EVALUASI STATUS HARA KALIUM PADA TANAH SAWAH DI PULAU JAWA
HENI HARIYANI A14080008
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
HENI HARIYANI. Evaluasi Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa. Dibawah bimbingan ARIEF HARTONO dan SYAIFUL ANWAR.
Tahun 1975 diketahui status hara kalium (K) tanah sawah di Pulau Jawa berkisar dari rendah sampai tinggi (pengekstrak 25% HCl). Pusat Penelitian Tanah pada tahun 2000 melaporkan sebagian besar lahan sawah di 18 provinsi di Indonesia berstatus K tinggi (pengekstrak 25% HCl) dan sebagian besar berada di Pulau Jawa. Sofyan et al. ( 2004) menyatakan lahan sawah berstatus K tinggi diakibatkan oleh pemupukan K yang dilakukan secara terus-menerus. Pemupukan K yang dilakukan secara terus-menerus menyebabkan ketidakseimbangan hara tanah yang disinyalir mengakibatkan terjadinya leveling off padi sawah. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap status hara K tanah sawah di Pulau Jawa guna meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan menjaga hasil padi sawah tetap tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi status hara K-dapat dipertukarkan pada tanah sawah di Pulau Jawa dengan pengekstrak 1 M NH4OAc
pH 7 serta menganalisa K-tidak dapat dipertukarkan, dan K-total. Selain itu untuk mengetahui perbedaan lokasi dan jenis tanah terhadap dapat dipertukarkan, K-tidak dapat dipertukarkan, dan K-total. Sebanyak 23 contoh tanah sawah diambil di Pulau Jawa yang terdiri dari 7 contoh tanah sawah dari Jawa Barat, 11 contoh tanah sawah dari Jawa Tengah, dan 5 contoh tanah sawah dari Jawa Timur.
Hasil menunjukkan bahwa Status hara K dapat dipertukarkan pada tanah sawah di Pulau Jawa di 23 lokasi contoh yang diambil bervariasi mulai dari rendah hingga tinggi. Menurut kriteria Puslittanak (1992), dari 23 lokasi contoh yang diambil terdapat 9 lokasi berstatus Kdd rendah, 8 lokasi berstatus Kdd sedang,
dan 6 lokasi berstatus Kdd tinggi. Di Jawa Barat dari 7 lokasi terdapat 2 lokasi
berstatus Kdd rendah, 3 lokasi berstatus Kdd sedang, dan 2 lokasi berstatus Kdd
tinggi. Di Jawa Tengah dari 11 lokasi terdapat 4 lokasi berstatus Kdd rendah, 4
lokasi berstatus Kdd sedang, dan 3 lokasi berstatus Kdd tinggi. Di Jawa Timur dari
5 lokasi terdapat 3 lokasi berstatus Kdd rendah, 1 lokasi berstatus Kdd sedang, dan
1 lokasi berstatus Kdd tinggi. Berdasarkan nilai rata-rata pada setiap provinsi, Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berstatus Kdd sedang. Pada setiap lokasi dan
jenis tanah tidak berbeda nyata terhadap kadar Kdd, Ktdd, dan Kt. Jawa Tengah
memiliki kadar rata-rata Kdd dan Ktdd tertinggi. Jawa Barat memiliki kadar Kt
tertinggi. Jawa Timur memiliki kadar Kdd, Ktdd, dan Kt terendah. Inceptisols
memiliki kadar Kdd dan Kt tertinggi sementara Vertisols memiliki kadar Ktdd
tertinggi sedangkan Ultisols memiliki kadar Kdd, Ktdd, dan Kt terendah.
Pemupukan K di Pulau Jawa bervariasi yang dapat dilihat dari standar deviasinya yang tinggi pada hasil analisis Kdd, Ktdd, dan Kt. Hasil menunjukkan bahwa kadar
K-dapat dipertukarkan, K-tidak dapat dipertukarkan, dan K-total relatif sangat bervariasi untuk itu manajemen pemupukan K yang berbeda pada setiap provinsi harus diimplementasikan.
SUMMARY
HENI HARIYANI. Evaluation of Potassium Status on Paddy Field in Java Island. Supervised by ARIEF HARTONO and SYAIFUL ANWAR.
It was reported in 1975 by Research Centre for Soil and Agroclimate that the content of potassium (K) determined by HCl 25 % on paddy field in Java island ranged from low to high. Another report published in 2000 by above institution showed that most of paddy field in eighteen (18) provinces in Indonesia contained K in high status determined by HCl 25%, and most of them were located in Java island. The high content of K in paddy field especially in Java Island was due to application of K fertilizer in long periode. This long periode of K fertilizer application was supposed to cause unbalance soil nutrients status. The latter was one of the factors causing the leveling off in rice production. Therefore it is necessary to reevaluate the status of K in Java island to have good management and to maintain high rice production.
The objectives of this research were to evaluate exchangeable K status on paddy field in Java island determined by 1 N NH4OAc pH 7, non exchangeable K
and total K. Moreover the effect of location and soil order to the amount of exchangeable K, non exchangeable K and total K were also evaluated. Soil samples amounted to 23 samples from paddy field in Java island were collected. It consisted of 7 samples from West Java, 11 samples from Central Java and 5 samples from East java. Those soil samples were analysed for exchangeable K, non exchangeable K and total K.
this research revealed that non exchangeable K ranged from low to high so the different K fertilization management among the provinces should be implemented.
EVALUASI STATUS HARA KALIUM PADA TANAH SAWAH DI PULAU JAWA
HENI HARIYANI A14080008
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi : Evaluasi Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa Nama : Heni Hariyani
NIM : A14080008
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Lahan
Disetujui, Pembimbing I
Dr. Ir. Arief Hartono, M.Sc. Agr. NIP. 19680628 199303 1 012
Pembimbing II
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 19621113 198703 1 003
Diketahui,
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 19621113 198703 1 003
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang Selatan, Banten pada tanggal 28 November 1989 dari ayah Naumar dan ibu Mariyam. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri Pamulang II, Tangerang Selatan dan lulus pada tahun 2002, dilanjutkan ke MTsN II Pamulang, Tangerang Selatan dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMA Muhammadiyah 25 Setiabudi Pamulang, Tangerang Selatan dan lulus pada tahun 2008, kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang senantiasa dilimpahkan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian yang diambil adalah Evaluasi Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Arief Hartono, M.Sc. Agr dan Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc selaku dosen pembimbing yang tanpa lelah dan penuh kesabaran membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Mama, kakak-kakak tersayang (Mukti, Ahmad Fauzi, Tika dan Sri) dan Adik tercinta (Intan Kusumawati) serta keluarga besar atas doa, semangat, dan cinta yang selalu diberikan. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan selama penelitian (Adelia dan Tunggul) serta teman-teman Pondok Putri Perwira 49 khususnya Putri Jayanti. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Imam Ganesha Rizkiyadi atas waktu, perhatian, dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis serta kepada teman-teman seangkatan MSL 45 yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (Faperta IPB).
Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2012
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL……….……... x
DAFTAR GAMBAR………..…... xi
I. PENDAHULUAN……….…... 1
1.1. Latar Belakang………... 1
1.2. Tujuan………... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA………... 3
2.1. Peranan Kalium Terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi Sawah……... 3
2.2. Fraksi-fraksi Kalium dalam Tanah………... 3
2.3. Sumber Kalium Tanah……….. 6
2.4. Tanah Sawah………... 6
III. BAHAN DAN METODE………....… 8
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian………... 8
3.2. Bahan dan Alat………... 8
3.3. Metode Penelitian………... 8
3.3.1. Tahap Persiapan………... 8
3.3.2. Pengambilan Contoh Tanah………... 9
3.3.3. Analisis Contoh Tanah………... 10
3.3.4. Pengolahan Data dan Penentuan Kelas Status Hara Kalium Tanah… 12 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………..…... 13
4.1. Karakteristik Tanah Sawah di Pulau Jawa………..…... 13
4.2. Hasil Analisis Fraksi-fraksi Kalium Tanah Sawah di Pulau Jawa…...…... 16
4.2.1. K-dapat Dipertukarkan………... 16
4.2.2. K-tidak Dapat Dipertukarkan………...…….. 18
4.2.3. K-total………... 20
4.2.4. Perbedaan Kadar Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Lokasi…………... 22
4.3. Status Hara Kalium………...………... 22
4.4. Hubungan Jenis Tanah dengan Ketersediaan Kalium…...………... 24
V. KESIMPULAN DAN SARAN………...……… 28
5.1. Kesimpulan………... 28
5.2. Saran………. 28
DAFTAR PUSTAKA………..…... 30
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman 1. Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau Jawa Beserta
Jenis Tanahnya………...……….. 10 2. Kriteria Kelas Status Hara Kalium Tanah Sawah (Puslittanak 1992
dan FDALR 2004)………... 12 3. Hasil Analisis Pendahuluan Tanah Sawah di Pulau Jawa………….... 14 4. Hasil Analisis Kdd Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa……….. 18
5. Hasil Analisis Ktdd Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa……….. 20
6. Hasil Analisis Kt Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa……… 21
7. Perbedaan Kadar Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Lokasi (n = 23)…….. 22
8. Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa……… 23 9. Perbedaan Kadar Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Jenis Tanah (n =
23)………. 27
Lampiran 1. Titik Koordinat Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau
Jawa……….. 34 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Berdasarkan Balai Penelitian
Tanah (2009)………. 35 3. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kdd Pada Setiap Lokasi…….. 35
4. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Ktdd Pada Setiap Lokasi……. 35
5. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kt Pada Setiap Lokasi……… 36
6. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kdd Pada Setiap Jenis
Tanah……… 36 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Ktdd Pada Setiap Jenis
Tanah……… 36 8. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kt Pada Setiap Jenis
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman 1. Bagan Perbandingan Relatif dari Kalium yang Tidak, Segera, dan
Lambat Tersedia (Sumber: Brady 1990)………. 4 2. Keseimbangan Dinamik Antar Fraksi-fraksi Kalium Tanah (Sumber:
Kirkman et al. 1994)……….………... 4 3. Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau Jawa dan
Distribusinya………..…...……….. 9 4. Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Jenis Tanah……….……….. 26
Lampiran
1. Peta Tanah Pulau Jawa Skala 1:1.000.000 (Sumber: BSDLP, Departemen Pertanian, Indonesia)……….…………. 38 2. Sebaran Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa
(Puslittanak 1992)……….…….. 39 3. Sebaran Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemupukan kalium (K) memegang peranan penting dalam meningkatkan produksi pertanian disamping pupuk nitrogen (N) dan fosfor (P). Pemupukan K di Indonesia mulai berkembang pesat sejak dicanangkannya Program Bimbingan Massal (BIMAS) oleh pemerintah sekitar tahun 60-an yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian. Umumnya penggunaan pupuk tersebut belum didasarkan pada potensi atau status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Sementara tanggap tanaman terhadap pemupukan K berbeda, tergantung status K di dalam tanah dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyerapannya di sawah (Barus dan Andarias 2007).
