• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESEPSI SISWA TERHADAP CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RESEPSI SISWA TERHADAP CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

RESEPSI SISWA TERHADAP CERPENMATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA

PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Oleh Roni Mustofa

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah resepsi siswa terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari dan implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan resepsi siswa terhadap cerpenMata yang Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPS IV SMA Negeri 7 Bandarlampung. Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang berupa kata-kata atau kalimat-kalimat yang isinya tanggapan siswa terhadap fakta-fakta cerita yaitu, tokoh, alur, latar, dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari.

(2)

tersebut ditanggapi baik oleh siswa. Siswa tidak mengalami kesulitan dalam menganalisis latar tempat dan waktu dalam cerpen, pada latar sosial hanya sebagian kecil siswa yang dapat memahami.

Hasil penelitian ini selanjutnya diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas dengan Kurikulum 2013. Resepsi siswa terhadap cerpen tersebut juga dapat dijadikan bahan ajar dan referensi yang membantu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam Apresiasi Prosa.

(3)

RESEPSI SISWA TERHADAP CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA

PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Oleh Roni Mustofa

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(4)

RESEPSI SISWA TERHADAP CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA

PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

(Skripsi)

Oleh Roni Mustofa

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(5)

HALAMAN JUDUL ... ABSTRAK ... COVER DALAM ... LEMBAR PERSETUJUAN ... LEMBAR PENGESAHAN ... PERNYATAAN... RIWAYAT HIDUP ... MOTO ... PERSEMBAHAN... SANWACANA ... DAFTAR ISI ... DAFTAR SINGKATAN...

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 9

1.4.2 Manfaat Praktis ... 9

1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 9

BAB II LANDASAN TEORI... 10

2.1 Cerpen ... 10

2.2.1 Unsur-unsur Cerita Pendek ... 13

a. Tokoh ... 14

b. Alur ... 16

c. Latar... 17

2.2 Resepsi Sastra ... 21

2.2.1Reader Response... 23

2.2.2 Teori Resepsi Sastra ... 27

2.2.3 Penulis, Karya, dan Pembaca ... 32

(6)

BAB III METODE PENELITIAN... 39

3.1 Desain Penelitian... 39

3.2 Data dan Sumber Data ... 40

3.3 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ... 40

3.4 Analisis Data ... 41

BAB IV PEMBAHASAN... 43

4.1 Resepsi Terhadap Tokoh Cerita ... 43

4.1.1 Resepsi Terhadap Tokoh Mirta... 46

4.1.1.1 Resepsi Mirta dari Aspek Fisik ... 46

4.1.1.2 Resepsi Mirta dari Aspek Psikologis ... 55

4.1.1.3 Resepsi Mirta dari Apek Sosiologis ... 64

4.1.2 Resepsi Terhadap Tokoh Tarsa ... 78

4.1.2.1 Resepsi Tarsa dari Aspek Fisik ... 78

4.1.2.2 Resepsi Tarsa dari Aspek Psikologis ... 86

4.1.2.3 Resepsi Tarsa dari Aspek Sosiologis ... 95

4.2 Resepsi Terhadap Alur Cerita ... 108

4.3 Resepsi Terhadap Latar Cerita ... 119

4.3.1 Resepsi Latar Tempat... 120

4.3.2 Resepsi Latar Waktu ... 126

4.3.3 Resepsi Latar Sosial ... 131

4.4 Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA ... 134

4.4.1 Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran ... 135

4.4.2 Bahan Ajar ... 149

BAB V SIMPULAN DAN SARAN... 166

5.1 Simpulan ... 166

5.2 Saran... 167

(7)

Sis : siswa Mir : Mirta Tar : Tarsa

Pfis : pertanyaan fisik Konk : konkret

Kons : konseptual

Ppsi : pertanyaan psikologis Psos : pertanyaan sosiologis Mrh : marah

Sdh : sedih Gel : gelisah

Mnglkn: meninggalkan Cri : mencari

Lpr : melaporkan Tgr : tegur

Bnh : bunuh Sbr : sabar

Pm : pantang menyerah Post : positif

Negt : negatif Peng : pengaruh Tpeng : tidak pengaruh Sk : suka

Tsk : tidak suka Mam : mampu Tmam : tidak mampu Jw : jawa

Snd : sunda Lpg : lampung sd : sekolah dasar smp : sekolah menengah

pertama Tsklh : tidak sekolah Bk : baik

Tbk : tidak baik Bwh : bawah Men : menengah Emo : emosi Kha : khawatir Meny : menyesal Ped : peduli Mnlg : menolong Ta : tidak ada Ego : egois

Mksa : memaksa

Pa : pertanyaan alur Mj : maju

Mdr : mundur Phm : phm

Tphm : tidak paham Pns : penasaran Tpns : tidak penasaran Cck : cocok

Tcck : tidak cocok Mend : mendukung Tmend: tidak mendukung Jt : jumlah tempat Jw : jumlah waktu Ses : sesuai

(8)
(9)

“Barangsiapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhannya itu adalah untuk dirinya sendiri.”

(QS Al-Ankabut [29]: 6)

"Kelemahan banyak orang adalah terlalu banyak berpikir membuat rencana sehingga tidak segera melangkah."

(10)
(11)
(12)

Penulis dilahirkan di Buko Poso, Kec. Way Serdang, Mesuji, pada 21 April 1991.

Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, putra pasangan Bapak

Ropi’idan Ibu Suryati.

Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Dharma Wanita tahun 1997, selanjutnya

menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 1 Buko Poso tahun 2003.

Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Way Serdang diselesaikan tahun 2006,

selanjutnya Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Way Serdang diselesaikan pada

tahun 2009.

Tahun 2009 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung melalui jalur Seleksi

Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Pada tahun 2011 semester

5 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Bandung, Yogyakarta,

dan Bali pada tanggal 23-31 Januari 2011. Tahun 2012 semester 7 penulis

melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Bandar Agung, Lampung Timur,

dan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) di SD 02 Bandar Agung, Lampung

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra lahir dari hasil kreatifitas dan imajinasi manusia, serta pemikiran dan

juga pengalaman yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Keindahan serta

karakteristik bahasa dalam karya sastra membuat karya sastra itu menjadi hal yang

sangat indah untuk dinikmati. Karya sastra adalah karya seni yang berbicara

tentang masalah hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang

menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Esten, 1980). Seirama dengan itu,

Rusyana (1982) menyatakan bahwa “sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia

dalam pengungkapan penghayatannya tentang hidup dan kehidupan, tentang

manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa”. Dari kedua pendapat itu

dapat ditarik makna bahwa karya sastra adalah karya seni, mediumnya (alat

penyampainya) adalah bahasa, isinya adalah tentang manusia, bahasannya adalah

tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan. Dengan

demikian sebuah karya sastra tidak dapat dipisahkan dari manusia sebagai

pembuat dan penikmat sastra (pembaca).

Pembaca sebagai penikmat karya sastra, memunyai peranan penting dalam

mengapresiasi sebuah karya sastra. Bentuk apresiasi salah satunya adalah menilai,

namun tentunnya pembaca juga harus memunyai kriteria yang memadai ketika

(14)

pembaca harus memunyai kapasitas yang memadai, tidak asal bunyi saja. Minimal

memahami teori-teori yang berhubungan erat dengan karya sastra.

Kritik sastra sebagai dasar ilmu yang memberikan wadah berkembangnya

teori-teori yang berkaitan dengan sastra. Beberapa pendekatan yang muncul dalam

kritik sastra antara lain, pendekatan mimetik, pendekatan pragmatik, pendekatan

ekspresif dan pendekatan objektif. Pendekatan pragmatik muncul sebagai

pendekatan yang erat kaitannya dengan pembaca dan teks sastra. Lebih jauh lagi,

kajian ini diuraikan dalam resepsi sastra.

Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana seorang pembaca mampu memberi makna

dari karya sastra yang telah dibacanya. Makna yang diberikan berdasarkan

pengalaman-pengalaman hidup dari pembaca itu sendiri. Seorang pembaca juga

diharapkan mampu memberikan interpretasi dari karya sastra tersebut. Selama ini

yang menjadi tekanan dan menjadi fokus penelitian adalah teks dan makna dari

teks itu sendiri. Untuk itu, hadirlah sebuah kajian resepsi sastra yang mencoba

memberi perhatian kepada pembaca. Penelitian-penelitian yang cenderung

memberikan perhatian kepada teks dan makna dari teks, secara tidak langsung

menyiratkan bahwa seorang pembaca tidak memunyai andil dalam

penelitian-penelitian sastra. Fokus penelitian-penelitian yang hanya menekankan pada teks dan makna

dari teks itu sendiri, membuat objek penelitian menjadi monoton. Selain itu,

banyak penelitian hanya terfokus pada hubungan teks satu dengan teks lainnya

(intertekstual), hubungan teks sastra dengan penulisnya/pengarangnya (struktur

(15)

saja? Atau teks sastra dan makna dari teks sastra itu, yang menarik untuk menjadi

bahan penelitian?

