• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Lembaga Adat Dalam Menyelesaikan Perkara Pidana (Studi Di Desa Huraba Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Lembaga Adat Dalam Menyelesaikan Perkara Pidana (Studi Di Desa Huraba Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEDUDUKAN LEMABAGA ADAT DI INDONESIA A. Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-Undangan

Tidak dapat disangkal bahwa tidak ada satupun negara di dunia ini yang

tidak mempunyai tata hukumnya sendiri yang bersumber dari pemikiran bangsa

itu sendiri, termasuk Indonesia. jauh sebelum kemerdekaan, bahkan jauh sebelum

kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mempunyai

sistem hukumnya sendiri yang digunakan sebagai pedoman dalam pergaulan

hidup masyarakat yang disebut dengan hukum adat.24

Hukum adat dikenal juga sebagai hukum yang hidup (the living law)

karena hukum adat merupakan suatu hukum yang menjelmakan perasaan hukum

yang nyata dari masyarakat namun belum dikembangkan secara ilmiah.25 Istilah

the living law digunakan untuk menunjukkan berbagai macam hukum yang

tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di masyarakat26. Hukum adat sebagai

the living law adalah pola hidup kemasyarakatan tempat dimana hukum berproses

24

Djamanat Samosir. Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia.( Bandung: Nuansa Aulia,2013) h 1

25

Ibid., halaman 33

26

(2)

dan sekaligus juga merupakan hasil dari proses kemasyarakatan yang merupakan

sumber dan dasar dari hukum itu seperti, kebutuhan hidup masyarakat, cara hidup

masyarakat, pandangan hidup masyarakat, dan lain sebagainya.27

Dalam sistem hukum Indonesia, hukum adat disebut dengan hukum tidak

tertulis (unstatuta law) yang berbeda dengan hukum tertulis (statuta law).28

Perbedaannya adalah bahwa hukum tertulis dibuat dengan kata-kata yang tidak

dapat berubah tanpa diadakannya suatu perubahan sehingga hukum tertulis tidak

mencerminkan lagi apa yang hidup dalam masyarakat.29 Sedangkan hukum adat

merupakan produk dari budaya yang mengandung substansi tentang nilai-nilai

budaya sebagai cipta dan rasa manusia, yang artinya adalah bahwa hukum adat

tumbuh berkembang mengikuti pola pikir dan pola hidup yang hidup dalam

masyarakat. Hukum adat lahir dari kesadaran atas kebutuhan dan keinginan

manusia untuk hidup secara adil dan beradab sebagai aktualisasi peradaban

manusia.30 Selain itu, hukum adat juga merupakan produk sosial yaitu sebagai

hasil kerja bersama (kesepakatan) dan merupakan karya bersama secara bersama

(milik sosial) dari suatu masyarakat hukum adat.

Setelah kemerdekaan, muncul masalah mengenai eksistensi hukum adat

dalam sistem hukum Indonesia yang dikarenakan hukum adat tersebut bentuknya

tidak tertulis atau tidak dikodifikasikan serta tidak ada definisi yang jelas

mengenai hukum adat. Selain itu, sudah menjadi pandangan umum bahwa suatu

27

Ibid., halaman 6

28

Loc.Cit., halaman 1

29

Ibid., halaman 37

30

(3)

hukum dirumuskan dan ditetapkan oleh pejabat atau lembaga tertentu yang

berwenang31. Namun, hukum adat tetap memiliki kedudukan dalam sistem hukum

di Indonesia dan hukum adat sebagai hukum yang hidup akan tetap menjadi

pelengkap dari hukum nasional, selain itu penyebutannya sebagai hukum tidak

tertulis tidak mengurangi perannya dalam memberikan aturan-aturan yang tidak

ada di dalam hukum tertulis. Walaupun pembentukan hukum tidak tertulis

berbeda dengan hukum tertulis, hukum tidak tertulis dalam hal ini hukum adat

tetap mempunyai kekuatan yang legal karena masyarakat mentaatinya.

