• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS WACANA FEMINIS TOKOH SRINTIL DALAM TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS WACANA FEMINIS TOKOH SRINTIL DALAM TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS WACANA FEMINIS TOKOH SRINTIL

DALAM TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK

KARYA AHMAD TOHARI

Elisa Linda Yulia1 , Ni Luh Nyoman Kebayantini2 , Wahyu Budi Nugroho3 123)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana

Email: elisalindaoffice@gmail.com1, kebayantini@gmail.com2, wahyubudinug@yahoo.com3

ABSTRACT

The aims of this study are to determine the feminism contains of the Ronggeng Dukuh Paruk Trilogy novel by Ahmad Tohari, to understand the position of Srintil character as subject, object, the author's viewpoint as well as the reader's viewpoint which based on the feminist discourse analysis method by Sara Mills. The results of discourse analysis on Ronggeng Dukuh Paruk novel show that Srintil placed as subject because of her superiority in economic, social, and psychological as well as successfully opposing the social order which restricting her expression of life, which rejecting all rules of “peronggengan” sphere. At her position as an object, shown Srintil while she was flirted, touched on her body, maligned, scorned, threatened by her status as a ex-prisoner, more over she used as a tool or a doll to meet the demand of actors around her, either in material or satisfying the desires of men. In the author's viewpoint, Ahmad Tohari is also more inclined to show Srintil as an object position by a lot of sentence structure which using herself and Rasus figure as the first person pronoun, so as the main character, Srintil can not tell her own self. Meanwhile, according to the reader’s viewpoint, Srintil figure shown more in the object position than the subject position. Therefore, the general Srintil be in a position subordinate object because of it’s position as a result of the image that has made Srintil interpreted belongs to anyone, so he experienced violence and physical and psychological oppression.

Keyword; Feminist discourse analysis, Ronggeng Dukuh Paruk, Srintil

1. PENDAHULUAN

Karya sastra merupakan salah satu hasil aktivitas kebudayaan yang diciptakan untuk mencatat dan mengomunikasikan fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Melalui sebuah karya sastra, pembaca (masyarakat) akan menemukan kembali sejumlah peristiwa, gejala sosial, budaya, dan politik yang pernah terjadi di masyarakat pada masa tertentu (Wiyatni, 2013). Selain sebagai media hiburan, karya sastra juga memiliki fungsi memberikan pengetahuan bagi pembacanya mengenai moral yang baik dan buruk (Amir, 2010: 1). Salah satu bentuk karya sastra yang dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah

novel. Novel yaitu suatu bentuk prosa panjang, disajikan dalam bentuk cerita yang mengangkat suatu tema tertentu dan menggambarkan kehidupan tokoh dengan orang-orang di sekitarnya (Susanto, 2015).

Karya sastra merupakan salah satu hasil aktivitas kebudayaan yang diciptakan untuk mencatat dan mengomunikasikan fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Melalui sebuah karya sastra, pembaca (masyarakat) akan menemukan kembali sejumlah peristiwa, gejala sosial, budaya, dan politik yang pernah terjadi di masyarakat pada masa tertentu (Wiyatni, 2013).

▸ Baca selengkapnya: alur singkat ronggeng dukuh paruk

(2)

Selain sebagai media hiburan, karya sastra juga memiliki fungsi memberikan pengetahuan bagi pembacanya mengenai moral yang baik dan buruk (Amir, 2010: 1). Salah satu bentuk karya sastra yang dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah novel. Novel yaitu suatu bentuk prosa panjang, disajikan dalam bentuk cerita yang mengangkat suatu tema tertentu dan menggambarkan kehidupan tokoh dengan orang-orang di sekitarnya (Susanto, 2015).

Dari kesekian banyak sastrawan di Indonesia, salah satu sastrawan yang karya-karyanya tidak kalah disegani masyarakat adalah Ahmad Tohari. Laki-laki kelahiran Banyumas tersebut telah menciptakan banyak karya, namun baru mencapai tonggak popularitasnya setelah menulis tiga karyanya yaitu Catatan Buat Emak (CBE), Lintang

Kemukus Dini Hari (LKDH), dan Jentera Bianglala (JB) yang kemudian dijadikan

sebuah trilogi dengan judul Ronggeng Dukuh

Paruk (RDP). Dalam RDP, Ahmad Tohari

mengangkat cerita kehidupan seorang ronggeng bernama Srintil, juga Rasus, laki-laki yang dicintainya. Status keronggenggan juga cinta antara keduanya, pada akhirnya menimbulkan konflik batin terutama untuk Srintil.

Novel tersebut berlatar belakang di suatu dusun terpencil bernama Dukuh Paruk. Pemukiman tersebut dihuni oleh masyarakat yang tunduk patuh terhadap nenek moyang mereka, yaitu Ki Secamenggala. Tokoh utama dalam RDP adalah Srintil, yang merupakan anak perempuan yang ditinggal mati oleh orangtuanya. Pada tahun 1946, terjadi bencana keracunan massal akibat tempe bongkrek yang diproduksi orangtua Srintil, sehingga beberapa orang di pedukuhan tersebut meninggal dunia. Karena kejadian itu,

Srintil harus diasuh dan dibesarkan oleh kakek-neneknya, yaitu Sakarya dan Nyai Sakarya. Srintil hidup normal seperti anak-anak lain di pedukuhan kering itu, dan setiap hari ia dapat bemain, bernyanyi, juga menari bersama teman-teman seusianya. Hingga pada usia 11 tahun, kehidupan Srintil mulai berubah ketika masyarakat percaya bahwa Srintil telah kemasukan indang (ruh) ronggeng. Pada akhirnya, Srintil direstui dan diangkat menjadi ronggeng yang baru. Namun sebelum peresmian dilakukan, Srintil harus melewati berbagai ritual salah satunya adalah malam bukak-klambu. Malam tersebut adalah malam sayembara untuk memperebutkan keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang mampu membayar sesuai kesepakatan, adalah dia yang mampu memenangkan sayembara tersebut.

Setelah malam tersebut, maka Srintil resmi menjadi seorang ronggeng. Profesinya sebagai ronggeng telah memberikan perubahan hidup bagi Srintil, terutama secara sosial dan ekonomi. Ia menjadi wanita paling disegani di lingkungannya, dan mampu memperoleh kekayaan. Namun keadaan tersebut tidak lantas menjadikan Srintil puas, namun justru menjauhkan Rasus, laki-laki yang dicintainya. Pada akhirnya, Srintil memilih hidup sesuai dengan keinginannya, dan menolak segala peraturan peronggengan termasuk naik pentas dan melayani laki-laki yang datang meminta jasa. Hal tersebutah yang memicu timbulnya konflik dalam kehidupan Srintil, terutama dengan Nyai Kartareja, dukun ronggeng yang mengasuhnya. Hal tersebut terus terjadi hingga keterlibatannya dalam kasus politik tahun 1965 yang menjadikan kehidupan Srintil

▸ Baca selengkapnya: di manakah latar tempat latar waktu dan latar suasana yang tergambar dalam ronggeng dukuh paruk

(3)

dan masyarakat Dukuh Paruk berubah seratus delapan puluh derajat.

