• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ABSTRAK

EKSISTENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Oleh

MITTA DESSYANA

Hubungan KPK dangan Kepolisian dan Kejaksaan bersifat partnership yaitu KPK sebagai penunjang kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sampai tahun 2002 Indonesia masih mengenal Kepolisian dan Kejaksaan yang merupakan lembaga penegak hukum yang ada dalam Sistem Peradilan Pidana untuk memberantas tindak pidana di Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah Eksistensi KPK dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dan Bagaimanakah Kewenangan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Pendekatan masalah yang digunakan, Pendekatan yuridis normative dan pendekatan yuridis empris. Sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap penyidik Kepolisian Polda Lampung dan Kasi Eksekusi dan Eksaminasi Kejaksaan Tinggi Lampung dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(3)

untuk melakukan kerjasama dan membudayakan harmonisasi antara ketiga Lembaga Negara yang ditunjuk secara khusus. dalam menangani pidana khusus korupsi. Sebaiknya menjalankan tugas yang sudah diatur oleh Undang-Undang dan saling mendukung dan lebih bekerja sebagai sebuah Lembaga Negara bukan sebagai pribadi yang memiliki “ego” masing-masing ditiap Lembaga yang di pimpin masing-masing Kepala Lembaga Pemerintahan. yang harus lebih ditekankan adalah KPK harus tetap melakukan pemberantasan korupsi tanpa terganggu adanya isu-isu diluar yang menyudutkan kewenangan KPK, KPK harus berani memperbarui kesepakatan untuk benar-benar dan sepenuhnya bekerja untuk Indonesia yang bersih dari kepentingan politikdan KPK harus menjadikan semua kasus yang tengah dikerjakan sebagai momentum untuk pembuktian dan diselesaikan dengan tepat, capat dan pasti untuk mengembalikan citra KPK dimata masyarakat.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Lembaga Pemberantasan Korupsi ... 16

B. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi ... 19

C. Fungsi dan wewenang Komisi Pemberantsan Korupsi ... 21

D. Pengertian Sistem Peradilan Pidana ... 22

E. Model proses peradilan pidana Indonesia ... 26

F. Tujuan Sistem Peradilan Pidana ... 27

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 31

B. Sumber dan Jenis Data ... 32

C. Penentuan Narasumber ... 33

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 34

(7)

A. KarakteristikResponden ... 36 B. Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem

Peradilan Pidana di Indonesia ... 38 C. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pemberantasan

tindak pidana korupsi di Indonesia ... 52 V. PENUTUP

A. Simpulan ... 61 B. Saran ... 62

(8)

A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi merupakan permasalahan yang muncul sejak berdirinya

Negara-negara di dunia karena dapat menimbulkan kerugian yang sangat luar

biasa. Khusus di Negara Indonesia, tindak pidana Korupsi sudah ada sejak

masa penjajahan. Semenjak itu upaya pemberantasan korupsi terus digalakan

untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional, meningkatnya korupsi di

Indonesia dapat menjatuhkan sistem pemerintahan Indonesia.

Lembaga Negara dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : Lembaga Tinggi Negara,

Lembaga Negara, dan Lembaga yang berada di Daerah. Lembaga Negara

secara fungsi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: Lembaga Negara yang

harus ada didalam sebuah negara karena merupakan eksistensi sebuah Negara,

ada pula yang bersifat sekunder yaitu Lembaga Negara yang menjalankan

fungsi turunan Negara yang sudah ada atau sebagai lembaga penunjang.

Komisi Pemberantasan Korupsi (Selanjutnya disingkat KPK) sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi, apabila dilihat dari kewenanganya maka kewenangan

yang ada pada KPK merupakan kewenangan yang bersifat turunan dari

(9)

Kepolisian adalah penyelidikan dan penyidikan dalam tindak pidana korupsi2.

Kewenangan Kejaksaan adalah penuntutan dalam hal tindak pidana Korupsi

yang bersifat limitatif. Kewenangan penuntutan sebelumnya berada di tangan

Kejaksaan, Sekarang kewenangan Kejaksaan yaitu Penuntutan Kecuali Tindak

Pidana Korupsi yang telah Diatur secara Limitatif dalam Undang-undang

Komisi Pemberantasan Korupsi dan Peraturan Perundang-Undangan Lainya.

Hubungan KPK dangan Kepolisian dan Kejaksaan bersifat partnership yaitu

KPK sebagai penunjang kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam

memberantas tindak pidana korupsi3. Pembentukan KPK sebagaimana

Pembentukan state auxiliary institution pada umumnya maka politik hukum

pembentukan KPK tidak terlepas dari politik hukum lembaga penunjang

lainya.

