• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diversity and Dispersal of Amphibian in Palm Oil Agriculture Landscape Elements: Case Study PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan District, West Sumatra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diversity and Dispersal of Amphibian in Palm Oil Agriculture Landscape Elements: Case Study PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan District, West Sumatra"

Copied!
273
0
0

Teks penuh

(1)

KASUS KAWASAN PT. KENCANA SAWIT INDONESIA,

KABUPATEN SOLOK SELATAN, SUMATRA BARAT

EDWIN WIRA PRADANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman dan Dispersal Amphibia pada Elemen Lanskap Perkebunan Kelapa Sawit: Studi Kasus Kawasan PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan di dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Edwin Wira Pradana

(4)
(5)

EDWIN WIRA PRADANA. Diversity and Dispersal of Amphibian in Palm Oil Agriculture Landscape Elements: Case Study PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan District, West Sumatra Under supervision of MIRZA DIKARI

KUSRINI and LILIK BUDI PRASETYO

Abstract

High conservation value forest approach on palm oil sustainability management brings heterogeinity in landscape perspective, but it may be ecologically susceptible for amphibian community conservation, due to habitat fragmentation that acts as dispersal barrier, through matrix permeability and corridor effectiveness. Objective observation focusing on impact of agricultural activities on amphibians dispersal could be used to help mitigation efforts. This research aimed to analyze amphibian diversity similarity on landscape elements, analyzing amphibian dispersal by proving amphibian diversity correlation with distance from core area on corridor and matrix, comparing direct/non direct link corridor to core area and upstream/downstream diversity and dispersal ability by distribution spread at landscape elements. Visual Encounter Survey (VES) with transect design method was conducted in core area, matrix and corridor. A total of 1055 individual were found at research sites consisted of 5 families, 9 genera and 27 species. Amphibian diversity did not differ significantly compared to distance correlation to core area, direct/nondirect link and upstream/downstream corridors but differ significantly between core area-matrix distance correlation. Almost all forest specialist had limited distribution to core area and corridor. In the core area, aquatic species are more capable to survive compared to terrestrial species based on dispersal ability in landcape element. Corridors were only effective for aquatic species and habitat fragmentation effects varied for each species.

(6)

EDWIN WIRA PRADANA, Keanekaragaman dan Dispersal Amphibia Pada Elemen Lanskap Perkebunan Kelapa Sawit: Studi Kasus Kawasan PT. Kencana Sawit Indonesia, Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan LILIK BUDI PRASETYO

Fragmentasi hutan merupakan ancaman utama bagi biodiversitas hutan, sering terjadi karena faktor manusia. Antara lain faktor pertanian/ perkebunan dengan kelapa sawit (Elais guineae) sebagai salah satu komoditas budidaya paling pesat

perkembangannya di Indonesia. Pengelolaan perkebunan secara berkelanjutan dengan pola sertifikasi menggunakan rumusan wilayah-wilayah berkategori bernilai konservasi penting (HCV) merupakan salah satu solusi yang diajukan untuk mengatasi hal ini. Hutan bentukan ini seringkali berupa koridor dan potongan-potongan yang terfragmentasi yang terisolasi dari hutan alam utama.

Konsep koridor yang dikenal selama ini adalah sebagai penghubung antar habitat yang digunakan untuk dispersal oleh biodiversitas, namun efektifitas dari koridor sering kali dipertanyakan seberapa baik perannya dapat mendukung dispersal pada biodiversitas. Belum pernah ada kajian yang dilakukan mengenai dampak posisi area inti pada koridor bagi diversitas amphibia. Data ilmiah yang objektif mengenai dampak perkebunan terhadap biodiversitas masih dibutuhkan untuk membantu upaya mitigasi dan membantu upaya konservasi biodiversitas.

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan: 1) korelasi antara keanekaragaman jenis pada amphibia dengan jarak terhadap sumber keanekaragaman pada riparia berkoridor dan menganalisa kesamaan keanekaragaman jenis pada area inti dan riparia berkoridor; 2) menganalisa perbandingan keanekaragaman jenis amphibia pada wilayah riparia dengan ragam paparan sumber keanekaragaman pada koridor dan keanekaragaman jenis pada koridor hulu dan hilir dan; 3) menganalisa dispersal amphibia melalui pola sebarannya pada matriks dan koridor.