Kedudukan hukum tidak tertulis dalam kaitannya dengan

perundang-undangan adalah bahwa sistem hukum nasional Indonesia lebih mendahulukan

hukum tertulis daripada hukum tidak tertulis apabila terjadi masalah hukum, tetapi

jika hukum tertulis tidak mengatur perihal masalah hukum tersebut maka hukum

tidak tertulislah yang mengaturnya. Jadi, peran hukum tidak tertulis bersifat

mengisi terhadap hukum tertulis dimana, baik hukum tertulis maupun tidak

tertulis saling melengkapi meskipun hukum tertulis lebih diutamakan. Artinya,

terdapat superioritas UU di atas hukum adat dimana bahwa pengakuan dan

berlakunya hukum adat tergantung kepada hukum yang berlaku.32 Berikut adalah

kedudukan hukum adat dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia:

1. Kedudukan Hukum Adat dalam Perspektif UUD 1945

Pada sejarahnya, hukum adat telah ada sejak masa kolonial, bahkan pra

kolonial. Pada masa pra-kolonial, hukum yang berlaku adalah hukum asli

31

Ibid., halaman 5

32

(4)

bangsa Indonesia yang dianggap masih murni dari pengaruh-pengaruh asing,

walaupun pada perkembangannya terjadi perubahan-perubahan dalam hukum

asli bangsa Indonesia tersebut akibat adanya interaksi dengan bangsa-bangsa

asing dan nilai-nilai agama. Pada masa kolonial, beberapa para ahli hukum

menyadari bahwa selain hukum Eropa, di Indonesia juga berlaku hukum adat

sehingga pemerintahan kolonial Belanda tetap memberlakukan hukum adat

bagi masyarakat pribumi.33 Sistem hukum Indonesia mengenal hukum tertulis

dan tidak tertulis dimana pengakuan atas keberadaan hukum tidak tertulis

secara tersurat ada dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang menyatakan, “

berlaku juga hukum dasar tidak tertulis, ialah peraturan dasar yang timbul dan

terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis”.

Hukum tertulis meliputi Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945,

Ketetapan MPR, dan peraturan perundang-undangan lainnya, adapun hukum

tidak tertulis meliputi kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan yang timbul dan

terpelihara dalam praktik penyelenggaraan fungsi kenegaraan, hukum adat, dan

hukum kebiasaan yang hidup dan dihayati oleh rakyat Indonesia dalam

kehidupan masyarakat. Hukum tidak tertulis terbentuk bukan karena ditetapkan

oleh pimpinan masyarakat, melainkan tumbuh dari berbagai tahapan yang

dimulai dari kebiasaan, lalu ke tata kelakuan, kemudian ke adat istiadat, dan

terakhir menjadi norma hukum. Semua tahapan tersebut berlangsung secara

33

(5)

terus-menerus dalam waktu tertentu dan diterima serta dilaksanakan secara

kontinu oleh masyarakat.34

Hukum adat sebagai hukum tidak tertulis merupakan salah satu bagian dari

hukum nasional yang eksistensinya sejak zaman penjajahan secara tegas

dimaksudkan sebagai hukum bagi golongan Bumiputera (Pasal 131 IS).35 Pada

hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, adalah tahap awal

berkembangnya konsep pemikiran dan pandangan bahwa hukum adat sebagai

hukum nasional Indonesia. Konsep tersebut terlihat dalam tiga dokumen negara

yaitu, Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, dan Penjelasan UUD

1945.36 Setelah merdeka, selain masih menganut pluralisme hukum

berdasarkan Aturan Peralihan pasal II UUD 1945, yang antara lain masih

menempatkan hukum adat sebagai hukum masayarakat pribumi. Artinya,

Pancasila dan UUD 1945 telah memberi landasan untuk mengangkat hukum

adat sebagai sumber hukum nasional.37

Namun pada kenyataannya, konstitusi Indonesia sebelum amandemen

tidak secara tegas menunjukkan pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat,

tetapi apabila ditelaah secara mendalam dapat disimpulkan bahwa secara

sungguh-sungguh rumusan yang ada di dalam UUD 1945 mengandung nilai

luhur dan jiwa hukum adat. Contoh, pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa

perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan,

yang pada dasarnya diilhami dari hak ulayat yang secara tradisional diakui

34

Ibid., halaman 44-45

35

Ibid., halaman 45

36

Ibid., halaman 27

37

(6)

dalam hukum adat. Baru setelah amandemen terhadap konstitusi Indonesia

hukum adat diakui sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 18B ayat (2)

UUD 1945 bahwa, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. Artinya, konstitusi

Indonesia memberikan jaminan pengakuan dam penghormatan terhadap hukum

adat apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

a) realitas, bahwa hukum adat masih hidup dan sesuai dengan

pekembangan masyarakat.

b) idealitas, bahwa sesuai dengan prinsip NKRI dan

keberlakuan diatur dalam UU , sepeti dalam pasal 28I ayat

(3) UUD 1945 yang menegaskan penghormatan atas identitas

budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban manusia.

