• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Hakikat Penari Ronggeng

2. Hakikat Ronggeng

Tari-tarian Jawa dapat digolongkan di antara bentuk kesenian yang tinggi dan halus dan yang sesuai dengan watak serta suasana Jawa. Kata-kata lain yang digunakan untuk membedakan konteks, bagaimana tari-tarian Jawa dipertunjukkan: apabila beksa untuk menunjukkan koreografi klasik yang sangat distilisasi, maka kata kerja

sedikit banyak spontan. Kata benda thandak sering digunakan sebagai ekuivalen untuk kata talèdhèk atau ronggèng, yaitu perempuan penari bayaran yang berkelana bersama rombongan kecil pemain musik, bermain di tempat-tempat terbuka, di pinggir-pinggir jalan, atau sebagai pertunjukan hiburan bagi tamu laki-laki dalam pesta tayuban.

Corak tari-tarian demikian dihubungkan dengan suasana gairah asmara, biasanya ditarikan berdua-dua oleh perempuan penari dengan laki-laki pasangannya. Tari-tarian yang dihubungkan dengan kata

thandak dan tayuban itu didasarkan kepada gerak-gerik yang termasuk tarian Jawa, tetapi diperagakan dengan sifat spontan, dan semaunya, yang tidak mungkin atau tidak diterima oleh koreografi klasik.36

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menjelaskan terdapat tiga kata yang memiliki makna yang sama dengan ronggeng, yaitu: (1)

ronggeng dari bahasa Jawa yang sama artinya dengan tandak yaitu penari perempuan yang diiringi gamelanmeronggeng berarti menandak atau menari; (2) joget yang berarti: (a) tari, (b) tandak atau

ronggeng, (c) berjoget berarti menari; (3) tandak berarti: (a) tari Jawa yang dilakukan oleh perempuan, (b) tandak berarti penari perempuan atau ronggeng, dan (c) bertandak, menandak, berarti menari.37

Sebuah tarian hiburan yang ditarikan berpasangan oleh pria dan wanita dewasa. Dalam tarian ini penari wanita mengajak penonton/tamu pria untuk menari bersama dengan jalan menyerahkan selendangnya kepada salah seorang tamu. Pria yang kemudian menari bersama ronggeng tersebut disebut ngibing. Bila akan berhenti menari tamu pria tersebut harus memberikan sumbangan uang kepada penari wanita yang mengajaknya menari dan menyerahkan kembali selendangnya. Demikian terjadi berganti-ganti pasangan.38 Taledhek

36

Clara Brekel dan Papenhuyzen, Seni Tari Jawa: Tradisi Surakarta dan Peristilahannya, (Jakarta: ILDEP-RUL, 1991), h. 12-15.

37

Ibid., h. 31. 38

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedi Tari Indonesia Seri P-T,

(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jakarta, 1986), h. 41.

penari atau tari wanita pada pertunjukan tayuban , juga masih banyak di desa-desa, meskipun sudah jarang yang menjajakan tarian di pasar atau di pinggir jalan. Di beberapa daerah penari ini disebut pula

ronggeng atau tandak. Di daerah Banyumas tari jenis tayuban disebut

lengger. 39

Dalam daerah kebudayaan Bagelen, yaitu di Kedu maupun di Bagelen, para penari taledhek disebut ronggeng. Seorang penari

ronggeng sudah mulai menari sejak berusia antara delapan sampai sepuluh tahun. Seorang penari anak-anak seperti itu biasanya anak gadis ketua rombongan tersebut. Menarikan tarian taledhek serta menyanyikan nyanyian anak-anak (dolanan lare). Rakyat di daerah itu menyebut penari ronggeng yang masih anak-anak itu lengger. Seorang

lengger belum tentu menjadi seorang ronggeng bila sudah menjadi dewasa, akan tetapi sebaliknya seorang ronggeng biasanya berasal dari

lengger.40

Sebagaimana diketahui secara luas bahwa pada umumnya kehidupan sebagai taledhek atau ronggeng diidentikan dengan kehidupan wanita sebagai pelacur, yang setiap saat menjual diri untuk kaum lelaki yang menginginkannya. Meskipun tidak semuanya demikian, namun telah menjadi pengertian umum di masyarakat, sehingga penilaian terhadap taledhek atau ronggeng menjadi turun, dan lebih jauh lagi terhadap tari yang dibawakannya.41

b. Proses Menjadi Ronggeng

Seorang penari ronggeng atau lengger ketika menari harus mempunyai indhang. Indhang adalah roh halus yang dapat merasuki orang dan memberikan kekuatan tertentu kepada orang tersebut. Ia dapat mencapai suatu tindakan yang melebihi kemampuan

39

Soedarsono, Kesenian, Bahasa, dan Foklor Jawa, (Yogyakarta: Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986),h. 87.

