DI SMA
“SUATU TINJAUAN OBJEKTIF”
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.)
Oleh:
Tri Mutia Rahmah NIM 1111013000046
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
ABSTRAK
TRI MUTIA RAHMAH, 1111013000046, Ronggeng dalam Kebudayaan Banyumas dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap Pembalajaran Sastra di SMA “Suatu Tinjauan Objektif”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan objektif sastra. Pendekatan objektif analisis ini menitikberatkan pada kebudayaan dan kepercayaan masyarakat terhadap ronggeng dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk sebagai kajian penelitian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa permasalahan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk meliputi: 1) fungsi ronggeng sebagai kesenian, meliputi: fungsi upacara ritual, hiburan, dan pertunjukan. 2) syarat-syarat menjadi ronggeng dalam kebudayaan Banyumas yang meliputi: masuknya indang arwah Ki Secamenggala, upacara pemandian di depan makam Ki Secamenggala, dan upacara bukak-klambu. 3) fungsi penari ronggeng di kebudayaan Banyumas, meliputi: penari, penghibur, dan pembawa keberkahan. 4) pandangan masyarakat terhadap ronggeng, dalam masyarakat Dukuh Paruk, ronggeng dianggap sebagai milik umum, pembawa keberkahan, dan simbol Dukuh Paruk. Namun, di luar masyarakat Dukuh Paruk ronggeng dianggap sebagai penghibur, pelacur, dan sundal. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, novel Ronggeng Dukuh Paruk dapat digunakan sebagai materi agar peserta didik dapat membangun karakter, kritis, menghargai dan menghormati sesama manusia, bertanggung jawab dan dapat memahami serta menyikapi nilai budaya dan nilai moral yang disampaikan dengan jelas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.
ii
ABSTRACT
TRI MUTIA RAHMAH, 1111013000046, Ronggeng in Banyumas Culture, in
Ronggeng Dukuh Paruk of a Novel by Ahmad Tohari and The Implication of Literature Learning in Senior High School “Objective Observation”, Faculty of Science a Teaching Tarbiyah, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta.
The purpose of this study is to describe ronggeng in Banyumas culture in the novel Ronggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari which is expected to be used as a learning material in school. Qualitative descriptive method is used in this research with literature objective approach. An analytical objective approach in this research concern on the culture and believe of the people toward ronggeng in the novel Ronggeng Dukuh Paruk. Based on the research, it is concluded that ronggeng in Banyumas culture, covered in the novel includes: 1) ronggeng function as art, i.e. ritual tradition, entertainment, and shows. 2) requirement to become Ronggeng, i.e. indang arwah (possession of) Ki Secamenggala, bathing ceremony in front of Ki Secamenggala grave, and bukak-klambu ceremony. 3) cultural function, i.e. as dancer, entertainer, and blessing bringer. 4) The people in Dukuh Paruk see the ronggeng as their own, a blessing bringer, and a symbol of their culture. But, people outside Dukuh Paruk seen the ronggeng as an entertainer, whore and prostitute. In Indonesian language and literature learning, this novel can be used as a learning material, so that student could built their character, critical thinking, respect among people, and able to understand the cultural and moral values described in the novel.
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan
skripsi yang berjudul ”Ronggeng dalam Kebudayaan Banyumas dalam Novel
Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap Sastra
di SMA ’Suatu Tinjauan Objektif’”. Salawat dan salam semoga tercurahkan
kepada Nabi Muhammad saw. yang menjauhkan kita dari jalan kegelapan.
Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan
gelar sarjana pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak
luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta
berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan.
2. Makyun Subuki, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia.
3. Dona Aji Karunia P., M.A., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia.
4. Ahmad Bahtiar, M. Hum., Dosen Pembimbing Skripsi atas motivasi,
nasihat, dan arahannya dalam membimbing penulis menyelesaikan
skripsi ini.
5. Dr. Nuryani, M.A., selaku Dosen Pembimbing Akademik.
6. Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang selama
ini telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan.
7. Mama (Kundari) dan Ayah (Ustama) atas limpahan kasih sayang yang
tiada henti, kesabaran yang tak berbatas, kepercayaan, dan motivasi
serta doa yang selalu menjadi sumber kekuatan penulis untuk fokus
iv
Reza Nur Rahman dan Widya Septyani atas motivasi yang telah
diberikan.
8. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas B angkatan 2011, terima
kasih atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis
dapatkan selama ini.
9. Yayah Fauziah, Sari Satriyati, Ai Suaibah, Indah Wardah, Devi
Aristiyani, dan Selviana Dewi, sahabat dan teman perjuangan yang
selalu memberikan semangat dan dukungannya kepada penulis.
10.Accounting Genks: Ilyus Alfaqih, Davit Tarmizi, Fiki Fadilah, Ribut
Setiawan, M. Fahrul Rozi, Mulyaningsih, Kristiana, dan Kinanti,
sahabat yang selalu menyemangati hingga terselesaikan penelitian ini.
11.Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang ikut
terlibat selama saya menyelesaikan proses penelitian skripsi ini.
Semoga kalian yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan partisipasi
kepada penulis, mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt, Aamiin.
Jakarta, 15 September 2015
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang ... 1
B.Identifikasi Masalah ... 5
C.Batasan Masalah ... 5
D.Rumusan Masalah ... 6
E. Tujuan Penelitian ... 6
F. Manfaat Penelitian ... 6
G.Metode Penelitian ... 7
1. Objek Penelitian ... 7
2. Sumber Data ... 7
3. Metode dan Pendekatan Penulisan ... 8
4. Teknik Pengumpulan Data ... 10
5. Teknik Analisis Data ... 10
6. Teknik Penulisan ... 11
BAB II LANDASAN TEORI ... 12
A. Hakikat Novel ... 12
vi
2. Jenis-Jenis Novel ... 13
3. Unsur-Unsur Pembangun Novel ... 14
B. Hakikat Penari Ronggeng ... 23
1. Hakikat Penari ... 23
2. Hakikat Ronggeng ... 26
a. Definisi Ronggeng ... 26
b. Proses Menjadi Ronggeng... 28
c. Pandangan Masyarakat Terhadap Ronggeng ... 30
C. Kebudayaan Jawa-Banyumas ... 30
D. Hakikat Pembelajaran Sastra... 33
E. Penelitian Relevan ... 36
BAB III TINJAUAN NOVEL ... 39
A. Biografi Ahmad Tohari ... 39
B. Pandangan Pengarang ... 40
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 43
A. Unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk ... 43
1. Tema ... 43
2. Tokoh dan Penokohan ... 44
3. Alur/Plot ... 63
4. Latar ... 73
5. Sudut Pandang ... 80
6. Bahasa dan Gaya Bahasa ... 82
7. Amanat ... 84
B. Ronggeng dalam Kebudayaan Banyumas ... 85
1. Fungsi Ronggeng Sebagai Kesenian ... 86
2. Syarat-Syarat Menjadi Ronggeng ... 89
3. Fungsi Ronggeng di Masyarakat ... 92
4. Pandangan Masyarakat Terhadap Ronggeng ... 96
vii
BAB V PENUTUP ... 104
A. Simpulan ... 104
B. Saran ... 104
1
Kehidupan yang dituangkan dalam karya sastra mencakup hubungan
manusia dengan masyarakat dan lingkungan, hubungan sesama manusia,
hubungan manusia dengan dirinya, dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Meskipun demikian, sastra tetap dianggap sebagai sebuah khayalan atau
imajinasi dari kenyataan. Sastra tidak akan semata-mata menyodorkan fakta
secara mentah. Sastra bukan sekadar tiruan kenyataan, melainkan kenyataan
yang ditafsirkan oleh pengarang dari kehidupan yang ada di sekitarnya. Jadi,
karya sastra adalah pengejewantahan kehidupan hasil pengamatan sastrawan
atas kehidupan di sekitarnya. Sastra bisa dikatakan kenyataan yang ditambah
dengan proses imajinasi atau hasil daya imajinasi yang disesuaikan dengan
kenyataan.
