• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Lembaga Adat Dalam Menyelesaikan Perkara Pidana (Studi Di Desa Huraba Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Lembaga Adat Dalam Menyelesaikan Perkara Pidana (Studi Di Desa Huraba Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal)"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN LEMBAGA ADAT DALAM MENYELESAIKAN PERKARA PIDANA

(STUDI DI DESA HURABA KECAMATAN SIABU KABUPATEN MANDAILING NATAL)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Tugas Dan Memenuhi Syarat Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana

Oleh :

RAHMAD KHARISMAN 110200017

Hukum pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ABSTRAK Rahmad Kharisman* Nurmalawaty, S.H, M.Hum** Dr. Mohammad Ekaputra, S.H,.M.Hum***

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum positif yang telah dikodifikasikan dan merupakan hukum pidana bangsa Indonesia yang bersifat nasional tidak dapat memenuhi segala kebutuhan hukum kehidupan masyarakat. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku serta kebudayaan, keberagamaan kebudayaan tersebut tentu menyebabkan adanya perbedaan adat istiadat mereka termasuk hukum pidana yang mereka anut. Hukum pidana tersebut sifatnya hanya berlaku untuk mereka sendiri. Suku batak mandailing sebagai salah satu dari suku tersebut juga mempunyai hukum pidana adat sendiri yang dipatuhi masyarakat setempat. Dalihan Natolu sebagai sistem kemasyarakatan Batak mandailing, sangat berperan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi termasuk terjadinya tindak pidana. Dalihan Natolu dalam penyelesaian tindak pidana secara hukum adat Batak Mandailing? Bentuk-bentuk tindak pidana adat yang bagaimana penyelesaiannya diserahkan kepada Dalihan Natolu?, serta bagaimana bentuk sanksi hukum yang diberikan Daihan Natolu terhadap pelaku tindak pidana adat tersebut Dalam hal penyusunan skripsi ini, sekaligus untuk menjawab permasalahan di atas, penulis melakukan penelitian di Kecamatan siabu di Desa Huraba, Kabupaten Mandailing Natal sebagai lokasi penelitian penulis. Di mana terdapat beberapa kasus ataupan tindak pidana adat yang diselesaikan oleh Dalihan Natolu. Maka dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum secara yuridis empiris (sosiologis) yaitu melalui penelitian lapangan dengan mendatangi langsung masyarakat setempat, serta dalam hal pengumpulan data adalalah dengan field research yaitu mengadakan wawancara dengan penatua adat, serta library research yaitu dengan menggunakan sumber bacaan seperti buku-buku, pendapat sarjana, juga media cetak lainnya seperti majalah. Setelah melakukan penelitian, maka penulis mendapatkan jawaban dari permasalahan di atas di mana Dalihan Natolu sangat berperan dalam menyelesaikan masalah atau tindak pidana yang terjadi, khususnya menyangkut delik aduan seperti perzinahan, kekerasan yang diamanatkan dalam rumah tangga, penghinaan lisan, pencemaran nama baik atau fitnah, serta tindak pidana lainnya seperti pencurian perkelahian . Begitu juga dengan sanksi yang diberikan sebagai hukuman kepada si pelaku adalah seperti dikeluarkan dari komunitas adat mereka, membayar denda yang diwajibkan terhadap korban, meminta maaf kepada korban atau bahkan keluarganya di hadapan penatua adat, serta kewajiban menanggung semua biaya yang dikeluarakan pada saat tindak pidana tersebut diselesaikan.

(3)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang. ... 1

B. Rumusan masalah... 6

C. Tujuan dan manfaat penelitian ... 6

D. Keaslian penulisan ... 7

E. Tinjauan pustaka ... 7

1. Tindak pidana ... 7

2. Lembaga adat ... 15

3. Hukum pidana adat ... 20

F. Metode penelitian ... 28

G. Sistematika penulisan ... 31

BAB II KEDUDUKAN LEMBAGA ADAT DI INDONESIA ... 34

a. Kedudukan hukum adat dalam per undang undang ... 34

1. Kedudukan hukum adat dalam perspektif undang undang dasar 1945 ... 36

2. Hukum adat dalam undang undang darurat no. 1 tahun 1951... 39

3. Hukum adat dalam undang undang no. 5 tahun 1960 tentang peraturan pokok agraria... 42

4. Pengaturan dalam konsep KHUP Baru ... 43

b. Bentuk bentuk masyarakat hukum adat ... 45

BAB III PERANAN LEMBAGA ADAT DALIAN NATOLU DALAM MENYELESAIAKN SUATU PRISTIWA PIDANA ... 58

(4)

b. Fungsi dalihan natolu dalam hukum adat ... 63 c. Faktor faktor penyebab masyarakat memilih dalihan natolu sebagai lemabaga adat

Dalam menyelesaikan suatu pristiwa pidana ... 67

BAB IV TINDAK PIDANA APA SAJA YANG DAPAT DI SELESAIKAN MELALUI

LEMBAGA ADAT ... 75

a. Macam macam tindak pidana yang dapat di selelsaikan lembaga adat dalihan natolu di desa Huraba , Kecamatan Siabu, Kabupaten

Mandailing Natal ... 75 b. Restorative justice ... 94 c. Mekanisme lembaga adat dalihan natolu dalam menyelesaikan suatu

pristiwa pidana di desa Huraba kecamatan, Siabu, Kabupaten

Mandailing Natal ... `107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan... 113 b. Saran ... 114

(5)

ABSTRAK Rahmad Kharisman* Nurmalawaty, S.H, M.Hum** Dr. Mohammad Ekaputra, S.H,.M.Hum***