Tahun 1975 diketahui bahwa status hara K tanah sawah di Jawa berkisar dari rendah sampai tinggi, dan diantaranya 1.8 juta ha sawah diketahui kahat K (LPT 1977). Partohardjono et al. (1977) yang memakai batas kritikal 124 ppm K (Bray II) menduga bahwa luasan sawah yang ditanami padi sekali setahun yang kahat K ada 1.07 juta ha, sedangkan yang ditanami dua kali setahun ada 1.07 juta ha. Dengan demikian secara menyeluruh ada 3.40 juta ha luas panen padi sawah yang kahat K. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan Lembaga Penelitian Tanah (1977) yang memakai pengekstrak 25% HCl.
Pusat Penelitian Tanah pada tahun 2000 melaporkan bahwa sebagian besar lahan sawah di 18 provinsi di Indonesia berstatus K tinggi (pengekstrak 25% HCl), yaitu sebanyak 54.97% lahan sawah berstatus K tinggi, 32.08% berstatus K sedang dan hanya 12.95% lahan sawah berstatus K rendah. Sebagian besar lahan sawah berstatus K tinggi tersebut berada di Pulau Jawa. Menurut Sofyan et al. (2004), lahan sawah yang berstatus K tinggi ini diakibatkan oleh pemupukan K yang dilakukan secara menerus. Pemupukan K yang dilakukan secara terus-menerus akan menyebabkan ketidakseimbangan hara tanah yang disinyalir dapat mengakibatkan terjadinya pelandaian produktivitas (leveling off) padi sawah.
(Soepardi 1983). Namun apabila jumlah K di dalam larutan tanah tidak mencukupi kebutuhan tanaman maka akan terjadi kekahatan K. Kahat K menimbulkan penurunan produksi dan mutu hasil tanaman yang menyolok dan menekan ketepatgunaan sarana produksi lainnya.
Pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi dikenal sebagai lumbung beras nasional. Pulau Jawa diantara pulau-pulau lainnya merupakan lumbung beras andalan. Pada tahun 2008, Pulau Jawa dengan luas 5.74 juta ha mampu menyumbang 55% dari produksi gabah giling (GKG) di Indonesia. Ditinjau dari penyebarannya, lebih dari 60% tanah sawah di Indonesia berada di Pulau Jawa (Nurwadjedi 2011).
Bertolak dari uraian tersebut maka perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap status hara K tanah sawah di Pulau Jawa guna meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan menjaga hasil padi sawah tetap tinggi. Sementara saat ini data mengenai kadar dapat dipertukarkan, tidak dapat dipertukarkan dan K-total di Pulau Jawa belum tersedia. Penelitian ini membagi status hara K ke dalam tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi dengan pengekstrak 1 M NH4OAc pH 7
untuk K-dapat dipertukarkan, serta menganalisa kadar K-tidak dapat dipertukarkan dan K-total tanah sawah di Pulau Jawa.
1.2. Tujuan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Peranan Kalium Terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi Sawah
Peranan utama kalium (K) dalam tanaman adalah sebagai aktivator berbagai enzim (Soepardi 1983). K merupakan satu-satunya kation monovalen yang esensial bagi tanaman. K terlibat dalam semua reaksi biokimia yang berlangsung dengan tanaman dan merupakan batasan yang paling banyak diperlukan tanaman. K bukan penyusun bagian integral komponen tanaman, melainkan fungsinya sebagai katalis berbagai fungsi fisiologis esensial (Tisdale et al. 1985).
Adanya K tersedia yang cukup dalam tanah menjamin ketegaran tanaman. Selanjutnya membuat tanaman lebih tahan terhadap berbagai penyakit dan merangsang pertumbuhan akar (Soepardi 1983). K dikenal sebagai hara penentu mutu produksi tanaman (Janke 1992).
Kahat K pada tanaman akan menghambat seluruh proses metabolisme sehingga produksi turun. Pada tanaman padi sawah, kahat K menyebabkan tanaman cepat menua, pemasakan tidak merata, dan kehampaan gabah tinggi (Karama et al. 1992). Selain itu menurut Dobermann dan Fairhurst (2000), kahat K menyebabkan tanaman padi sawah tumbuh kerdil (daun lebih kecil, pendek, dan batang kurang keras), mudah rebah dan daun mudah menggulung. Kahat K juga menyebabkan bobot 1000 butir gabah turun, translokasi karbohidrat terhambat, sistem perakaran tidak sehat menyebabkan penurunan serapan hara lainnya, dan daya oksidasi akar buruk menurunkan ketahanan terhadap bahan-bahan toksik.
2.2. Fraksi-fraksi Kalium dalam Tanah
K-tidak dapat ditukarkan K-dapat ditukarkan K-larut Gambar 1. Bagan Perbandingan Relatif dari Kalium yang Tidak, Segera, dan
Lambat Tersedia (Sumber: Brady 1990)
Menurut Kirkman et al. (1994), Jumlah K yang berada dalam masing-masing fraksi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor tanah, antara lain: jenis dan jumlah mineral liat, serapan hara tanaman, penggunaan pupuk, pencucian, dan efektivitas proses fiksasi pelepasan yang berlangsung di dalam tanah. Keseimbangan dinamik antara fraksi-fraksi K tanah dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Keseimbangan Dinamik Antar Fraksi-fraksi Kalium Tanah (Sumber: Kirkman et al. 1994)
Relatif tidak tersedia
(feldspar, mika, dan lain-lain) (90-98% dari K-total)
Relatif segera tersedia K-dapat dipertukarkan dan K-larut
(1-2% dari K-total) Relatif lambat tersedia
K-tidak dapat dipertukarkan (1-10% dari K-total)
90% 10%
Sisa Tanaman Pupuk Kandang Mika Feldspar Gelas volkan Pencucian K-larut Pupuk K Serapan Tanaman K-tidak dapat dipertukarkan Mineral liat Bahan organik K-dapat dipertukarkan K-terfiksasi Mika terlapuk Liat intergrade Vermikulit Liat amorf K-struktural A R D R F W F R F
Menurut Schroeder (1974) umumnya kadar Kdd kurang dari 2% dari Kt
tanah atau berkisar antara 10-400 ppm. Namun demikian tanah-tanah yang ditanami secara intensif mengandung Kdd yang bervariasi sekitar 1-5% dari Kt
tanah. K-dapat dipertukarkan (Kdd) didefinisikan sebagai K yang dijerap pada
kompleks permukaan koloid tanah. Pada mineral liat, Kdd berada pada tapak
jerapan non spesifik, yaitu posisi planar dan edge. Kdd dapat menjadi ukuran
ketersediaan K dalam tanah. Kirkman et al. (1994) menyatakan bahwa aplikasi pemupukan K dapat diduga berdasarkan tingkat kadar Kdd tanah. Semakin tinggi
kadar Kdd tanah maka semakin sedikit jumlah pupuk yang perlu ditambahkan dan
begitu pula sebaliknya. Peranan utama dari Kdd adalah untuk mempertahankan
kadar K dalam larutan (Leiwakabessy 2003).
Bila dalam tanah dijumpai vermikulit, ilit, atau mineral tipe 2:1 lainnya, maka K dari pupuk seperti KCl tidak saja menjadi terjerap, tetapi juga dapat terikat selamanya oleh koloid tanah. Ion K dan ammonium pas dalam ruangan antara unit kristal dari mineral liat yang biasanya mengembang dan menjadi bagian integral dari kristal tersebut. K tersebut tidak dapat digantikan oleh cara pertukarkan hara dan oleh karena itu disebut sebagai K-tidak dapat dipertukarkan (Ktdd). Ktdd merupakan K cadangan walaupun pelepasannya sangat lambat
sehingga dinilai sebagai K yang relatif tidak segera tersedia bagi tanaman (Soepardi 1983). Ktdd terdiri dari bentuk K-struktural dan K-terfiksasi. K-terfiksasi
berada diantara lapisan mineral liat mika dimana posisi tersebut tidak memungkinkan terjadinya pertukaran dengan kation lain yang berada dalam larutan tanah (Goulding 1987). Perbedaan antara K-terfiksasi dengan K-struktural adalah pelepasan K dari K-terfiksasi dapat balik (reversible) sedangkan dari K-struktural tidak dapat balik (ireversible).
