki
–
Laki di Pekon Way Mengaku Kecamatan Balik Bukit Kabupaten
Lampung Barat………
...44
2.
Peroses Pembagian Harta Waris Bagi Yang Tidak Memiliki Anak
Laki
–
Laki di Pekon Way Mengaku Kecamatan Balik Bukit Kabupaten
Lampung Barat………
...44
V. KESIMPULAN DAN SARAN... 46
5.1
Kesimpulan... 46
5.2
Saran... 47
DAFTAR PUSTAKA
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Di dalam Negara Republik Indonesia ini adat yang dimiliki oleh
daerah-daerah suku bangsa adalah berbeda-beda, meskipun dasar serta sifatnya,
adalah satu yaitu ke Indonesiaannya. Oleh karena itu maka adat bangsa
Indonesia itu dikatakan
“Bhineka” (berbeda
-beda di daerah suku-suku
bangsanya), Tunggal Ika” (tetapi tetap satu juga, yaitu dasar dan sifat ke
Indonesiaannya) Adat bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika ini
tidak mati, melainkan selalu berkembang, senantiasa bergerak serta
berdasarkan keharusan selalu dalam keadaan evolusi mengikuti proses
perkembangan peradaban bangsanya. Adat istiadat yang hidup serta
berhubungan dengan tradisi rakyat inilah yang merupakan sumber yang
mengagumkan bagi hukum adat kita.
2
orang yang meninggal, misalnya orang tersebut meninggal dunia
dengan meninggalkan harta yang lazim disebut harta warisan ataupun
tirkah.
Islam agama yang sempurna mengatur segala sisi kehidupan manusia,
bahkan dalam hal yang berkaitan dengan peralihan harta yang
ditinggalkan seorang manusia setelah manusia tersebut meninggal
dunia. Hukum yang membahas tentang peralihan harta tersebut adalah
hukum kewarisan atau dikenal juga dengan hukum faraid. Sebagian
besar Masyaraka di Indonesia merupakan pemeluk agama islam dan
merupakan kewajiban baginya untuk melaksanakan kaidah-kaidah atau
peraturan hukum Islam yang ditunjuk oleh
peraturan-peraturan yang jelas.
Salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia adalah penduduk
asli Lampung yang bertempat tinggal di ujung Selatan sebelah
Barat pulau Sumatera, secara garis besar memiliki dua
masyarakat adat atau ruwa jurai, yaitu Jurai Pepadun dan Jurai
Saibatin. Dilihat dari segi geografis
ulun Lampung
Jurai
Pepadun pada umumnya bermukim di sepanjang aliran sungai
yang bermuara ke laut jawa, sementara
ulun Lampung
Jurai
Saibatin pada umumnya bermukim di pesisir pantai dan di
sepanjang aliran sungai yang bermuara ke samudera Indonesia
( Ali Imron, 2005: 1 ).
terutama pada masyarakat yang sudah tinggal di perkotaan, mereka
sudah banyak dipengaruhi oleh hukum Islam. Pada prinsipnya
perbedaan itu hanya meliputi hal-hal yang kecil saja, misalnya dari segi
bahasa masing-masing yang umumnya dibagi dalam dialek Nyow
(pepadun) dan dialek Api (pesisir), namun dalam pergaulan atau
percakapan masih dapat saling mengerti dan dapat menghargai budaya
satu sama lain meskipun adat budaya Lampung Pepadun dan Lampung
Saibatin sedikit berbeda.
Menurut Rogers, untuk mengetahui kedudukan atau peranan
anak dalam suatu kebudayaan tertentu adalah dengan
mempelajari hubungan antara kedua kelompok kelamin yang
berbeda
yaitu
pria
dan
wanita.
Untuk
selanjutnya
mengembangkan dua pola hubungan, yang pertama dengan cara
mendistribusikan kekuasaan dan melihat sampai berapa jauh
masing-masing menguasai sumber-sumber berharga dengan
suatu kebudayaan, sedangkan yang kedua mengenai hubungan
secara konsepsional dengan adanya perbedaan dalam prilaku dan
perbedaan pandangan ideologi (Boestami, 1988: 92).
Pada masyarakat adat Lampung Saibatin yang menggunakan bentuk
perkawinan
bujujogh, memakai sistem kewarisan mayorat laki-laki,
yaitu sistem kewarisan di mana anak laki-laki tertua berhak atas seluruh
harta peninggalan dan sebagai penerus keturunan mereka. Begitu
kuatnya kedudukan anak laki-laki dalam keluarga sehingga jika tidak
mempunyai anak laki-laki dikatakan sama dengan tidak mempunyai
keturunan atau putus keturunan.