2. Hukum adat dalam undang undang darurat no 1 tahun 1951

Landasan berlakunya hukum tidak tertulis (legalitas Materiil) sebagai

dasapemidanaan di Indonesia, telah dirumuskan dalam :381. Undang-undang

Darurat nomor 1 Tahun 1951 L.N 9 / 1951 Pasal 5 ayat 3 sub b yaitu Hukum

Materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang

sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang

38

(7)

dahulu diadili oleh pengadilan adat, ada tetap berlaku untuk kaula – kaula dan

orang itu, dengan pengertian:

Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap

sebagai perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam kitab Hukum

Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga

bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti

bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum

dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar

kesalahan yang terhukum, dan

Bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran

hakim melampaui padanya dengan hukuman penjara dan / atau denda, yang

dimaksud diatas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan penjara dengan

pengertian bahwa hukuman adat yang menurut pengertian hakim tidak selaras lagi

dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut diatas, dan

Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap

perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil,

maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan bandingnya yang

mirip kepada perbuatan pidana. Rumusan pasal 5 ayat 3 b Undang Undang

Darurat No. 1 tahun 1951 memberikan pemahaman :

(8)

b) Apabila terpidana adat tidak mengikuti putusan pengadilan adat tersebut, maka pengadilan negeri setempat dapat memutus perkaranya berdasar tiga kemungkinan.

1) Tidak ada bandingnya dalam KUHP

2) Hakim beranggapan bahwa pidana adat melampui dengan pidana penjara dan / atau denda seperti tersebut dalam kemungkinan 1

3) Ada bandingnya dalam KUHP

c) Bahwa berlaku tidaknya legalitas materiil ditentukan oleh sikap atau keputusan terpidana untuk mengikuti atau tidak mengikuti putusan pengadilan adat. Jika putusan pengadilan adat diikuti oleh terpidana, maka ketika itulah legalisasi materiil berfungsi. Berfungsinya legalisasi materiil disini merupakan hal yang wajar karena tindak pidana yang dilakukan pelaku adalah murni bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum tidak tertulis).

Undang-undang No. 14 Tahun 1970 Jo. UU No. 35 tahun 1999 tentang

Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat 1 :” Pengadilan mengadili

menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Kata “menurut hukum”

dapat diartikan secara luas mencakup legalisasi formil dan materiil. Pasal tersebut

merupakan petunjuk bagi hakim untuk senantiasa memperhatikan peraturan

tertulis dan hukum yang benar-benar hidup dalam masyarakat, apabila hendak

menegakkan keadilan. Pasal 14 ayat 1: Pengadilan tidak boleh menolak untuk

memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa

hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya”. Jika “hukum” yang dimaksud dalam rumusan diatas adalah hanya

yang tertulis, sedangkan hakim wajib memeriksa dan mengadili perkara yang

(9)

Dengan demikian hakim harus menggali hukum yang tidak tertulis (hukum yang

hidup).

Pasal 23 ayat 1:” Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan

-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu

dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang

dijadikan dasar untuk mengadili”. Pasal 27 ayat 1 :” Hakim sebagai penegak

hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum

yang hidup dalam masyarakat”

3. HUKUM ADAT DALAM UNDANG UNDANG NO 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK AGRARIA

Hukum adat dalam UU Nomor 5 tahun 1960 merupakan pengaturan yang

sangat bersentuhan langsung dengan masyarakat adat.39 Dalam Pasal 5 UU No. 5

tahun 1960 ditegaskan : Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang

angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme

Indonesia beserta dengan peraturan yang tercantum dalam Undang – Undang ini

dan dengan peraturan undang – undang lainnya, segala sesuatu dengan

mengindahkan unsur – unsur yang bersumber pada hukum agama.

Dalam penjelesan Undang – Undang disebutkan : Hukum adat yang

disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara

modern dan dalam hubungannya dunia internasional beserta sesuai dengan

39

(10)

sosialisme Indonesia. Ketentuan tersebut merupakan realisasi dari TAP MPRS II /

MPRS / 1960 Lampiran A Paragraf 402. Hukum adat yang dimaksud adalah

bukan adat asli yang senyatanya berlaku dalam masyarakat adat, melainkan

hukum adat yang sudah direkonstruksi, hukum adat yang sudah : disempurnakan,

disaneer, modern, yang menurut Moch. Koesnoe menganggap hukum adat yang

ada dalam UUPA telah hilang secara materiel, karena dipengaruhi oleh lembaga –

lembaga dan ciri – ciri hukum Barat atau telah dimodifikasi oleh sosialisme

Indonesia sehingga yang tersisa hanyalah formulasinya ( bajunya) saja.

Pereduksian yang dapat dilihat dalam kaitannya dengan kekuasaan negara.