Menurut Brady (1990), K-total (Kt) terdiri dari K relatif tidak tersedia, K
relatif lambat tersedia (Ktdd), K relatif segera tersedia (Kdd dan Kl) dan K dari
komponen tanah lainnya (bahan organik). Sebagian besar tanah mineral, kecuali yang berpasir, mempunyai kadar Kt tinggi. K yang dapat ditukarkan pada
2.3. Sumber Kalium Tanah
Sumber K tanah dapat berasal dari bahan organik ataupun bahan inorganik. Bahan organik umumnya memiliki kadar K rendah, sedangkan bahan inorganik berkadar K tinggi. K yang berasal dari hasil pelapukan bahan organik (pupuk kandang, sisa tanaman, kotoran lumpur dan lain-lain) umumnya juga menyumbangkan K+ inorganik yang tersedia bagi tanaman. Kadar K dalam kotoran hewan berkisar antara 0.2-2% atau 2-20 kg t-1 sedangkan dalam sampah sekitar 4.5 kg t-1 dari bahan kering (Havlin et al. 1999).
Deposit garam K mudah larut banyak ditemukan di permukaan bumi dan juga di sungai mati dan laut. Deposit ini mempunyai kemurnian tinggi dan ditambang untuk keperluan pertanian dan industri yang disebut sebagai potash. Cadangan potash terbesar di dunia terdapat di Canada, yaitu sepanjang 450 mil, lebar 150 mil, dan kedalaman 3000-7000 kaki. Keperluan K untuk pertanian biasanya berada dalam bentuk pupuk yang berasal dari deposit K tersebut. Sumber K dalam bahan inorganik antara lain terdapat di pupuk KCl (60% K2O), K2SO4
(50% K2O), KNO3 (37% K2O), K fosfat (20-50% K2O), K2CO3 (68% K2O), dan
lain-lain (Havlin et al. 1999).
2.4. Tanah Sawah
Tanah sawah (soil rice, paddy soil, lowland paddy soil, artificial hydromorphic soils, great-group anthraquic, sub-group anthrophic, aquorizem, sub-group hydraquic), dalam klasifikasi tanah FAO (World Reference Base for Soil Resources) termasuk ke dalam Anthrosols (FAO 1998). Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija (Hardjowigeno et al. 2004).
dari jenis-jenis tanah yang cukup beragam antara lain: Entisol, Vertisol, Inceptisol, Alfisol, Ultisol, dan Histosol yang tersebar luas (Situmorang dan Sudadi 2001).
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Februari 2012 sampai dengan Juni 2012. Pengambilan contoh tanah dilakukan di beberapa tanah sawah di Pulau Jawa. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah-tanah sawah di Pulau Jawa dan bahan kimia. Bahan kimia terdiri dari 1 M NH4OAc pH 7, 1 M
HNO3, HClO4 pekat, HNO3 pekat, K 1000 ppm, dan aquades.
Alat yang digunakan GPS, plastik untuk contoh tanah, mortar, saringan 2 mm, mesin pengocok, tabung sentrifuse, sentrifuse, hot plate, pH meter, flamephotometer, alat destruksi, tabung destruksi, timbangan digital, oven, pipet volumetrik, labu takar (50 ml, 100 ml, 500 ml, dan 1000 ml), erlenmeyer (125 ml), gelas pengaduk, corong gelas, botol kontainer, label, spidol marker, tissue, jerigen, plastic wrap, aluminium foil, tabung plastik, tabung reaksi, dan kertas saring.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu tahap persiapan, pengambilan sampel tanah, analisa tanah, dan pengolahan data untuk penetapan kelas status hara K tanah sawah.
3.3.1. Tahap Persiapan
3.3.2. Pengambilan Contoh Tanah
Contoh tanah sawah diambil di 23 (dua puluh tiga) lokasi di Pulau Jawa. Contoh tanah tersebut diambil pada kedalaman sekitar 0-20 cm secara komposit. Contoh tanah komposit kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label. Setiap contoh tanah sawah yang diambil pada setiap lokasi dicatat koordinatnya (Tabel Lampiran 1). Sebaran pengambilan contoh tanah sawah dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau Jawa dan Distribusinya
Tabel 1. Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau Jawa Beserta Jenis Tanahnya
Provinsi Nama Lokasi Ordo Tanah
(USDA 2010)
Jawa Barat Karawang Inceptisols
Jatisari Inceptisols Pamanukan Inceptisols Indramayu Inceptisols Palimanan Inceptisols Cicalengka Inceptisols Cikarawang Ultisols
Jawa Tengah Brebes Inceptisols
Suradadi Inceptisols Batang Ultisols Kendal Inceptisols Demak Vertisols Jekulo Vertisols Jogjakarta Vertisols Borobudur Inceptisols Kutoarjo Inceptisols Karanganyar Inceptisols Buntu Inceptisols
Jawa Timur Bojonegoro Vertisols
Tambak Rejo Vertisols
Nganjuk Vertisols Jombang Inceptisols Ponorogo Vertisols
3.3.3. Analisis Contoh Tanah
Seluruh contoh tanah yang diambil dari lapang dikeringudarakan kemudian dihaluskan. Setelah dihaluskan diayak dengan saringan tanah berdiameter 2 mm. Analisis Kdd dilakukan dengan pengekstrak 1 M NH4OAc pH
7, Ktdd dengan 1 M HNO3, dan Kt dengan campuran HClO4 pekat dan HNO3
Analisis Pendahuluan
Analisis pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik sifat kimia tanah sawah yang diambil. Analisis pendahuluan meliputi pH (H2O) yang diukur
dengan pH meter. C-organik yang diperoleh dengan metode Walkley and Black. KTK dan basa-basa (Nadd, Cadd, Mgdd) yang diperoleh dari hasil ekstraksi dengan
1 M NH4OAc pH 7. total yang diperoleh dari hasil destruksi dengan metode
N-Kjeldahl. Kejenuhan basa diperoleh dengan perhitungan yaitu rasio total basa-basa dapat ditukar terhadap KTK tanah dan diekspresikan dalam persen. Nisbah CN diperoleh dengan perhitungan yaitu C-total terhadap N-total, serta EC yang diukur dengan EC meter.
K-dapat dipertukarkan
Tanah kering udara ditimbang sebanyak 5 g kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse. Lalu ditambahkan 1 M NH4OAc pH 7 sebanyak 25 ml.
Kemudian dikocok selama 30 menit. Setelah dikocok, disentrifuse selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Lalu disaring ke dalam labu takar 100 ml. Setelah disaring, langkah tersebut dilakukan kembali hingga sebanyak 3 kali mulai dari menambahkan 1 M NH4OAc pH 7 sebanyak 25 ml ke dalam tabung
sentrifuse yang berisi tanah. Kemudian ditera dengan 1 M NH4OAc pH 7 hingga
100 ml. Selanjutnya diukur dengan flamephotometer.
K-tidak dapat dipertukarkan
Sebanyak 2.5 g tanah dimasukkan ke dalam Erlenmeyer lalu ditambahkan 25 ml 1 M HNO3 dan dipanaskan di hotplate. Saat mulai mendidih, dibiarkan selama 15 menit. Setelah itu diangkat, didinginkan dan disaring dengan kertas saring di labu takar 100 ml. Kemudian ditambahkan 15 ml 0.1 M HNO3 sebanyak
4 kali ke dalam erlenmeyer dan disaring ke labu takar untuk membersihkan tanah pada permukaan erlemeyer. Kemudian ditera hingga 100 ml dengan larutan 0.1 M HNO3 dan diukur dengan flamephotometer. Selisih antara hasil ekstrak 1 M HNO3
K-total
Penetapan Kt dilakukan dengan menggunakan campuran HClO4 pekat dan
HNO3 pekat. Sebanyak 0.5 g tanah ditambahkan 10 ml campuran HClO4 pekat
dan HNO3 pekat dengan perbandingan 2:1. Kemudian didiamkan selama satu
malam. Setelah itu didigestion dengan alat destruksi hingga berwarna putih. Lalu ditambahkan aquades dan disaring di labu takar 100 ml hingga tera. Selanjutnya diukur dengan flamephotometer.
3.3.4. Pengolahan Data dan Penentuan Kelas Status Hara Kalium Tanah
Dilakukan penilaian dari hasil analisis Kdd dan hasilnya dibagi menjadi 3
kelas status hara K yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kriteria yang digunakan dalam penetapan status hara K tanah sawah di Pulau Jawa berdasarkan kriteria Puslittanak (1992) dan Federal Departement of Agriculture Land Resources (FDALR) (2004) secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria Kelas Status Hara Kalium Tanah Sawah (Puslittanak 1992 dan FDALR 2004)
Kelas Status Hara K
Tanah Sawah
Kadar K-dapat dipertukarkan
Puslittanak (1992)
me 100g-1
FDALR (2004)
me 100g-1
Rendah < 0.26 < 0.20
Sedang 0.26 – 0.51 0.20 – 0.40
Tinggi > 0.51 > 0.40
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Tanah Sawah di Pulau Jawa
Hasil analisis pendahuluan sifat-sifat kimia tanah sawah di Pulau Jawa disajikan pada Tabel 3. Status sifat kimia tanah yang diteliti dinilai berdasarkan kriteria penilaian Balai Penelitian Tanah (2009) yang disajikan pada Tabel Lampiran 2.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, rata-rata tanah sawah di Jawa Barat menunjukkan reaksi tanah yang agak masam dengan pH (H2O) sebesar 6.20.
Kadar C-total termasuk dalam kategori sedang sebesar 2.14%. N-total termasuk dalam kategori sedang sebesar 0.21%. Nisbah CN termasuk dalam kategori rendah sebesar 9.90. Kadar Nadd berkategori sedang sebesar 0.57 cmol+ kg-1.