4
harta peninggalan tersebut, biaya perawatan jenazah telah ditunaikan
(kafan, gali kubur, prosesi pemakaman, dan lain-lain), membayar
hutang, membayar wasiat yang telah diucapkan, dan harta suami/istri
telah dipisahkan ( gono-gini ).
Pembagian harta warisan merupakan salah satu bagian dari kebudayaan
ulun Lampung Saibatin. Pembagian harta warisan merupakan suatu
pengalihan atau pemindahan harta seorang ayah terhadap anak-anaknya
terutama kepada anak laki-laki tertua yang sudah dewasa. Masyarakat
Lampung Saibatin biasanya menggunakan proses pewarisan dengan
cara penerusan atau pengalihan hak atas kedudukan dan harta kekayaan,
biasanya berlaku setelah pewaris berumur lanjut di mana anak tertua
laki-laki sudah mantap berumah tangga demikian pula adik-adiknya.
Dan dengan cara penunjukan oleh pewaris kepada ahli waris atas harta
tertentu, maka berpindahnya penguasaan dan pemilikannya baru berlaku
dengan sepenuhnya kepada ahli waris setelah pewaris wafat.
Mengaku apabila terjadi suatu sengketa, dalam hal penyelesaian
masalahnya masyarakat adat selalu mencari jalan keluar dengan cara
kekeluargaan dan musyawarah mufakat yang menghasilkan suatu
keputusankeputusan yang dihormati warganya.
Dalam hukum Islam, tujuan dari pewarisan tidak saja untuk kepentingan
kehidupan individual para ahli waris tetapi di samping itu juga
kewarisan berlaku atas dasar hubungan perkawinan dengan arti bahwa
suami ahli waris bagi istrinya yang meninggal. Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan di atas, maka hal yang dapat diajukan
sebagai suatu penelitian ini adalah untuk mengetahui syarat-syarat
pembagian harta warisan pada masyarakat Lampung Saibatin yang tidak
mempunyai anak laki-laki serta mengetahui proses pembagian harta
warisan pada masyarakat adat Lampung Saibatin yang tidak mempunyai
anak laki-laki di Pekon Way Mengaku Kecamatan Balik Bukit
Kabupaten Lampung Barat.
1.2
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan secara singkat
di atas, maka penulis mengidentifikasikan masalah-masalah anatara lain
sebagai berikut:
6
2.
Proses pembagian harta warisan pada masyarakat Lampung
Saibatin yang tidak mempunyai anak laki-laki di Pekon Way
Mengaku, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat.
3.
Penyelesaian sengketa apabila terjadi perselisihan dalam
pembagian harta warisan pada masyarakat adat Lampung
Saibatin yang tidak mempunyai anak laki-laki di Pekon Way
Mengaku, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat.
1.3
Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, maka dalam penelitian ini di ambil
dua masalah yang akan diteliti yaitu, Syarat-syarat pembagian harta
warisan dan Proses pembagian harta warisan pada masyarakat Lampung
Saibatin yang tidak mempunyai anak laki-laki di Pekon Way Mengaku,
Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat.
1.4
Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1.
Apakah syarat-syarat pembagian harta waris pada masyarakat
Lampung Saibatin yang tidak mempunyai anak laki-laki di
Pekon Way Mengaku, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten
Lampung Barat.
Pekon Way Mengaku, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten
Lampung Barat.
1.5
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui syarat-syarat pembagian harta waris pada
masyarakat Lampung Saibatin yang tidak mempunyai anak
laki-laki di Pekon Way Mengaku, Kecamatan Balik Bukit,
Kabupaten Lampung Barat.
2.
Untuk mengetahui proses pembagian harta warisan pada
masyarakat Lampung Saibatin yang tidak mempunyai anak
laki-laki di Pekon Way Mengaku, Kecamatan Balik Bukit,
Kabupaten Lampung Barat.
1.6
Kegunaan Penelitian
Setiap penelitian tentunya diharapkan dapat memberi manfaat bagi
pihak-pihak yang membutuhkan, adapun kegunaan dari penelitian ini
adalah:
8
b.
Secara praktis diharapkan dapat memberi manfaat bagi
ulun
Lampung Saibatin agar dapat menjaga dan melestarikan Budaya
Lampung.
c.
Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan
ilmu pengetahuan tentang Proses pembagian harta warisan pada
masyarakat adat Lampung Saibatin yang tidak mempunyai anak
laki-laki di Pekon Way Mengaku, Kecamatan Balik Bukit,
Kabupaten Lampung Barat.
