FAKU
DEPART
ULTAS MA
N
TEMEN GE
ATEMATI
INSTITU
NURYA U
EOFISIKA
IKA DAN I
UT PERTA
2012
UTAMI
A DAN ME
ILMU PEN
ANIAN BOG
2
ETEOROL
NGETAHU
GOR
OGI
ABSTRAK
NURYA UTAMI. Deliniasi Wilayah Prioritas Penanganan Kekeringan di Lahan Pertanian (Studi Kasus : Sulawesi Selatan). Dibimbing oleh: YON SUGIARTO dan ARIS PRAMUDIA.
Kekeringan di lahan pertanian terjadi karena adanya pergeseran musim hujan yang mengakibatkan ketidaktepatan pola tanam. Deliniasi wilayah rawan kekeringan perlu dilakukan untuk mengantisipasi wilayah yang terancam gagal panen. Wilayah rawan kekeringan dilihat dari tiga aspek yang berbeda yaitu, aspek klimatologis, hidrologis dan agronomis. Masing-masing aspek memiliki peranan ketersediaan air wilayah dalam memenuhi kebutuhan air pertanian. Pendekatan aspek klimatologis, wilayah rawan kekeringan dilihat dari tingkat sensitivitas curah hujan terhadap anomali SST di Zona Nino-3.4. Analisis korelasi antara curah hujan dengan anomali SST dilakukan untuk memperoleh hubungan antara keduanya pada periode musim hujan (MH) yaitu pada November-Februari, musim kemarau pertama (MK-1) pada Maret-Juni dan musim kemarau kedua (MK-2) pada Juli-Oktober (MK-2). Wilayah yang curah hujannya memiliki korelasi terhadap anomali SST pada p-value ≤ 0,05 ditentukan sebagai wilayah yang curah hujannya terpengaruh nyata dengan kondisi iklim global, kemudian dinyatakan sebagai wilayah yang tidak rawan kekeringan pada aspek klimatologis. Pendekatan aspek hidrologis, wilayah rawan kekeringan ditentukan dari kerapatan jaringan sungai. Semakin tinggi kerapatan jaringan sungai di suatu wilayah maka semakin kecil juga potensi kekeringan wilayah tersebut. Pendekatan aspek agronomis, wilayah rawan kekeringan ditentukan dari jenis penggunaan lahan pertanian. Berdasarkan pertimbangan bahwa beberapa jenis penggunaan lahan pertanian menjadikan lahan tersebut mudah mengalami kekurangan air, sebaliknya beberapa jenis penggunaan lahan lainnya. Hasil analisis menggambarkan bahwa distribusi spasial wilayah rawan kekeringan berdasarkan aspek klimatologis dan agronomis menunjukkan dominasi wilayah rawan kekeringan terletak di bagian barat dan selatan Sulawesi Selatan. Pada aspek hidrologis, 40 % merupakan wilayah yang tidak rawan kekeringan, 39 % wilayah agak rawan kekeringan dan 21 % wilayah sangat rawan kekeringan.
ABSTRACT
NURYA UTAMI. Delineation of Vulnerability Drought Areas in The Agricultural Land Use (Case Study: South Sulawesi). Supervised by YON SUGIARTO and ARIS PRAMUDIA.
Drought in the agricultural land might be happened because of the late wet season, it’s cause inappropriate cropping pattern. Delineation of vulnerability drought areas must be done to anticipate crop failure areas. Drought vulnerability areas analize by three different aspects: climatological, hydrological and agronomical. Each aspects has role in the water availability for agriculture land. Approachment of climatological aspect, drought vulnerability areas showed by the sensitivity level of rainfall towards sea surface temperature (SST) anomalies in the Nino-3.4 region. The rainfall is divided in three period: wet season (MH) at November-February, first dry season (MK-1) at March-June and second dry season (MK-2) at July-October. The correlation between rainfall anpmalies and SST anomalies specify three different areas: high sensitive areas, low sensitive areas and non-significant areas. Significant areas is the regions where rainfall has correlation toward sea surface temperature anomaly where the regression produce P-value ≤ 0.05. Approachment of hydrological aspect, drought vulnerability areas determined by the density of stream pattern. In agronomy aspect, drought areas is determined from the type of agricultural land use. The integration of these three aspects result distribution of drought level areas in agriculture field, specifically rice-field. Results of the climatological aspect analysis shows that the drought areas more often in the west and south Sulawesi Selatan. While on the agronomy aspect, drought areas are dominated by rainfed lands and moor lands that spreads all over province.
DELINIASI WILAYAH PRIORITAS PENANGANAN
KEKERINGAN DI LAHAN PERTANIAN
(STUDI KASUS : SULAWESI SELATAN)
NURYA UTAMI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
Pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul
: Deliniasi Wilayah Pioritas Penangan Rawan Kekeringan Di Lahan
Pertanian (Studi Kasus: Sulawesi Selatan)
Nama :
Nurya
Utami
NRP :
G24070049
Disetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Yon Sugiarto, S.Si, M.Sc.
Dr. Ir. Aris Pramudia, M.Si.
NIP : 19740604 199803 1 003
NIP : 19650412 199203 1 003
Diketahui,
Ketua Departemen,
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.
NIP : 19600305 198703 2 002
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kuala Tungkal tanggal 21 Juni 1989, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Sageyanto dan Poniyem.
Jenjang pendidikan penulis dimulai ketika penulis memasuki Taman Kanak-Kanak Baiturrahuim di Kuala Tungkal pada tahun 1995. Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Dasar Negeri No. V Kuala Tungkal hingga tahun 2001. Kemudian penulis diterima di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Program Mayor Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorogi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD).
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan baik. Penelitian dilakukan dalam rangka menyelesaikan program studi S1di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Insitut Pertanian Bogor.
Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Bapak Yon Sugiarto S.Si M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Aris Pramudia, M.Si., atas ketersediaanya menjadi dosen pembimbing. Penulis mengucapkan terima kasih atas segala bimbingan, nasehat, arahan dan bantuan dalam melaksanakan penelitian ini.2.
Kedua orang tua tercinta, mbak eka dan adikku lia tersayang, yang telah memberikan dukungan moril sehingga penulis tetap semangat dalam menyelesaikan penelitian.3.
Fitrie, Resa dan Kak Meli sebagai tim penasehat yang selalu memberikan semangat, saran dan masukan kepada penulis serta senantiasa menemani penulis.4.
Sigit, Kak Yunus, Topik, Syamsu atas bantuan pengoperasian software ArcGIS.5.
Pasha, Riri, Loris, Nono, Pepew, Achi, Nedy, Azim, Anies, Anto, Ike dan GFM’ers 44 atas dukungan dan kebersamaannya.6.
Staf peneliti Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.7.
Semua pihak yang turut membantu pelaksanaan dan penyelesaian skripsi ini.Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan. Penulis sangat mengharapkan dan saran yang membangun guna memperbaiki kekurangan di masa yang akan datang.
Bogor, Januari 2012
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... . xi
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian ... 1
2.2 Definisi Kekeringan ... 2
2.3 Anomali Curah Hujan ... 2
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 4
3.2 Bahan dan Alat ... 4
3.3 Metode ... 4
3.3.1 Analisis Curah Hujan dengan Suhu Permukaan Laut ... 4
3.3.2 Analisis Tingkat Rawan Kekeringan Klimatologis ... 4
3.3.3 Analisis Tingkat Rawan Kekeringan Hidrologis ... 5
3.3.4 Analisis Tingkat Rawan Kekeringan Agronomis ... 5
3.3.5 Analisis Tingkat Rawan Kekeringan dan Wilayah Prioritas Penangan Kekeringan ... 5
3.3.6 Deliniasi Wilayah Rawan Kekeringan ... 6
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Iklim Sulawesi Selatan ... 6
4.2 Wilayah Rawan Kekeringan Berdasarkan Aspek Klimatologis ... 7
4.3 Wilayah Rawan Kekeringan Berdasarkan Aspek Hidrologis ... 14
4.4 Wilayah Rawan Kekeringan Berdasarkan Aspek Agronomis ... 16
4.5 Tingkat Rawan Kekeringan Berdasarkan Aspek Klimatologis, Hidrologis dan Agronomis ... 17
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 21
5.2 Saran ... 21
DAFTAR PUSTAKA ... 22
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Luas wilayah kabupaten Sulawesi Selatan (BPS 2009) ... 1 2 Klasifikasi tingkat sensitivitas curah hujan terhadap anomali SST
di Zona Nino-3.4 ... 5 3 Klasifikasi tingkat kerapatan jaringan sungai ... 5 4 Skoring kekeringan berdasarkan bentuk penggunaan lahan pertanian ... 5 5 Klasifikasi tingkat kekeringan berdasarkan gabungan dari aspek klimatologis
hidrologis dan agronomis... 6 6 Tingkat sensitivitas curah hujan terhadap perubahan anomali SST
di Zona Nino-3.4 ... 9 7 Persentase luas wilayah sensitivitas anomali curah hujan terhadap anomali SST
pada MH ... 9 8 Persentase luas wilayah sensitivitas anomali curah hujan terhadap anomali SST
pada MK-1 ... 13 9 Persentase luas wilayah sensitivitas anomali curah hujan terhadap anomali SST
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Peta Provinsi Sulawesi Selatan ... 2
2 Variasi zona nino di Samudera Pasifik Tengah ... 3
3 Anomali suhu permukaan laut ... 3
4 Distribusi pola curah hujan Sulawesi Selatan ... 6
5 Hubungan antara anomali curah hujan dengan anomali SST di Nino-3.4 stasiun Tabo-Tabo; (a) MH. (b) MK-1. dan (c) MK-2 ... 8
6 Hubungan antara anomali curah hujan dengan anomali SST di Nino-3.4 stasiun Mulyorejo; (a) MH. (b) MK-1. dan (c) MK-2 ... 8
7 Distribusi tingkat sensitivitas curah hujan terhadap anomali SST di zona nino-3.4 pada periode MH ... 10
8 Distribusi tingkat sensitivitas curah hujan terhadap anomali SST di zona nino-3.4 pada periode MK-1 ... 11
9 Distribusi tingkat sensitivitas curah hujan terhadap anomali SST di zona nino-3.4 pada periode MK-2 ... 12
10 Distribusi tingkat rawan kekeringan berdasarkan aspek hidrologis di Sulawesi Selatan ... 15
11 Distribusi tingkat rawan kekeringan berdasarkan aspek agronomis ... 16
12 Peta tingkat rawan kekeringan berdasarkan integrasi aspek klimatologis, hidrologis dan agronomis pada periode MH ... 18
13 Peta tingkat rawan kekeringan berdasarkan integrasi aspek klimatologis, hidrologis dan agronomis pada periode MK-1 ... 19
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Distribusi stasiun hujan Provinsi Sulawesi Selatan ... 23
2 Curah hujan bulanan tiap stasiun Provinsi Selatan, sebagai contoh tahun 1980 ... 24
3 Anomali suhu permukaan laut bulanan di zona nino 3.4 ... 30
4 Hasil analisis regresi antara anomaly curah hujan bulanan terhadap anomali suhu permukaan laut di zona nino 3.4 ... 31
5 Koefisien hasil regresi antara anomali ch terhadap anomali suhu muka laut di zona nino 3.4 tiap stasiun ... 34
6 Uji t-student pada periode MK-1 ... 38
7 Tingkat sensitivitas curah hujan terhadap ssta nino 3.4 tiap stasiun Sulawesi Selatan ... 39
8 Luas wilayah kabupaten Sulawesi Selatan berdasarkan peta dasar di ArcGIS ... 42
9 Peta jaringan sungai Provinsi Sulawesi Selatan ... 43
10 Peta Jenis penggunaan lahan sawah Sulawesi Selatan ... 44
11 Kondisi lahan sawah Provinsi Sulawesi Selatan pada bulan Desember 2011 ... 45
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air merupakan salah satu elemen penting dalam keberlangsungan hidup manusia. Penggunaan air mulai dari skala kecil yaitu untuk kebutuhan hidup sehari-hari hingga skala besar seperti kegiatan pertanian dan industri. Sebagian besar air diperoleh dari curah hujan yang tertampung di cekungan-cekungan berupa danau, sungai, dan lautan yang sebagian tersimpan di dalam tanah sebagai air bumi.
