• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Perubah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Perubah"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Perubahan Iklim:

Belajar dari Masa Lalu dan Masa Kini

Yunita T. Winarto, Muki T. Wicaksono, dan Ubaidillah Pratama

(Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia)

Pengetahuan Lokal dan Perubahan Iklim: Suatu Pendahuluan

“Kearifan lokal,” itulah frasa yang acapkali digunakan oleh berbagai pihak untuk menamai pengetahuan dan praktik-praktik masyarakat setempat dalam mengelola lingkungan hidupnya. Tersirat dalam frasa itu suatu makna bahwa pengetahuan dan praktik pengelolaan sumber daya yang dilakukan penduduk lokal itu selalu akan “arif”, membawa masyarakatnya dalam kondisi “adaptif” pada kondisi lingkungan hidupnya, mendatangkan kesejahteraan, tidak menyebabkan kerusakan pada lingkungan hidup, dan akan senantiasa demikian tanpa mengalami perubahan apa pun. Subak atau sistim pengairan tradisional di Bali seringkali dirujuk sebagai contohnya. Terlepas dari benar tidaknya makna yang terkandung dalam frasa itu, dalam tulisan ini kami mempertanyakan konotasi yang mempersepsikan aspek budaya itu sebagai sesuatu yang tidak dapat berubah. Berbagai tulisan dalam kajian antropologi menunjukkan bahwa kebudayaan itu memiliki dua “sisi dalam satu keping mata uang”, yakni tetap langgeng dalam wujud budaya yang telah termantabkan, dan juga dinamis sepanjang masa karena kreativitas para pelakunya dalam memenuhi kebutuhan serta menanggapi kondisi lingkungan yang senantiasa berubah (lihat misalnya Borofsky 1994; Barth 1994; Strauss dan Quinn 1997; Winarto 2004a, 2006; Kottak 2011).

(2)

lokal” di masa lalu apabila peristiwa di masa lalu tidaklah sama dengan apa yang kini dialami? Seperti dinyatakan oleh Peterson dan Broad (2009:78),

Our mental models of the world’s natural processes are shaped by experience, evolutionary processes, and our daily experiences. As events become spatially and temporarily distant—either forward or backward in time—our ability to tease out relative objectivity vanishes.

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman berinteraksi dengan petani, terdapat banyak pertanyaan yang tidak dapat mereka jelaskan sendiri atas fenomena iklim yang tidak lazim dialami, termasuk konsekuensinya berupa kegagalan panen yang tidak diduga dan diharapkan oleh kondisi banjir atau kekeringan, ataupun oleh ledakan hama/penyakit (lihat Winarto dkk. 2011a, 2012a, 2013). Petani sendiri menyatakan bahwa kosmologi lokal yang mereka miliki yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan pranata mangsa tetaplah demikian susunan bulan-bulannya sebagaimana disiapkan dan diproduksi oleh nenek moyang mereka. Bagi petani yang telah memiliki pengetahuan tentang kosmologi itu, hal itu pun akan tetap menjadi bagian dari skema pengetahuannya. Akan tetapi, kondisi cuaca dan iklim tidak lagi sama dengan beberapa tahun silam, sehingga rujukan pada pranata mangsa itu tidak selalu dapat mereka lakukan. Panduan bagi petani di lahan tadah hujan untuk mulai menanam tanaman apa pada bulan berapa dengan adanya indikasi tertentu dalam tetumbuhan dan hewan di habitatnya, tidak lagi sesuai dengan situasi yang tengah dihadapi. Namun, petani di lahan irigasi yang telah tergantung pada jadwal pengairan untuk mulai bercocok tanam pun terpengaruh oleh kondisi curah hujan bila debit air di bendungan tidak mencukupi. Keterlambatan awal turunnya hujan yang menyebabkan penundaan jadwal tanam musim hujan, atau tetap turunnya hujan pada musim kemarau menjadi kendala bagi petani untuk dapat menginterpretasi fenomena itu hanya berdasarkan pada “kearifan lokalnya”, atau pada skema pengetahuan dengan unsur-unsur yang tidak lengkap terkait dengan fenomena meningkatnya variabilitas iklim, suhu udara, atau peristiwa-peristiwa iklim yang semakin ekstrim. Jika demikian, bagaimanakah petani dapat tetap melangsungkan kegiatan cocok tanamnya dengan risiko minimal dalam menghasilkan panen, atau mengoptimalkan strategi budi daya tanaman dengan terbukanya kesempatan-kesempatan baru?

(3)

agrometeorologi (lihat Winarto dan Stigter 2011; Winarto dkk. 2011a, 2013). Dari tahun 2009 hingga saat ini (2013), kegiatan pembelajaran yang sama juga dilaksanakan sejumlah petani di Indramayu (lihat Winarto dkk. 2011a, 2012a, 2013). Tulisan ini memaparkan dinamika pengetahuan lokal itu melalui dialektika pengetahuan yang dimiliki petani dari pengalaman empirisnya dengan pengetahuan yang baru mereka peroleh melalui pembelajaran agrometeorologi yang diperkenalkan oleh ilmuwan. Bagaimanakah hal itu terwujud?

Pengamatan dari hari ke hari, pengalaman dari musim ke musim dalam mengaitkan unsur-unsur pengetahuan lama dan baru itu merupakan mekanisme belajar yang utama bagi pretani. Melalui kombinasi antara unsur-unsur pengetahuan yang telah tersimpan dalam alam pikirnya dengan rangsangan baru itulah pengetahuan lokal petani semakin diperkaya. Oleh karena itu, kami sependapat dengan Agrawal (1995) bahwa mendikotomisasi pengetahuan lokal dan ilmiah tidaklah signifikan, karena kenyataannya berbagai unsur pengetahuan dalam kedua ranah itu berbaur menyatu dalam alam pikir individu tanpa sekat-sekat pemisah (lihat pula Brookfield, M. 1996; Choesin 2002). Dengan pendekatan connectionism dan parallel distributed processing

(PDP) seperti dikemukakan oleh D’Andrade (1995) serta Strauss dan Quinn (1997), berbagai unsur pengetahuan yang ada dalam skema individu akan diolah bersamaan dalam satu waktu tertentu dalam menanggapi situasi empiris yang dihadapi.1 Dengan pendekatan ini, analisis tentang pengetahuan tidak lagi dilaksanakan melalui kerangka berpikir adanya penahapan yang berturutan dalam memproses rangsangan yang diterima oleh panca indera manusia (linear serial processing), tetapi melalui pemrosesan rangsangan-rangsangan yang jamak dan beragam itu secara bersamaan dan berkesinambungan (lihat D’Andrade 1995; Shore 1996; Strauss dan Quinn 1997). Unsur-unsur pengetahuan itu diaktifkan dalam kombinasi-kombinasi yang tertentu karena diperolehnya rangsangan-rangsangan yang tertentu pula. Semakin sering rangsangan itu diterima, semakin termantabkan kombinasi dari rangsangan itu dalam diri individu. Pengombinasian berbagai unsur secara bersamaan itu dapat terwujud dari pengaktifan unsur-unsur pengetahuan yang lama ataupun yang baru diperoleh dan diolah individu dalam alam pikirnya (lihat kasus penjelasan perubahan evolusioner dalam pengetahuan dan praktik petani peserta/alumni SLPHT di Indonesia, Cambodia, dan Vietnam dalam Winarto 2004b). Dengan melakukan hal itu, individu-indivdu pun belajar sesuatu dari lingkungannya (Strauss dan Quinn 1997). Pertanyaannya kini: bagaimanakah dan sejauhmanakah unsur-unsur pengetahuan baru untuk fenomena yang tidak teramati secara langsung proses kejadiannya, serta tidak mudah diduga seperti peristiwa-peristiwa iklim itu dapat menimbulkan rangsangan-rangsangan tertentu sehingga lambat laun terbentuk kombinasi yang termantabkan dan menjadi bagian dari skema pengetahuan lokal petani?

Tulisan ini menyajikan dialektika dan dinamika pengetahuan petani yang mengalami pembelajaran itu, baik dari Wareng, Gunungkidul, maupun dari Indramayu (anggota Klub

1

(4)

Pengukur Curah Hujan Indramayu, KPCHI). Bagian pertama dari tulisan ini mengisahkan interpretasi dan respons petani atas berbagai fenomena iklim yang tidak lazim dan tidak mereka duga sebelumnya itu. Dalam bagian kedua diulas cara mereka meningkatkan kemampuannya dalam mengamati curah hujan dan implikasinya pada lahan dan tanaman yang memperkaya pengetahuan mereka. Bagian terakhir memaparkan cara petani melakukan antisipasi terhadap konsekuensi perubahan iklim dan implikasinya pada interpretasi mereka atas pengetahuan lokal yang dimiliki setelah mengalami pembelajaran agrometeorologi.

Meningkatnya Variabilitas Iklim, Meningkatnya Ketidakterdugaan

Petani yang mengandalkan pada “pengalaman” dan “panca indera” sebagai mekanisme belajar yang utama (lihat Winarto 2004a, 2004b) memungkinkan mereka untuk secara gradual memahami peristiwa-peristiwa yang dialami serta konsekuensinya. Hal itu akan berakumulasi sebagai himpunan preseden-preseden yang menjadi bagian dari skema pengetahuannya atau menjadi bagian dari budaya cocok tanamnya dalam kurun waktu yang lama. Pengetahuan yang terhimpun dalam waktu yang lama dilengkapi dengan pengetahuan yang diwariskan dari nenek-moyang seperti pranata mangsa pada petani di Jawa itu berakumulasi dalam situasi iklim yang relatif tidak mengalami perubahan atau variabilitas yang tinggi. Kenyataannya kini, fenomena perubahan iklim yang menimbulkan konsekuensi serius bagi petani terjadi dalam tiga hal, yakni (1) pemanasan global; (2) meningkatnya variabilitas iklim; dan (3) munculnya peristiwa-peristiwa meteorologi/klimatologi ekstrim yang semakin lebih banyak, dan juga semakin lebih parah (lihat Penyuluhan Agrometeorologi dalam buku ini). Ketiga isu fenomena perubahan iklim yang pada masa silam belum terjadi itu tentulah tidak dikenali, dipahami, dan diduga oleh petani.

