• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kasus PEMBANGUNAN DAN PENGGUNAAN BASE TR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kasus PEMBANGUNAN DAN PENGGUNAAN BASE TR"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBANGUNAN DAN PENGGUNAAN BASE TRANSCEIVER

STATION (BTS) DIKAITKAN DENGAN PERAN PEMERINTAH

DAERAH (Studi di Pemerintah Kota Tebing Tinggi)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... ..v

DAFTAR TABEL………vi

ABSTRAKSI………...vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... ..1

B. Perumusan Masalah ... ..8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... ..8

D. Metode Penelitian ... 14

BAB II PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBANGUNAN DAN PENGGUNAAN BASE TRANSCEIVER STATION DI KOTA TEBING TINGGI A. Peran Pemerintah Kota Tebing Tinggi Dalam Pengaturan Penempatan Lokasi Base Transceiver Station...76

B. Kepastian Hukum Mengenai Peran Pemerintah Daerah……96

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ………99

B. Saran ………....102

DAFTAR PUSTAKA ………105

DAFTAR TABEL Tabel – 1 : Realisasi Investasi Izin Usaha Tetap PMDN DAN PMA Sektor Telekomunikasi Periode Tahun 1990-2007………47

Tabel – 2 : Jumlah Operator Telepon di Indonesia...56

Tabel – 3 : Pelaku Pasar Telepon Selular Indonesia, 2005-2007...56

Tabel – 4 : Jumlah BTS tiap operator telekomunikasi 2007...58

ABSTRAKSI

Perkembangan pertelekomunikasian begitu pesat dan sangat menggiurkan. Para investor melihat ini sebagai bisnis yang menghasilkan laba yang sangat besar sehingga berupaya melakukan inovasi agar dapat meningkatkan pelanggan. Salah

(2)

peningkatan mutu jaringan telepon seluler yakni dengan menanamkan modal yang besar pada pembangun Base Transceiver Station (BTS). BTS merupakan perangkat jaringan telekomunikasi yang berfungsi dalam meningkatkan signal/jaringan telepon

seluler.Perkembangan BTS tersebut sangat pesat dan muncul permasalahan yang terkait dengan pembangunan dan penggunaan BTS. Yang menjadi permasalahan

dalam makalah ini adalah bagaimana ketentuan pengaturan usaha

penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia, bagaimana ketentuan pembangunan dan penggunaan BTS dan Bagaimana peran pemerintah kota Tebing Tinggi dalam pelaksanaan pembangunan dan penggunaan BTS. Metode penelitian yang dipakai untuk menyusun makalah ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu

dengan jalan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, majalah, peraturan perundang-undangan dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat hubungannya dengan maksud tujuan dari pada penyusunan karya ilmiah ini serta penelitian lapangan (field research), untuk melihat aplikasi dari peraturan perundang-undangan tersebut dengan mengambil lokasi penelitian di Pemerintah Kota Tebing

Tinggi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan usaha penyelenggaraan pertelekomunikasian di Indonesia telah mengatur tentang perangkat telekomunikasi, dan salah satunya mengatur tentang pembangunan dan

penggunaan menara BTS. BTS pada dasarnya memberikan keuntungan pada daerah dimana BTS tersebut didirikan. Namun dalam pendiriannya harus disesuaikan dengan kondisi wilayah BTS tersebut didirikan. Kebijakan yang telah

dilakukan dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan hal ini adalah mewajibkan pengggunaan menara BTS secara bersama (menara bersama). Namun

dalam pelaksanaan hal tersebut peran pemerintah daerah, khususnya Kota Tebing Tinggi tidak terlaksana sebagaimana yang diamanatkan oleh peraturan tersebut.Peran yang ada hanya sebatas pemberian izin mendirikan bangunan yang

disebabkan belum adanya peraturan daerah yang mengaturnya.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan jasa dan teknologi telekomunikasi akhir-akhir ini berjalan luar biasa cepatnya, bahkan melebihi perkembangan macam dan teknologi bidang-bidang lainnya. Walaupun dapat dikatakan bahwa perkembangan teknologi informasi ini seakan tidak dapat ditahan, namun sebenarnya pertumbuhan teknologi informasi itu tidak akan berarti apa-apa apabila tidak ditopang oleh revolusi yang dialami oleh teknologi telekomunikasi itu sendiri.

(3)

terhambat dan dampak akhirnya akan memperlambat upaya bangsa kita dalam meraih dan menikmati bersama hasil-hasil pembangunan.