Pada wilayah yang tidak memiliki sungai sebagai penampungan air permukaan, sumber air hanya diperoleh dari curah hujan. Semakin tinggi curah hujan per bulan maka semakin banyak air yang tersedia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa curah hujan merupakan salah satu faktor penentu ketersediaan air suatu wilayah.
Perubahan iklim global mempengaruhi curah hujan dan memiliki efek berbeda masing-masing daerah. Kondisi yang berbeda dari keadaan normal ini biasa disebut dengan anomali hujan. Salah satu fenomena yang menyebabkan terjadinya anomaly hujan adalah El-Nino Southern Oscilation (ENSO). Fenomena ENSO ini mengakibatkan musim kemarau lebih panjang dari tahun normal sehingga wilayah tersebut mengalami kekeringan dan kekurangan ketersediaan air.
Kekurangan air pada lahan pertanian secara langsung akan menghambat dan menurunkan produktivitas tanaman pertanian terutama tanaman padi. Bahkan, pada kondisi kritis, kekeringan dapat mengakibatkan kematian tanaman. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman padi yang peka terhadap air sangat bergantung pada ketersediaan air secara kuantitatif baik yang bersumber pada air irigasi maupun curah hujan.
Sulawesi Selatan merupakan salah satu wilayah sentra produksi padi dimana curah hujan di wilayah tersebut dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Adanya hubungan antara ENSO dengan produktivitas padi diiperkuat dengan terjadinya gagal panen di lahan sawah Sulawesi Selatan, contohnya pada tahun 1994 (El-Nino lemah) lahan sawah mengalami puso seluas 21.995 ha, tahun 1991 (El-Nino sedang) mengalami puso seluas 25.900 ha, tahun 1997 (El-Nino kuat) puso mencapai 65.340 ha (Irianto dan Surmaini 2002).
Deliniasi wilayah rawan kekeringan di sentra produksi pangan merupakan salah satu antisipasi dampak fenomena ENSO.
Informasi deliniasi rawan kekeringan di lahan pertanian penting diketahui mengingat Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2011 tercatat sebagai provinsi terluas yang mengalami kekeringan mencapai 27.889 ha dengan puso seluas 1.490 ha.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1. Melakukan analisis dan deliniasi wilayah rawan kekeringan berdasarkan aspek klimatologis, hidrologis dan agronomis di Sulawesi Selatan
2. Menentukan wilayah prioritas penanganan kekeringan di Sulawesi Selatan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian
Sulawesi Selatan terletak di 0°12’ – 8°LS dan 116°48’-122°36 BT dengan luas wilayah sekitar 4.666.453 ha. Secara administrasi pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan terbagi menjadi 21 kabupaten dan 3 kotamadya dengan luas provinsi yang bervariasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Kondisi topografi wilayah Sulawesi Selatan terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi, perairan pantai, dan laut dalam (Gambar 1). Dataran rendah meliputi hampir semua kabupaten kota, dataran tinggi dapat ditemukan di Kabupaten Luwu, Tana Toraja, Luwu Utara, Enrekang, Sinjai, Gowa, Bone dan sebagian wilayah Sidrap, Wajo, Pinrang, Maros, Pangkep, dan Pare-pare. Perairan pantai meliputi kabupaten yang terbentang di pesisir pantai timur dan pantai barat. Laut dalam meliputi Selat Makassar, Teluk Bone, dan Laut Selayar (BPS 2009).
Jumlah Sungai yang mengaliri Provinsi Sulawesi Selatan hingga kini tercatat sekitar 65 aliran sungai. Sungai terpanjang yaitu Sungai Saddang mengaliri Kabupaten Tana Toraja, Enrekang, Pinrang dan Polewali (Sulawesi Barat) dengan panjang sungai 150 km. Aliran terbesar terdapat di Kabupaten Luwu sebanyak 25 aliran sungai (BPS 2009).
45% - 98%, curah hujan rata-rata 1.000-1.500 per tahun (BPS 2009).
Gambar 1 Peta Provinsi Sulawesi Selatan
(sumber : Bakosurtanal)
Pada kondisi iklim normal, Sulawesi Selatan mempunyai tiga karakteristik iklim yang berbeda yaitu wilayah pesisir barat, bagian tengah dan pesisir timur. Puslittanak menyatakan bahwa di daerah pesisir barat puncak hujan terjadi bulan Desember-Januari. di bagian tengah puncak hujan terjadi pada bulan Desember-Januari dan April-Mei. sementara di pesisir timur pada bulan April-Mei. Distribusi curah hujan yang berbeda di tiap wilayah menghasilkan respon kekeringan yang berbeda pada saat El-Nino (Surmaini dan Irianto 2002).
2.2 Definisi Kekeringan
Kekeringan dapat ditinjau dari berbagai bidang ilmu antara lain meteorologi, klimatologi, hidrologi, pertanian. sosial ekonomi, dan lain-lain. Namun, kekeringan yang dikaji dalam penelitian ini hanya tiga yaitu kekeringan klimatologi, hidrologi dan pertanian. Kekeringan klimatologis berkaitan besar dan lamanya curah hujan dibawah normal. Changnom (1987) mendefinisikan kekeringan pertanian sebagai suatu periode ketika air tanah tidak cukup memenuhi kebutuhan air tanaman sehingga pertumbuhannya terhenti. Kekeringan
hidrologis merupakan penurunan cadangan air sungai, waduk dan danau serta penurunan permukaan air tanah sebagai dampak kejadian kekeringan (Kodoatie dan Sjarief 2008).
Tabel 1 Luas wilayah kabupaten Sulawesi Selatan
No Kabupaten Luas Wilayah (ha)
1 Selayar 90.996
2 Bulukumba 115.167
3 Bantaeng 39.583
4 Jeneponto 73.784
5 Takalar 56.651
6 Gowa 188.332
7 Sinjai 81.996
8 Maros 161.912
9 Pangkajene Kepulauan 111.219
10 Barru 147.471
11 Tana Toraja 320.557 12 Enrekang 178.604
13 Pinrang 194.177
14 Luwu 324.777
15 Luwu Utara 750.258 16 Luwu Timur 694.488
17 Bone 455.900
18 Wajo 250.619
19 Soppeng 135.944
20 Sidenreng Rappang 188.332 21 Kota Makassar 17.577 22 Kota Pare-Pare 9.933 23 Kota Palopo 24.752 24 Tana Toraja Utara 90.996
Sumber : BPS 2009
2.3 Anomali Curah Hujan
Iklim merupakan rata-rata keadaan cuaca dalam jangka panjang. Iklim suatu wilayah dapat berubah apabila faktor penentu iklim tersebut mengalami perubahan. Perubahan tersebut mengakibatkan adanya penyimpangan keadaan cuaca dan iklim dari keadaan umum atau reratanya dalam selang waktu tertentu yang disebut sebagai anomali iklim. Salah satu faktor penyebab terjadinya anomali iklim di Indonesia adalah fenomena
El-Nino Southern Oscilation (ENSO).
Indikator yang sering digunakan untuk melihat gejala terjadinya anomali iklim adalah suhu permukaan laut (sea surface
temperature/SST). Berdasarkan pengamatan,
permukaan laut Nino 3.4 mempengaruhi 50 % variasi curah hujan seluruh wilayah Indonesia.
Gambar 2 Variasi zona nino di Samudera Pasifik Tengah
(sumber:http://www.ncdc.noaa.gov/teleconnections /enso/indicators/sst.php )
El Nino dan La Nina mempunyai korelasi yang kuat dengan curah hujan di Indonesia, terutama wilayah Indonesia bagian timur seperti Kalimantan bagian tenggara, Sulawesi dan Irian Jaya bagian tengah. El Nino umumnya berkaitan dengan penurunan curah hujan hingga di bawah normal dan kemarau panjang, sedangkan La nina berkaitan dengan peningkatan curah hujan di atas normal dan kejadian banjir.
Berdasarkan pengamatan, SST Nino 3.4 memberikan pengaruh yang lebih besar bagi wilayah Indonesia dibandingkan SST lainnya. Pada kondisi normal anomali suhu permukaan laut berkisar antara -0,5°C sampai 0,5°C. Pada kondisi El Nino anomali suhu permukaan laut > 0,5°C, sedangkan pada kondisi La nina anomali suhu permukaan laut < - 0,5°C (Surmaini dan Irianto 2002).