Adanya Hak Menguasai Negara (HMN), merupakan bentuk penarikan ke negara

dari Hak Ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat atas tanah yang yang berada

di wilayah Indonesia, yang kemudian dikontruksi kembali sebagai bentuk

pelimpahan kewenangan negara dalam pelaksanaan dapat dilimpahkan kepada

pemrintah di bawahnya. Dengan demikian, Hak Ulayat dalam masyarakat adat

yang semula bersifat mutlak dan abadi, telah direduksi dengan bergantung pada

kepentingan dan ditentukan oleh negara. Akibat lebih jauh adalah, timbulnya ha

katas tanah menurut hukum adat, yaitu dengan Hak Membuka Adat

(ontginningrecht) atas tanah yang digarapnya. Timbulnya hak milik melalui

penunjukan rapat desa di Jawa Tengah ( pekulen, norowito) dan Jawa Barat

(kasipekan, kanomeran, kacacahan), oleh UUPA direduksi dan disubordinasikan

nelalui peraturan pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUPA :

terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(11)

40

RUU KUHP Tahun 2004 memperluas perumusannya secara materiel,

yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut tidak mengurangi berlakunya

hukum yang hidup atau hukum adat yang menentukan bahwa menurut adat

setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur

dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 1 (3) RUU KUHP Tahun

2004). Hal ini dikenal dengan asas legalitas materiel. Dengan aturan itu jelaslah

bahwa RUU KUHP Tahun 2004 memberikan tempat bagi hukum adat setempat

sebagai sumber keputusan bagi hakim apabila ternyata ada suatu perbuatan yang

menurut hukum positif Indonesia belum/tidak diatur sebagai tindak pidana namun

menurut masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang patut dipidana. Di samping

itu, dapat jelaslah bahwa keadilan yang ingin diwujudkan RUU KUHP Tahun

2004 adalah keadilan masyarakat, bukan sekedar keadilan yang didasarkan pada

perundang-undangan (legal justice).

Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 12 RUU KUHP Tahun 2004 bahwa

“dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin

mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum” Untuk memberikan tempat

yang luas pada hukum adat, Pasal 93 juga menentukan bahwa pidana tambahan

berupa pemenuhan kewajiban adat dapat menjadi pidana pokok atau yang

diutamakan jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) ini. Aturan mengenai diberlakukannya asas

legalitas materiel di Indonesia bukan merupakan hal yang baru, walaupun KUHP

40

(12)

hanya mengenal asas legalitas formal. Dalam UU Nomor 1/Drt./1951 dan UU

Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok

Kekuasaan Kehakiman, asas legalitas materiel merupakan hal yang harus

dijunjung tinggi oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara. Bahkan dalam

Pasal 14 ayat (2) UUD Sementara 1950 disebutkan bahwa “tiada sesorang dapat

dihukum atau dijatuhi hukuman kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan

berlaku terhadapnya.” Kata “hukum” disini jelas mempunyai makna yang luas

dari pada sekedar peraturan perundang-undangan.Bagi sebagian orang, masuknya

“hukum yang hidup dalam masyarakat” dalam Pasal 1 ayat (3) memunculkan

beberapa masalah, yaitu pertama Pasal 1 ayat (3) kontradiksi dengan larangan

menggunakan analogi dalam Pasal 1 ayat (2), kedua dapat menimbulkan masalah

karena tidak diatur bagaimana cara hakim menemukan hukum dan nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat (living law), ketiga, living law banyak yang tidak tertulis

dan tidak menyebut unsur-unsur pidana secara terperinci, keempat akan

mengkriminalisasikan perbuatan yang secara legal formal tidak diatur dalam

perundang-undangan, dan kelima ketidakpastian hukum. Schaffmeister,

B. Bentuk-Bentuk Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat merupakan suatu kelompok masyarakat atau

komunitas tertentu yang hidup bersama dalam suatu wilayah atau kawasan

tertentu yang terikat pada hukum tertentu, yang ditaati, dilaksanakan dan hukum

tersebut dipelihara, yang didalamnya terdapat sanksi sebagai alat pemaksa.

(13)

dan terikat pada hukum tertentu. Hukum yang demikian mempunyai sifat

kumulatif yaitu : 1. mengatur, 2. memaksa, 3. dilaksanakan atau ditaati, dan 4.

dipelihara secara berkelanjutan.41

Menurut UU Nomor: 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup BAB I Pasal 1 butir 31 Masyarakat Hukum Adat

adalah: Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara

turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal

usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya

sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,

dan hukum.42

Jika hukum adat dilihat dari segi wujud kebudayaan maka hukum adat

termasuk dalam kebudayaan yang berwujud sebagai kompleks dari ide yang

fungsinya untuk mengarahkan dan mengatur tingkah laku manusia dalam

berkehidupan di masyarakat, dengan demikian hukum adat merupakan aspek

dalam kehidupan masyarakat sebagai kebudayaan bangsa Indonesia.43

Hukum Adat merupakan hukum tradisional masyrakat yang merupakan

perwujudan dari suatu kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan salah satu

cara pandangan hidup yang secara keseluruhannya merupakan kebudayaan

masyarakat tempat hukum adat tersebut berlaku.44

41

.https://rezzeq.wordpress.com/2013/12/01/makalah-hukum-adat, diakses tanggal 11 September 2015