Adapun kadar Cadd, Mgdd, KTK dan KB termasuk dalam kategori tinggi secara
berturut-turut adalah 15.9 cmol+ kg-1, 7.70 cmol+ kg-1, 32.2 cmol+ kg-1, dan 74.1%. Nilai rata-rata EC sebesar 93.2 dS cm-1.
Tanah sawah di Jawa Tengah rata-rata menunjukkan reaksi tanah yang netral dengan pH (H2O) sebesar 6.80. Umumnya memiliki kadar C-total, N-total
dan nisbah CN yang rendah masing-masing sebesar 1.84%; 0.18%; dan 10.2. Kadar Nadd termasuk kategori sedang sebesar 0.66 cmol+ kg-1. Kadar Cadd sangat
tinggi sebesar 21.2 cmol+ kg-1. Kadar Mgdd tinggi sebesar 7.93 cmol+ kg-1. KTK
termasuk dalam kategori tinggi sebesar 29.1 cmol+ kg-1. Sedangkan KB sangat tinggi sebesar 116% dengan rata-rata EC sebesar 129 dS cm-1.
Sementara tanah sawah di Jawa Timur, berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata tanah sawahnya memiliki reaksi tanah agak alkalin dengan pH (H2O) sebesar 8.00. Umumnya pada tanah sawah tersebut memiliki
C-total dan N-C-total berkategori rendah masing-masing sebesar 1.55% dan 0.14%. Nisbah CN sedang sebesar 11.2. Kadar Nadd berkategori sedang sebesar 0.45
cmol+ kg-1. Kadar Mgdd tinggi sebesar 7.13 cmol+ kg-1. Sedangkan kadar Cadd,
Tabel 3. Hasil Analisis Pendahuluan Tanah Sawah di Pulau Jawa
Nama Lokasi pH C-total N-total Nisbah
CN
Nadd Cadd Mgdd KTK KB EC
(H2O) ---(%)--- ---(cmol+ kg-1)--- (%) (dS cm-1)
Jawa Barat
Karawang 5.40 2.32 0.23 10.1 0.56 16.3 5.14 33.3 67.5 63.0
Jatisari 5.50 2.16 0.22 9.80 0.90 18.0 8.61 37.3 75.0 212
Pamanukan 6.90 2.70 0.25 10.7 0.85 20.1 13.1 39.9 87.2 144
Indramayu 7.00 1.72 0.20 8.70 0.77 19.6 12.6 38.3 88.5 97.8
Palimanan 7.30 0.81 0.08 10.3 0.26 20.0 8.19 32.7 87.7 45.8
Cicalengka 5.40 2.90 0.29 10.0 0.18 7.71 3.58 22.8 51.0 49.2
Cikarawang 6.00 2.36 0.23 10.1 0.47 9.60 2.71 20.8 62.1 40.1
Rata-rata 6.20 2.14 0.21 9.90 0.57 15.9 7.70 32.2 74.1 93.2
Status Hara Agak masam Sedang Sedang Rendah Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi -
Jawa Tengah
Brebes 7.70 1.31 0.14 9.60 3.41 32.9 19.7 13.5 430 566
Suradadi 7.40 1.60 0.17 9.20 0.38 21.1 17.6 38.9 102 94.0
Batang 5.40 2.99 0.30 10.1 0.14 6.61 1.06 22.1 35.7 30.1
Kendal 6.50 2.40 0.23 10.3 0.40 28.5 8.43 41.2 91.8 95.8
Demak 8.30 1.59 0.16 10.0 1.07 41.0 7.59 38.4 131 291
Jekulo 7.00 1.46 0.14 10.3 0.22 13.6 5.50 30.4 64.6 56.9
Jogjakarta 7.00 0.90 0.10 9.00 0.17 8.32 3.03 14.3 82.0 31.8
Nama Lokasi Ph C-total N-total Nisbah CN
Na dd Ca dd Mg dd KTK KB EC
(H2O) ---(%)--- ---(cmol+ kg-1)--- (%) (dS/cm)
Kutoarjo 6.80 1.86 0.18 10.2 0.61 27.5 8.99 37.6 99.4 63.3
Karanganyar 6.50 1.98 0.19 10.4 0.29 31.3 8.26 39.0 103 60.8
Buntu 5.80 2.70 0.26 10.2 0.46 16.2 5.38 33.3 67.5 76.9
Rata-rata 6.80 1.84 0.18 10.2 0.66 21.2 7.93 29.1 117 129
Status Hara Netral Rendah Rendah Rendah Sedang Sangat
tinggi Tinggi Tinggi
Sangat
tinggi -
Jawa Timur
Bojonegoro 7.60 1.82 0.16 11.5 0.43 48.9 8.43 60.1 96.6 69.2
Tambak Rejo 8.50 1.08 0.09 12.6 0.22 63.6 2.46 55.4 120 139
Nganjuk 8.10 1.49 0.14 11.0 0.39 30.5 10.2 39.5 105 138
Jombang 8.10 0.98 0.10 10.1 0.44 13.7 4.77 17.2 110 84.4
Ponorogo 7.70 2.38 0.22 11.0 0.77 31.1 9.78 37.6 112 151
Rata-rata 8.00 1.55 0.14 11.2 0.45 37.5 7.13 42.0 109 116
Status Hara Agak alkalin Rendah Rendah Sedang Sedang Sangat
tinggi Tinggi Sangat tinggi
Sangat
tinggi -
Keterangan : Status hara berdasarkan kriteria penilaian Balai Penelitian Tanah (2009).
Hasil evaluasi sifat-sifat kimia tanah sawah di Pulau Jawa, rata-rata di Jawa Barat menunjukkan reaksi tanah yang agak masam dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bereaksi netral dan agak alkalin. Hal ini mungkin disebabkan karena curah hujan di Jawa Barat lebih tinggi jika dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Soepardi (1983) menyatakan bahwa keadaan masam merupakan hal yang biasa pada tanah yang berada di daerah dengan curah hujan tinggi. Menurut Nurwadjedi (2011), distribusi tipe iklim di Jawa menunjukkan bahwa bagian Barat Jawa memiliki bulan basah lebih banyak daripada bagian Timur atau semakin ke Timur lebih kering sehingga pencucian di Jawa Barat lebih intensif bila dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu, KB di Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat tinggi bila dibandingkan dengan Jawa Barat. Tidak adanya pencucian secara intensif menyebabkan jumlah basa tanah demikian tinggi (Soepardi 1983).
4.2. Hasil Analisis Fraksi-fraksi Kalium Tanah Sawah di Pulau Jawa 4.2.1. K-dapat Dipertukarkan
Berdasarkan Tabel 4 hasil analisis Kdd menunjukkan bahwa kadar Kdd di
Jawa Barat berkisar antara 0.13 cmol+ kg-1 sampai dengan 0.94 cmol+ kg-1. Kadar
Kdd Jawa Tengah berkisar antara 0.08 cmol+ kg-1 sampai dengan 2.03 cmol+ kg-1.
Kadar Kdd Jawa Timur berkisar antara 0.09 cmol+ kg-1 sampai dengan 0.64 cmol+
kg-1. Brebes memiliki kadar Kdd tertinggi diantara lokasi lainnya di Pulau Jawa
dengan Kdd sebesar 2.03 cmol+ kg-1. Sementara Batang memiliki kadar Kdd
terendah jika dibandingkan dengan lokasi lainnya di Pulau Jawa dengan kadar Kdd
sebesar 0.08 cmol+ kg-1. Brebes dan Batang merupakan daerah satu provinsi yaitu Jawa Tengah namun memiliki kadar Kdd yang sangat jauh berbeda. Perbedaan
kadar Kdd tersebut mungkin dapat disebabkan karena jenis tanah di kedua lokasi
diduga karena pupuk K diberikan dalam jumlah yang banyak pada tanah sawah tersebut.
Berdasarkan nilai rata-rata Kdd pada setiap provinsi, kadar Kdd tertinggi
terdapat di Jawa Tengah sedangkan terendah di Jawa Timur. Kadar rata-rata Kdd
Jawa Barat sebesar 0.45 cmol+ kg-1. Kadar rata-rata Kdd Jawa Tengah sebesar 0.50
cmol+ kg-1. Sementara kadar rata-rata Kdd Jawa Timur sebesar 0.30 cmol+ kg-1.
Rata-rata Kdd Jawa Tengah lebih tinggi dibanding dengan Jawa Barat
diduga karena pencucian di Jawa Barat lebih intensif dibandingkan dengan Jawa Tengah. Menurut Soepardi dan Ismunadji (1987), secara umum dapat dikatakan di daerah beriklim basah ditemukan tanah dengan kahat kalium lebih tinggi. Pelapukan yang kurang intensif tidak memberikan peluang tercucinya kalium dari profil tanah.