Hubungan SST wilayah Indonesia rata-rata setiap musim dari Januari 1982 – Mei 2006, berdasarkan data SST global menunjukkan adanya pergerakan zona SST yang cukup jelas. Zona SPL di wilayah Indonesia yang ditandai dengan SST yang relatif lebih tinggi dari yang lain (>27,6 °C) pada bulan Januari – Mei merupakan pusat tekanan rendah sehingga menyebabkan masa udara terkonsentrasi di wilayah tersebut yang biasanya ditandai dengan curah hujan tinggi. Selanjutnya zona SST tersebut bergerak ke arah utara mulai bulan Juni-September dan pada umumnya curah hujan di wilayah Indonesia berkurang. Siklus ini akan berulang setiap tahun dengan teratur apabila tidak
terjadi anomali iklim (Estiningtyas et al.
2007).
Gambar 3 Anomali suhu permukaan laut
(Sumber:http://www.esrl.noaa.gov/psd/map/images /sst/sst.anom.gif.)
Dampak El Nino bervariasi tergantung dari intensitasnya. El Nino dikatakan kuat apabila anomali SST Nino 3.4 lebih dari 2°C. dikatakan sedang apabila anomali SST antara 1-2 °C dan dikatakan lemah apabila anomali SST antara 0.5-1 °C (Irianto 2002).
Anomali iklim tidak hanya mempengaruhi curah hujan, tetapi juga pola dan lamanya periode hujan dan kemarau yang berimplikasi terhadap persegeran musim tanam. Besarnya pengaruh anomali iklim terhadap parameter curah hujan ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: (1) posisi ekuatorial yang terkait dengan peranan angin pasat, (2) pengaruh monsunal dalam kaitannya dengan peranan angin monsun. terutama monsun barat, dan (3) pengaruh lokal, terutama aspek topografi (Las 2008).
III.
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Desember tahun 2011. Penelitian ini dilakukan di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Cimanggu-Bogor dan Laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB.
3.2 Bahan dan Alat
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Data curah hujan bulanan 158 stasiun di Provinsi Sulawesi Selatan (1979-2007) (Sumber : Badan Meteorologi dan Klimatologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi) 2. Data anomali SST Nino 3.4 bulanan
(1979-2007)
(Sumber : http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices
/nino34.mth.ascii.txt)
3. Peta penggunaan lahan Provinsi Sulawesi Selatan
(Sumber : Badan Konservasi dan Survei Pemetaan Nasional)
4. Peta jaringan sungai Provinsi Sulawesi Selatan
(Sumber : Departemen Kehutanan)
Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa:
1. Seperangkat komputer
2. Perangkat Lunak Minitab vers.15, ArcGIS 10 dan Microsoft Office.
3.3 Metode
3.3.1 Analisis Anomali Curah Hujan dengan Anomali SST
Data yang digunakan adalah data curah hujan bulanan dan anomali SST Nino 3.4 bulanan. Nilai anomali SST kemudian dikorelasikan dengan curah hujan bulanan yang dibagi menjadi beberapa musim yaitu, musim hujan (MH), musim kemarau pertama (MK-1) dan musim kemarau kedua (MK-2). Periode MH terjadi pada bulan November-Februari, MK-1 terjadi pada bulan Maret-Juni, dan MK-2 terjadi pada bulan Juli-Oktober. Pembagian periode musim tersebut berdasarkan musim tanam yang telah mennjadi standar di kementerian pertanian.
Hubungan antara curah hujan dan anomali SST Nino 3.4 digambarkan dalam grafik sebaran acak.
Analisis regresi terboboti dilakukan dengan melihat grafik pencar per musim. Hasil dari analisis ini berupa persamaan pendugaan anomali curah hujan:
∑ ∑ ∑ / ∑
∑ ∑ / ∑
Keterangan:
AnoCHMH = nilai anomali curah hujan pada musim hujan
IndMH = besaran nilai indikator iklim regional/global pada musim hujan
AnoCHMKi = nilai anomali curah hujan
pada musim kemarau-i IndMKi = besaran nilai indikator iklim
regional/global pada musim kemarau-i
a0 dan a1 = koefisien dari persamaan
regresi yang sudah terboboti wi = pembobot bagi pengamatan
ke-i.
3.3.2 Analisis Tingkat Rawan Kekeringan Klimatologis
Secara klimatologis, kekeringan dilihat dari sensitivitas perubahan anomali curah hujan akibat adanya perubahan indikator iklim global. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien a1, Semakin positif atau semakin negatif nilai
koefisien a1, menunjukkan semakin sensitif
anomali curah hujan terhadap perubahan iklim global.
• Menghitung nilai rata-rata anomali curah hujan
RACH = AnoCH – AnoCHMin
• Menyusun data nilai koefisien a1 dari yang
terkecil
• Mengelompokkan data ke dalam beberapa kelompok dengan syarat: (a) terdapat penurunan cukup besar dari nilai RACH dengan sebelahnya dan rata-rata nilai RACH harus menurun; (b) batas pemisah harus ditarik antara dua nilai koefisien a1
yang sama atau hampir sama, dan (c). anggota kelompok minimal dua.
• Menghitung pasangan data (ni), simpangan
• Menguji perbedaan antara dua nilai RACH dari kelompok yang berurutan dengan uji t-student dengan rumus:
1 1
• Bila perbedaan nilai RACH antara dua kelompok yang berurutan tidak nyata maka kedua kelompok digabung menjadi satu. Berdasarkan jumlah kelompok baru, analisis kembali prosedur sebelumnya hingga perbedaaan rata-rata RACH antara dua kelompok yang berurutan nyata. Kelompok yang memiliki nilai koefisisen yang lebih dekat dengan nol dinamakan kelompok yang tidak sensitif, sedangkan kelompok lainnya merupakan kelompok yang sensitif.
Tabel 2 Klasifikasi tingkat sensitivitas curah hujan terhadap anomali SST di zona nino-3.4
No Tingkat Sensitivitas Kode 1. Tidak Signifikan 1 2. Sensitif 2 3. Sangat Sensitif 3
3.3.3 Analisis Tingkat Rawan Kekeringan Hidrologis
Tingkat kerawanan aspek hidrologis dilihat dari tingkat kerapatan jaringan sungai. Klasifikasi pengkodean bentuk jaringan sungai yaitu sebagai berikut:
Tabel 3 Klasifikasi tingkat kerapatan jaringan sungai No. Tingkat Kerapatan Jaringan Sungai Klasifikasi Kode
1 Rapat Tidak
Rawan 1 2 Sedang Agak
Rawan 2 3 Jarang Rawan 3
3.3.4 Analisis Tingkat Rawan Kekeringan Agronomis
Klasifikasi tingkat kerawanan dari aspek agronomis berdasarkan jenis penggunaan lahan pertanian dan sistem irigasi yang digunakan. Penggunaan lahan yang diidentifikasi meliputi sawah irigasi, sawah tadah hujan dan ladang/tegalan. Sawah irigasi diklasifikasi menjadi sawah irigasi teknis,
semi teknis dan sederhana. Untuk menentukan tingkat kekeringan agronomis, selain infrastruktur irigasi. frekuensi tanam dijadikan pula sebagai indikator klasifikasi tingkat kekeringan pada sawah irigasi dan sawah tadah hujan (Pramudia 2008).
Tabel 4 Skoring kekeringan berdasarkan bentuk penggunaan lahan pertanian
No. Bentuk Penggunaan Lahan Pertanian Klasifikasi Kode 1 Lahan sawah irigasi teknis 2 kali tanam per tahun atau lebih
Tidak
Rawan 1
2
Lahan sawah irigasi teknis 1 kali tanam per tahun, Lahan sawah non-teknis 2 kali per tahun
Agak
Rawan 2
3
Sawah tadah hujan 1 kali per tahun, sawah tegalan. dll
Rawan 3
3.3.5 Analisis Tingkat Rawan Kekeringan dan Wilayah Prioritas Penangan Kekeringan
Berdasarkan tingkat kerawanan dari tiga aspek tersebut. diperoleh skor akhir yang merupakan penjumlahan skor yang dikoreksi dengan faktor pembobot dari masing-masing aspek.
X W X W X
W X
Keterangan :
Xrawan = skor akhir tingkat rawan kekeringan
dari aspek klimatologis. hidrologis dan agronomis
Xklim = skor tingkat rawan kekeringan
klimatologis
Xhidro = skor tingkat rawan kekeringan
hidrologis
Xagro = skor tingkat rawan kekeringan
agronomis
Wklim = faktor pembobot aspek klimatologis
(0.4)
Whidro = faktor pembobot aspek hidrologis
(0.35)
Wagro = faktor pembobot aspek agronomis
Tabel 5 Klasifikasi tingkat kekeringan berdasarkan gabungan dari aspek klimatologis, hidrologis dan agronomis
No. Skor Akhir Klasifikasi 1 1.00-1.70 Tidak Rawan 2 1.71-2.00 Rawan 3 2.21-3.00 Sangat Rawan
Berdasarkan klasifikasi Tabel 4, wilayah rawan kekeringan dibagi menjadi 3 wilayah prioritas penanganan kekeringan yaitu Prioritas I, Prioritas II dan Prioritas III.
Prioritas I meliputi wilayah yang sangat rawan terhadap kekeringan. Prioritas II merupakan wilayah yang termasuk kategori rawan terhadap kekeringan. Sementara Prioritas III merupakan wilayah yang tidak rawan.
3.3.6 Deliniasi Sebaran Wilayah Rawan Kekeringan
Deliniasi wilayah rawan kekeringan klimatologis, hidrologis agronomis serta integrasi ketiga aspek dilakukan dengan bantuan software ArcGIS. Klasifikasi wilayah rawan kekeringan diperoleh dari informasi hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Iklim Sulawesi Selatan
Sulawesi Selatan memiliki tiga pola iklim berbeda yaitu pola monsunal, ekuatorial dan lokal. Gambar 4 merupakan sebaran pola curah yang diperoleh dari hasil perhitungan rata-rata curah hujan bulanan di setiap stasiun hujan yang diamati.
Pada wilayah yang berpola hujan monsun, curah hujan maksimum terjadi pada bulan Januari dan curah hujan minimum terjadi pada bulan Agustus. Wilayah ini meliputi Kabupaten Tana Toraja, Barru,Pangkajene Kepulauan, Maros, Gowa, Takalar, Jeneponto, Selayar dan Kota Makassar. Wilayah berpola hujan ekuatorial memiliki dua puncak curah hujan maksimum yaitu pada bulan Mei atau Juni dan Desember atau Januari. Berdasarkan Gambar 4, pola curah hujan di Sulawesi Selatan didominasi oleh tipe ekuatorial. Wilayah yang memiliki pola hujan ini meliputi Kabupaten Luwu Timur, Luwu Utara, Luwu, Pinrang, Enrekang, Sidenreng Rappang, Wajo, Soppeng, Bone, Kota Pare-Pare dan Kota Palopo. Sementara pola curah hujan lokal hanya terdapat di 3 kabupaten yaitu Kabupaten Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng. Curah hujan maksimum terjadi pada bulan Mei.