Dasar pembentukan KPK adalah terjadinya delegitimasi Lembaga Negara

yang telah ada. Hal ini disebabkan karena terbuktinya asumsi yang

menyatakan bahwa terjadinya korupsi yang mengakar dan sulit untuk

diberantas4. Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dianggap dinilai gagal dalam

memberantas korupsi. Dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat

terhadap penegakan hukum maka pemerintah membentuk KPK, sebagai

www.wikipedia.org.go.id/komisi_pemberantasan korupsi.dilihat pada 6 januari 2013 pukul 10.08 WIB

3

Ibid. www.wikipedia.org.go.id/komisi_pemberantasan korupsi. 4

(10)

Lembaga Negara baru yang diharapkan dapat mengembalikan citra penegakan

hukum di Indonesia.

Pembentukan KPK beranjak dari asumsi bahwa tindak pidana korupsi di

Indonesia dianggap sebagai Kejahatan Luar Biasa, sehingga dibutuhkan

lembaga yang luar biasa dengan kewenangan yang luar biasa pula. KPK

dibangun dari pemikiran bahwa Korupsi di Indonesia telah melampaui batas

normal kejahatan pada umumnya.

Menurut Syed Hussein Alatas ciri-ciri korupsi antara lain adalah :

1. Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang.

2. Korupsi pada umumnya dilakukan dengan penuh kerahasiaan. 3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. 4. Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung di balik pembenaran

hukum.

5. Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan yang tegas dan mereka yang mampu mempengaruhi keputusan.

6. Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik maupun pada masyarakat umum.

7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan kepercayaan.

8. Setiap bentuk korupsi melibatkan bentuk ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan itu.

9. Suatu bentuk korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggung jawaban dalam tatanan masyarakat5.

Undang-Undang yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

yang berlaku di Indonesia saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 adalah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang

dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum di

dalam masyarakat. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tersebut, diharapkan dapat memenuhi dan mengantisipasi kebutuhan

(11)

hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih

efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara pada khususnya dan masyarakat pada

umumnya.6

Selanjutnya untuk lebih memaksimalkan pelaksanaan pemberantasan korupsi

di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang di dalamnya diatur tentang

pembentukan sebuah lembaga yang memiliki tugas khusus dalam

menanggulangi dan menyelesaikan masalah korupsi yang terjadi di Indonesia.

Indonesia adalah Negara hukum yang memerlukan penegakan hukum untuk

menjaga keamanan dan ketertiban Negara, salah satunya adalah kepolisian.

Kepolisian berfungsi sebagai salah satu fungsi pemerintahan dibidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan,

pengayoman dan pelayanan masyarakat. secara yuridis Kepolisian dan

Kejaksaan merupakan aparat penegak hukum yang secara bersamaan berada

dibawah naungan KUHAP sejak lama.

Tahun 2002 Indonesia masih mengenal Kepolisian dan Kejaksaan yang

merupakan lembaga penegak hukum yang ada dalam Sistem Peradilan Pidana

untuk memberantas tindak pidana di Indonesia.

6

(12)

V.N. Pillai Merumuskan sistem Peradilan Pidana sebagai berikut :

Sistem peradilan pidana diartikan dengan kepolisian, penuntut umum

pengadilan dan lembaga pemasyarakatan yang merupakan

komponen-komponen dari pada susunan proses peradilan pidana7.

Kepolisian, Penuntut Umum, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang

masing-masing memiliki tugas dan wewenang yang berbeda, meskipun

demikian tidak berarti bebas anatara satu dengan yang lainya. Apa yang

dilakukan oleh satu badan memberikan pengaruh langsung pada pekerjaan

badan lainya. KPK yang di dirikan pada Tahun 2002 oleh Presiden RI. KPK

berdiri sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk koordinasi dan

supervisi termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan

superbody yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Salah satu kewenangan KPK dapat melakukan koordinasi dan supervisi yang

merupakan salah satu kewenangan strategis sebagai pemicu badan atau

institusi lainya dalam mempercepat pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

KPK tidak di desain untuk menangani semua perkara korupsi dan tidak boleh

memonopoli penanganan perkara korupsi, dapat dilihat dari penjelesan umum

dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disebutkan

bahwa :

a. Dalam menyusun jaringan kerja yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai counterpartner yang kondusif sehingga

(13)

pelaksanaan pemberatasan korupsi dapat dilakukan secara efisien dan efektif.

b. Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

c. Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi.

d. Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada dalam keadaan tertentu, dapat mengambil alih tugas dan wewenang, penyelidikan,penuntutan superbody yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan kejaksaan.

Pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai

institusi seperti Kejaksaan dan Kepolisian dan badan-badan hukum lainnya

oleh karena itu pengaturan tentang kewenangan KPK dalam Undang-Undang

ini dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan

dengan berbagai institusi tersebut.

Luas nya wewenang KPK yang diberikan oleh Undang – Undang menjadi

daya tarik untuk dilakukan penelitian terhadap lembaga superbody dalam hal

ini KPK dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Dengan kata lain pendirian KPK sebagai Lembaga Negara penunjang berarti,

setelah Kepolisian dan Kejaksaan telah kembali memperoleh kepercayaan

masyarakat maka apakah KPK akan ditiadakan. Namun dalam hal ini tidak

ada parameter yang jelas dari pendirian KPK oleh pemerintah. Apakah

parameter tersebut berdasarkan angka pemberantasan korupsi, tingkat korupsi

di masyarakat atau parameter lain. Berdasarkan uraian di atas penulis

melakukan penelitian dalam bentuk skripsi mengenai “Eksistensi Komisi

(14)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti membatasai permasalahan

Agar dapat lebih terarah menyangkut keberadaan Komisi Pemberantsan

Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, maka permasalah utama

tersebut diperinci dalam rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem

Peradilan Pidana di Indonesia?