Jika ketiga macam isu fenomena itu serta konsekuensinya pada pertanian merupakan unsur-unsur yang “missing” atau “belum ada” dalam skema pengetahuan petani, bagaimanakah mereka dapat menggunakan skema pengetahuannya untuk menanggapi fenomena itu? Tanpa penjelasan secara khusus tentang proses dan kejadian fenomena iklim yang berada di luar jangkauan panca inderanya dan tidak/belum menjadi bagian dari skema pengetahuannya, peristiwa-peristiwa itu akan tetap diinterpretasi secara subjektif oleh masing-masing petani berdasarkan “kaca mata budaya” yang dimilikinya. Tanpa jasa-layanan tentang iklim dan konsekuensinya, inovasi dan kreativitas mereka dalam menanggapi peristiwa-peristiwa itu pun akan terkendala oleh apa yang tersedia dalam skema pengetahuan dan pranata sosial dalam lingkup kebudayaan cocok tanam yang dimiliki. Seperti dikemukakan oleh Roncoli dkk. (2009:88), cara-cara penduduk setempat menyaring/menyeleksi perubahan iklim itu terlaksana melalui “kaca mata budaya” yang dimilikinya:

(5)

(“valuation”); and how they respond, individually and collectively, on the basis of their meanings and values (“response”).

Apabila persepsi, pengetahuan, pemaknaan, dan respons terhadap perubahan iklim itu merujuk hanya pada pengetahuan lokal dan tradisionalnya, petani pun dapat semakin “terasing” dari kondisi ekosistem lahannya sendiri (lihat Winarto 2013; Winarto dkk. 2013). Sejumlah petani di Lamongan di musim kemarau 2013 menyatakan: “Saya merasakan sendiri bahwa saat ini bertani itu semakin sulit...”. “Saya sudah mengalami gagal panen selama tiga kali berturut-turut di tahun 2011, 2012, dan kini di tahun 2013 karena hujan turun terus menerus di musim kemarau.”

Finesso di Kompas (3 November 2013) mengutip kebingungan petani di Banyumas: “Selama berabad-abad, nenek moyang kita memercayai Desember bulan gedé-gedéné sumber (air melimpah), sedangkan pada Juli-Agustus-September adalah mangsa mareng

(kering). Tetapi, beberapa tahun terakhir, pakem pranata mangsa sudah tidak bisa dipegang lagi. Bergesernya sudah jauh sekali. Petani jadi bingung,” kata Wasim yang mulai bertani sejak 1963.

Naryo, petani di Desa Sumbon, Indramayu juga menyatakan bahwa “Ber seperti Oktober, November dan Desember, adalah bulan yang banyak hujan, kecuali September, karena menurut September berarti sep-sepnya Sumber, meresapnya sumber, sehingga hujan sedikit dan susah mendapatkan air.” Namun, pada tahun 2012, meresapnya sumber tanpa setitik air pun berlangsung hingga awal bulan November 2012.

Januari adalah bulan dengan “...hujan yang turun sehari-hari.” Di Bulan April, seperti juga dinyatakan petani di Wareng, Gunungkidul, “...hujan turun pral-pril.” Oleh karena itu, petani di Gunungkidul pun kebingungan ketika pada bulan April 2009, hujan turun bar-ber

seperti pada bulan-bulan November-Desember. Alhasil, tanaman tembakaunya pun rusak terguyur hujan (lihat Winarto dkk. 2011a).

(6)

karena itu, tanaman tembakau mereka pun tidak berhasil tumbuh dengan baik. Kerugian dalam produksi tembakau terjadi, padahal tanaman itu merupakan sumber penghasilan utama bagi petani di samping sayur-mayur yang ditanam di musim kemarau (lihat Winarto dkk. 2011a, 2011b).

Terjadinya La Niña di sepanjang tahun 2010 dan 2011 telah menciptakan situasi iklim mikro yang kondusif bagi meledaknya hama wereng batang cokelat di berbagai lokasi di Pulau Jawa yang diperparah oleh strategi petani dalam menggunakan pestisida secara berjadwal dan berlebihan. Begitu pula dengan penanaman padi yang berbeda jadwalnya dalam satu hamparan. Kegagalan panen hingga 5 musim berturutan dialami petani di wilayah Klaten, Boyolali, dan Sukoharjo (lihat Winarto dkk. 2011c, 2011c, 2011e, 2012b). Itulah kali pertama dialami petani dalam kurun waktu yang lama bahwa hujan turun terus menerus selama musim kamarau. Kembali petani mengalami fenomena yang tidak lazim saat musim kemarau berkepanjangan terjadi di tahun 2012, sehingga terjadilah kelambatan awal musim tanam musim hujan tahun 2012/2013. Sebaliknya, di tahun 2013, hujan kembali turun di awal musim kemarau 2013 yang disebut banyak pihak sebagai “kemarau basah”. Perubahan itu pun diinterpretasikan petani sebagai sesuatu yang tidak lazim. Merujuk pada Crate dan Nuttall (2009:9), perubahan iklim kerap kali dipahami masyarakat lokal bukan sebagai sesuatu yang akan terjadi di masa depan, melainkan sebagai sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba yang mendorong mereka untuk berjuang dalam memahami, menegosiasikan, dan meresponnya

Petani di areal hilir irigasi di Indramayu merasakan berakhirnya musim hujan 2011/2012 lebih dini yang memengaruhi ketersediaan suplai air irigasi dan air tanah di sawah bagi musim kemarau 2012. Ketidakpastian kondisi musim kemarau 2012 di Indramayu dirasakan oleh hampir seluruh petani. Kekeringan yang terjadi secara masif terjadi di beberapa kecamatan pada Kabupaten Indramayu (lihat Gambar 1). Pada pertengahan bulan Juni 2012 terdata sebanyak 9.542ha luas areal kekeringan dari 18.836ha sawah (data Kekeringan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Tambang dan Energi, Kabupaten Indramayu, Juni 2012). Kondisi itu diperparah oleh praktik-praktik pengelolaan air irigasi sehingga muncullah sejumlah praktik “ilegal” seperti ‘pembelian air’, pencurian air irigasi yang dilakukan oleh petani secara personal, hingga upaya pompanisasi secara ilegal. Akibatnya, suplai air irigasi yang telah berkurang akibat penurunan intensitas curah hujan semakin tidak dapat menjangkau wilayah hilir irigasi di Indramayu, dan tidak dapat memenuhi kebutuhan air petani di musim kemarau 2012 itu.

Beberapa petani di Desa Karangmulya yang merupakan areal sawah berpengairan setengah teknis – Pak Arma, Pak Pandi, dan Pak Idi masing-masing mengalami kerugian sebesar Rp4.000.000,00-, Rp10.000.000,00, dan Rp7.000.000,00 akibat gagal panen yang disebabkan oleh faktor kekurangan air di sawah.

(7)

2012/2013. Akibatnya, timbullah serangan hama tikus yang serius. Bagi mereka yang masih dapat memanen sebagian tanamannya seperti di Desa Karang Layung, Sukra, hasil panen hanya mencapai 3 kw/ha, suatu hasil yang amat mengecewakan.

Gambar 1. Peta Persebaran Lokasi Kekeringan pada Musim Tanam Gaduh 2012 di Kabupaten Indramayu.

Sumber: Dinas PSDA Tamben Kabupaten Indramayu, 2012

Tidak berhenti pada musim kemarau 2012 itu, dampak dari peningkatan variabilitas iklim dirasakan oleh petani di awal musim hujan 2012/2013. Siklus penelang atau kemarau kecil (dry spell) yang lazim dialami petani di awal musim hujan, tidak terjadi. Hal itu menyebabkan kebingungan petani yang tetap membuat persemaian saat hujan turun di awal musim. Ketika siklus penelang tidak terjadi, beberapa petani di Desa Karangmulya—dengan lahan tadah hujan yang menerapkan cara semai kering untuk melakukan percepatan tanam—terpaksa merelakan persemaiannya yang gagal karena terendam banjir akibat curah hujan yang tinggi. Meningkatnya intensitas curah hujan di awal musim hujan 2012/2013 yang menyebabkan rusaknya persemaian itu memaksa petani untuk membuat persemaian ulang sebanyak 2—3 kali. Tidak adanya siklus penelang itu pun menyebabkan lahan-lahan sawah di elevasi yang lebih rendah atau di lahan beririgasi kebanjiran.

Itulah sekelumit kisah perjuangan petani dalam menghadapi meningkatnya variabilitas iklim yang tidak terduga dan tidak diharapkan.

