• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk

4. Latar

Latar dibagi menjadi tiga, yaitu: latar waktu, latar tempat, dan latar sosial.

a. Latar Waktu

Latar waktu menunjukkan kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Apabila dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi di dalam novel, maka dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk

karya Ahmad Tohari, latar waktu dimulai pada tahun 1946, pada tahun itu Srintil baru berusia lima bulan dan harus kehilangan orang tuanya, Santayib akibat peristiwa keracunan tempe bongkrek. Seperti pada kutipan di bawah ini:

“Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946. Semua penghuni pedukuhan itu telah tertidur pulas, kecuali Santayib, ayah Srintil. Dia sedang mengakhiri pekerjaannya malam itu….” 39

Latar waktu yang terjadi dalam novel ini pada tahun 1960, yaitu ketika Rasus mulai berkenalan dengan Sersan Slamet dan ditunjuk menjadi tobang hingga akhirnya Rasus resmi menjadi tentara karena pada tahun wilayah Kecamatan Dawuan sedang tidak aman dan sering terjadi perampokan. Seperti pada kutipan berikut:

“Tahun 1960 wilayah Kecamatan Dawuan tidak aman. Perampokan dengan kekerasan senjata sering terjadi. Tidak jarang para perampok membakar rumah korbannya. Aku yang selalu tidur di sudut pasar Dawuan mulai merasa takut….”40

Latar waktu juga terjadi ketika mulai maraknya pawai-pawai hingga pidato-pidato partai, yaitu pada tahun 1964-1965-an. Pada masa itu, Srintil sering meronggeng sebagai seniman rakyat pada pidato-pidato yang diadakan oleh orang-orang Pak Bakar. Seperti pada kutipan di bawah ini: 39 Ibid., h. 21. 40 Ibid., h. 90.

“….Kemudian berkumandanglah Genjer-Genjer, sebuah lagu daerah yang entah mengapa menguasai udara tanah air pada tahun 1964 itu. Semangat dan kegembiraan pengunjung terbakar kembali. Banyak orang bangkit dari tempat duduk agar bisa lebih leluasa bertepuk tangan atau bahkan ikut tarik suara. Suasana sungguh meriah membahana.”

“Pada tahun 1964 itu Dukuh Paruk tetap cabul, sakit, dan bodoh. Perubahan kecil hanya menyangkut Srintil, Sakarya, dan Kartareja. Rumah mereka berkapur, bahkan berjendela kaca. Kartareja bisa mempunyai lampu pompa, demikian juga Sakarya. Selebihnya adalah Dukuh Paruk yang sudah dikenal orang dari generasi ke generasi….”

“….Pada tahun 1965 itu siapa pun tahu kelompok petani mana yang suka berpawai atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kepala seperti itu.”41

Selanjutnya latar waktu yang menunjukkan tahun 1970-an, yaitu setelah peristiwa besar itu terjadi dan setelah Srintil dibebaskan dari tahanan. Pada tahun tersebut, Dukuh Paruk dan sekitarnya mulai mengenal dunia yang lebih luas, yang lebih modern dari desa itu sendiri. Pada tahun tersebut banyak orang-orang Jakarta yang datang ke Dukuh Paruk untuk membangun saluran irigasi di daerah mereka. seperti pada kutipan di bawah ini:

“Memasuki tahun 1970 kehidupan di wilayah Kecamatan Dawuan berubah gemuruh oleh deru truk-truk besar berwarna kuning serta buldoser dari berbagai jenis dan ukuran. Truk-truk kuning mengangkut tanah yang dikeruk dari bukit-bukit untuk menimbun wilayah-wilayah rendah yang akan dilalui jalur pengairan. Buldoser menggali atau meratakan tanah siang-malam, kadang tidak berhenti selama dua puluh empat jam. Orang Dawuan dan sekitarnya berkesempatan melihat para pekerja yang kebanyakan berasal dari daerah lain….”