Resepsi sastra hadir sebagai pembaruan dalam kajian sastra. Mengapa harus

pembaca? Meskipun pembaca tidak terlibat langsung dalam proses kreatif, namun

pembaca memunyai andil yang sangat penting dalam sebuah karya. Siapa yang

menikmati sebuah karya sastra kalau bukan pembaca. Ketika pembaca membaca

karya sastra, baik itu novel, cerpen, puisi, atau karya sastra yang lain, sudah pasti

ada reaksi setelah membaca. Reaksi ini, bisa berupa reaksi aktif, misalnya

pembaca memberikan makna atau interpretasi dari karya tersebut. Reaksi inilah

yang menarik untuk menjadi bahan penelitian. Bagaimana seorang pembaca

memberi makna dan interpretasi, kemudian dijadikan bahan penelitian. Hal baru

yang menarik, keterkaitan antara teks dan pembaca, sehingga tidak lagi yang

menjadi tekanan dan fokus penelitian adalah teks dan makna teks.

Penelitian mengenai resepsi juga pernah diteliti oleh mahasiswa program studi

Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Lampung, atas nama Wahyu Hidayat

dengan judul Tanggapan Mahasiswa Terhadap Novel Bumi Cinta Karya

Habiburrahman El Shirazy dan Kelayakannya Dalam Pembelajaran Bahasa dan

Sastra Indonesia di Perguruan Tinggi, serta atas nama Buyung dengan judul

skripsi Resepsi Siswa Kelas X SMA Negeri 8 Bandarlampung Terhadap Puisi

Cintaku Jauh di Pulau Karya Chairil Anwar. Perbedaan sasaran pada penelitian

Skripsi Wahyu Hidayat adalah resepsi mahasiswa terhadap novel, sasaran

penelitian skripsi Buyung adalah resepsi siswa terhadap puisi, sedangkan pada

(16)

Kajian resepsi muncul dari reaksi pembaca terhadap sebuah teks sastra.

Selanjutnya, dari sini lah timbul sebuah kajian ilmu sastra yaitu kajian resepsi,

yang notabene teks dan pembaca yang menjadi acuan penelitian. Teks yang

dimaksud di sini adalah teks sebuah sastra. Sastra pada dasarnya dapat dibagi

menjadi dua. Pertama sastra imajinatif, dan yang kedua sastra non-imajinatif.

Sastra imajinatif adalah karya-karya yang amat tipis hubungannya dengan fakta

atau realita kehidupan. Bentuk karya sastra imajinatif itu adalah puisi dan prosa.

Selain sastra imajinatif ada pula sastra non-imajinatif. Sastra non-imajinatif kadar

faktanya agak lebih menonjol. Para sastrawan di dalam mengarang sastra yang

non-imajinatif benar-benar bekerja berdasarkan fakta atau kenyataan yang

betul-betul terjadi. Termasuk ke dalam karya sastra non-imajinatif adalah esai, kritik,

biografi, otobiografi, sejarah, memoar, catatan harian, dan surat-surat (Suhendar

dan Pien Supinah, 1993:152).

Cerpen merupakan salah satu karya imajinatif yang berbentuk fiksi. Dalam buku

teori fiksi (Stanton, 1965), bahwa unsur-unsur fiksi meliputi alur, tokoh/karakter,

latar, tema, judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, dan ironi.

Unsur-unsur tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu fakta-fakta cerita (tokoh,

alut, latar), tema dan sarana-sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya dan tone,

simbolisme dan ironi). Selanjutnya dalam penelitian ini, penulis hanya menitik

beratkan pada fakta-fakta cerita saja (tokoh, alur, latar). Kemudian informan akan

meresepsi cerpen Mata yang Enak Dipandang dengan berpedoman hanya pada

fakta-fakta cerita saja.Betapa menariknya cerpen untuk dinikmati semua kalangan

dan usia. Misalnya di kalangan pendidik, dari strata Sekolah Dasar sampai

(17)

Ketertarikan peneliti didasarkan karena cerpen merupakan salah satu jenis prosa

fiksi yang pendek namun padat makna. Cerpen juga banyak kita temui di berbagai

majalah, surat kabar, dan internet sehingga mudah kita dapatkan. Di samping itu,

cerpen tidak terlalu panjang sehingga tidak membebani siswa untuk membiasakan

diri menikmati suatu karya sastra (yang bermutu tentu saja). Oleh karena itu,

dapat diajarkan atau dilatihkan dalam waktu yang cukup pendek, misalnya dalam

satu jam pelajaran. Selain itu, pembaca sebuah cerpen yang baik dan menarik

akan menghibur siswa yang telah jenuh dengan berbagai kegiatan belaka. Bisa

juga digunakan sebagai selingan pada saat pembelajaran Bahasa Indonesia.

Sehingga dengan cara itu, pelajaran bahasa indonesia akan terasa menyenangkan.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan cerpen dalam kumpulan cerpen karya

Ahmad Tohari sebagai subjek penelitian. Ahmad Tohari merupakan salah seorang

sastrawan Indonesia yang telah lama malang-melintang di dunia kepenulisan.

Sudah banyak karya-karya Kang Tohari, begitu ia akrab disapa, yang berhasil

memenangkan berbagai penghargaan dalam lingkup nasional maupun

internasional. Selepas menempuh pendidikan formalnya di SMAN 2 Purwokerto,

pria kelahiran Banyumas, 13 Juni 1948 ini pernah kuliah di beberapa fakultas.

Kang Tohari juga pernah berkecimpung dalam bidang jurnalistik di beberapa

media cetak seperti harian Merdeka, majalah Keluarga dan Majalah Amanah yang

kesemuanya berlokasi di Jakarta. Dalam dunia kepengarangan, kemampuan Kang

Tohari dalam meramu kata telah diakui secara luas baik di dalam maupun luar

negeri. Novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang meliputi Ronggeng Dukuh

Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jantera Bianglala (1986)

(18)

Inggris. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk juga telah diadaptasi ke layar lebar oleh

sutradara Ifa Irfansyah dengan judul Sang Penari.

Selain novel, Ahmad Tohari juga memiliki karya cerpen yang tidak kalah bagus.

Salah satu cerpen beliau adalah Mata yang Enak Dipandang. Sekarang karya

beliau tersebut telah dibukukan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun

2013. Buku ini merupakan kumpulan lima belas cerita pendek Ahmad Tohari

yang tersebar di sejumlah media cetak antara tahun 1983 dan 1997. Seperti

novel-novelnya, cerita-cerita pendeknya pun memiliki ciri khas. Ia selalu menggangkat

kehidupan orang-orang kecil atau kalangan bawah dengan segala lika-likunya.

Ahmad Tohari sangat mengenal kehidupan mereka dengan baik. Oleh karena itu,

ia dapat melukiskannya dengan simpati dan empati sehingga kisah-kisah itu

memperkaya batin pembaca. Cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad

Tohari merupakan cerpen yang pernah dipublikasikan oleh Kompaspada tanggal

29 Desember 1991. Cerita dengan nuansa kehidupan manusia yang dikemas

dengan cantik dan menarik oleh Ahmad Tohari sangat layak menjadi bahan

bacaan. Jika sebuah cerpen sudah memenuhi kelayakan sebagai bahan bacaan,

maka menjadi indikasi bahwa cerpen itu juga layak untuk menjadi bahan

penelitian.

Ada beberapa alasan mengapa peneliti lebih memilih siswa sebagai objek dari

penelitian ini. Siswa sebagai salah satu dari penikmat sebuah karya sastra sudah

tentu memunyai tanggapan atau interpretasi tersendiri terhadap karya sastra.

Bagaimana siswa memaknai, memberi arti karya sastra, kemudian

(19)

siswa sebagai salah satu komponen pembelajaran, hendaknya memberikan

sumbangan kontribusi terhadap sebuah karya sastra, hal ini tentu masih dalam

ruang lingkup pembelajaran bahasa Indonesia . Selain itu, penelitian ini juga

keleluasaan kepada siswa tentang pemberian makna dan interpretasi terhadap

sebuah karya sastra. Dengan kata lain, penelitian ini mengangungkan pembaca,

yang dalam hal ini adalah siswa.

