• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk

3. Alur/Plot

Alur yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari adalah campuran. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel ini dikisahkan tidak secara mutlak lurus-kronologis atau sebaliknya sorot balik. Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif tetapi di dalamnya, betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot balik.24 Cerita dimulai ketika Srintil hendak menjadi ronggeng, lalu

flashback ke peristiwa orang tua Srintil yang meracuni orang Dukuh Paruk

24

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013), cet. 10. H. 215.

akibat tempe bongkreknya yang mengandung racun. Lalu cerita kembali ke proses Srintil menjadi ronggeng, hingga akhirnya Rasus meninggalkan Dukuh Paruk karena kecewa setelah Srintil menjadi ronggeng, itulah awal mula konflik terjadi. Puncak konflik terjadi ketika selama beberapa bulan ditinggal Rasus, Srintil enggan naik pentas dan melayani pria yang datang. Srintil justru asyik merawat Goder anak Tampi, namun ketika akhirnya Srintil memutuskan untuk naik pentas kembali, Srintil justru terlibat ke dalam PKI. Setelah bebas dari penjara, terjadi flashback dengan sedikit menceritakan bagaimana kehidupan Srintil dua tahun di penjara.

Lalu, penurunan konflik terjadi ketika indang ronggeng telah menghilang dan Srintil memutuskan untuk berhenti meronggeng dan ingin membangun rumah tangga. Namun, cerita ini dibuat dengan akhir cerita yang menggantung karena ketika Srintil gila akibat dikecewakan oleh Bajus yang ternyata tidak bisa menikahinya. Srintil diajak berobat oleh Rasus. Namun pengarang membiarkan akhir cerita ini menggantung, membiarkan pembaca untuk menerka-nerka sendiri bagaimana kelanjutan hubungan Srintil dengan Rasus.

Secara umum, rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut dijelaskan melalui tahapan sebagai berikut:

a. Tahap Penyituasian

Tahapan situation atau tahapan penyituasian, tahap yang menjelaskan atau memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, tahapan ini di mulai dengan menjelaskan tokoh-tokoh di dalamnya, dan tahapan ketika indang

ronggengmemasuki ke dalam diri Srintil. Seperti pada kutipan berikut: “Menjelang tengah malam barangkali hanya Sakarya yang masih termangu di bawah lampu minyak yang bersinar redup. Sakarya, kamitua di pedukuhan terpencil itu, masih merenungi ulah cucunya sore tadi. Dengan diam-diam Sakarya mengikuti gerak- gerik Srintil ketika cucunya itu menari di bawah pohon nangka.

Sedikit pun Sakarya tidak ragu, Srintil telah kerasukan indang

ronggeng.”25

Kutipan di atas menjelaskan tahap penyituasian memperkenalkan tokoh Srintil yang pandai menari karena telah kerasukan indang ronggeng, dan memperkenalkan tokoh Sakarya, kakek dari Srintil yang merupakan kamitua di Dukuh Paruk. Selain menggambarkan tentang tokoh, tahap penyituasian juga menggambarkan tentang situasi atau latar dalam novel

Ronggeng Dukuh Paruk. Latar yang memperkenalkan novel tersebut adalah Dukuh Paruk yang penuh dengan seloroh cabul, yang tidak terganggu dengan kemiskinan dan kebodohan yang menimpa warganya yang tidak akan lengkap tanpa ada ronggeng di dalamnya. Seperti pada kutipan berikut:

“Tak seorang pun menyalahkan Sakarya. Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya. Gambaran tentang Dukuh Paruk dilengkapi oleh ucapan orang luar yang senang berkata misalnya, “jangan mengabadikan kemeralatan seperti orang Dukuh Paruk.” Atau, “Hai, anak-anak, pergilah mandi. Kalau tidak nanti kupingmu mengalir nanah, kakimu kena kudis, seperti anak-anak Dukuh Paruk!”26

Tahapan ini juga dimulai dengan sedikit flashback tentang kejadian keracunan tempe bongkrek Santayib dan Istrinya yang merupakan orang tua Srintil. Peristiwa menceritakan bagaimana proses Srintil dan Rasus menjadi yatim-piatu. Seperti pada kutipan di bawah ini:

“Srintil adalah seorang yatim-piatu, sisa sebuah malapetaka, yang membuat banyak anak Dukuh Paruk kehilangan ayah-ibu…. Alam membisu mendengar ratap Sakarya. Dukuh Paruk bungkam. Hanya kadang terdengar keluh sakit. Atau tangis orang-orang yang menyaksikan saudara meregang nyawa. Bau bunga sedap malam dikalahkan oleh asap kemenyan yang

25

Tohari, Op. Cit, h. 15 26

mengepul dari semua rumah di Dukuh Paruk, pedukuhan yang berduka ketika Srintil genap berusia lima bulan.”27

b. Tahap Pemunculan Konflik

Tahap pemunculan konflik atau tahap generating circumstances, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Dalam novel ini, tahap pemunculan konflik dimulai ketika proses Srintil menjadi ronggeng hingga menjadi ronggeng. Tahap ini, Srintil mulai melalui tahapan menjadi ronggeng yaitu dimulai dengan upacara pemandian di makam Ki Secamenggala dan sayembara

bukak-klambu. Kedua tahapan yang harus dilalui Srintil sebagai seorang ronggeng membuat Rasus kecewa karena Srintil nantinya akan menjadi milik umum dan tidak bisa dimiliki oleh Rasus yang saat itu belum menjadi apa-apa. Seperti pada kutipan berikut:

“Kartareja menari makin menjadi-jadi. Berjoget dan melangkah makin mendekati Srintil. Tangan kirinya melingkari pinggang Srintil. Menyusul tangannya yang kanan. Tiba-tiba dengan kekuatan yang mengherankan Kartareja mengangkat tubuh Srintil tinggi-tinggi. Menurunkannya kembali dan menciumi ronggeng itu penuh berahi…. Aku melihat tontonan itu tanpa perasaan apa pun kecuali kebencian dan kemarahan. Tak terasa tanganku mengepal. Hanya itu, karena aku tak bertindak apa-apa. Tak berani berbuat apa-apa. Dan Kartareja terus menciumi Srintil tanpa peduli puluhan pasang mata melihatnya.”28

Kutipan tersebut menggambarkan adanya pemunculan konflik ketika Srintil melakukan upacara pemandian di makam Ki Secamenggala dan Srintil harus menari dengan Kartareja yang saat itu sedang kerasukan arwah Ki Secamenggala. Melihat itu Rasus merasa amat kecewa dan benci melihatnya karena seorang diperlakukan seperti itu di muka umum. Tetapi Rasus yang saat itu masih remaja tidak bisa berbuat apa-apa.

Hingga akhirnya, ketika Srintil sudah menjadi penari ronggeng terkenal, Rasus pergi meninggalkan Dukuh Paruk karena sampai kapan

27

Ibid., h. 21&31. 28

pun juga Rasus tidak bisa memiliki Srintil yang saat ini sudah menjadi milik umum. Seperti pada kutipan berikut:

“….Memang Dukuh Paruk memberi kesempatan kepadaku mengisi bagian hati yang kosong dengan seorang perawan kecil bernama Srintil. Tidak lama, sebab sejak peristiwa malam bukak- klambu itu Srintil diseret keluar dari dalam hatiku. Dukuh Paruk bertindak semena-mena kepadaku. Aku bersumpah tidak akan memaafkannya.

Jadi ketika Dukuh Paruk bergembira ria dengan suara calung dan joget Srintil yang telah resmi menjadi ronggeng aku malah mulai membencinya. Pengikat yang membuatku mencintai Dukuh Paruk telah direnggut kembali….”29

Kutipan di atas menggambarkan sebab pemunculan konflik yaitu, ketika Srintil telah resmi menjadi ronggeng dan Rasus merasa kecewa terhadap Dukuh Paruk karena dengan resminya Srintil menjadi ronggeng, berarti Rasus tidak bisa memiliki Srintil yang saat itu telah menjadi milik umum.