42

.UU Nomor: 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup BAB I Pasal 1 butir 31

43

. Sri Warjiyati, Memahami Hukum Adat, (IAIN Surabaya), halaman.15

44

(14)

Soepomo mengatakan bahwa corak atau pola = pola tertentu di dalam

hukumadat yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir

yang tertentu oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah.45

a. mempunyai sifat kebersamaan yang kuat. “artinya”, menusia menurut hukum

adat, merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa

kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat.

b. Mempunyai corak magic=religius, yang berhubungan dengan pandangan

hidup alam indonesia.

c. Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat

sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan

hidup yang kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan

hubungan-hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup.

d. Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya hubungan-hubungan hukum

dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat

dilihat 1atau tanda yang tampak 2.

Moch Koesnoe juga mengemukakan corak hukum adat sebagai berikut :46

a. Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kiasan

saja. menjadi tugas kalangan yang menjalankan hukum adat untuk

banyak mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar mengetahui

berbagaikemungkinan arti kiasan dimaksud

45

.Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia, Sebelum Perang Dunia Ke II,( Pradnjapramita, Jakarta, Cet 15, 199)7, halaman 140-141.

46

(15)

b. Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok

perhatiannya."artinya” dalam hukum adat kehidupan manusia selalu

dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh

c. Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan a:as-a:as pokok ."artinya

dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat

dan keadaan serta segalanya diukur dengan asas pokok, yakni kerukunan,

kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama

d. Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugashukum

adat untuk melaksanakan hukum adat

e. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dilihat Bentuk dan susunan hukum

adat masyarakat hukum atau persekutuan hukum adat pada dasarnya

secara teoritis dapat kita bedakan adanya dua faktor utama yang menjadi

dasar ikatan yang mengikat anggota-anggota persekutuan, yaitu :

1. Faktor Genealogis (keturunan)

Yaitu faktor yang mendasarkan kepada pertalian darah atau pertalian sesuatu

keturunan. Masyarakat atau persatuan hukum genealogis adalah suatu kesatuan

masyarakat yang teratur, dimana anggotannya terikat pada suatu garis keturunan

yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung maupun secara tidak langsung

karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. Jadi, persatuan hukum atau

masyarakat hukum genealogis menitik beratkan pada faktor keturunan atau

pertalian darah.47

47

(16)

Mengingat setiap orang selalu diturunkan melalui dua orang yakni laki-laki

dan perempuan, maka persekutuan genealogis ini dibedakan menjadi :

a) Masyarakat Unilateral, yaitu masyarakat dimana anggota-anggotanya menarik

garis keturunan hanya dari salah satu pihak saja yaitu baik dari pihak laki-laki

saja (ayah) ataupun dari pihak wanita saja (ibu). Ciri-ciri masyarakatnya,

yaitu:

 Menarik garis keturunan hanya dari satu pihak saja

 Masyarakatnya terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok yang disebut clan

dan sub clan

 Sistem perkawinan yang dilaksanakan adalah sistem Exogamie

 Tiap kelompok atau clan mempunyai harta pusaka yang tidak boleh

dibagi-bagi.

b) Masyarakat hukum unilateral ini dapat dibedakan menjadi 2 macam dan 1

bentuk khusus, yaitu :

1) Masyarakat Matrilineal, yaitu masyarakat dimana anggota-anggotanya

menarik garis keturunan hanya dari pihak ibu saja, terus menerus ke atas

(vertikal) hingga berakhir pada suatu kepercayaan bahwa mereka berasal

dari seorang ibu asal. Yang terdapat pada masyarakat Minangkabau,

Kerinci, dan Samendo.

2) Masyarakat Patrilineal, yaitu masyarakat dimana anggota-anggotanya

menarik garis keturunan dari pihak ayah saja terus ke atas (vertikal)

sehingga berakhir pada suatu kepercayaan behwa mereka semua berasal

(17)

dari satu bapak asli. Yang terdapat pada masyarakat Batak, Bali, Nias dan

Sumba.