Mengamati Hujan dan Lahan, Memperkaya Taksonomi

(8)

parameter meteorologi, terutama curah hujan. Curah hujan adalah salah satu parameter meteorologi yang paling bervariasi dibandingkan dengan parameter lain seperti angin, suhu udara, dan kelembaban. Oleh karena itu, kegiatan pengukuran curah hujan dan pengamatan agroekosistem merupakan salah satu cara pembelajaran utama yang diperkenalkan pada petani di Gunungkidul, Indramayu, dan kini di Lamongan (lihat Stigter dkk. 2009; Winarto dan Stigter 2011; Winarto dkk. 2011a, 2012a, 2013; Stigter dan Winarto 2013; Stigter dkk. 2013). Melakukan pencatatan atas hasil pengamatan itu juga merupakan ketrampilan dan tradisi baru yang diperkenalkan pada petani yang tumbuh kembang dalam tradisi oral dan pengetahuan leksikal. Mengalihkan pengetahuan leksikal ke numerik dan tulisan, itulah yang tengah dialami dan dipelajari petani pengukur curah hujan (lihat Prahara dkk. 2011; Winarto dkk. 2011a). Ternyata, hasil catatan itu diakui petani pengukur curah hujan di Indramayu sebagai ‘harta kekayaan’ mereka yang amat membantu dalam melakukan refleksi dan evaluasi tentang berbagai peristiwa yang dialami di lahannya. Dua hal diakui petani membantu memperkaya pengetahuan lokal mereka, yakni: 1) melakukan kuantifikasi dari pengetahuan lokal tentang kondisi hujan; dan 2) memahami kaitan antara curah hujan dan kondisi lahan serta tanaman, dan melakukan antisipasi berdasarkan pemahaman mereka serta skenario musiman yang diterima dari sang agrometeorolog.

Mengukur curah hujan, menguantifikasi pengetahuan leksikal

Thomas Crump (1990) dalam tulisannya The Anthropology of Numbers menjelaskan tentang konsepsi ukuran (measure), yakni: “Measure is best defined as the conceptual means by which two different entities can be compared in numerical terms” (Crump 1990:73). Dengan definisi itu, pengukuran dinyatakan Crump sebagai sarana konseptual untuk membandingkan dua entitas berbeda dalam istilah-istilah numerik. Secara sederhana Crump melihat esensi dari konsepsi pengukuran lebih pada upaya membandingkan (comparison) daripada menghitung (counting), “The real essence of measurement is comparison rather than counting” (Crump 1990:77). Sepanjang pengamatan kami, kegiatan pengukuran curah hujan yang dilakukan petani pun menyajikan ketrampilan bagi petani untuk membandingkan hasil pengamatan kondisi curah hujan secara leksikal atau kualitatif dengan curah hujan yang diukurnya dari alat pengukur curah hujan. Bila pengategorisasian curah hujan secara kualitatif itu merupakan taksonomi emik yang dimiliki warga anggota suatu komunitas petani, numerisasi yang dilakukan petani pengukur curah hujan itu barulah dimiliki oleh mereka yang melakukan pengukuran curah hujan setiap hari. Lebih dari itu, melalui numerisasi, petani-petani pengukur curah hujan seperti mereka yang tergabung dalam KPCHI, dapat membandingkan hasil pengukuran antar-anggota melalui pemahaman yang sama atas kode-kode angka tertentu merujuk pada kondisi curah hujan tertentu.

(9)

taksonomi hujan yang mengombinasikan kondisi hujan secara kualitatif dan numerik serta dampaknya pada tanah itu dalam suatu matriks seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Taksonomi Hujan secara Leksikal dan Numerik pada Petani Pengukur Curah Hujan di Wareng, Gunungkidul

N o

Kategori hujan dalam istilah lokal (Jawa)

Karakteristik hujan Dampak pada tanah

Persamaannya dalam numerik

1 Udan kremun Hujan ringan/kecil, sangat lembut, berdurasi pendek

Tidak ada “jejak” air di tanah

Tidak dapat diukur (0mm)

2 Udan thletik Hujan ringan/kecil yang berlangsung cepat, hanya semenit

Tidak ada “jejak” air di tanah

Tidak dapat diukur (0mm)

3 Udan gerimis Tidak terdengar suara hujan, dapat dirasakan di tangan, berdurasi lama.

Tidak ada “jejak” air di tanah untuk hujan berdurasi pendek. Titik-titik hujan pada tanaman untuk hujan yang berdurai lama. 0.5—5mm (tergantung pada durasi hujan)

4 Udan klithak-klithik:

a. dan klithak-klithik sedelo b. dan klithak-klithik suwé Hujan kecil/rintik-rintik yang menimbulkan bunyi “thik-thik” di atap. Beberapa petani mengategorikan hujan ini sama dengan no.3:

a.

erdurasi pendek.

b.

erdurasi lama.

Ada jejak di tanah: tanah menjadi basah, baik untuk hujan berdurasi pendek atau lama, tetapi tidak ada air yang tergenang di tanah. a. —3mm b. —5mm.

5 Udan pral-pril Hujan kecil di bulan April yang tidak terjadi setiap hari, hanya kadang kala dengan durasi pendek

Sama

dengan no.4: tanah

menjadi basah, tetapi

1—5 mm atau

(10)

atau lama. Terdengar suara hujan di atap rumah.

tidak ada genangan air di tanah.

6 Udan ora deres, nanging kerep (tidak deras, tetapi sering terjadi)

Tidak deras, tetapi menimbulkan bunyi yang mengganggu di atap dengan durasi yang lama.

Istilah lain: udané awèt (hujannya lama)

Di tanah berwarna “merah”, tanah menjadi amat basah. Di tanah berwarna “hitam-berat”, terdapat genangan air di tanah. Sampai 30mm

7 Udan deres bres (hujan deras)

Hujan deras,

menimbulkan bunyi yang lebih keras daripada no.6, tetapi biasanya tidak berlangsung lama. Tanah menjadi amat basah, lekat, dan berlubang bila orang berjalan di atasnya >30mm

8 Udan bar-ber (hujan sangat lebat) dan banjir

dalam kondisi hujan amat lebat yang menyebabkan lahan kebanjiran

Hujan lebat di bulan September, Oktober, November, dan Desember dengan frekuensi yang sering dan intensif, dan dengan durasi yang lama. Jika hujan berlangsung seharian, akan ada genangan air di lahan, khususnya pada tanah hitam-berat. Bila tidak ada saluran pembuang, lahan akan kebanjiran. >70mm

(pada tahun 2008/2009, sampai lebih dari 100mm)

Sumber: Data lapangan dari Anantasari di Wareng, Gunungkidul, 2008/09.

Telah diterbitkan dalam versi bahasa Inggris dalam Winarto dkk. (2010a, 2010b, 2011a).

(11)

melaporkannya dalam pertemuan petani—Warung Ilmiah Lapangan (WIL, Science Field Shopsi) (lihat Winarto dkk. 2012a)—mereka menyatakan kebutuhan untuk menyamakan kategorisasi hujan yang mereka kenali dengan kategori hujan secara numerik agar dapat menginterpretasi angka curah hujan yang dilaporkan sesama anggota (lihat Winarto dkk. 2013). Bila petani di Gunungkidul memiliki klasifikasi hujan yang rinci terkait dengan budaya cocok tanam tadah hujan dengan tipe-tipe tanah yang bervariasi, petani di Indramayu memiliki klasifikasi yang lebih sederhana ke dalam kategori hujan gerimis, sedang, beras, dan lebat. Lihat Tabel 2.

Tabel 2 Taksonomi Hujan secara Kualitatif dan Kuantitatif

Besaran Angka Curah Hujan Karakteristik Sifat Hujan

0,5 – 2 mm Gerimis

3 – 5 mm Hujan ringan

6 – 11 mm Hujan sedang

12 – 20 mm Hujan besar

21 mm Hujan lebat

Catatan: petani dapat menambahkan sendiri keterangan tentang durasi hujan. Sumber: Winarto dkk. 2013; catatan lapangan Wicaksono, 2 Desember 2012.

Saat terjadi diskusi perihal penyamaan kategori hujan secara kualitatif dan kuantitatif itu, terdapat argumentasi bahwa durasi hujan (lama, singkat) juga berpengaruh pada numerisasi curah hujan. Oleh karena itu, mereka sepakat agar keterangan tentang hal itu ditambahkan sendiri oleh petani. Seorang pengukur curah hujan di Desa Nunuk, Indramayu, menunjukkan pada peneliti bahwa sekalipun turun hujan gerimis pada tanggal 5 Desember 2012, hujan itu berlangsung lama dari pk.14:00—03:00 tanggal 6 Desember 2012. Durasi hujan gerimis yang berlangsung hingga 13 jam itu menyebabkan tertampungnya 108mm curah hujan di kaleng pengukur curah hujan di lahan pengamatannya. Sang petani pun mengategorisasikan 108mm itu tidak dalam klasifikasi hujan lebat, tetapi “hujan gerimis yang berlangsung lama”. Seorang pengukur curah hujan yang lain juga memiliki versi sendiri berdasarkan pengamatan dan perbandingannya antara kualitas dan kuantitas curah hujan: “...saya punya tiga saja, gerimis, sedang, besar. Gerimis memiliki curah hujan sebesar 0,5—5 mm, sedangkan hujan sedang memiliki curah hujan sebanyak 6—20 mm, dan di atas 21 adalah hujan besar.” Di saat lain, dua petani mendiskusikan kategori hujan sedang untuk ukuran curah hujan sebesar 20mm dan 30mm. Melalui diskusi antaranggota KPCHI, disepakati ada dua versi taksonomi curah hujan dengan versi pertama seperti tertera dalam Tabel 2 dan versi kedua dengan klasifikasi sbb: 0,5—3mm: gerimis, 14—40mm ringan, 41—56mm sedang; dan 57mm ke atas hujan lebat.

(12)

berlaku untuk durasi hujan dan bukan hanya untuk intensitasnya. Sejauhmanakah pengayaan skema itu membantu petani pengukur curah hujan mengidentifikasi masalah di lahannya?