Periode musim dibagi menjadi 3 periode yaitu MH, MK-1 dan MK-2 dengan curah hujan rata-rata yang berbeda. Pada periode MH curah hujan rata-rata sebesar 512 mm/bulan dengan kisaran 67-958 mm/bulan. Pada periode MK-1, curah hujan rata-rata sebesar 206 mm/bulan dengan kisaran 67-544 mm/bulan. Pada periode MK-2, curah hujan rata-rata sebesar 56 mm/bulan dengan kisaran9-327 mm/bulan.
4.2 Wilayah Rawan Kekeringan Berdasarkan Aspek Klimatologis
Tingkat rawan kekeringan berdasarkan aspek klimatologis dilihat dari sensitivitas anomali curah hujan terhadap anomali SST Nino-3.4. Regresi antara curah hujan di stasiun pengamatan dengan anomali SST di zona nino 3.4 menghasilkan dua zona, signifikan dan tidak signifikan. Wilayah yang signifikan memiliki respon sensitivitas yang berbeda, sehingga diklasifikasi lagi menjadi wilayah yang sensitif dan sangat sensitif. Sementara wilayah yang tidak signifikan merupakan wilayah yang curah hujannya tidak memiliki korelasi terhadap anomali SST. Regresi dilakukan pada tiga periode musim yaitu MH (November-Februari), MK-1 (Maret-Juni) dan MK-2 (Juli-Oktober).
Gambar 5 merupakan hasil regresi antara anomali curah hujan stasiun Tabo-Tabo terhadap anomali suhu permukaan laut di Nino-3.4. Gradien kemiringan yang agak curam menunjukkan bahwa semakin negatif nilai anomali curah hujan maka semakin positif nilai anomali SST. Artinya, anomali
curah hujan mengalami penurunan ketika SST mengalami peningkatan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa anomali curah hujan di Tabo-Tabo memiliki korelasi yang signifikan terhadap anomali SST di Nino-3.4. Umumnya, wilayah yang dipengaruhi oleh perubahan anomali SST di Zona Nino-3.4, anomali curah hujan berbanding terbalik dengan perubahan anomali SST. Anomali SST yang bernilai negatif menandakan SST di Zona Nino-3.4 mendingin, sementara lautan di sekitar Indonesia menghangat sehingga konveksi di wilayah Sulawesi Selatan menguat dan menghasilkan intensitas hujan yang cukup tinggi. Sebaliknya pada musim kemarau, nilai anomali SST di zona Nino-3.4 memanas dibanding sekitarnya, sehingga konveksi menguat di wilayah ini dan menyebabkan curah hujan di Sulawesi Selatan menurun.
Namun demikian, tidak semua anomali curah hujan di wilayah Sulawesi Selatan memiliki korelasi yang signifikan terhadap anomali SST. Gambar 7 merupakan contoh wilayah yang anomali curah hujannya tidak memiliki korelasi terhadap anomali SST di Nino-3.4 setiap periode. Garis gradien yang lurus pada Gambar 6 (a) menandakan bahwa anomali SST tidak berpengaruh terhadap perubahan curah hujan di wilayah tersebut. Gambar 6 (b) menunjukkan rata-rata kondisi anomali curah hujan yang meningkat diiringi dengan meningkatnya anomali SST di Nino-3.4. Sementara pada Gambar 6 (c), gradien yang sangat landai pada MK-2 yang umumnya cenderung lebih terjal menandakan bahwa pada periode tersebut anomali curah hujan tidak dipengaruhi oleh anomali SST di Nino-3.4.
Berdasarkan hasil regresi seluruh stasiun hujan Sulawesi Selatan, pada MH dan MK-1 umumnya memiliki korelasi yang bervariasi yaitu positif dan negatif dengan gradien yang landai. Korelasi negatif menandakan bahwa peningkatan anomali SST akan mengakibatkan penurunan anomali curah hujan begitu pula sebaliknya, sedangkan korelasi posisitif menandakan bahwa peningkatan/penurunan SST mengakibatkan peningkatan/penurunan anomali curah hujan. Sementara pada MK-2 korelasi umumnya bersifat negatif dengan gradien yang lebih terjal.
(a) (b)
(c)
Gambar 5 Hubungan antara anomali curah hujan dengan anomali SST di Nino-3.4 stasiun Tabo-Tabo; (a) MH, (b) MK-1 dan (c) MK-2
(a) (b)
(c)
Tabel 6 Tingkat sensitivitas curah hujan terhadap perubahan anomali SST di Nino-3.4
No Tingkat Sensitivitas Perubahan CH terhadap anomali SST (mm/
o
C)
MH MK-1 MK-2 1 Tidak Signifikan Tidak Berkorelasi Tidak Berkorelasi Tidak Berkorelasi
2 Sensitivitas Rendah 0 -59 0 - 51 0 - 47 3 Sensitivitas Tinggi > 59 > 51 > 47
Kisaran anomali CH 17 - 146 43 – 74 6 - 146
dengan masukkan data prediksi anomali SST di Nino-3.4 beberapa bulan sebelumnya.
Tingkat sensitivitas anomali curah hujan terhadap perubahan anomali SST diperoleh dari analisis statistik uji t. Hasil analisis menggambarkan bahwa terdapat batas tingkat
sensitivitas yang berbeda antara periode MH, MK-1 dan MK-2. Pada periode MH (Tabel 6), wilayah yang termasuk dalam sensitivitas rendah akan mengalami perubahan curah hujan kurang dari 59 mm/bulan untuk setiap perubahan 1oC anomali SST di zona Nino-3.4, sedangkan untuk wilayah yang sensitivitasnya
tinggi akan mengalami perubahan curah hujan lebih dari 59 mm/bulan untuk setiap perubahan 1oC anomali SST di Zona Nino-3.4.
Nilai kisaran anomali curah hujan yang berkorelasi terhadap anomali SST berbeda-beda tiap periode musim. Oleh karena itu, batas sensitivitas dibagi pula berdasarkan periode musim. Batas sensitivitas anomali curah hujan pada MK-2 lebih kecil dibanding periode MH dan MK-1. Walaupun demikian, pada MK-2 yang memiliki curah hujan di bawah normal akan mengalami penurunan yang ekstrim apabila dikurangi dengan nominal yang kecil saja. Gambar 7 menunjukkan bahwa pada periode musim hujan hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan (81%) anomali curah hujan tidak menunjukkan adanya penurunan yang signifikan pada saat anomali SST di Nino-3.4 bernilai positif. Bahkan, di beberapa wilayah menunjukkan adanya peningkatan anomali curah hujan ketika SST di Nino-3.4 mengalami pemanasan. Sementara wilayah yang termasuk kategori sensitif hanya terdapat di sebagian kecil kabupaten Sulawesi Selatan. Wilayah yang tergolong tidak rawan pada periode MH meliputi seluruh Kabupaten Bulukumba, Luwu Utara dan Luwu Timur, serta sebagian besar Kabupaten Selayar, Sinjai, Bantaeng, Jeneponto, Soppeng, Bone, Wajo, Sidrap, Enrekang, Luwu, Tana Toraja dan Pinrang.
Wilayah yang agak rawan terhadap kekeringan memiliki luas 9 % dari total seluruh Sulawesi Selatan yang meliputi sebagian besar (> 40%) Kota Pare-Pare, Kabupaten Jeneponto, Gowa dan Takalar, Maros, Barru dan sebagian kecil (< 20%) di
Kabupaten Bantaeng, Barru, Wajo, Sidrap, Enrekang, Luwu, Soppeng dan Bone.
Wilayah yang sangat rawan terhadap kekeringan memiliki persentase luas wilayah sekitar 10 % dari total seluruh Sulawesi Selatan. Wilayah ini meliputi (> 50%) Kabupaten Makassar, Maros, Takalar, Pangkajane Kepulauan dan Kota Palopo serta sebagian kecil Kabupaten Selayar, Bantaeng, Jeneponto, Gowa, Barru, Luwu, Tana Toraja dan Pinrang.
Tabel 7 Persentase luas wilayah sensitivitas anomali curah hujan terhadap anomali SST pada MH
Kabupaten
Persentase luas wilayah (%) Tidak
signifikan Sensitif
Sangat sensitif Selayar 81 0 19
Sinjai 77 23 0
Bulukumba 99 1 0
Bantaeng 65 17 18 Jeneponto 43 45 13
Gowa 22 46 29
Takalar 11 33 56 Makassar 14 0 86
Maros 5 21 74
Pangkep 19 3 78
Barru 52 19 27
Soppeng 94 6 0 Bone 93 7 0 Wajo 87 13 0
Pare 0 100 0
Sidrap 83 17 0 Enrekang 93 7 0
Luwu 79 4 17 Palopo 4 0 96
Tana Toraja 90 0 10
Luwu Utara 100 0 0
Luwu Timur 100 0 0
Tabel 8 Persentase luas wilayah sensitivitas anomali curah hujan terhadap anomali SST pada MK-1
Kabupaten
Persentase luas wilayah (%) Tidak
signifikan Sensitif
Sangat sensitif Selayar 0 34 66
Sinjai 100 0 0
Bulukumba 100 0 0
Bantaeng 100 0 0
Jeneponto 88 3 8
Gowa 68 18 14
Takalar 96 2 2
Makassar 100 0 0
Maros 72 0 28 Pangkep 38 0 62
Barru 90 0 10 Soppeng 90 7 3
Bone 95 0 5
Wajo 0 81 19
Pare 100 0 0 Sidrap 100 0 0 Enrekang 94 6 0
Luwu 93 0 7 Palopo 100 0 0
Tana Toraja 100 0 0
Luwu Utara 100 0 0
Luwu Timur 100 0 0
Pinrang 87 13 0
Hal serupa juga ditemukan pada periode MK-1 (Gambar 8) dimana 87 % wilayah merupakan wilayah yang termasuk kategori tidak signifikan, 7 % wilayah termasuk kategori sensitif dan 6 % merupakan wilayah yang sangat sensitif. Berdasarkan sebaran spasial tingkat sensitivitas curah hujan terhadap indikator iklim global, wilayah yang tidak rawan terhadap kekeringan pada periode MK-1 meliputi seluruh Kabupaten Sinjai, Bulukumba, Sidrap, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur. Kota Makassar, Kota Palopo dan Kota Pare-Pare, serta sebagian besar Kabupaten Jeneponto,Gowa, Takalar, Maros, Barru, Soppeng, Bone, Enrekang, Luwu dan Pinrang. Wilayah yang rawan terhadap kekeringan meliputi Wajo (81%), Selayar (34%), Gowa (18%) Pinrang (13 %), dan Jeneponto, Takalar, Soppeng, Enrekang (< 10 %). Wilayah yang sangat rawan terhadap kekeringan meliputi Selayar, Pangkajene Kepulauan (>50%) dan Gowa, Barru, Wajo, Jeneponto, Takalar, Soppeng, Bone, Luwu (< 20 %).