Mata pelajaran bahasa Indonesia yang ada dalam kurikulum sekolah, dan telah

dijalani oleh siswa sedikit banyak telah memberikan pengetahuan kepada siswa

terhadap bahasa dan sastra, hal ini membuat peneliti ingin mengetahui seberapa

besar apresiasi siswa terhadap sebuah karya sastra. Pengajaran bahasa dan sastra,

bagai dua sisi koin yang tidak terpisahkan. Beberapa alasan tersebut, yang

membuat peneliti harus melakukan penelitian terhadap siswa. Penelitian ini

dilaksanakan di SMA Negeri 7 Bandarlampung, pada kelas XI IPS IV. Peneliti

memilih melakukan penelitian di SMA Negeri 7 Bandarlampung karena sekolah

tersebut merupakan salah satu sekolah favorit di Bandar Lampung. Sekolah

dengan akreditasi B, serta beberapa fasilitas yang menunjang kelengkapan

sekolah.

Terkait dengan judul penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan Kurikulum 2013

untuk mengaitkan hasil penelitian dengan pembelajaran sastra. Kompetensi Dasar

yang menjadi acuan dan berkaitan erat dengan peneliti dalam Kurikulum 2013

yaitu,Menginterpretasi makna teks cerita pendek, pantun, cerita ulang, eksplanasi

kompleks, dan film/drama baik secara lisan maupun tulisan. Kompetensi Dasar

tersebut akan menuntut siswa lebih mengenal karya sastra khususnya cerpen

(20)

dilakukan siswa yaitu pembelajaran dalam mengapresiasi karya sastra, dalam hal

ini yaitu menanggapi cerita pendek (cerpen).

Implikasi penelitian ini terhadap pembelajaran sastra di SMA sebatas perancangan

pembelajaran dan bahan ajar. Perancangan pembelajaran dan bahan ajar yang

berbasis resepsi dengan menggunakan hasil dari penelitian.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah dalam

penelitian ini adalah “Bagaimanakah resepsi siswa terhadap cerpen Mata yang

Enak Dipandang karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran

sastra Indonesia di SMA?”. Adapun pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai

berikut.

1. Bagaimanakah resepsi siswa terhadap tokoh dalam cerpenMata yang

Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari?

2. Bagaimanakah resepsi siswa terhadap alur dalam cerpenMata yang Enak

Dipandangkarya Ahmad Tohari?

3. Bagaimanakah resepsi siswa terhadap latar dalam cerpenMata yang Enak

Dipandangkarya Ahmad Tohari?

4. Bagaimanakah implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis merumuskan tujuan penelitian ini

adalah Mendeskripsikan resepsi siswa terhadap cerpen Mata yang Enak

Dipandang karya Ahmad Tohari. Adapun tujuan penelitian terhadap fakta-fakta

(21)

1. Mendeskripsikan resepsi siswa terhadap tokoh cerpenMata yang Enak

Dipandangkarya Ahmad Tohari.

2. Mendeskripsikan resepsi siswa terhadap alur cerpen tersebut.

3. Mendeskripsikan resepsi siswa terhadap latar cerpen tersebut.

4. Mendeskripsikan implikasi pada pembelajaran.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara praktis dan teoretis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menginformasikan dan menambah

pengetahuan tentang dan kritik sastra khususnya cerpen dengan menggunakan

teori resepsi sastra.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan referensi yang

bermanfaat untuk penelitian selanjutnya. Oleh karena itu, dapat membantu

peneliti-peneliti lain dalam menambah wawasan tentang resepsi sastra. Selain itu,

hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan guru sebagai alternatif bahan ajar

di sekolah.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini terdiri atas objek penelitian. Objek penelitian ini

adalah resepsi siswa terhadap cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad

Tohari, sedangkan aspek yang diteliti adalah sebagai berikut.

1. Resepsi siswa terhadap fakta-fakta cerita (tokoh, alur, latar) yang terdapat

dalam cerpenMata yang Enak Dipandangkarya Ahmad Tohari.

(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Cerpen

Pengertian cerita pendek (cerpen) telah banyak dibuat dan dikemukakan oleh

pakar sastra, dan sastrawan. Jelas tidak mudah membuat definisi mengenai

cerpen. Meski demikian, berikut akan dipaparkan pengertian cerita pendek yang

diungkapkan oleh para ahli sastra dan sastrawan terkemuka.

Dalam Purba (2010: 48), H.B Jassin dalam bukunyaTifa Penyair dan Daerahnya,

mengemukakan bahwa cerita pendek ialah cerita yang pendek (1977: 69). Jassin

lebih jauh mengungkapkan bahwa tentang cerita pendek ini orang boleh

bertengkar, tetapi cerita yang seratus halaman panjangnya sudah tentu tidak

disebut cerita pendek dan memang tidak ada cerita pendek yang demikian

panjang. Cerita yang panjangnya sepuluh atau dua puluh halaman masih bisa

disebut cerita pendek tetapi ada juga cerita pendek yang panjangnya hanya satu

halaman. Pengertian yang sama dikemukakan oleh Sumardjo dan Saini di dalam

buku mereka Apresiasi Kesusastraan. Mereka berpengertian bahwa cerita pendek

(atau disingkat cerpen) adalah cerita yang pendek. Tetapi dengan hanya melihat

fisiknya yang pendek orang belum dapat menetapkan sebuah cerita yang pendek

adalah sebuah cerpen (1986: 36).

Cerita pendek adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu

(23)

bukan karena bentuknya yang jauh lebih pendek dari novel, tetapi karena aspek

masalahnya yang sangat dibatasi (Sumardjo, 1983: 69).

Selanjutnya menurut Priyatni (2010: 126) cerita pendek adalah salah satu bentuk

karya fiksi. Cerita pendek sesuai dengan namanya, memperlihatkan sifat yang

serba pendek, baik peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku, dan

jumlah kata yang digunakan. Perbandingan ini jika dikaitkan dengan bentuk prosa

yang lain, misalnya novel.

Sesuai dengan namanya, cerita pendek dapat diartikan sebagai cerita berbentuk

prosa yang pendek (Suyanto, 2012:46). Ukuran pendek di sisni bersifat relatif.

Menurut Edgar Allan Poe dalam (Suyanto, 2012:46), sastrawan kenamaan

Amerika, ukuran pendek di sini adalah selesai dibaca dalam sekali duduk, yakni

kira-kira kurang dari satu jam. Adapun Jacob Sumardjo dan Saini K.M (1995: 30)

dalam Suyanto (2012: 46) menilai ukuran pendek ini lebih didasarkan pada

keterbatasan pengembangan unsur-unsurnya. Cerpen harus memiliki efek tunggal

dan tidak kompleks.

Pengertian cerita pendek yang dikemukakan oleh, H.B. Jassin, kemudian

Sumardjo dan Saini, Priyatni, dan Suyanto merupakan bagian kecil dari

pengertian cerita pendek. Beberapa pengertian cerita pendek yang telah

dikemukakan oleh para ahli di atas, penulis berhasil meyimpulkan pengertian

cerita pendek secara tersendiri. Cerita pendek (cerpen) adalah sebuah karangan

berbentuk prosa fiksi yang habis dbaca sekali duduk, maksud dari habis dibaca

sekali duduk adalah tidak membutuhkan waktu yang berlama-lama untuk

menyelesaikan satu cerita. Cerita pendek juga memiliki pemendekan unsur-unsur

(24)

Sukar untuk memberikan perumusan yang tepat dan tegas untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan, apakah cerita pendek itu. Tetapi kita coba menerangkan

cerita pendek itu dengan menyebutkan unsur-unsur apa yang harus dikandungnya.

Di dalam cerita pendek harus ada:

1. Cerita pendek mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya

mengenai penghidupan, baik secara langsung atau tidak langsung.

2. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan suatu hempasan dalam pikiran

pembaca.

3. Cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembaca, bahwa

pembaca merasa terbawa oleh jalan cerita, dan cerita pendek pertama-tama

menarik perasaan, baru menarik pikiran.

4. Cerita pendek mengandung perincian dan insiden-insiden yang dipilih

dengan sengaja, dan yang bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam

pikiran pembaca.