Mengamati agroekosistem, mengidentifikasi masalah

Salah satu tujuan utama pembelajaran agrometeorologi itu adalah pengenalan dampak curah hujan tertentu pada kondisi lahan dan pertumbuhan tanaman. Mengamati kondisi agroekosistem lahan dikaitkan dengan parameter iklim, khususnya curah hujan, diharapkan membantu petani untuk dapat mengidentifikasi masalah kerentanan yang terjadi di lahannya. Di Indramayu, masalah “kebanjiran” dan “kekeringan” merupakan masalah “klasik” yang selalu berulang dialami petani setiap tahun, di samping ledakan hama dan penyakit. Bagaimanakah pengamatan agroekosistem yang dikaitkan dengan kondisi hujan itu menolong mereka lebih peka dan lebih dini mengenali kerentanan itu sebagai titik tolak antisipasinya?

“Jika hujan kebanjiran dan jika kering kekeringan,” itulah pemeo yang seringkali diujarkan petani di Indramayu dalam melukiskan masalah yang dihadapi mereka dari tahun ke tahun. Kini, setelah angka-angka curah hujan itu menjadi bagian dari skema pengetahuan dan sekaligus juga perbendaharaan kosa-kata petani, numerisasi juga dilakukan petani atas kondisi “banjir” yang dialaminya.

Mengacu pada hasil panen musim kemarau dan musim hujan di wilayahnya (Desa Karang Layung), War menyimpulkan bahwa hasil panen musim kemarau lebih baik daripada musim hujan. Hal itu dirujuknya pada aktivitas pengeringan dan penggenangan air (bursat) yang dapat dilakukan pada musim kemarau dan tidak pada musim hujan. Pada musim hujan, air sulit untuk dibuang, sehingga acapkali terjadi banjir di lahannya. Setelah melakukan kegiatan pengukuran curah hujan, War menggunakan angka curah hujan saat mendeskripsikan peristiwa banjir di lahan sawah: “Pada hari apa tuh sampai 65mm, sampai wilayah sana ada banjir. Sampai nggak keliatan.”.

(Catatan lapangan Wicaksono. Karang Layung, 17 Februari 2013)

Kriteria “banjir” ternyata tidak hanya dikaitkan dengan tergenangnya lahan sawah, tetapi juga sejauhmana tanaman di lahan itu tergenangi air.

Saat dilaksanakan lokakarya Pembuatan Grafik dan Pemetaan Kerentanan Sawah, Nur, dari Pekandangan Jaya melemparkan pertanyaan ke anggota lainnya “Ada masukan [tentang] banjir, sejauh mana bisa dikatakan banjir? Soalnya kadang di pengamatan kita hujan 100 (mm) saja udah banjir. Jangankan seratus! 30 (mm) aja udah banjir.” Mendengar pertanyaan itu, Lalen menjawab “Tapi itu kan tergantung tanamannya. Kalau tanaman kangkung atau caisim sehari aja kena banjir udah ancur. Tapi kalau padi mah

sehari mungkin nggak apa-apa kalau masih masa vegetatif. Ya kalau sekiranya itu merugikan, ya merugikan juga. Sekalipun ukurannya berapa. Ya ukuran rugi atau tidaklah. Pokoknya selagi nggak kelelep itu menurut saya nggak parah. Kecuali pucuk atas itu

(13)

banjir, tanaman itu masih umur lima hari, walaupun tingginya hanya 30cm. Nah, ketika tanaman tinggi sekitar umur 40 hari, ...kan nggak merusak.” Petani yang lain, Con menimpali: “Begini.banjir itu dampaknya ada, misalnya umur usia tanaman masih kecil. Ada banjir kiriman. Tapi, di kala usia padi usianya udah tinggi satu bulan, terus ada kiriman banjir walaupun tinggi keadaan airnya itu, bisa dikatakan tidak banjir, karena tidak ada dampaknya.” (Catatan lapangan Wicaksono: Pekandangan Jaya, 24 Januari 2013)

Bertolak dari diskusi itu, disepakatilah untuk membuat klasifikasi tentang “banjir” guna membantu mereka melakukan pencatatan dalam mengidentifikasi kondisi “banjir” di lahannya. Lihat Tabel 3.

Tabel 3 Kategori Banjir

Kategori “banjir”

Banjir rendah berdampak pada tanaman, terutama ketika tanaman masih kecil di persemaian.

Banjir tinggi, namun tidak berdampak ke tanaman karena tanaman padi sudah tinggi.

Banjir hanya sekadar lewat saja, tidak berbahaya, dan cepat surut.

Sumber: catatan lapangan Wicaksono, 24 Januari 2013.

Pengombinasian sejumlah unsur: curah hujan, banjir, usia dan tinggi tanaman, serta dampaknya pada pertumbuhan tanaman itu menandakan pengayaan skema pengetahuan petani didasarkan pada hasil pengamatan serta kemampuan analitisnya. Diskusi di Warung Ilmiah Lapangan (WIL) menyajikan kesempatan untuk memaparkan hasil pengamatan, mempertanyakan, atau mencapai konsensus atas argumentasi yang dilontarkan sesama petani. Merujuk pada Bovet (1974 dalam Crump 1990), Crump menyatakan bahwa edukasi berperan penting dalam mengembangkan kemampuan analisis yang menghasilkan perbandingan atas dimensi-dimensi dari objek yang dilibatkan:

Conservation of quantity experiments carried out by Bovet (1974) in Algeria and Bruner and Greenfield in Senegal (Greenfield 1966) lead to the conclusion that `schooling plays a specific part in developing an analytic approach which results in a precise comparison of the dimensions of the objects involved' (Bovet 1974:331), (lihat Crump 1990:25).

(14)

tanam padi yang rapat. Saat petani mengetahui meningkatnya intensitas curah hujan, unsur pengetahuan tentang pengendalian hama terpadu melalui pengamatan agroekosistem mengaktifkan unsur pengetahuan tentang siklus hidup dan perkembangan WBC. Melalui kombinasi unsur-unsur pengetahuan itulah, petani dapat melakukan antisipasi perihal kemungkinan terjadinya serangan WBC. Bas di Desa Karang Layung, Indramayu yang telah menjadi pengukur curah hujan semenjak tahun 2010 menemukan adanya kemunculan populasi WBC di bulan Januari secara berturut-turut pada tahun 2011 dan 2012. Lihat Gambar 2 tentang catatan hasil pengamatan Bas.

Gambar 2. Catatan Pengamatan Hama Bas di bulan Januari 2011 dan Januari 2012

Foto dan dokumentasi oleh Wicaksono, 2013

Pada suatu malam, saat saya (Wicaksono) selesai makan saya melihat Bas sedang mencatat hasil pengukuran curah hujan di buku catatannya. Saya yang sedang duduk bersama Giller di ruang TV rumah Bas menghampirinya. Bas ternyata sedang membaca beberapa catatan pengamatan yang telah dilakukannya sejak tahun 2010. Catatan pengamatan yang dibuat olehnya termasuk berbeda dari anggota KPCH lainnya. Di akhir catatan setiap bulannya ia selalu membuat ringkasan peristiwa kemunculan hama di lahan observasinya. Tiba-tiba ia memanggil saya “Muk! Nah ini, liat nih. Perhatiin coba ini ya Januari 2011, nah yang ini Januari 2012. Tuh werengnya keliatan kan tuh muncul setiap bulan Januari ternyata.”

(Catatan lapangan Wicaksono. Karang Layung, 5 Februari 2013)

(15)

dengan adanya lem, sementara parasit dapat terbang ke luar dari lubang untuk memarisiti telur-telur PBP. Petani itu menambahkan bahwa pengamatan seperti ini harus dilakukan setiap hari karena peletakan telur PBP oleh induknya. Con mengaku sulit mengatasi serangan hama PBP karena tidak mengetahui saat terjadinya penerbangan kupu-kupu PBP. Sekalipun ia mengetahui saat penerbangan, hal itu pun tidak menjamin padinya terhindar dari serangan PBP. Kondisi cuaca yang berubah-ubah dari hujan ke panas dinyatakannya sebagai faktor penghambat pengendalian hama itu. Yang dapat dilakukan hanyalah mengurangi populasinya.

Kesempatan melakukan dialog dan diskusi dalam arena WIL memungkinkan petani berbagi pengalaman dan bertukar pikiran. Itulah salah satu mekanisme belajar yang mendukung pengayaan skema pengetahuan agrometeorologis petani pengukur curah hujan di Indramayu. Terkait dengan pengendalian hama PBP, petani yang pernah mengikuti kegiatan ARF (Aksi Riset Fasilitasi) di Desa Kalensari di pertengahan tahun 1990-an membagikan pengalamannya seperti yang dilakukan Con. Simak Kotak 1. Melalui kisah-kisah itulah petani-petani muda yang belum memperoleh pemahaman tentang pengendalian hama dapat belajar dari sesama anggota. Dengan pengayaan pengetahuan itu, bagaimanakah mereka melakukan antisipasi dan sekaligus mere-interpretasi pengetahuan lokalnya seperti pranata mangsa?