Karya sastra merupakan hasil cipta atau karya manusia yang bersifat
imajinatif. Sebagai hasil yang imajinatif, sastra berfungsi sebagai bahan
bacaan yang menyenangkan, di dalamnya sarat dengan nilai sosial, nilai
budaya, religi, dan filsafat. Nilai-nilai tersebut bermanfaat untuk menambah
kekayaan batin bagi permasalahan manusia. Pikiran dan gagasan dari seorang
pengarang yang dituangkan dengan segala perasaannya, kemudian disusun
menjadi sebuah cerita yang mengandung makna. Makna yang terkandung
dapat memberikan pelajaran kepada pembaca akan nilai sosial, budaya, religi,
dan filsafat. Nilai-nilai tersebut dapat dijadikan acuan dalam menjalani
kehidupan.
Karya sastra pun tidak lahir dalam situasi yang kekosongan
kebudayaan. Hal ini karena, pengarang merupakan bagian dari masyarakat,
yang di dalamnya terdapat berbagai masalah dan konflik. Oleh sebab itu, suatu
karya sastra yang diciptakan oleh pengarang tidak terlepas dari realita dalam
hanya untuk dinikmati sendiri, melainkan ada ide atau gagasan, pengalaman,
dan amanat serta nilai-nilai yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca. Pengarang berharap segala ide atau gagasan yang dituangkan dalam
karya sastranya dapat menjadi sebuah masukan sehingga pembaca dapat
mengambil nilai-nilai kehidupan dan mampu menginterpretasikannya dalam
kehidupan nyata. Setiap karya sastra yang diciptakan pengarang memiliki
misinya masing-masing. Salah satunya adalah mengemas kebudayaan menjadi
sebuah karya yang berbeda agar diketahui oleh semua pembacanya dan
memberikan pengalaman pengarang mengenai kebudayaan yang didapatkan
oleh pengarang dari lingkungannya.
Kebudayaan merupakan sebuah refleksi kebiasaan dari tingkah laku
manusia dalam bermasyarakat. Informasi-informasi yang diperoleh disertai
dengan pengalaman, kemudian dibentuk dalam sebuah kehidupan fiksi
berbentuk novel, yang mengetengahkan tokoh-tokoh dan menampakan
serangkaian peristiwa dan latar (setting) secara terstruktur serta membawa
unsur-unsur kebudayaan dalam karya sastra tersebut. Melalui tokoh-tokoh dan
beragam rangkaian cerita, pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari
pesan-pesan yang disampaikan atau diamanatkan. Pengarang berusaha agar
pembaca mampu memperoleh nilai-nilai tersebut dan bisa merefleksikannya
dalam kehidupan.
Nilai-nilai yang terdapat dalam sastra di antaranya nilai budaya. Dari
sebuah novel dapat diketahui nilai budaya yang ada dalam masyarakat
tertentu, baik budaya yang bersifat positif maupun budaya yang bersifat
negatif. Sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu manusia
dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk
kultural.1 Selain itu, nilai budaya juga dapat dilihat dari seni budaya daerah
tersebut, misalnya tarian dan penarinya. Tarian dalam suatu daerah memiliki
nilai tersendiri, baik itu nilai moral, agama, maupun nilai pendidikan. Dalam
1
hal ini, sebuah tarian yang dibawakan oleh penari mewakili kebudayaan
tersebut, baik itu tari untuk upacara maupun tari untuk hiburan. Setiap tarian
yang dibawakan oleh tiap daerah memiliki daya tarik dan ciri khas
masing-masing. Ciri khas tari dalam tiap daerah memberikan nilai lebih bagi seni
budaya daerah tersebut.
Sebagai salah satu contoh adalah kebudayaan Jawa yang digambarkan
dalam karya sastra yaitu dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari. Novel ini menggambarkan tentang kebudayaan Jawa yang telah lama
mengakar dalam masyarakat Indonesia. Salah satu cara suatu masyarakat
mencapai taraf hidupnya banyak sekali, dengan upacara-upacara keagamaan,
bahasa yang dilestarikan ataupun kebiasaan-kebiasaan dari sebuah karya
berupa pertunjukan. Banyak pengarang yang berasal dari budaya tertentu
memasukan unsur kebudayaan ke dalam karyanya, di antaranya Ahmad
Tohari yang berasal dari Banyumas yang terkenal dengan ronggeng-nya. Di
dalam karya ini, pengarang mengangkat ronggeng sebagai bentuk gambaran
dari kebudayaan yang menyangkut tentang upacara-upacara keagamaan,
kepercayaan, bahasa yang dilestarikan, ataupun kebiasaan-kebiasaan lain yang
menjadi ciri dari tarian daerah tersebut.
Bentuk kepekaan Ahmad Tohari terhadap lingkungan dan
kebudayaannya, dituangkan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Dalam
menulis karyanya, Ahmad Tohari mengajak para pembaca untuk melihat dan
mengetahui lebih rinci tentang keadaan sosial, politik, budaya, bahkan agama
dalam kebudayaan Jawa yaitu Banyumas. Gambaran yang ditunjukkan dalam
novel ini dijelaskan melalui seorang ronggeng, seperti pandangan masyarakat
terhadap dirinya, tugas dan syarat yang harus ditempuh oleh seorang
ronggeng. Semuanya itu dijelaskan dengan rinci dan tidak lupa mengaitkan
tentang keadaan sosial, politik, budaya bahkan religuitas masyarakat dalam
Penelitian ini menggunakan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari sebagai objek kajian. Nilai budaya dalam kebudayaan
masyarakat Banyumas menjadi hal yang menarik untuk dibahas dari novel ini.