c. Tahap Peningkatan Konflik

Tahap peningkatan konflik atau tahap rising action, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk

tahap peningkatan konflik terjadi setelah Rasus pergi meninggalkan Srintil. Padahal saat itu Srintil ingin dinikahi oleh Rasus, namun Srintil patah hati karena Rasus tetap pergi meninggalkannya. Hal ini yang menyebabkan hubungan Srintil dengan dukun ronggengnya merenggang karena Srintil terus-terusan menolak tawaran untuk menari, seperti pada kutipan berikut:

“Sebetulnya aku bisa mengerti mengapa Srintil senang terhadap Rasus. Pokoknya tak ada yang salah. Persoalannya bila

29

Srintil terus murung dan menolak kembali naik pentas. Dukuh Paruk jadi sepi. Itu saja yang kusayangkan.”30

Kutipan di atas, terjadi peningkatan konflik ketika Srintil enggan naik pentas. Hal ini membuat orang Dukuh Paruk kecewa, sehingga Nyai Kartareja melakukan segala cara untuk mengubur perasaan Srintil kepada Rasus agar bisa naik pentas kembali. Tetapi, hal itu gagal dan justru malah membuat Srintil malas menari dan pergi plesiran bersama Pak Marsusi. Akibat perlakuan Srintil yang menolak pentas dan menolak ajakan Pak Marsusi membuat Nyai Kartareja marah karena Srintil telah menolak sebuah kalung emas dengan bandul berlian. Seperti pada kutipan berikut:

“Oalah, toblas, beginilah caramu membalas budi kami, ya! Kami berdua telah memberimu jalan sehingga kamu mendapatkan

kamukten. Tetapi inilah imbalan yang kami terima; dipermalukan habis-habisan oleh Pak Marsusi. Anak Santayib, dasar cecurut kamu!

“Dan kamu bertingkah menolak sebuah kalung seratus gram? Merasa sudah kaya? Bila kamu tidak suka kalung itu, mestinya bisa kau ambil untukku. Dan kau layani Pak Marsusi karena semua orang toh tahu kau seorang ronggeng dan sundal.”31

Kutipan di atas menunjukkan peningkatan konflik, karena Nyai Kartareja sangat marah akibat perlakuan Srintil terhadap Pak Marsusi. Semenjak kejadian itu, Srintil yang biasa tidur di rumah Kartareja, dukun ronggengnya, kini Srintil kembali ke rumahnya. Dan hubungan Srintil dan dukun ronggengnya menjadi kurang baik.

d. Tahap Klimaks

Tahap klimaks atau tahap climax, konflik dan atau pertentangan- pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik puncak. Dalam novel ini, tahapan klimaks terjadi ketika Srintil mulai menari kembali menjadi ronggeng. Ketika puncak ketenaran Srintil sebagai seorang ronggeng diakui oleh umum,

30

Ibid., h. 115. 31

Srintil harus menelan pahitnya hidup karena Srintil dianggap terlibat dengan PKI karena kedekatan Srintil dan orang Dukuh Paruk dengan Pak Bakar, seperti pada kutipan di bawah ini:

“Nyai Kartareja segera memperbaiki hubungannya dengan Srintil, pertama-tama dengan berusaha mengaku bersalah dalam peristiwa Marsusi beberapa minggu berselang. Perubahan sikapnya terhadap Srintil sangat nyata. Dia tidak ber-kamu lagi terhadap ronggeng Dukuh Paruk yang telah sekian lama menjadi anak akuannya, Nyai Kartareja kini memanggil Srintil dengan sebutan

jenganten atau setidaknya sampean; suatu pertanda bahwa kedewasaan, tepatnya, kemandirian Srintil telah diakuinya.”32

“Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di mana-mana, ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas. Bukan di tempat-tempat orang berhajat, melainkan di tengah rapat umum, baik siang atau malam hari. Karena sering berada di tengah rapat rombongan ronggeng Dukuh Paruk mengenal Pak Bakar; orang yang selalu berpidato berapi-api. Pak Bakar dari Dawuan yang amat pandai berbicara, sudah beruban tetapi semangatnya luar biasa…. Waktu itu kita disebut sebagai kelompok seniman rakyat. Padahal kita tidak pernah mengumumkan apa pun. Kemudian ada satu kejadian; aku dilarang membakar kemenyan dan memasang sesaji. Yang menyebut kita seniman rakyat dan melarangku memasang sesaji dialah orangnya. Pak Bakar. Aku tahu pasti. Kini orang itu malah sering datang kemari. Bagaimana, ya?”33