Kotak 1. Berbagi pengalaman mengendalian penggerek batang padi dalam Warung Ilmiah Lapangan

Pada pertemuan evaluasi tiga dasarian di Desa Amis, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu awal bulan Mei 2012, Sob dari Desa Kalensari diminta sesama anggota untuk menyampaikan pengalamannya melakukan penyeleksian telur penggerek batang padi (PBP) ketika melakukan pengamatan agroekosistem di lahan sawahnya. Pengambilan kelompok telur PBP dilakukan oleh Sob untuk memotong siklus penggerek batang padi putih (PBPP) dan penggerek batang padi kuning (PBPK). “Assalamualaikum wr.wb maksudnya itu telur kupu, atau penggerek batangnya diambilin itu jadi memotong siklus maksudnya. Memotong siklus supaya jangan sampai masuk lagi. Telor kupunya ada yang sudah disengat oleh parasit jadi kalau yang jadi parasit terbang, yang tidak jadi parasit tidak bisa terbang. Kalau dulu saya waktu pengalaman 1995-1996, pakai bumbung (bambu) diberi oli duwuré. Jadi kalau yang jadi parasit ya kabur, kalau yang nggak jadi parasit ya tetap di situ nggak bisa keluar.... Menurut pengalaman 1995-1996. Jadi waktu itu per meter ratusan, waktu jaman 1995-1996 jadi sama-sama petani di Kalensari ngambilin telor kupu. Yang dibudayakan ada, yang langsung dibakar juga ada. Jadi keperluannya begitu untuk ngambil telur kupu. Kalau nggak

begitu dimasukkan plastik digantung, kalau di sini netes, nanti di lapangan juga netes. Disemprot,” tutur Sob. Pada saat melakukan pengamatan agroekosistem di tahun 2012, Sob berhasil memperoleh 171 kelompok telur PBP dari lahan sawahnya yang dijadikan lokasi pengukuran curah hujan dan pengamatan agroekosistem harian.

Mendengar cerita tersebut, seorang petani pengukur curah hujan yang sekaligus rekan Sob, Pak Lalen membenarkannya. Menurut Lalen, cara yang dilakukan tersebut adalah upaya Konservasi Musuh Alami, “Ya tahunya itu seperti ini kan ada dua cara padi itu ada yang ditaruh di sini (disimpan di dalam plastik untuk diamati di rumah), ada yang di

bungbung. Kalau di bungbung dengan skala luas daripada dibuang, khawatir ada yang jadi parasit. Makanya ditaruh di bungbung. Siapa tahu ini yang jadi parasit bisa terbang, yang namanya Konservasi Musuh Alami itu bu. Itu dengan cara itu. Itu di antaranya.”

(16)

Mengantisipasi Konsekuensi Perubahan Iklim, Me-reinterpretasi Kosmologi Lokal?

Mengembangkan pertanian atau masyarakat perdesaan yang tanggap terhadap perubahan iklim (response farming or rural response to climate change), dan bukannya tetap berkutat pada strategi budi daya tanaman yang konvensionallah yang diharapkan terjadi setelah melalui proses pembelajaran agrometeorologi (lihat Winarto dan Stigter 2011; Winarto dkk. 2011a, 2013). Strategi budi daya tanaman konvensional yang hanya berpedoman pada “paket-paket teknologi” dari musim ke musim perlu direfleksikan oleh setiap petani pengukur curah hujan. Demikian pula halnya dengan panduan kosmologi lokal yang berlaku pada masa tidak adanya variabilitas iklim yang intens (lihat Winarto dkk. 2013). Petani-petani pengukur curah hujan di Indramayu memang tengah berupaya mempertajam kemampuan antisipasinya, sekaligus melakukan re-interpretasi atas kosmologi lokal yang dimilikinya. Bagaimanakah hal itu terwujud?

Memperkaya pengetahuan, mempertajam kemampuan antisipasi?

Apa yang dilakukan Bas dalam melakukan pengamatan dan pencatatan sehingga membantunya memperbandingkan kondisi cuaca dari tahun ke tahun, juga dialami petani lain. Salah satu manfaat adalah kemampuan melaksanakan antisipasi dengan lebih baik. Nur menyatakan bahwa bila hujan turun terus menerus, ia perlu waspada “...karena hama banyak bermunculan. Di daerah genangan sebaiknya jangan dulu ditanami, karena akan terlalu banyak air.” Menjadi lebih “ekstra hati-hati terhadap hama,” itulah yang dilakukan Nur. Oleh karena itu, pengamatan setiap hari perlu dilakukan secara cermat. Dengan menggunakan istilah “prakiraan” yang seyogianya adalah “antisipasi”, Bas mengisahkan pengalamannya di hadapan jajaran Tim Iklim di bawah pimpinan Ketua BAPPEDA (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) Kabupaten Indramayu di bulan Oktober 2013 bahwa ia mampu “memprakirakan” kemungkinan meledaknya hama WBC dengan mengetahui kondisi hujan, curah hujan yang diukurnya setiap hari, populasi hama WBC di lahan sawah yang ditemukannya, serta pengetahuan tentang siklus hidup hama itu. Oleh karena itu, disarankannya ke petani-petani lain agar mereka waspada, dan sedini mungkin melakukan pengendalian hama WBC di lahan masing-masing bila telah ditemukan populasi hama itu.

(17)

“Kalau nggak di buku, saya nggak bisa ngomong nanti. Katanya apa, dalam kaedah itu kan ilmu itu sebagai guru. Supaya guru itu jangan terbang, ya harus diiket. Sama saja buku itu sebagai iket (tertawa). Biar ilmunya nggak ilang (tertawa). Begitu, Al-Ilmu shaidun, wa al-kitâbatu qaiduhu (Ilmu itu ibarat binatang buruan, sedangkan tulisan itu merupakan tali untuk mengikat binatang buruan tersebut) kalau kata pepatah Arabnya kan gitu. Nah! ini umur tanamnya ini, Ki (sambil membaca buku catatan curah hujan). Usia tanam sampai hari ini 34 hari,” kisah Pur pada Wicaksono.

(Catatan Lapangan Wicaksono, Sumbon 8 Januari 2013)

Selain kegiatan pengamatan populasi hama yang harus dilakukan secara lebih cermat, hasil nyata dari pembelajaran itu adalah pelaksanaan tindakan di lahan sawah berdasarkan antisipasi yang dilakukan petani. Pur, misalnya, menyiapkan pematang tambahan di sekitar lahannya di musim hujan (rendeng) 2012/2013 untuk menjaga debit air di sawahnya.

Ketika saya (Wicaksono) mengikuti Pur ke sawah, Pur memperhatikan kondisi pematang sawahnya. Tiba-tiba ia menanyakan sesuatu, “Ini, kalau saya buat pematang seperti ini kira-kira tau gak manfaatnya untuk apa?” Saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata, pematang kecil yang dibuat berlapis dan bersebelahan dengan pematang yang menjadi batas antara sawahnya dengan sawah tetangga dijadikan sebagai pencegah terbuangnya air ke sawah tetangga. Hal tersebut dilakukan untuk mengefektifkan proses pengairan. “Sawah dikasih pematang kecil gini, biar air gak begitu

ngebuang ke sawah tetangga.” (Catatan lapangan Wicaksono: Sumbon, 28 Januari 2013). Lihat Gambar 2.

Merapatkan dan membuat pematang-pematang sawah merupakan cara yang diterapkan oleh petani areal tadah hujan untuk mengefisienkan penggunaan air di sawah. Dengan menghambat laju aliran air yang terbuang ke lahan sawah tetangga, petani menerapkan strategi untuk mengurangi risiko kekeringan di lahannya. Penelitian Winarto dkk (2011b) di Desa Wareng, Gunung Kidul, DI Yogyakarta memperlihatkan penerapan strategi ‘Metode Panen Hujan’ setelah SLI berakhir di tahun 2007, yakni ‘membuat tambahan pematang di lahan sawah’, atau ‘dikotak-kotak’ menurut istilah petani. Strategi itu diharapkan dapat secara lebih efektif meingkatkan kelembaban tanah, yang berarti juga mengurangi risiko kekeringan di sawah petani. “Storing more water in the field for a longer period of time by building ridges in the middle of the field so as to increase soil moisture by preventing run off is the main objective of that method (lihat Winarto dkk. 2011b:88-89). ‘Metode panen hujan’ memang dipelajari petani di Sekolah Lapangan Iklim (SLI). Di Indramayu, petani melakukan inovasi sendiri atas dasar antisipasi yang dilakukannya.

(18)

Foto oleh Wicaksono. Desa Sumbon, 28 Januari 2013

Kemampuan melakukan antisipasi tidaklah selalu terwujudkan dalam perilaku sejalan dengan antisipasinya. Bahkan, dapat terjadi bahwa bukan keuntungan yang diperoleh petani, melainkan kerugian dan kegagalan panen. Hal itu dialami oleh Sar, seorang alumni SLI yang sudah lanjut usia dan bercocok tanam padi di lahan tadah hujan di Karang Mulya, Indramayu. Setelah memperoleh “skenario musiman” yang dikirimkan setiap bulan oleh Stigter (lihat tulisan tentang Penyuluhan Agrometeorologi oleh Winarto dan Stigter dalam buku ini) jelang musim kemarau 2012, Sar mengantisipasi akan kurangnya hujan yang tidak akan menguntungkan bagi keberhasilan tanaman padi di musim kemarau itu. Ia pun menasihati sesamanya untuk tidak menanam padi, tetapi sayuran seperti ketimun. Namun, tetangga-tetangganya yang tidak memahami hal itu dan tidak memperoleh informasi dan jasa layanan agrometeorologi apa pun dari pihak yang berwenang, tetap menanam padi. Alhasil, seperti dikisahkan Winarto dkk. (2012a), karena khawatir bahwa dirinya sendiri yang tidak akan panen bila sesamanya berhasil panen, dengan mempertimbangkan masih adanya hujan di bulan Mei 2013, ia pun memutuskan menanam padi. Risiko kegagalan panen pun dialaminya dengan pahit.