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum positif yang telah dikodifikasikan dan merupakan hukum pidana bangsa Indonesia yang bersifat nasional tidak dapat memenuhi segala kebutuhan hukum kehidupan masyarakat. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku serta kebudayaan, keberagamaan kebudayaan tersebut tentu menyebabkan adanya perbedaan adat istiadat mereka termasuk hukum pidana yang mereka anut. Hukum pidana tersebut sifatnya hanya berlaku untuk mereka sendiri. Suku batak mandailing sebagai salah satu dari suku tersebut juga mempunyai hukum pidana adat sendiri yang dipatuhi masyarakat setempat. Dalihan Natolu sebagai sistem kemasyarakatan Batak mandailing, sangat berperan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi termasuk terjadinya tindak pidana. Dalihan Natolu dalam penyelesaian tindak pidana secara hukum adat Batak Mandailing? Bentuk-bentuk tindak pidana adat yang bagaimana penyelesaiannya diserahkan kepada Dalihan Natolu?, serta bagaimana bentuk sanksi hukum yang diberikan Daihan Natolu terhadap pelaku tindak pidana adat tersebut Dalam hal penyusunan skripsi ini, sekaligus untuk menjawab permasalahan di atas, penulis melakukan penelitian di Kecamatan siabu di Desa Huraba, Kabupaten Mandailing Natal sebagai lokasi penelitian penulis. Di mana terdapat beberapa kasus ataupan tindak pidana adat yang diselesaikan oleh Dalihan Natolu. Maka dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum secara yuridis empiris (sosiologis) yaitu melalui penelitian lapangan dengan mendatangi langsung masyarakat setempat, serta dalam hal pengumpulan data adalalah dengan field research yaitu mengadakan wawancara dengan penatua adat, serta library research yaitu dengan menggunakan sumber bacaan seperti buku-buku, pendapat sarjana, juga media cetak lainnya seperti majalah. Setelah melakukan penelitian, maka penulis mendapatkan jawaban dari permasalahan di atas di mana Dalihan Natolu sangat berperan dalam menyelesaikan masalah atau tindak pidana yang terjadi, khususnya menyangkut delik aduan seperti perzinahan, kekerasan yang diamanatkan dalam rumah tangga, penghinaan lisan, pencemaran nama baik atau fitnah, serta tindak pidana lainnya seperti pencurian perkelahian . Begitu juga dengan sanksi yang diberikan sebagai hukuman kepada si pelaku adalah seperti dikeluarkan dari komunitas adat mereka, membayar denda yang diwajibkan terhadap korban, meminta maaf kepada korban atau bahkan keluarganya di hadapan penatua adat, serta kewajiban menanggung semua biaya yang dikeluarakan pada saat tindak pidana tersebut diselesaikan.

(6)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Setiap kejahatan yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu keseimbangan tatanan 1masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap kejahatan dapat diselesaikan agar keseimbangan tatanan masyarakat dapat dipulihkan. Pada dasarnya, kejahatan menurut Menurut Badan Pusat Statistik BPS pada tahun 2011 sampai tahun 2013

Berdasarkan data yang di peroleh dari Pusata Data Statistika tingkat kejahtan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2011, tindak pidana (tindak kriminal) yang terjadi di Indonesia sebanyak 347.605 kasus. Kemudian pada tahun 2012, turun sekitar 1,85 persen, tetapi terlihat naik pada tahun 2013 kemarin sebesar 0,27 persen. Sejauh ini, memang kenaikan dan penurunan tindak pidana cenderung kecil, tetapi rata-rata jumlah tindak pidana di Indonesia masih sangat tinggi.2 Situasi tersebut jika dideteksi dengan kondisi kemiskinan Indonesia masih belum tampak. Data menyebutkan, jumlah penduduk yang tergolong miskin di Indonesia pada tahun 2011 sebanyak 30 juta penduduk. Dan terus menurun menjadi 29,1 juta penduduk pada tahun 2012 dan kembali turun menjadi 28,07 juta penduduk pada tahun 2013 kemarin. Sejauh ini, fenomena adanya korelasi yang masuk akal mengenai hubungan tindak pidana dan kemiskinan di Indonesia masih belum tampak dan dapat disimpulkan. Sebab, antara data kemiskinan dan

1

Sudarto, Hukum Dan Hukuman Pidana,1997

2

(7)

data jumlah tindak pidana memang dari segi metodologi dan sumber datanya juga berbeda.

Berkaca dari hal tersebut, maka dalam penegakan hukum pun, kesadaran hukum masyarakat dan nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat sangatlah penting. Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Kusuma-Atmadja, bahwa hukum yang di buat harus sesuai atau memperhatikan kesadaraan hukum masyarakat. Penyimpangan dari hal tersebut menimbulkan kodisi penegakan hukum (law enforcement) menjadi stangna keberadaan cara penyelesaian sengketa sama tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dalam setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa ditangani. Sengketa dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik melalui forum formal yang disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-forum lain yang tidak resmi disediakan oleh negara.3

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebagaimana yang diatur oleh pasal 10 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat dilakukan dalam empat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara. Setiap lingkungan peradilan menyelesaikan sengketa sesuai yurisdiksinya masing-masing. Keberadaan pengadilan sebagai forum formal penyelesaian sengketa merupakan aplikasi dari ajaran Trias Politica, dimana badan-badan peradilan diberi wewenang dan otoritas untuk mengadili suatu perkara. Melalui lembaga peradilan, setiap sengketa harus diselesaikan menurut tata cara formal yang diatur dalam hukum acara serta

3

(8)

memberi hak kepada para pihak untuk mempergunakan upaya hukum. Dalam beberapa masyarakat ada kecenderungan untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, namun adapula masyarakat yang lebih suka menyelesaikan sengketa melalui forum forum lain diluar pengadilan.

Alasan-alasan kebudayaan menyebabkan beberapa masyarakat cenderung mengenyampingkan pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang timbul diantara mereka. Pada awalnya pengadilan dijadikan sebagai pilihan pertama dan terakhir dalam penyelesaian sengketa. Selama beberapa dekade masyarakat di berbagai negara memberikan kepercayaan kepada lembaga peradilan untuk mengelola sengketa yang mereka hadapi, dengan harapan akan memperoleh keadilan sebagaimana secara normatif dan eksplisit disebutkan dalam ketentuan perundang-undangan. Akan tetapi faktanya lembaga peradilan telah terbukti tidak mampu memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan.

(9)

yang berlaku di Indonesia, dimana hukum yang berlaku bukan hanya hukum yang berasal dari pemerintah atau negara (hukum negara), tapi juga hukum yang berasal dari adat kebiasaan masyarakat (hukum adat) serta hukum yang berasal dari ajaran-ajaran agama (hukum agama).

Dalam hal ini di samping samping peradilan sebagai lembaga formal penyelesaian sengketa, terdapat juga lembaga alternatif penyelesaian sengketa nonformal yang keberadaannya mengacu kepada hukum adat. Hukum adat yang umumnya berlaku dalam masyarakat yang diliputi semangat komunal memandang manusia atau individu sebagai bagian integral dari masyarakat. Setiap individu harus berupaya mencegah timbulnya disharmoni, dalam arti membina hubungan yang seimbang antara pasangan-pasangan dalam kehidupan, baik antar individu dalam masyarakat atau sebaliknya, atau antara dunia nyata dengan dunia gaib. Tetapi dalam kenyataannya selalu terbuka kemungkinan munculnya sengketa yang terjadi diantara para individu (warga masyarakat).