Telekomunikasi sendiri merupakan salah satu sektor yang sangat berkembang pesat dan telah menjadi kebutuhan hidup masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Perubahan bisnis telekomunikasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan telekomunikasi di dunia. Hal ini tidak bisa dihindarkan, karena teknologi telekomunikasi bersifat global dan aplikasinya yang terintegrasi, ditambah Indonesia yang bukan pemain utama untuk produk-produk teknologi Informasi. Kebutuhan pelanggan dan pasar Indonesia justru lebih didorong oleh teknologi itu sendiri.3 Hal ini dibuktikan dengan semakin tingginya tingkat penetrasi telepon di Indonesia yang saat ini berjumlah delapan puluh juta pelanggan atau sekitar 32% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Dengan tingginya tingkat penetrasi telepon di Indonesia saat ini, menunjukkan bahwa kebutuhan akan telepon bagi masyarakat semakin tinggi dan semakin dibutuhkan masyarakat dalam menunjang kualitas kehidupan bermasyarakat. Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi oleh Pemerintah, turut mempengaruhi bisnis para perusahaan yang bergerak di sektor jasa dan jaringan telekomunikasi di Indonesia, termasuk juga Telkom, sebagai pengelola telekomunikasi tertua di Indonesia. UU mengenai pertelekomunikasian itu sebelumnya telah didahului oleh UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat dan UU N0.8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen. Kedua undang-undang terakhir ini, amat berpengaruh besar terhadap bisnis telekomunikasi di Indonesia, sehingga menuntut Telkom untuk memberikan pelayanan yang semakin baik kepada pelanggan di lihat dari sisi produk maupun pelayanannya. Dalam daya saing bisnis, jasa telekomunikasi tumbuh dengan baik, dengan tingkat rata-rata pertumbuhan di atas 20% per tahun. Sehingga para investor, asing dan dalam negeri banyak meminati saham jasa telekomunikasi di Indonesia. Berbagai cara dan upaya dilakukan oleh investor untuk memperoleh keuntungan yang maksimal dalam bisnis telekomunikasi. Dalam bisnis telekomunikasi, kompetisi sangat keras. Pangsa pasar alatalat telekomunikasi di Indonesia menjadi sasaran pemasaran produk dari berbagai perusahaan asing, sehingga menimbulkan kecemasan di kalangan produsen dalam negeri. Hal yang sama juga terjadi pada penyelenggara jasa telekomunikasi yang mengarah pada terjadinya kerjasama antara Pemerintah dengan pihak swasta, misalnya dalam pengelolaan satelit Palapa dan Telepon seluler, baik melalui usaha patungan, kerjasama operasi, maupun kontrak manajemen.

(4)

sektor jasa teleomunikasi yang vital. Menara tersebut merupakan urat nadi dalam pelaksanaan sektor jasa telekomunikasi karena berfungsi sebagai sarana penempatan antena BTS (Base Transceiver Station) baik untuk teknologi GSM maupun CDMA. BTS-BTS (Base Transceiver Station) tersebut merupakan salah satu sarana pertelekomunikasian yang dapat meningkatkan jaringan pada telepon seluler, sehingga data yang dihasilkan menjadi lebih jelas dan cepat. Suatu hal yang perlu diketahui bahwa telepon seluler hanya berfungsi bila dioperasikan dalam area pelayanan BTS (Stasiun Induk Pengirim dan Penerima) yang membawahi sejumlah pelanggan. Bila tidak di wilayah cakupan BTS, maka telepon seluler tidak dapat bekerja, sehinga di layar akan tertulis no services. Karena itu hidup matinya amat ditentukan oleh kedekatannya dengan BTS dimaksud.

Perusahaan – perusahaan telekomunikasi sekarang ini berlomba-lomba dalam membangun BTS. BTS-BTS tersebut dibangun pada daerah-daerah yang menjangkau banyak pelanggan. Hal ini dimaksud agar pelanggan puas dan nyaman atas pelayanan yang diberikan oleh perusahaan telekomunikasi. Dalam pembangunan dan penggunaan BTS tersebut tentunya akan melibatkan peran pemerintah daerah. Dengan dikeluarkannya UU No.12 Tahun 2008 jo UU No.32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, maka UU Telekomunikasi, UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat dan UU Perlindungan Konsumen telah berdampak kepada struktur bisnis perusahaan yang selama ini tersentralisasi di pusat, menuju kepada desentralisasi, serta pemberian otonomi yang lebih luas pada unit-unit usaha di daerah.