3) Masyarakat Dubbel Unilateral, yaitu masyarakat yang menarik garis

keturunan dari pihak ayah dan pihak ibu yang dilakukan bersama-sama

berdasarkan hal-hal tertentu. Biasanya hal ini berhubungan dengan

pewarisan. Yang terdapat pada masyarakat di pulau Timor.

c) Masyarakat Bilateral, yaitu masyarakat dimana anggota-anggota persekutuan

menarik garis keturunan baik melalui ayah maupun ibu. Jadi gari sketurunan

ditarik melalui Orang Tua (Parental). Masyarakat hukum yang tersusun secara

parental bentuk perkawinannya bebas, artinya tidak terikat oleh keharusan

Exogamie (perkawinan percampuran suku atau diluar suku) atau Endogamie

(perkawinan dalam lingkungan suku sendiri). Masyarakat bilateral (parental)

terdiri dari :48

1) Masyarakat bilateral yang bersendikan pada kesatuan rumah tangga

(Gezins). Titik berat dari masyarakat itu terletak pada rumah tangga.

Contoh : jawa dan madura (suku sunda, jawa), juga aceh dan dayak.

2) Masyarakat bilateral yang bersendikan pada rumpun-rumpun (Trible).

Titik berat dari masyarakat pada rumpun. Contoh : orang dayak

(kalimantan) dimana dianjurkan untuk melakukan perkawinan Endogamie.

3) Masyarakat Alternerend (berganti-ganti), adalah masyarakat dimana garis

keturunan seseorang ditarik berganti-ganti sesuai dengan bentuk

perkawinan yang dilaksanakan oleh orang tuanya. Berarti bila perkawinan

48

(18)

yang dilakukan oleh orang tuanya dilakukan menurut hukum keibuan atau

disebut kawin semendo, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan ini

menarik garis keturunan dari ibu. Bila perkawinan dilakukan oleh salah

seorang anak menurut hukum kebapaan atau juga disebut kawin jujur,

maka anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menarik garis

keturunan dari pihak ayah. Kalau perkawinan yang dilakukan dengan

maksud supaya anak-anak yang lahir dari perkawinan itu menarik garis

keturunan dari kedua belah pihak, perkawinan tersebut dinamakan kawin

Semendo Rajo-Rajo, maka anak-anak yang lahir menarik garis keturunan

baik dari ayah maupun ibu. Bentuk kawin Semendo Rajo-Rajo terdapat di

Sumatra Selatan (daerah Rejang). Jadi,Alternerend adalah bentuk yang

tergantung dari apa dan cara perkawinan yang dilaksanakan.

Di Indonesia dahulu ada beberapa yang susunan masyarakatnya

berdasarkan pertalian Genealogis belaka (yaitu orang Gayo di Aceh dan orang

Pubian di Lampung). Tetapi lama kelamaan pada umumnya masyarakat atau

persekutuan hukum dipengaruhi oleh ikatan territorial. Jadi, sekarang pada

umumnya masyarakat atau persekutuan hukum Genealogis murni sudah tidak ada

lagi.

b. Faktor Territorial (wilayah)

Yaitu faktor yang mendasarkan keterkaitannya pada suatu daerah tertentu.

Persekutuan-persekutuan hukum territorial adalah di mana para warganya merasa

terikat satu sama lainnya karena merasa dilahirkan dan menjalani kehidupan di

(19)

factors) sangatlah penting. Persekutuan-persekutuan hukum territorial dapat

dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :49

2. Persekutuan Desa (Dorps Gemeenschap)

Masyarakat hukum desa adalah segolongan atau sekumpulan orang yang

hidup bersama berazaskan pandangan hidup, cara hidup, dan sistem kepercayaan

yang sama, yang menetap pada suatu kesatuan suatu tata- susunan, yang tertentu,

baik keluar maupun kedalam. Masyarakat hukum desa ini melingkupi pula

kesatuan-kesatuan yang kecil yang terletak diluar wilayah desa yang sebenarnya,

yang lazim disebut teratah atau dukuh, tetapi yang juga tunduk pada pejabat

kekuasaan desa dan, oleh sebab itu, baginya juga merupakan pusat kediaman.

Jadi, persekutuan desa adalah segolongan orang terikat pada suatu tempat

kediaman, yang di dalamnya terdiri dari tempat kediaman kecil yang meliputi

perkampuangan (dukuh-dukuh) dan di mana pemimpin atau pejabat pemerintahan

desa boleh dikatakan semua bertempat tinggal di dalam pusat kediaman itu.