Hasil analisis pada MK-2 menunjukkan hampir seluruh Sulawesi Selatan termasuk dalam wilayah yang curah hujannya dipengaruhi oleh SST di Zona Nino-3.4 (Gambar 9). Wilayah yang signifikan mencapai 94 % dari jumlah stasiun hujan yang
diamati dimana 51 % termasuk dalam wilayah sensitif dan 43 % termasuk dalam wilayah yang sangat sensitif. Sisanya, 6 % merupakan wilayah tidak signifikan.
Las (2008) menyatakan bahwa korelasi anomali curah hujan dengan anomali SST di banyak wilayah Indonesia lebih signifikan pada musim kemarau dibanding musim hujan. Pernyataan tersebut memperkuat hasil analisis yang juga menunjukkan anomali curah hujan pada musim kemarau cenderung lebih dipengaruhi oleh anomali SST di Nino-3.4 dibanding musim hujan. Menurut Hendon (2002), terjadinya korelasi yang lemah antara ENSO dengan curah hujan pada saat musim hujan diduga terkait dengan SST perairan Indonesia yang berubah tanda (anomali positif) selama peralihan dari musim kemarau ke musim hujan.
Tabel 9 Persentase luas wilayah sensitivitas anomali curah hujan terhadap anomali SST pada MK-2
Kabupaten Persentase luas wilayah (%) tidak
signifikan Sensitif
Sangat sensitif Selayar 100 0 0
Sinjai 17 38 45
Bulukumba 0 50 50 Bantaeng 16 72 12 Jeneponto 31 65 3
Gowa 26 72 2
Takalar 5 92 3 Makassar 0 100 0
Maros 0 100 0
Pangkep 0 100 0
Barru 0 81 19
Soppeng 0 96 4
Bone 0 49 51
Wajo 0 24 76
Pare 18 82 0
Sidrap 3 29 68
Enrekang 0 22 78
Luwu 14 31 56
Palopo 66 21 13
Tana Toraja 8 26 65 Luwu Utara 0 25 75 Luwu Timur 0 100 0
Pinrang 11 10 79
Kepulauan, Maros Gowa, Takalar, Jeneponto, Barru, Pinrang, Selayar dan Kota Makassar.
Apabila pengaruh El-Nino tersebut dikaitkan dengan pola hujan Sulawesi Selatan maka pengaruh El-Nino lebih kuat pada pola hujan monsunal. Hal ini kemungkinan terjadi karena wilayah yang bertipe monsunal, curah hujannya dipengaruhi oleh kondisi suhu permukaan laut di Samudera Pasifik. Sementara fenomena El-Nino dan monsun sendiri berlangsung di Samudera Pasifik. Sehingga dapat dikatakan bahwa fenomena El-Nino mempengaruhi pergerakan angin monsun.
Pengaruh anomali iklim global di lahan pertanian dapat mengacaukan pola tanam tanaman padi. Hasil studi Apriyatna et al (2010) menyatakan bahwa awal tanam pada wilayah yang dipengaruhi oleh fenomena ENSO umumnya lebih lambat dibandingkan dengan wilayah yang tidak dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Keterlambatan diakibatkan pasokan air yang terbatas karena penurunan curah hujan dibawah normal, sehingga awal tanam mengalami pergeseran dari waktu normalnya. Hal ini juga berdampak pada pergeseran waktu tanam berikutnya. Sementara, ketepatan pola tanam dan ketersediaan air sangat mempengaruhi kondisi tanaman pangan. karena ketidaktepatan pola tanam dapat mengakibatkan kekeringan tanaman pertanian.
Wilayah yang harus diwaspadai terhadap ancaman kekeringan yaitu wilayah yang memiliki sesitivitas tinggi apabila terjadi peningkatan SST terutama pada periode MK-2. Pada periode MK-2, curah hujan bulanan relatif lebih rendah dibandingkan dengan MH dan MK-1, sehingga apabila terjadi peningkatan SST di zona nino 3.4 maka curah hujan mengalami penurunan yang signifikan. Kemungkinan terjadinya kekeringan akan semakin besar jika tidak dilakukan tindakan pencegahan.
4.3 Wilayah Rawan Kekeringan Berdasarkan Aspek Hidrologis
Klasifikasi daerah rawan kekeringan berdasarkan aspek hidrologis dilihat dari kerapatan jaringan sungai dengan asumsi kondisi dan debit DAS yang sama. Klasifikasi digolongkan menjadi tiga wilayah yaitu tidak rawan, agak rawan dan rawan.
Sungai sebagai tempat penyimpanan air permukaan. sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan air. Ketersedian air yang mencukupi kebutuhan pertanian sangat
menguntungkan apabila lahan di wilayah tersebut dibuka menjadi lahan sawah.
Berdasarkan Gambar 11, wilayah dengan sungai yang lebih rapat cenderung memiliki karakteristik tidak rawan terhadap kekeringan. Wilayah tidak rawan dengan persentase luas lahan > 50 % terdapat di Kabupaten Sinjai, Bantaeng, Gowa, Takalar, Luwu, Luwu Utara. Pinrang, Kota Makassar dan Kota Palopo. Sementara untuk Kabupaten Bulukumba, Jeneponto, Pangkajene Kepulauan, Bone, Wajo Sidenreng Rappang, Enrekang dan Luwu Timur memiliki luas wilayah yang tidak rawan < 50 % dari total luas wilayah per kabupaten. Wilayah yang tergolong tidak rawan cenderung masih dapat bertahan walaupun memasuki periode musim kemarau dimana curah hujan lebih rendah dari normal. Karena ketersediaan air masih dapat diperoleh dari sungai. Wilayah ini merupakan wilayah yang ideal untuk pertumbuhan tanaman pertanian khususnya padi.
Wilayah yang memiliki sungai dengan kerapatan sedang tergolong dalam wilayah yang agak rawan kekeringan. Ketersediaan air tidak terlalu banyak berkurang ketika musim kemarau. Walaupun demikian wilayah ini berpotensi mengalami kekeringan apabila terjadi penurunan curah hujan yang ekstrim.Wilayah ini meliputi sebagian besar Kabupaten Bulukumba, Pangkajene Kepulauan, Barru, Soppeng dan Kota Pare-Pare dan sebagian kecil Kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Gowa, Maros, Bone, Wajo, Enrekang, Luwu dan Tana Toraja.
4.4 Wilayah Rawan Kekeringan Berdasarkan Aspek Agronomis
Klasifikasi tingkat kekeringan menurut aspek agronomis ditentukan dari jenis penggunaan lahan pertanian yang meliputi sawah irigasi. sawah tadah hujan dan tegalan. Sawah irigasi diklasifikasi lagi menjadi sawah irigasi teknis dan sederhana. Berdasarkan data
luasan peta penggunaan lahan pertanian dari hasil pengolahan di ArcGIS (Gambar 11), lahan yang mendominasi wilayah Sulawesi Selatan adalah lahan tegalan yaitu sebesar 1.128.344 ha. Sawah irigasi teknis seluas 588.384 ha, sawah irigasi setengah-teknis/sederhana seluas 282.854 ha dan tadah hujan seluas 269.567 ha.
Wilayah rawan kekeringan berdasarkan aspek agronomis dominan berada di bagian timur dan utara Suawesi Selatan. Wilayah yang lebih banyak memiliki lahan pertanian yang rawan kekeringan meliputi Kabupaten Selayar, Bone, Wajo, Pinrang, Enrekang, Tana Toraja, Pangkajene Kepulauan, Luwu Utara, Luwu Timur, Luwu, Kota Pare-Pare dan Kota Palopo.
Wilayah yang termasuk kategori agak rawan terhadap kekeringan meliputi sebagian besar Kabupaten Luwu Timur, Luwu dan Soppeng. Wilayah yang tidak rawan terhadap kekeringan menyebar di bagian timur, barat dan selatan Sulawesi Selatan.
4.5 Tingkat Rawan Kekeringan Berdasarkan Aspek Klimatologis. Hidrologis dan Agronomis
Bencana kekeringan yang berkepanjangan di lahan pertanian dapat menyebabkan penurunan produksi tanaman padi. Pada fenomena ENSO kuat kerugian akibat gagal panen mencapai lebih dari setengah luas tanam bahkan hampir seluruh lahan dapat mengalami puso. Luas lahan pertanian yang diperoleh dari peta jenis penggunaan lahan pertanian dengan menggunakan ArcGIS sebesar 2.269.339 ha.
Gambar 12 menunjukkan bahwa wilayah pertanian yang tidak rawan kekeringan pada periode MH didominasi oleh lahan sawah irigasi teknis dan beberapa lahan tegalan yang berada di area tidak rawan kekeringan pada aspek klimatologis dan hidrologis dimana ketersediaan air lebih banyak. Lahan pertanian yang tidak rawan terhadap kekeringan yaitu seluas 1.020.892 ha atau sekitar 45 % dari total luas lahan pertanian wilayah Sulawesi Selatan. Sehingga wilayah tidak rawan ini termasuk dalam Prioritas III dalam penanganan kekeringan. Wilayah ini menyebar dari bagian timur dan barat hingga ke utara Sulawesi Selatan meliputi Kabupaten Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng Rappang, Sinjai, Enrekang, Pinrang, Luwu dan Luwu Utara.