(10)

dalam pengertian pidana, perdata, publik,4dan lain-lain. Dalam hal ini proses penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan tiga asas kerja untuk menghadapi perkara-perkara adat, yaitu asas rukun, patut dan keselarasan.5

Keberadaan peradilan adat atau peradilan desa ini dapat menjadi alternatif penyelesaian sengketa bagi masyarakat yang sistem kerjanya kurang lebih mirip dengan penyelesaian sengketa alternatif modern yang sekarang berkembang dimana musyawarah menjadi model umum dan utama dalam proses penyelesaian sengketa. Ini berarti, lembaga peradilan adat tidak berperan sebagai sarana pemaksa, tetapi memainkan peran sebagai mediator dalam rangka rekonsiliasi dan konsolidasi para pihak melalui proses penemuan putusan yang melegakan semua pihak, karena pada dasarnya keputusan diambil secara sukarela oleh para pihak. Hampir diseluruh Indonesia terdapat lembaga peradilan ini, walaupun dengan nama yang berbeda-beda, seperti di Tapanuli, Minangkabau, Sulawesi Selatan, Bali, dan lain-lain. Di Tapanuli, pada masyarakat Batak Karo terdapat lembaga musyawarah desa yang disebut runggun adat yang berfungsi memeriksa dan menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat. Lembaga ini beranggotakan anak beru, senina, dan kalimbubu. Di daerah Toraja, masyarakat biasanya mengajukan sengketa mereka kepada suatu dewan yang berfungsi menyelesaikan masalah dalam lingkungan adat.

Hilman Hadikusuma, , pengantar ilmu hukum adat indonesia, (Bandung ,Mandar maju,1992) h 40

5

(11)

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalah di dalam penulisan skripsi adalah 1. Bagaimana Kedudukan Lembaga Adat di Indonesia menurut

peraturan per UU?

2. Bagaimana Peranan Lembaga Adat Dalian Natolu Dalam Menyelesaiakan Terjadinya Suatu Peristiwa Pidana?

3. Tindak Pidana Apa Saja Yang Dapat Di Selesaikan Melalui Lembaga Adat Dalian Natolu?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kedudukan lembaga adat di indonesia

2. Untuk mengetahui peranan lembaga adat dalian natolu dalam menyelesaiakan terjadinya suatu tindak pidana

3. Untuk mengetahui tindak pidana apa saja yang dapat di selesaikan melalui Lembaga Adat Dalihan Natolu di Desa Huraba Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal

(12)

1. Manfaat teoritis penulisan ini dapat menjadi bahan kajian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta menambah wawasan khususnya mengenai cara penyelesaian perkara atau pristiwa pidana di selesaikan melalui hukum adat mandailing

2. Manfaat secara praktis dapat menjadi subangsih bagi pemerintah, peradilan, dalam pelaksaan penyelesaian perkara pidana yang di selesaian di lingkungan adat, juga sebagai kajian akademisi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya hukum pidana dalam penyelesaian perkara di lingkungan adat mandailing.

D . Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul peranan lembaga adat dalam menyelesaikan perkara pidana (studi kasus di desa huraba kecematan siabu mandailing natal) adalah merupakan hasil pemikiran penulis sendiri. Sepengetatahuan penulis belum ada penulis lain yang mengemukakannya, klaupun ada penulis yakin substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah.

E Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana

(13)

tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, 6sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian7 yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Prof. Moeljatno, SH, yang berpendapat bahwa 8

pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah:

”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang

6

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pida na Edisi 2,( Medan: USU Press ,2010) hal. 73.

7

. Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana,( Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa), hal. 62

8

(14)

tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula. Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Prof. DR. Bambang Poernomo, SH,9 berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut: “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.” Adapun perumusan

tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan

akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Prof. DR. Bambang Poernomo, SH, juga berpendapat mengenai kesimpulan dari

9

Poernomo, Bambang. Asas-asa s Hukum Pidana,( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hal

(15)

perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana. 10 Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing stafbaar feit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah

sratfbaar feit dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu juga ditengan-tengan masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukan pengertian perbuatan melanggar morma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana. (Diktat Kuliah Asas-asas Hukum Pidana ).

Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine

10

(16)

praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:

Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.

Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung jawabkan segala bentuk tindak 11pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang

11

(17)

mengaturnya. Adapun yang menjadi unsur – unsur dari tindak pidana, yaitu :

Unsur formal :

Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia. Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana. Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan.

(18)

Unsur material :

Dalam hal ini tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP). Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain.

(19)

KUHP), mabuk (Pasal 561 KUHP). Tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.

Unsur yang memberatkan tindak pidana, yaitu terdapat dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan seseorang (Pasal 333 KUHP) diancam dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidana diperberat lagi menjadi pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

(20)

sendiri (Pasal 308 KUHP), membunuh anak sendiri (Pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri dengan rencana (Pasal 342 KUHP).

2. Pengertian Lembaga Adat

Lembaga adat merupakan kata yang berasal dari gabungan antara kata lembaga 12dan kata adat. Kata lembaga dalam bahasa Inggris disebut dengan institution yang berarti pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan. Dari pengertian literatur tersebut, lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada pola perilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Sehingga lembaga adat adalah pola perilaku masyarakat adat yang mapan yang terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai adat yang relevan.

Menurut ilmu budaya, lembaga adat diartikan sebagai suatu bentuk organisasi adat yang tersusun relative tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum adat guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan dasar. Sedangkan menurut pengertian lainnya, lembaga adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adapt yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan

12

(21)

berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat. Kemudian yang dimaksud dengan lembaga adat menurut Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Nomor 23 Tahun 2007 tentang lembaga adat ialah lembaga kemasyarakatan yang dibentuk untuk membantu Pemerintah Daerah dan merupakan mitra dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat yang dapat mendukung pembangunan.

Pengertian lembaga adat menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, Lembaga Adat adalah Lembaga Kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa lembaga adat adalah suatu organisasi atau lembaga masyarakat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang dimaksudkan untuk membantu pemerintah daerah dan menjadi mitra pemerintah daerah dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat yang dapat membangun pembangunan suatu daerah tersebut.

(22)

Lembaga Adat berfungsi bersama 13pemerintah merencanakan,mengarahkan, mensinergikan program pembangunan agar sesuai dengan tata nilai adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat demi terwujudnya keselarasan, keserasian, keseimbangan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, Lembaga adat berfungsi sebagai alat kontrol keamanan,ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik preventif maupun represif, antara lain:

1) Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;

2) Penengah (Hakim Perdamaian) mendamaikan sengketa yang timbul di masyarakat. Kemudian, lembaga adat juga memiliki fungsi lain yaitu :

3) Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan di segala bidang terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan.

4) Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya

5) Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial kepadatan dan keagamaan.

6) Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan adat khususnya, Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat

13

(23)

b. Wewenang Lembaga Adat

Lembaga adat memiliki wewenang yang meliputi :

1) Mewakili masyarakat adat dalam pengurusan kepentingan masyarakat adat tersebut.

2) Mengelola hak-hak dan/aau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.

3) Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaiannya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah adat dan agama untuk kepentingan desa adat.

5) Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di selesaikan pada tingkat desa

6) Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, kabupaten/kota desa adat tersebut berada.

c. Tugas dan Kewajiban Lembaga Adat Lembaga Adat mempunyai tugas dan kewajiban yaitu :

1) Menjadi fasilitator dan mediator dalam penyelesaian perselisihan yang menyangkut adat istiadat dan kebiasaan masyarakat.