(5)

ruang secara keseluruhan, dalam perencanaan tata ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya.

Yang menjadi permasalahan disini bahwa perusahaan-perusahaan telekomunikasi berusaha semaksimal mungkin melakukan upaya dalam peningkatan pelayanan kepada pelanggan dalam bidang peningkatan kualitas produk yakni dengan membangun dan menggunakan BTS yang tujuan utamanya adalah memperoleh keuntungan semaksimalnya. Namun dalam penyelenggaraannya tersebut perusahaan-perusahaan telekomunikasi tidak memperhatikan kondisi tata ruang suatu daerah. Mereka terus mencari daerahdaerah yang memiliki peluang bisnis yang sangat besar. Dengan semakin hebatnya kompetisi di bidang ini, maka terlihat berbagai menara bermunculan di berbagai tempat di Indonesia, dan bahkan di satu lokasi yang berdekatan bisa berdiri tiga sampai dengan lima unit menara, sehingga terkesan tidak efisien dan mengganggu estetika suatu daerah. Disinilah pemerintah daerah harus berperan aktif. Pemerintah daerah harus dapat bersikap bijaksana dan jeli terhadap kondisi daerah pemerintahannya. Jangan hanya melihat dari keuntungan yang diperoleh dari bisnis pertelekomunikasian tetapi juga harus melihat kondisi tata ruang pada daerah yang bersangkutan. Bukan berarti dalam hal ini pemerintah daerah melarang keras pembangunan dan penggunaan BTS, sebab mobilisasi suatu daerah juga dipengaruhi pada telekomunikasi di daerah yang bersangkutan. Akan tetapi tidak mutlak memberikan dukungan yang sebesar-besarnya pada pembangunan dan penggunaan BTS tersebut. Penulis tertarik untuk mengetahui apa saja peran dari pemerintah daerah khususnya dalam pembangunan dan penggunaan BTS, apa saja yang dapat dilakukan oleh pemerintah terkait dengan pengaturan penempatan BTS serta berbagai peran lainnya sehubungan dengan pembangunan dan pengaturan BTS.

Berdasarkan uraian berbagai permasalahan di atas, penulis merasa perlu untuk melakukan pengkajian terhadap ketentuan tersebut, sehingga makalah ini diberi judul “ Pembangunan dan Penggunaan Base Transceiver Station Dikaitkan Dengan Peran Pemerintah Daerah (Studi di Pemerintah Kota Tebing Tinggi)”

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah diuraikan terlebih dahulu, maka penulis membuat batasan perumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu :

1. Bagaimana pengaturan usaha penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia?

2. Bagaimana ketentuan pembangunan dan penggunaan Base Transceiver Station (BTS) ?

3. Bagaimana peran pemerintah kota Tebing Tinggi dalam pelaksanaan pembangunan dan penggunaan Base Transceiver Station (BTS) ?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

(6)

Adapun tujuan dalam pembahasan skripsi penulis yang berjudul “ Pembangunan dan Penggunaan Base Transceiver Station Dikaitkan Dengan Peran Pemerintah Daerah” mempunyai tujuan pembahasan yang sesuai dengan permasalahan yang diajukan, antara lain :

1. Untuk menjelaskan pengaturan usaha penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia;

2. Untuk menjelaskan ketentuan hukum mengenai pembangunan dan penggunaan Base Transceiver Station (BTS);

3. Untuk menjelaskan peran pemerintah kota Tebing Tinggi dalam pelaksanaan pembangunan dan penggunaan Base Transceiver Station (BTS).

b.Manfaat Penulisan

Berdasarkan dari permasalahan-permasalahan di atas, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :

1. Secara Teoritis Sebagai bentuk peningkatan pengetahuan penulis di bidang hukum ekonomi, khususnya dalam peran pemerintah daerah berkaitan dengan pembangunan dan penggunaan Base Transceiver Station ; dan

2. Secara Praktis Sebagai suatu bentuk sumbangan dan masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya dalam hal pembangunan dan penggunaan Base Transceiver Station di Indonesia.

D.Metode Penelitian

Dalam setiap penulisan haruslah menggunakan metode penulisan yang sesuai dengan bidang yang diteliti. Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Dengan demikian, penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normative yang bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang menganalisis hukum yang tertulis. Sedangkat bersifat deskriptif maksudnya penelitian tersebut kadang kala dilakukan dengan melakukan suatu survey ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang dapat mendukung teori yang ada.