Itulah dunia penuh tantangan dan risiko yang dihadapi petani di masa terjadinya perubahan iklim ini. Menanggapi dinamika kondisi musim yang acap tidak terduga serta menginterpretasi kembali kosmologi lokal dan cerita-cerita rakyat tentang cuaca, merupakan salah satu kegiatan pembelajaran petani yang menjadi semakin peka atas berbagai fenomena di habitatnya.

Menanggapi dinamika musim, me-reinterpretasi Pranata Mangsa dan Cerita tentang Cuaca (Weather Lore)?

(19)

semenjak 2009/2010 secara lambat-laun menyadari bahwa mereka perlu melakukan evaluasi dan interpretasi ulang atas kosmologi lokal dan pengetahuan tradisional mereka dalam bercocok tanam. Pencatatan tentang hasil pengukuran curah hujan dan pengamatan agroekosistem merupakan salah satu sarana yang bermakna seperti dinyatakan Bas, sekretaris KPCH:

Nah padahal pak, kita dari tahun 2009 sampai sekarang ini kita lagi belajar ilmu klasik. Tapi bapak tidak sadar, kalau sadar per dasa(ha)rian ditulis dengan detail dalam satu tahun nanti tahun berikutnya kita buka lagi ini untuk bahan perbandingan. Jaré wong tua mah gawé pranata mangsa ala kita sendiri, cara kita dèwèk. Tuh,” kata Bas dalam suatu pertemuan Warung Ilmiah Lapangan (6 Mei 2012).

Bas menyadari bahwa dengan cara mencatat hasil pembelajaran agrometeorologi setiap hari, bulan, dan tahun, anggota KPCH secara tidak disadari sedang berupaya untuk memperbaharui

pranata mangsa dengan mengaitkannya dengan kondisi cuaca saat ini. Pranata mangsa adalah kalender agro-bio-ekologi yang menghubungkan elemen meteorologi dan ekologi dengan kegiatan pertanian dan ritme biologis hewan serta tumbuhan (Hidayat 2011:43). Satu periode

pranata mangsa terdiri atas 365 atau 366 hari yang dibagi dalam 12 mangsa (musim). Wahyudi (2012) merinci ke-12 musim itu mulai dari kasa, karo, katelu, kapat, kalima, kanem, kapitu, kawolu, kasanga, kasepuluh, dhesta, dan saddha. Apa yang dikemukakan Bas itu juga menjadi salah satu tujuan Naryo (kuwu, kepala Desa Sumbon) untuk bergabung ke dalam KPCH Indramayu. Ia ingin mengetahui apakah primbon Jawa (termasuk pranata mangsa) itu masih relevan atau tidak untuk digunakan pada kondisi saat ini.

“Karena satu saya sebagai seorang petani ingin tahu sejauh mana kebenaran Primbon-primbon yang ada dari orang tua kita. Jadi bebakunya saya sebagai petani pengen tahu tahun ini hujannya sekian tahun ini sekian, seandainya kita sawah yang teknis mah

kemungkinan besar agak males, tapi karena kita bledug cengkuk wilayah sini artinya tadah hujan. Nah itu yang mendorong kita ikut Klub Curah Hujan. Dan juga sepengetahuan saya itu, hujan itu di bulan ‘ber-ber’ an, tapi kalau September itu ‘Sep’-nya sumber tidak ada hujan. Berhenti. Nah mulai Oktober akhir ada hujan, nah....kan

bener November kan ada hujan. Terkecuali itu kalau musimnya nyalamangsa,” ujar Naryo, sambil mengomentari skenario musiman yang diterimanya setiap awal bulan dari Stigter melalui Winarto jelang akhir tahun 2012 (Catatan lapangan,. Wicaksono: Sumbon, 29 Januari 2013)

Bila Bas selaku sekretaris klub menghimpun dokumentasi tentang pranata mangsa dan membagikannya ke anggota klub, salah seorang anggota KPCH, Kar, tidak hanya menuliskan hasil pengamatan agroekosistem di buku catatannya, tetapi juga penanggalan Jawa dan keterangan terkait dengan pranata mangsa.

Kar menuliskan keterangan tentang pranata mangsa di dalam buku catatannya. Penulisan itu disesuaikan dengan pembagian musim yang ada dalam pranata mangsa. Misalnya dalam pencatatan data curah hujan di bulan Januari 2013, Karwita menuliskan keterangan penanggalan dan pasaran Jawa serta keterangan mangsa (musim) seperti di bawah ini:

(20)

Awal Mulud Senin, 14 Januari 2013 Mangsa Kapitu (43) hari 22 Des-2 Peb 2013

Dua baris pertama merupakan batasan penanggalan Jawa, yakni akhir tahun dan diawalinya tahun yang baru. Tulisan tentang mangsa Kapitu (43) hari menunjukkan bulan ketujuh dalam penanggalan Jawa saat Kar melakukan pengukuran curah hujan di bulan Januari 2013. Kar memiliki catatan lengkap mengenai pranata mangsa. Ia merasa perlu mencatat karena ingin membandingkan data curah hujan yang dikumpulkannya dengan pengetahuan pranata mangsa yang dimilikinya. Menurutnya, jika ia memiliki data curah hujan selama 10 tahun, ia bisa “meramal” kondisi curah hujan untuk tahun-tahun berikutnya, seperti yang dapat dilakukan dengan pranata mangsa. Ia ingin menggabungkan kedua prakiraan iklim itu. Namun Kar belum bisa membandingkan keduanya karena ia belum memiliki data lengkap tentang pranata mangsa yang diamatinya sendiri. Menurutnya, ia perlu pengamatan delapan tahun untuk mengetahui satu siklus dalam

pranata mangsa beserta kejadian-kejadian yang dialaminya.

Dengan merujuk pada pranata mangsa yang dapat dijadikan pedoman tentang “apa yang terjadi di bulan/mangsa tertentu sesuai dengan watak mangsa (sifat mangsa), gejala alam, dan kegiatan pertanian”, Kar beranggapan bahwa kegiatan pengukuran curah hujan yang dilakukannya kini dapat digunakan sebagai landasan memprakirakan kondisi alam di masa datang. Misalnya, pada

mangsa kapitu (musim ketujuh), akan timbul banyak hama/penyakit, banjir, dan saatnya padi ditanam. Kar akhirnya menyadari bahwa hal itu tidaklah dapat dilakukannya dengan melakukan pengukuran curah hujan seperti dijelaskan Stigter dalam kegiatan kepemanduan bagi Petani Pemandu KPCH. Melakukan “antisipasi” dan bukan “prediksi” merupakan unsur pengetahuan baru dalam alam pikir Kar dan petani-petani yang lain. Hal itu tidaklah menyurutkan tekad dan itikad Kar untuk dapat membuat panduan sendiri setelah delapan tahun mengamati curah hujan dengan membandingkan data curah hujan dan pranata mangsa yang diketahuinya.

Lalen, ketua KPCHI, menyatakan secara tegas bahwa pranata mangsa tidaklah berubah. “Mangsa-mangsanya tetap,” ujar Lalen. Begitu pula dengan jumlah hari dalam satu mangsa.

Namun, disadarinya bahwa kadang kala pedoman yang tertera dalam pranata mangsa itu sejalan dengan kondisi cuaca yang dialaminya, tetapi kadang kala tidak. Misalnya, menurut panduan di

pranata mangsa, pada mangsa kalima petani sudah mulai bercocok tanam di musim hujan. Akan tetapi, di tahun 2012 dengan tidak adanya hujan sama sekali hingga bulan November 2012, berarti, awal cocok tanam jatuh pada mangsa kapitu. Bagi petani-petani dari generasi muda yang tidak memiliki pengetahuan pranata mangsa, arena WIL merupakan wadah pembelajaran. Tar menyatakan bahwa ia belajar dari Naryo untuk memperhatikan kondisi cuaca dan penanggalan Jawa dalam mengendalikan hama PBP, yakni pada tanggal dan situasi apa kupu-kupu PBP melakukan perkawinan untuk menentukan jadwal pengendalian. Petani lain yang juga tidak memiliki pengetahuan tentang pranata mangsa mengombinasikan unsur pengetahuan tentang siklus bulan dalam penanggalan Jawa, siklus hidup hama, dan skenario musiman yang diterimanya dari Stigter.

(21)

skenario itu. Informasi itu digunakannya sebagai acuan untuk menentukan jadwal tanam dan varietas. Pemilihan varietas diperoleh atas dasar skenario musiman itu satu bulan ke depan. Jika hujan dinyatakan akan jarang terjadi, Yus akan memilih varietas padi berumur pendek. Selain itu, ia menggunakan pengetahuan lokalnya, yakni mengupayakan agar saat keluarnya malai terjadi sebelum bulan purnama. Apabila terjadi bulan purnama, tanaman padi akan diserang PBP. Menghindari serangan itulah, ia merasa perlu melakukan penghitungan saat munculnya bulan purnama yang diacunya pada penanggalan Jawa, dan mengombinasikannya dengan jadwal tanam dan usia varietas.

Petani juga merupakan pengamat yang jitu. Ilmu titèn (ilmu berdasarkan kecermatan pengamatan dan ingatan), itulah sebutan yang digunakan petani di Gunungkidul dalam menamai pengetahuan lokal yang dimilikinya (lihat Winarto dan Stigter 2011). Berdasarkan ilmu titèn itu petani mengembangkan berbagai frasa yang tersimpan sebagai “cerita-cerita tentang cuaca” atau

weather lore (folk-lore). Weather folk-lore is based on the knowledge of the common people acquired through the ordinary observations of nature, animals, plants, etc., unaided by instruments (Hazen 1900:191). Gejala alam seperti bentuk awan, arah angin, pertumbuhan tanaman, dan perilaku hewan menjadi acuan yang masih digunakan oleh petani dalam memahami siklus musim tanam di Indramayu. Dengan mengacu kondisi gejala alam tersebut petani memahami kapan awal musim rendeng (penghujan) atau musim gaduh (kemarau) akan berlangsung. Kemampuan petani mengamati gejala alam tidak terlepas dari pengetahuan yang diwarisinya dari orang tua berdasarkan kebiasaan petani jaman bengèn (masa lampau). Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam sekitarnya itulah yang digunakan untuk membaca kondisi cuaca setiap masa tanam.