1.7
Ruang Lingkup Penelitian
Agar tidak terjadi suatu kerancuan dalam sebuah penelitian, perlu sekali
penulis berikan batasan ruang lingkup yang akan mempermudah
pembaca memahami isi karya tulis ini. Adapun ruang lingkup tersebut
adalah :
Objek Penelitian : Sistem Pewarisan
Subjek Penelitian : Masyarakat Lampung Saibatin
Tempat Penelitian : Pekon Way Mengaku, Kecamatan Balik Bukit,
Kabupaten Lampung Barat.
REFERENSI
Ali Imron. 2005.
Pola Perkawinan Saibatin. Universitas Lampung: Bandar
Lampung. Halaman 1.
Boestami. 1988. Kedudukan dan Peranan Anak dalam Budaya. Proyek Inverintasi
Jakarta Halaman 92.
Oemarsalim. 2006. Dasar-dasar
Hukum Warisan di Indonesia. Rineka Cipta :
Jakarta Halaman 24
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PERADIGMA
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Konsep Pembagian Harta Warisan.
Digunakannya istilah hukum waris adat dalam skripsi ini adalah untuk
membedakan dengan istilah-istilah hukum waris seperti hukum waris nasional,
hukum waris Batak, hukum waris Mingangkabau, hukum waris Jawa dan
sebagainya
Adapun pengertian hukum waris adat menurut Hilman Hadikusuma bahwa,
hukum waris adat adalah memuat garis-garis ketentuan tentang system dan
azas-azas hukum waris tentang harta warisan, pewarisan dan waris serta cara
bagaimana harta warisan tersebut dialihkan ( Hilman Hadikusuma, 1980: 7 ).
Sistem pewarisan adat di Indonesia yang digunakan oleh setiap kelompok
masyarakat di bagi atas 2 sistem yaitu:
1.
Pewarisan Sistem Keturunan
Bangsa Indonesia menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang
berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain serta menpunyai
bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda sehingga
sistem keturunan antara yang satu dengan yang lain berbeda. Sistem keturunan
ini sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran agama, akibat
dari sistem keturunan yang berbeda-beda ini maka dampaknya berpengaruh
terhadap sistem pewarisan hukum adat.
Sebagaimana yang dikatakan Hazairin dalam buku Hilman Hadikusuma
bahwa, hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran
masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem
keturunannya patrilinial, matrilineal dan parental atau bilateral
(Hilman Hadikusuma 1980: 34 ).
Secara teoritas sistem keturunan itu dapat dibedakan dalam tiga corak yaitu:
a.
Patrilinial, yaitu system pewarisan yang ditarik menurut garis
keturunan ayah. Kedudukan anak laki-laki lebih menonjol
pengaruhnya dari pada kedudukan anak perempuan di dalam
pewarisan.
b.
Matrilineal, yaitu sistem pewarisan yang ditarik dari garis keturunan
ibu. Kedudukan anak perempuan lebih meninjol pengaruhnya dari
pada anak laki-laki di dalam pewarisan.
c.
Parental atau Bilateral, yaitu sistem pewarisan yang ditarik dari garis
keturunan orang tua atau garis ayah-ibu. Kedudukan laki-laki dan
wanita tidak dibedakan di dalam hal pewarisan.
11
2.
Pewarisan Sistem Individual
Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan adalah sistem
pewarisan yang setiap ahli waris mendapatkan bagian harta warisan untuk
dapat menguasai dan memiliki harta warisan menurut bagiannya
masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka
masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya
untuk diusahakan, dinikmati ataupun dialihkan kepada sesama waris,
anggota kerabat, tetangga ataupun orang lain. Sistem individual ini banyak
berlaku dikalangan masyarakat yang sistem kekerabatannya Parental.
Kelemahan dari sistem ini adalah pecahnya harta warisan dan
merenggangnya tali kekerabatan yang dapat berakibat timbulnya hasrat
ingin memiliki kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri sendiri,
dalam pewarisan ini dapat menjurus kearah nafsu yang bersifat
individualisme
dan
materialisme
yang
menyebabkan
timbulnya
perselisihan-perselisihan antara anggota keluarga pewaris.
2.1.2
Konsep Jenis Harta Warisan
a.
Peninggalan tidak terbagi
Harta peninggalan yang tidak terbagi adalah seperti harta pusaka yang ada
pada
ulun Lampung Saibatin. Harta kekayaan tersebut merupakan harta
peninggalan yang secara turun-menurun dari zaman leluhur dan merupakan
milik bersama semua kerabat dan biasanya berada dibawah kekuasaan dan
pengawasan tua tua adat (
Lampung Punyimbang: Buway ). Harta pusaka ini
merupakan harta pusaka tertinggi yang tidak terbagi pemiliknya, tetapi hanya
terbagi hak pakainya. Hak pakai atas harta pusaka itu dapat di wariskan dari
pewaris kepada ahli waris tertentu yaitu hanya anak laki-laki tertua yang dapat
diwarisi atas harta pusaka itu.