Tokoh Srintil yang diangkat Ahmad Tohari dalam novel tersebut mampu memberikan sentuhan kepada pembaca tentang makna perjuangan seorang perempuan dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Dalam pandangan Maier (dalam Imron, 2010: 2), RDP berhasil mengungkapkan suatu kisah yang disajikan dengan cara yang menggugah perasaan ingin tahu, yaitu suatu masalah yang sangat lazim untuk masyarakat. RDP memang telah berhasil memadupadankan masalah ekonomi, hukum, dan sosiologi dalam waktu yang bersamaan.

Ingin mengetahui bagian-bagian dari novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang mengandung muatan feminisme adalah landasan dari penelitian ini, untuk memudahkan menentukan posisi tokoh Srintil di dalam novel tersebut terkait posisinya sebagai obyek, subyek, posisi dalam konteks penulis, juga posisi dalam konteks pembaca berdasarkan metode analisis wacana Sara Mills.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka

Beberapa jurnal hasil penelitian yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut. Yang pertama adalah skripsi yang ditulis oleh Okti Tri Hastuti, Universitas Jenderal Soedirman (2013) dalam Tesisnya yang berjudul Ronggeng sebagai

Objek Seksual Laki-laki: Studi terhadap Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa adanya perbedaan gender menyebbakan adanya ketidakadilan baik bagi perempuan

maupun laki-laki. Terlebih di dalam kehidupan masyarakat Jawa, sistem budaya patriarki ternyata telah menimbulkan ketimpangan terhadap perempuan, yang posisinya sebagai obyek laki-laki. Okti menjelaskan bahwa Srintil dijadikan obyek seksual oleh laki-laki, yang ditunjukkan lewat proses bukak-klambu, yaitu prosesi yang harus dilalui Srintil sebelum diresmikan menjadi ronggeng, juga keharusannya melayani laki-laki yang membayarnya.

Kedua adalah Syakhshiyatus Syifaa Ur Rachman, Universitas Diponegoro (2014), dalam skripsinya yang berjudul Hegemoni

Budaya Patriarkat dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk (Catatan Buat Emak) Karya Ahmad Tohari: Sebuah Kajian Struktural dan Sosiologi Sastra. Dalam penelitian tersebut

dijelaskan bahwa adanya hegemoni patriarki menyebabkan Srintil harus menjadi kaum perempuan yang tersubordinasi karena pelabelan dalam masyarakat tertentu, selain itu status sosialnya sebagai ronggeng menjadi alasan legalnya Srintil sebagai alat pemuas ego laki-laki atas dasar kekuasaan. Srintil mengalami kekerasan dan penindasan secara fisik dan pikir, oleh karena itu Srintil mengalami konflik batin dan konflik kultural. Ketiga adalah skripsi yang ditulis oleh Nurike, mahasiswi Univeritas Sebelas Maret pada tahun 2015 dengan judul Politik Tubuh

Perempuan dalam Media (Studi Analisis Wacana Politik Tubuh Perempuan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Sri Sumarah Karya Umar Kayam).

Di dalam penelitiannya, Nurike menjelaskan bahwa terdapat persamaan antara novel RDP dengan Sri Sumarah, yaitu terletak pada ketidakadilan yang dialami tokoh utama namun sama-sama dapat bangkit dari

▸ Baca selengkapnya: tokoh dan penokohan dalam novel ronggeng dukuh paruk

(4)

keterpurukan yang menimpa mereka. Nurike menjelaskan bahwa Srintil merupakan simbol budaya yang dijadikan obyek karena profesinya, sehingga dia tidak dapat menolak segala sistem dalam dunia peronggenggan yang telah mengikat dirinya.

2.2 Konsep

2.2.1 Analisis Wacana Feminis

Istilah “analisis wacana” sering digunakan oleh berbagai jenis disiplin ilmu, sehingga memiliki berbagai macam pengertian sesuai dengan konteks yang dibutuhkan, namun Badudu (dalam Eriyanto 2012: 1-2), mengartikan istilah “wacana” secara umum sebagai diskursus, ucapan, kesatuan bahasa yang berkesinambungan, atau kalimat yang berkaitan. Dalam sosiologi sendiri, istilah wacana merujuk pada hubungan antara konteks sosial dan pemakaian bahasa (Eriyanto, 2012: 3), oleh karena itu para peneliti sosial lebih sering menggunakan metode analisis wacana tersebut untuk mengkaji permasalahan yang masuk dalam ranah sosiologi sastra. Dikarenakan kajian dalam sosiologi selalu berkaitan dengan masyarakat, maka analisis wacana pun semakin lama juga kian berkembang, sehingga masuk ke ranah studi feminis. Lebih jauh, feminis(me) dikenal sebagai gerakan yang dilandasi munculnya asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi oleh kaum laki-laki, sehingga muncul keinginan atau usaha untuk mengakhiri penindasan serta eksploitasi tersebut (Fakih, 2008: 103).

Lebih jauh, feminis(me) dikenal sebagai gerakan yang dilandasi munculnya asumsi bahwa kaum perempuan pada

dasarnya ditindas dan dieksploitasi oleh kaum laki-laki, sehingga muncul keinginan atau usaha untuk mengakhiri penindasan serta eksploitasi tersebut (Fakih, 2008: 103). Tokoh atau orang yang berjuang dalam hal kesetaraan perempuan tersebut sering disebut sebagai “kaum feminis”.

Gerakan feminis untuk pertama kali dipelopori oleh Mary Wollstonecraft pada tahun 1818 di Inggris, yang memperjuangkan pendidikan perempuan. Sejak kemunculan gerakan feminis Wollstonecraft tersebut, munculah berbagai gerakan yang sama di berbagai penjuru dunia, sehingga sampai saat ini feminis dapat digolongan menjadi beberapa gelombang (Nurdiansyah, 2008: 22).

Kajian terhadap teori feminis tersebut berbeda dengan kebanyakan teori sosiologi karena merupakan pemikiran sebuah komunitas interdisipliner, sehingga dalam kajiannya teori feminis tidak hanya melibatkan sosiolog saja namun juga melibatkan para penulis kreatif (Ritzer, 2014: 377). Hal tersebut lah yang menjadikan metode analisis wacana berkembang menjadi metode analisis wacana feminis, untuk mengetahui bagaimana wanita ditampilkan dalam teks, baik dalam novel, gambar, foto, ataupun dalam berita untuk menunjukkan bagaimana teks bias dalam menampilkan wanita (Eriyanto, 2012: 199). Oleh karena itu, baik analisis wacana, atau analisis wacana feminis tersebut masuk dalam kajian critical cultural studies, yang

mengaitkan budaya dengan teks isi media yang menganalisis hubungan dominasi dan subordinasi (Eriyanto, 2012: xi), dan feminisme sendiri masuk dalam kajian sosiologi gender.