2. Sumber Data

a. Data Primer Data primer diperoleh langsung dari lapangan melalui wawancara dengan informan yang berasal dari Badan Perencanaan Daerah dan Pekejaan Umum Pemerintah Kota Tebing Tinggi dan pihak-pihak yang terkait dan memenuhi karakteristik untuk mendapat data dan informasi mengenai masalah yang diteliti guna mendukung data-data sekunder.

(7)

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari:

a. Norma/kaidah dasar, yaitu: Pembukaan UUD 1945

b. Peraturan dasar:

 Batang Tubuh UUD 1945

 Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

c. Peraturan Perundang-undangan:

 Undang-Undang dan peraturan yang setaraf,  Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf,

 Keputusan Presiden dan keputusan yang setaraf,

 Keputusan Menteri dan keputusan yang setaraf,

 Peraturan-peraturan Daerah. d. Bahan Hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti Hukum Adat.

 Yurisprudensi

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU), hasil-hasil penelitian, atau pendapat para pakar hukum.

3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia dan lian-lain.

3. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan cara membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan penelitian yang telah dirumuskan.

BAB II

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBANGUNAN DAN PENGGUNAAN BASE TRANSCEIVER STATION (BTS) DI KOTA TEBING TINGGI

A. Peran Pemerintah Kota Tebing Tinggi Dalam Pengaturan Penempatan Lokasi Base Transceiver Station

Dalam industri telekomunikasi, salah satu topik yang mengemuka adalah mengenai pembangunan sarana penunjang base transceiver station (BTS) atau lebih sering disebut dengan menara telekomunikasi. Menjamurnya menara BTS membuat gundah beberapa pemerintah daerah. Akibatnya, muncul wacana untuk mengelola menara BTS sehingga bisa menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).

(8)

BTS sebagai "ladang" baru demi menambah pendapatan, namun juga masyarakat. Meski banyak pula masyarakat daerah terpencil yang mengirimkan pesan singkat ke SMS Center BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) agar di wilayahnya dibangun BTS, namun tidak dapat dipungkiri banyak juga penolakan warga atas pembangunan tersebut yang bermuara pada besaran nilai kompensasi.

Hal yang menjadi kendala dalam pembangunan menara telekomunikasi adalah masalah penataan kota. Bayangkan saja, dengan sekitar sepuluh operator telekomunikasi yang sekarang ini giat membangun jaringan, maka yang terjadi adalah hadirnya menara bak cendawan di musim hujan dan akan menjadikan kota dan desa-desa sebagai "hutan tower (menara)." Dalam meningkatkan arus investasi ke Indonesia berbagai upaya tersu dilakuakan oleh pemerintah. Upaya tersebut, antara lain dengan pendelegasian kewenangan pegelolaan investasi kepada

Pemerintah Daerah (PEMDA).77Untuk itu pemerintah daerah wajib berperan untuk menghindarkan terjadinya hutan tower (menara). Menurut Pasal 13 dan 14 Undang-undang No.12 Tahun 2008 jo UU No.32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwasanya urusan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota dalam skala provinsi dan

kabupaten/kota meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang. Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam penataan ruang terdapat dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) sampai dengan ayat (6) Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang:

1) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi :

a) Pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota;

b) Pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;

c) Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan

d) Kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota.

2) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :

a) Perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota;

b) Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota;

c) Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.

3) Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c pemerintah daerah kabupaten/kota melaksanakan;

a) Penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;

(9)

c) Pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan

d) Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.

4) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pemerintah daerah kabupaten/kota mengacu kepada pedoman bidang penataan ruang dan petunjuk pelaksanaannya.

5) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pemerintah daerah kabupaten/kota :

a) Menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana umum dan rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota;

b) Melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.

6) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, pemerintah daerah provinsi dapat mengambil langkah menyelesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Hal ini juga diperjelas dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Pada Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan

pemeerintahan. Dan pada Pasal 2 ayat (4) point e PP tersebut telah memasukkan penataan ruang sebagai salah satu bidang dalam urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Pemerintah Kota Tebing Tinggi telah memiliki Rencana Induk Kota (RIK) sejak tahun 1995. kemudian

dikeluarkan Peraturan Daerah Nomor. 8 Tahun 1987 yang direvisi pada tahun 1993 dan diubah dengan Peraturan Daerah Nomor.15 Tahun 1996 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, dan disempurnakan pada tahun 1999 dengan alokasi ruang sebesar 60 Hektar eks tanah PTPN III yang dikenal dengan Peraturan Daerah Kota Tebing Tinggi Nomor 35 Tahun 1999 yang dipergunakan hingga saat ini.