Luas lahan pertanian yang termasuk kategori Prioritas II (agak rawan terhadap kekeringan) sebesar 937.455 ha atau sekitar 42 % dari total luas lahan pertanian. Wilayah ini meliputi Kabupaten Bone, Wajo, Selayar, Takalar, Maros, Barru, Luwu, Tana Toraja. Enrekang Luwu Utara dan Luwu Timur. Sementara sisa luas lahan pertanian sebesar 296.906 ha atau sekitar 13 % termasuk dalam wilayah Prioritas I. Wilayah ini meliputi sebagian besar Kabupaten Pangkajene
Kepulauan, Maros, Jeneponto, Kota Makassar, Kota Pare-Pare dan Kota Palopo.
Beredasarkan sebaran spasial yang ditunjukkan oleh Gambar 12, lahan pertanian yang sangat rawan kekeringan lebih dominan di wilayah barat Sulawesi Selatan. Umumnya wilayah-wilayah ini merupakan wilayah yang rawan kekeringan dari aspek klimatologis.
Memasuki periode MK-1, sebaran tingkat rawan kekeringan tidak jauh berbeda dengan periode MH (Gambar 13). Wilayah tidak rawan kekeringan (Prioritas III) sebesar 1.260.809 ha (50%), wilayah agak rawan kekeringan (Prioritas II) sebesar 999.612 ha (39%) dan wilayah sangat rawan (Prioritas I) kekeringan sebesar 274.647 (11 %). Hal ini berkaitan dengan kesensitivitasan curah hujan dengan anomali SST seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tidak semua daerah pada musim hujan mendapatkan intensitas hujan yang sama dari kondisi normalnya. Adanya perubahan sirkulasi atmosfer dan lautan mempengaruhi curah hujan di zona-zona yang sensitif terhadap indikator tersebut. Apabila terjadi peningkatan anomali SST di Nino-3.4 dalam waktu yang relatif lama maka wilayah pertanian yang tergolong rawan terancam mengalami kekeringan. Apabila El-Nino diprediksikan terjadi, wilayah yang anomali curah hujannya dipengaruhi oleh anomali SST di Nino-3.4 harus diwaspadai karena berpotensi mengalami pergeseran musim. Antisipasi dilakukan pada wilayah-wilayah ini sehingga petani tidak mengalami kerugian yang besar.
selatan (Sinjai dan Bantaeng) dan bagian utara (Kota Palopo dan Luwu).
Pada periode MK-2, klasifikasi klimatologis menunjukan bahwa sebagian besar wilayah termasuk kategori sensitif, ditambah dengan curah hujan yang menurun hingga bawah normal. Air permukaan yang biasanya menjadi sumber utama pengairan bagi lahan pertanian, juga ikut berkurang. Tanaman pertanian yang sangat peka terhadap air, akan mencapai periode kritis apabila mencapai kondisi ini. Untuk menekan kerugian akibat gagal panen, disarankan untuk mengganti pola tanam atau mengganti jenis tanaman pertanian menjadi palawija yang berumur lebih pendek dan tahan terhadap kekeringan khususnya di lahan pertanian yang rawan akan kekeringan.
Prioritas utama penangan wilayah kekeringan tertuju pada wilayah yang sangat sensitif terutama pada MK-2 dan berada di zona rawan kekeringan dari aspek hidrologis. Curah hujan yang dapat berubah seiring dengan perubahan fenomena global dan kurangnya pasokan air permukaan menyebabkan lahan pertanian di wilayah ini sangat rawan terhadap bencana kekeringan.
Berdasarkan hasil pemetaan wilayah rawan kekeringan di lahan pertanian diperoleh bahwa wilayah yang selalu mengalami kekeringan setiap periode meliputi Kabupaten Tana Toraja, Kota Pare-Pare, Selayar, Pangkajene Kepulauan, Wajo, Jeneponto dan Luwu.
Kekeringan pada lahan pertanian dapat mengurangi produktivitas tanaman padi. Rata-rata luas terkena kekeringan pada tahun El-Nino meningkat hingga 65.234 ha. Sementara pada tahun normal luas terkena kekeringan hanya mencapai 8.322 ha (Ditjen Tanaman Pangan 2010).
IV.
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan aspek klimatologis, wilayah sangat rawan kekeringan dominan terjadi di wilayah barat dan selatan Sulawesi Selatan. Wilayah sangat rawan kekeringan lebih luas di periode 2 dibandingkan MH dan MK-1. Wilayah ini meliputi Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Maros Gowa, Takalar, Jeneponto, Barru, Pinrang, Selayar dan Kota Makassar.
Berdasarkan aspek hidrologis, wilayah rawan kekeringan menyebar berdasarkan
kerapatan jaringan sungainya. Wilayah tidak rawan kekeringan meliputi sebagian besar wilayah Kabupaten Sinjai, Bantaeng, Gowa, Takalar, Kota Makassar, Maros, Luwu, Kota Palopo, Tana Toraja, Luwu Utara dan Pinrang. Wilayah agak rawan kekeringan sebagian besar di Kabupaten Bulukumba, Pangkajene Kepulauan, Barru, Soppeng, Kota Pare-Pare. Wilayah sangat rawan kekeringan meliputi Kabupaten Selayar, Jeneponto, Bone, Wajo, Sidrap, Wajo, Enrekang dan Luwu Timur.
Berdasarkan aspek agronomis, wilayah rawan kekeringan umumnya terjadi pada lahan sawah non-irigasi seperti tadah hujan dan tegalan. Wilayah yang agak rawan meliputi wilayah irigasi non-teknis dan irigasi sederhana. Wilayah yang tidak rawan terhadap kekeringan di dominasi oleh sawah irigasi teknis khususnya yang memiliki musim tanam hingga dua kali.
Wilayah prioritas penanganan kekeringan di lahan pertanian yang utama ditujukan pada wilayah Prioritas I. Pada periode MH dan MK-1, wilayah ini meliputi Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Maros, Jeneponto, Kota Makassar, Kota Pare-Pare dan Kota Palopo. Pada periode MK-1, wilayah Prioritas I meliputi Pangkajene Kepulauan, Kota Pare-Pare, Pinrang, Enrekang, Bone, Wajo, dan Sidrap, Luwu, Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur, Jeneponto dan Selayar. Berdasarkan kombinasi dari ketiga aspek. wilayah Prioritas I pada periode MH dan MK-1 dominan berada di bagian barat dan selatan Sulawesi Selatan. Sementara pada MK-2, lahan pertanian dominan termasuk dalam kategori Prioritas I.
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Apriyanti D. 2010. Analisis sebaran indeks palmer di Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah [skripsi]. Bogor :Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Apriyatna Y, E. Purwandhini, Y. Koesmaryono dan I. Las. 2010. Dampak variabilitas iklim terhadap dinamika awal musim tanam padi di dua sentra produksi beras Jawa Barat.
Jurnal Tanah dan Iklim No 31:67-80.
[Bakosurtanal]. Badan Konservasi Survei dan Pemetaan Nasional `Peta Provinsi
Sulawesi Selatan. http://www.bakosurtanal.go.id/bakosur
tanal/peta-provinsi/. [14 April 2011]
[BPS] Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. 2009. Sulawesi Selatan dalam angka 2008. Badan Pusat Statistik Makassar. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2010.
Data Luas Terkena Kekeringan Sulawesi. Jakarta.
[Dephut]. Departemen Kehutanan. 2006. Peta Jaringan Sungai. Jakarta.
Estiningtyas W., F. Ramadhani dan E. Aldrian. Analisis korelasi curah hujan dan suhu permukaan laut wilayah Indonesi, serta implikasinya untuk prakiraan curah hujan (studi kasus Kabupaten Cilacap). 2007. Jurnal
Agromet Indonesia Vol. XXI
No.02:47-61.
Hendon H.H. 2002. Indonesian Rainfall Variability: Impacts of ENSO and
Local Air-Sea Interaction.
NOAA-CIRES Climate Diagnostics Center. Boulder. Colorado.
Hermawan E. K. Komalaningsih. 2008. Karakteristik indian ocean dipole mode di samudera hindia hubungannya dengan perilaku curah hujan di kawasan sumatera barat berbasis analisis mother wavelet. Jurnal Sains Dirgantara Vol. 5 No.2. Jakarta
Irianto G. 2002. El-Nino 2002. Karakterisasi Dampak, Peramalan dan Antisipasinya. Sinar Tani
Kodoatie R.J, R Sjarief. 2008. Pengelolaan
Sumber Daya Air Terpadu.
Yogyakarta:ANDI.
Las I. 2008. Menyiasati Fenomena Anomali Iklim Bagi Pemantapan Produksi Padi Nasional Pada Era Revolusi Hijau Lestari. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
[NOAA]. The National Oceanic and Atmospheric Administration. 2011.
Sea Surface Temperature (SST).
http://www.ncdc.noaa.gov/teleconnecti
ons/enso/indicators/sst.php. [12 Desember 2011]
________. Sea Surface Temperature
Anomaly. 2011.
http://www.esrl.noaa.gov/psd/map/ima ges/sst/sst.anom.gif. [12 Desember 2011]
Pramudia A. 2008. Deliniasi Wilayah Rawan Kekeringan Pulau Jawa. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Departemen Pertanian. Bogor.