(24)

3) Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif antara Ketua Adat, Pemangku Adat, Pemuka Adat dengan Aparat Pemerintah pada semua tingkatan pemerintahan di Kabupaten daerah adat tersebut.

4) Membantu kelancaran roda pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan/atau harta kekayaan lembaga adat dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat setempat.

5) Memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis yang dapat memberikan peluang yang luas kepada aparat pemerintah terutama pemerintah desa/kelurahan dalam pelaksanaan pembangunan yang lebih berkualitas dan pembinaan masyarakat yang adil dan demokratis. 6) Menciptakan suasana yang dapat menjamin terpeliharanya kebinekaan

masyarakat adat dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

7) Membina dan melestarikan budaya dan adat istiadat serta hubungan antar tokoh adat dengan Pemerintah Desa dan Lurah.

8) Mengayomi adat istiadat

9) Memberikan saran usul dan pendapat ke berbagai pihak perorangan, kelompok/lembaga maupun pemerintah tentang masalah adat

10)Melaksanakan keputusan-keputusan paruman dengan aturan yang di tetapkan

11)Membantu penyuratan awig-awig

(25)

E. Pembinaan Lembaga Adat

Pembinaan desa adat dapat dilaksanakan dengan pola melaksanakan ceramah-ceramah pembinaan desa adat, penyuluhan, penyuratan awig-awig desa adat pada setiap tahunnya, yang pada dasarnya bertujuan untuk mencapai , melestarikan kesejahteraan masyarakat, dan mewujudkan hubungan manusia dengan manusia sesama makhluk ciptaan Tuhan. Selain itu pembinaan lembaga adat sebagai usaha melestarikan adat istiadat serta memperkaya khasanah kebudayaan masyarakat, Aparat Pemerintah pada semua tingkatan mempunyai kewajiban untuk membina dan mengembangkan adat istiadat yang hidup dan bermanfaat dalampembangunan dan ketahanan nasional.

F. Pembiayaan Lembaga Adat

Dana pembinaan terhadap Lembaga Adat pada semua tingkatan, disediakan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Propinsi, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota, Berta sumber-sumber lainnya yang tidak mengikat.

(26)

a. Persekutuan hokum adat/persekutuan yang 14berdasarkan hubungan darah (keluarga, marga, paruik) dapat dimintai pertanggung jawaban pidana yang dilakukan oleh warganya.

b. Seseorang sudah dapat dihukum karena peristiwa yang menimpa dirinya tanpa disengaja atau tanpa adanya kelalaianya.

c. Terdapat delik yang hanya menjadi persoalan person / hanya menjadi persoalan keluarga korban, ada pula yang menjadi persoalan desanya.

d. Orang yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tetap dapat dijatuhi hukuman, keadaan demikian menentukan berat ringannya hukuman. e. Di daerah tertentu mengenal tingkatan manusia. Semakin tinggi kedudukan

atau kasta orang yang terkena perbuatan pidana makin berat hukuman yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melakukan delik, dan lebih berat jika dibadingkan dengan delik yang ditujukan kepada orang yang lebih rendah derajatnya.

f. Terdapat keadaan yang mengijinkan orang yang terkena delik menjadi hakim sendiri

g. Siapa saja yang turut melanggar peraturan hukum harus turut memulihkan kembali keseimbangan yang terganggu.

h. Tidak ada orang yang dapat dipidana hanya karena melakukan percobaan saja, karena dalam sistem hukum adat suatu adatreactie hanya akan dilaksanaka kalau keseimbangan hukum dalam masyarakat terganggu.

14

(27)

i. Hakim dalam mengadili perbuatan pidana memperhatikan pula apakah si pelanggar itu merasa menyesal.

Sistem peradilan sederhana, cepat dan murah dari dahulu hingga sekarang tidak pernah terwujud.15 Salah satu sebabnya adalah hambatan yang terdapat dalam hukum hasional yang merupakan warisan Kolonial Belanda. Agenda politik negara kolonial dalam hukum nasional telah mewarnai berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bahkan praktek pengadilan seolah mengikuti jalur pendekatan politik birokrasi nasional, yaitu membangun jaringan korporasi dengan elit lokal.Sehingga struktur birokrasi menjadi struktur pembagian keuntungan yang bermakna politik maupun ekonomi. Dan sebagian kasus yang diputuskan sering tidak menjawab rasa keadilan ditingkat masyarakat. Untuk diperlukan sebuah peradilan alternatif untuk menjawab persoalan yang dihadapi oleh peradilan negara, salah satunya adalah dengan melihat kembali peradilan adat.

Keberadaan peradilan adat di Indonesia sudah berlangsung untuk kurun waktu yang cukup lama. Menurur Prof Hilman Hadikusuma, jauh sebelum agama Islam masuk di Indonesia, negri yang serba ragam penduduknya ini sudah lama melaksanakan tata tertib peradilan menurut hukum adat (Hadikusuma,

1989;“orang Indonesia asli“ berhadap dengan apa yang dinamakan“gouvernement

rechtsspraak“ (peradilan gouvernement) terutama didaerah-daerah yang dikuasai

oleh belanda.

15

(28)

Secara historis hukum adat dipandang sangat demokratis karena is lahir melalui proses dan seleksi yang panjang. Kemakmuran dan kepentingan serta kelangsungan hidup masyarakat adalah prioritas utama dalam hukum adat. Hukum adat memberikan keadilan dan rasa keamanan pada siapapun, selagi mentaati clan mematuhi ketentuan yang berlakudalam masyarakat hukum adat. Persoalanya, kenapa sekarang diantara masyarakat mulai meninggalkan hukum adat dan memilih kukum negara dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Padahal kewenangan untuk menyelesaikan perkara, apakah itu pada tingkat peradilan adat atau peradilan negara, merupakan menjadi tanggung jawab pihak yang bersengketa. Pertanyaan ini semangkin penting, bahwa pada kenyataannya peradilan negara juga bukan merupakan jaminan bagi menyelesaikan substansi persoalan yang mereka hadapi.

(29)

luar. Dalam hubungannya dengan sistem peradilan negara,16 peradilan adat menghadapi tantangan upaya penyeragaman sistem hukum, termasuk sistem peradilan, jurang pengetahuan dan kepedulian yang dalam antar generasi tua dan generasi muda masyarakat adat tentang berbagai sistem sosial, budaya, politik, hukum dan peradilan adat, ekonomi dan kepercayaan yang menyertai keberadaan masyarakat adat, sebagian dari masyarakatnya dan tidak lagi mempercayai keputusan dari peradilan adat yang sudah diputuskan melalui peradilan adat, dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap orang yang memutuskan perkara tersebut, sehingga sebagian dari masyarakatnya yang tetap membawa kasusnya diselesaikan ditingkatkan peradilan negara.