Sementara rata-rata Kdd Jawa Tengah lebih tinggi dibandingkan dengan
Jawa Timur diduga karena pemupukan K di Jawa Tengah lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan Jawa Timur. istribusi tipe iklim di Jawa menunjukkan bahwa bagian Barat Jawa memiliki bulan basah lebih banyak daripada bagian Timur atau semakin ke Timur lebih kering. Meskipun demikian hasil menunjukkan bahwa Jawa Timur memiliki kadar Kdd paling rendah dibandingkan
dengan yang lainnya. Begitu juga dengan hasil survai yang dilakukan oleh Partohardjo et al. (1977) dan Sudjadi et al. (1985) yang menyebutkan bahwa kadar K juga dipengaruhi oleh air irigasi, diperoleh kadar rata-rata air sungai atau irigasi sebesar 2.60 ppm K untuk Jawa Barat, 3.10 ppm K untuk Jawa Tengah, dan 5.20 ppm K untuk Jawa Timur. Kadar rata-rata K air sungai atau irigasi di Jawa Timur yang tinggi tersebut tidak menunjukkan kadar Kdd Jawa Timur tinggi
pada penelitian ini. Menurut Leiwakabessy et al. (2003), meskipun tanah memiliki kadar liat yang kaya akan K tetapi apabila tanah-tanah ini ditanami secara intensif tanpa penambahan pupuk K secara cukup, maka lambat laun akan kekurangan K.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada saat pengambilan contoh tanah terhadap petani setempat, pemupukan K tidak memiliki pola. Jumlah pupuk K yang diberikan hanya tergantung kepada kemampuan petani. Hasil analisis Kdd pada tanah sawah di Pulau Jawa selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 4. Hasil Analisis Kdd Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa
Nama Lokasi Ordo Tanah
(USDA 2010)
Kdd (cmol+ kg-1)
Jawa Barat
Karawang Inceptisols 0.45
Jatisari Inceptisols 0.45
Pamanukan Inceptisols 0.78
Indramayu Inceptisols 0.94
Palimanan Inceptisols 0.26
Cicalengka Inceptisols 0.17
Cikarawang Ultisols 0.13
Rata-rata 0.45
Jawa Tengah
Brebes Inceptisols 2.03
Suradadi Inceptisols 0.62
Batang Ultisols 0.08
Kendal Inceptisols 0.50
Demak Vertisols 0.53
Jekulo Vertisols 0.36
Jogjakarta Vertisols 0.20
Borobudur Inceptisols 0.18
Kutoarjo Inceptisols 0.32
Karanganyar Inceptisols 0.23
Buntu Inceptisols 0.45
Rata-rata 0.50
Jawa Timur
Bojonegoro Vertisols 0.34
Tambak Rejo Vertisols 0.19
Nganjuk Vertisols 0.24
Jombang Inceptisols 0.09
Ponorogo Vertisols 0.64
Rata-rata 0.30
4.2.2. K-tidak Dapat Dipertukarkan
Hasil analisis pada Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar Ktdd di Jawa Barat
berkisar antara 0.07 cmol+ kg-1 sampai dengan 0.91 cmol+ kg-1. Kadar Ktdd di Jawa
Tengah berkisar antara 0.09 cmol+ kg-1 sampai dengan 3.13 cmol+ kg-1. Kadar Ktdd
di Jawa Timur berkisar antara 0.22 cmol+ kg-1 sampai dengan 0.46 cmol+ kg-1. Jika dibandingkan dengan semua lokasi di Pulau Jawa, Jekulo memiliki kadar Ktdd
terendah dibandingkan dengan lokasi lainnya dengan kadar Ktdd sebesar 0.07
cmol+ kg-1.
Kadar Ktdd tertinggi di Jekulo mungkin disebabkan karena jenis tanah di
Jekulo Vertisols. Tanah-tanah yang didominasi mineral liat tipe 2:1 seperti tanah Vertisols memiliki kemampuan mengikat K. Soepardi (1983) menyebutkan bahwa K yang berasal dari pupuk seperti kalium klorida (KCl) tidak saja menjadi terjerap, tetapi juga dapat terikat oleh koloid tanah. Ion K yang mempunyai ukuran yang pas untuk ruangan yang terdapat antara kristal, sehingga kristal tersebut menahannya. Pada waktu bersamaan, menjadi tidak dapat dipertukarkan atau diikat untuk sementara waktu.
Nilai rata-rata Ktdd pada setiap provinsi pada Tabel 5 menunjukkan bahwa
Jawa Tengah memiliki kadar Ktdd tertinggi sedangkan terendah Jawa Timur.
Kadar rata-rata Ktdd Jawa Barat sebesar 0.40 cmol+ kg-1. Kadar rata-rata Ktdd
Jawa Tengah sebesar 0.83 cmol+ kg-1. Kadar rata-rata Ktdd Jawa Timur sebesar
0.32 cmol+ kg-1.
Jawa Tengah memiliki Ktdd paling tinggi diantara provinsi lainnya. Selain
diduga karena terdapat mineral liat tipe 2:1 (berada di lokasi Demak, Jekulo, dan Jogjakarta) diduga juga karena pemupukan K pada tanah sawah di Jawa Tengah diberikan dalam jumlah yang sangat banyak. Menurut Soepardi (1983), selain sifat koloid tanah, pembasahan dan pengeringan, faktor lain yang mempengaruhi jumlah K yang diikat adalah adanya K berlebihan.
Sementara Jawa Timur memiliki kadar rata-rata Ktdd paling rendah
dibandingkan dengan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di Jawa Timur, meskipun contoh tanah sawahnya ada yang berjenis tanah Vertisols yaitu di Bojonegoro, Nganjuk, dan Ponorogo. Namun kadar Ktdd pada provinsi tersebut rendah. Kadar
Ktdd rendah di Jawa Timur mungkin disebabkan karena pupuk K yang diberikan
dalam jumlah sedikit. Hasil analisis kadar Ktdd tanah sawah di Jawa Barat, Jawa
Tabel 5. Hasil Analisis Ktdd Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa
Nama Lokasi Ordo Tanah
(USDA 2010)
Ktdd (cmol+ kg-1)
Jawa Barat
Karawang Inceptisols 0.20
Jatisari Inceptisols 0.39
Pamanukan Inceptisols 0.91
Indramayu Inceptisols 0.76
Palimanan Inceptisols 0.35
Cicalengka Inceptisols 0.07
Cikarawang Ultisols 0.12
Rata-rata 0.40
Jawa Tengah
Brebes Inceptisols 0.94
Suradadi Inceptisols 0.81
Batang Ultisols 0.09
Kendal Inceptisols 1.11
Demak Vertisols 1.27
Jekulo Vertisols 3.13
Jogjakarta Vertisols 0.40
Borobudur Inceptisols 0.49
Kutoarjo Inceptisols 0.33
Karanganyar Inceptisols 0.30
Buntu Inceptisols 0.29
Rata-rata 0.83
Jawa Timur
Bojonegoro Vertisols 0.46
Tambak Rejo Vertisols 0.22
Nganjuk Vertisols 0.30
Jombang Inceptisols 0.33
Ponorogo Vertisols 0.31
Rata-rata 0.32
4.2.3. K-total
Hasil analisis kadar Kt tanah sawah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur disajikan pada Tabel 6. Hasil menunjukkan bahwa kadar Kt di Jawa Barat
berkisar antara 0.04% sampai dengan 0.50%. Kadar Kt di Jawa Tengah berkisar
antara 0.03% sampai dengan 0.53%. Kadar Kt di Jawa Timur berkisar antara
0.04% sampai dengan 0.14%. Berdasarkan hasil analisis Kt tanah sawah dari
tertinggi diantara lokasi lainnya dengan Kt sebesar 0.53%. Sementara kadar Kt
[image:32.595.132.474.164.672.2]terendah yaitu Batang dengan kadar Kt sebesar 0.03%.
Tabel 6. Hasil Analisis Kt Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa
Nama Lokasi Ordo Tanah
(USDA 2010)
Kt (%)
Jawa Barat
Karawang Inceptisols 0.28
Jatisari Inceptisols 0.39
Pamanukan Inceptisols 0.39
Indramayu Inceptisols 0.50
Palimanan Inceptisols 0.13
Cicalengka Inceptisols 0.05
Cikarawang Ultisols 0.04
Rata-rata 0.26
Jawa Tengah
Brebes Inceptisols 0.53
Suradadi Inceptisols 0.34
Batang Ultisols 0.03
Kendal Inceptisols 0.37
Demak Vertisols 0.42
Jekulo Vertisols 0.21
Jogjakarta Vertisols 0.07
Borobudur Inceptisols 0.06
Kutoarjo Inceptisols 0.10
Karanganyar Inceptisols 0.25
Buntu Inceptisols 0.41
Rata-rata 0.25
Jawa Timur
Bojonegoro Vertisols 0.14
Tambak Rejo Vertisols 0.10
Nganjuk Vertisols 0.05
Jombang Inceptisols 0.04
Ponorogo Vertisols 0.09
Rata-rata 0.08
Batang memiliki Kt terendah dibandingkan dengan lainnya diduga karena
tanaman padi juga diduga sedikit sehingga kadar Kt pada sawah tersebut sangat
rendah.
Berdasarkan nilai rata-rata Kt pada setiap provinsi, kadar Kt antara Jawa
Barat dan Jawa Tengah tidak berbeda jauh. Kadar rata-rata Kt tertinggi adalah
Jawa Barat dan terendah Jawa Timur. Kadar rata-rata Kt Jawa Barat sebesar
0.26%. Kadar rata-rata Kt Jawa Tengah sebesar 0.25%. Kadar rata-rata Kt Jawa
Timur sebesar 0.08%.
4.2.4. Perbedaan Kadar Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Lokasi
Perbedaan kadar Kdd, Ktdd, dan Kt pada setiap lokasi disajikan pada Tabel
7. Hasil menunjukkan bahwa uji lokasi tidak nyata secara statistik baik terhadap Kdd, Ktdd, maupun Kt. Hasil uji yang tidak nyata ini diduga karena keragaman
antara provinsi yang tinggi satu sama lain. Selain itu dapat pula disebabkan karena sebaran penggunaan pupuk K di setiap lokasi bervariasi, yang dapat dilihat dari standar deviasinya yang tinggi (Tabel 7).