Surmaini E. G. Irianto. 2002. Karakterisasi dampak el-nino terhadap curah hujan dan pergeseran musim serta implikasinya terhadap pola dan masa tanam tanaman pangan (studi kasus di Sulawesi Selatan). Jurnal Agromet
Lampiran 1 Peta distribusi stasiun hujan Provinsi Sulawesi Selatan
24
Lampiran 2 Curah hujan bulanan tiap stasiun Provinsi Sulawesi Selatan. sebagai contoh tahun 1980
No Stasiun Kabupaten Y X CH Bulanan Tahun 1980
jan feb mar apr may jun jul aug sep oct nov dec
1 Batu bessi
Barru
-4.41 119.64 * * * * * * * * * * * *
2 Sumpang Binangae -4.40 119.61 405 335 382 203 172 39 0 80 56 34 195 1023
3 Lanrae -4.20 119.66 321 281 241 243 81 65 37 51 132 56 115 879
4 Manuba -4.26 119.63 336 183 130 252 91 40 0 0 100 25 147 653
5 Mareppang -4.19 119.66 443 286 304 328 100 111 46 0 149 74 108 994
6 Palanro -4.17 119.65 248 304 265 452 84 64 39 22 199 75 61 0
7 Ralla -4.54 119.70 313 465 440 212 72 39 24 13 38 102 236 1112
8 DAS Sikappa -4.41 119.63 * * * * * * * * * * * *
9 Taneteriaja -4.60 119.69 * * * * * * * * * * * *
10 Awangpone
Bone
-4.46 120.35 * * * * * * * * * * * *
11 Jaling -4.45 120.26 209 126 84 365 355 257 65 70 0 0 22 193
12 Unra -4.54 120.30 157 109 85 374 300 56 76 89 0 0 28 170
13 Alebone -4.63 120.25 * * * * * * * * * * * *
14 BKI Ale -4.62 120.35 104 179 86 275 449 268 65 68 21 0 55 *
15 Cellu -4.55 120.36 95 164 55 276 775 246 187 85 20 25 86 107
16 Maccope Bone -4.49 120.29 43 85 72 338 482 222 63 90 14 23 45 170
17 Mateko -4.62 120.33 * * * * * * * * * * * *
18 Talunggeng -4.59 120.31 96 190 109 401 0 220 229 92 9 12 32 159
19 Walenna -4.53 120.32 * * * * * * * * * * * *
20 Wolangi -4.60 120.24 * * * * * * * * * * * *
21 Katumpi -4.52 120.21 123 157 98 420 615 316 159 101 11 5 41 243
22 Lanca -4.37 120.24 * * * * * * * * * * * *
23 Waeputange -4.41 120.11 * * * * * * * * * * * *
24 Unyi -4.33 120.22 46 16 115 406 368 155 58 164 9 85 30 142
25 Maradda -4.97 120.28 87 94 13 421 322 228 53 76 0 68 45 182
26 Palakka -4.92 120.09 114 128 45 457 413 226 70 106 2 21 18 199
27 Palattae -4.97 120.12 57 163 156 445 510 398 67 115 0 3 2 133
25
29 Bengo -4.61 120.04 127 112 107 287 427 94 196 83 0 12 32 168
30 DAS Lagusi -4.78 120.27 * * * * * * * * * * * *
31 Manere -4.99 120.28 * * * * * * * * * * * *
32 Biru -4.57 120.31 100 215 100 277 555 167 177 75 0 0 30 135
33 Walera -4.53 120.33 110 129 45 454 484 261 107 156 1 36 20 109
34 Bulo-Bulo
Bukukumba
-5.38 120.15 0 265 300 224 636 360 0 0 0 0 121 334
35 Batukaropa -5.44 120.20 222 184 127 200 275 0 0 0 0 0 0 0
36 Kajang -5.36 120.37 0 0 0 0 234 0 0 0 0 0 0 0
37 Tanah Kongkong -5.56 120.17 67 0 0 183 210 0 0 0 0 0 0 0
38 Belajen
Enrekang
-3.27 119.81 0 0 49 226 75 203 23 46 60 55 74 85
39 Baraka -3.43 119.85 119 50 72 344 144 352 13 112 9 120 75 87
40 Enrekang -3.50 119.75 176 173 147 530 241 207 5 18 5 92 178 259
41 Talangriaja -3.48 119.97 * * * * * * * * * * * *
42 Salokarajae -3.78 119.85 113 103 41 337 182 223 38 120 21 77 0 85
43 mengkoengko
Gowa
-5.36 119.44 86 104 101 689 597 367 3 87 0 58 43 178
44 mandalle -5.27 119.40 992 719 359 154 4 23 0 0 0 0 49 1020
45 Kalabajeng -5.32 119.43 672 557 433 226 36 9 9 0 0 0 67 849
46 Borong Loe -5.25 119.49 729 492 356 169 102 7 0 3 3 110 108 678
47 Intake Bilibili -5.28 119.58 764 703 369 325 70 0 0 15 0 0 382 790
48 Parangparang -5.68 119.75 992 719 359 154 4 23 0 0 0 0 49 1020
49 Lebong -5.56 119.83 * * * * * * * * * * * *
50 mangempang -5.54 119.86 * * * * * * * * * * * *
51 pallekoang talue -5.53 119.84 * * * * * * * * * * * *
52 Kampili -5.28 119.51 674 417 330 86 50 0 0 11 14 58 175 614
53 Malino -5.26 119.83 969 1462 1085 868 488 129 32 12 0 252 610 1129
54 Pattalasang -5.23 119.55 * * * * * * * * * * * *
55 Bonto-bontoa -5.19 119.46 * * * * * * * * * * * *
56 Malakaji -5.44 119.83 330 448 207 281 198 30 2 3 0 107 282 391
57 Bend Jeneponto
Jeneponto
-5.34 119.
49000 201 402 147 94 255 63 0 21 0 14 116 263
58 Bulo-Bulo -5.69 119.80 90 77 9 21 56 59 5 0 0 7 1 65
26
60 Topa -5.53 119.53 388 532 143 192 92 0 0 0 0 21 126 422
61 Gantinga -5.60 119.78 422 415 25 85 91 43 0 0 0 8 7 88
62 Taman Roya -5.64 119.67 146 99 19 13 4 7 0 0 0 4 10 29
63 Paitana -5.58 119.78 307 398 73 154 152 46 0 0 0 0 82 205
64 Bonelemo
Luwu
-3.32 120.18 * * * * * * * * * * * *
65 Seppong -3.35 120.37 0 0 0 0 0 0 0 0 13 269 68 329
66 Lamasi -2.82 120.17 153 134 153 411 206 210 185 127 29 214 189 115
67 Larompong -3.53 120.37 0 0 0 0 0 0 0 35 14 26 40 117
68 Bikeru -4.61 120.10 233 183 184 418 702 437 77 115 0 1 13 352
69 Pembasian -2.61 120.55 * * 50 277 119 187 197 43 27 70 50 43
70 DAS Noling -3.30 120.23 * * * * * * * * * * * *
71 Padang Sappa -3.24 120.32 49 36 26 156 78 127 6 50 18 28 19 35
72 Batusitanduk -2.85 120.10 * * * * * * * * * * * *
73 Rante Damai -2.85 120.21 325 109 146 415 450 180 0 18 40 175 100 255
74 Malili
Luwu Timur -2.64 120.14 0 0 0 0 0 0 221 117 20 0 0 0
75 Wonorejo -2.42 120.85 269 299 259 445 165 254 299 104 14 74 101 213
76 Banyuurip
Luwu Utara
-2.06 120.52 0 0 81 287 232 119 0 44 23 60 31 44
77 Bone-Bone -2.56 120.53 160 196 414 391 108 213 282 169 179 117 58 149
78 Sidobinangun -2.62 120.59 * * * * * * * * * * * *
79 Sidomakmur -2.62 120.56 108 65 45 184 133 45 44 39 23 46 28 33
80 Baliase -2.46 120.34 398 84 130 277 133 286 61 185 93 128 107 79
81 Masamba -2.43 120.34 * * * * * * * * * * * *
82 Kaluku -2.52 120.47 * * * * * * * * * * * *
83 Sukamaju -2.55 120.48 497 136 102 70 94 83 119 34 34 22 24 29
84 Mulyorejo -2.63 120.48 35 72 43 71 82 112 121 40 57 22 32 36
85 Barombong
Makassar
-5.22 119.40 * * * * * * * * * * * *
86 Panaikang -5.13 119.46 * * * * * * * * * * * *
87 Panakkukang -5.15 119.44 765 612 430 217 52 46 0 1 0 23 163 745
88 Batubassi
Maros
-5.02 119.66 805 749 556 274 211 9 25 34 0 268 178 673
89 Bontibonti -4.99 119.62 670 653 409 268 132 3 1 40 17 109 300 792
90 Minasa Baji -5.01 119.64 * * * * * * * * * * * *
27
92 Camba -4.93 119.83 284 333 287 112 111 72 10 21 0 44 125 511
93 Hasanuddin -5.06 119.54 889 650 458 267 182 82 4 0 26 31 201 583
94 Manrimisi -4.97 119.53 606 568 384 186 25 3 0 18 28 28 79 568
95 Maroangin -4.97 119.58 * * * * * * * * * * * *
96 Maros -5.00 119.54 715.8 639.8 445 247 113.4 12 8 4 1 186 197.4 585.4
97 Puca -5.15 119.67 * * * * * * * * * * * *
98 Panyalingan -4.95 119.56 660 546 441 184 76 25 0 15 0 87 207 712
99 Salojirang -5.02 119.62 595 643 474 162 37 6 1 11 0 145 158 761
100 Balleangin
Pangkajene Kepulauan
-4.91 119.72 0 581 494 399 0 95 0 21 14 95 383 0
101 Leang Lonrong -4.88 119.60 670 710 465 165 75 15 20 15 6 96 270 792
102 Tabotabo -4.80 119.63 273 89 105 66 24 9 0 24 0 112 409 964
103 Ma'rang -4.68 119.60 514 548 445 232 48 0 15 17 100 34 179 869
104 Segeri -4.65 119.62 498 744 652 314 151 60 20 35 10 68 315 892
105 Labukkang
Pare-Pare -4.02 119.63 379 261 183 390 77 166 3 13 10 106 35 616
106 Sawitto -3.78 119.66 126 91 113 356 100 140 0 0 0 137 116 242
107 Kaballangan
Pinrang
-3.69 119.60 * * * * * * * * * * * *
108 Patommo Kaliang -3.71 119.51 * * * * * * * * * * * *
109 Benteng -3.69 119.68 * * * * * * * * * * * *
110 Langa -3.84 119.53 * * * * * * * * * * * *