Dalam kehidupan masyarakat hukum adat, tidak semua adat itiadat dapat disentuh oleh para petugas hukum dalam bentuk penetapan-penetapan. ( lihat Ter Haar – teori Beslissingen). Para warga masyarakat pada umumnya bersedia melakukan sesuatu ketentuan yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya, bukan hanya karena ketentuan itu ditetapkan oleh para penguasa atau para petugas hukum, tetapi karena kesadaran bahwa ketentuan-ketentuan itu memang sudah sepantasnya ditaati oleh segenap warga masyarakat.

Di samping penetapan para petugas hukum adat ada beberapa faktor lain yang menentukan agar adat istiadat berkekuatan mengikat secara materiil yang sempurna, ialah:

16

(30)

1) Adat istiadat itu sesuai dengan sistem hukum yang berlaku pada masyarakat ;

2) Sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dijunjung tinggi; 3) Sesuai dengan perkembangan masyarakat ;

4) Sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat.

Hakim adat yang bertugas pada peradilan adat, dalam melaksanakan tugasnya harus :

1) Sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dalam masyarakat. berpegangan pada hukum tertulis yang telah disiapkan sebelumnya ;

2) Berdasarkan adat istiadat yang sudah pernah diputuskan oleh para petugas hukum sebelumnya ;

3) Harus menggali hukum yang hidup dalam masyarakat, yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat;

Berdasarkan uraian diatas hakim adat harus memberi bentuk kepada apa yang dibutuhkan sebagai kaidah hukum yang berlaku menurut rasa keadilan masyarakat, karena 17kesadaran hukum masyarakat itu harus dapat mempengaruhi kesadaran hakim dalam mengambil keputusan mengenai masalah yang timbul dalam masyarakat.

Dalam melaksanakan tugas tersebut hakim adat terikat pada :

1) Nilai-nilai yang berlaku secara obyektif dalam masyarakat ;

17

(31)

2) Sistem hukum adat yang telah berbentuk dan berkembang dalam masyarakat ;

3) Syarat-syarat dan nilai-nilai kemanusiaan ;

4) Putusan-putusannya sendiri yang pernah diputuskannya ;

5) Putusan-putusan hakim lainnya dalam masalah yang serupa yang masih dapat dipertahankan karena masih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

Hukum adat kita tak kenal sistem precedent. Bilamana hakim tidak mendapatkan putusan yang lampau mengenai masalah yang sama atau bilamana putusan yang lampau itu tidak mungkin lagi dipertahankan, maka hakim harus mencarinya dalam kenyataan yang hidup dalam masyarakat, dengan memperhatikan beberapa pedoman penting, yaitu (Prof.Djojodigoeno) :

1) Azas-azas dan peragaan hukum di masa lampau yang merupakan ukuran statis, guna mengabdi tujuan hukum yang bernama taat; 2) Keadaan masyarakat pada waktu sekarang, yang merupakan

ukuran dinamik, guna mengejar “tata masyarakat yang adi; dan 3) Individualita masing-masing kasus yang merupakan ukuran plastis.

Dengan demikian, maka wujud dari putusan hakim yang sedang mengadili suatu perkara menurut hukum adat dapat berupa :

1) Melaksanakan aturan hukum adat yang telah ada, sepanjang masih mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;

(32)

aturan hukum adat yang lama itu tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

3) Hakim dapat pula mengambil keputusan jalan tengah, kalau terjadi hal-hal sebagai berikut;

4) Peristiwa/faktanya tidak terang (siapa yang salah) 5) Hukum yang menguasai perkara itu tidak jelas;

6) Kalau penerapan aturan hukum adat yang ada akan dapat menimbulkan rasa tidak puas masyarakat.

Sejak zaman Hindia Belanda s/d lahirnya UU No.1/drt/1951 (11-1-1951) belum ada unifikasi dalam kekuasaan peradilan, karena masih ada 5 macam tatanan peradilan yang berlaku yakni18 :

1) Tatanan Peradilan Gubernemen (Gouvernement rechtspraak);

2) Peradilan Pribumi (Inheemsche rechtspraak), yang ada di daerah-daerah yang mendapat kebebasan untuk menyelenggarakan peradilannya sendiri dengan hakim-hakim pribumi.

3) Berwenang untuk mengadili perkara yang terjadi antara orang-orang bumiputera yang tidak termasuk wewenang Peradilan Gubernemen (Ps. 130 IS).

4) Peradilan Swapradja (Zelfbestuursrechtspraak), terdapat di daerah-daerah swapradja;

18

(33)

Pada zaman Hindia Belanda pengadilan-pengadilan swapradja di Jawa (Kasultanan Yogjakarta, Pakualaman Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran Surakarta) mempunyai kekuasaan mengadili keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan sampai derajat ke-4 dari raja-raja jawa dan terhadap pegawai-pegawai tinggi kerajaan (kaula swapradja di luar itu menjadi wewenang peradilan gubernemen).Dapat mengadili perkara pidana yang mengenai ketertiban umum dan harta kekayaan negara / kerajaan, disamping perkara perdata yang tergugatnya berdiam di daerah swapradja.

Peradilan Agama (Raad Agama) yang ada di daerah-daerah HINDIA BELANDA, baik yang di daerahnya terdapat Peradilan Gubernemen maupun yang menetapkan PA sebagai bagian dari Peradilan Pribumi/Peradilan Swapradja dan Peradilan Desa (Dorps rechtspraak), yang terdapat dalam masyarakat desa, yang biasanya juga merupakan Peradilan Adat. Dilakukan secara majlis oleh para kepala desa/kepala masyarakat hukum adat setempat, wewenangnya hanya mengenai perkara-perkara perdata yang kecil-kecil dan perkara pidana adat yang ringan.

(34)

F METODE PENELITIAN

1. Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.19 Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban20

2. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Digunakan pendekatan kualitatif oleh penulis bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti. Penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk menarik

19

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke 11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 13–14.

20

(35)

azas-azas hukum (“rechsbeginselen”) yang dapat dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun hukum positif tidak tertulis 3. Sumber data

a) Data primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–undangan, dan putusan hakim. Bahan hukum primer yang penulis gunakan di dalam penulisan ini yakni Undang Undang Dasar 1945, Undang Undang darurat no. 1 tahun 1951 b) Data skunder Bahan hukum sekunder itu diartikan

sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari 21suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. Yang dimaksud dengan bahan sekunder disini oleh penulis adalah doktrin–doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet.

c) Data tersier Bahan hukum tersier 22adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang

21

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 32.

22

(36)

dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum

4. Teknik pengumpulan data

a) Dengan study pustakan dengan buku buku yang ada b) Dengan wawancara dengan pemungka adat yaitu

dengan bapak karya adat selaku salah satu tokoh atau salah satu ketua adat yang ada di desa Huraba, kecamatan Siabu, kabupaten Mandailing Natal 4. Analisis data 23

analisis kualitatif Tahap akhir adalah analisis data dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dilakukan dengan pendekatan.