Adapun harta pusaka tertinggi yang dimaksud adalah berupa tanah dan sawah,
rumah adat (
Lampung, Lamban Balak ), peninggalan adat, senjata-senjata
kuno serta barang-barang yang mempunyai nilai magis adalah milik kerabat.
Jadi harta pusaka tertinggi tidak terbagi adalah karena kedudukan sebagai
milik kerabat dan fungsi hukum adatnya untuk kehidupan kerabat yang
bersangkutan.
13
b.
Peninggalan terbagi
Dengan terjadinya perubahan-perubahan dari harta pusaka menjadi harta
kekayaan keluarga dalam rumah tangga yang dikuasai dan dimiliki oleh ayah
dan ibu karena melemahnya pengaruh kekerabatan maka harta peninggalan
yang berupa harta pusakan menjadi terbuka untuk dibagi kepada semua anak
termasuk anak perempuanpun dapat menerima harta waris yang dapat dibagi
menjadi milik perseorangan. Jenis peninggalan harta warisan terbagi ini dapat
kita jumpai pada masyarakat beradat Pepadun, jenis harta peninggalan tersebut
telah menjadi hak perseorangan dan juga harta tersebut sudah terjadi peralihan
hak milik atas dasar jual beli kepada pihak pendatang.
2.1.3
Konsep Ulun Lampung
Ulun artinya orang, selain itu ulun juga bisa diartikan sebagai masyarakat. Untuk
itu sebelum mengetahui arti dari ulun Lampung, ada baiknya kita mengerti konsep
tentang masyarakat. Istilah masyarakat itu sendiri berasal dari kata arab syaraka
yang berarti
ikut serta atau
berpartisipasi. Masyarakat adalah sekumpulan
manusia yang saling bergaul atau saling berinteraksi.
Sehingga dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat
merupakan sekelompok manusia yang memiliki cirri khas dan mempunyai
kebudayaan masing-masing serta hidup bersama mengikuti aturan-aturan yang
mengikat dan berinteraksi satu sama lain.
serta
ulun Lampung asli yang berasal dari keturunan sekala berak yang
berbudaya dan berbahasa Lampung ( Ali Imron, 2005: 102 ).
Jadi
ulun Lampung merupakan suatu sebutan atau panggilan
ulun Lampung
kepada
orang Lampung lainnya yang mempunyai dua adat yang berbeda antara
satu dengan yang lain yaitu Lampung beradat Pepadun dan Lampung beradat
Saibatin.
2.1.4
Konsep Saibatin
Saibatin merupakan sebutan kepada salah satu suku asli Lampung yang
berasal dari sekala berak, kemudian menyebar kewilayah pantai atau
pesisir barat ujung pulau Samudera. Saibatin mempunyai arti yaitu
Sai
artinya Satu; batin =Jiwa; jadi dapat diartikan bahwa Saibatin merupakan
satu juwa atau satu batin. Aplikasi satu batin ini dalam adat bermakna
kepemimpinan secara genalogis yang tidak bisa dipindahkan kepada
gennya orang lain. Jadi, kepemimpinan atau punyimbang tidak pernah
berpindah ke gen yang lain apa lagi ke suku oranng lain
( Ali Imron, 2005: 10 ).
Berdasarkan pengertian di atas, maka
ulun
Lampung Saibatin merupakan
sekelompok orang yang berusaha untuk manjaga kemurnian daerah dalam
mendudukan seseorang pada jabatan adat tertentu, yang untuk kelompok
masyarakat lazim disebut sebagai punyimbang adat.
Menurut Hadikusuma, bahwa yang dimaksud dengan Saibatin adalah ulun
yang memimpin dengan ciri-ciri:
a.
Martabat kedudukan adat tetap, tidak ada upacara peralihan adat.
b.
Pola pembagian harta warisan patrilinial.
c.
Kebanggan keturunan hanya terbatas pada kerabat Saibatin.
d.
Pengaruh Islam lebih kuat.
( Hadikusuma, 1989: 119 )
15
pantai dan masih menjaga adat istiadat yang ada dengan kemurnian darah dalam
suatu punyimbang.
2.2
Kerangka Pikir
Seperti yang diungkapkan pada uraian terdahulu, maka dalam pembagian harta
warisan pada
ulun Lampung Saibatin anak laki-laki tertua lebih diutamakan dari
pada anak perempuan dalam hal pembagian harta warisan, yaitu suatu sistem
yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terkait dalam
suatu jalinan kekerabatan dari garis keturunan ayah. jika dalam keluarga tidak
mempunyai anak laki-laki, maka dalam hukum adat masyarakat Lampung
diperbolehkan untuk mengadopsi anak sebagai penerus keturunan. Ketentuan
adopsi ini bisa dari anak kerabat sendiri, tetapi jika tidak ada, dapat mengadopsi
anak orang lain di luar keturunan kerabatnya. Oleh karena itu, segala warisan dan
segala pusaka yang ada harus diturunkan menurut garis keturunan ayah.