Ahmad Tohari menuliskan pandangannya tentang seorang penari ronggeng
dalam budaya Jawa-Banyumas yang dilukiskan melalui tokoh yang ada di
dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk bercerita tentang sebuah desa bernama
Dukuh Paruk. Cerita ini bermula saat Srintil berusia lima bulan, kedua orang
tua beserta banyak penduduk desa lainnya meninggal dunia setelah memakan
tempe bongkrek buatan orang tua Srintil. Lalu, ia dibesarkan oleh kakek dan
neneknya, Sakarya dan Nyai Sakarya. Ketika Srintil berusia sebelas tahun,
kakeknya mendapati bahwa Srintil telah dianugerahi bakat supranatural
(indang) menjadi ronggeng. Srintil diresmikan sebagai ronggeng dukuh
tersebut dengan tata cara tradisional. Ini berarti dia menjadi barang milik
umum dan milik seluruh desa.2
Berdasarkan permasalahan tersebut, tentunya sebagai penulis, Ahmad
Tohari menggambarkan seorang ronggeng dalam kebudayaan Banyumasan
baik mengenai syarat-syarat yang harus ditempuh untuk menjadi ronggeng,
tugas seorang ronggeng, fungsi tarian ronggeng serta pandangan masyarakat
dalam novel tersebut terkait dengan ronggeng. Sebagai peneliti, penulis akan
menjelaskan terkait dengan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dengan
menggunakan suatu tinjauan objektif dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari. Sebagai karya yang berbicara mengenai keyakinan,
budaya, dan moral, maka novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
merupakan sebuah novel yang dianjurkan untuk dijadikan bahan ajar dalam
pembelajaran sastra. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah bertugas
memberikan pelajaran moral, agama, budaya kepada peserta didikannya.
2
Pembelajaran nilai budaya, agama dan moral bisa dilakukan dengan
memberikan pembinaan melalui karya sastra. Pada hakikatnya, novel
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari merupakan buku yang berisi
cerita yang menarik yang turut memberikan pengaruh dan peranan yang
sangat penting dalam pembentukan watak, perilaku, dan kepribadian anak.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat skripsi yang berjudul “Ronggeng dalam Kebudayaan Banyumas dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra
di SMA „Sutau Tinjauan Objektif’”.
B. Identifikasi Masalah
Di dalam penelitian ini, terdapat banyak hal yang harus diteliti yang
memerlukan pengidentifikasi masalah. Berikut identifikasi masalah yang
terdapat dalam penelitian ini adalah:
1. Belum adanya penelitian mengenai ronggeng dalam budaya Banyumas
yang berdasarkan tinjauan objektif dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari.
2. Kurangnya penggambaran mengenai budaya dan masyarakat Banyumas
dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
3. Sulitnya menciptakan proses belajar mengajar timbal balik antara guru dan
siswa.
4. Rendahnya minat siswa dalam mengapresiasi karya sastra dalam
pembelajaran Sastra di SMA.
5. Rendahnya pemahaman dan pengetahuan siswa dalam mengapresiasi
karya sastra, terutama novel.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
diuraikan, maka pembatasan masalah dalam penelitian ini hanya fokus pada
ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
objektif karya sastra, penelitian ini menggunakan novel Ronggeng Dukuh
Paruk karya Ahmad Tohari dalam pembelajaran sastra di SMA.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, pembatasan, identifikasi, dan batasan
masalah yang telah dijabarkan, maka rumusan masalah yang akan diteliti
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dengan pendekatan
objektif dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
2. Bagaimana implikasi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
terhadap pembelajaran sastra di SMA?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki sasaran yang sesuai dengan pemilihan judul
dan sebagai tujuan untuk memecahkan permasalahan yang ada. Sejalan
dengan rumusan yang ada, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
2. Mendeskripsikan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti memiliki beberapa manfaat,
baik secara teoritis maupun praktis. Berikut ini manfaat yang dapat diberikan
melalui penelitian ini:
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas ilmu
pengetahuan di bidang sastra, dan juga bermanfaat dalam pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia bagi para guru bahasa dan sastra Indonesia,
akademisi, dan masyarakat umum yang memiliki minat terhadap bahasa
2. Manfaat Praktis
a. Mengetahui sastra dengan melihat bagaimana ronggeng dalam
kebudayaan Banyumas dengan menggunakan objektif sastra dalam
novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
b. Sebagai bahan yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran
sastra Indonesia di SMA.
c. Sebagai motivasi dan referensi bagi para peneliti lain yang berminat
terhadap pembelajaran sastra Indonesia dalam melakukan penelitian
lebih lanjut.
G. Metodologi Penelitian 1. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam skripsi ini, yaitu novel Ronggeng Dukuh
Paruk karya Ahmad Tohari dengan mengkaji objek pembangun karya
tersebut dan ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dengan pendekatan
objektif karya sastra.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses
langsung dari sumbernya tanpa melalui perantara. Sumber data primer
dalam penelitian ini adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari terbitan Gramedia, Jakarta, 2012.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku serta
artikel-artikel yang membahas tentang karya sastra, hakikat penari,
hakikat ronggeng, kebudayaan Banyumas dan pembelajaran sastra
yang diperoleh dari sumber penunjang yang dijadikan alat untuk
3. Metode dan Pendekatan Penulisan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang
menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis
statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh objek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata
dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.3 Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan mengenai
situasi-situasi atau kejadian-kejadian.4
Penelitian deskriptif menuturkan dan menafsirkan data yang
berkenaan dengan fakta, keadaan, variabel, dan fenomena yang terjadi saat
penelitian berlangsung dan menyajikannya apa adanya. Metode penelitian
ini dapat juga digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang sesuatu
yang baru sedikit diketahui. Metode ini dapat memberi rincian yang
kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode lain.5
Metode deskriptif kualitatif berfokus pada penelitian secara langsung yang
diamati penulis dengan data-data sebagai sumber yang diteliti. Dalam
kaitan data, ini berarti sesuatu yang diberikan alam sebagai sumber
pengetahuan. Bukan petunjuk keabsahan pengetahuan. Data berfungsi
untuk menguji kebenaran teori.6 Metode kualitatif deskriptif melaporkan
apa yang diamati penulis, laporannya berisi pengamatan berbagai kejadian
dari interaksi yang diamati langsung oleh penulis dari tempat kejadian. Hal
3
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), h. 6.
4
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h. 76.
5
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.5.
6
ini disebut pengamatan langsung. Karena itu, sifat kejadiannya bersifat
spesifik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat objek
yang diteliti. Tujuan akhir tulisan kualitatif adalah memahami apa yang
dipelajari dari perspektif kejadian itu sendiri, dari sudut pandang
kejadiannya itu sendiri.7 Oleh sebab itu, metode kualitatif deskriptif
merupakan metode yang digunakan dalam penenlitian ini karena dapat
mengungkapkan hal-hal yang ingin peneliti kaji dalam sebuah
penelitiannya. Metode ini akan memberikan gambaran mengenai kejadian
atau interaksi yang sedang diamati oleh peneliti dalam sebuah
penelitiannya.
Junus dalam Siswanto menyatakan bahwa pendekatan objektif
adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada
karya sastra. Pembicaraan kesusastraan tidak akan ada bila tidak ada karya
sastra. Karya sastra menjadi sesuatu yang inti.8 Pendekatan objektif
merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apa pun yang
dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri.9 Dengan
demikian, pendekatan objektif merupakan pendekatan yang memusatkan
perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis
intrinsik. Selain itu, pendekatan objektif juga digunakan dalam melakukan
analisis terkait dengan representasi ronggeng dalam novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Peneliti akan mengulas tentang
ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dari segi objektif, acuan yang
digunakan dalam analisis tersebut bertumpu pada karya sastra itu sendiri.