Penelitian ini dilaksanakan di lanskap Perkebunan Kelapa sawit PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Kabupaten Solok Selatan, Sumatra barat, penelitian berlangsung selama 6 bulan pada rentang April-September 2011. Kegiatan penelitian diawali dengan pengumpulan data dengan menggunakan metode Visual Encounter Survei (VES) desain transek pada 22 lokasi dengan panjang 500 meter serta 2 kali pengulangan, tersebar pada 3 elemen lanskap: area inti, matriks dan koridor, Analisis data dilakukan dengan uji statistik (regressi linear sederhana, uji t dan kluster analisis) dengan program Minitab 14, untuk data diversitas dihitung dengan Indeks Kekayaan Jenis Jackknife, Keanekaragaman dan Kelimpahan Jenis Shannon-wienner, preferensi habitat dan pola sebaran spasial, data habitat di analisis secara deskriptif berdasarkan kondisi lokasi sampel amphibia yang ditemukan di lapangan.

Tercatat 5 famili, 9 genera dan 27 spesies dengan total sebanyak 1055 individu ditemukan pada 22 lokasi. Keanekaragaman amphibia tertinggi ditemukan pada elemen area inti (2,5 dan 2,25) serta terendah pada koridor (1,98 dan 1,91),

(7)

perairan. Hasil analisis regresi, korelasi antara jarak dan keanekaragaman pada area inti-koridor menghasilkan persamaan H = 1,37 + 0,000187 Jarak+ ϵ, p ≥ 0,005, menunjukkan tidak ada korelasi signifikan antara jarak dengan keanekaragaman amphibia pada koridor namun korelasi jarak dengan keanekaragaman pada area inti matriks memiliki korelasi positif yang berbeda nyata dengan persamaan H = 0,768 + 0,00159 Jarak+ϵ, p ≤ 0,05. Uji beda keanekaragaman amphibia pada koridor yang terpapar dan tidak terpapar dengan area inti serta bagian hulu dan hilir juga tidak menunjukan adanya perbedaan yang signifikan.

Analisis pola sebaran spasialnya menunjukkan spesies amphibia pada kawasan KSI memiliki tiga pola: Agregat (B. asper, F. cancrivora, F. limnocharis, H. sumatrana, K. pleurostigma, L. wayseputiense, L. blyhtii, L. crybetus, L. kuhlii, M. borneensis, M. heymonsi, O. sumatrana, P. leucomystax, Polypedates sp, R. erythraea, R. hosii, R. nicobariensis, R. parvaccola, R. picturata dan R. raniceps);

acak (B. biporcatus, Microhyla sp dan O. laevis); dan homogen (L. microdiscus, M. berdmorei, P. cf macrotis dan R. cyanopunctatus). Sedangkan berdasarkan

analisis preferensi habitat menunjukkan sebagian besar spesies hanya memiliki preferensi pada satu habitat saja seperti pada: Area inti (B. biporcatus, R. picturata, O. laevis, O. sumatrana, K. pleurostigma, L. wayseputiense, M. borneensis dan M. sp); matriks (F. cancrivora, F. limnocharis, R. nicobariensis, R. parvaccola, M. berdmorei, M. heymonsi, P. leucomistax dan P. cf macrotis);

dan koridor (B. asper, H. sumatrana, R. hosii, L. blythii, L. kuhlii dan R. cyanopunctatus). Sebagian lainnya memiliki preferensi pada dua habitat yang

berbeda antara lain: pada area inti-matriks (L. microdiscus dan Polypedates sp);

area inti-koridor (L. crybetus); dan matriks-koridor (R. erythraea dan R. raniceps).

Amphibia pada kawasan PT.KSI dapat dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama adalah kategori spesies obligat, pada area inti yaitu: Bufo biporcatus, Microhyla sp, Occidozyga laevis, O. sumatrana, M. borneensis dan Kalophrynus pleurostigma); pada matriks (Polypedates cf macrotis) dan pada koridor (Huia sumatrana dan Rhacophorus cyanopunctatus), secara umum dapat diasumsikan

spesies-spesies ini merupakan spesies spesialis dan bersifat spesifik serta memiliki preferensi habitat sesuai dengan elemen lanskap yang ditempatinya. Spesies spesifik ini diyakini tidak melakukan dispersal karena tidak ditemukan pada elemen lainnya.