2. Bagaimanakah Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian skripsi ini terbatas pada kajian bidang hukum pidana

khususnya hanya terbatas pada Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi

Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, pengaruh hukumya eksistensi

KPK dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Ruang lingkup penelitian

skripsi ini adalah wilayah hukum daerah Lampung, penelitian dilakukan di

Polda Lampung dan Kejaksaan Tinggi Lampung, Tahun penelitian 2013,

sedangkan lingkup bidang ilmu bagian hukum pidana adalah Sistem Peradilam

(15)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada pokok bahasan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mengungkap dan menganalisis eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi

Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indosensia.

b. Untuk mengetahui bagaimanakah kewenangan Komisi Pemberantasan

Korupsi dalam system peradilan pidana di Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis

maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut :

1. Kegunaan teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan

dan memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu

hukum pidana pada umumnya, dan secara khusus mengenai status

keberadaan KPK dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.

2. Kegunaan praktis

Manfaat praktis untuk menambah pngetahuan kepada mahasiswa agar

dapat mengetahui keberadaan, fungsi dan kewenangan KPK Dalam Sistem

(16)

Secara praktis penelitian ini berguna untuk :

a. Memperluas pengetahuan penulis tentang bagaimana keberadaan KPK

Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.

b. Sumbangan pemikiran penulis bagi masyarakat luas agar dapat

mengetahui mengapa dibentuk KPK dalam rangka memberantas tindak

pidana korupsi di Indonesia.

D. Kerangka Teoretis dan Konsepstual

1. Kerangka Teoretis

Kerangka teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk

mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap

relevan oleh peneliti. Pada setiap penelitian selalu disertai dengan

pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini karena adanya hubungan timbal balik yang erat

antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan

konstruksi data.8

Pengertian Sistem Peradilan Pidana menurut Ali Said. S.H adalah :

Sistem Peradilan Pidana adalah berarti kita menyetujui pendekatan sistemik dalam melakukan management dari administrasi peradilan kita. Ini berarti bahwa unsur-unsur seperti Kehakiman, Kejaksaan, Lembaga Pemasyarakatan, dan juga masyarakat adalah subsistem dari Peradilan Pidana yang berakibat perlunya akan keterpaduan dalam rangka dan gerak masing-masing subsistem kearah tercapainya tujuan bersama9.

8

Soerjono Soekanto, 1986,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 124 9

(17)

Mengenai sistem hukum yang berlaku menurut Lawrence M.Friedman

berisikan tentang tiga komponen, yaitu :

a. Komponen pertama adalah struktur, yaitu bagian-bagian yang bergerak dalam suatu mekanisme misalnya pengadilan sebagai suatu contoh yang jelas dan sederhana. Pengadilan mempunyai Mahkamah Hakim yang bersidang ditempat tertentu, waktu tertentu, dengan batas yuridisdiksi yang ditentukan. demikian juga Kejaksaan, Kepolisian merupakan contoh komponen struktur itu.

b. Komponen kedua adalah substansi, ketentuan-ketentuan, alasan-alasan hukum atau kaidah-kaidah hukum, termasuk yang tidak tertulis, yang merupakan hasil aktual yang dibentuk oleh sistem hukum.

c. Komponen ketiga adalah sikap publik atau nilai-nilai atau budaya hukum yang memberikan pengaruh positif atau negatif kepada tingkah laku yang bertalian dengan hukum atau perantara hukum. Wujud budaya hukum atau hubunganya dengan sistem hukum mempengaruhi apakah orang akan mendayagunakan Pengadilan, Polisi atau Jaksa dalam menghadapi suatu kasus. Disini budaya hukum menentukan apakah komponen struktur dan komponen substansi dalam sistem hukum mendapat tempat yang logis, sehingga menjadi milik masyarakat umum10.

Apa yang dikemukakan di atas tidak lain adalah bahwa hukum itu merupakan

suatu sistem dalam oprasionalisasinya, hukum sebagai sistem maka ketiga

komponen itu mampunyai hubungan satu sama lain yang erat sekali. Struktur

dipengaruhi secara timbal balik oleh substansi dan demikian pula struktur dan

substansi dipengaruhi oleh komponen sikap publik dan nilai-nilai.

Adapun dasar pembentukan KPK adalah terjadinya delegitimasi Lembaga

Negara yang telah ada. Hal ini disebabkan karena terbuktinya asumsi yang

menyatakan bahwa terjadinya korupsi yang mengakar dan sulit untuk

diberantas. Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dinilai gagal dalam

memberantas korupsi11.