Selanjutnya sebuah cerita pendek harus pula mengandung:

1. Sebuah insiden utama yang menguasai jalan cerita

2. Seorang pelaku utama.

3. Jalan cerita yang padat

4. Mencerminkan yang ketiga di atas hingga tercipta satu “efek” atau SATU

KESAN (impressie).

Panjang atau pendek sebuah cerita pendek juga tidak bisa ditetapkan. Pada

umumnya panjangnya sebuah cerita pendek itu habis sekali, dua kali atau tiga

kali. Tetapi ini juga bukan pegangan. Dapatlah kita katakan antara 500-1.000 –

(25)

Antara cerita pendek yang panjang dan sebuah novelet sudah sukar

membedakannya. Bedanya ialah dalam isi cerita. Novelet mencakup cerita

pengalaman-pengalaman manusia yang lebih luas, sedangkan cerita pendek

memusatkan perhatian pada sesuatu yang lebih terbatas.

Cerita pendek itu terbatas kemungkinan-kemungkinannya. Umpamannya, tidak

mungkin untuk meceritakan dalam sebuah cerita pendek dikemukakan

tanggapan-tanggapan saat-saat hidup yang karena sesuatu sebab dapat dibawa ke depan dan

ditonjolkan. Pengertian tentang batas-batas cerita pendek ini perlu diketahui agar

orang jangan mengarang roman dalam sebuah cerita pendek atau sebaliknya.

Karena berapa banyak roman-roman yang sebenarnya lebih padat dan lancar

ceritanya jika dijalin dalam sebuah cerita pendek. Bahan dalam roman demikian

diperpanjang, bertele-tele, sehingga hambar dan tidak berketentuan rasanya (Lubis

1996: 92).

2.2.2 Unsur-unsur cerita pendek

Unsur-unsur pembangun cerpen yang kemudian secara bersama membentuk

sebuah totalitas disamping unsur forma bahasa, masih banyak lagi macamnya.

Namun secara garis besar berbagai macam unsur tersebut secara tradisional dapat

dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri

(Nurgiyantoro, 1994:23). Unsur pembangun sebuah cerpen tersebut meliputi

tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.

Hal ini didukung oleh pendapat Nurgiyantoro (1994: 23) Unsur intrinsik

(26)

Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, Unsur-

unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur

intrinsik sebuah cerpen adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta

membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat

sebuah cerpen berwujud. Sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca,

unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah cerpen. Unsur

yang dimaksud, untuk menyebut sebagian saja, misalnya, peristiwa, cerita, plot,

penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan

lain-lain.

Stanton (2007:22) mengemukakan bahwa karakter (penokohan), alur, dan latar

merupakan fakta-fakta cerita. Berikut ini penjelasan mengenai fakta-fakta cerita

suatu karya fiksi yang meliputi tokoh dan penokohan, alur, dan latar.

a. Tokoh

Tokoh merupakan pelaku-pelaku yang dihadirkan dalam suatu cerita, Munaris

(2010:20). Kehadirannya dapat diindikasikan dengan nama tokoh atau kata ganti

tertentu yang merujuk pada pelaku tertentu. Kehadiran tokoh cerita, baik tokoh

utama maupun tokoh pendukung selalu ada di semua novel. Dalam semua novel

dibedakan antara tokoh statis dan tokoh dinamis, Adi (2011:46). Tokoh statis, jika

sebagai tokoh utama di sepanjang cerita wataknya tidak berubah. Sebaliknya,

tokoh dinamis wataknya sebagai seseoarang tokoh mengalami perubahan selama

cerita berlangsung. Kemudian, penokohan adalah salah satu unsur cerita yang

memegang peranan penting di dalam sebuah novel, karena tanpa pelaku yang

(27)

penokohan lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia

sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan,

bagaimana penempatan, dan bagaimana pelukisannya dalam sebuah cerita

sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

(Nurgiyantoro, 1994:166).

Menurut Mido (1994:21), tokoh utama harus digambarkan sebagai tokoh yang

hidup, tokoh yang utuh, bukan tokoh mati yang sekadar menjadi boneka mainan

ditangan pengarangnya. Tokoh cerita harus digambarkan sebagai tokoh yang

memiliki kepribadian, berwatak dan memiliki sifat-sifat tertentu. Gambaran

lengkap profil tokoh utama yang utuh dimaksud meliputi 3 dimensi, yakni:

fisiologis, psikologis, dan sosiologis.

1. Dimensi fisiologis, meliputi penggambaran ciri-ciri fisik tokoh cerita,

seperti: jenis kelamin, bentuk tubuh, usia, ciri-ciri tubuh, kadaan tubuh,

dan raut wajah, pakaian dan perhiasan.

2. Dimensi psikologis meliputi penggambaran ciri-ciri psikologis tokoh

cerita, seperti: mentalitas, norma-norma moral, temperamen, perasaan,

keinginan, sikap, watak/karakter, kecerdasan (IQ), keahlian dan kecakapan

khusus.

3. Dimensi sosiologis meliputi penggambaran ciri-ciri sosial tokoh cerita,

seperti: status sosial, jabatan, pekerjaan, peranan sosial, pendidikan,

kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, pandangan hidup, ideologi,

agama, aktifitas sosial, orpol/ormas yang dimasuki, kegemaran, keturunan

(28)

Dalam rangka menggambarkan dimensi fisiologis, psikologis, dan sosioloogis,

para tokoh ceritanya, para pengarang ada yang melakukannya secara langsung

dengan metode diskursif (eksplisit) dan ada pula yang melakukannya secara tidak

langsung dengan metode dramatik (implisit).

Metode langsung (eksplisit) mengarah pada cara pengarangnya yang

menyebutkan secara langsung ciri-ciri fisik (dimensi fisioloogis), ciri-ciri fisik

(dimensi fisikologis), ciri-ciri sosial (dimensi sosial) dan ciri-ciri psikologis

(dimensi psikologis) yang dilekatkannya pada tokoh cerita. Sementara metode

tidak langsung (implisit) mengarah pada cara mengarangnya yang tidak

menyebutkan secara langsung ciri-ciri fisik (dimensi fisiologis), ciri-ciri sosial

(dimensi sosial) dan ciri-ciri psikologis (dimensi psikologis) yang dilekatkannya

pada tokoh cerita (Mido, 1994:22-23).

b. Alur

Plot atau secara tradisional orang juga sering mempergunakan istilah alur atau

jalan cerita, sedangkan dalam teori-teori yang berkembang lebih kemudian

dikenal dengan adanya istilah struktur naratif, susunan, dan juga sujet

(Nurgiyantoro, 2013:165). Aminudin dalam Munaris (2010: 20) mengemukakan

alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa

sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu

cerita.

Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita

(Stanton, 2007:26). Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang

(29)

menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat

diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya.

c. Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta

yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung, Stanton

(2007:35). Latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada

pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1994:216).

Menurut Stanton dalam Munaris (2010:20) latar adalah lingkungan yang meliputi

sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan

peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Kemudian Stanton dalam Nurgiyantoro

(1994:216) mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam

fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi

oleh pembaca secara faktual jika membaca secara fiksi atau ketiga inilah yang

secara konkret dan langsung membentuk cerita.

Tahap awal suatu karya pada umumnya berupa pengenalan, pelukisan, dan

penunjukan latar. Namun, hal itu tak berarti bahwa pelukisan dan penunjukkan

latar hanya dilakukan pada tahap awal cerita. ia dapat saja berada pada tahap yang

lain, pada berbagai suasana dan adegan dan bersifat koherensif dengan

unsur-unsur struktural fiksi yang lain.

1. Latar tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam

(30)

tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama

jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia

nyata, misalnya Magelang, Yogyakarta, dan lain-lain. Tempat dengan inisial

tertentu, biasanya berupa huruf awal (kapital) nama suatu tempat, juga menyaran

pada tempat tertentu, tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri, misalnya kota

M, S, T, dan desa B. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya hanya berupa

penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempatan tertentu, misalnya desa, sungai,

jalan, hutan, kota, dan sebagainya.

Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan,

atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang

bersangkutan. Masing-masing tempat tentu memiliki karakteristiknya sendiri yang

membedakannya dengan tempat-tempat lain. Jika terjadi ketidaksesuaian deskripsi

antara keadaan tempat secara realistis dengan yang terdapat di dalam novel,

terutama jika pembaca mengenalinya, hal itu akan menyebabkan karya yang

bersangkutan kurang meyakinkan. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis ini

penting untuk mengesani pembaca seolah-olah hal yang diceritakan

sungguh-sungguh ada dan terjadi.