Kutipan tersebut menunjukkan adanya konflik yang terjadi ketika Srintil tengah di puncak kejayaannya. Srintil dan orang Dukuh Paruk dianggap mempunyai ketelibatan dengan peristiwa kerusuhan yang dilakukan oleh orang-orang suruhan Pak Bakar. Akibat adanya pertentangan atau konflik yang terjadi, maka Srintil harus ditahan di penjara selama dua tahun karena dianggap terlibat. Hal ini membuat Dukuh Paruk bersedih dan membuat keguncangan di hati Srintil, karena baik Srintil maupun orang Dukuh Paruk tidak mengerti akan lambang- lambang dan pidato-pidato yang diucapkan oleh Pak Bakar. Selama ini orang Dukuh Paruk dan Srintil hanya mengerti tentang ronggeng, calung, dan Ki Secamenggala. Seperti pada kutipan berikut:

32

Ibid., h. 179. 33

“….Srintil kembali menari dengan semangat luar biasa. Dia tidak peduli lagi apakah menari demi keramaian rapat sesuai dengan roh sejati seorang ronggeng. Dengan tarian yang lebih berani dan menantang Srintil merasa sedang membalas serangan orang-orang bercaping hijau atas nama Dukuh Paruk, atas nama arwah Ki Secamenggala yang makamnya baru saja dirusak orang. Sakum menemukan kembali cirinya; membakar setiap pentas dengan seruan-seruan yang jitu dan cabul. Bahkan Sakum ikut berteriak lantang ketika dalam pidatonya Bakar mengucapkan kata- kata serangan terhadap kaum bercaping hijau.”34

Kutipan di atas menunjukkan adanya keterlibatan antara orang Dukuh Paruk dengan rapat-rapat Pak Bakar, tetapi orang Dukuh Paruk melakukan itu karena terprovokasi akibat rusaknya makam Ki Secamenggala. Hal ini yang membuat orang Dukuh Paruk, khususnya Srintil dan rombongan ronggeng harus ditahan karena terlibat dengan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Seperti pada kutipan berikut:

“Tentang orang yang mengepung Dukuh Paruk akan kami selidiki. Tetapi di luar masalah itu ada hal penting yang akan kami sampaikan buat kalian berdua. Bahwa saudara Kartereja dan saudara Srintil termasuk orang-orang yang harus kami tahan. Ini perintah atasan. Dan kami hanya melaksanakan tugas.”

Srintil mendengar seluruh ucapan Komandan. Kata-kata itu menjadi masukan yang ternyata amat sulit dijabarkan menjadi pengertian dan kesadaran. Ketika pengertian itu baru muncul samar, jiwanya menampik dengan keras. Seluruh proses yang terjadi pada diri Srintil memerlukan tenaga ekstra. Jantung berdenyut lebih cepat dan darah terpusat pada otak dan pusat-pusat saraf. Wajah Srintil pucat tidak kebagian darah. Tangan dan kakinya berkeringat dingin, dan Srintil tergagap dalam upaya menggapai dirinya kembali.”35

Kutipan di atas menggambarkan konflik yang menimpa tokoh Srintil karena diduga keterlibatannya dengan PKI. Hal ini membuat Dukuh Paruk semakin terpuruk dan orang Dukuh Paruk sulit diterima keberadaannya di tengah masyarakat. Bahkan, hingga Srintil dibebaskan dari penjara setelah ditahan selama dua tahun. Orang-orang di luar Dukuh

34

Ibid., h. 236. 35

Paruk masih takut untuk menegur atau menyapa Srintil karena takut disangka terlibat seperti Srintil. Hal ini membuat batin Srintil terguncang dan sering murung sejak kepulangannya dari tahanan.