Contohnya : Desa di Jawa dan di Bali.

b. Persekutuan Daerah atau Wilayah (Strek Gemeenschap)

Apabila dalam suatu daerah tertentu merupakan kesatuan beberapa tempat

kediaman yang masing-masing mempunyai pimpinan sejenis, sendiri-sendiri dan

sederajat (Desa) tetapi semuanya merupakan bagian dari daerah tersebut. Daerah-

daerah tersebut mempunyai harta benda dan tanah ulayat dan menguasai hutan

49

(20)

dan rimba diantara atau dikelilingi tanah-tanah yang ditanami dan tanah yang

ditinggalkan penduduk desa tertentu.50 Contoh :

1) Kuria di Angkola dan Mandailing yang mempunyai hutan –hutan di

daerahnya.

2) Marga di Sumatra Selatan dengan dusun-dusuncdi dalam daerahnya.

3) Desa di Jawa, yang terdiri dari lembur-lembur yang mempunyai

pimpinannya sendiri-sendiri. Kalau di Banten, desa itu terdiri dari

kampung-kampung atau ampian yang dikepalai oleh Kokolot. Di Jawa

Barat, kepala desa disebut Lurah, di Jawa Tengah dan di Jawa Timur

disebut Kuwu atau bikil atau lurah.

c. Perserikata Desa-Desa (Dorpenbond atau beberapa kampung)

Adalah gabungan dari beberapa persekutuan desa dimana mereka mengadakan

permufakatan untuk melakukan kerja sama. Dimana untuk memelihara

keperluan bersama itu diadakan suatu Badan Pengurus yang terdiri dari

pengurus-pengurus desa tersebut.Contohnya : Subak di Bali dan Perserikatan

Huta-Huta pada suku Batak.

Berdasarkan ketiga jenis persekutuan hukum territorial maka persekutuan

desa-lah yang menjadi pusat pergaulan hidup sehari-hari. Desa yang sebagai

badan hukum berdiri sendiri secara bulat atau sebagian badan persekutuan

bawahan masuk dilingkungan suatu badan persekutuan daerah atasan atau yang

50

(21)

mengadakan kerjasama dengan persekutuan hukum setingkat untuk memelihara

kepentingan bersama yang tertentu.

d. Persekutuan hukum Genealogis-Territorial

Yaitu kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur dimana para anggotanya

bukan saja terikat pada tempat kediaman pada suatu daerah tertentu, tetapi juga

terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau

kekerabatan. Persekutuan yang bersifat genealogis territorial dapat dibedakan

dalam 5 jenis, yaitu :51

1) Suatu daerah atau kampung didiami hanya oleh satu bagian Clan (golongan),

tidak ada clan lain yang tinggal di daerah ini. Kampung yang berdekatan juga

didiami hanya satu clan bagian saja. Contohnya, di pedalaman pulau-pulau

Enggano, Buru, Seram, dan Flores.

2) Di Tapanuli terdapat susunan masyarakat. Dalam suatu daerah tertentu

(HUTA) semula didirikan oleh satu clan atau Marga tertentu saja. Kemudian

kedalam huta tersebut ada marga lain yang yang datang kewilayah itu dan

masuk menjadi warga badan persekutuan Huta di daerah itu.

3) Marga yang semula mendiami daerah itu serta yang mendirikan Huta-Huta di

daerah itu disebut marga asal, marga raja dan marga tanah, sedangkan marga

yang kemudian masuk ke daerah itu disebut marga rakyat yang kedudukan

nya tidak sama dengan marga asal. Antara marga ini ada hubungan

perkawinan yang erat.

51

(22)

a. Di Sumba Tengah dan Sumba Timur. Terdapat satu clan yang mula-mula

mendiami suatu daerah tertentu dan berkuasa di daerah itu, akan tetapi

kekuasaan itu kemudian berpindah kepada clan lain yang masuk kedaerah

tersebut dan berhasil merebut kekuasaan pemerintah dari clan yang asli.

Kedua clan kemudian berdamai dan bersama-sama merupakan kesatuan

badan persekutuan daerah. Kekuasaan pemerintahan dipegang clan yang

daaing kemudian, sedangkan yang asli tetap menguasai tanah-tanah di

daerah itu sebagai wali tanah.

b. Di beberapa Nagari di Minang kabau dan beberapa Marga di Bengkulu. Di

dalam suatu daerah Nagari golongan yang berkuasa dan golongan yang

menumpang tidak ada perbedaan dan berkedudukan sama, merupakan

suatu badan persekutuan.

c. Seperti yang terdapat dalam Nagari-Nagari lain di Minang kabau dan

Dusun-dusun di daerah Rejang (Bengkelu). Disini dalam suatu Nagari atau

Dusunberdiam beberapa clan yang satu dengan yang lain tidak bertalian

familie. Seluruh daerah Ngari atau Dusun menjadi daerah bersama dari

semua bagian clan padabadan Nagari atau Dusun yang bersangkutan.