Untuk dapat mendeskripsikan suatu tempat secara meyakinkan, pengarang perlu

menguasi medan, Nurgiyantoro (1994:228). Pengarang haruslah menguasai situasi

geografis lokasi yang bersangkutan lengkap dengan karakteristik dan sifat

khasnya. Tempat-tempat yang berupa desa, kota, jalan, sungai, dan lain-lain tentu

memiliki ciri-ciri khas yang menandainya. Hal itu belum lagi diperhitungkan

(31)

desa, kota, atau sungai yang sama persis dengan desa, kota, atau sungai yang lain.

Pelukisan tempat tertentu dengan sifat khasnya secara rinci biasanya menjadi

bersifat kedaerahan, atau berupa pengangkatan suasana daerah.

Pengangkatan suasana kedaerahan, sesuatu yang mencerminkan unsurlocal color,

akan menyebabkan latar tempat menjadi unsur yang dominan dalam karya yang

bersangkutan. Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional.

Ia akan mempengaruhi pengaluran dan penokohan, dan karenanya menjadi

koheren dengan cerita secara keseluruhan. Namun, perlu ditegaskan bahwa sifat

ketipikalan daerah tak hanya ditentukan oleh rincinya deskripsi lokasi, melainkan

terlebih harus didukung oleh sifat kehidupan sosial masyarakat penghuninya.

Dengan kata lain, latar sosial, latar spiritual, justru lebih menentukan ketipikalan

latar tempat yang ditunjuk.

2. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, Nurgiyantoro (1994:230). Masalah

“kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu, yang ada

kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan

persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk

mencoba masuk ke dalam suasana cerita.

Masalah waktu dalam karya naratif, kata Genette dalam Nurgiyantoro (1994:231)

dapat bermakna ganda, yaitu menyaran pada waktu penceritaan, waktu penulisan

cerita, dan dipihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan

(32)

dari segi waktu penceritaannya. Tanpa kejelasan (urutan) waktu yang diceritakan,

orang hampir tak mungkin menulis cerita. dalam hal ini kejelasan masalah waktu

menjadi lebih penting dari pada kejelasan unsur tempat, Genette dalam

Nurgiyantoro (1994:231). Hal ini disebabkan orang masih dapat menulis dengan

baik walau unsur tempat tak ditunjukkan secara pasti, namun tidak demikian

halnya dengan pemilihan bentuk-bentuk kebahasaan sebagai sarana

pengungkapannya.

Masalah waktu dalam karya fiksi juga sering dihubungkan dengan lamanya waktu

dalam karya fiksi juga sering dihubungkan dengan lamanya waktu yang

dipergunakan dalam cerita. Dalam hal ini terdapat variasi pada berbagai novel

yang ditulis orang. Ada novel yang membutuhkan waktu sangat panjang hampir

sepanjang hayat tokoh, adapula yang relatif pendek.

3. Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehiduan

sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi,

Nurgiyantoro (1994:233). Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup

berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan

hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan

bersikap, dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh

yang bersangkutan misalnya rendah, menengah, atau atas.

Latar sosial dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana kedaerahan, local

(33)

samping berupa hal-hal yang telah dikemukakan, ia dapat pula berupa dan

diperkuat dengan penggunaan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu.

Status sosial tokoh merupakan salah satu hal yang perlu diperhitungkan dalam

pemilihan latar. Ada sejumlah novel yang membangun konflik berdasarkan

kesenjangan status sosial tokoh-tokohnya. Perbedaan status sosial dengan

demikian, menjadi fungsional dalam fiksi. Secara umum perlu adanya deskripsi

perbedaan antara kehidupan tokoh yang berbeda status sosialnya. Keduanya tentu

memiliki perbedaan tingkah laku, pandangan, cara berpikir dan bersikap, gaya

hidup, dan mungkin permasalahan yang dihadapi.

Akhirnya perlu ditegaskan bahwa latar sosial merupakan bagian latar secara

keseluruhan. Jadi, ia berada dalam kepaduan dengan unsur latar yang lain, yaitu

unsur tempat dan waktu, Nurgiyantoro (1994:237) ketiga unsur tersebut dalam

satu kepaduan jelas akan menyaran pada makna yang lebih khas dan meyakinkan

daripada secara sendiri-sendiri. Ketepatan latar sebagai salah satu unsur fiksi pun

tak dilihat secara terpisah dan berbagai unsur yang lain, melainkan justru dari

kepaduan dan koherensinya dengan keseluruhan.

2.2 Resepsi Sastra

Estetika resepsi adalah sebuah metode kritik sastra yang menitikberatkan pada

peranan pembaca yang memperhatikan karya sastra sebagai sebuah struktur. Di

satu pihak, pembaca memiliki nilai-nilai yang berubah. Sementara itu, dilain

pihak karya sastra sebagai sebuah struktur menentang struktur karya sebelumnya

(34)

Menurut Segers (Suroso, dkk 2009: 113), estetika resepsi melihat nilai sastra

sebagai sebuah konsep dari perubahan yang tetap, bergantung pada sistem norma

pembacanya.

Metode estetika resepsi merupakan sebuah kejutan untuk evaluasi kesusastraan

guna melengkapi perbedaan pandangan dari konsep nilai kesusastraan. Hal

tersebut disebabkan, selama ini struktural menganggap bahwa nilai sastra terlepas

dari pembacanya.

Dalam Junus (1985: 1), resepsi sastra dimaksudkan bagaimana pembaca

memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat

memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat

pasif, yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau dapat

melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Mungkin juga bersifat aktif yaitu

bagaimana ia merealisasikannya, karena itu, pengertian resepsi sastra memunyai

lapangan yang luas, dengan berbagai kemungkinan penggunaan.

Resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang

diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi

didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya

sehingga dapat merespons terhadapnya. Respons yang dimaksudkan tidak

dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai

proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu, Ratna (2004: 165).

Dari beberapa penjelasan para ahli tersebut penulis mengambil simpulan

(35)

menitikberatkan pada pembaca. Melalui resepsi sastra ini, akan diketahui

bagaimanakah karya sastra yang tercipta di mata pembaca. Dengan resepsi sastra

terjadi suatu perubahan (besar) dalam penelitian sastra. Selama ini, tekanan

diberikan kepada teks dan untuk kepentingan teks, ini biasanya untuk

pemahaman, seorang peneliti mungkin saja pergi kepada penulis (teks).

Selain dapat dilihat dari resepsi sastra pendekatan pragmatik sastra juga dapat

dilihat dari segi yang lainnya. Reader response merupakan teori yang melihat

pembaca sebagai perhatian penelitian. Lebih lanjut akan dibahas dalam subbab

berikut.

2.2.1Reader Response

Reader response atau reader response criticsm merupakan sebuah teori yang di

kembangkan oleh berbagai macam ahli dan kritikus sastra. Teori ini mempunyai

berbagai macam makna tergantung pada orang yang mengembangkannya.

Meskipun demikian secara umum teori ini menawarkan sebuah teori tentang

bagaimana mendapatkan makna dari sebuah text oleh pembaca, serta bagaimana

pembaca menginterpretasikan text tersebut. Dalam teori ini hubungan antara

pembaca dengan text sangat penting – karena text tanpa pembaca akan tidak

berarti atau dalam kata lain text tidak ada tanpa pembaca. Sebuah text tidak akan

hidup tanpa pembaca. Banyak yang missinterpretasi mengenai teori reader

response. Banyak yang mengatakan bahwa teori ini memberikan jalan bagi

berbagai macam (semua) interpretasi akan text. Meskipun interpretasi dalam teori

ini sangat dibuka lebar dibandingkan pada teori formalis dan strukturalis, bukan

(36)

Pendekatan reader-oriented berkembang pada 1960-an sebagai reaksi atas

dominasi pendekatan text-oriented, seperti new critism. Pendekatan

reader-oriented ini dinamakan dengan teori resepsi, reader response, atau aesthetic

response. Dalam penggunaan, ketiga istilah tersebut hampir bersinonim (Klarer,

2004: 92).

Akan tetapi, Adi (2011: 174-184) membedakan istilah pendekatan reader response

dengan pendekatan resepsi. Pendekatan reader response menitikberatkan pada

pembentukan estetika dalam sebuah teks, sedangkan pendekatan resepsi lebih

berfokus pada dampak yang timbul, senang tidaknya pembaca, dan latar belakang

penilaian pembaca. Dengan kata lain, resepsi merupakan reader judgment.