Dari ulasan yang dijelaskan, maka metode dan pendekatan yang
digunakan sangat cocok untuk mendeskripsikan ronggeng dalam
kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
7
Ibid., h. 29 8
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 183. 9
Tohari, yakni fungsi ronggeng, syarat menjadi ronggeng dalam
kebudayaan Banyumas, fungsi ronggeng di masyarakat, dan pandangan
masyarakat mengenai ronggeng. Analisis ini menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan objektif. Hal inilah yang menjadi dasar
penulis menggunakan metode kualitatif dan pendekatan objektif dalam
menganalisis novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini dengan
cara:
a. Membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang
telah dipilih.
b. Menetapkan novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
sebagai objek penelitian dengan fokus penelitian tentang ronggeng dalam kebudayaan Banyumas “suatu tinjauan objektif” dalam novel tersebut.
c. Membaca ulang dengan cermat untuk mencari masalah yang terkait
dengan fokus penelitian.
d. Mencari dan memahami pendekatan dan teori yang cocok dengan
masalah yang akan diambil.
e. Mencari bahan atau sumber yang akan dijadikan referensi untuk
mendukung penelitian.
f. Melakukan analisis tentang ronggeng dalam kebudayaan Banyumas
dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
g. Menyimpulkan hasil penelitian.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Metode Analisis Isi
Metode analisis isi menitikberatkan pada penafsiran isi pesan.
adalah penfsiran. Apabila proses penafsiran dalam metode kualitaif
memberikan perhatian pada situasi alamiah, maka dasar penafsiran
dalam metode analisis isi memberikan perhatian pada isi pesan. Oleh
karena itu, metode analisis isi dilakukan dalam dokumen-dokumen
yang padat isi. Peneliti menekankan bagaimana memaknakan isi
komunikasi, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi dalam
peristiwa komunikasi. 10
b. Metode Deskriptif Analisis
Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk
menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan
data-data, jadi ia juga menyajikan data, menganalisis dan
menginterpretasi.11 Metode deskriptif analitik dilakukan degan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.12
Jadi, tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat penjelasan
secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta melalui
data-data tersebut. 6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian skripsi ini
merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN (Universitas Islam Negeri)
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
10
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.49.
11
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h. 44.
12
12
BAB II
LANDASAN TEORI A. Hakikat Novel
1. Definisi Novel
Novel merupakan bentuk sastra yang sudah lama berkembang di
Indonesia. Perkembangan novel ini ditandai dengan semakin banyaknya
jenis novel yang ada.1 Sedangkan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
menjelaskan novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung
rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya
dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
The novel is fictitious – fiction, as we often refer to it, it depicts
imaginary characters and situasions. A novel may include reference to
real place, people and events.2 Novel adalah fiktif—fiksi, seperti yang
sering terlihat, novel menggambarkan karakter dan situasi imajiner. Novel
dapat mengacu tempat yang nyata, orang-orang dan peristiwa. Novel
dihadirkan di tengah masyarakat, membentangkan segala permasalahan
hidup sekaligus menawarkan pemecahan masalah dan tak lupa sebagai
hiburan dalam masyarakat. Nilai-nilai yang ada dalam novel diharapkan
dapat mengembalikan manusia pada kebenaran. Seperti yang diungkapkan
oleh Chatman dalam Sofia, proses kelahiran karya sastra diprakondisikan
oleh kode sosial budaya yang melingkupi pengarang.3
Di dalam novel, permasalahan yang dihadapi oleh pelaku sangat
kompleks serta menggambarkan kehidupan pelaku sacara mendalam dan
detail. Hal ini diperkuat oleh ungkapan Stanton yang mengatakan bahwa
novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial
1
Erlis Nur Mujiningsih, dkk, Struktur Novel Indonesia Modern 1980-1990, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996), h. 1.
2
Jeremy Hawthorn, Studying the Novel An Introduction, (London: Great Britain, 1985), h. 1.
3
yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan
peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail.4
Novel sebagai karya fiksi, merupakan sebuah cerita yang di
dalamnya mengandung tujuan yang memberikan hiburan kepada para
pembacanya di samping adanya tujuan estetik. Meskipun berupa khayalan,
karya fiksi bukan berasal dari hasil lamunan semata, melainkan merupakan
karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi
kreativitas sebagai sebuah karya seni.
2. Jenis-Jenis Novel
Ada beberapa jenis novel dalam karya sastra. Jenis novel
mencerminkan keberagaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak
lain adalah pengarang novel. Burhan Nurgiyantoro membedakan novel
menjadi novel populer dan novel serius. 5
a. Novel Populer
Kayam dalam Nurgiyantoro menyatakan bahwa sebutan novel
populer, atau novel pop, mulai merebak sesudah suksesnya novel
Karmila dan Cintaku di Kampus Biru pada tahun 1970-an. Sesudah itu,
novel-novel hiburan, tidak peduli mutunya, disebut juga sebagai novel “novel pop”.6
Novel populer adalah novel yang popular pada masanya
dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja.
Novel populer lebih mudah dinikmati karena bertujuan untuk
memberikan hiburan dari cerita yang disampaikan dalam novel
tersebut. Novel populer bersifat sementara dan cepat ketinggalan
zaman. Oleh karena itu, ia lebih cepat dilupakan dengan munculnya
berbagai novel populer lainnya.
4
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 90. 5
Burhan Nugiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h. 20.
6
b. Novel Serius
Berbeda dengan novel populer, untuk memahami novel serius
dibutuhkan daya konsentrasi yang tinggi dan disetai dengan kemauan
untuk itu. Permasalahan yang diungkapkan dalam novel serius disoroti
dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat
universal. Nurgiyantoro mengungkapkan “Hakikat kehidupan dapat
bertahan sepanjang masa, tidak pernah zaman. Oleh karena itu, novel
yang pada umumnya sastra serius tetap menarik sepanjang masa, dan tetap menarik untuk dibicarakan.”7
Contoh novel serius adalah
Belenggu karya Armijn Pane dan Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari.
3. Unsur-Unsur Pembangun Novel
Salah satu unsur pembangun novel adalah unsur intrinsik. Unsur
intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.
Unsur intrinsik juga dapat diartikan sebagai unsur-unsur yang secara
langsung membangun karya sastra itu sendiri. 8 Soedjiono dalam Endah
Tri Priyatni menyatakan bahwa unsur intrinsik adalah unsur yang
berkaitan dengan eksistensi sastra sebagai struktur verbal yang otonom.9
Unsur intrinsik dalam sebuah novel terdiri dari tema, alur (plot),
penokohan (perwatakan), latar (setting), sudut pandang, dan amanat.
Berikut ini penjelasannya.
a. Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperanan
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan
yang diciptakannya.10 Aminudin yang dikutip oleh Siswanto
mengatakan bahwa seorang pengarang memahami tema cerita yang
akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan,
sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah
selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema
tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu
menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya. 11
b. Alur (Plot)
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa
pada sebuah cerita.12 Terdapat lima bagian tahapan alur menurut
Tasrif.13 Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tahapan situation atau tahap penyituasian, tahap yang terutama
berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh
cerita.
2) Tahap generating circumstances atau tahap pemunculan konflik,
masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya
konflik mulai dimunculkan.
3) Tahap rising action atau tahap peningkatan konflik, konflik yang
telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang
dan dikembangkan kadar intensitasnya.