Tabel 7. Perbedaan Kadar Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Lokasi (n = 23)
Lokasi Kdd SD Ktdd SD Kt SD
(cmol+ kg-1) (cmol+ kg-1) (%) Jawa Barat 0.45a 0.31 0.40a 0.32 0.26a 0.18 Jawa Tengah 0.50a 0.53 0.83a 0.85 0.25a 0.17 Jawa Timur 0.30a 0.21 0.32a 0.09 0.08a 0.04 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu kolom, tidak berbeda nyata pada uji Tukey (P < 0.05).
4.3. Status Hara Kalium
Penetapan status hara K dinilai dari hasil analisis Kdd. Hal ini dikarenakan
Kdd merupakan K yang tersedia, labil dan merupakan faktor kapasitas
(2004), Cicalengka dan Cikarawang termasuk dalam status hara K rendah. Palimanan berstatus hara K sedang. Karawang, Jatisari, Pamanukan dan Indramayu berstatus hara K tinggi. Status hara K di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Status Hara Kalium Pada Tanah Sawah di Pulau Jawa
Nama Lokasi Ordo Tanah
(USDA 2010)
Kdd
(cmol+ kg-1)
Status Hara K
Puslittanak (1992)
FDALR (2004)
Jawa Barat
Karawang Inceptisols 0.45 Sedang Tinggi
Jatisari Inceptisols 0.45 Sedang Tinggi
Pamanukan Inceptisols 0.78 Tinggi Tinggi
Indramayu Inceptisols 0.94 Tinggi Tinggi
Palimanan Inceptisols 0.26 Sedang Sedang
Cicalengka Inceptisols 0.17 Rendah Rendah
Cikarawang Ultisols 0.13 Rendah Rendah
Rata-rata 0.45 Sedang Tinggi
Jawa Tengah
Brebes Inceptisols 2.03 Tinggi Tinggi
Suradadi Inceptisols 0.62 Tinggi Tinggi
Batang Ultisols 0.08 Rendah Rendah
Kendal Inceptisols 0.50 Sedang Tinggi
Demak Vertisols 0.53 Tinggi Tinggi
Jekulo Vertisols 0.36 Sedang Sedang
Jogjakarta Vertisols 0.20 Rendah Sedang
Borobudur Inceptisols 0.18 Rendah Rendah
Kutoarjo Inceptisols 0.32 Sedang Sedang
Karanganyar Inceptisols 0.23 Rendah Sedang
Buntu Inceptisols 0.45 Sedang Tinggi
Rata-rata 0.50 Sedang Tinggi
Jawa Timur
Bojonegoro Vertisols 0.34 Sedang Sedang
Tambak Rejo Vertisols 0.19 Rendah Rendah
Nganjuk Vertisols 0.24 Rendah Sedang
Jombang Inceptisols 0.09 Rendah Rendah
Ponorogo Vertisols 0.64 Tinggi Tinggi
Berdasarkan Tabel 8, di Jawa Tengah, menurut kriteria Puslittanak (1992) Batang, Jogjakarta, Borobudur, dan Karanganyar termasuk dalam status hara K rendah. Kendal, Jekulo, Kutoarjo, dan Buntu berstatus hara K sedang. Brebes, Suradadi, dan Demak termasuk dalam status hara K tinggi. Menurut FDALR (2004), Batang dan Borobudur berstatus hara K rendah. Jekulo, Jogjakarta, Kutoarjo, dan Karanganyar berstatus hara K sedang. Brebes, Suradadi, Demak, Kendal, dan Buntu termasuk dalam status hara K tinggi.
Sementara di Jawa Timur, menurut Puslittanak (1992) Tambak Rejo, Nganjuk, dan Jombang termasuk dalam status hara K rendah. Bojonegoro berstatus hara K sedang dan Ponorogo berstatus hara K tinggi. Menurut kriteria FDALR (2004), Tambak Rejo dan Jombang berstatus K rendah. Bojonegoro dan Nganjuk berstatus hara K sedang. Ponorogo berstatus hara K tinggi. Sebaran status hara K pada tanah sawah di Pulau Jawa berdasarkan kriteria Puslittanak (1992) dan FDALR (2004) dapat dilihat pada Gambar Lampiran 2-3.
Rachim (1995) menyatakan bahwa kelas status hara K rendah mengindikasikan kebutuhan pupuk K yang banyak, respon pemupukan K tinggi, tanpa pupuk gejala kahat pasti muncul, pertumbuhan tanaman tanpa pupuk tidak normal, kemungkinan mati kecil meskipun tidak berubah. Kelas status hara K sedang menunjukkan bahwa kebutuhan hara K sedang, respon pemupukan K sedang, tanpa pupuk pertumbuhan tanaman kurang normal, gejala kahat tidak muncul, dan produksi rendah. Sedangkan untuk kelas status hara K tinggi tidak memerlukan pupuk, respon pemupukan rendah dan kebutuhan pupuk hanya untuk pemeliharaan.
Berdasarkan nilai rata-rata pada setiap provinsi, menurut kriteria Puslittanak (1992), Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berstatus hara K sedang. Sementara menurut kriteria FDALR (2004), Jawa Barat dan Jawa Tengah berstatus hara K tinggi sedangkan Jawa Timur berstatus hara K sedang.
4.4. Hubungan Jenis Tanah dengan Ketersediaan Kalium
Inceptisols, Ultisols dan Vertisols secara berturut-turut adalah 0.53 cmol+ kg-1, 0.11 cmol+ kg-1, dan 0.36 cmol+ kg-1.
Tingginya kadar Ktdd pada Inceptisols diduga karena pada tanah
Inceptisols perkembangan tanahnya belum begitu matang apabila dibandingkan dengan tanah matang seperti Ultisols (Nurwadjedi 2011) sehingga kadar Kdd lebih
tinggi dibanding dengan Ultisols. Rayes (2000) melaporkan hasil penelitiannya tentang genesis tanah sawah berbahan volkan merapi, yang termasuk dalam ordo Inceptisols. Sementara Sofyan et al. (1992) menyatakan bahwa lahan-lahan sawah yang berstatus K tinggi umumnya terdapat pada lahan sawah intensifikasi dengan sistem irigasi teknis serta lahan sawah dengan bahan induk volkan.
Tanah Ultisols mengalami pencucian intensif dari unsur pembentuk basa-basa (kejenuhan basa-basa < 35%). Tanah dengan jenis Ultisols secara umum mempunyai produktivitas yang rendah hingga sedang dan miskin akan unsur hara yang salah satunya hara K (Suwardi dan Wiranegara 2000). Selain itu, tanah Ultisols banyak mengandung mineral kaolinit, sehingga umumnya mempunyai kapasitas fiksasi rendah (Arifin et al. 1973). Oleh karena itu selain memiliki kadar Kdd rendah, Ultisols juga memiliki kadar Ktdd rendah dibandingkan dengan yang
lainnya.
Jenis tanah yang mempunyai kadar Ktdd tertinggi yaitu Vertisols dan
terendah Ultisols. Kadar Ktdd Inceptisols, Ultisols dan Vertisols secara
berturut-turut adalah 0.52 cmol+ kg-1, 0.11 cmol+ kg-1, dan 0.87 cmol+ kg-1.
Hasil menunjukkan bahwa kadar Ktdd tertinggi umumnya berjenis tanah
Vertisols. Tanah-tanah yang didominasi mineral liat tipe 2:1 seperti tanah Vertisols umumnya mempunyai KTK, K-fiksasi serta kadar Kt tinggi. Penelitian
yang dilaksanakan di India menunjukkan bahwa tanah-tanah Vertisols mempunyai kapasitas fiksasi K dan daya sangga terhadap K yang sangat tinggi. Pemberian pupuk K selalu meningkatkan cadangan K tersedia dalam bentuk Ktdd, tetapi tidak
selalu memberikan kenaikan terhadap ketersediaan K (Kdd dan Kl) karena
tergantung pada daya sangga K dalam Tanah (Ravoniarijaona 2009).
demikian dapat dikatakan bahwa fiksasi K merugikan dalam jangka pendek tetapi bermanfaat dalam jangka panjang karena K-terfiksasi merupakan K cadangan bagi tanaman.
Sementara jenis tanah yang mempunyai kadar Kt tertinggi Inceptisols dan
terendah Ultisols. Kadar Kt pada jenis tanah Inceptisols, Ultisols, dan Vertisols
secara berturut-turut adalah 0.28%, 0.03%, dan 0.15%.
[image:37.595.106.487.177.667.2]
Gambar 4. Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Jenis Tanah
Hasil uji Tukey (P < 0.05) menunjukkan bahwa jenis tanah tidak nyata secara statistik baik terhadap Kdd, Ktdd maupun terhadap Kt. Hal ini diduga karena
keragaman kadar Kdd, Ktdd, dan Kt pada setiap jenis tanah yang tinggi satu sama
lain. Selain itu dapat pula disebabkan karena sebaran penggunaan pupuk K di
Inceptisols Ultisols Vertisols
K‐dd 0,53 0,11 0,36
0,00 0,20 0,40 0,60 cmol +kg ‐ 1
KddPada Setiap Jenis Tanah
Inceptisols Ultisols Vertisols
K‐tdd 0,52 0,11 0,87
0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 cmol +kg ‐ 1
KtddPada Setiap Jenis Tanah
Inceptisols Ultisols Vertisols
K‐total 0,28 0,03 0,15
0,00 0,10 0,20 0,30
%
setiap jenis tanah tidak sama atau bervariasi yang dapat dilihat dari standar deviasinya yang tinggi (Tabel 9). Perbedaan kadar Kdd, Ktdd, dan Kt pada setiap
[image:38.595.107.504.102.803.2]jenis tanah secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Perbedaan Kadar Kdd, Ktdd, dan Kt Pada Setiap Jenis Tanah (n = 23)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Status hara K dapat dipertukarkan pada tanah sawah di Pulau Jawa di 23 lokasi contoh yang diambil bervariasi mulai dari rendah hingga tinggi. Menurut kriteria Puslittanak (1992), dari 23 lokasi contoh yang diambil terdapat 9 lokasi berstatus Kdd rendah, 8 lokasi berstatus Kdd sedang, dan 6 lokasi berstatus Kdd
tinggi. Di Jawa Barat dari 7 lokasi terdapat 2 lokasi berstatus Kdd rendah, 3 lokasi
berstatus Kdd sedang, dan 2 lokasi berstatus Kdd tinggi. Di Jawa Tengah dari 11
lokasi terdapat 4 lokasi berstatus Kdd rendah, 4 lokasi berstatus Kdd sedang, dan 3
lokasi berstatus Kdd tinggi. Di Jawa Timur dari 5 lokasi terdapat 3 lokasi berstatus
Kdd rendah, 1 lokasi berstatus Kdd sedang, dan 1 lokasi berstatus Kdd tinggi.