(5)

2.2.2 Ronggeng

Ronggeng merupakan salah satu jenis kesenian tari dengan iringan musik dari rebab atau biola juga gong. Kesenian ini dikenal sebagai kesenian yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah, namun sebenarnya juga dapat ditemukan di wilayah Betawi, Sumatera, dan Semenanjung Malaya. Hal yang menonjol dalam kesenian ini terletak pada pesona sang penari, atau yang biasa disebut masyarakat sebagai “ronggeng”. Pada masyarakat di Tanah Jawa, ronggeng justru lebih familiar dipakai untuk memanggil penari pada kesenian tersebut dibandingkan untuk menyebut jenis keseniannya. Budayawan Umar Kayam menggambarkan penari ledek atau ronggeng di pertunjukkannya sangat merangsang dan membeberkan dengan blak-blakan ulah para penari pria yang ngibing atau menari bersama ledek, ugal-ugalan dan nakal (Wahyuningrum, 2013: 17).

Ada beberapa perbedaan jenis kesenian ronggeng di tanah Jawa (Suku Sunda dan Suku Jawa) dengan yang ada di Suku Betawi, Sumatera maupun Semenanjung Malaya. Hal yang paling menonjol terdapat pada jenis ronggeng di Sunda dan Jawa Tengah. Jika ronggeng yang ada di Sunda, terdapat peraturan bahwa tidak diperbolehkan ada kontak langsung antara penari dengan orang-orang yang menyaksikan, atau lebih dikenal dengan pengibing. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan kesenian ronggeng yang ada di Jawa Tengah, di mana selama penampilan mereka. Selama menari, ronggeng dan penonton laki-laki tersebut akan menari berpasangan kemudian penari diberi uang tips yang diberikan selama atau setelah tarian. Para penari akan mengajak beberapa penonton laki-laki untuk menari dengan Tarian

ronggeng tersebut juga bersifat erotis, sehingga ronggeng di Jawa Tengah selalu dikaitkan dengan prostitusi terselubung dalam seni tari (Rarasati, 2015).

2.2.3 Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (Gramedia, 2015)

Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk merupakan karya seorang sastrawan Indonesia bernama Ahmad Tohari. Novel

Ronggeng Dukuh Paruk tersebut merupakan

novel ketiga yang berhasil diterbitkan setelah novelnya yang berjudul Di Kaki Bukit Cibalak dan Kubah. 2 tahun kemudian, Ahmad Tohari menulis novel ketiganya yang berjudul Catatan

Buat Emak, kemudian disusul Lintang Kemukus Dini Hari di tahun 1985, dan Jentera Bianglala pada tahun 1986. Ketiga novel yaitu Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala lalu diterbitkan

menjadi novel trilogi oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta pada tahun 2003.

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk menjadi karya terbaik dari Ahmad Tohari dan telah diakui oleh sastrawan dari berbagai negara. Selain itu, RDP ini telah menjadi novel yang dijadikan sumber dari puluhan penulisan skripsi juga tesis oleh mahasiswa baik di Indonesia maupun luar negeri, hinga novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk diterjemahkan ke dalam lima bahasa asing yakni Jepang, Jerman, Belanda, Cina, dan Inggris, serta bahasa Jawa.

2.3 Kerangka Teori

Dalam upaya menganalisis novel Trilogi

Ronggeng Dukuh Paruk ini, penulis

menggunakan metode analisis wacana Sara Mills. Sara Mills merupakan seorang ahli

(6)

analisis wacana yang berfokus pada kajian feminisme, seperti bagaimana perempuan ditampilkan

dalam teks, baik novel, gambar, foto, atau berita yang cenderung selalu tampil sebagai obyek. Fokus perhatian model analisis Sara Mills terletak pada bagaimana perempuan digambarkan dalam teks maupun gambar yang selalu tampil sebagai pihak yang salah, marjinal dibandingkan dengan pihak laki-laki, sehingga hanya dijadikan bahan penceritaan, dan tidak dapat menampilkan dirinya sendiri. Sara Mills melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks untuk melihat posisi siapa yang menjadi obyek penceritaan dan siapa yang menjadi subyek penceritaan. Hal tersebut dilakukan untuk menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Selain berfokus pada aktor dalam teks, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks. Oleh karena itu, metode analisis wacana Sara Mills dibangun melalui empat posisi, yaitu posisi obyek, subyek, penulis dan pembaca (Eriyanto, 2012: 199-200).

Dalam posisi subyek dan obyek, Mills menekankan bahwa bentuk teks yang hadir di tengah khalayak, ditentukan oleh posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa yang disajikan dalam teks, sehingga dapat membangun pemaknaan pembaca atas keberadaan aktor. Pada dasarnya, setiap aktor mempunyai kesempatan yang sama untuk menggambarkan dirinya, tindakannya, dan memandang atau menilai dunia menurut persepsi dan pendapatnya. Dengan kata lain, setiap aktor sesungguhnya

mempunyai kemungkinan menjadi subyek atas dirinya sendiri, namun pada kenyataannya tidak semua aktor mempunyai kesempatan tersebut karena adanya berbagai alasan. Dalam suatu teks, tentu saja ada aktor yang akan menjadi subyek, namun ada pula aktor sebagai obyek yang bukan hanya tidak dapat menceritakan dirinya sendiri, tetapi juga kehadiran dan representasi mereka dihadirkan dan ditampilkan oleh aktor lain.

Selain melihat posisi obyek dan subyek, Sara Mills juga melibatkan posisi penulis dan pembaca. Bagi Mills, teks merupakan hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. Oleh karena itu, pembaca mempunyai posisi sangat penting karena teks memang ditujukan untuk secara langsung atau tidak “berkomunikasi” dengan khalayak lewat beragam sapaan (Eriyanto, 2012: 203-204). Gaya teks yang dipakai penulis untuk menggambarkan aktor dapat menunjukkan apakah penulis lebih cenderung menjadikan aktor sebagai obyek atau subyek, begitupun dengan pembaca. Lewat penerimaan pembaca terhadap aktor, maka pembaca akan mengidentifikasi dirinya dengan memposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan, sehingga akan memunculkan persepsi apakah aktor lebih dominan sebagai subyek atau obyek.