Nur memberikan contoh bahwa di awal musim hujan, akan ada burung camar yang berbondong-bondong terbang menuju laut. Lazimnya, keesokan harinya, sawah petani akan terairi. Jelang musim hujan pula, saat terasa “gerah” atau “ongkob” dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, semut-semut juga merasa “gerah”. Mereka akan ke luar dari liang/sarang dengan membawa telur-telur semut secara berbondong-bondong berpindah ke tempat lain. Itulah pertanda akan tiba musim hujan. Hingga saat ini, tanda-tanda alam itu tetap menjadi rujukan bagi Nur dalam mengenali akan tibanya awal musim hujan.

Cerita mengenai kondisi alam yang dirasakan petani kerap kali diungkapkan oleh anggota KPCH Indramayu di dalam arena WIL sekali dalam 3 dasarian untuk mengidentifikasi fase-fase perubahan dari musim rendeng ke musim gaduh atau sebaliknya. Mengacu pada Roncoli, dkk (2009) yang mengutip Strauss dan Orlove (2003), kemampuan pengamatan secara visual dan sensorik dengan melihat, merasakan, mendengar, dan mencium merupakan modal yang dimiliki oleh manusia, juga petani khususnya, dalam memahami kondisi cuaca di suatu lokasi.

Visual and sensory perceptions are key elements of the folk epistemology of climate

(22)

Namun, pada awal musim rendeng 2013, petani mulai mempertanyakan gejala alam yang diamatinya. Can dan Kar dari Desa Sumbon dan Amis, Indramayu, menemukan petanda alam yang sama saat melakukan pengamatan harian ke sawah. Mereka melihat telah munculnya

ungker jati atau ulat daun jati yang besar jmlahnya. Dalam pemahaman mereka, hal itu merupakan pertanda akan terjadi penelang (kemarau kecil/dry spell). Siklus penelang dapat terjadi kurang lebih selama 15—20 hari menyusul hujan yang turun beberapa hari. Hujan itu lazim disebut dengan false rain (hujan yang ternyata bukan menandai tibanya musim tanam musim hujan). Kondisi penelang yang cukup lama itu mengkhawatirkan petani atas pertumbuhan tanaman padi mereka bila semai telah dilakukan di saat tibanya hujan awal yang “keliru” (false rain) itu. Naryo, kuwu Desa Sumbon telah mengantisipasi hal itu dengan melakukan persemaian kering (ngipuk) lebih awal dan bukan semai basah.

“Awalnya pada waktu musim kemarau, begitu turun hujan, kalau pakè ukuran ya maklum kita kan petani, pakènya cangkul, kalau dicangkul kedalamannya (tanah yang basah) sekitar 10 cm, baru kita membuat persemaian kering, namanya ngipuk. Terus begitu hujan bulan November pertengahan, ada hujan biasanya tuh, kita tuh harus cepet-cepet tanem.

Kalau tidak cepat-cepat tanam ya di situ tuh ada kemarau kecil selama 15 hari. Ya kita harus cepet-cepet,” kata Naryo. (Catatan lapangan Wicaksono. 3 Juli 2012).

Gambar 3. Proses Perkembangan Semai Kering (ngipuk)

Foto oleh Wicaksono, Desember 2012.

(23)

setiap sorenya. Hal yang sama juga dialami Kar yang sempat mengirimkan sms ke Winarto perihal banyaknya ulat jati ditemukan di pohon-pohon jati yang dianggapnya sebagai petanda akan datangnya penelang (kemarau kecil/dry spell). Ternyata, Kar tidak mengalami terjadinya penelang itu di awal musim hujan 2012/2013. “Prakiraan saya keliru,” kata Kar pada Winarto.

Can mengisahkan hasil pengamatannya pada Wicaksono: “Kalau sekarang ulatnya ada, tapi hujan nggak mau berhenti. Biasanya hujan tuh Mas kalau godong jatinya mau habis

tuh, dimakanin ulat tuh. Kemarau, kemarau kecil. Tapi sekarang jatinya, daunnya udah

habis, hujan masih terus. Sekarang.” Itulah cerita Can tentang ketidaklaziman yang diamatinya. (Catatan lapangan Wicaksono: Sumbon, 4 Desember 2012). Lihat Gambar 4.

Gambar 4 Ulat Daun Jati (Hyblaea puera)

Foto oleh Wicaksono. Desa Amis, 3 Desember 2012

Ketidaklaziman dan ketidaksejalanan antara tanda-tanda alam dengan pola hujan yang terjadi, hanyalah salah satu dari hasil pengamatan petani. Ketidakpahaman dan kebingungan, itulah yang kerap dialami petani. Dalam situasi itu, dapatkah “kearifan lokal” petani dipandang sebagai salah satu “solusi” terbaik dalam membantu petani untuk mengatasi berbagai fenomena perubahan iklim? Kami berargumentasi bahwa situasi perubahan iklim merupakan tantangan yang tidak mudah dicarikan solusinya sendiri oleh petani tanpa jasa-layanan agrometeorologi.

“Petani itu selalu Belajar”: Suatu Penutup

(24)

pengukur curah hujan di Gunungkidul dan Indramayu menunjukkan bahwa pengetahuan lokal yang mereka miliki—sekalipun kaya dan rinci oleh pengamatan yang cermat dan pewarisan pengetahuan dari generasi terdahulu—tetap memberikan keterbatasan untuk memahami fenomena-fenomena baru yang muncul secara tiba-tiba, penuh ketidakpastian dan ketidakterdugaan. Hasil pembelajaran yang dialami melalui pengamatan setiap hari tentang besarnya curah hujan dan dampaknya pada kondisi lahan dan tanaman, ternyata dapat memperkaya skema pengetahuan mereka. “Celah-celah yang kosong” itu pun mulai terisi secara lambat-laun, setapak demi setapak, dari pengamatan, pengalaman, dan pencatatan dari musim ke musim, tahun ke tahun. Pengenalan atas pola hujan dalam kondisi El Niño, La Niña, normal, atau peristiwa-peristiwa yang tidak lazim dan ekstrim serta implikasi yang ditimbulkan pada lahan dan tanaman itu memungkinkan mereka memaknai fenomena yang dihadapi masa kini. Hal itu ternyata dapat membantu mereka melakukan antisipasi atas konsekuensi lebih jauh yang mungkin akan mereka alami di masa depan. Jasa-layanan agrometeorologi seperti skenario musiman yang disampaikan secara teratur di awal bulan merupakan salah satu faktor pendukung kemampuan petani melakukan antisipasi. Melalui proses belajar itulah pengetahuan lokal petani senantiasa diperkaya. Namun, jalan yang harus mereka tempuh masih panjang. Mereka barulah mengawali proses belajarnya. Oleh karena itu, telah tibalah saatnya kita tidak lagi mengagung-agungkan “kearifan lokal” petani tanpa upaya membantu mereka untuk lebih mampu mengantisipasi, lebih arif menyikapi, dan lebih tepat mengambil keputusan tentang strategi budi daya tanaman yang tanggap terhadap perubahan iklim.

Daftar Referensi

Agrawal. A. (1995). Indigenous and scientific knowledge: Some critical comments. Indigenous Knowledge and Development Monitor, 3(3), 3-6.

Anantasari, E. & Winarto, Y.T. (2011). Anticipating drought in multiple cropping: Implementing rain harvesting method. Dalam Y.T. Winarto & K. Stigter (Peny.), Agrometeorological learning: Coping better with climate change (hlm.86-103). Saarbrücken: LAP Lambert Academic Publishing GmbH & Co. KG.

Borofsky. R. (1994). The cultural in motion. Dalam R. Borofsky (Peny.), Assessing cultural anthropology (hlm.313-319). New York: McGraw Hill.

Barth, F. (1994). A personal view of present tasks and priorities in cultural and social anthropology. Dalam R. Borofsky (Peny.), Assessing cultural anthropology (hlm.349-361). New York: McGraw Hill.

Brookfield, M. (1996). Indigenous knowledge: A long hisory and an uncertain future. PLEC News and Views, 6, 23-29.

Choesin, M. (2002). Connectionism: Alternatif dalammemahami dinamika pengetahuan lokal dalam globalisasi. AntropologiIndonesia, 26(69):1-9.

Crate, S.A & Nuttall, M. (2009). Introduction: Anthropology and climate change. Dalam Crate, S.A. & Nuttall, M. (Peny.), Anthropology and climate change: From encounters to actions

(25)

Crump, T. (1990). The anthropology of numbers. Cambridge: Press Syndicate of the University of Cambridge.

D’Andrade, R. (1993). The development of cognitive anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Dilts, R. & Hate, S. (1996). IPM farmers’ field schools: Changing paradigms and scaling-up.

Agricultural Research & Extension, 59b, 1-4.

Finesso, G.M. (2013, 3 November). Anomali cuaca: Tergopoh ikuti irama iklim Kompas, 3.

Hazen, H.A. (1900). The origin and value of weather lore. The Journal of American Folklore,

13(50), 191-198.