G. SITEMATIKA PENULISAN

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat pula memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya yang dapat dilihat sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

23

(37)

Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan skripsi ini, permasalahan dalam skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai pengertian tindak pidana dan pengertian lembaga adat serta hukum pidana adat. Dalam skripsi ini juga terdapat metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II Kedudukan Lembaga Adat Di Indonesia

Bab ini akan memberikan pemaparan tentang kedudukan lembaga adat dalam per undang undangan , kedudukan lembaga adat dalam perspektif undang undang dasar 1945, hukum adat dalam undang undang no 1 tahun 1951 dan hukum adat dalam undang undang no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria serta bentuk bentuk masyarakat hukum adat

BAB III Peranan Lembaga Adat Dalain Natolu Dalam Menyelesaikan Suatau Pristiwa Pidana

Pada bab ini penulis akan membahas tentang unsur unsur lembaga adat dalain natolu , fungsi dalian natolu dalam hukum adat , faktor faktor penyebab masyarakat memilih dalian natolu sebagai lembaga adat dalam menyelesaikan suatu pristiwa pidana. Mekanisme kerja lembaga adat dalian natolu dalam menyelesaikan suatu pristiwa pidana

(38)

Pada bab ini macam macam tindak pidana apa saja yang di lemabag adat dalian natolu di desa huraba kec. Siabu kab. Mandailing natal , tata cara penyelesaian pristiwa pidana pidana di lembaga adat adat dalian natolu di desa huraba kec.siabu.kab . mandailing natal

Bab V Penutup

(39)

BAB II

KEDUDUKAN LEMABAGA ADAT DI INDONESIA A. Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-Undangan

Tidak dapat disangkal bahwa tidak ada satupun negara di dunia ini yang tidak mempunyai tata hukumnya sendiri yang bersumber dari pemikiran bangsa itu sendiri, termasuk Indonesia. jauh sebelum kemerdekaan, bahkan jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mempunyai sistem hukumnya sendiri yang digunakan sebagai pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat yang disebut dengan hukum adat.24

Hukum adat dikenal juga sebagai hukum yang hidup (the living law) karena hukum adat merupakan suatu hukum yang menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari masyarakat namun belum dikembangkan secara ilmiah.25 Istilah

the living law digunakan untuk menunjukkan berbagai macam hukum yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di masyarakat26. Hukum adat sebagai

the living law adalah pola hidup kemasyarakatan tempat dimana hukum berproses

24

Djamanat Samosir. Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia.( Bandung: Nuansa Aulia,2013) h 1

25

Ibid., halaman 33

26

(40)

dan sekaligus juga merupakan hasil dari proses kemasyarakatan yang merupakan sumber dan dasar dari hukum itu seperti, kebutuhan hidup masyarakat, cara hidup masyarakat, pandangan hidup masyarakat, dan lain sebagainya.27

Dalam sistem hukum Indonesia, hukum adat disebut dengan hukum tidak tertulis (unstatuta law) yang berbeda dengan hukum tertulis (statuta law).28 Perbedaannya adalah bahwa hukum tertulis dibuat dengan kata-kata yang tidak dapat berubah tanpa diadakannya suatu perubahan sehingga hukum tertulis tidak mencerminkan lagi apa yang hidup dalam masyarakat.29 Sedangkan hukum adat merupakan produk dari budaya yang mengandung substansi tentang nilai-nilai budaya sebagai cipta dan rasa manusia, yang artinya adalah bahwa hukum adat tumbuh berkembang mengikuti pola pikir dan pola hidup yang hidup dalam masyarakat. Hukum adat lahir dari kesadaran atas kebutuhan dan keinginan manusia untuk hidup secara adil dan beradab sebagai aktualisasi peradaban manusia.30 Selain itu, hukum adat juga merupakan produk sosial yaitu sebagai hasil kerja bersama (kesepakatan) dan merupakan karya bersama secara bersama (milik sosial) dari suatu masyarakat hukum adat.

Setelah kemerdekaan, muncul masalah mengenai eksistensi hukum adat dalam sistem hukum Indonesia yang dikarenakan hukum adat tersebut bentuknya tidak tertulis atau tidak dikodifikasikan serta tidak ada definisi yang jelas mengenai hukum adat. Selain itu, sudah menjadi pandangan umum bahwa suatu

27

Ibid., halaman 6

28

Loc.Cit., halaman 1

29

Ibid., halaman 37

30

(41)

hukum dirumuskan dan ditetapkan oleh pejabat atau lembaga tertentu yang berwenang31. Namun, hukum adat tetap memiliki kedudukan dalam sistem hukum di Indonesia dan hukum adat sebagai hukum yang hidup akan tetap menjadi pelengkap dari hukum nasional, selain itu penyebutannya sebagai hukum tidak tertulis tidak mengurangi perannya dalam memberikan aturan-aturan yang tidak ada di dalam hukum tertulis. Walaupun pembentukan hukum tidak tertulis berbeda dengan hukum tertulis, hukum tidak tertulis dalam hal ini hukum adat tetap mempunyai kekuatan yang legal karena masyarakat mentaatinya.

Kedudukan hukum tidak tertulis dalam kaitannya dengan perundang-undangan adalah bahwa sistem hukum nasional Indonesia lebih mendahulukan hukum tertulis daripada hukum tidak tertulis apabila terjadi masalah hukum, tetapi jika hukum tertulis tidak mengatur perihal masalah hukum tersebut maka hukum tidak tertulislah yang mengaturnya. Jadi, peran hukum tidak tertulis bersifat mengisi terhadap hukum tertulis dimana, baik hukum tertulis maupun tidak tertulis saling melengkapi meskipun hukum tertulis lebih diutamakan. Artinya, terdapat superioritas UU di atas hukum adat dimana bahwa pengakuan dan berlakunya hukum adat tergantung kepada hukum yang berlaku.32 Berikut adalah kedudukan hukum adat dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia:

1. Kedudukan Hukum Adat dalam Perspektif UUD 1945

Pada sejarahnya, hukum adat telah ada sejak masa kolonial, bahkan pra kolonial. Pada masa pra-kolonial, hukum yang berlaku adalah hukum asli

31

Ibid., halaman 5

32

(42)

bangsa Indonesia yang dianggap masih murni dari pengaruh-pengaruh asing, walaupun pada perkembangannya terjadi perubahan-perubahan dalam hukum asli bangsa Indonesia tersebut akibat adanya interaksi dengan bangsa-bangsa asing dan nilai-nilai agama. Pada masa kolonial, beberapa para ahli hukum menyadari bahwa selain hukum Eropa, di Indonesia juga berlaku hukum adat sehingga pemerintahan kolonial Belanda tetap memberlakukan hukum adat bagi masyarakat pribumi.33 Sistem hukum Indonesia mengenal hukum tertulis dan tidak tertulis dimana pengakuan atas keberadaan hukum tidak tertulis

secara tersurat ada dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang menyatakan, “

berlaku juga hukum dasar tidak tertulis, ialah peraturan dasar yang timbul dan

terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis”.