3. METODE PENELITIAN

Penelitian yang berjudul Analisis

Wacana Feminis Tokoh Srintil dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini, merupakan penelitian kualitatif

(7)

feminis dari Sara Mills. Metode pengumpulan data yang dilakukan untuk memperoleh data penelitian yaitu dengan dokumentasi, oleh karena itu pada penelitian ini penulis menggunakan media buku, jurnal, penelitian-penelitian serupa yang sudah ada sebelumnya dan lain sebagainya. Terdapat dua sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data utama yang diambil dari novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Data sekunder yaitu data pendukung diperoleh dari dokumentasi, seperti buku, jurnal, internet serta penelitian yang mengulas tentang karya Ahmad Tohari.

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis wacana feminis Sara Mills, yang melihat bagaimana aktor akan ditampilkan dalam teks. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah membaca Trilogi Ronggeng Dukuh

Paruk karya Ahmad Tohari dan

menentukan bagian-bagian teks atau cerita yang mengandung unsur feminis. Kemudian menentukan posisi subyek-obyek, menentukan posisi penulis, menentukan posisi pembaca dan terakhir penarikan kesimpulan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Menentukan Posisi Subyek-Obyek

4.1.1 Posisi Subyek

Dalam posisi subyek, seorang perempuan akan secara leluasa menciptakan dirinya sendiri tanpa dibayang-bayangi oleh aktor lain. Seseorang sebagai subyek akan berada di

posisi yang tinggi, sehingga ia akan memengaruhi bagaimana dirinya ditampilkan dan bagaimana pihak lain ditampilkan (Eriyanto, 2012: 201). Posisinya sebagai subyek, diketahui lewat wacana-wacana yang memperlihatkan bahwa Srintil mempunyai kelebihan secara psikologis, ekonomi dan sosial.

4.1.1.1 Kelebihan secara Psikologis

Terpilihnya Srintil menjadi ronggeng memberikannya tempat tersendiri di hati masyarakat Dukuh Paruk karena mereka telah menunggu selama 11 tahun sejak kematian ronggeng yang terakhir. Sehingga begitu Kartareja mengumumkan bahwa telah terlahir kembali seorang ronggeng di pedukuhan mereka, masyarakat sangat antusias dalam menyambutnya.

Dari berbagai wacana yang menunjukkan kelebihan Srintil secara psikologis, salah satunya adalah seperti di bawah ini.

Kini Srintil menjadi boneka. Semua orang ingin menimangnya, ingin memanjakannya. Aku tahu sendiri perempuan Dukuh Paruk berganti-ganti mencucikan pakaian Srintil. Mereka memandikannya dan menyediakan arang gagang padi untuk keramas. (halaman 36)

Paragraf di atas mewacanakan bahwa masyarakat begitu memanjakan Srintil karena kebahagiaan mereka atas lahirnya Srintil sebagai ronggeng yang baru. Begitu Srintil diumumkan sebagai ronggeng yang baru, kehidupannya menjadi begitu menyenangkan karena segala kebutuhannya telah dipenuhi oleh para wanita di Dukuh Paruk. Selain mendapatkan perlakuan istimewa dari

(8)

masyarakat Dukuh Paruk, Srintil juga dengan leluasa bisa berhubungan badan dengan orang yang dicintainya, yaitu Rasus. wacana tersebut salah satunya diperlihatkan melalui paragraf di bawah ini.

Pasar Dawuan itu selama satu tahun sekali-sekali menjadi tempat pertemuanku dengan Srintil. Terkadang Srintil mengajakku ke sebuah rumah tidak jauh dari Pasar Dawuan. Meskipun Srintil selalu marah kalau disebut sundal, tetapi dia tahu betul setiap rumah yang bisa disewa untuk perbuatan cabul. Dia membuktikan kata-katanya bahwa dariku dia tidak mengharapkan uang. Bahkan suatu ketika dia mulai berceloteh tentang bayi, tentang perkawinan. (halaman 89)

Dari penggalan paragraf di atas, dapat diartikan bahwa di tengah-tengah perjalanannya sebagai seorang ronggeng, Srintil tetap bisa pergi menemui Rasus bahkan mengajaknya ke sebuah rumah persewaan untuk memenuhi kepuasan berahinya. Bahkan untuk memberikan tubuhnya kepada Rasus, Srintil tidak mengharapkan uang dari Rasus. Hal tersebut mewacanakan bahwa Srintil memang berada dalam posisi subyek, karena ia yang mengendalikan orang lain, yaitu dengan bebas menemui Rasus di saat dirinya masih berstatus sebagai ronggeng.

4.1.1.2 Kelebihan secara Ekonomi

Status ronggeng tidak sepenuhnya menjadikan Srintil selalu berperan sebagai seorang pelayan dihadapan laki-laki. Tetapi citra sebagai ronggeng justru menjadikan dirinya istimewa dihadapan banyak orang. Setiap laki-laki yang melihatnya akan terpengangah dan jatuh cinta kepadanya, bahkan siapapun, termasuk para wanita, akan rela memberikan bermacam benda untuk Srintil secara cuma-cuma. Hal

tersebut yang menyebabkan Srintil memiliki harta benda yang berlimpah. Bahkan ia mampu memiliki emas, hewan-hewan ternak, juga rumah dari kerangka jati.

“Lihat. Baru beberapa bulan menjadi ronggeng sudah ada gelang emas di tangan Srintil, bandul kalungnya sebuah ringgit emas pula,” kata seorang pejual sirih. (halaman 81)

Lewat potongan teks di atas, dapat diartikan bahwa lewat pekerjaannya Srintil dapat memperoleh perhiasan hanya dalam waktu yang singkat. Seperti yang dikemukakan perempuan tersebut dalam teks, dia membicarakan bahwa Srintil baru beberapa bulan menjadi ronggeng. Hal tersebut dapat diartikan bahwa pekerjaan meronggeng mampu memberikan kemakmuran kepada Srintil secara materi, karena bagi masyarakat hanya orang-orang penting dan kaya seperti istri lurah, istri pejabat perkebunan, atau istri kepala koramil yang bisa mempunyai perhiasan seperti yang dimiliki Sintil. Maka hal tersebut membuat Srintil dinilai sejajar dengan istri-istri pejabat di wilayahnya. Oleh karena itu, Srintil didaulat menjadi wanita paling kaya di Dukuh Paruk.

4.1.1.3 Kelebihan secara Sosial

Tidak hanya mendapat kelebihan secara psikologis dan ekonomis, sebagai seorang ronggeng ia telah mendapatkan kelebihan secara sosial. Baik di pedukuhannya sendiri maupun di luar Dukuh Paruk, Srintil begitu dikagumi dan dipuja-puja. Setiap laki-laki ataupun perempuan yang melihatnya, mereka akan melontarkan pujian dari setiap hal yang dimiliki Srintil, baik itu kecantikannya,

(9)

penampilannya atau kharismanya sebagai seorang ronggeng. Tanpa menunjukkan gestur yang berlebihan, citra ronggengnya telah memberikan keleluasaan untuk melakukan segala hal yang diingkannya, termasuk keinginan dan usahanya keluar dari dunia peronggenggan. Keinginan Srintil untuk menjadi wanita biasa ditunjukkan dengan berbagai hal, yaitu menolak naik pentas dan menolak melayani laki-laki yang menginginkan jasanya.