2.3
Paradigma
Keterangan :
: Garis jatuhnya harta warisan
: Garis mendapatkan harta warisan
Sistem Pewarisan Masyarakat
Lampung Saibatin
1.
Syarat-syarat pembagian harta warisan
2.
Proses pembagian harta warisan
17
REFERENSI
Ali Imron. 2005.
Pola Perkawinan Saibatin. Universitas Lampung: Bandar
Lampung. Halaman 102.
Hilman Hadikusuma. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Mandar
Maju: Bandung.Halaman 34
.1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Mandar
Maju: Bandung. Halaman 33 dan 119
III. METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian diperlukan dalam suatu penelitian untuk mencapai tujuan
dalam penelitian yang akan dilakukan. Metode yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Hadari Nawawi dalam buku
Penelitian Terapan
( 1994: 73 ) metode deskriptif adalah prosedur pemecahan
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek
atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau sebagai mana adanya. Menurut Masri Singarimbun
dalam buku Metode Penelitian ( 1987: 152 ) penelitian deskriptif bertujuan untuk
menggambarkan atau melukiskan suatu fenomena sosial dari individu, lembaga
maupun masyarakat, sedangkan Menurut Mohamad Ali dalam buku
Penelitian
Pendidikan dan Strategi ( 1958: 142 ) metode penelitian deskriptif adalah metode
yang digunakan dalam upaya memecahkan atau menjawab permasalahan yang
sedang dihadapi.
18
harta warisan bagi masyarakat pendukungnya berdasarkan data-data yang
diperoleh di lapangan.
3.2 Variabel Penelitian, Definisi Operasional Variabel, Populasi dan Sampel
3.2.1 Variabel Penelitian
Variabel merupakan suatu gejala yang menjadi objek atau perhatian utama
dalam penelitian sebagaimana yang di ungkapkan beberapa ahli tentang
variabel adalah:
Menurut Suryasubrata dan Suharsimi Arikunto bahwa, variabel penelitian
dapat diartikan sebagai suatu yang akan menjadi objek pengamatan,
sedangkan Suharsimi mengemukakan bahwa, variabel adalah suatu objek
penelitian atau apa yang akan menjadi titik perhatian suatu peneliti.
( Suryasubrata, 1988: 83 dan Suharsimi Arikunto, 1990: 91 )
3.2.2 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel merupakan suatu definisi variabel yang
diberikan kepada suatu variabel atau kontraks dengan cara memberikan arti
atau manginsfirasikan kegiatan untuk mengukur variabel tertentu.
Menurut Masri Singarimbun dan sumadi suryabrata menjelaskan
bahwa, definisi oprasional variabel adalah unsure penelitian yang
memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel atau
dengan kata lain suatu petunjuk pelaksanaan begaimana cara
mengukur variabel. Menurut Sumadi mengemukakan bahwa, definisi
oprasional variabel merupakan definisi berdasarkan atas sifat-sifat
yang akan didefinisikan, diamati dan diobservasi
( Masri Singarimbun, 1987: 152 dan Sumadi Suryabrata, 1988: 83 ).
Berdasarkan pendapat di atas,maka definisi operasional variabel merupakan
suatu petunjuk yang memberitahukan cara pengukuran suatu variabel dengan
cara memberikan arti atau menspesifikasikan suatu kegiatan agar mudah
diteliti bagi peneliti.
3.2.3 Informan
Informan dalam penelitian ini adalah orang yang memiliki kaitan langsung
dengan dan mengerti tentang pewarisan harta. Informan diambil dari pekon
Way Mengaku yang ada di Kecamatan Balik Bukit dan dipilih berdasarkan
kriteria - kriteria tertentu. kriteria - kriteria sumber tersebut adalah :
1.
Orang yang bersangkutan merupakan tokoh masyarakat dan merupakan
penduduk asli setempat.
20
3.
Orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi sesuai dengan
permasalahan yang akan diteliti.
4.
Informan memiliki kesediaan dan waktu yang cukup.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis
memakai tehnik pengumpulan data sebagai berikut:
3.3.1 Wawancara
Wawancara merupakan salah satu tehnik pengumpulan data yang digunakan
dalam suatu penelitian. Tehnik wawancara digunakan untuk mandapatkan
keterangan secara mendalam dari permasalahan yang dikemukakan dengan
percakapan langsung dengan ulun yang beradat Saibatin.