Kadri Husin,2011.ibid, hlm 12-13 11

(18)

KPK dibentuk dengan dasar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK mempunyai tugas

khusus dalam menanggulangi dan menyelesaikan masalah korupsi, dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya KPK diharapkan dapat bekerja secara

Independent tanpa Interpensi dari pihak manapun.

Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan

Korupsi mempunyai tugas :

1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi;

2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi;

3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi;

4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan

dengan istilah-istilah yang ingin diteliti atau ingin diketahui12. KPK adalah

Lembaga Negara yang bertugas menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia

yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan

bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

(19)

Pengertian istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu :

1. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu

koorporasi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau

sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat

merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara13.

2. Peradilan Pidana adalah suatu proses, yang bekerja dalam suatu jaringan

yang melibatkan Lembaga Penegak Hukum. Kegiatan peradilan pidana

adalah meliputi kegiatan yang bertahap mulai dari penyidikan oleh

kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, pemeriksaan, dipersidangan oleh

hakim dan pelaksanaan pidana oleh lembaga pemasyarakatan14.

3. Sistem Peradilan Pidana adalah tidak lain dari kerja sama anatar

lembaga-lembaga yang terlibat dalam peradilan pidana secara terpadu walaupun

dengan kebhinekaan fungsi dari masing-masing unsur sistem tersebut

dalam penghayatan yang sama tentang tujuan sistem peradilan15.

4. Komisi Pemberantasan Korupsi adalah sebuah Lembaga Negara yang

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan

bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna terhadap upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi16.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

14

Kadri Husin, 2011.Op.cit hlm 10 15

Kadri Husin, Ibid, hlm 12 16

(20)

5. Eksistensi adalah sebuah keberadaan17. Dalam hal ini adalah keberadaan

KPK dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.

6. Eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim dalam hal ini pelaksanaan

hukuman badan peradilan.

7. Eksaminasi adalah proses penentuan autentik atau tidak suatu hukuman

yang ditentukan oleh badan peradilan

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan disajikan untuk mempermudah pemahaman penulisan

skripsi secara keseluruhan. Sistematika penulisanya sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang

ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan

kegunaan dari penulisan. Kerangka teoritis dan konseptual serta

menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini

dijelaskan tentang Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada

pengertian-pengertian umum suatu pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat

teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara

teori yang berlaku dengan kenyataan yang berlaku dalam praktek. Adapun

(21)

garis besar dalam bab ini adalah menjelaskan pengertian tentang sejarah

Lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia, Kedudukan KPK, Fungsi

dan wewenang KPK, pengertian Sistem Peradilan Pidana dan Tujuan

Sistem Peradilan Pidana.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi

yaitu langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian memuat

pendekatan masalah, serta sumber dan jenis data, pengumpulan dan

pengelolaan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembehasan tentang berbagai hal yang terkait langsung

dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu

untuk mengetahui Eksistensi KPK dalam Sistem Peradilan Pidana di

Indonesia dan status KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di

Indonesia.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan ini, dalam bab ini dimuat

dan diuaraikan secara singkat kesimpulan serta saran dari penulis dalam

(22)

A. Sejarah Lembaga Pemberantasan Korupsi Di Indonesia

Orde Lama, Kabinet Djuanda, dimasa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan

Undang-Undang keadaan bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling

Aparatur Negara (PARAN), badan ini dipimpin oleh A.H.Nasution dan

dibantu oleh dua orang anggota yakni Profesor M.Yamin dan Roeslan

Abdulgani. Kepada PARAN inilah seluruh pejabat harus menyampaikan data

mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan.

Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu

adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin

pertanggungjawaban secara langsung kepada presiden, formulir itu tidak

diserahkan kepada PARAN, tetapi langsung kepada presiden. Diimbuhi

dengan kekacauan politik, PARAN berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya

menyerahkan kembali pelaksaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.

Operasi Budhi didirikan pada Tahun 1963, melalui Keputusan Presiden

Nomor 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang pada

(23)

menjabat sebagai menteri koordinator pertahanan dan kemanan/ KASAB,

dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih

dikenal dengan Operasi Bhudi. kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni

menyeret pelaku korupsi kepengadilan dengan sasaran utama

perusahaan-perusahaan negara serta Lembaga Negara lainya yang dianggap rawan praktek

korupsi dan Kolusi17.

Lagi-lagi alasan politisi menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama

Pertamina yang bertugas ke Luar Negeri dan direksi lainya menolak karena

belum adanya surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektifitas lembaga

ini. Operasi Budhi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan

ngara kurang lebih Rp.11M. Operasi Budhi ini dihentikan dengan

pengumuman pembubaranya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi

Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAF) dengan presiden

Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad

Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatat bahwa seiring dengan lahirnya

lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama kembali masuk

kejalur lambat, bahkan macet.

Orde Baru, Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkeritik Orde Lama,

yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan Demokrasi

yang terpusat ke Istana, pidato itu seakan memberi harapan besar seiring

18

Prinst Darwan. 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm

(24)

dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa

Agung. Namun ternyata, ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan

berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite 4 (empat)

beranggotakan Tokoh-Tokoh Tua yang dianggap bersih dan berwibawa,

seperti Prof.Johanes, I.J.Kasimo, Mr Wilopo, dan A.Tjokroaminoto, dengan

tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT.

Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.

Empat tokoh bersih ini menjadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus

korupsi di Pertamina misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah.

Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika

Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi

Tertib dengan tugas antara lain juga memberatas korupsi. Perselisihan

pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top

down dikalangan pemberatas korupsi itu sendiri cenderung semakin

melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Operasi Tertib pun hilang

seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana

Orde Baru18.

Era Reformasi, Di Era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi,

dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti

Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga

Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim

(25)

Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui

Peratuan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. namun, ditengah semangat

menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui

suatu judicial review Mahkamah Agung, Tim Gabungan Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi akhirnya dibubarkan dengan logikan membenturkanya

ke Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Nasib Serupa tapi tidak sama

dialami oleh KPKPN dengan dibentuknya Komis Pemberantasan Korupsi,

tugas KPKPN melebur masuk kedalam KPK, sehingga KPKPN sendiri

menguap. Artinya, KPK adalah Lembaga Pemberantasan Korupsi Terbaru

yang kian bertahan.19

B. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Seiring berjalannya Reformasi di Indonesia muncul berbagai macam

perubahan dalam sistem Ketatanegaraan, khususnya perubahan pada

Konstitusi Negara Indonesia. Salah satu hasil dari Perubahan Konstitusi

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara

RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya, MPR bukan lagi

lembaga tertinggi negara karena semua Lembaga Negara didudukkan

sederajat dalam mekanisme checks and balances.

Sementara itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang

mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga Negara.

Perkembangan konsep trias politica juga turut memengaruhi perubahan

19

(26)

struktur kelembagaan di Indonesia. Di banyak negara, konsep klasik mengenai

pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi

kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung beban negara dalam

menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut,

negara membentuk jenis Lembaga Negara baru yang diharapkan dapat lebih

responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara.20 Maka, berdirilah

berbagai Lembaga Negara yang membantu tugas lembaga-lembaga negara

tersebut yang menurut Prof. Dr Jimly Asshidiqie, SH disebut sebagai

”Lembaga Negara Bantu” dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan,

ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya. Beberapa

ahli tetap mengelompokkan lembaga negara bantu dalam lingkup eksekutif,

namun ada pula sarjana yang menempatkannya tersendiri sebagai cabang

keempat kekuasaan pemerintahan.

Dalam konteks Indonesia, kehadiran Lembaga Negara Bantu menjamur pasca

perubahan UUD Negara RI Tahun 1945. Berbagai Lembaga Negara

Bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam.

Beberapa di antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula

yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan

presiden. Salah satu Lembaga Negara bantu yang dibentuk dengan

undang-undang adalah KPK. Dibawah perlindungan hukum Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

(27)

Walaupun bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, KPK

tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitan dengan

masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan

yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana

korupsi. Kedepannya, kedudukan Lembaga Negara Bantu seperti KPK

membutuhkan legitimasi hukum yang lebih kuat dan lebih tegas serta

dukungan yang lebih besar dari masyarakat.

C. Fungsi Dan Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi

Berkaitan dengan fungsi dan wewenang KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 6

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi,

KPK mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :

1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan 5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Selanjutnya wewenang KPK seperti diatur dalam pasal 7 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah sebagai

berikut :

1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak

pidana korupsi;

2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak

(28)

3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi

kepada instansi yang terkait;

4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan

5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

korupsi.

D. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Lembaga Pemasyarakatan sebagai suatu sub-sistem dari Peradilan Pidana,

mempunyai tugas dan tanggung-jawab yang sama dengan sub-sistim lainnya,

yaitu : Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Sebagai suatu Lembaga

Pembinaan, posisinya sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari

sistim Pemasyarakatan, yaitu: rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi,

reintegrasi, terhadap narapidana, bahkan sampai pada penanggulangan

kejahatan. Keberhasilan dan kegagalan pembinaan yang dilakukan oleh

Lembaga Pemasyarakatan akan memungkinkan memberikan penilaian yang

bersifat positif dan negatif. Penilaian positif apabila pembinaan narapidana

mencapai hasil maksimal yaitu narapidana itu menjadi baik kembali dalam

masyarakat, sedangkan penilaian itu negatif apabila, bekas narapidana yang

pernah dibina itu melakukan tindak pidana lagi (residivis) 21. Sebagai suatu

sistem maka di dalam mekanismenya adanya suatu syarat yang harus dipenuhi

yaitu adanya kerjasama di antara sub sistem.

21

(29)

Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara, penempatan

pancasila sebagai segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan

Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta

sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara, sehingga setiap materi muatan

Peraturan Perundang-Undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai

yang terkandung dalam Pancasila. Lima Sila dalam Pancasila itu adalah :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa;

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; 3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan;

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Mahkamah Agung dan Peradilan di Indonesia adalah penyelenggara

kekuasaan kehakiman yang merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila, Demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia. Peradilan Negara adalah seluruh peradilan di seluruh wilayah

Negara Republik Indonesia yang menerapkan keadilan berdasarkan Pancasila

jadi pancasila juga menjadi dasar konstruksi dari lembaga peradilan Indonesia.