40

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 221. 41

Ben Suharto, Tayub: Pertunjukan dan Ritus Kesuburan, (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia arti.line, 1999), h. 74-75.

manusiawinya. Adanya indhang dalam kesenian ini merupakan mitos masyarakat Banyumas. Mitos merupakan sebuah keyakinan, kepercayaan yang ada dalam kehidupan masyarakat dan sebagai hasil kebudayaan yang menjadi tradisi sejak zaman dahulu sampai sekarang. Masyarakat Banyumas mayoritas memeluk agama Islam, namun tidak meninggalkan tradisi leluhur seperti ziarah ke makam yang dianggap leluhur. Mereka berdoa dan memohon kepada Tuhan agar yang meninggal dapat diampuni segala dosa-dosanya, diberikan tempat hidup yaitu surga, serta memohon sesuatu untuk dirinya. Untuk itu, mereka membawa bunga tabur (kembang) sebagai tanda bahwa bunga dapat menjadi media agar doanya dapat sampai kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Keyakinan atau kepercayaan masyarakat Banyumas terhadap fenomena indhang masih tinggi terutama bagi mereka yang menggeluti seni pertunjukan atau kesenian rakyat. Tanpa kehadiran indhang

pertunjukan tersebut tidak seru, artinya kurang greget, bahkan tidak menarik untuk ditonton. Sehingga banyak kelompok seni yang berusaha untuk dapat menghadirkan indhang sebagai salah satu syarat mutlak apabila mereka mengadakan pementasan.42

Pada saat pementasan agar indhang secara cepat dapat merasuki penari, maka ritus yang harus dilaksanakan yakni menyediakan sesaji sebelum pentas, melantunkan syair tembang khusus disebut “mantra”. Dalam beberapa waktu kemudian penari akan merasakan kekuatan yang begitu hebat merasukinya. Indhang

yang datang adalah indhang yang baik. Wajah penari seketika menjadi lebih cantik dan memiliki kekuatan yang sangat kuat. Hal ini ditunjukkan dengan cara penari menyanyi dan menari selama berjam- jam. Penari yang sudah dirasuki indhang juga memiliki kekuatan untuk menyembuhkan orang yang sedang sakit dengan cara mencium

42

Wien Pudji Priyanto, Jurnal “Representasi Indhang dalam Kesenian Lengger di Banyumas”, (Jurusan Pend. Seni Tari FBS-UNY).

keningnya. Banyak masyarakat sekitar yang anaknya sedang sakit diajak menonton agar nanti dapat disembuhkan oleh penari.43

c. Pandangan Masyarakat Terhadap Ronggeng

Masyarakat Jawa pada dasarnya terbagi menjadi dua golongan yaitu wong cilik (rakyat kecil) dan wong gedhe (priyayi). Hubungan kedua kelompok ini selalu dibingkai oleh budi pekerti yang khas baik melalui bahasa maupun tindakan. Hakikat hubungan masyarakat Jawa adalah perwujudan pergaulan sosial yang tanpa mementingkan diri sendiri. Kepentingan kolektif jauh lebih penting dibanding hanya mementingkan kebutuhan pribadi. Itulah sebabnya, kebersamaan yang diterapkan dalam tuntunan budi pekerti gotong royong atau tolong- menolong menjadi hal yang istimewa. 44

Seorang ronggeng dalam masyarakat Jawa merupakan milik kolektif, sehingga mementingkan kepentingan orang lain daripada diri sendiri menjadi tanggungan dan akibat yang harus ditanggung seorang ronggeng. Selain itu berdasarkan penggolongan yang telah dijelaskan di atas, seorang ronggeng biasanya memiliki kedudukan tinggi dalam status sosial masyarakat di daerahnya. Keberterimaan itu yang menyebabkan ronggeng dapat dengan mudah mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat. Tetapi, tidak jarang ronggeng dikait-kaitkan dengan pandangan negatif seperti dianggap sebagai sundal. Hal ini tentu memberikan citra negatif terhadap ronggeng.

Dokumen terkait