Hukum tertulis meliputi Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, dan peraturan perundang-undangan lainnya, adapun hukum tidak tertulis meliputi kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan fungsi kenegaraan, hukum adat, dan hukum kebiasaan yang hidup dan dihayati oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan masyarakat. Hukum tidak tertulis terbentuk bukan karena ditetapkan oleh pimpinan masyarakat, melainkan tumbuh dari berbagai tahapan yang dimulai dari kebiasaan, lalu ke tata kelakuan, kemudian ke adat istiadat, dan terakhir menjadi norma hukum. Semua tahapan tersebut berlangsung secara

33

(43)

terus-menerus dalam waktu tertentu dan diterima serta dilaksanakan secara kontinu oleh masyarakat.34

Hukum adat sebagai hukum tidak tertulis merupakan salah satu bagian dari hukum nasional yang eksistensinya sejak zaman penjajahan secara tegas dimaksudkan sebagai hukum bagi golongan Bumiputera (Pasal 131 IS).35 Pada hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, adalah tahap awal berkembangnya konsep pemikiran dan pandangan bahwa hukum adat sebagai hukum nasional Indonesia. Konsep tersebut terlihat dalam tiga dokumen negara yaitu, Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, dan Penjelasan UUD 1945.36 Setelah merdeka, selain masih menganut pluralisme hukum berdasarkan Aturan Peralihan pasal II UUD 1945, yang antara lain masih menempatkan hukum adat sebagai hukum masayarakat pribumi. Artinya, Pancasila dan UUD 1945 telah memberi landasan untuk mengangkat hukum adat sebagai sumber hukum nasional.37

Namun pada kenyataannya, konstitusi Indonesia sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat, tetapi apabila ditelaah secara mendalam dapat disimpulkan bahwa secara sungguh-sungguh rumusan yang ada di dalam UUD 1945 mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Contoh, pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, yang pada dasarnya diilhami dari hak ulayat yang secara tradisional diakui

34

Ibid., halaman 44-45

35

Ibid., halaman 45

36

Ibid., halaman 27

37

(44)

dalam hukum adat. Baru setelah amandemen terhadap konstitusi Indonesia hukum adat diakui sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 bahwa, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. Artinya, konstitusi Indonesia memberikan jaminan pengakuan dam penghormatan terhadap hukum adat apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

a) realitas, bahwa hukum adat masih hidup dan sesuai dengan pekembangan masyarakat.

b) idealitas, bahwa sesuai dengan prinsip NKRI dan keberlakuan diatur dalam UU , sepeti dalam pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia.

2. Hukum adat dalam undang undang darurat no 1 tahun 1951

Landasan berlakunya hukum tidak tertulis (legalitas Materiil) sebagai dasapemidanaan di Indonesia, telah dirumuskan dalam :381. Undang-undang Darurat nomor 1 Tahun 1951 L.N 9 / 1951 Pasal 5 ayat 3 sub b yaitu Hukum Materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang

38

(45)

dahulu diadili oleh pengadilan adat, ada tetap berlaku untuk kaula – kaula dan orang itu, dengan pengertian:

Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebagai perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum, dan

Bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman penjara dan / atau denda, yang dimaksud diatas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan penjara dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut pengertian hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut diatas, dan

Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan bandingnya yang mirip kepada perbuatan pidana. Rumusan pasal 5 ayat 3 b Undang Undang Darurat No. 1 tahun 1951 memberikan pemahaman :

(46)

b) Apabila terpidana adat tidak mengikuti putusan pengadilan adat tersebut, maka pengadilan negeri setempat dapat memutus perkaranya berdasar tiga kemungkinan.

1) Tidak ada bandingnya dalam KUHP

2) Hakim beranggapan bahwa pidana adat melampui dengan pidana penjara dan / atau denda seperti tersebut dalam kemungkinan 1

3) Ada bandingnya dalam KUHP

c) Bahwa berlaku tidaknya legalitas materiil ditentukan oleh sikap atau keputusan terpidana untuk mengikuti atau tidak mengikuti putusan pengadilan adat. Jika putusan pengadilan adat diikuti oleh terpidana, maka ketika itulah legalisasi materiil berfungsi. Berfungsinya legalisasi materiil disini merupakan hal yang wajar karena tindak pidana yang dilakukan pelaku adalah murni bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum tidak tertulis).

Undang-undang No. 14 Tahun 1970 Jo. UU No. 35 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat 1 :” Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Kata “menurut hukum” dapat diartikan secara luas mencakup legalisasi formil dan materiil. Pasal tersebut merupakan petunjuk bagi hakim untuk senantiasa memperhatikan peraturan tertulis dan hukum yang benar-benar hidup dalam masyarakat, apabila hendak menegakkan keadilan. Pasal 14 ayat 1: Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya”. Jika “hukum” yang dimaksud dalam rumusan diatas adalah hanya

(47)

Dengan demikian hakim harus menggali hukum yang tidak tertulis (hukum yang hidup).

Pasal 23 ayat 1:” Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan

-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang

dijadikan dasar untuk mengadili”. Pasal 27 ayat 1 :” Hakim sebagai penegak

hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum

yang hidup dalam masyarakat”

3. HUKUM ADAT DALAM UNDANG UNDANG NO 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK AGRARIA

Hukum adat dalam UU Nomor 5 tahun 1960 merupakan pengaturan yang sangat bersentuhan langsung dengan masyarakat adat.39 Dalam Pasal 5 UU No. 5 tahun 1960 ditegaskan : Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia beserta dengan peraturan yang tercantum dalam Undang – Undang ini dan dengan peraturan undang – undang lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur – unsur yang bersumber pada hukum agama.

Dalam penjelesan Undang – Undang disebutkan : Hukum adat yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam hubungannya dunia internasional beserta sesuai dengan

39

(48)

sosialisme Indonesia. Ketentuan tersebut merupakan realisasi dari TAP MPRS II / MPRS / 1960 Lampiran A Paragraf 402. Hukum adat yang dimaksud adalah bukan adat asli yang senyatanya berlaku dalam masyarakat adat, melainkan hukum adat yang sudah direkonstruksi, hukum adat yang sudah : disempurnakan, disaneer, modern, yang menurut Moch. Koesnoe menganggap hukum adat yang ada dalam UUPA telah hilang secara materiel, karena dipengaruhi oleh lembaga – lembaga dan ciri – ciri hukum Barat atau telah dimodifikasi oleh sosialisme Indonesia sehingga yang tersisa hanyalah formulasinya ( bajunya) saja.