Sebagaimana ketentuan Pasal 4 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia No.02/PER/M.KOMINFO/3/2008 telah menyebutkan bahwa

Pemerintah Daerah harus menyusun pengaturan penempatan lokasi Menara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berarti telah

mengharuskan pemerintah kota Tebing Tinggi untuk mengatur penempatan lokasi BTS. Namun dalam realisasinya tidaklah seperti demikian.

Menurut M.Hafnil Fadly selaku staf pada Badan Perencanaan Pembangunan Kota Tebing Tinggi menyebutkan bahwa pihak BAPEDA hanya mengeluarkan surat izin prinsip yang dimintakan oleh Walikota Tebing Tinggi, sebab yang menentukan lokasi pembangunan BTS adalah pihak operator. Untuk itu pihak Bapeda hanya

menentukan apakah BTS yang akan dibangun telah merusak tata ruang kota atau tidak. Bila telah dilakukan survey di lapangan, dan BTS yang akan dibangun

(10)

Tinggi akan mengeluarkan Surat Izin Prinsip dan selanjutnya Walikota akan memberikan izin membangun kepada pihak pemohon. Jadi disisni pihak BAPEDA hanya berperan dalam menentukan suatu BTS yang akan dibangun telah/belum merusak tata runag kota Tebing Tinggi atau tidak sedangkan yang menentukan lokasi pendirian BTS adalah pihak pemohon (Operator). Hal senada juga dilontarkan oleh S.P.Utomo selaku staff Pada Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu. Ia

menyebutkan bahwa dalam peristiwa yang telah terjadi selama ini,pihak pemohon (operator) yang menentukan lokasi pendirian BTS sedangkan Pemeintah Kota Tebing Tinggi cq BAPEDA Kota Tebing Tinggi hanya mengeluarkan Surat yang menyatakan bahwa BTS yang telah dibangun merusak Tata Ruang Kota atau tidak.Bila harus demikian, sampai saat ini belum ada Staff Ahli di Kota Tebing Tinggi yang dapat menentukan lokasi pembangunan BTS dan tentunya hal ini akan merepotkan Pemerintah Kota Tebing Tinggi. Pernyataan yang telah diberikan oleh kedua orang tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh Bapak Dwi Joko Purwanto selaku Asisten Manager User Relation and Calibration PT.TELKOM. Ia menyebutkan bahwa pihak operatorlah yang menentukan lokasi Pembangunan BTS, sebab hal itu harus sesuai dengan GPS (General Position System) atau titik-titik lokasi yang dapat mengcakup banyak pelangan sehingga tidak terjadi black spot (daerah negative sinyal). Bila salah sedikit dalam menentukan titik lokasi pendirian BTS, maka daerah tersebut tidak dapat mencakup area yang ditentukan sehingga sinyal telepon

seluler menjadi tidak ada yang dapat mengakibatkan kehilangan banyak pelanggan dan pastinya mengakibatkan kerugian pada pihak operator.

Jadi dapat terlihat jelas bahwa Pemerintah Kota Tebing Tinggi tidak memiliki peran dalam pengaturan penempatan lokasi BTS, peran yang ada hanya menentukan lokasi BTS yang akan dibangun telah merusak tata ruang kota Tebing Tinggi atau tidak. Dengan demikian amanat dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia No.02/PER/M.KOMINFO/3/2008 tidak terealisasi. Faktor utama dalam tidak terlaksananya hal tersebut bahwa tidak ada Peraturan Daerah yang mengaturnya, Pemerintah Kota Tebing Tinggi tidak dapat mengambil suatu kebijakan apabila tidak ada instruksi/Peraturan Daerah dari Provinsi Sumatera Utara

B.Kepastian Hukum Mengenai Peran Pemerintah Daerah

Dalam melaksanakan suatu kebijakan di suatu pemerintah daerah misalnya kota Tebing Tinggi tidaklah mudah seperti apa yang kita bayangkan. Walaupun Undang-undang No.12 Tahun 2008 jo UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kegiatan pemerintahannya sendiri, namun tetap saja dalam realisasinya harus berkoordinasi dengan pemerintahan diatasnya. Inilah yang menjadi kendala bagi pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pemerintahannya. Seperti dalam halnya pengaturan penempatan lokasi BTS yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia No.02/PER/M.KOMINFO/3/2008 dimana pengaturan penempatan lokasi BTS yang berhak menentukan adalah pemerintah daerah. Dalam hal ini, tidak dapat dijalankan sama sekali oleh Pemerintah Kota Tebing Tinggi sebab belum ada