“Februari 1971 adalah mangsa kasanga dalam pranata mangsa yang dianut oleh orang Dukuh Paruk. Sepanjang hari, bahkan kadang juga pada waktu malam, udara terasa sangar,

panas. Angin sering bertiup amat kencang merontokkan dedaunan,

41

mematahkan pelepah pisang, dan mematahkan batang bambu muda….”42

Kutipan di atas menunjukkan adanya perubahan waktu serta perubahan latar sosial yang terjadi, percampuran antara budaya lain yang masuk ke Dawuan dan sekitarnya membuat orang-orang lupa akan peristiwa yang telah mencoreng namaSrintil dan Dukuh Paruk. Hal ini tampak dari banyaknya orang-orang dari daerah lain, baik dari Jakarta ataupun daerah sekitarnya. Sesuai dengan perkembangan zaman dan seiring dengan masuknya budaya luar ke Dawuan dan Dukuh Paruk mengakibatkan banyak anak muda sekitar Dawuan dan Dukuh Paruk yang mengikuti gaya, perilaku, dan pakaian orang-orang yang bekerja tersebut. Hal ini pula yang menyebabkan mereka terralih perhatiannya dan melupakan peristiwa kisruh PKI yang telah mencoreng nama Srintil dan Dukuh Paruk. Srintil mulai diterima kembali dan mereka mulai bersikap baik kepada Srintil setelah Bajus, orang yang bukan sekadar pekerja rendahan pada proyek pembangunan irigasi mendekati Srintil. Srintil merasa dengan Bajus mendekatinya, orang-orang mulai menerima kembali dirinya dan memaafkan kesalahannya, meski Srintil bukan lagi seorang ronggeng.

b. Latar Tempat

Latar tempat menunjukkan lokasi di mana peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam sebuah karya fiksi. Penggambaran latar tempat yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari salah satunya adalah Dukuh Paruk. Dukuh Paruk adalah sebuah pedukuhan yang terpencil, miskin dan melarat di dekat Kecamatan Dawuan, Banyumas. Warganya banyak yang tidak bersekolah, sehingga banyak yang buta huruf. Mereka hanya mengandalkan diri sebagai petani yang bekerja di lahan orang lain. Dukuh Paruk masih sangat miskin dan terpencil, tidak terjamah oleh daerah luar. Dukuh Paruk menjadi tempat yang paling sering

42

muncul karena sesuai dengan judul novel tersebut yakni, Ronggeng Dukuh Paruk. Seperti pada kutipan berikut:

“Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh Paruk telah tujuh bulan kerontang. Sepasang burung bangau itu takkan menemukan genangan air meski hanya selebar telapak kaki. Sawah berubah menjadi padang kering berwarna kelabu. Segala jenis rumput, mati. Yang menjadi bercak- bercak hijau di sana-sini adalah kerokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik. Tumbuhan jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu kemarau berjaya.”43

Dukuh Paruk dalam novel ini digambarkan sebagai tempat kelahiran Srintil, di mana kepercayaan akan Ki Secamenggala hidup di dalamnya, mitos-mitos serta serapah cabul menjadi hal yang biasa bagi orang Dukuh Paruk. Dalam kutipan tersebut menunjukkan Dukuh Paruk yang kala itu sedang kemarau panjang yang menyebabkan orang Dukuh Paruk sulit untuk menemukan air sehingga sawah kering dan mereka hanya bisa memakan singkong sebagai makanan utamanya. Di Dukuh Paruk, Srintil pertama kali menjadi ronggeng ketika kakeknya melihat dia sedang menari di bawah pohon nangka dengan diiringi suara calung buatan yang dibuat oleh Rasus dan teman-temannya.