e. Tahap Penyelesaian

Tahap penyelesaian atau tahap denouement, tahap yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tahap penyelesaian dibuat dengan akhir cerita yang menggantung. Tahap ini dimulai ketika Srintil mulai diterima kembali oleh masyarakat karena kedekatannya dengan Bajus. Telah terbang indang ronggeng pada diri Srintil. Kedekatan Srintil dengan Bajus memberi harapan kepada Srintil akan keinginannya untuk menjadi ibu rumah tangga atau perempuan somahan, seperti pada kutipan berikut:

“Betul! Andaikan dipaksa meronggeng pun sampean bakal tidak laku. Burung indang telah terbang dari kurungan. Indang

ronggeng kini tidak ada pada tubuh sampean.”36

“Srintil merasakan perubahan itu dari wajah-wajah yang dilihatnya sehari-hari. Kadar kecurigaannya tidak lagi menjadi warna utama pada setiap pasang mata. Dan kenyataan bahwa Srintil sering digandeng oleh orang yang punya peran penting dalam pembangunan pengairan, Bajus, mempengaruhi pandangan orang kepadanya….”37

Setelah masyarakat menerima kembali kehadiran Srintil, seakan membuka harapan baru bahwa Srintil bisa menjadi istri Bajus. Namun, ternyata Bajus tidak bisa menikahi Srintil dan justru membuat Srintil semakin terpuruk hingga kehilangan kesadarannya karena Bajus menipu Srintil dengan mengenalkan Srintil dengan Blengur. Srintil diminta Bajus untuk memenuhi permintaannya menemani Blengur. Ketika Srintil menolak, Srintil mendapatkan Bajus bersikap dan berkata amat kasar hingga membuat Srintil terpuruk ke bagian dirinya yang paling dasar. Penyelesaian dalam cerita ini dibuat menggantung karena ketika Srintil

36

Ibid., h. 335. 37

gila akibat ditipu oleh Bajus, Rasus pulang ke Dukuh Paruk dan sangat marah karena mengetahui perempuan yang sangat dicintainya gila. Seperti pada kutipan berikut:

“Terasa urat-urat pengikat semua sendi tubuhku melemah. Apa yang tertangkap oleh mata amat sulit kucerna menjadi pengertian dan kesadaran. Srintil yang demikian kusut dengan celana kolor sampai ke lutut serta kaus oblong yang robek-robek. Srintil yang hanya menoleh sesaat kepadaku lalu kembali berbicara sendiri. Dan pelita kecil dalam kamar itu melengkapi citra punahnya kemanusiaan pada diri bekas mahkota Dukuh Paruk itu.”38

Dengan demikian, alur campuran dalam novel Ronggeng Dukuh

Paruk karya Ahmad Tohari memiliki kesatupaduan dengan berbagai

peristiwa dan konflik serte keterikatan satu dengan yang lain dengan seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan pengarang. Penggunaan alur campuran dalam novel ini menggambarkan kesatupaduan sehingga terjalin padu mulai dari tahap penyituasian hingga tahap penyelesaian. Penggunaan alur campuran ini pula yang menyebabka pembaca mengetahui dengan jelas berbagai sebab dan akibat peristiwa yang terjadi di dalam novel tersebut. Misalnya, tahap penyituasian yang dimulai dengan masuknya indang ke dalam tubuh Srintil lalu pengarang mengajak pembaca flashback untuk melihat bagaimana Srintil yang masih bayi harus ditinggal oleh orang tuanya karena mereka telah meracuni warga Dukuh Paruk dengan tempe bongkrek buatannya. Setelah itu, pembaca diajak kembali untuk mengetahui bagaimana kehidupan Srintil yang begitu dikagumi dan dimanjakan setelah dia dinobatkan menjadi seorang ronggeng, padahal akibat kejadian tempe bongkrek tersebut warga Dukuh Paruk enggan untuk berdekatan dengan Srintil tetapi setelah Srintil menjadi ronggeng, mereka justru memanjakan Srintil karena dianggap sebagai titisan arwah Ki Secamenggala yang dapat membawa keberkahan bagi warga Dukuh Paruk.

38

Dokumen terkait