(11)

telah dikeluarkannya suatu peraturan yang terkait dari Pemerintah Provinsi

Sumatera Utara. Begitu juga dalam kaitannya dengan penataan ruang, Pemerintah Kota Tebing Tinggi tidak dapat membuat peraturan daerahnya sebelum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah meneyelesaikan Peraturan Daerah Tentang Penataan Ruang, sebab Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang berhak menentukan Kota Tebing Tinggi dijadikan kawasan apa dan setelah ditetapkan barulah Pemerintah Kota Tebing Tinggi dapat membuat peraturan daerah tentang Penataan Ruang di pemerintahannya. Begitu besar peranan dari Pemerintahan Pusat, ini dapat dilihat dari dikeluarkannya Surat Edaran dari Walikota Kota Tebing Tinggi yang

mengharuskan pemberhentian pembangunan menara telekomunikasi setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia No.02/PER/M.KOMINFO/3/2008 yang mewajibkan penggunaan menara bersama. Oleh sebab itulah Pemerintah Kota Tebing Tinggi cq Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KP2T) Kota Tebing Tinggi tidak memberikan izin urterhadap pembangunan dan penggunaan menara BTS. Hal ini dilakukan karena dikhawatirkan akan

bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya. Keunggulan otonomi daerah hanya terletak dari keleluasaan Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam melakukan kebijakan daerah dan keluluasaan dalam APBN sebab daerahlah yang mengusulkan jumlah biaya yang diperlukan dalam melakukan suatu kebijakan dan bukan

Pemerintah Pusat yang menentukan lagi. Selebihnya setiap kebijakan yang akan dilakukan harus sesuai dengan Peraturan yang ada diatasnya.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa Peran Pemerintah Kota Tebing Tinggi tidak begitu besar terutama dalam pembangunan dan penggunanaan menara BTS sebab belum ada Peraturan Daerah yang mengaturnya. Peran yang ada hanya sebatas

pemberian izin.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan sebelumnya, dapat diperoleh kesimpulan yang diantaranya : 1. Mengenai pengaturan penggunaan bersama menara seluler (BTS) harus segera direalisasikan secepat mugkin agar tercapai kepastian hukum dan tercipta keseragaman hukum di setiap daerah. Dengan adanya pengaturan mengenai penggunaan bersama menara seluler, diharapkan akan dapat menghemat dana dari pihak operator seluler dan terutama dapat menghindarkan terjadinya “hutan tower” di berbagai daerah di Indonesia. Sebab diyakini dengan adanya penggunaan bersama menara seluler dapat mengurangi tingkat pencemaran keindahan tata kota sehingga tata ruang suatu kota dapat dimanfaatkan seefisien mungkin.

2. Secara normative perananan Pemerintah Daerah telah diatur dalam PP No.38 tahun 2007, yang memisahkan secara tegas Urusan Pemerintahan, baik bagi pemerintah (pusat), provinsi, maupun kabupaten/kota. Dalam realisasi di Pemerintah Kota Tebing Tinggi, Pemerintah Kota Tebing Tinggi tidak dapat

(12)

(Pemerintah Provinsi Sumatera Utara) mengeluarkan Peraturan Daerah. Peranan Pemerintah Kota Tebing Tinggi menjadi sangst kecil karena keterlambatan Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Pemerintah Provinsi

Sumatera Utara . Kewenagan yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi hanya sebatas peraturan daerah yang ia miliki, sebab dalam melakukan suatu kebijakan harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara yang membuthkan waktu yang cukup lama. Hal ini dimkasudkan agar suatu

peraturan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dari padanya. Peran yang ada pada Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam pembangunan dan penggunaan BTS hanya sebatas dalam pemberian izin. Sedangkan peran dalam pengaturan penempatan lokasi BTS tidak dapat terlaksana sebab belum ada Peraturan Daerah yang mengaturnya.

3. Dalam penggunaan bersama menara seluler ini, diharapkan pemerintah daerah setempat tidak mengambil alih keseluruhan pengaturan pembangunan menara seluler (BTS) ini karena dikhawatirkan bahwa semakin susahnya birokrasi di pemerintahan daerah setempat dalam hal pengadaan menara ini. Di satu sisi pemerintah juga dikhawatirkan akan memonopoli pengaturan menara seluler bersama ini sehingga secara serta merta memunculkan suatu ruang bagi para pelaku usaha pembangunan menara untuk “berbuat curang” dalam proses tender yang tentu saja diurusi langsung oleh pemerintah setempat. Untuk itu perlunya kebijaksanaan dari pemerintah setempat untuk menyikapi fenomena tersebut.