111 Manarang -3.84 119.64 * * * * * * * * * * * *
112 Tiroang -3.78 119.72 107 213 66 296 137 245 3 28 45 56 55 0
113 Baranti
Sidenreng Rappang
-3.85 119.78 * * * * * * * * * * * *
114 Tanrutedong -3.90 120.02 112 64 53 337 449 207 36 91 0 245 107 107
115 Bila Riase -3.68 119.83 * * * * * * * * * * * *
116 Allakuang -3.96 119.79 * * * * * * * * * * * *
117 Bulutimorang -3.83 119.84 193 155 77 363 246 244 17 80 83 98 69 161
118 Lajonga -4.05 119.86 * * * * * * * * * * * *
119 Barukku -3.77 120.05 119 56 72 344 144 352 13 112 9 120 75 87
120 Lainungan -3.95 119.70 * * * * * * * * * * * *
121 Lawawoi -3.91 119.71 * * * * * * * * * * * *
122 Pariangan
Selayar -6.32 120.51 114 102 144 239 236 36 7 0 0 29 95 280
28
124 Bontosunggu -6.18 120.48 * * * * * * * * * * * *
125 Manipi
Sinjai
-3.09 119.61 7 47 48 133 0 410 4 15 0 8 0 0
126 Arango -5.25 120.28 * * * * * * * * * * * *
127 Aparang III -5.13 120.15 * * * * * * * * * * * *
128 Aparang II -5.13 120.17 * * * * * * * * * * * *
129 Aska -5.21 120.22 * * * * * * * * * * * *
130 Pasir Putih -5.34 120.07 280 222 203 388 565 396 29 15 0 0 0 0
131 Biringere -5.14 120.23 * * * * * * * * * * * *
132 Panaikang -5.19 120.27 124 226 107 90 205 161 3 0 0 4 21 84
133 UGI
Wajo
-4.19 119.99 * * * * * * * * * * * *
134 Paneli -4.26 120.67 430 335 383 203 172 63 0 80 56 34 195 875
135 Dua Limpu -3.98 120.07 * * * * * * * * * * * *
136 Anabanua -3.97 120.08 0 0 0 0 0 0 0 15 25 48 149 117
137 Keera -3.88 120.35 * * * * * * * * * * * *
138 Peneki -4.14 120.27 69 74 104 475 326 163 22 90 0 19 75 178
139 Sakkoli -3.94 120.22 21 83 156 481 619 340 111 259 3 59 70 162
140 Umpungenge
Soppeng
-4.46 119.81 * * * * * * * * * * * *
141 Attang Salo -4.16 119.90 * * * * * * * * * * * *
142 Latappareng -4.14 119.88 79 168 145 340 291 133 3 47 3 22 13 326
143 Galung -4.37 119.94 * * * * * * * * * * * *
144 Pajalesang -4.34 119.96 112 70 118 386 201 103 41 36 0 0 66 237
145 Malanroe -3.33 119.86 84 92 99 320 392 88 8 59 0 89 103 265
146 PG
Takalar
-5.40 119.53 * * * * * * * * * * * *
147 Pangala -2.85 119.78 * * * * * * * * * * * *
148 Salubarani -3.27 119.86 * * * * * * * * * * * *
149 Pattalasang -5.44 119.43 685 0 262 123 18 2 0 11 0 0 59 599
150 Bontomanai -5.52 119.48 * * * * * * * * * * * *
151 Batunepara -5.46 119.47 * * * * * * * * * * * *
152 Bonto Kassi -5.38 119.37 711 369 359 174 31 0 0 0 0 0 30 573
153 Galesong -5.35 119.36 * * * * * * * * * * * *
154 Palleko -5.36 119.48 774 430 321 174 4 3 0 0 0 12 90 573
29
156 Jenemarung -5.48 119.52 458 343 159 185 45 0 0 12 0 0 242 345
157 Cakura -5.45 119.53 608 558 178 238 31 46 0 0 0 0 204 413
158 Bajeng -5.38 119.44 682 502 297 204 53 22 0 0 4 0 133 725
Keterangan:
Lampiran 3 Anomali suhu permukaan laut bulanan di zona nino 3.4
Tahun
Anomali SST NINO 3.4
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
1979 -0.07 -0.03 0.38 0.1 -0.04 0.11 -0.38 -0.13 0.78 0.18 0.23 0.47
1980 0.56 0.46 0.06 0.08 0.11 0.47 0.1 -0.23 -0.12 -0.18 -0.05 0.34
1981 -0.46 -0.56 -0.3 -0.5 -0.39 -0.24 -0.57 -0.81 -0.15 0.11 -0.24 0.01
1982 0.15 -0.02 -0.02 0.24 0.69 1.1 0.88 1.11 1.39 1.95 2.16 2.64
1983 2.79 2.41 1.81 1.13 1.04 0.59 -0.15 -0.29 -0.28 -0.82 -1.07 -0.98
1984 -0.93 -0.33 -0.36 -0.39 -0.46 -0.79 -0.48 -0.48 -0.29 -0.76 -1.24 -1.57
1985 -1.14 -1.05 -0.99 -0.98 -0.74 -0.79 -0.53 -0.32 -0.47 -0.5 -0.46 -0.46
1986 -0.78 -0.78 -0.57 -0.34 -0.35 0.04 0.15 0.33 0.61 0.88 1.08 1.13
1987 1.34 1.3 1.25 1.02 0.9 1.38 1.58 1.76 1.67 1.38 1.34 1.03
1988 0.75 0.5 0.09 -0.46 -1.37 -1.54 -1.65 -1.58 -1.29 -2.07 -2.38 -2.24
1989 -2.04 -1.39 -1.32 -1.09 -0.76 -0.67 -0.48 -0.49 -0.47 -0.43 -0.41 -0.19
1990 -0.02 0.23 0.24 0.24 0.21 -0.07 0.03 0.23 0.03 0.29 0.07 0.34
1991 0.44 0.21 0.03 0.2 0.5 0.71 0.7 0.62 0.35 0.94 1.21 1.8
1992 1.84 1.91 1.61 1.36 1.14 0.37 0.31 -0.18 -0.24 -0.35 -0.14 0.16
1993 0.12 0.25 0.44 0.81 0.97 0.63 0.33 0.02 0.2 0.24 0.26 0.19
1994 0.03 -0.13 0.05 0.12 0.19 0.34 0.13 0.53 0.28 0.8 1.22 1.3
1995 0.98 0.73 0.41 0.15 -0.12 -0.06 -0.21 -0.49 -0.76 -1.02 -0.99 -1
1996 -0.83 -0.87 -0.6 -0.42 -0.48 -0.33 -0.13 -0.26 -0.37 -0.45 -0.46 -0.55
1997 -0.61 -0.36 -0.19 0.25 0.75 1.29 1.7 2.02 2.21 2.54 2.67 2.69
1998 2.53 2.14 1.45 0.78 0.62 -0.93 -1.28 -1.33 -1.11 -1.35 -1.47 -1.78
1999 -1.67 -1.31 -0.97 -0.94 -0.88 -1.05 -0.87 -1.23 -1.01 -1.05 -1.53 -1.67
2000 -1.92 -1.53 -1.14 -0.77 -0.73 -0.62 -0.5 -0.37 -0.51 -0.73 -0.87 -0.98
2001 -0.83 -0.61 -0.38 -0.26 -0.25 0.03 0.1 0.05 -0.17 -0.1 -0.2 -0.4
2002 -0.07 0.23 0.1 0.16 0.3 0.78 0.76 0.97 1.11 1.36 1.62 1.52
2003 1.19 0.77 0.59 0.03 -0.48 -0.17 0.21 0.03 0.24 0.5 0.4 0.32
2004 0.17 0.14 -0.12 0.06 0.21 0.11 0.47 0.72 0.75 0.69 0.66 0.74
2005 0.53 0.24 0.33 0.29 0.35 0.4 0.25 0.06 -0.09 0.06 -0.31 -0.68
2006 -0.93 -0.64 -0.65 -0.19 0.06 0.2 0.13 0.4 0.62 0.78 1.08 1.19
2007 0.69 0.09 -0.04 0 -0.28 -0.1 -0.43 -0.62 -0.95 -1.47 -1.59 -1.6
2008 -1.86 -1.89 -1.15 -0.95 -0.67 -0.48 -0.03 0.03 -0.28 -0.36 -0.35 -0.83
2009 -1.03 -0.68 -0.55 -0.27 0.18 0.47 0.72 0.71 0.75 0.94 1.54 1.72
2010 1.5 1.22 1.08 0.59 -0.17 -0.65 -1.13 -1.32 -1.65 -1.68 -1.58 -1.62
2011 -1.64 -1.27 -0.98 -0.76 -0.45
Lampiran 4 Hasil analisis regresi antara anomali curah hujan bulanan terhadap anomali suhu permukaan laut di zona nino 3.4
Welcome to Minitab. press F1 for help.
MTB > WSave "D:\Bahan TA\Minitab Data Sulsel\bonebone.MTW"; SUBC> Replace.
Saving file as: 'D:\Bahan TA\Minitab Data Sulsel\bonebone.MTW' MTB > Execute "D:\Bahan TA\regresi_sst-.txt" 1.
Executing from file: D:\Bahan TA\regresi_sst-.txt Simpan Bulan di C1. AnoST34 di C2. dan CH di C3
Scatterplot of AnoCH_MH vs AnoST34_MH
'Masukkan nilai batas AnoCH untuk pembobotan pada AnoST34 MH' DATA> 1.5
Regression Analysis: AnoCH_MH versus AnoST34_MH
Weighted analysis using weights in C7
The regression equation is
AnoCH_MH = - 34.8 - 5.47 AnoST34_MH
102 cases used. 14 cases contain missing values or had zero weight
Predictor Coef SE Coef T P Constant -34.78 10.80 -3.22 0.002 AnoST34_MH -5.472 9.319 -0.59 0.558
S = 10.4287 R-Sq = 0.3% R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P Regression 1 37.5 37.5 0.34 0.558 Residual Error 100 10875.7 108.8 Total 101 10913.2
Unusual Observations
Obs AnoST34_MH AnoCH_MH Fit SE Fit Residual St Resid 2 -0.03 221.20 -34.61 10.83 255.81 2.35R
14 -0.02 185.20 -34.67 10.82 219.87 2.02R 16 2.64 -57.80 -49.22 26.11 -8.58 -0.08 X 17 2.79 34.20 -50.04 27.39 84.24 0.82 X 75 2.67 -157.80 -49.39 26.36 -108.41 -1.06 X 76 2.69 -31.80 -49.50 26.53 17.70 0.17 X 78 2.14 199.20 -46.49 21.95 245.69 2.37R 93 -0.07 207.20 -34.40 10.87 241.59 2.22R 108 -0.68 283.20 -31.06 12.93 314.26 2.90R
R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
Correlations: AnoCH_MH. AnoST34_MH
Pearson correlation of AnoCH_MH and AnoST34_MH = -0.058 P-Value = 0.563
Scatterplot of AnoCH_MK1 vs AnoST34_MK1
'Masukkan nilai batas AnoCH untuk pembobotan pada AnoST34 MK1' DATA> 0.8
Regression Analysis: AnoCH_MK1 versus AnoST34_MK1
Weighted analysis using weights in C8
The regression equation is
AnoCH_MK1 = 72.6 + 7.6 AnoST34_MK1
104 cases used. 12 cases contain missing values or had zero weight