Selain Dukuh Paruk, latar tempat yang digunakan dalam novel ini adalah pasar Dawuan. Dawuan adalah salah satu kecamatan di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Pasar Dawuan adalah daerah luar Dukuh Paruk, adat dan kebiasaanya amat berbeda dengan Dukuh Paruk. Di pasar Dawuan tempat Rasus untuk menetap sementara setelah dia kabur dari Dukuh Paruk, dan di sana pula tempat bertemu kembali dengan Srintil setelah Srintil resmi menjadi ronggeng. Seperti pada kutipan di bawah ini:

“Di pasar Dawuan pula suatu kali aku dapat melihat Srintil yang datang berbelanja dengan Nyai Kartareja. Sebelum ronggeng

43

itu mendekat aku telah tahu kehadirannya dari celoteh orang-orang di pasar itu.”44

Selanjutnya, selain di pasar Dawuan latar tempat dalam novel ini juga terjadi di Alaswangkal yaitu, tempat ketika Srintil seorang ronggeng yang kala itu diminta untuk menjadi gowok bagi Waras, anak laki-laki Sentika. Seperti pada kutipan berikut:

“Babak demi babak terus berlanjut. Alaswangkal yang biasa sepi tersembunyi di belakang hutan jati dan ladang singkong jadi semarak oleh irama calung. Dan sorak-sorai warganya yang malam itu berkumpul di halaman rumah Sentika, menonton Srintil berjoget….”45

Kutipan di atas menunjukkan latar tempat dalam novel ketika Srintil diminta untuk meronggeng dan menjadi gowok yaitu, di Alaswangkal. Selanjutnya, selain di Alaswangkal, latar tempat lain yang digunakan dalam novel ini adalah Eling-eling. Eling-eling adalah tempat Srintil selama kurang lebih dua tahun ditahan di tahanan karena diduga terlibat dalam PKI, seperti pada kutipan di bawah ini:

“Tengah malam Februari 1966 di sebuah kota kecil di sudut tenggara Jawa Tengah. Kegelapan yang mencekam berlangsung setengah tahun lamanya. Tak ada orang keluar setelah matahari terbenam kecuali para petugas keamanan: tentara, polisi, dan para militer….”

“…. Di sana ada sebuah bangunan besar, tinggi, dan beratap seng. Dahulu bangunan itu adalah bagian dari sebuah kompleks pabrik minyak kelapa. Sekarang bangunan itu berisi ratusan atau ribuan tahanan yang berasal dari seluruh pelosok Kabupaten Eling-eling.”46

Dengan demikian, latar tempat yang digunakan dalam novel

Ronggeng Dukuh Paruk adalah Dukuh Paruk sebagai tempat yang paling banyak digunakan di dalam novel. Dukuh Paruk yang merupakan sebuah desa terpencil, miskin, melarat yang berada di dekat Kecamatan Dawuan, 44 Ibid., h. 81. 45 Ibid., h. 217. 46 Ibid., h. 247 & 266.

Banyumas, Jawa Tengah. Warganya banyak yang tidak sekolah sehingga kemiskinan dan kebodohan sangat kental kaitannya dengan Dukuh Paruk. Selain Dukuh Paruk, latar yang digunakan adalah pasar Dawuan yang menjadi tempat pembeda dari Dukuh Paruk. Norma dan nilai moral yang terdapat di pasar Dawuan amat berbeda dengan Dukuh Paruk. Pasar Dawuan merupakan salah satu pasar yang terdapat di Kecamatan Dawuan, Banyumas, Jawa Tengah, Pasar Dawuan menjadi tempat pelarian Rasus sebelum akhirnya Rasus diangkat menjadi tentara.

c. Latar Sosial

Latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat dalam karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir masyarakat, dan juga status sosial tokohnya. Seperti dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, masyarakatnya memiliki kebiasaan hidup dan adat istiadat yang amat keras, sumpah serapah menjadi hal yang biasa di Dukuh Paruk, kata-kata cabul juga menjadi hal yang biasa untuk diucapkan, sumpah serapah itu bukan suatu hal yang tabu untuk diucapkan bagi orang Dukuh Paruk, hal ini karena, kebodohan dan kemiskinan masih lekat dengan Dukuh Paruk. Seperti pada kutipan berikut:

“Tak seorang pun menyalahkan pikiran Sakarya. Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya.”47

Kutipan di atas menjelaskan tentang masyarakat sosial Dukuh Paruk yang belum terjamah oleh dunia luar, sehingga kepercayaan akan mitos-mitos dan keramat Ki Secamenggala sangat lekat di dalamnya. Kebiasaan masyarakatnya yang tidak mau ambil pusing ini juga ditunjukkan ketika ada seorang suami misalnya, tidak perlu ribut bila suatu saat menangkap basah istrinya sedang tidur dengan laki-laki tetangga,

47

suami tersebut telah tahu apa yang harus diperbuatnya yaitu melakukan hal yang sama kepada istri tetangganya, seperti pada kutipan di bawah ini:

“…. Di sana, seorang suami misalnya, tidak perlu berkelahi bila suatu saat menangkap basah istrinya sedang tidur bersama laki-laki tetangga. Suami tersebut telah tahu cara bertindak yang lebih praktis; mendatangi istri tetangga dan menidurinya. Habis segala urusan! Tanah airku yang kecil itu hanya mengajarkan pengertian moral tanpa tetek-bengek. Buktinya, siapa anak siapa tidak pernah menjadi nilai yang kaku dan pasti, oleh karenanya tidak pernah menimbulkan urusan….”48

Status sosial di Dukuh Paruk juga amat terlihat, seperti keberterimaan mereka dengan adanya seorang ronggeng. Seorang ronggeng akan dianggap sebagai seorang yang amat disegani dan disukai baik oleh laki-laki maupun perempuan. Meski dengan konotasi yang negatif sekali pun, seorang ronggeng akan tetap dipuja oleh masyarakat tersebut, karena tanpa ronggeng dan calungnya Dukuh Paruk akan sepi dan tidak akan dinilai apa-apa. Seperti pada kutipan berikut:

“Aku bersembunyi di balik onggokan singkong dan karung- karung. Semua pedagang di pasar memperlakukan Srintil sebagai orang istimewa. Penjual pakaian menawarkan baju merah saga dengan harga luar biasa tinggi. Kalau tidak dicegah oleh pengiringnya, Nyai Kartareja, Srintil akan membayarnya. Tanpa menawar. Penjual benda manik-manik mengangkat dagangannya. Sebuah cermin ditawarkannya kepada Srintil. Kali ini Nyai Kartareja tidak menghalangi ronggeng itu membeli kaca itu bersama beberapa bungkus pupur dan minyak wangi.”49

Kutipan di atas menunjukkan status sosial Srintil menjadi tinggi ketika dia telah menjadi seorang ronggeng. Semua orang memperlakukan Srintil dengan istimewa dan semua orang selalu ingin memanjakan ronggeng itu.

Dengan demikian, kebodohan, kemiskinan, dan kebiasaan hidup dan adat istiadat yang amat keras, sumpah serapah yang menjadi hal biasa

48

Ibid., h. 85. 49

di Dukuh Paruk yang menjadi latar sosial dalam novel Ronggeng Dukuh

Paruk. Kepercayaan akan mitos-mitos dan keramat Ki Secamenggala juga

menjadi bagian dari latar sosial dalam novel tersebut. Kepercayaan dan keramat Ki Secamenggala menyebabkan warga Dukuh Paruk percaya bahwa seorang ronggeng akan memberikan keberkahan bagi Dukuh Paruk. Ronggeng dianggap sebagai titisan dari arwah Ki Secamenggala sehingga ronggeng di Dukuh Paruk memiliki kedudukan yang tinggi. Ronggeng merupakan gairah dari kehidupan di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk akan sepi apabila tidak terdapat ronggeng di pedukuhannya.

Dokumen terkait