Menurut Koentjaraningrat dan Mohammad Ali bahwa, wawancara
adalah salah satu tehnik pengumpulan data ini merupakan suatu cara
yang digunakan seseorang untuk tujuan suatu tugas tertentu untuk
mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang
responden dengan cara bercakap-cakap berhadapan muka dengan
orang itu atau responden. Menurut Mohammad Ali menyatakan
bahwa, wawancara merupakan salah satu tehnik pengumpulan data
yang dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab dengan
sumber data
( Koentjaraningrat, 1982: 162 dan Mohammad Ali, 1985: 142 ).
mempunyai anak laki-laki. Dengan menggunakan tehnik wawanvara penulis
mendapatkan informasi secara langsung melalui tanya jawab dan tatap muka
dengan responden sehingga informasi menjadi lebih jelas.
3.3.2 Dokumentasi
Menurut Hadari Nawawi dan Komarudin mengatakan bahwa,
dokumentasi adalah cara atau pengumpulan data melalui peninggalan
tertulis, terutama tentang arsip-arsip dan termasuk buku-buku lain
yang berhubungan dengan masalah penyelidikan. Menurut
Komarudin mengatakan bahwa, tehnik dokumentasi adalah sesuatu
yang memberikan bukti dimana dipergunakan sebagai alat pembukti
atau bahan-bahan untuk membandingkan suatu keterangan atau
informasi penjelasan atau dokumentasi dalam naskah atau informasi
tertulis ( Hadari Nawawi, 1994: 73 dan Komarudin, 1982: 162 ).
Berdasarkan pendapat di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
tehnik analisis data dapat dipergunakan untuk mendapatkan informasi dan
data baik yang tertulis maupun yang dalam bentuk gambar, photo, atau arsip
yang berhubungan dengan masalah yang penulis teliti.
3.3.3 Kepustakaan
Menurut Koentjaraningrat bahwa, tehnik kepustakaan merupakan cara
pengumpulan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam matrial
yang terdapat di ruang perpustakaan seperti buku, majalah, naskah, catatan-
catatan kisah sejarah. Dokumantasi dan sebagainya yang relevan dengan
peneliti (Koentjaraningrat, 1982: 162 )
22
yang diteliti, yang dalam hal ini adalah buku-buku tentang budaya, tehnik
penelitian dan berbagai literatur lainnya yang mendukung terhadap masalah yang
diteliti.
3.4 Teknik Analisis Data
Sebelum data di analisis, maka terlebih dahulu data diseleksi dan diolah dengan
cara menginterprestasi atau menafsirkan hasil pengamatan dan hasil wawancara
serta mengklasifikasikan hasil pengamatan dan hasil wawancara yang jelas dan
memisahkan hasil pengamatan dan hasil yang tidak sejenis yang diperoleh dari
lapangan serta membuat suatu kesimpulan.
Menurut Robert C. Bogdan dalam buku Masri Singarimbun
Metode Penelitian
bahwa, analisis data merupakan proses penemuan yang sistematis dari catatan
interview, catatan lapangan dan bahan-bahan yang lain yang telah dikumpulkan
untuk meningkatkan pamahaman terhadap data tersebut sehingga penemuan
tersebut dapat disajikan ( Robert C. Bogdan, 1987: 152 ).
REFERENSI
Hadari. Nawawi dan Martini. 1994. Penelitian Terapan. Yogyakarta Gajah Mada
Press. Halaman 73
Koentjaraningrat. 1982. Pengantar Metode Riset. Aksara : Bandung.
Halaman 162
Masri Singarimbun. 1987.
Metode Penelitian Survey. Yogyakarta. LP3ES.
Halaman 333
Suharsimi Arikunto. 1990. Prosedur Penelitian. Jakarta. Renika Cipta.
Halaman 91
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di bab sebelumnya, maka penulis
menarik kesimpulan :
1.
Syarat untuk menerima warisan yaitu anak tertua perempuan harus sudah
menikah melalui jalur pernikahan semanda dan harus menunggu rumah kedua
orang tuanya.
2.
Proses pembagian harta warisan pada masyarakat adat lampung pesisir
dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat guna mempertahankan
kerukunan dan kekeluargaan.
3.
Dalam proses pembagian harta waris bagi keluarga yang tidak memiliki anak
laki
–
laki yaitu dengan cara jika ada wasiat tertulis maka pembagian harta
waris langsung diberikan kepada ahli waris tanpa perlu dipanggil saksi-saksi
tetapi apabila tidak ada wasiat tertulis maka setelah ahli waris dewasa maka
dikumpulkanlah para saksi dan tokoh adat untuk membagi warisan.
laki-laki sebagai penerus keluarga maka keluarga tersebut boleh mengadopsi anak
dengan ketentuan-ketentuan tertentu dan memperlakukannya selayaknya anak
kandung.