Namun demikian, hakikatnya pendekatan reader response dan resepsi sama-sama

mengacu pada keterlibatan pembaca dalam membangun sebuah makna pada suatu

teks. Pendekatan reader response memiliki cakupan yang lebih luas dari resepsi

karena tidak hanya membicarakan penerimaan pembaca, melainkan juga

melibatkan interpretasi pembaca.

Pendekatan ini dapat “disandingkan” dengan beberapa pendekatan lainnya, seperti

psikoanalisis, kritik feminis, kritik struturalis, dan lain sebagainya. Misalnya,

apabila dalam kajian psikoanalisis, dilakukan penelitian mengenai motif

psikologis pada beberapa jenis interpretasi teks sastra, maka itu merupakan salah

(37)

Tokoh dan Teori Pokok Pendekatan Reader Response

1. Hans Robert Jauss

Tanggapan seorang pembaca tentu akan berbeda satu sama lain. Perbedaan

tanggapan itulah yang disebut oleh Hans-Robert Jauss sebagai horizon of

expectation (horizon harapan) dari pembaca tersebut. Pradopo (2007: 208)

menyatakan bahwa horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca sebelum

membaca sebuah karya sastra. Horizon harapan seseorang ditentukan oleh tingkat

pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi

sebuah karya sastra.

Horizon harapan (horizon of expectation) ditentukan oleh:

a. Norma-norma umum yang keluar dalam teks;

b. Pengetahuan dan pengalaman pada teks yang sudah dibaca sebelumnya;

dan

c. Kontradiksi antara fiksi dengan kenyataan.

2. Wolfgang Iser

Wolfgang Iser memperkenalkan konsep efek (wirkung), yakni cara sebuah karya

mengarahkan reaksi pembaca terhadapnya. Dalam suatu karya sastra, terdapat

kesenjangan antara teks dan pembaca. Di sanalah, terjadi kekosongan atau tempat

terbuka (open plak) yang kemudian diisi oleh pembaca. Respon pembaca yang

mengisi tempat terbuka tersebut bersifat berbeda-beda satu sama lain.

Menurut Iser, sebagaimana dikutip Adi (2011: 178), karya sastra memiliki dua

kutub, yaitu kutub artistik dan estetik. Kutub artistik merupakan teks penulis,

(38)

3. Norman Holland

Pemikiran Norman Holland berawal dari kajiannya terhadap karya sastra dengan

pendekatan psikoanalisis. Di dalamnya, Holland juga berbicara mengenai proses

pembacaan. Sebagaimana dikutip Adi (2011: 177), Holland berargumentasi

bahwa setiap pembaca memasukkan fantasinya dalam teks dan memodifikasinya

dengan mekanisme pertahanan (defense mechanism).

Holland meyakini bahwa motif pembaca sangat memengaruhi cara mereka

membaca. Metode Holland disebut juga metode analisis transaktif karena ia

percaya bahwa proses membaca mencakup transaksi antara pembaca dan teks asli

(Tyson, 2006: 182).

Holland juga berpendapat bahwa di dalam pikiran setiap individu terdapat identity

theme, yaitu pembaca memiliki gaya tertentu dalam kehidupan dan

pembacaannya. Tanda-tanda, komunitas pembaca, dan gaya membaca yang

bervariasi itulah yang membangun sebuah reader response (Tyson, 2006: 183).

Pembaca dalam Pendekatan Reader Response

Dalam pendekatan reader response, dikenal beberapa istilah pembaca. Pembaca

yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Pembaca biasa, yaitu pembaca dalam arti sesungguhnya. Pembaca biasa

adalah orang yang membaca suatu karya sastra sebagai karya biasa, bukan

dengan tujuan penelitian.

2. Pembaca ideal, yaitu pembaca yang membaca karya sastra sebagai bahan

(39)

3. Pembaca implisit, yaitu peranan bacaan yang terletak di dalam teks itu

sendiri, yakni keseluruhan petunjuk tekstual bagi pembaca sebenarnya.

4. Pembaca eksplisit, yaitu dapat pembaca yang dapat disebut juga pembaca

fiktif, imajiner, atau imanen.

5. Pembaca terinformasi (informed readers), yaitu pembaca yang memiliki

kemampuan literasi yang cukup.

2.2.2 Teori Resepsi Sastra

Semiotika, resepsi, dan interteks berkembang pesat sesudah strukturalisme

mencapai klimaks skaligus stagnasi, bahkan sebagai involusi. Perbedaannya,

semiotika, melalui intensitas sistem tanda memberikan keseimbangan antara

struktur intrinsik dan ekstrinsik, resepsi sastra memberikan perhatian kepada

pembaca, sedangkan interteks pada hubungan antara karya yang satu dengan

karya yang lain. Sebagaimana akan dijelaskan kemudian, dekontruksi seolah-olah

dianggap sebagai rangkuman sekaligus penyempurnaan dari keseluruhan teori

sebelumnya.

Secara historis, menurut Luxemburg, dkk. (1984: 78; cf. Teeuw, 1988: 183) dalam

Ratna (2004: 183) ada dua tradisi klasik dalam kaitannya dengan relevansi fungsi

dan peranan pembaca. Peranan sastra dan pembaca, khususnya dalam kehidupan

praktis, seperti pidato dan khotbah, tampil dalam bentuk retorika. Perbedaannya,

retorika memberikan perhatian pada sarana-sarana bahasa, sedangkan resepsi pada

tanggapan-tanggapan pembaca. Sebagai akar perkembangan teori resepsi abad

ke-20, Selden (1986: 106) mengintroduksi keterbatasan paradigma objektif, dengan

menonjolkan fungsi-fungsi subjektivitas. Menurutnya, baik dalam ilmu

(40)

terhadap fakta-fakta sosial pada dasarnya bergantung dari rangka referensi yang

ada dalam diri subjek. Aktivitas pembaca dalam hubungan ini memegang peranan

penting.

Berbeda dengan penjelasan mengenai peranan penulis, penjelasan dalam

kaitannya dengan peranan pembaca tidak mudah untuk dijelaskan, khususnya bagi

masyarakat biasa. Peranan penulis seolah-olah bersifat transparan dan jelas sebab

penulislah yang menciptakan karya, dengan demikian penulislah yang paling tahu

isi karya sastra tersebut. Sebaliknya, sangat sulit untuk menjelaskan mengapa

dalam teori resepsi peranan pembaca sangat ditonjolkan padahal pembaca sama

sekali tidak memiliki relevansi dalam kaitannya dalam proses kreatif.

Problematika seperti inilah yang mendominasi teori resepsi sekaligus

mengantarkan teori tersebut sebagai salah satu teori yang dominan dalam ilmu

sastra.

Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recipere (Latin), reception

(Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam

arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolah teks, cara-cara pemberian makna

terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respons yang

dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan

pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam piriode tertentu. Dalam khazanah

sastra Indonesia, dalam kaitannya dengan teori resepsi perlu disebutkan dua buah

buku yang sangat relevan, yaitu: Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra

(A. Teeuw, terbit pertama kali tahun 1984) dan Resepsi Sastra sebuah Pengantar

(41)

bahwa ia pertama kali memperoleh informasi mengenai perkembangan teori

resepsi melalui Teeuw, tahun 1980.

Resepsi tampil sebagai sebuah teori dominan sejak tahun 1970-an, dengan

pertimbangan: a) sebagai jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme yang

dianggap hanya memberikan perhatian terhadap unsur-unsur, b) timbulnya

kesadaran untuk membangkitkan kembali nilai-nilai kemanusiaan, dalam rangka

kesadaran humanisme universal, c) kesadaran bahwa nilai-nilai karya sastra dapat

dikembangkan hanya melalui kompetensi pembaca, d) kesadaran bahwa

keabadian nilai karya seni disebabkan oleh pembaca, e) kesadaran bahwa makna

terkandung dalam hubungan ambiguitas antara karya sastra dengan pembaca.

Analogi-analogi yang berkaitan dengan peranan pembaca, dalam hubungan ini

pembaca sebagai subjek transindividual, subjek yang berada dalam perkembangan

sejarah, membawa teori resepsi sangat relevan dengan paradigma

pascastrukturalisme. Berkat adanya keterlibatan pembacalah hakikat multikultural

bisa digali secara maksimal, bukan penulis.

