PENERAPAN PRINSIP PERTANGGUNG JAWABAN PENGANGKUT DALAM PENGANGKUTAN LAUT DAN UDARA
Araya Anggara Putra 14/366602/HK/20078
No Presensi: ____
Pendahuluan
Pengangkutan diartikan sebagai pengangkutan dan pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang atau orang, barang atau orang yang diangkut dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan selamat, walaupun demikian diperlukan suatu alat sebagai sarana pengangkut.
Menurut Sution Usma Adji, bahwa pengangkutan adalah: ”Sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari tempat tujuan tertentu dengan selamat tanpa berkurang jumlah dari barang yang dikirimkan, sedangkan pihak lainnya (pengirim atau penerima) berkeharusan memberikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut.”
Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka ada hubungan timbal balik antara pengangkut dan pengirim, yaitu hubungan hak dan kewajiban. Sebagai pihak perantara sampainya barang kepada penerima, maka pengangkut memiliki tanggung jawab tertentu terhadap sesuatu (konosomemen atau manifest) yang dipercayakan kepadanya oleh pengirim untuk disampaikan kepada penerima.
Latar Belakang Masalah
1. Apa prinsip-prinsip pertanggung jawaban pengangkutan?
2. Bagaimana penerapan prinsip pengangkut dalam pengangkutan darat dan laut?
Pembahasan
1. Presumption of Liability
Prinsip praduga dianggap untuk selalu bertanggung jawab. Tergugat dianggap bertanggung jawab kecuali tergugat mampu membuktikan bahwa dia tidak bersalah. 2. Presumption of Non-Liability
Tergugat selalu dianggap tidak bertanggung jawab, tetapi terdapat pengecualian-pengecualian dalam mempertanggungjawabkan suatu kejadian atas benda dalam angkutan.
3. Absolute Liabilty
Pengangkut bertanggung jawab secara mutlak tanpa mensyaratkan unsur kesalahan, tetapi langsung pada kerugian yang ditimbulkan. Dengan seiringnya terbukti ada unsur kesalahan, pelaku usaha langsung mengganti kerugian (karena sulit untuk membuktikannya).
4. Limitation of Liabilty
Dari awal dibuatnya perjanjian pengangkutan terdapat batasan-batasan terkait pertanggung jawaban oleh pengangkut. Hal ini untuk melindungi pengangkut agar tidak jatuh rugi dan menjai pailit karena pertanggung jawaban pengangkutan olehnya. Penerapan prinsip-prinsip pengangkutan diatas dapat langsung dikaji melalu peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Hukum positif yang mengatur pertanggung jawaban pengangkutan laut dan udara sudah mengatur mengenai implementasi dari prinsip tersebut. Ketentuan-ketentuannya diatur melalui:
KUHD (Wetboek van Koophandel voor Indonesie) UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
PP No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU)
United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea 1978
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 89 Tahun 2015 Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia
Berikut penerapan yang terdapat dalam hukum positif di Indonesia: 1. Persumption of Liability
Pasal 468 (2) KUHD
tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkannya, atau karena terjadi kerusakan pada barang itu, kecuali apabila dibuktikannya bahwa tidak diserahkannya barang atau kerusakan tadi disebabkan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya, atau cacat dari pada barang tersebut, atau oleh kesalahan dari si yang mengirimkannya.”
Pasal 477 KUHD
“Si pengangkut adalah bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena terlambat diserahkannya barang yang diangkutnya, kecuali apabila dibuktikannya bahwa keterlambatan itu disebabkan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarkannya”
Pasal 522 (2) KUHD
“Si pengangkut diwajibkan mengganti kerugian yang disebabkan karena terlambat diserahkannya karena luka, yang didapat oleh si penumpang karena pengangkutan itu, kecuali apabila dibuktikannya bahwa luka itu disebabkan oleh suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah maupun dihindarkannya, ataupun karena salahnya si penumpang sendiri.”
PP No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (Pasal 181 (7))
“Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.”
Pasal 41 (2) UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
“Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.”
Pasal 29 (1) dan (2) Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU)
2. Presumption of non-Liability
Pasal 143 UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
“Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya. “
Pasal 41 UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
“Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut; b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau d. kerugian pihak ketiga.
(selain ketentuan diatas maka dianggap tidak bertanggung jawab)
Pasal 2 Permenhub 89/2015
“keterlambatan penerbangan pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal terdiri dari:
a. keterlambatan penerbangan (flight delayed);
b. tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passenger); dan
c. pembatalan penerbangan (cancelation of flight).”
(selain ketentuan diatas maka dianggap tidak bertanggung jawab)
3. Absolute Liability
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau d. kerugian pihak ketiga.”
Pasal 141 (1) UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
“Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.”
4. Limitation of Liability
Pasal 24 (2) dan Pasal 28 Ordonansi Pengangkutan Udara
Pasal 24 “pembatasan siapa-siapa saja yang berhak menerima ganti rugi, yang dalam hal ini adalah : Suami/istri dari penumpang yang tewas,Anak atau anak-anaknya dari si mati Orang tua dari si mati.”
Pasal 28 “Jika tidak ada persetujuan Ijin, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi dan barang”.
Pasal 9 (1) Permenhub 89/2015
a. keterlambatan kategori 1, kompensasi berupa minuman ringan;
b. keterlambatan kategori 2, kompensasi berupa minuman dan makanan ringan (snack box); c. keterlambatan kategori 3, kompensasi berupa minuman dan makanan berat (heavy meal); d. keterlambatan kategori 4, kompensasi berupa minuman, makanan ringan (snack box),
dan makanan berat (heavy meal);
e. keterlambatan kategori 5, kompensasi berupa ganti rugi sebesar Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah);
f. keterlambatan kategori 6, badan usaha angkutan udara wajib mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket); dan g. keterlambatan pada kategori 2 sampai dengan 5, penumpang dapat dialihkan ke
United Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea 1978
The Hamburg Rules, batas tanggung jawab pengangkut ialah 835 satuan uang per kilo atau 2,5 satuan per kilogram dari berat kotor barang yang rusak atau hilang. Satuan uang ini menurut Pasal 26 konvensi tersebut ialah SDR yang nilainya ditetapkan oleh International Monetary Fund (IMF).
Pasal 181 (4) PP No. 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan
“Batas tanggung jawab untuk pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara pengguna dan penyedia jasa sesuai dengan perjanjian angkutan atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Kesimpulan