Untuk itu sebagai perwujudan negara hukum Indonesia hendaklah dibangun

berdasarkan cirri-ciri :

1. Keserasian hubungan antara pemerinath dan rakyat didasarkan atas

kekeluargaan;

(30)

3. Prinsip penyelesaian sengketa yang mengutamakan musyawarah dan

peradilan sebagai usaha terakhir;

4. Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban22.

Dalam suatu negara hukum, pemerintah harus menjamin adanya penegakan

hukum dimana dalam penegakan hukum tersebut harus ada tiga unsur yang

selalu mendapat perhatian yaitu: keadilan kemanfaatan hasil guna dan

kepastian hukum23.

Sejarah memberi pelajaran kepada Bangsa Indonsia bagaimana pemberlakuan

dan aktualisasi Pancasila baik dari Era Orde Lama, Orde Baru sampai Era

Reformasi. Dalam Era sekarang adalah Era Globalisasi, Era Reformasi dan

Teknologi bahkan kejahatanpun sekarang mempunyai kecendrungan kejahatan

lintas negara, untuk itu harus dibuat lembaga peradilan yang kuat, yang dapat

mengantisipasi trend Globalisasi namun tetap mempunyai namun tetap

mempunyai nilai-nilai leluhur bangsa Indonesia.

Beberapa prinsip dalam pembentukan peradilan di Indonesia yaitu:

1. Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;

2. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan;

3. Segala campur tangan dalam urusan pengadilan oleh pihak luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194524.

22

Marwan Effendi, 2012, sistem peradilan pidana.referensi. Jakarta. hlm 4 Ibid, hlm 4-5

(31)

Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana menunjukkan

mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan

dasar “pendekatan sistem”. 25

Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi

yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan

hasil tetentu dengan segala keterbatasannya.

Hagan membedakan pengertian Criminal Justice Process dan Criminal Justice System. Criminal Justice Process adalah : Setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seseorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana26.

Penggunaan kata sistem dalam istilah “Sistem Peradilan Pidana” adalah berarti

bahwa kita menyetujui pendekatan sistematik dalam melakukan menegement

dari administrasi peradilan kita. Ini berarti pula bahwa unsur-unsur yang

disebut Kepolisian, kejaksaan, kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan

juga masyarakat adalah sub-sub sistem dari peradilan pidana yang berakibat

perlunya akan keterpaduan dalam rangka dan gerak masing-masing subsistem

kearah tercapainya tujuan bersama27.

Sistem hukum yang berlaku menurut Lawrence M. Friedman berisikan tiga

komponen, yaitu :

1. Komponen pertama adalah struktur, yaitu bagian-bagian yang bergerak dalam suatu mekanisme misalnya pengadilan sebagai suatu contoh yang

Op.cit. www.Image.Dahwirpane.Multiply.com

(32)

jelas dan sederhana. Pengadilan mempunyai Mahkamah Hakim yang bersidang di tempat tertentu, waktu tertentu, dengan batas yurisdiksi yang ditentukan. Demikian pula kejaksaan, kepolisian merupakan contoh komponen struktur tersebut.

2. Komponen kedua adalah substansi, ketentuan-ketentuan, alasan-alasan hukum atau kaidah-kaidah hukum, termasuk yang tidak tertulis, yang merupakan hasil aktual yang dibentuk oleh sistem hukum.

3. Komponen ketiga adalah sikap publik atau nilai-nilai atau budaya hukum yang memberikan pengaruh positif atau negatif kepada tingkah laku yang bertalian dengan hukum atau perantara hukum. Wujud budaya hukum atau hubunganya dengan sistem hukum mempengaruhi apakah orang akan mendayagunakan Pengadilan, Polisi atau Jaksa dalam menghadapi suaatu kasus. Disini budaya hukum menentukan apakah komponen struktur dan komponen substansi dalam sistem hukum mendapat tempat yang logis, sehingga menjadi milik masyarakat umum28.

E. Model Proses Peradilan Pidana Indonesia

Negara kita yang memiliki falsafah dan pandangan hidup Pancasila, maka

dalam menentukan model dalam proses peradilan pidana kita harus selalu

mengkaitkan model tersebut dengan pancasila baik sebagai dasar Negara

maupun sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa.

Indonesia tidak mungkin menganut system crime control model seperti di

Amerika Serikat yang oleh Jhon Griffthis digambarkan sebagai suatu model

yang bertumpu pada “the proposition that repression of criminal conduct is by

far the most importans funciont to be the criminal process model” ini

merupakan bentuk asli dari adversary model dengan ciri-ciri antara lain

penjahat dianggap sebagai musuh masyarakat yang harus dibasmi atau di

asingkan (extle), effisiensi, ketertiban umum berada diatas segalanya, tujuan

pemidanaan adalah pengasingan.