Pereduksian yang dapat dilihat dalam kaitannya dengan kekuasaan negara. Adanya Hak Menguasai Negara (HMN), merupakan bentuk penarikan ke negara dari Hak Ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat atas tanah yang yang berada di wilayah Indonesia, yang kemudian dikontruksi kembali sebagai bentuk pelimpahan kewenangan negara dalam pelaksanaan dapat dilimpahkan kepada pemrintah di bawahnya. Dengan demikian, Hak Ulayat dalam masyarakat adat yang semula bersifat mutlak dan abadi, telah direduksi dengan bergantung pada kepentingan dan ditentukan oleh negara. Akibat lebih jauh adalah, timbulnya ha katas tanah menurut hukum adat, yaitu dengan Hak Membuka Adat (ontginningrecht) atas tanah yang digarapnya. Timbulnya hak milik melalui penunjukan rapat desa di Jawa Tengah ( pekulen, norowito) dan Jawa Barat (kasipekan, kanomeran, kacacahan), oleh UUPA direduksi dan disubordinasikan nelalui peraturan pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUPA : terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(49)

40

RUU KUHP Tahun 2004 memperluas perumusannya secara materiel, yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 1 (3) RUU KUHP Tahun 2004). Hal ini dikenal dengan asas legalitas materiel. Dengan aturan itu jelaslah bahwa RUU KUHP Tahun 2004 memberikan tempat bagi hukum adat setempat sebagai sumber keputusan bagi hakim apabila ternyata ada suatu perbuatan yang menurut hukum positif Indonesia belum/tidak diatur sebagai tindak pidana namun menurut masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang patut dipidana. Di samping itu, dapat jelaslah bahwa keadilan yang ingin diwujudkan RUU KUHP Tahun 2004 adalah keadilan masyarakat, bukan sekedar keadilan yang didasarkan pada perundang-undangan (legal justice).

Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 12 RUU KUHP Tahun 2004 bahwa

“dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin

mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum” Untuk memberikan tempat yang luas pada hukum adat, Pasal 93 juga menentukan bahwa pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat dapat menjadi pidana pokok atau yang diutamakan jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) ini. Aturan mengenai diberlakukannya asas legalitas materiel di Indonesia bukan merupakan hal yang baru, walaupun KUHP

40

(50)

hanya mengenal asas legalitas formal. Dalam UU Nomor 1/Drt./1951 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok

Kekuasaan Kehakiman, asas legalitas materiel merupakan hal yang harus dijunjung tinggi oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara. Bahkan dalam Pasal 14 ayat (2) UUD Sementara 1950 disebutkan bahwa “tiada sesorang dapat dihukum atau dijatuhi hukuman kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan

berlaku terhadapnya.” Kata “hukum” disini jelas mempunyai makna yang luas

dari pada sekedar peraturan perundang-undangan.Bagi sebagian orang, masuknya

“hukum yang hidup dalam masyarakat” dalam Pasal 1 ayat (3) memunculkan

beberapa masalah, yaitu pertama Pasal 1 ayat (3) kontradiksi dengan larangan menggunakan analogi dalam Pasal 1 ayat (2), kedua dapat menimbulkan masalah karena tidak diatur bagaimana cara hakim menemukan hukum dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law), ketiga, living law banyak yang tidak tertulis dan tidak menyebut unsur-unsur pidana secara terperinci, keempat akan mengkriminalisasikan perbuatan yang secara legal formal tidak diatur dalam perundang-undangan, dan kelima ketidakpastian hukum. Schaffmeister,

B. Bentuk-Bentuk Masyarakat Hukum Adat

(51)

dan terikat pada hukum tertentu. Hukum yang demikian mempunyai sifat kumulatif yaitu : 1. mengatur, 2. memaksa, 3. dilaksanakan atau ditaati, dan 4. dipelihara secara berkelanjutan.41

Menurut UU Nomor: 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup BAB I Pasal 1 butir 31 Masyarakat Hukum Adat adalah: Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,

dan hukum.42

Jika hukum adat dilihat dari segi wujud kebudayaan maka hukum adat termasuk dalam kebudayaan yang berwujud sebagai kompleks dari ide yang fungsinya untuk mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia dalam berkehidupan di masyarakat, dengan demikian hukum adat merupakan aspek dalam kehidupan masyarakat sebagai kebudayaan bangsa Indonesia.43

Hukum Adat merupakan hukum tradisional masyrakat yang merupakan perwujudan dari suatu kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan salah satu cara pandangan hidup yang secara keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat tersebut berlaku.44

41

.https://rezzeq.wordpress.com/2013/12/01/makalah-hukum-adat, diakses tanggal 11 September 2015

42

.UU Nomor: 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup BAB I Pasal 1 butir 31

43

. Sri Warjiyati, Memahami Hukum Adat, (IAIN Surabaya), halaman.15

44

(52)

Soepomo mengatakan bahwa corak atau pola = pola tertentu di dalam hukumadat yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah.45

a. mempunyai sifat kebersamaan yang kuat. “artinya”, menusia menurut hukum adat, merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat.

b. Mempunyai corak magic=religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam indonesia.

c. Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup.

d. Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat 1atau tanda yang tampak 2.

Moch Koesnoe juga mengemukakan corak hukum adat sebagai berikut :46

a. Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kiasan saja. menjadi tugas kalangan yang menjalankan hukum adat untuk banyak mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar mengetahui berbagaikemungkinan arti kiasan dimaksud

45

.Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia, Sebelum Perang Dunia Ke II,( Pradnjapramita, Jakarta, Cet 15, 199)7, halaman 140-141.

46

(53)

b. Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya."artinya” dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh

c. Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan a:as-a:as pokok ."artinya dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan keadaan serta segalanya diukur dengan asas pokok, yakni kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama

d. Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugashukum adat untuk melaksanakan hukum adat

e. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dilihat Bentuk dan susunan hukum adat masyarakat hukum atau persekutuan hukum adat pada dasarnya secara teoritis dapat kita bedakan adanya dua faktor utama yang menjadi dasar ikatan yang mengikat anggota-anggota persekutuan, yaitu :

1. Faktor Genealogis (keturunan)

Yaitu faktor yang mendasarkan kepada pertalian darah atau pertalian sesuatu keturunan. Masyarakat atau persatuan hukum genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, dimana anggotannya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung maupun secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. Jadi, persatuan hukum atau masyarakat hukum genealogis menitik beratkan pada faktor keturunan atau pertalian darah.47

47

(54)

Mengingat setiap orang selalu diturunkan melalui dua orang yakni laki-laki dan perempuan, maka persekutuan genealogis ini dibedakan menjadi :

a) Masyarakat Unilateral, yaitu masyarakat dimana anggota-anggotanya m

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintahan adat dewasa ini meskipun mengalami penurunan peran dan fungsinya, akan tetapi masih sangat diakui oleh masyarakat dan Negara dalam merumuskan