4) Tahap climax atau tahap klimaks, konflik dan atau
pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada
para tokoh cerita mencapai titik intesitas puncak.
5) Tahap denouement atau tahap peyelesaian, tahap yang telah
mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan.
c. Penokohan (Perwatakan)
A novelist may use a character for purposes quite other than
characterization. A character may do ‘uncharacteristic’ things in
order to further the plot for the author; a character may be than we
learn something about him which pages of description could not give
11
Ibid., h. 161. 12
Stanton, Op. Cit, h. 26. 13
us.14 Seorang penulis dapat menggunakan karakter untuk tujuan lain, selain untuk karakterisasi. Karakter dapat dilakukan „seperti biasanya’ berbagai hal untuk melanjutkan plot penulis; dari karakter tersebut
pembaca dapat belajar sesuatu tentang penulis yang tidak dijelaskan
dan diberikan kepada pembaca.
Aminuddin yang dikutip oleh Siswanto menjelaskan tokoh
adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan
sehingga peristiwa menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan
menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam karya rekaan
selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah laku, atau watak-watak tertentu.
Pemberian watak pada tokoh suatu karya sastra disebut perwatakan. 15
Tokoh-tokoh cerita yang terdapat dalam sebuah novel dapat
dibedakan ke dalam beberapa jenis. Berikut penjelasannya.
1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak diceritakan
dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh yang lain, sehingga
sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.
Sementara itu, permunculan tokoh tambahan dalam keseluruhan
cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya
jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama. 16
2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi. Tokoh
protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai pandangan dan
harapan pembaca, sedangkan tokoh antagonis tokoh yang
menyebabkan terjadinya konflik dengan tokoh protagonis, baik
14
Hawthorn,Op. Cit , h. 48-51. 15
Siswanto, Op. Cit, h. 142-143. 16
secara langsung maupun tidak langsung, bersifat fisik maupun
psikis. 17
3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu
kualitas pribadi tertentu, satu sifat atau watak tertentu saja.
Dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih
menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena di
samping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia
juga sering memberikan kejutan. 18
4) Tokoh Kompleks dan Tokoh Simpel
Berdasarkan kompleksitas masalah yang dihadapi, tokoh
dibedakan atas tokoh simpel dan tokoh kompleks. Tokoh simpel
adalah tokoh yang tidak banyak dibebani masalah, sedangkan
tokoh kompleks adalah tokoh yang banyak dibebani masalah.
5) Tokoh Statis dan Tokoh Dinamis
Berdasarkan perkembangan watak tokoh, tokoh dibedakan
atas tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang
wataknya tidak mengalami perubahan mulai dari awal hingga akhir
cerita. Sedangkan tokoh dinamis adalah tokoh yang mengalami
perubahan dan perkembangan watak.19
d. Latar (Setting)
Abrams yang dikutip oleh Siswanto mengemukakan bahwa
latar cerita adalah tempat umum (generale locale), waktu kesejarahan
(historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumstances)
dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.
17
Ibid., h. 261-262. 18
Ibid., h. 265-267. 19
Latar cerita berguna bagi sastrawan dan pembaca. Bagi
sastrawan, latar cerita dapat digunakan untuk mengembangkan cerita.
Latar cerita dapat digunakan sebagai penjelas tentang tempat, waktu,
dan suasana yang dialami tokoh. Sastrawan juga bisa menggunakan
latar cerita sebagai simbol atau lambang bagi sastrawan yang telah,
sedang, atau akan terjadi. Bagi pembaca, latar cerita dapat membantu
untuk membayangkan tentang tempat, waktu, dan suasana yang
dialami tokoh. 20
e. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya.
Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat,
waktu dengan gayanya sendiri. Sudut pandang berkaitan dengan
unsur-unsur intrinsik novel yang lain: tokoh, latar, suasana, tema, dan
amanat. 21 Abrams dalam Nurgiyantoro menyatakan bahwa sudut
pandang, point of view, menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan.
Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi
kepada pembaca.
Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik,
siasat, yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan
dan cerita. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam cerita fiksi
memang milik pengarang, yang antara lain berupa pandangan hidup
dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam
cerita fiksi disalurkan lewat sudut pandang, lewat kacamata tokoh
cerita yang sengaja dikreasikan.22
20
Siswanto, Op. Cit, h. 151. 21
Ibid., h. 151 & 154. 22
Pembedaan sudut pandang berdasarkan pembendaan yang telah
umum dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona
ketiga dan persona pertama, dan ditambah persona kedua.
1) Sudut Pandang Persona Ketiga; “Dia” 23
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut
nama, atau kata ganti; ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita,
khususnya yang utama, kerap atau terus-menerus disebut, dan
sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal ini akan
mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang
diceritakan atau siapa yang bertindak.
Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang
terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat
bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat, mempunyai keterbatasan “pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya selaku pengamat saja.
Contoh novel yang menggunakan sudut pandang persona ketiga “dia” adalah Tarian Bumi karya Oka Rusmini, Merantau ke Deli
karya Hamka, dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
2) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”24
Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut
padang persona pertama, first-person point of view, “aku”, jadi:
gaya “aku” narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self-consciousness, mengisahkan peristiwa dan
tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan,
23
Ibid., h. 347-348. 24
seerta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Kita, pembaca, menerima apa yang diceritakan oleh si “aku”, maka kita hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang
dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut. Contoh karya fiksi yang menggunakan sudut pandang persona pertama “aku” adalah novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka, dan cerpen
Senyum karya Nugroho Notosusanto.
3) Sudut Pandang Persona Kedua: “Kau”25
Dalam berbagai buku teori fiksi (kesastraan) jarang
ditemukan (untuk tidak dikatakan tidak pernah) pembeicaraan tentang sudut pandang persona kedua atau gaya “kau” (second person point of view). Yang lazim disebut hanya sudut pandang
persona ketiga dan pertama. Namun, secara factual, sudut pandang
persona kedua tidak jarang ditemukan dalam berbagai cerita fiksi walau hanya sekadar sebagai selingan dari gaya “dia” atau “aku”. Artinya, dalam sebuah cerita fiksi tidak atau belum pernah
ditemukan yang dari awal hingga akhir cerita yang seluruhnya
menggunakan sudut pandang “kau”. Sudut pandang gaya “kau” merupakan pengisahan yang mempergunakan “kau” yang biasanya sebagai variasi cara memandang oleh tokoh aku dan dia.
Penggunaan teknik “kau” biasanya dipakai
“mengoranglain-kan” diri sendiri, melihat diri sendiri sebagai orang lain. Keadaan ini dapat ditemukan pada cerita fiksi yang disudutpandangi “aku” maupun “dia” sebagai variasi penuturan atau penyebutan. Hal itu dipilih tentu juga tidak lepas dari tujuan
menuturkan sesuatu dengan berbeda, yang asli, yang lain daripada
yang lain sehingga terjadi kebaruan cerapan indera atau
penerimaan pembaca. Intinya, untuk lebih menyegarkan cerita.
Contoh novel yang menggunakan sudut pandang persona kedua
adalah Suami karya Eddy Suhendro.