(33)

Menurut Sahetapy,

Baik crime control maupun due process model tidak dapat begitu saja menampung KUHP. Pertama-tama kita bertumpu atau menganut “adversary System”. Kedua ada bagian-bagian KUHP seolah-olah masuk dalam crime control model. KUHP sulit untuk dimasukan atau di sisipkan begitu saja dalam salah satu model diatas, secara sistematika akan membawa kesulitan,selanjutnya Sahaetapy mengatakan kita tidak perlu kecewa, sebab memang kita tidak menganut adversary system29.

Mengenai family model Muladi berpendapat bahwa,

Kita juga tidak dapat menerima sepenuhnya “family model” dari Jhon Graffiths, yang sampai saat ini dipakai di negeri Belanda, karena tetap kurang memadai, karena model ini terlalu “offender oriented”, padahal di sisi lain terdapat korban kejahatan yang juga terdapat korban yang memerlikan perhatian serius30.

Apabila kita kaitkan dengan sejarah hukum pidana kita, maka kita harus pula

menolak model yang dibangun atas dasar hukum pidana perbuatan yang

mendasarkan diri pada konsep “equal justice”. Kita juga sulit untuk menerima

warisan aliran modern yang bertumpu individual justice sebagai ganti equal

justice, yang lebih menonjolkan pengayoman terhadap ketertiban masyarakat

yang dirumuskkan secara difinitif di dalam hukum pidana sebagai hukum

publik dengan pengayoman terhadap hak individu pelaku pidana.

F. Tujuan Sistem Peradilan Pidana

Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan sebagai

berikut :

1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana.

(34)

2. Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks Criminal Policy. 3. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah social

welfare dalam konteks Social Policy31.

Sistem Peradilan Pidana, sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat

bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural Struktural syncronization,

dapat pula bersifat substansial substancial syncronization dan dapat pula

bersifat kultural cultural syncronization. Dalam hal sinkronisasi struktural

keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi

peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum.

Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung

makna baik vertikal maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif

yang berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu

serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah

yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.

Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono mengemukakan

empat komponen Sistem Peradilan Pidana :

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. diharapkan

dapat bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice

System32.

(35)

Menurut Mardjono Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan,

diperkirakan akan terdapat tiga kerugian yaitu :

1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama.

2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap instansi (sebagai subsistem dari Sistem Peradilan Pidana).

3. Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari Sistem Peradilan Pidana33.

Secara sederhana Sistem Peradilan Pidana dapat dipahami sebagai suatu usaha

untuk menjawab pertanyaan apa tugas hukum pidana di masyarakat dan bukan

sekedar bagaimana hukum pidana di dalam Undang-Undang dan bagaimana

Hakim menerapkannya. Sistem Peradilan Pidana Indonesia berlangsung

melalui tiga komponen dasar sistem :

1. Susbtansi. Merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.

2. Struktur. Yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. 3. Kultur. Yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan.

Dengan kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari Sistem Peradilan Pidana34.

Berbagai pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas memiliki

dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem

Peradilan Pidana merupakan konstruksi sosial yang menunjukkan proses

interaksi manusia di dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara dan

terdakwa, serta masyarakat, yang saling berkaitan dalam membangun dunia

realitas yang mereka ciptakan.

Ibid, www.Image.Dahwirpane.multiple.com

(36)

Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu

open sistem, dalam pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan

selalu mengalami interface interaksi, interkoneksi dan interdependensi dengan

lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi, politik,

pendidikan dan teknologi serta sub sistem-sub sistem dari Sistem Peradilan

Pidana itu sendiri subsystem of criminal justice system35.

Sistem Peradilan Pidana bila diterapkan secara konsisten, konsekuen dan

terpadu antara sub sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain dapat

mewujudkan tujuan Sistem Peradilan Pidana juga bermanfaat untuk :

a. Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu Polisi. Dengan data statistik kriminal tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam menyusun kebijakan kriminal secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan.

b. Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam penanggulangan kejahatan.

c. Kedua butir 1 dan 2 tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dalam kebijakan sosial.

d. Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun masyarakat36.

(37)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah Pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empris. Untuk itu diperlukan penelitian yang merupakan suatu rencana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pendekatan yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.

(38)

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian pustaka meliputi buku-buku literatur, Peraturan Perundang-Undangan, dokumen-dokumen resmi, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan seterusnya dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis konsep-konsep, pandangan-pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder.

Data yang diguanakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapat melalui study pustakan dan data sekunder dari penelitian ini terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang berasal dari:

1. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana.

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi.