Luxemburg, dkk. (1984: 62) dalam Ratna (2004: 167) membedakan antara resepsi

dengan penafsiran. Ciri-ciri penerimaan adalah reaksi, baik langsung maupun

tidak langsung. Penafsiran bersifat lebih teoretis dan sistematis, oleh karena itu,

termasuk bidang kritik sastra. Resensi novel di surat kabar termasuk penerimaan,

sedangkan pembicaraan novel tersebut di majalah ilmiah termasuk penafsiran.

Meskipun demikian, resepsi sastra sebagaimana dimaksudkan dalam teori

kotemporer tidak terbatas sebagai reaksi, tetapi sudah disertai dengan penafsiran,

(42)

di atas, misalnya: laporan-laporan, catatan harian, salinan, terjemahan, dan

saduran. Berbagi informasi, misalnya, sebuah cerpen menjadi novel, drama, film,

lukisan, dan sebagainya, demikian juga sebaliknya.

Penerimaan pembaca pada gilirannya merupakan gudang kultural sekaligus energi

kreativitas. Bentuk-bentuk baru sebagai resepsi sering lebih populer, lebih

diminati, bahkan sering lebih bermutu dibandingkan dengan bentuk aslinya.

Dalam penelitian resepsi dibedakan menjadi dua bentuk, a) resepsi secara

sinkronis, dan b) resepsi secara diakronis. Bentuk pertama meneliti karya sastra

dalam hubungannya dengan pembaca sezaman. Sekelompok pembaca misalnya

memberikan tanggapan baik secara sosiologis maupun psikologis terhadap sebuah

novel. Bentuk resepsi yang lebih rumit adalah tanggapan pembaca secara

diakronis sebab melibatkan pembaca sepanjang sejarah. Karya sastra dengan

problematikanya tersendiri, seperti novel Belenggu, cerpen Langit Makin

Mendung, puisi-puisi Chairil Anwar dan Rendra, dan karya-karya Pramoedya

Ananta Toer, memiliki ciri-ciri reseptif yang sangat kaya untuk dianalisis.

Penelitian resepsi secara diakronis dengan demikian memerlukan data dokumenter

yang memadai. Perkembangan sejarah sastra Barat yang sudah berlangsung ribuan

tahun jelas menawarkan model penelitian resepsi secara diakronis yang sangat

kaya.

Resepsi sastra memiliki kaitan denga sosiologi sastra dan interteks. Kaitan dengan

sosiologi sastra terjadi karena keduannya memanfaatkan masyarakat pembaca.

Kaitan resepsi sastra dengan sosiologi sastra terjadi dengan masyarakat biasa,

dengan pembaca konkret, bukan masyarakat yang terkandung dalam karya sastra

(intrinsik). Perbedaannya, sesuai dengan definisi masing-masing, resepsi sastra

(43)

kemudian diolah, sedangkan sosiologi sastra memberikan perhatian pada sifat

hubungan dan saling mempengaruhi antara sastra dan masyarakat. Baik resepsi

sastra maupun sosiologi sastra dengan sendirinya memerlukan ilmu-ilmu bantu

yang dianggap relevan.

Hubungan resepsi sastra dengan interteks terjadi karena baik resepsi sastra

maupun interteks mempermasalahkan hubungan antara dua teks atau lebih.

Penyaduran, penyalinan, dan transformasi, demikian juga pengolahn teks berupa

inovasi dan parodi, jelas menilai teks-teks yang berbeda. Meskipun demikian,

permasalahan interteks tidak terkandung dalam mekanisme transformasi tersebut,

melainkan bagaimana memberikan makna tersendiri terhadap teks-teks yang

berbeda. Selain itu, hakikat interteks sebagaimana akan dijelaskan kemudian,

tidak terbatas sebagai hubungan beberapa teks yang dapat dilihat secara konkret,

melainkan jauh yang lebih rumit adalah kenyataan secara definitif intertekstualitas

mensyaratkan bahwa di dalam setiap teks terkandung teks-teks yang lain. Peranan

pembaca, seperti seperti disebutkan di muka benar-benar merupakan pembalikan

paradigma secara total, pembaca yang sama sekali tidak tahu menahu tentang

proses kreatif diberikan fungsi utama, sebab pembacalah yang menikmati,

menilai, dan memenfaatkannya, sebaliknya penulis sebagai usul-usul karya harus

terpinggirkan, bahkan dianggap sebagai anonimitas. Oleh karena itulah, dalam

kaitannya dengan pembaca, berbeda dengan penulis, timbul berbagi istilah, seperti

pembaca eksplisit, pembaca implisit, pembaca mahatuahu, pembaca yang

diintensikan, dan sebagainya. Di samping itu, timbul pula istilah-istilah lain, yang

(44)

(Vodicka), horison harapan (Jausz), pembaca implisit dan ruang kosong (Iser),

kompetensi pembaca (Culler) (Ratna, 2004: 163-169).

Estetika resepsi sebagai sebuah metode melihat karya sastra sebagai objek estetik

yang memiliki keragaman nilai dalam perkembangan nilai-nilai estetikanya.

Sementara itu, karya sastra juga merupakan sebuah objek estetik yang

menciptakan dialog dengan pembacanya sesuai dengan sifatnya yang memiliki

banyak penafsiran. Di dalam hal ini estetika resepsi menempatkan karya sastra

sebagai bagian perkembangan struktur. Estetika resepsi merupakan salah satu titik

tolak dari perkembangan sejarah sastra dengan tidak mengabaikan struktur di

dalamnya.

Di dalam suatu karya sastra, peranan pembaca sangatlah penting dalam

menemukan nilai-nilai yang terdapat pada karya sastra yang selalu berada dalam

perubahan yang teratur. Melalui hal ini, sistematika reaksi pembaca terhadap

suatu karya sastra dapat memasukkan dan menempatkan karya sastra di dalam

tatanan kesusastraannya.

2.2.3 Penulis, Karya dan Pembaca

Sungguh menarik perkembangan teori dari Jausz dan Iser yang menyempurnakan

suatu lingkaran dari perkembangan penelitian sastra. Penelitian itu bermula

dengan pementingan penulis. Keterangan tentang arti suatu karya ditanyakan

kepada penulisnya dan apabila ini tidak dapat dilakukan lagi, ia dapat mencari

riwayat hidup penulis. Kemudian dikembangkan penelitian lain yang melihat

karya sebagai suatu yang berdiri sendiri, yang memunyai maknanya sendiri. Hal

(45)

resepsi sastra yang memang melihat adanya skema yang diberikan oleh suatu

karya untuk dapat memahaminya. Tetapi untuk menemuinya, pembaca harus

menggunakan imajinasinya sendiri, sehingga ia bertindak sebagai pemberi arti.

Arti yang ditemui dalam teks itu bukanlah arti teks itu semata-mata, tetapi arti

yang dikonkretkan pembaca melalui suatu rekontruksi. Arti suatu teks ada dalam

interaksi anatara teks dan pembaca.

Fenomena ini dapat diperlihatkan sebagai berikut :

A. (Perkembangan awal)

Penulis karya pembaca

B 1. Perkembangan berikutnya

Karya Pembaca

B 2. Perkembangan Kini

Karya Pembaca

Fenomena A memperlihatkan adanya hubungan antara pembaca dengan penulis,

di dalam sastra rakyat (yang lisan) antara pendengar dan pencerita. Dalam istilah

yang bersifat ekonomi, ada hubungan yang erat antara konsumer dan produser,

sesuatu yang biasa ada pada ekonomi pramodern, bila industrialisasi belum lagi

berkembang. Seorang pembuat barang, seorang pembuat sepatu misalnya, tahu

untuk siapa ia membuatkan sepasang sepatu. Ia membuatkan sepatu untuk seorang

langganannya dan tahu apa kesukaannya. Pemakai sepatu juga tahu siapa yang

membuat sepatunya. Ia tahu kepandaian orang itu membuat sepatu. Ia tahu akan

mutu sepatu itu, tahan lama, dan sebagainya.

Tidak demikian halnya dengan fenomena B. Pembaca tidak lagi memunyai

hubungan dengan penulisnya. Yang penting baginya hanyalah adanya karya,

(46)

sepatunya, mungkin hanya mengetahui capnya saja, yang dikeluarkan oleh

perusahaan tertentu. Malah ia tidak pernah ingin mengetahui siapa yang membuat

sepatunya. Ia hanya tahu memakainya. Inilah hakikat ekonomi modern dengan

industrialisasi yang telah begitu berkembang, sesuai dengan konsumerisme. Jika

peneliti dapat menganalisis dari fenomena tersebut, pada fenomena A pembaca

tahu siapa penulis dari karya itu, dan memunyai hubungan dengan penulisnya.