25
4) Sudut Pandang Campuran26
Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin
saja lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari
teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang
dituliskannya. Kesemuanya tergantung dari kemauan dan
kreativitas pengarang, bagaimana mereka memanfaatkan berbagai
teknik yang ada demi tercapainya efektivitas penceritaan yang
lebih, atau paling tidak untuk mencari variasi penceritaan agar
memberikan kesan lain. Pemanfaatan teknik-teknik tersebut dalam
sebuah novel misalnya, dilakukan dengan mempertimbangkan
kelebihan dan keterbatasan masing-masing teknik. Contoh novel
yang menggunakan sudut pandang campuran adalah Pulang karya
Leila S. Chudori, dan Supernova karya Dewi Lestari.
Dalam naratologi istilah fokalisasi menunjukkan hubungan
antara unsur-unsur cerita dengan visi yang meliputi unsur-unsur
tersebut. Fokus memberi jawaban terhadap pertanyaan “siapa melihat”,
sedangkan pengertian point of view menjawab pertanyaan “siapa
menceritakan”. Si juru cerita tidak selalu memaparkan pandangannya
sendiri. Dapat dibedakan fokalisasi zero yang menampilkan
peristiwa-peristiwa tanpa menonjolkan sudut bidik tertentu, fokalisasi intern
yang berpangkal pada seorang atau beberapa orang tokoh di dalam
cerita sendiri, dan fokalisasi ekstern yang menampilkan
peristiwa-peristiwa seperti dilihat oleh lensa kamera.27 Dengan demikian, dalam
sebuah narasi pembaca dapat melihat siapa yang bercerita melalui
sudut pandang, dan siapa yang melihat atau memandang dalam sebuah
narasi dengan menggunakan fokalisasi.
26
Ibid., h. 359. 27
f. Gaya Bahasa
Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Di pihak lain
sastra lebih sekadar bahasa, deretan kata, namun unsur “kelebihannya”-nya itu pun hanya dapat diungkapkan dan ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu,
sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana bahasa.
Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya, yaitu
komunikatif. 28
Abrams yang dikutip dalam Burhan Nurgiyantoro, stile, (style,
gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau
bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan
dikemukakan. Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti
pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif,
penggunaan kohesi, dan lain-lain. 29
Gaya bahasa merupakan efek seni dalam sastra yang
dipengaruhi juga oleh nurani. Melalui gaya bahasa itu seorang
sastrawan akan menuangkan ekspresinya. Betapa pun rasa jengkel dan
senangnya, jika dihubungkan dengan gaya bahasa akan semakin indah.
Berarti gaya bahasa adalah pembungkus ide yang akan menghaluskan
teks sastra. 30
Dengan demikian, bahasa yang digunakan dalam suatu karya
sastra merupakan sarana pengarang dalam mengekspresikan dan
mengungkapkan sesuatu kepada pembaca, tentu dengan gaya bahasa
yang menarik untuk melukiskan ide dan ungkapan tersebut secara apik.
g. Amanat
Nilai-nilai yang ada di dalam cerita bisa dilihat dari diri
sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan, nilai ini biasa
28
Nurgiyantoro, Op. Cit, h. 364. 29
Ibid., h. 369. 30
disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra;
pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau
pendengar. 31
B. Hakikat Penari Ronggeng 1. Hakikat Penari
Penari adalah alat ekspresi komunikasi koreografer dengan
penonton melalui gerak tubuh. Penari mempunyai peran dan kontribusi
besar dalam menciptakan keindahan bentuk tari. Sebuah koreografi
didukung oleh penari berkualitas mendukung pencapaian kualitas artistik
dan keindahan bentuk tari. Jacqueline Smith menegaskan bahwa
penampilan penari merupakan hal penting yang mendukung penyajian
karya tari. Penampilan penari yang memperkuat komposisi tari,
penampilan penari dalam membawakan tari dengan penuh semangat dan
sepenuh hati, menguasai teknis, mampu mewujudkan imajinasi dan isi
gerak seperti kehendak koreografer, mampu berkomunikasi dengan
penonton, mampu menaati gaya tari dari awal sampai akhir menari. 32
Fungsi seni pertunjukan (seni tari) dalam kehidupan manusia
secara garis besar dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:
a. Tari sebagai Sarana Upacara Ritual33
Tari upacara memiliki peranan penting dalam kegiatan adat,
khususnya kegiatan yang berkaitan dengan daur hidup seperti
kelahiran, kedewasaan dan kematian. Tari juga digunakan untuk
mempengaruhi alam lingkungan, hal ini menyangkut sistem
kepercayaan masyarakat. Upacara yang berkaitan dengan sistem
kepercayaan ini erat kaitannya dengan keidupan manusia. Dalam
upacara tradisioanl umumnya memiliki makna dan tujuan untuk
31
Siswanto, Op. Cit, h 162. 32
Novi Anoegrajekti, Estetika Sastra, Seni, dan Budaya¸ (Jakarta: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, 2008), h. 186-187.
33
Frahma Sekarningsih dan Heny Rohayani, Pendidikan Seni Tari dan Drama,
menghormati, mensyukuri, memuja dan memohon keselamatan pada
Tuhan.
Upacara tradisional mengandung aturan-aturan yang wajib
dipatuhi oleh setiap warga masyarakat pendukungnya. Aturan-aturan
dalam upacara tradisional tumbuh dan berkembang secara
turun-temurun dengan tujuan untuk melestarikan kehidupan masyarakat.
Umumnya peraturan ini mempunyai sanksi dalam bentuk
magic-sacral. Dengan demikian upacara ini merupakan pranata sosial yang
berfungsi sebagai sosial kontrol terhadap tingkah laku atau pergaulan
yang berlaku di masyarakat.
Seni tari untuk keperluan ritual harus mematuhi kaidah-kaidah
yang telah turun-temurun menjadi tradisi. Kaidah-kaidah tari yang
berfungsi sebagai sarana upacara ritual memilki ciri-ciri khas yakni
harus diselenggarakan pada hari dan saat tertentu yang kadang-kadang
dianggap sakral, penarinya pun dipilih orang-orang tertentu biasanya
mereka yang dianggap suci atau yang telah membersihkan diri secara
spiritual, dan adakalanya disertai berbagai sesaji di tempat-tempat
tertentu. Beberapa contoh tari yang berfungsi atau digunakan sebagai
upacara ritual yang dilaksanakan dalam masyarakat, yaitu:
1) Tari Bedhaya Ketawang di Jawa Tengah digunakan sebagai
upacara penobatan raja dan hari ulang tahun raja.
2) Tari Seblang di Banyuwangi (Jawa Timur) digunakan sebagai
upacara ritual kesuburan.
3) Tari Mapeliang dari Sulawesi sebagai tari upacara kematian.
4) Tari Seju Kajo No gawi di daerah Timor Timur dilaksanakan pada
acara pembuatan rumah.