Hal tersebut dilakukan Srintil karena alasan Rasus, laki-laki yang dicintainya. Profesinya menjadi seorang ronggeng telah menjadikan Rasus menjauhinya, apalagi peraturan dilarang menikah dan harus dimatikan indung telurnya supaya tidak bisa hamil, semakin mendorongnya untuk keluar dari dunia peronggengan. Fenomena tersebut ditunjukkan oleh beberapa penggalan paragraf di bawah ini.

“Jenganten,” suara Marsusi serak. Senyumnya kaku seperti anak kecil sedang minta jajan kepada emaknya. “Ini kalungmu, ambillah.”

Srintil menoleh sambil tersenyum. Tetapi siapapun bisa memastikan senyum Srintil kali ini sama sekali tidak erotik.

“Sebentar, Pak. Untuk apa kalung itu sampean berikan padaku?”

“Kalung itu akan kuterima bila dia sampean maksudkan sebagai upahku menari. Disana sampean boleh mengajakku bertayub sepuas hati.”

“Lho, bukan. Kalung ini bukan buat upahmu menari atau bertayub.” Kata Marsusi. “Sampean ingin memberikan kalung itu kepadaku bukan sebagai upah menari atau bertayub, melainkan yang satu lagi. Oh, Pak Marsusi, sampean salah. Karena aku memang telah melakukan hal semacam itu kepada sekian banyak lelaki. Tetapi, Pak…..”

“Sekarang aku tak ingin melakukannya lagi.”

“Lho, kenapa?”

“Hanya tak merasa tak ingin, begitu.” “Nanti dulu! Mengapa hal ini baru kau katakan kepadaku; bukan kepada laki-laki sebelum aku? Mengapa?

“Persoalannya sederhana Pak,” kata Srintil masih dalam ketenangan yang utuh. “Sampean kebetulan menjadi laki-laki pertama yang datang setelah aku memutuskan mengubah haluan.” (halaman 149-150)

Wacana di atas menunjukkan keteguhan hati Srintil untuk berhenti dari dunia peronggenggan. Meskipun Pak Marsusi mengiming-imingi kalung, Srintil dengan tegas tetap menolak. Tidak hanya menolak naik pentas dan menolak laki-laki yang datang kepadanya, kemantapan hati Srintil juga dibuktikan dengan naluri keibuan yang ia tunjukkan terhadap Goder, anak tetangganya.

Makin lama Srintil makin lekat dengan Goder, bayi Tampi. Sering kali Srintil menyuruh, jelasnya, mengusir Tampi pulang bila Goder sudah ditangannya. Hasrat meneteki Goder telah berubah menjadi renjana jiwanya, renjana hatinya, dan renjana sistem ragawinya. Maka alam jangan disalahkan bila dia menggerakkan kelenjar air susu Srintil bekerja meskipun ronggeng itu belum pernah melahirkan atau bukan pula dalam masa menyusui. Ketika pertama kali Srintil sadar bahwa teteknya mengeluarkan iar susu maka dia berurai air mata.

Lihatlah seorang perempuan 17 tahun dengan sepasang tetek yang penuh. Adalah disana gabungan antara kesegaran remaja dan citra kematangan seorang ibu; dua unsur utama pesona perempuan bertemu pada diri seorang ronggeng Dukuh Paruk. (halaman 139)

4.1.2 Posisi Obyek

Dalam posisi ini, perempuan ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang ditindas dan termarjinalkan dibandingkan dengan pihak laki-laki (Eriyanto, 2012: 199). Pada posisi obyek, banyak wacana yang menunjukkan posisi Srintil ketika ia dirayu, dipegang anggota badannya, diumpat, dicaci-maki, diancam dengan

(10)

10 

statusnya sebagai mantan tahanan bahkan ia dijadikan alat atau boneka untuk memenuhi kebutuhan aktor-aktor di sekitarnya, baik Nyai Kartareja yang mengambil untung secara materi juga laki-laki seperti Pak Marsusi juga Bajus yang mengambil keuntungan untung alasan kepuasan seksual.

Dalam prosesnya sebagai seorang ronggeng, Srintil harus melewati berbagai macam ritual yang membuat dirinya tertekan, seperti harus mengikuti malam

bukak-klambu, yaitu sayembara untuk

memperoleh keperawanannya.

“Srintil?” tegurku dengan suara berbisik. “Jangan terkejut, aku Rasus.” “Oh!” seru Srintil tertahan. Dia cepat

bangkit, merangkulku sekuat tenaga. “Rasus. Dengar, mereka bertengkar di luar. Aku takut, sangat takut. Aku ingin kencing!”

“Sudah kencing?”

“Sudah. Tetapi aku takut Rasus, kau sungguh baik. Kau ada di sini saat aku sedang diperjual-belikan.”

“Ya.”

Masih merangkulku kuat-kuat. Srintil mengisak. Kubiarkan dia karena aku pun tak tahu apa yang harus aku perbuat. Kurasakan tubuh Srintil hangat dan gemetar. (halaman 76)

Selain melewati malam bukak-klambu, Srintil juga harus menerima kenyataan bahwa ia tidak akan pernah bisa hamil, karena telah dimatikan indung telurnya.

Aku menduga keras Srintil mulai dihantui kesadaran bahwa Nyai Kartareja telah memijit hingga mati indung telurnya, peranakannya. Suami-istri dukun ronggeng itu merasa perlu berbuat demikian sebab hukum Dukuh Paruk mengatakan bahwa karir seorang ronggeng terhenti sejak kehamilannya yang pertama. Kukira Srintil mulai sadar kemandulan adalah hantu mengerikan, yang akan menjelang pada hari

tua. Atau Srintil telah mendengar riwayat para ronggeng yang tak pernah mencapai hari tua karena keburu dimakan raja singa atau penyakit kotor lainnya. (halaman 90)

Selain kewajiban mematuhi budaya peronggenggan, kehidupan Srintil juga tentu tidak lepas dari pengaruh sang dukun ronggeng, terutama dukun ronggeng perempuan. Apapun yang menjadi keperluan Srintil, mulai dari perawatan tubuh, makanan dan sebagainya, semua diurus oleh Nyai Kartareja. Tidak hanya hal-hal yang berhubungan dengan kedirian Srintil, bahkan segala hal yang menyangkut kesenian ronggeng sampai urusan berahi, semua harus melewati Nyai Kartareja. Maka untuk bisa tidur dengan Srintil, para laki-laki yang mampu membayarnya harus izin dan melalui perantara Nyai Kartareja. Tidak hanya menyoal perijinan, bahkan untuk urusan berapa banyak bayaran dan negosiasi waktu, semua akan diatur oleh Nyai Kartareja. Maka dapat dipastikan bahwa Srintil tidak bisa memilih siapa orang yang ingin ia layani, karena ia hanya perlu menunggu di balik pintu kamarnya saja.