Hidayat, B. (2011). The sky and the agro-bio-climatology of Java: Need critical reevaluation due to environmental changes. Daam T. Nakamura, W. Orchiston, M. Soma & R. Strom (Peny.), Proceedings of the seventh international conference on oriental astronomy

(hlm.43-36). Tokyo: National Astronomical Observatory of Japan.

Kottak, C.P. (2011). Cultural anthropology: appreciating cultural diversity. International edition. New York: McGraw Hill.

Peterson, N. & Broad, K. (2009). Climate and weather discourse in anthropology: From determinism to uncertain futures. Dalam S.A. Crate & M. Nuttall (Peny.), Anthropology and climate change: From encounters to actions (hlm.70-86). California: Walnut Creek. Pontius, J., Dilts, R. & Bartlett, A. (2002). From farmer field school to community IPM: Ten

years of IPM training in Asia. Bangkok: FAO Community IPM Programme. Food and Agroiculture Organization of the United Nations Regional Office for Asia and the Pacific.

Prahara, H., Winarto, Y.T. & Kristiyanto. (2011). The joint production of knowledge: Its dynamics. Dalam Y.T. Winarto & K. Stigter (Peny.), Agrometeorological learning: Coping beter with climate change (hlm.145-180). Saarbrücken: LAP Lambert Academic Publishing GmbH & Co. KG.

Roncoli, C., Ingram, K., Jost, C. & Kirshen, P. (2003). Meteorological meanings: Farmers’ interpretation of seasonal rainfall forecast in Burkina Faso. Dalam S. Strauss & B. Orlove (Peny.), Weather, climate, culture (hlm.181-200). Oxford dan New York: Berg.

Roncoli, C., Crane, T. & Orlove, B. (2009). Fielding climate change in cultural anthropology. Dalam S.A. Crate & M. Nuttall (Peny.), Anthropology and climate change: From encounters to actions (hlm.87-115). California: Walnut Creek.

Shore, B. (1996). Twice-born, once conceived: meaning construction and cultural cognition.

American Anthropologist, 93, 9-27.

Stigter, K., Winarto, Y.T. & Stathers, T. (2009). Rainfall measurements by farmers in their fields.

http://www.agrometeorology.org/topics/accounts-of-operational-agrometeorology/rainfall-measurements-by-farmers-in-their-fields.

(26)

Stigter, K, Winarto, Y.T., Ofori, E., Zuma-Netshiukhwi, G., Nanja, D. & Walker, S. (2013). Extension agrometeorology as the answer to stakeholder realitis: Response farming and the consequences of climate change. Atmosphere 2013, 4, 237-253; doi:10.3390/atmos4030237.

Strauss, C. & Quinn, N. (1997). A cognitive theory of cultural meaning. Cambridge: Cambridge University Press.

Wahyudi, M.Z. (2012, 29 Desember).“Pranatamangsa”: Penanda musim dari langit. Kompas.

Winarto, Y.T. (1995). State intervention and farmer creativity: Integrated pest management among rice farmers in Subang, West Java. Agriculture and Human Values, 12(4), 47-57. Winarto, Y.T. (1999). Creating knowledge: Scientific knowledge and local adoption in rice

integrated pest management in Indonesia (A case study from Subang, West Java). Dalam S. Toussaint & J. Taylor (Peny.), Applied anthropology in Australasia (hlm.162-192). Perth: Uniersity of Western Australia.

Winarto, Y.T. (2004a). Seeds of knowledge: The beginning of integrated pest management in Java. Monograph series, Vol. 53. New Haven: Yale University Southeast Asia Studies. Winarto, Y.T. (2004b). The evolutionary changes in rice-crop farming: Integrated pest

management in Indonesia, Cambodia, and Vietnam. Southeast Asian Studies, 41(3): 241-272.

Winarto, Y.T. (2006). Pengendalian hama terpadu setelah limabelas tahun berlalu. Jurnal Analisis Sosial, 11(1), 27-56.

Winarto, Y. T. (2010). Inaugural lecture: Climate and culture: Changes, lessons, and challenges.

Wacana, 12(2), 369-385.

Winarto, Y.T. (2013). Memanusiakan manusia dalam lingkungan yang tangguh: Mengapa ‘jauh panggang dari api’? Pidato inaugurasi sebagai anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta: Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. 19 April.

Winarto, Y.T. & Stigter, K. (Peny). (2011). Agrometeorological learning: Coping better with climate change. Saarbrücken: LAP Lambert Academic Publishing GmbH & Co. KG. Winarto, Y.T. & Stigter, K. (2013 dalam persiapan). Penyuluhan agrometeorologi sebagai

jawaban operasional bagi realita yang dihadapi petani: Pertanian yang tanggap pada perubahan iklim dan konsekuensinya. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.

Winarto, Y.T., Stigter, K., Anantasari, E., Prahara, H. & Kristiyanto. (2010a). “We’ll contionue with our observation”: Agro-meteorological learning in Indonesia. Farming Matters

(formerly LEISA magazine), 26(4), 12-15.

(27)

Winarto, Y. T., Stigter, K., Prahara, H., Anantasari, E. & Kristiyanto. (2011a). Collaborating on establishing an agro-meteorological learning situation among farmers in Java.

Anthropological Forum, 21(2), 175-197.

Winarto, Y.T., Stigter, K., Prahara, H., Kristiyanto & Anantasari, E. (2010b). Towards agrometeorological learning? Responding to climate change, evaluating strategy. Dalam Y.T. Winarto & K. Stigter (Peny.), Agrometeorological learning: Coping better with climate change (hlm.181-215). Saarbrücken: LAP Lambert Academic Publishing GmbH & Co. KG.

Winarto, Y. T., Fox, J.J., Dwisatrio, B., Nurhaga, M., Kinanti., N.Y. (2011c). Planthopper virus problems in Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Indonesia, diakses pada 21 Agustus 2011,

http://ricehoppers.net/2011/08planthopper-virus-problems-in-klaten-boyolali-and-sukoharjo-indonesia.

Winarto, Y.T., Fox, J.J., Nurhaga, M., Avessina, J., Kinanti, N.Y. & Dwisatrio, B. (2011d). Brown Planthopper in Klaten-Boyolali-Sukoharjo, Central Java, diakses pada 18 Mei 2011,

http://ricehoppers.net/2011/05/brown-planthopper-in-Klaten%E2%80%94boyolali%E2%80%94sukoharjo-central-java/.

Winarto, Y.T., Fox, J.J., Nurhaga, M., Avessina, J., Kinanti, N.Y. & Dwisatrio, B. (2011e). Brown planthopper infestations in Lamongan, East Java, diakses pada 13 Juni 2011, http://ricehoppers.net/.

Winarto, Y.T., Dwisatrio, B., Syarifah & Rahayu, M.K. (2012a). Sawah tangguh di tangan petani: Upaya memulihkan ekosistem padi. Dalam E.E. Ananto, Pasaribu, S., Ariani, M., Sayaka, B., N.S. Saad dkk. (Peny.), Kemandirian pangan Indonesia dalam perspektif kebijakan MPE3EI (hlm.243-277). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.

Winarto, Y.T., Dwisatrio, B., Nurhaga, M.S., Kinanti, V.Y., Suydhiastiningsih, N.S.N.N. dkk. (2012b). Keterasingan petani di lahan sendiri: Kelanggengan revolusi hijau dan paradigma kimiawi? Dalam Dalam E.E. Ananto, Pasaribu, S., Ariani, M., Sayaka, B., N.S. Saad dkk. (Peny.), Kemandirian pangan Indonesia dalam perspektif kebijakan MPE3EI (hlm.278-308). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Winarto, Y.T., Stigter, K., Dwisatrio, B., Nurhaga, M. & dan Bowolaksono, A. (2013).

Agrometeorological learning increasing farmers’ knowledge in coping with climate change and unusual risks. Southeast Asian Studies (SEAS), 2(2), 323-349.

Gambar

Gambar 1. Peta Persebaran Lokasi Kekeringan
Tabel 1 Taksonomi Hujan secara Leksikal dan Numerik pada Petani Pengukur Curah
Tabel 2 Taksonomi Hujan secara Kualitatif dan Kuantitatif
Tabel 3  Kategori Banjir
+5

Referensi

Dokumen terkait

Ku sabab kitu, sangkan teu lega teuing ambahanana, ieu masalah dina ieu panalungtikan téh diwatesanan, nalungtik ngeunaan média photostory anu dilarapkeun ka siswa kelas

Menurut asumsi peneliti bahwa pada pengukuran sebelum dan sesudah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam mengalami penurunan, dimana diperoleh tingkat nyeri sedang

Tujuan dalam penelitian ini adalah mengkaji karakteristik pelaku usaha serta usahanya di Kabupaten Nganjuk, mengetahui penilaian pelaku usaha terhadap faktor daya tarik investasi

Hasil penelitian ini diharapkan bagi pemerintah, khususnya pemerintah Kabupaten Abdya agar dapat memperhatikan hal-hal yang mendukung meningkatnya kinerja pemerintah

Bishop (2009) explains that compound words are words composed of two or more free morphemes that have a single meaning that maintains some of the meaning of the

Agar pembelajaran Bahasa Indonesia lebih menarik minat siswa, diperlukan inovasi dalam penyajian materi salah satunya dengan menggunakan aplikasi WhatsApp agar

Dengan demikian maka geologi sejarah adalah menguraikan kapan suatu batuan terbentuk (umur batuan), dimana batuan tersebut terbentuk (lingkungan pengendapan), dan

Hasil penelitian menunjukkan: (1) bahan ajar Modul Praktik yang dikembangkan dinyatakan layak digunakan menurut hasil validasi oleh ahli/pakar maupun uji coba kelayakan