5) Tari Makaria digunakan untuk mengiringi upacara permohonan
berkat untuk semua usaha atau pun dalam acara keramaian pesta
6) Tari Rejang adalah tari wanita Bali yang berfungsi sebagai tari
penyambutan kedatangan para dewa yang diundang untuk turun ke
pura, yang kemudian disusul dengan Tari Baris.
b. Fungsi Tari sebagai Hiburan34
Seni tari sebagai saran hiburan disajikan untuk kepentingan
menghibur masyarakat. Dalam hal ini seni tari digunakan dalam
rangka memeriahkan suasana pesta hari perkawinan, khitanan,
syukuran, peringatan hari-hari besar, nasional, dan
peresmian-peresmian gedung. Seni tari dalam acara-acara tersebut sebagai
ungkapan rasa senang dan bersyukur yang diharapkan akan
memberikan hiburan bagi orang lain. Masyarakat yang diundang atau
hadir dalam acara ini pada dasarnya mempunyai keinginan untuk
menghibur diri atau rekreasi.
Tari hiburan juga disebut tari bergembira yang berfungsi
sebagai media pengungkapan rasa kegembiraan. Ungkapan
kegembiraan ini dapat dilakukan dengan cara menari bersama. Semua
orang yang terlibat di dalamnya sebagai penari. Tari hiburan dapat
dikatakan pula sebagai tari pergaulan yang lebih sering dibawakan
secara berpasangan, walaupun ada kalanya yang ditarikan tidak secara
berpasangan. Di bawah ini beberapa contoh tari hiburan, yaitu:
1) Tari Manjau dari Tanjungkarang-Telukbetung, sebagai tari
pergaulan yang menggambarkan percintaan.
2) Tari Martomdur dari Simalungun Sumatera Utara, tari berpasangan
sebagai tari hiburan muda-mudi.
3) Tari Ketuk Tilu, Bangreng, Tayub dari Jawa Barat sebagai tari
pergaulan.
4) Tari Calonarang dari Bali.
5) Tari Gandrung Banyuwangi dari Jawa TImur.
c. Fungsi Tari sebagai Pertunjukan35
34
Ibid., h. 11. 35
Tari pertunjukan atau disebut juga tari tontonan
pelaksanaannya disajikan khusus untuk dinikmati. Tari yang berfungsi
sebagai pertunjukan ini dapat diamati pada pertunjukan tari untuk
kemasan pariwisata, untuk penyambutan tamu-tamu penting atau tamu
pejabat, dan untuk festival seni. Pertunjukan tari yang digunakan pada
acara-acara tersebut penggarapannya sudah dikemas dan dipersiapkan
menjadi sebuah tari bentuk yang telah melewati suatu proses penataan,
baik gerak tarinya maupun musik iringannya sesuai dengan
kaidah-kaidah artistiknya. Berikut contoh tarian pertunjukan:
1) Tari Panji, tari Rumyang, tari Samba, tari Tumenggung dan tari
Klana, tari Kupu Tarung, dan tari Topeng Kencana Wungu.
Tari-tarian ini termasuk ke dalam rumpun tari Topeng Cirebon dan
Topeng Priyangan.
2) Tari Subandra, tari Srikandi, tari Arjuna, tari Gatotkaca, tari
Jayengrana, tari Gandamanah, tari Badaya, tari Srimpi dan banyak
lagi yang lainnya. Kelompok tarian ini dari rumpun tari wayang.
3) Tari Merak, tari Sulintang, tari Sekarputri, tari Ratu Graeni, tari
Anjasmara, tari Kandagan, tari Kupu-Kupu, tari Topeng Koncaran,
dan lain-lain. Tari-tarian ini adalah karya-karya R. Tjetje Somantri.
4) Tari Lanyepan, tari Kawitan, tari Gawil, tari Ngalana, tari
Gunungsari, Kastawa ialah rumpun tari Keurseus.
5) Tari Wayang Wong, Dramatari Arja, tari Janger, tari Pendet dan
lain sebagainya adalah tari-tarian yang ada di Bali.
2. Hakikat Ronggeng a. Definisi Ronggeng
Tari-tarian Jawa dapat digolongkan di antara bentuk kesenian
yang tinggi dan halus dan yang sesuai dengan watak serta suasana
Jawa. Kata-kata lain yang digunakan untuk membedakan konteks,
bagaimana tari-tarian Jawa dipertunjukkan: apabila beksa untuk
menunjukkan koreografi klasik yang sangat distilisasi, maka kata kerja
sedikit banyak spontan. Kata benda thandak sering digunakan sebagai
ekuivalen untuk kata talèdhèk atau ronggèng, yaitu perempuan penari
bayaran yang berkelana bersama rombongan kecil pemain musik,
bermain di tempat-tempat terbuka, di pinggir-pinggir jalan, atau
sebagai pertunjukan hiburan bagi tamu laki-laki dalam pesta tayuban.
Corak tari-tarian demikian dihubungkan dengan suasana gairah
asmara, biasanya ditarikan berdua-dua oleh perempuan penari dengan
laki-laki pasangannya. Tari-tarian yang dihubungkan dengan kata
thandak dan tayuban itu didasarkan kepada gerak-gerik yang termasuk
tarian Jawa, tetapi diperagakan dengan sifat spontan, dan semaunya,
yang tidak mungkin atau tidak diterima oleh koreografi klasik.36
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan terdapat
tiga kata yang memiliki makna yang sama dengan ronggeng, yaitu: (1)
ronggeng dari bahasa Jawa yang sama artinya dengan tandak yaitu
penari perempuan yang diiringi gamelan—meronggeng berarti
menandak atau menari; (2) joget yang berarti: (a) tari, (b) tandak atau
ronggeng, (c) berjoget berarti menari; (3) tandak berarti: (a) tari Jawa
yang dilakukan oleh perempuan, (b) tandak berarti penari perempuan
atau ronggeng, dan (c) bertandak, menandak, berarti menari.37
Sebuah tarian hiburan yang ditarikan berpasangan oleh pria dan
wanita dewasa. Dalam tarian ini penari wanita mengajak
penonton/tamu pria untuk menari bersama dengan jalan menyerahkan
selendangnya kepada salah seorang tamu. Pria yang kemudian menari
bersama ronggeng tersebut disebut ngibing. Bila akan berhenti menari
tamu pria tersebut harus memberikan sumbangan uang kepada penari
wanita yang mengajaknya menari dan menyerahkan kembali
selendangnya. Demikian terjadi berganti-ganti pasangan.38 Taledhek
36
Clara Brekel dan Papenhuyzen, Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan Peristilahannya, (Jakarta: ILDEP-RUL, 1991), h. 12-15.