Sementara itu, suami-istri Kartareja adalah dukun ronggeng. Merekalah yang paling mengerti segala tetek-bengek dunia peronggengan dan mereka menggunakan pengetahuan serta statusnya sebagai dasar mata pencaharian. Dari ongkos pentas mereka mengambil bagian yang kadang-kadang lebih besar daripada bagian yang diterima Srintil. Dan keuntungan yang lebih besar lagi diterima oleh suami-istri Kartareja manakala mereka sebagai mucikari. Seorang laki-laki yang mabuk kepayang kepada Srintil dan ingin tidur bersamanya barang satu-dua malam harus melalui perantara Nyai Kartareja. Maka baginya untuk sementara tak mengapalah jika Srintil menolak menari, asalkan dia mau melayani laki-laki yang menginginkannya. (halaman 140)

(11)

11 

Srintil memang didaulat sebagai ronggeng tercantik yang pernah dimiliki Dukuh Paruk. Namun, profesinya sebagai ronggeng membuat kecantikan yang ia miliki hanya mampu dilihat orang lain sebagai citra ronggeng semata. Orang tidak melihatnya sebagai Srintil, namun melihatnya sebagai Srintil sang ronggeng dari Dukuh Paruk. Hal tersebut lah yang menyebabkan semua orang merasa berhak memiliki dan menggodanya. Dimana pun dia berada, Srintil akan menjadi pusat perhatian, dan tidak jarang banyak laki-laki yang menggodanya dengan kata-kata seloroh bahkan memegang anggota tubuhnya.

Bila para perempuan kelihatan tulus ikhlas memanjakan Srintil, tidak demikian dengan para lelaki. Pak Simbar, penjual sabun di pasar Dawuan, berkata dengan mata bersinar-sinar kepada Srintil.

“Eh, wong kenes, wong kenes. Aku tahu di Dukuh Paruk orang menggosok-gosokkan batu ke badan bila sedang mandi. Tetapi engkau tak pastas melakukannya. Mandilah dengan sabun mandiku. Tak usah bayar bila malam nanti kau bukakan pintu bilikmu bagiku. Nah, kemarilah.” Berkata demikian, tangan Pak Simbar menjulur ke arah pinggung Srintil.

Babah pincang yang duduk hampir tenggelam di tengah dagangannya ikut bicara. Juga dengan wajah beringas dan mata berkilat.

“Nah. Aku punya sandal kulit. Mulah. Paling baik. Na, kamu olah tida pantas beltelanjang kaki. Betismu bagus. Bayal sandalku. Nanti aku juga mau bayal kalau aku tidul di Dukuh Paluk.”

“Seperti juga Pak Simbar, Babah pincang juga gatal tangan. Bukan pinggung Srintil yang digamitnya, melainkan pipinya. Kali ini pun Srintil tak berusaha menolak. (halaman 83)

Seperti yang diwacanakan pada penggalan teks pada novel di atas, Pak Simbar dan Babah pincang bisa dengan leluasa menggoda dan memegang anggota tubuh Srinti. Meskipun mereka tidak sedang

menyewa Srintil, namun pada kenyataannya setiap laki-laki berhak dan bisa memperlakukan Srintil sesuai dengan keinginan mereka. Wacana serupa beberapa kali muncul dalam novel yang ditulis Ahmad Tohari. Wacana-wacana berikut menunjukkan bahwa Srintil selalu diperlakukan tidak sopan oleh laki-laki yang melihatnya, apalagi bagi mereka yang berhasil bertayub dengan Srintil ketika ia sedang naik pentas.

4.2 Posisi Penulis

Posisi penulis akan dilihat berdasarkan struktur bahasa yang dipakai oleh penulis novel, yang dalam hal ini adalah Ahmad Tohari. Dalam metode analisis Sara Mills posisi penulis sangatlah penting, karena melalui teks yang ditulisnya, ia dapat menempatkan dan memposisikan pembaca dalam subyek tertentu dalam keseluruhan jalinan teks. Penyapaan ini akan berhubungan dengan posisi pembaca, karena lewat penyapaan yang digunakan penulis, teks tersebut akan berkomunikasi dengan pembaca dan bagaimana pembaca diposisikan oleh teks dalam posisi tertentu dalam teks (Eriyanto, 2010: 207).

Posisi Srintil dalam cerita novel RDP, digambarkan sebagai perempuan yang dipuja karena citra yang menempel pada tubuhnya. Khayalan yang diciptakan lewat sebuah iming-iming materi, ekonomi dan kedudukan sosial, membuat perempuan seperti Srintil tergiur masuk ke dalam dunia peronggengan, meskipun sepenuhnya bukan karena keinginannya. Ia dipaksa masuk ke dalam dunia tersebut karena alasan kepercayaan masyarakat Dukuh

(12)

12 

Paruk yang menganut sistem kejawen, atau kepercayaan terhadap arwah leluhur. Mereka percaya bahwa perempuan yang dikarunia indang ronggeng akan mampu melanjutkan budaya yang telah diwariskan turun-temurun.

Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk terdiri dari 3 buku, yaitu Catatan Buat

Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Pada buku pertama, Catatan Buat Emak terdiri dari 3 bab, mulai

dari halaman 9 sampai dengan halaman 107. Kemudian buku kedua, Lintang

Kemukus Dini Hari, terdiri dari 5 bab, mulai

dari halaman 111 sampai halaman 244, dan buku ketiga Jantera Bianglala terdiri dari 4 bab mulai dari halaman 247 sampai halaman 406.

4.2.1 Posisi Srintil dalam Buku Pertama “Catatan Buat Emak”

Pada buku pertama yang terdiri dari 3 bab, penulis menggunakan beberapa kata ganti yang berbeda. Pada bab 1, Ahmad Tohari menggunakan dirinya sebagai kata ganti orang pertama. Sehingga dia yang menceritakan tokoh Srintil, seperti pada potongan paragraf di bawah ini.