Sedangkan pada fenomena B, pembaca tidak tahu siapa penulis dari karya itu dan

pembaca sudah tidak lagi memunyai hubungan dengan penulisnya (Junus,

1985:143).

2.2.4 Teks dan Pembaca

Peranan pembaca sangatlah penting untuk menemukan nilai-nilai di dalam karya

sastra yang selalu mengalami perubahan yang teratur. Di dalam estetika resepsi,

pembaca itu dibagi menjadi dua bagian, yakni pembaca biasa dan pembaca ideal.

Pembaca ideal juga dibagi menjadi dua yakni pembaca yang implisit dan pembaca

yang eksplisit (Junus, 1985: 52).

Dalam Junus (1985: 52) mengungkapkan definisi pembaca biasa sebagai pembaca

dalam arti yang sebenarnya, yang membaca suatu karya sebagai karya sastra,

bukan sebagai bahan penelitian. Di dalam resepsi sastra diperhatikan bagaimana

reaksi pembaca biasa ini terhadap suatu karya sastra. Penyelidikan ini bisa

dikatakan penyelidikan sinkronis, yakni dengan melihat reaksi mereka atau

pembaca terhadap suatu karya yang mereka baca. Bisa juga bersifat sejarah atau

diakronis, yang melihat penerimaan dalam berbagai masa.

Junus (1985: 52) juga mengemukakan pengertian pembaca ideal sebagai pembaca

yang dibentuk atau diciptakan oleh penulis atau peneliti dari pembaca biasa

(47)

sastra mereka yang putus-putus atau berdasarkan variabel lain yang mengganggu.

Pembaca yang diciptakan ini mungkin ada dalam teks atau di luar teks, dan dapat

digunakan peneliti untuk meneliti peranan pembaca dalam suatu lukisan yang

rasional.

Di dalam teks, terdapat dua macam pembaca yakni pembaca yang implisit dan

yang eksplisit. Pembaca implisit atau pembaca yang sebenarnya disapa oleh

pengarang adalah gambaran mengenai pembaca yang merupakan sasaran si

pengarang dan yang terwujud oleh segala petunjuk yang diperoleh di dalam teks.

Sedangkan pembaca eksplisit adalah pembaca kepada siapa suatu teks diucapkan.

2.3 Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA

Pembelajaran sastra adalah pembelajaran apresiasi karya sastra. Efendi dkk.

(1998), “Apresiasi adalah kegiatan mengakrabi karya sastra secara

sungguh-sungguh. Di dalam mengakrabi tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman,

penghayatan, penikmatan, dan setelah itu penerapan.” Pengenalan terhadap karya

sastra dapat dilakukan melalui membaca, mendengar, dan menonton. Hal itu tentu

dilakukan secara bersungguh-sungguh. Kesungguhan dalam kegiatan tersebut

akan bermuara kepada pengenalan secar bertahap dan akhirnta sampai ke tingkat

pemahaman. Pemahaman terhadap karya sastra yang dibaca, didengar, atau

ditonton akan mengantarkan peserta didik ke tingkat penghayatan. Indikator yang

dapat dilihat setelah menghayati karya sastra adalah jika bacaan, dengaran, atau

tontonan sedi ia akan ikut sedih, jika gembira ia ikut gembira, begitu seterusnya.

(48)

dibacanya. Ia benar-benar terlibat dengan karya sastra yang digeluti atau

diakrabinya.”

Hal yang dikemukakan di atas ternyata sangat relevan dengan tujuan

pembelajaran bahasa Indonesia yang tertuang pada standar isi (Permendiknas

Nomor 22/2006) nomor lima dan enam sebagai berikut.

(5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,

memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan

berbahasa

(6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya

dan intelektual manusia Indonesia.

Pengajaran sastra memiliki tiga aspek yang menjadi tujuan pengajaran, yaitu

aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga aspek tersebut memiliki

perbedaan, namun ketiganya saling berkaitan. Tujuan penyajian sastra dalam

dunia pendidikan adalah untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang

sastra. Karya sastra yang dijadikan sebagai bahan materi diharapkan mengandung

nilai-nilai yang dapat mengembangkan kepribadian siswa dan meningkatkan

kemampuan siswa.

Pembelajaran sastra adalah suatu pembelajaran yang telah ditetapkan dalam

kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia dan merupakan bagian dari tujuan

pendidikan nasional. Salah satu tujuan tersebut yakni membentuk manusia yang

(49)

Dalam Kurikulum 2013, pembelajaran Bahasa Indonesia menggunakan

pendekatan berbasis teks. Teks yang dimaksud yaitu teks sastra dan teks

nonsastra. Teks sastra terdiri atas teks naratif dan teks nonnaratif. Contoh teks

naratif yakni cerita pendek dan prosa, sedangkan contoh teks nonnaratif seperti

puisi.

Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 mengisyaratkan suatu

pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Pembelajaran dengan pendekatan

saintifik adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta

didik secara aktif mengkonstruksi konsep, hukum atau prinsip melalui

tahapan-tahapan mengamati, merumuskan masalah, mengajukan hipotesa, mengumpulkan

data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan

mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang ditemukan. Daryanto

(2014:51).

Adapun salah satu tujuan pembelajaran sastra adalah menuntut peserta didik untuk

dapat memahami makna yang terkandung dalam suatu karya sastra yang

diajarkan. Cerpen merupakan salah satu jenis karya sastra yang diajarkan dalam

suatu pembelajaran sastra di SMA. Selain itu, agar tujuan pembelajaran dapat

tercapai dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan, suatu pembelajaran

dapat ditunjang dengan penggunaan media dan bahan ajar yang layak. Cerpen

merupakan salah satu media dan bahan ajar yang dapat dimanfaatkan dalam

pembelajaran.

Dalam pembelajaran sastra, cerpen dapat dijadikan sebagai salah satu bahan ajar.

(50)

media cetak atau media elektronik. Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat

tanggapan siswa terhadap penokohan, alur dan latar cerita dalam cerpen Mata

yang Enak DipandangKarya Ahmad Tohari. Selanjutnya hasil penelitian tersebut

(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode

penelitian deskriptif kualitatif. Dalam hal peneliti bermaksud untuk

mendeskripsikan tentang tanggapan informan (siswa) terhadap cerpenMata yang

Enak Dipandang karya Ahmad Tohari. Analisis data di dalam penelitian ini

bersifat kualitatif karena penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang

dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2010: 4).

Metode penelitian deskripsi kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena

tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku persepsi,

motivasi, tindakan, dan lain-lain (Moleong, 2010: 6).

Deskripsi ini ditulis dalam bentuk narasi untuk melengkapi gambaran menyeluruh

tentang apa yang terjadi dalam aktivitas atau peristiwa yang dilaporkan. Dalam

melakukan deskripsi diseimbangkan dengan analisis dan interpretasi. Deskripsi

yang tidak berkesudahan akan menjadi campur aduk sendiri. Tujuan analisis

adalah untuk mengorganisasi deskripsi dengan cara membuatnya dapat

dikendalikan. Suatu perhitungan ak

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mendeskripsikan wujud frase keterangan waktu dalam kumpulan cerpen Mata yang Enak Dipandang dan memaparkan posisi

Skripsi ini berjudul “ Representasi Kritik Sosial dalam Antologi Cerpen Senyum Karyamin Karya Ahmad Tohari: Kajian Sosiologi Sastra”. Penelitian ini dilatarbelakangi

KUMPULAN CERPEN SENYUM KARYAMIN KARYA AHMAD TOHARI: KAJIAN STILISTIKA DAN NILAI

TRI MUTIA RAHMAH, 1111013000046, Ronggeng dalam Kebudayaan Banyumas dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap Pembalajaran

The object of this study is egalitarianism in a collection of short stories that Mata yang Enak Dipandang (MyED ) by Ahmad Tohari that will be studied by the theory of semiotics..

Cerpen “Senyum Karyamin” karya Ahmad Tohari sangat menarik dijadikan sebagai penelitian pada stratifikasi sosialnya, cerpen ini juga dapat dijadikan sebagai

Materi Nilai Sastra Profetik dalam Kumpulan Cerpen Rusmi Ingin Pulang Karya Ahmad Tohari Nilai yang Berasal dari Alquran. Beberapa sumber dari surat-surat dalam Alquran yang

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh siswa pada cerpen karya Ahmad Tohari tersebut dapat disimpulkan secara keseluruhan siswa yang menganalisis cerpen