Berdasarkan nilai rata-rata pada setiap provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berstatus Kdd sedang.
Kadar Kdd, Ktdd, dan Kt pada setiap lokasi dan jenis tanah tidak berbeda
nyata. Jawa Tengah memiliki nilai rata-rata kadar Kdd dan Ktdd tertinggi secara
berturut-turut adalah 0.50 cmol+ kg-1 dan 0.83 cmol+ kg-1. Jawa Barat memiliki nilai rata-rata kadar Kt tertinggi sebesar 0.26%. Jawa Timur memiliki nilai
rata-rata kadar Kdd, Ktdd, dan Kt terendah secara berturut-turut adalah 0.30 cmol+ kg-1,
0.32 cmol+ kg-1, dan 0.08%. Inceptisols memiliki nilai rata-rata kadar Kdd dan Kt
tertinggi sementara Vertisols memiliki nilai rata-rata kadar Ktdd tertinggi
sedangkan Ultisols memiliki nilai rata-rata kadar Kdd, Ktdd, dan Kt terendah.
Pemupukan K di Pulau Jawa bervariasi yang dapat dilihat dari standar deviasinya yang tinggi pada hasil analisis kadar K-dapat dipertukarkan, K-tidak dapat dipertukarkan, dan K-total. Hasil menunjukkan bahwa kadar K-dapat dipertukarkan, K-tidak dapat dipertukarkan, dan K-total relatif sangat bervariasi untuk itu manajemen pemupukan K yang berbeda pada setiap provinsi harus diimplementasikan.
5.2. Saran
tanah sawah pada penelitian ini. Untuk penelitian selanjutnya, pengambilan contoh tanah sawah diharapkan diambil dalam jumlah yang sama atau hampir sama pada setiap provinsi.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih JS. 1984. Beberapa faktor terhadap penyediaan kalium tanah sawah daerah Sukabumi dan Bogor [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Arifin, HF Perkin, dan KH Tan. 1973. Potassium fixation and reconstitution of micaceous structures in soils. Soil Sci 116: 31-35.
Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor: Balai Penelitian Tanah.
Barus J dan Andarias. 2007. Status hara fosfor dan kalium lahan sawah Kabupaten Lampung Tengah. J Tanah dan Lingk 9(1): 16-19.
Brady NC. 1990. The Nature and Properties of Soils. 10th ed. New York: Macmillan Publishing Company.
Dobermann A dan T Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient Disorders and Nutrient Management. Canada: IRRI-PPI-PPIC.
[FAO]. 1998. Word reference base for soil resourch. World Soil Resources Report 84. Rome: FAO.
[FDALR] Federal Departement of Agriculture Land Resources. 2004. Soil tested based fertilizer recommendation for extension workers national: Special Programme for Food Security. J Abuja Nigeria 22-23.
Goulding KWT. 1987. Potassium fixation and release. Prosiding Of the Colloquium of the International Potash Institute 20: 137-154.
Hardjowigeno S, H Subagyo, ML Rayes. 2004. Morfologi dan klasifikasi tanah sawah. Hlm. 1 dalam Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Havlin JL, JD Beaton, SL Tisdale, WL Nelson. 1999. Soil Fertility and
Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management. 6th ed. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall.
Janke W. 1992. Role of potash toward yield of food crops in Asia countries. Hlm. 163-180 dalam Peranan Kalium dalam Pemupukan Berimbang untuk Mempercepat Swasembada Pangan. Prosiding Seminar Nasional Kalium. Jakarta, 4 Agustus 1992.
Kirkman JH, A Basker, A Surapaneni, AA Macgregor. 1994. Potassium in the soils of New Zealand a review. New Zealand Journal of Agricultural Research 37: 207-227.
Leiwakabessy FM, UM Wahjudin, Suwarno. 2003. Kesuburan Tanah. Bogor: Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
[LPT] Lembaga Penelitian Tanah. 1977. Peta status kadar K tanah sawah Jawa Madura Skala 1 : 1.000.000. Soil Sci 149: 44-51.
Metson AJ. 1980. Potassium in New Zealand soils. Departement of Scientific and Research. New Zealand Soil Bureau report 38: 61. Nurwadjedi. 2011. Indeks keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung
penataan ruang: studi kasus di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Odjak M. 1992. Effect of potassium fertilizer in increasing quality and quantity of crop yield. Hlm. 94-104 dalam Peranan Kalium dalam Pemupukan Berimbang untuk Mempercepat Swasembada Pangan. Prosiding Seminar Nasional Kalium. Jakarta, 4 Agustus 1992.
Oviasogie PO dan AE Aghimien. 2011. Fractionation of potassium in soil cultivated to the oil palm (Eleais guineensis jacq). Nig. J.Life Sc. 1 1: 74-78.
Partohardjo S, M Ismunadji, G Soepardi. 1977. Penentuan areal persawahan di Jawa yang memerlukan pupuk kalium. Simposium I. Peranan Hasil Penelitian Padi dan Palawija dalam Pembangunan Pertanian Maros, 26-29 September 1977. Lembaga Pusat Penelitian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. [Puslittanak] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1992. Status kalium
dan peningkatan efisiensi pemupukan KCl pada tanah sawah di Jawa Barat dan Jawa Tengah dalam Setyorini, JS Adiningsih, Rochayati S. 2003. Uji Tanah Sebagai Dasar Penyusunan Rekomendasi Pemupukan. Bogor: Balai Penelitian Tanah.
Rachim A. 1995. Pembinaan Uji Tanah Hara Makro N, P, K, S, Ca, Mg. Bahan Penelitian Pembinaan Uji Tanah dan Analisis Tanaman. Bogor.
Ravoniarijaona M. 2009. Aplikasi asam oksalat dan Fe pada Vertisol dan Alfisol terhadap pertumbuhan dan serapan K tanaman jagung [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Schroeder D. 1974. Relationship between soil potassium and the K nutrition of the plant. Prosiding The Congress of The International Potash Institute 10: 53-63.
Situmorang R dan Untung S. 2001. Bahan Kuliah Tanah Sawah. Bogor: Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Soepardi G dan M Ismunadji. 1987. Harkat kalium tanah dan pemakaian pupuk kalium di Indonesia dalam Diagnosis dan Perbaikan Kahat Kalium Pada Tanaman Utama. Hlm. 53-59. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sofyan A, Nurjaya, A Kasno. 2004. Status hara tanah sawah untuk rekomendasi. Hlm. 83 dalam Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Sudjadi M, JS Adiningsih, DW Gill. 1985. Potassium availability in soils of
Indonesia. In 19th. Coll of the Int’l. Potash Inst.: 157-168 dalam Diagnosis dan Perbaikan Kahat Kalium Pada Tanaman Utama. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suwardi dan H Wiranegara. 2000. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Bogor:
Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Tisdale SL, WL Nelson, JD Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. 10th ed. New York: Macmillan.