4.2
Saran
Berdasarkan atas kesimpulan yang penulis uraikan di atas, maka saran yang dapat
penulis berikan sebagai berikut :
1.
Pihak - pihak yang terkait dalam syarat - syarat pembagian harta waris ini
tetap menggunakan dan berpegang teguh terhadap adat istiadat yang ada, serta
tetap berteguh terhadap sistem kekerabatan patrilinial yaitu system
kekerabatan yang menarik garis keturunan bapak.
2.
Diharapkan kepada para orang tua apabila akan menetapkan siapa yang akan
dijadikan pewaris sebagai penerus keturunan, agar dapat melakukan
musyawarah terlebih dahulu. Supaya tidak terjadi kesalah pahaman di antara
kerabat keluarga yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Moh. 1985.
Penelitian Pendidikan dan Strategi. Ghalia Indonesia Jakarta
Jumlah Halaman 142.
Afandi, Ali. 1986. Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian.
Rineka Cipta: Jakarta. Jumlah Halaman 350
Boestami. 1988. Kedudukan dan Peranan Anak dalam Budaya. Proyek Inverintasi
Jakarta Jumlah Halaman 350.
Hadikusuma, Hilman. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Mandar
Maju: Bandung. Jumlah Halaman 156
Hadari. Nawawi dan Martini. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Gajah
Mada Universitas: Yogyakarta. Jumlah Halaman 267
Hadari. Nawawi dan Martini. 1994. Penelitian Terapan. Yogyakarta Gajah Mada
Press. Jumlah Halaman 73
Imron, Ali. 2005.
Pola Perkawinan Saibatin. Universitas Lampung: Bandar
Lampung. Jumlah Halaman 149.
J. Satrio. 2005. Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-
Undang. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Jumlah Halaman 304
Koentjaraningrat. 1982. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Djambatan: Jakarta.
Jumlah Halaman 355.
Muhammad, Bushar. 2004. Pokok-Pokok Hukum Adat. PT Pradnya Paratama.
Jakarta. Jumlah Halaman 131.
Oemarsalim. 2006. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Rineka Cipta:
Jakarta. Jumlah Halaman 198.
Syarifudin, Amir. 2004. Hukum Kewarisan Islam. Prenada Media: Jakarta. Jumlah
Halaman 344.
Singarimbun, Masri. 1987. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Yogyakarta.
Jumlah Halaman 333
Sayuti, Thalib. 1974. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Y.P: Universitas Indonesia
Jumlah Halaman 275.
. 2003. Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan
Upacara Adat. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Jumlah Halaman 210
.1980. Hukum Waris Adat. Alumni:. Bandung. Jumlah Halaman 164
. 1990. Masyarakat dan Adat Budaya Lampun. Mandar Maju:
Bandung. Jumlah Halaman 180
Perangin Effendi. 2006. Hukum Waris. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Jumlah
Halaman 232.
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
Jalan Soemantri Brojonegoro No. 1 Gedung Meneng Bandar Lampung
PEDOMAN WAWANCARA
A.
Pengantar
Daftar pertanyaan ini dirancang untuk mengetahui gambaran tentang
Syarat dan proses pembagian harta warisan pada masyarakat Lampung
Saibatin yang tidak mempunyai anak laki-laki di Pekon Way Mengaku
Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat. Hasil dari pertanyaan
itu akan digunakan untuk membantu penulis dalam penulisan skripsi yang
berjudul
“
Sistem Pewarisan pada Masyarakat Lampung Saibatin yang
Tidak Mempunyai Anak Laki-laki di Pekon Way Mengaku Kecamatan
Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat
”.
B.
Teknik Pelaksanaan Wawancara
1.
Sebelum melaksanakan wawancara, peneliti cenderung memilih
informan yang dianggap mengetahui tentang hal yang akan diteliti, dan
informan yang dipilih dapat menunjuk informan lain yang dianggap
lebih mengetahui dalam penelitian ini,
2.
Menulis identitas responden dengan lengkap,
Umur
: 52 Tahun
Pekerjaan
: Tani
2.
Nama
: Zaidan
Umur
: 46 Tahun
Pekerjaan
: Tani
3.
Nama
:
Mus’ab
Umur
: 65 Tahun
Pekerjaan
: Tani
4.
Nama
: Maliki
Umur
: 62 Tahun
Pekerjaan
: Tani
5.
Nama
: M.S. Dian M, SE
Umur
: 41 Tahun
Pekerjaan
: PNS
2.