4. Dalam pembangunan dan penggunaan BTS tentunya memberikan dampak bagi pemilik lahan maupun masyarakat sekitar baik secara langsung maupun tidak langsung, penulis membaginya kedalam dua kelompok dasar, yaitu :

a. Dampak Positif i) Bertambahnya pendapatan yang secara langsung dapat

dirasakan oleh pemilik lahan melalui perjanjian jual beli atau sewa menyewa lahan; ii) Maksimalnya signal yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat pengguna produk operator seluler. iii) Bertambahnya pendapatan asli daerah melalui retribusi atas izin mendirikan bangunan dari pembangunan dan pengunaan menara seluler.

b. Dampak Negatif i) perasaan cemas oleh warga sekitar menara akibat

kemungkinan rusak atau rubuhnya menara yang dapat diakibatkan oleh konstruksi bangunan yang tidak baik, ataupun dikarenakan “Force Majeur” misalnya

diakibatkan pleh kondisi alam seperti banjir, tanah longsor dam lainnya. ii) Ancaman petir terhadap bangunan disekitar menara apabila konstruksi penangkal petir

menara tersebut tidak bekerja dengan baik.

5. Pembangunan dan Penggunaan menara seluler jangan tidak diperbolehkan, sebab dapat memberikan keuntungan bagi pemerintah setempat maupun

masyarakatnya. Namun dalam pembangunannya harus dapat disesuaikan dengan kondisi wilayah yang ada. Peningkatan perkembangan di bidang telekomunikasi dapat mempermudah dalam memperoleh dan menyampiakna informasi sehingga menghasilkan manusia yang tidak buta akan perkembangan zaman.

(13)

Berdasarkan uraian, dapat disimpulkan saran sebagai berikut :

1. Dengan semakin cepatnya perkembangan di bidang teknologi khususnya dalam bidang teknologi informasi dan telekomunikasi, tentunya harus dipayungi dengan ketentuan hukum yang bersifat dinamis. Dinamis disini berarti harus dapat

mengakomodir semua kemajuan teknologi di bidang telekomunikasi

tersebut.khususnya mengenai pengaturan di bidang teknologi menara seluler (BTS) yang saat ini memerlukan pengaturan secara menyeluruuh. Pemerintah dalam hal ini sebagai badan regulator harus mengeluarkan pengaturan hokum yang nantinya tidak menjadi hambatan baggi setiap pelaku usaha di bidang telekomunikasi. Dengan semakin banyaknya menara seluler bermunculan, pemerintah daerah setempat harus dapat memberikan pengaturan yang maksimal agar sesuai dengan estetika lingkungan dan hendaknya pengaturan tersebut tidak bersifat politis

semata.

2. Semakin tingginya permintaaan masyarakat dalam dunia pertelekomunikasian khususnya terhadap telepon seluler telah mendorong pelaku usaha untuk

meningkatkan investasi dalam pembangunan menara seluler (BTS) yang diyakini dapat meningkatkan pelanggan dan pastinya keuntungan yang luar biasa. Karena itu pelaku usaha beramai-ramai membangun manara seluler, namun bila hal ini dibiarkan tentunya akan merusak tata ruang suatu daerah. Untuk itulah pelaku usaha harus dapat menyesuaikan pembangunan menara seluler dengan jumlah wilayah dan jumlah penduduk suatu daerah, jangan hanya memikirkan keuntungan saja. Atas dasar tersebut pemerintah daerah harus bijak dan jeli terhadap pelaku usaha yang lebih mengutamakan keuntungan dari pada pemanfaatan. Sanksi yang tegas harus dapat dilaksanakan bila ada menara seluler yang tidak emenuhi

persyaratan yang telah ditentukan.

3. Pengaturan penggunaan menara bersama harus jelas, ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan oleh pemerintah jangan sampai menimbulkan penafsiran yang

ambigu oleh pelaku usaha maupun pemerintah daerah. Peraturan tersebut juga harus dapat menjelakan bagaimana system penggunaan menara bersama, kepada siapa penyewa harus menyewa, dan berapa jangka waktu serta jumalah operator yang dapat menyewa dalam sebuah menara bersama.