Tabel Lampiran 1. Titik Koordinat Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di Pulau Jawa
Nama Lokasi Lokasi Elevasi
(m) S E
Karawang 06°16' 25.0" 107°17' 08.7" 31
Jatisari 06°21' 26.4" 107°32' 36.9" 45
Pamanukan 06°16' 43.4" 107°50' 39.2" 22
Indramayu 06°24' 57.7" 108°16' 33.2" 23
Palimanan 06°40' 52.3" 108°25' 32.6" 28
Cicalengka 07°06' 07.3" 108°06' 09.6" 785
Cikarawang 06°33' 05.1" 106°44' 22.4" 195
Brebes 06°52' 32.5" 109°03' 46.6" 19
Suradadi 06°52' 24.2" 109°15' 02.0" 23
Batang 06°58' 39.3" 109°53' 39.1" 178
Kendal 06°56' 29.5" 110°14' 36.1" 19
Demak 06°55' 46.7" 110°32' 38.7" 16
Jekulo 06°48' 07.8" 110°56' 02.7" 29
Jogjakarta 07°49' 49.3" 110°27' 21.4" 103
Borobudur 07°34' 39.0" 110°15' 01.8" 318
Kutoarjo 07°43' 26.4" 109°52' 20.5" 23
Karanganyar 07°37' 36.1" 109°33' 55.4" 22
Buntu 07°35' 24.2" 109°15' 07.3" 18
Bojonegoro 07°08' 14.3" 111°48' 47.9" 40
Tambak Rejo 07°15' 54.7" 111°35' 10.9" 79
Nganjuk 07°33' 56.7" 111°50' 34.3" 74
Jombang 07°31' 48.1" 112°15' 24.8" 39
Tabel Lampiran 2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Berdasarkan Balai Penelitian Tanah (2009)
Parameter Tanah
Nilai sangat
rendah rendah sedang tinggi
sangat tinggi
C-total (%) < 1 1-2 2-3 3-5 > 5
N-total (%) < 0.1 0.1-0.2 0.21-0.5 0.51-0.75 >0.75
Nisbah CN < 5 5-10 11-15 16-25 > 25
KTK (cmol kg-1) < 5 5-16 17-24 25-40 > 40
Ca-dd (cmol kg-1) < 2 2-5 6-10 11-20 > 20
Mg-dd (cmol kg-1) < 0.4 0.4-1 1.1-2.0 2.1-8.0 > 8 Na-dd (cmol kg-1) < 0.1 0.1-0.3 0.4-0.7 0.8-1.0 > 1.0
KB (%) < 20 20-40 41-60 61-80 > 80
sangat
masam masam
agak
masam netral
agak
alkalin Alkalin pH (H2O) < 4.5 4.5-5.5 5.5-6.5 6.5-7.5 7.6-8.5 > 8.5
Tabel Lampiran 3. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kdd Pada Setiap Lokasi
Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat
Tengah F Hitung P
Perlakuan 2 0.140 0.070 0.39 0.682
Galat 20 3.582 0.179
Total 22 3.722
Nyata pada taraf α = 0.05 Standar Deviasi (SD) : 0.4232
Tabel Lampiran 4. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Ktdd Pada Setiap Lokasi
Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat
Tengah F Hitung P
Perlakuan 2 1.266 0.633 1.60 0.227
Galat 20 7.913 0.396
Total 22 9.178
Tabel Lampiran 5. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kt Pada Setiap Lokasi Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat
Tengah F Hitung P
Perlakuan 2 77.0 38.5 2.31 0.125
Galat 20 333.3 16.7
Total 22 410.3
Nyata pada taraf α = 0.05 Standar Deviasi (SD) : 4.083
Tabel Lampiran 6. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kdd Pada Setiap Jenis
Tanah Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat
Tengah F Hitung P
Perlakuan 2 0.391 0.195 0.17 0.330
Galat 20 3.331 0.167
Total 22 3.722
Nyata pada taraf α = 0.05 Standar Deviasi (SD) : 0.4081
Tabel Lampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Ktdd Pada Setiap Jenis
Tanah Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat
Tengah F Hitung P
Perlakuan 2 1.079 0.539 1.33 0.286
Galat 20 8.100 0.405
Total 22 9.178
Tabel Lampiran 8. Hasil Analisis Sidik Ragam Perbedaan Kt Pada Setiap Jenis
Tanah
Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat
Tengah F Hitung P
Perlakuan 2 0.1397 0.0699 2.93 0.077
Galat 20 0.4770 0.0238
Total 22 0.6167
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemupukan kalium (K) memegang peranan penting dalam meningkatkan produksi pertanian disamping pupuk nitrogen (N) dan fosfor (P). Pemupukan K di Indonesia mulai berkembang pesat sejak dicanangkannya Program Bimbingan Massal (BIMAS) oleh pemerintah sekitar tahun 60-an yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian. Umumnya penggunaan pupuk tersebut belum didasarkan pada potensi atau status hara tanah dan kebutuhan tanaman. Sementara tanggap tanaman terhadap pemupukan K berbeda, tergantung status K di dalam tanah dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyerapannya di sawah (Barus dan Andarias 2007).
Tahun 1975 diketahui bahwa status hara K tanah sawah di Jawa berkisar dari rendah sampai tinggi, dan diantaranya 1.8 juta ha sawah diketahui kahat K (LPT 1977). Partohardjono et al. (1977) yang memakai batas kritikal 124 ppm K (Bray II) menduga bahwa luasan sawah yang ditanami padi sekali setahun yang kahat K ada 1.07 juta ha, sedangkan yang ditanami dua kali setahun ada 1.07 juta ha. Dengan demikian secara menyeluruh ada 3.40 juta ha luas panen padi sawah yang kahat K. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan Lembaga Penelitian Tanah (1977) yang memakai pengekstrak 25% HCl.
Pusat Penelitian Tanah pada tahun 2000 melaporkan bahwa sebagian besar lahan sawah di 18 provinsi di Indonesia berstatus K tinggi (pengekstrak 25% HCl), yaitu sebanyak 54.97% lahan sawah berstatus K tinggi, 32.08% berstatus K sedang dan hanya 12.95% lahan sawah berstatus K rendah. Sebagian besar lahan sawah berstatus K tinggi tersebut berada di Pulau Jawa. Menurut Sofyan et al. (2004), lahan sawah yang berstatus K tinggi ini diakibatkan oleh pemupukan K yang dilakukan secara menerus. Pemupukan K yang dilakukan secara terus-menerus akan menyebabkan ketidakseimbangan hara tanah yang disinyalir dapat mengakibatkan terjadinya pelandaian produktivitas (leveling off) padi sawah.
(Soepardi 1983). Namun apabila jumlah K di dalam larutan tanah tidak mencukupi kebutuhan tanaman maka akan terjadi kekahatan K. Kahat K menimbulkan penurunan produksi dan mutu hasil tanaman yang menyolok dan menekan ketepatgunaan sarana produksi lainnya.
Pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi dikenal sebagai lumbung beras nasional. Pulau Jawa diantara pulau-pulau lainnya merupakan lumbung beras andalan. Pada tahun 2008, Pulau Jawa dengan luas 5.74 juta ha mampu menyumbang 55% dari produksi gabah giling (GKG) di Indonesia. Ditinjau dari penyebarannya, lebih dari 60% tanah sawah di Indonesia berada di Pulau Jawa (Nurwadjedi 2011).
Bertolak dari uraian tersebut maka perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap status hara K tanah sawah di Pulau Jawa guna meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan menjaga hasil padi sawah tetap tinggi. Sementara saat ini data mengenai kadar dapat dipertukarkan, tidak dapat dipertukarkan dan K-total di Pulau Jawa belum tersedia. Penelitian ini membagi status hara K ke dalam tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi dengan pengekstrak 1 M NH4OAc pH 7
untuk K-dapat dipertukarkan, serta menganalisa kadar K-tidak dapat dipertukarkan dan K-total tanah sawah di Pulau Jawa.
1.2. Tujuan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Peranan Kalium Terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi Sawah
Peranan utama kalium (K) dalam tanaman adalah sebagai aktivator berbagai enzim (Soepardi 1983). K merupakan satu-satunya kation monovalen yang esensial bagi tanaman. K terlibat dalam semua reaksi biokimia yang berlangsung dengan tanaman dan merupakan batasan yang paling banyak diperlukan tanaman. K bukan penyusun bagian integral komponen tanaman, melainkan fungsinya sebagai katalis berbagai fungsi fisiologis esensial (Tisdale et al. 1985).
Adanya K tersedia yang cukup dalam tanah menjamin ketegaran tanaman. Selanjutnya membuat tanaman lebih tahan terhadap berbagai penyakit dan merangsang pertumbuhan akar (Soepardi 1983). K dikenal sebagai hara penentu mutu produksi tanaman (Janke 1992).
Kahat K pada tanaman akan menghambat seluruh proses metabolisme sehingga produksi turun. Pada tanaman padi sawah, kahat K menyebabkan tanaman cepat menua, pemasakan tidak merata, dan kehampaan gabah tinggi (Karama et al. 1992). Selain itu menurut Dobermann dan Fairhurst (2000), kahat K menyebabkan tanaman padi sawah tumbuh kerdil (daun lebih kecil, pendek, dan batang kurang keras), mudah rebah dan daun mudah menggulung. Kahat K juga menyebabkan bobot 1000 butir gabah turun, translokasi karbohidrat terhambat, sistem perakaran tidak sehat menyebabkan penurunan serapan hara lainnya, dan daya oksidasi akar buruk menurunkan ketahanan terhadap bahan-bahan toksik.
2.2. Fraksi-fraksi Kalium dalam Tanah
K-tidak dapat ditukarkan K-dapat ditukarkan K-larut Gambar 1. Bagan Perbandingan Relatif dari Kalium yang Tidak, Segera, dan
Lambat Tersedia (Sumber: Brady 1990)
[image:55.595.103.511.61.803.2]Menurut Kirkman et al. (1994), Jumlah K yang berada dalam masing-masing fraksi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor tanah, antara lain: jenis dan jumlah mineral liat, serapan hara tanaman, penggunaan pupuk, pencucian, dan efektivitas proses fiksasi pelepasan yang berlangsung di dalam tanah. Keseimbangan dinamik antara fraksi-fraksi K tanah dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Keseimbangan Dinamik Antar Fraksi-fraksi Kalium Tanah (Sumber: Kirkman et al. 1994)
Relatif tidak tersedia
(feldspar, mika, dan lain-lain) (90-98% dari K-total)
Relatif segera tersedia K-dapat dipertukarkan dan K-larut
(1-2% dari K-total) Relatif lambat tersedia
K-tidak dapat dipertukarkan (1-10% dari K-total)
90% 10%
Sisa Tanaman Pupuk Kandang Mika Feldspar Gelas volkan Pencucian K-larut Pupuk K Serapan Tanaman K-tidak dapat dipertukarkan Mineral liat Bahan organik K-dapat dipertukarkan K-terfiksasi Mika terlapuk Liat intergrade Vermikulit Liat amorf K-struktural A R D R F W F R F
[image:55.595.106.499.440.720.2]Menurut Schroeder (1974) umumnya kadar Kdd kurang dari 2% dari Kt
tanah atau berkisar antara 10-400 ppm. Namun demikian tanah-tanah yang ditanami secara intensif mengandung Kdd yang bervariasi sekitar 1-5% dari Kt
tanah. K-dapat dipertukarkan (Kdd) didefinisikan sebagai K yang dijerap pada
kompleks permukaan kol