Mimik penagih berahi yang selalu

ditampilkan oleh seorang ronggeng yang sebenarnya, juga diperbuat oleh Srintil saat itu. Lenggok lehernya, lirik matanya, bahkan cara Srintil menggoyangkan pundak akan memukau laki-laki dewasa mana pun yang melihatnya. Seorang gadis kencur seperti Srintil telah mampu menirukan dengan baiknya gaya seseorang ronggeng. (halaman 13

)

Selanjutnya yaitu pada bab 2 dan 3, penulis menggunakan Rasus sebagai kata ganti orang kedua. Sehingga jika dilihat

dari struktur teksnya, pada bab ini pula, Srintil tetap saja diceritakan oleh pihak lain. Bahkan jika dianalisis lebih dalam, melalui wacana di bawah ini dapat ditangkap bahwa Srintil dijadikan obyek atas pilihannya sebagai ronggeng.

Bagiku, tempat tidur yang akan menjadi tempat pelaksanaan malam bukak-klambu bagi Srintil, tidak lebih dari sebuah tempat pembantaian. Atau lebih menjijikkan lagi. Di sana tiga hari lagi akan berlangsung penghancuran dan penjagalan. Aku sama sekali tidak berbicara tentang kepentingan berahi atau sebangsanya. Di sana, di dalam kurung kelambu yang tampak dari tempatku berdiri, akan ada pemusnahan mustika yang selama ini aku hargai. Sesudah berlangsung malam bukak-klambu, Srintil tidak suci lagi. (Halaman 53)

4.2.2 Posisi Srintil dalam Buku Kedua “Lintang Kemukus Dini Hari”

Pada buku kedua yang terdiri dari 5 bab, Ahmad Tohari sepenuhnya menjadikan dirinya sebagai kata ganti orang pertama yang langsung menceritakan tokoh dalam novel RDP, meskipun dalam buku kedua ini Ahmad Tohari menyelipkan banyak percakapan antar tokoh, terutama Srintil yang berhasil mendominasi. Jika dibaca dari struktur percakapan, posisi Srintil memang diwacanakan lebih cenderung sebagai subyek, karena telah berhasil memberontak terhadap orang-orang disekitarnya, namun jika digabungkan ke dalam semua struktur kalimat yang ada di dalam novel, Srintil tetap saja dijadikan sebagai obyek.

Srintil memperhatikan perilaku induk dan anak itu tanpa kedipan mata. Srintil tersenyum. Kali ini senyumnya disertai oleh kontraksi kelenjar teteknya sendiri serta rangsangan aneh pada utar-urat rahim. Tiba-tiba hasrat hendak memeluk seorang bayi mendesaknya demikian

(13)

13 

kuat. Hampir pada saat yang sama rasa cemas karena mungkin Nyai Kartareja dengan caranya sendiri telah mematikan indung telur dalam perutnya membuat ronggeng itu sesak napas. Perang yang seru terjadi dalam dadanya, yang ditandai dengan sepasang garis basah yang turun dari mata ke pipi. Ada sebuah pertanyaan yang buat kali pertama muncul di hatinya: mengapa diriku seorang ronggeng? Pertanyaan itu datang dari perkiraan Srintil: kalau dia bukan ronggeng, Rasus takkan meninggalkannya dengan cara begitu saja. (halaman 118)

4.2.3 Posisi Srintil dalam Buku Kedua “Jantera Bianglala”

Pada buku ketiga Jentera Bianglala yang terdiri dari 4 bab, Ahmad Tohari tetap menggunakan dirinya sebagai kata ganti orang pertama. Namun pada bagian akhir novel, beliau menggunakan Rasus sebagai kata ganti orang pertamanya, yaitu mulai halaman 387 sampai 404. Pada buku ketiga ini, berdasarkan struktur bahasa yang dipakai Ahmad Tohari, Srintil tetap dimunculkan sebagai obyek. Salah satunya yaitu diwacanakan dalam paragraf di bawah ini.

Kemudian, apakah sejarah hanya bertingkah melalui penglima tunggalnya yang bernama kekuasaan? Mestinya tidak. Tetapi Srintil tidak akan pernah mampu tahu. Dia tidak tahu, selain mempunyai panglima, sejarah juga punya nurani yang seperti demikian adanya, tidak pernah muncul dalam bentuk hura-hura, tidak resmi-resmian, tetapi kukuh duduk dan tak pernah berhenti bertembang tentang keberimbangan hidup. Tembang nurani sejarah mungkin tampil sebagai tangis seorang bayi yang merengek dan merajuk, mengapa tetek emaknya kempis. Mungkin juga muncul sebagai air mata beberapa perempuan di Pasar Dawuan yang trenyuh ketika melihat keberuntungan Srintil yang diberi beban terlalu berat bila dibandingkan dengan keringkihan pundaknya.

4.3 Posisi Pembaca

Pada bagian ini, penulis akan melihat bagaimana posisi pembaca itu ditampilkan penulis dalam teks, serta bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan dan pada kelompok manakah pembaca mengidentifikasi dirinya (Eriyanto, 2010: 211). Posisi pembaca yang dipakai dalam penelitian ini adalah penulis yang berposisi sebagai peneliti, sehingga penulis akan mengidentifikasi dirinya sendiri untuk menentukan posisi dominan tokoh Srintil dalam Trilogi Ronggeng Dukuh

Paruk.

Menurut peneliti, tokoh Srintil lebih banyak diperlihatkan dalam posisi obyek daripada posisi subyek. Hal tersebut didukung dengan jenis kelamin peneliti yang juga perempuan, latar belakang dari suku Jawa, serta latar belakang pendidikan yang mempelajari sosiologi gender, juga latar belakang penulis yang pernah memberontak karena tatanan sosial yang mengekang menjadikan penulis yang berperan sebagai pembaca sekaligus peneliti mengidentifikasi dirinya sebagai tokoh Srintil dalam novel Trilogi Ronggeng

Dukuh Paruk.

5. KESIMPULAN

Berikut merupakan simpulan yang dapat penulis rangkum mengenai posisi Srintil dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari.

1. Setelah dilakukan analisis pada posisi ini, terdapat beberapa hal yang ditemukan penulis terkait faktor yang

(14)

14 

menjadikan Srintil mendapatkan posisi tinggi dibandingkan orang-orang disekitarnya sehingga Srintil muncul sebagai subyek. Faktor-faktor tersebut terkait profesinya sebagai ronggeng sehingga ia mendapat kelebihan secara psikologis berupa perhatian dan kasih sayang dari orang-orang disekitarnya, dan ia juga dapat berhubungan seks dengan orang yang dicintainya yaitu Rasus. Kelebihan lain yang didapat Srintil yaitu berupa materi.. Melalui pekerjaannya, Srintil bisa menghasilkan barang mewah berupa emas, uang, binatang ternak bahkan bisa membangun rumah permanen. Kelebihan ketiga yang didapat Srintil adalah berupa keuntungan sosial, dimana ia dapat menentukan sikap atas pilihan hatinya untuk keluar dari dunia peronggengan, sehingga ia berani menolak naik pentas, bahkan menolak laki-laki yang ingin menggunakan jasanya. Hal tersebut diwujudkan Srintil dengan sepenuh hati mengasuh Goder, anak tetangganya yang ia anggap seperti anak kandungnya sendiri.