4. Pemerintah Pusat juga harus cepat dan tanggas dalam mengeluarkan regulasi bagi pemerintahan yang ada dibawahnya. Jangan sampai peraturan daerah

dikeluarkan setelah suatu masalah muncul.Sebuah Pemerintah Daerah tidak dapat melakukan peran yang besar sebelum keluar Peraturan Daerah dari Pemerintah yang ada diastasnya. Dan hendaknya pemerintah telah dapat meramalkan suatu kondisi yang akan terjadi di kedepan hari sehingga tidak terjadi permaslahan hokum.

5. Menara bersama bukan mengambil kewenangan, apalagi mengurangi hak kabupaten atau kota, melainkan untuk efektivitas pengawasan, efisiensi

(14)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdi, Zainal. Industri Telekomunikasi : Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi dan Kemajuan Bangsa. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia, 2006. Amiruddin, dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003. Burton, Richard. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2007. Effendy, Onong Uchjana. Radio Siaran, Teori dan Praktik. Bandung : Mandar Maju, 1990. Kerlinger, Ferd. N. Asas-asas Penelitian Behavioral, Cetakan Kelima, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996.

Judhariksawan. Pengantar Hukum Telekomunikasi. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2005. Kaloh, J. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta : PT.Rineka Cipta, 2007. Komar, Mieke. Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang. Bandung : Mandar Maju, 1994. Nurcholis, Hanif. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007. Laporan Pengawasan Pemanfaatan Ruang Kota Tebing Tinggi Tahun 2007, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Tebing Tinggi, Tahun 2007. Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2004.

B. Makalah

Lubis,Azhar. “Kebijakan Penanaman Modal Dalam Rangka MenciptakanIklim

Investasi yang Kondusif.” Makalah pada Diskusi Publik Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 11 April 2008. Natasya,Ningrum. ”Persaingan Usaha Industri Telekomunikasi.” Makalah pada Diskusi Publik Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 11 April 2008.

C. Internet

Darmawan, Komang.” Sejarah Telekomunikasi Dunia dan Indonesia” Dawarja, Agustinus. “Resume Singkat dari Beberapa Peraturan PerundangUndangan di

Indonesia Tentang Telekomunikasi”. Dirjenpostel. ”Penyelenggaraan Telekomunikasi di Indonesia”. Haryanto, Putra. “Perkembangan Telekomunikasi di Indonesia”.

Mahimza, Febry dkk.” BTS, Mengatur Barisan”.Mathari, Rusdi. ” [ekonomi-nasional] Kepentingan Bisnis di Menara BTS “.

E. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia

(15)

Tentang Pemisahan Kedua Peruntukan Jasa Telekomunikasi, Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1980. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang

Penyelenggaraan Telekomunikasi, Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 3980. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota ,

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika

No.02/PER/M.KOMINFO/3/2/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, Nomor 24 Tahun 1998, Lembaran Daerah Kotamadya Tingkat II Tebing Tinggi Nomor 16 Tahun 1999 Seri*B Nomor 16. Peraturan Daerah Kota Tebing Tinggi No.35 Tahun 1999 Tentang

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Akhmadi (2008), bahwa kebutuhan hidup orang lanjut usia antara lain kebutuhan akan makanan bergizi seimbang, pemeriksaan

Jurusan PAI Semester 5 Iain Salatiga). Skripsi, Salatiga: Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

Eka   Permanasari Rahma Purisari... DIGITAL

Adapun nilai pendidikan yang terkandung dalam cerita rakyat Oheo dan Onggabo pada masyarakat Tolaki dapat disimpulkan sebagai berikut: Dalam cerita rakyat Oheo

siswa yaitu kebiasaan mencuci tangan, kebersihan kuku, penggunaan alas kaki dan kebiasaan mandi dengan infeksi.. cacing

Menanggapi masalah tersebut, penulis akan mencoba membuat Aplikasi Penjualan mebel dengan menggunakan Visual Basic, sehingga dapat diharapkan efektifitas dan efisiensi kerja

(3) Apabila daerah yang dibentuk menurut pasal 1 meliputi beberapa Daerah Swapraja, maka dengan tidak mengurangi ketentuan dimaksud dalam ayat 1, Daerah-daerah Swapraja

Aspek hukum penolakan Republik Rakyat Tiongkok terhadap keputusan arbitrase internasional dalam kasus Laut Cina Selatan, yaitu semakin memburuknya hubungan Cina dengan