Daftar Pertanyaan
1.
Bagaimana menurut bapak, bila suatu keluarga terjadi mupus atau mati
punah karena mereka tidak mempunyai anak laki-laki maka akan beralih
kemana harta kekayaan yang dimiliki orang tuanya ?
2.
Menurut bapak, apa sajakah syarat-syarat pembagian harta waris jika dalam
keluarga tidak memiliki anak laki-laki ?
NO
PERTANYAAN
JAWABAN INFORMAN
1
2
3
Bagaimana menurut
bapak, bila suatu
keluarga terjadi mupus
atau mati punah karena
mereka tidak
mempunyai anak
laki-laki maka akan beralih
kemana harta kekayaan
yang dimiliki orang
tuanya ?
Menurut bapak, apa
sajakah syarat-syarat
pembagian harta waris
jika dalam keluarga
tidak memiliki anak
laki-laki ?
Bagaimana menurut
bapak, proses
pembagian harta waris
pada masyarakat
No
Pertanyaan
Nama Informan
Tanggal
Wawancara
Hasil Wawancara
1.
Bagaimana
menurut bapak,
bila suatu keluarga
terjadi mupus atau
mati punah karena
mereka tidak
mempunyai anak
laki-laki maka
akan beralih
kemana harta
kekayaan yang
dimiliki orang
tuanya ?
Mulkan
19 agustus 2013
Anak tertua mendapat
warisan 50% dan 50%
nya lagi di bagi dua
karena saya memiliki
tiga anak perempuan.
Zaidan
19 agustus 2013
Anak perempuan yang
tertua mendapat harta
warisan 50% dan yang
kedua mendapat harta
waris 30% karena
harta 20% adalah harta
istri.
Mus’ab
19 agustus 2013
Akan beralih pada
anak yang tertua
perempuan
Maliki
20 agustus 2013
Anak perempuan yang
tertua, Maliki
memiliki anak 4
perempuan semua.
Warisan jatuh pada
anak yang pertama.
M.S Dian M, SE
21 agustus 2013
Kepada anak
perempuan yang tertua
yang tidak/belum di
jujokh.
H. Akhyar
21 agustus 2013
jatuh kepada anak
angkat laki-laki saya
karena saya tidak
memiliki anak, 60%
harta waris jatuh
kepada anak angkat
dan 40% terserah akan
jatuh/di urus
2.
Menurut bapak,
apa sajakah
syarat-syarat pembagian
harta waris jika
dalam keluarga
tidak memiliki
anak laki-laki ?
Mulkan
19 agustus 2013
Semua anak harus
sudah menikah dan
yang tertua harus
melalui jalur
pernikahan semanda.
Harus sehat jasmani
dan rohani (tidak gila)
Zaidan
19 agustus 2013
Harus sudah berumah
tangga sebelum saya
meninggal.
Mus’ab
19 agustus 2013
Harus menunggu
rumah kedua orang
tuanya.
Maliki
20 agustus 2013
Setelah berumah
tangga.
M.S Dian M, SE
21 agustus 2013
Anak tertua
perempuan sudah
menikah.
Orang tua pemegang
waris sudah meninggal
H. Akhyar
21 agustus 2013
Saya sudah uzur/
meninggal.
Harus sudah menikah.
Sumber: Hasil Wawancara
No
Pertanyaan
Nama Informan
Tanggal
Wawancara
Hasil Wawancara
3.
Bagaimana
menurut bapak,
proses pembagian
harta waris pada
masyarakat
Lampung Saibatin
yang tidak
mempunyai anak
laki-laki ?
Zaidan
19 agustus 2013
Perosesnya di hadiri
dari pihak-pihak
keluarga sebagai saksi
pembagian harta waris
tersebut.
Mus’ab
19 agustus 2013
Anak perempuan
tertua mendapat lebih
banyak dari
adik-adiknya yang lain.
Maliki
20
agustus 2013
Proses pembagian
harta warisan
tergantung pada urutan
anak dan dihadiri
perkumpulan keluarga.
M.S Dian M, SE
21 agustus 2013
jika ada wasiat tertulis
maka pembagian harta
warisan langsung
diberikan kepada ahli
waris tanpa perlu
dipanggil saksi-saksi.
Jika tidak ada wasiat
tertulis maka setelah
ahli waris dewasa
maka dikumpulkanlah
para saksi dan tokoh
adat untuk membagi
warisan.
H. Akhyar
21 agustus 2013
Proses pembagian
harta warisannya
dihadiri pihak-pihak
keluarga (adik-kakak)
sebagai saksi
penyerahan harta
waris di karnakan
penyerahan ini bukan
tertulis jadi butuh
saksi sebagai penguat
bukti pembagian harta
warisan.