Selain ketiga macam bentuk-bentuk persekutuan hukum tersebut (Genealogis,

Territorial, Genealogis-Territorial) dalam perekembangan peri kehidupan

masyarakat yang semakin kompleks dikenal pula adanya persekutuan hukum

yang berbentuk :52

1) Masyarakat Adat Keagamaan

52

(23)

Merupakan masyarakat adat yang khusus bersifat keagamaan di beberapa daerah

tertentu. Dengan demikian terdapat kesatuan masyarakat adat keagamaan

menurut kepercayaan lama, ada kesatuan masyarakat yang khusus beragama

Hindu, Islam, Kristen atau Katholik, dan ada yang sifatnya campuran dari

agama-agama yang bersangkutan. Contohnya :

a. Di Aceh, terdapat masyarakat adat keagamaan yang Islami.

b. Di Batak, terdapat masyarakat adat keagamaan yang didominasi

Kristen Protestan.

c. Di Bali, sebagian besar adalah masyarakat adat keagamaan Hindu.

2) Masyarakat Adat di Perantauan

Masyarakat adat keagamaan Sadwirama merupakan suatu bentuk dari

upaya bagi orang Bali di perantauan dalam upaya untuk mempertahankan

eksistensi adat dan agama hindunya sebagaimana kebiasaan-kebiasaan kehidupan

kemasyarakatan keagamaan di daerah asalnya yaitu pulau bali.

Dikalangan masyarakat Jawa di daerah-daerah transmigrasi atau didaerah

perantauan tidak pernah terjadi kegiatan atau upaya seperti halnya masyarakat bali

yaitu membentuk masyarakat adat tersendiri disamping desa yang resmi. Karena

masyarakat adat jawa bersifat ketetanggaan sehingga mudah membaur dengan

penduduk setempat.

Lain halnya dengan masyarakat melayu seperti orsng Aceh, Batak,

Minangkabau, Lampung, Sumatra Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan

lain sebagainya yang berada di daerah perentauan cenderung untuk membentuk

(24)

seperti Rukun Kematian atau bahkan memebentuk suatu Kesatuan Masyarakat

Adat yang berfungsi sebagai pengganti kerapatan adat di kampung asalnya.

3) Masyarakat Adat lainnya

Selain danya kesatuan-kesatuan masyarakat adat di perantauan yang

anggotanya terikat satu sama lain karena berasal dari satu daerah yang sama di

dalam kehidupan masyarakat kita dijumpai pula bentuk-bentuk kumpulan

organisasi yang ikatan anggotanya didasarkan pada ikatan kekaryaan sejenis yang

tidak berdasarkan hukum adat yang sama atau daerah asal yang sama, melainkan

pada rasa kekeluargaan yang sama dan terdiri dari berbagai suku bangsa dan

berbeda agamanya. Bentuk masyarakat ini kita temukan di berbagai instansi

pemerintah maupun swasta diberbagai lapangan kehidupan sosial-ekonomi yang

lain. kesatuan masyarakat adatnya tidak lagi terikat pada hukum adat yang lama

melainkan dalam bentuk hukum kebiasaan yang baru atau katakanlah Hukum

Adat Indonesia atau Hukum Adat Nasional

Referensi

Dokumen terkait

Kode Etik Advokat Indonesia adalah hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang selain menjamin dan melindungi namun juga membebankan kewajiban kepada setiap

harganya diperkirakan mencapai 20 Miliyar. Dengan besarnya biaya investasi yang dibutuhkan, cukup sulit untuk perusahaan pelayaran dalam negeri untuk melakukan

ketika pemerintah memberi kesempatan kepada perguruan tinggi di Indonesia untuk mengubah statusnya menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN),

8. Retribusi adalah sebagian atau seluruh biaya Penyelenggaraan kegiatan pelayanan medik dan non medik di rumah sakit yang dibebankan kepada masyarakat sebagai imbalan atas

Abu Hassan Ali Al- Mawardi (1960), dalam al-Ahkam al Sultaniyyah, telah menyentuh aspek ketenteraan dan dihubungkan dengan aspek kepimpinan. Al-Mawardi menyebut

Data primer berupa data subjek terma- suk meliputi karakteristik keluarga (nama ibu, usia ibu, pendidikan ibu, pendapatan keluarga, dan jumlah anak), karakteristik anak (nama

Pada pertemuan pertama terdapat 6 kelompok dimana terdapat 4 hingga 5 siswa dari masing-masing kelompok, pada pertemuan pertama karena masih proses adaptasi

Secara inventif dari representasi historisnya berdasarkan video tersebut akan terkait dengan peristiwa pembelajaran masa lalu Teater Sae, sekalipun Dendi Madiya