5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

(39)

7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan Perundang-Undangan.

b. Bahan sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa literatur-literatur yang menjelaskan penelitian ini. seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, dan petunjuk pelaksanaan maupun teknis yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdiri dari hasil-hasil penelitian, literatur-literatur, media elektronik, media cetak, petunjuk teknis maupun pelaksanaan yang berkaitan dengan Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

B. Penentuan Narasumber

(40)

Yang dijadikan narasumber adalah :

1. Penyidik Unit TIPIKOR POLDA Lampung : 1 Orang 2. Kasi Eksekusi dan Eksaminasi Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 Orang

3. Akedemisi Fakultas Hukum Unila : 1 Orang

Jumlah : 3 Orang

C. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengelolaan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: a. Studi kepustakaan (library research)

Studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara untuk mendapatkan data sekunder, yaitu melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi, dengan cara membaca, mencatat dan mengutip buku-buku atau literatur serta Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dan mempunyai hubungan dengan Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

b. Studi lapangan (field research)

(41)

2. Prosedur Pengolahan Data

Data-data yang telah diperoleh kemudian diolah melalui kegiatan seleksi, yaitu:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dari kebenaran data yang diperoleh serta relevansinya dengan penulisan.

b. Klasifikasi data yaitu: pengelompokan data sesuai dengan pokok bahasan sehingga memperoleh data yang benar-benar diperlukan. c. Sistematisasi data, yaitu semua data yang telah masuk dikumpul dan

disusun dengan urutannya.

D. Analisis Data

(42)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dapat dilihat dari adanya Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Adanya Undang-Undang No.30 tahun 2002 dan keberhasilan KPK menangai kasus besar korupsi yang merugikan negara adalah merupakan bukti Eksistensi KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia.

(43)

Justice System, namun KPK diatur secara Korelasi yang dilandasi oleh Undang-Undang,

2. Kewenangan KPK dalam Pemberantasan tindak pidana korupsi, adalah kewenangan KPK yang superbody (misalnya dengan adanya supervisi oleh KPK) dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak terja ditumpangtindih kewenangan dengan berbagai instansi yang lebih dulu menangani tindak pidana korupsi.

Supervisi oleh KPK juga dimaksudkan untuk meminimalisir penyalahgunaan kewenangan polisi dan jaksa dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya panyalahgunaan kewenangan itu, dengan memberikan kewenangan kepada KPK untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan.

Koordinasi untuk menghindari tumpang tindih dan tidak terjadi “ego” sektoral. Dengan diadakan semacam MoU (Memorandum of Understanding)atau Nota Kesepahaman antara penegak hukum yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi.

B. Saran

(44)

1. Dalam memberantas korupsi kepolisian dan Kejaksaan lebih dulu melakukan pemberantasan korupsi, dan lebih banyak mengembalikan kerugian Negara, ada baiknya apabila Kepolisian dan Kejaksaan lebih untuk melakukan kerja sama dan membudayakan harmonisasi antara ketiga Lembaga Negara yang ditunjuk secara khusus dalam menangani pidana khusus korupsi. Sebaiknya menjalankan tugas yang sudah diatur oleh Undang-Undang dan saling mendukung satu sama lain dan lebih bekerja sebagai sebuah Lembaga Negara bukan sebagai pribadi yang memiliki “ego” masing ditiap Lembaga yang di pimpin masing-masing Kepala Lembaga Pemerintahan.

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Asshofa, Burhan. 1996. Metode Penelitian Hukum. Bhineka Cipta. Jakarta.

Alatas ,Syed Hussein. sosiologi korupsi,sebuah penjelajahan dengan data kontemporer Jakarta:1982

Efendy, Marwan. 2012. Sistem Peradilan Pidana. (Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana). Referensi. Jakarta.

---, 2005. Asas-asas hukum pidana. Referensi. Jakarta.

---, 2010. Korupsi dan pencegahan. Referensi. Jakarta.

Husin, Kadri. 2011. Buku Ajar Sistem Peradilan Pidana. Universitas Lampung, Lampung.

Husein, M. Harun, 1991. Penyidikan dan penuntutan dalam proses pidana. Rineka cipta. Jakarta

Lampung, Universitas. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandar Lampung: University Press Lampung

Prinst, Darwan. 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Pustaka, Balai. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Jakarta.

Singarimbun, Masri, & Sfian Effendi. 1991. Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta

(46)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik

Indonesia

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI

website

www.image.dahwirpane.multiply.com

http://triwantoselalu.blogspot.com

http://kompasiana.com/ kepastian KPK.

www.wikipedia.org.go.id/komisi_pemberantasan korupsi

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melaksanakan pemberantasan korupsi dalam melaksanakan penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, pengembalian kerugian

Hasil dari sistematisasi hukum positif dilakukan analisis hukum positif dengan cara menganalisis aturan hukum eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai

Beberapa contoh yang dapat menggambarkan berbagai resistensi yang dilakukan terhadap eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang

30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi selanjutnya disebut KPK, di berikan kewenangan khusus oleh Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi No 30 Tahun 2002 dimana

Abstrak :Badan khusus yang bertugas membasmi dan memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia bernama Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi

KPK dibentuk berdasarkan amanat Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk memperkuat eksistensi dan legitimasi

ANALISIS KEWENANGAN KPK KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NO 19 TENTANG PEMBERANTASAN TNIDAK PIDANA KORUPSI TAHUN 2019 DITINJAU DARI FIQIH SIYASAH Indonesia