37
Ibid., h. 31. 38
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedi Tari Indonesia Seri P-T,
penari atau tari wanita pada pertunjukan tayuban , juga masih banyak
di desa-desa, meskipun sudah jarang yang menjajakan tarian di pasar
atau di pinggir jalan. Di beberapa daerah penari ini disebut pula
ronggeng atau tandak. Di daerah Banyumas tari jenis tayuban disebut
lengger. 39
Dalam daerah kebudayaan Bagelen, yaitu di Kedu maupun di
Bagelen, para penari taledhek disebut ronggeng. Seorang penari
ronggeng sudah mulai menari sejak berusia antara delapan sampai
sepuluh tahun. Seorang penari anak-anak seperti itu biasanya anak
gadis ketua rombongan tersebut. Menarikan tarian taledhek serta
menyanyikan nyanyian anak-anak (dolanan lare). Rakyat di daerah itu
menyebut penari ronggeng yang masih anak-anak itu lengger. Seorang
lengger belum tentu menjadi seorang ronggeng bila sudah menjadi
dewasa, akan tetapi sebaliknya seorang ronggeng biasanya berasal dari
lengger.40
Sebagaimana diketahui secara luas bahwa pada umumnya
kehidupan sebagai taledhek atau ronggeng diidentikan dengan
kehidupan wanita sebagai pelacur, yang setiap saat menjual diri untuk
kaum lelaki yang menginginkannya. Meskipun tidak semuanya
demikian, namun telah menjadi pengertian umum di masyarakat,
sehingga penilaian terhadap taledhek atau ronggeng menjadi turun, dan
lebih jauh lagi terhadap tari yang dibawakannya.41
b. Proses Menjadi Ronggeng
Seorang penari ronggeng atau lengger ketika menari harus
mempunyai indhang. Indhang adalah roh halus yang dapat merasuki
orang dan memberikan kekuatan tertentu kepada orang tersebut. Ia
dapat mencapai suatu tindakan yang melebihi kemampuan
39
Soedarsono, Kesenian, Bahasa, dan Foklor Jawa, (Yogyakarta: Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986),h. 87.
40
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 221. 41
manusiawinya. Adanya indhang dalam kesenian ini merupakan mitos
masyarakat Banyumas. Mitos merupakan sebuah keyakinan,
kepercayaan yang ada dalam kehidupan masyarakat dan sebagai hasil
kebudayaan yang menjadi tradisi sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Masyarakat Banyumas mayoritas memeluk agama Islam, namun tidak
meninggalkan tradisi leluhur seperti ziarah ke makam yang dianggap
leluhur. Mereka berdoa dan memohon kepada Tuhan agar yang
meninggal dapat diampuni segala dosa-dosanya, diberikan tempat
hidup yaitu surga, serta memohon sesuatu untuk dirinya. Untuk itu,
mereka membawa bunga tabur (kembang) sebagai tanda bahwa bunga
dapat menjadi media agar doanya dapat sampai kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Keyakinan atau kepercayaan masyarakat Banyumas terhadap
fenomena indhang masih tinggi terutama bagi mereka yang menggeluti
seni pertunjukan atau kesenian rakyat. Tanpa kehadiran indhang
pertunjukan tersebut tidak seru, artinya kurang greget, bahkan tidak
menarik untuk ditonton. Sehingga banyak kelompok seni yang
berusaha untuk dapat menghadirkan indhang sebagai salah satu syarat
mutlak apabila mereka mengadakan pementasan.42
Pada saat pementasan agar indhang secara cepat dapat
merasuki penari, maka ritus yang harus dilaksanakan yakni
menyediakan sesaji sebelum pentas, melantunkan syair tembang khusus disebut “mantra”. Dalam beberapa waktu kemudian penari akan merasakan kekuatan yang begitu hebat merasukinya. Indhang
yang datang adalah indhang yang baik. Wajah penari seketika menjadi
lebih cantik dan memiliki kekuatan yang sangat kuat. Hal ini
ditunjukkan dengan cara penari menyanyi dan menari selama
berjam-jam. Penari yang sudah dirasuki indhang juga memiliki kekuatan untuk
menyembuhkan orang yang sedang sakit dengan cara mencium
42
keningnya. Banyak masyarakat sekitar yang anaknya sedang sakit
diajak menonton agar nanti dapat disembuhkan oleh penari.43
c. Pandangan Masyarakat Terhadap Ronggeng
Masyarakat Jawa pada dasarnya terbagi menjadi dua golongan
yaitu wong cilik (rakyat kecil) dan wong gedhe (priyayi). Hubungan
kedua kelompok ini selalu dibingkai oleh budi pekerti yang khas baik
melalui bahasa maupun tindakan. Hakikat hubungan masyarakat Jawa
adalah perwujudan pergaulan sosial yang tanpa mementingkan diri
sendiri. Kepentingan kolektif jauh lebih penting dibanding hanya
mementingkan kebutuhan pribadi. Itulah sebabnya, kebersamaan yang
diterapkan dalam tuntunan budi pekerti gotong royong atau
tolong-menolong menjadi hal yang istimewa. 44
Seorang ronggeng dalam masyarakat Jawa merupakan milik
kolektif, sehingga mementingkan kepentingan orang lain daripada diri
sendiri menjadi tanggungan dan akibat yang harus ditanggung seorang
ronggeng. Selain itu berdasarkan penggolongan yang telah dijelaskan
di atas, seorang ronggeng biasanya memiliki kedudukan tinggi dalam
status sosial masyarakat di daerahnya. Keberterimaan itu yang
menyebabkan ronggeng dapat dengan mudah mendapatkan perhatian
lebih dari masyarakat. Tetapi, tidak jarang ronggeng dikait-kaitkan
dengan pandangan negatif seperti dianggap sebagai sundal. Hal ini
tentu memberikan citra negatif terhadap ronggeng.
C. Kebudayaan Jawa-Banyumas
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah yang berarti „budi’ atau „akal’. Kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.” Ada pendirian lain mengenai asal dari kata “kebudayaan” itu, ialah bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal.
43
Ibid. 44
Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan berarti
keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan
belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.45 Kebudayaan
mempunyai tiga aspek, yaitu: kebudayaan sebagai tata kelakuan manusia,
kebudayaan sebagai kelakuan manusia itu sendiri, dan kebudayaan sebagai
hasil kelakuan manusia.
Pada hakikatnya warna lokal itu ialah realitas sosial budaya suatu
daerah yang ditunjuk secara langsung oleh fiksionalitas suatu karya. Secara
intrinsik dalam struktur karya sastra, warna lokal selalu dihubungkan dengan
unsure pembangkitnya, yaitu latar belakang, penokohan, gaya bahasa, dan
suasana. Dalam konteks sastra sebagai sistem tanda, warna lokal selalu
dikaitkan dengan kenyataan hidup itu ialah kenyataan sosial budaya dalam arti
luas, yang antara lain berkomponen aspek adat-istiadat, agama, kepercayaan,
sikap dan filsafat hidup, kesenian, hubungan sosial, struktur sosial, atau sistem
kekerabatan.46
Perbedaan antara adat dan kebudayaan adalah soal lain, dan
bersangkutan dengan konsepsi bahwa kebudayaan itu mempunyai tiga wujud,
ialah: 1) wujud ideal, 2) wujud kelakuan, dan 3) wujud fisik. Adat adalah
wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap wujud itu dapat kita sebut adat
tata-kelakuan, karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Adat dapat
dibagi lebih khusus dalam empat tingkat, ialah 1) tingkat nilai-budaya, 2)
tingkat norma-norma, 3) tingkat hukum, dan 4) tingkat aturan khusus.47
Mulder menyatakan bahwa masyarakat Jawa pada umumnya
menganggap kemunggalan dan keharmonisan hubungan manusia dengan
Tuhan sebagai cermin model bagi hubungan antara manusia dengan manusia
lain di masyarakat. Bagi orang Jawa, kemunggalan berarti keteraturan,
ketentraman, dan keseimbangan. Hal yang dapat diramalkan kesopanan dan
keharmonisan di antara bagian-bagian, baik secara perseorangan maupun
45
Koentjaraningrat, Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan,
(Jakarta: PT Gramedia, 2008), h. 9. 46
Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 69. 47