2. Pada posisi obyek, sebagai seorang ronggeng, Srintil dituntut harus mengikuti segala peraturan dan budaya yang telah diturunkan oleh leluhur masyarakat Dukuh Paruk. Dalam proses menjadi seorang ronggeng, Srintil harus melewati malam bukak-klambu atau sayembara untuk melepas keperawanannya, yang disusul persyaratan larangan untuk menikah dan hamil. Oleh karenanya, indung telur

Srintil sengaja dipijat mati sebagai upaya pencegahan kehamilan, karena profesi sebagai ronggeng tidak hanya menari dan menyanyi melainkan harus melayani laki-laki sebagai tempat pemuasan berahi. Kehidupan Srintil juga diatur oleh dukun ronggeng Kartareja dan Nyai Kartareja, sehingga Srintil selalu dijadikan boneka yang dipergunakan suami-istri tersebut untuk mendapatkan uang. Citra sebagai seorang ronggeng telah membentuk pemikiran masyarakat bahwa tubuh Srintil diartikan milik siapa saja, sehingga semua orang merasa berhak memegang atau menggoda Srintil. Berawal dari pemikiran bahwa ronggeng bisa dibayar siapa saja, maka Srintil dituntut harus tunduk dan patuh kepada orang yang telah membayarnya.

3. Pada posisi penulis, Ahmad Tohari secara gamblang menciptakan tokoh Srintil sebagai obyek yang tidak bisa menceritakan dirinya sendiri namun diceritakan oleh orang lain.

4. Pada posisi ini, Ahmad Tohari sebagai penulis novel telah berhasil menggiring pembaca untuk terlibat langsung ke dalam cerita melalui struktur bahasa yang ia gunakan. Maka, penulis sebagai pembaca sekaligus peneliti dari Trilogi

Ronggeng Dukuh Paruk ini

menyimpulkan bahwa Srintil adalah tokoh yang berada di posisi obyek, bukan subyek. Meskipun terdapat bagian dimana Srintil telah berhasil menciptakan dirinya sendiri, namun

(15)

15 

pada akhirnya ia harus kembali lagi sebagai posisi yang termarjinalkan.

5. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dengan melihat posisi subyek-obyek, posisi penulis dan posisi pembaca, dapat disimpulkan bahwa posisi dominan tokoh Srintil dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah posisi sebagai obyek.

DAFTAR PUSTAKA Buku :

Tohari, Ahmad. 2015. Ronggeng Dukuh

Paruk. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama

Ahyar, Anwar. 2010. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Eriyanto. 2012. Analisis Wacana:

Pengantar Analisis Teks Media.

Yogyakarta: LKis

Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan

Transformasi Sosial. Yogyakarta:

INSISTPress

Hardiman, Budi F. (Ed.). 2016. Filsafat

untuk Para Profesional. Jakarta:

Media Kompas Nusantara.

Jabrohim (Ed.). 2003. Teori Penelitian

Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mills, Sara. 2007. Diskursus: Sebuah

Piranti Analisis dalam Kajian Ilmu Sosial. Jakarta: Penerbit Qalam.

Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi

Modern. Jakarta: Kencana

Prenadamedia Group.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian

Kuantitatif Kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Jurnal/ Skripsi;

Amir. 2010. Pengertian, Fungsi dan Ragam

Sastra: dalam Konteks Sastra Nusantara. Jurnal. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Imron, Ali. 2010. Ahmad Tohari dan

Ronggeng Dukuh Paruk : Eksistensinya dalam Jagat Sastra Indonesia. Jurnal. Surakarta:

Universitas Sebelas Maret.

Nurdiansyah, Fandi Akhmad. Menyingkap

Pemikiran Feminisme dalam

Novel Zuqa: Q Al Mida: Q Karya Naguib Mahfouz. Jakarta:

Universitas Indonesia.

Nurike, Ghani. 2015. “Politik Tubuh

Perempuan dalam Media”. (Studi Analisis Wacana Politik Tubuh Perempuan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Sri Sumarah Karya Umar Kayam). Skripsi.

Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Rachman, Syakhshiyatus Syifaa Ur. 2014.

Hegemoni Budaya Patriarkat dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk (Cacatan Buat Emak) Karya Ahmad Tohari: Seuah Kajian Structural dan Sosiologi Sastra.

Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro.

Saputra, Nikmat. 2015. Konflik Batin Tokoh

Utama dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari serta Implikasinya terhadap Pengajaran Bahasa dan Satra Indonesia di MTs Al-Mansuriah, Kec. Pinang, Kota Tangerang.

Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Tri Hastuti, Okti. 2013. “Ronggeng Sebagai

Objek Seksual Laki-Laki.” Studi terhadap Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Thesis. Purwokerto: Universitas

Jenderal Soedirman.

Wahyuningrum, Bernadeta Ajeng. 2013.

Keberadaan Tari Ronggeng Bugis di Cirebon Jawa Barat. Skripsi:

Universitas Negeri Yogyakarta. Wiyatni. 2013. Analisis Novel Panembahan

Senopati karya Gamal, Skripsi:

Universitas Jenderal Soedirman.

Internet;

Susanto. Ari. 2015. Pengertian, Ciri dan

Unsur Novel,

www.pengertianahli.com/2014/06/pengertia n-ciri-unsur-novel.html?m=1 (diakses 12 maret 2016)

Rarasati, Sekar. 2015. Mencari Makna

Seorang Ronggeng,

http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/1 2/mencari-makna-seorang-ronggeng (diakses 19 Oktober 2016)

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu karunia yang penulis rasakan adalah diberikan kenikmatan untuk menyelesaikan tesis dengan judul ”Majas dalam Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad

Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan latar belakang sosial budaya Ahmad Tohari sebagai pengarang novel Ronggeng Dukuh Paruk , (2) mendeskripsikan analisis

“Aspek Citraan dalam Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari: Kajian Stilistika dan Implementasi dalam Pembelajaran Sastra di SMK Tamansiswa

Tujuan penelitian meliputi tiga hal: (1) mendeskripsikan dan menjelaskan tindak tutur yang muncul dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari; (2)

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gaya kata yang terdapat dalam novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan mendeskripsikan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dunia ronggeng dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ditinjau dari teori Respon Estetik Wolfgang Iser. Sumber data

Haryanto dengan judul “ Keperempuanan Tokoh Matsumi Dalam Novel Perempuan Kembang Jepun Karya Lan Fang Dan Tokoh Srintil Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya

(2) Bagaimana dekonstruksi penokohan tokoh tambahan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari?Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam novel “Ronggeng