Kategori kedua adalah spesies fakultatif, kategori terdiri atas spesies yang memiliki kemampuan untuk hidup pada dua elemen yang berbeda dan memiliki preferensi pada salah satu atau kedua elemen untuk ditempati, terdiri atas tiga bagian yaitu: Area inti-koridor, spesies yang mampu hidup pada kedua elemen ini hanya R. picturata. Dimana spesies ini ditemukan pada area inti perairan dan

koridor yang juga berbentuk badan air. Namun preferensi dari spesies lebih dominan pada area inti; Area inti-matriks, terdiri atas 4 spesies yaitu P. leucomystax, Polypedates sp, M. heymonsi dan L. wayseputiense. P. leucomystax

dan M. heymonsi memiliki preferensi habitat pada matriks, sedangkan spesies

(8)

yang kelimpahannya masuk dalam kategori jarang sedangkan 3 spesies lainnya kelimpahannya berkategori langka.

Kategori ketiga adalah spesies generalis, terdiri atas spesies amphibia yang mampu hidup beradaptasi pada ketiga elemen lanskap perkebunan, dengan total 9 spesies dan semuanya memiliki habit akuatik..

(9)

©

Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar.

(10)
(11)

KABUPATEN SOLOK SELATAN, SUMATRA BARAT

EDWIN WIRA PRADANA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)
(14)

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar magister sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor. Topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekologi lanskap dengan judul Keanekaragaman dan Dispersal Amphibia pada Elemen Lanskap Perkebunan Kawasan PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam upaya konservasi dan sebagai acuan pengelolaan dan mitigasi konservasi amphibia pada perkebunan kelapa sawit

Bogor, Juni 2012

(15)
(16)

Edwin Wira Pradana dilahirkan pada Tanggal 12 Oktober 1984 di Kutacane, Kecamatan Kutarih, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, sebagai anak ke-dua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Edison Basri dan Ibu Wirdaty Johar. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Andalas pada Tahun 2009. Setelah kelulusan Penulis bekerja sebagai tenaga free lance pada proyek penelitian dan konservasi berbasis komunitas di Sumatra Barat dan Editor pada Penerbit Eadore Books, kemudian pada pertengahan tahun 2009 mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) di Sekolah Pascasarjana IPB.

Selama mengikuti pendidikan Magister, penulis mengikuti berbagai kegiatan seminar nasional dan internasional pada bidang keanekaragaman hayati (KEHATI) terutama untuk konservasi satwa, tumbuhan dan ekosistem hutan. Pembelajaran untuk memahami pentingnya menyeimbangkan antara perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan adalah faktor kunci dalam konservasi biodiversitas tropika menjadi perhatian dan fokus utama penulis dalam mengambil subjek pembelajaran.

(17)
(18)

Penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M. Si, dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc sebagai komisi pembimbing atas pemikiran, waktu, kesabaran dalam memberikan arahan dan bimbingan selama proses penulisan tesis ini. Penulis ucapkan pula terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M. Sc. yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis.

2. Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M, Zuhud, M. S sebagai Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika. Dr. Ir. Achmad Machmud Thohari, D.E.A (Ketua Program Studi KVT Periode 2008-2011) dan seluruh dosen pengajar dan staf Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Pak Mohamad Sofwan Hidayat, Bunga dan Umi).

3. Direktur Zoological Society of London Indonesia (ZSL) yang telah bersedia mensupport penelitian ini. Sophie, Pak Anhar, Pak Iman dan Mbak Erna yang telah banyak membantu dalam administrasi.

4. Dr. Wilson Novarino atas arahan dan pencerahannya bagi penulis, Prof. Dr. Siti Salmah, Dr. Djong Hon Tjong dan Dr. Syaifullah atas rekomendasinya penulis dapat melanjutkan ke jenjang Master.

5. Keluarga tercinta Papa Edison Basri dan Mama Wirdaty Johar, Penulis sampaikan terima kasih tak terhingga atas berkat curahan kasih sayangnya telah mengantarkan penulis dapat menuntut ilmu di perguruan tinggi. Kakak Witri Intania dan Keluarga, adikku tersayang Esty Fitrah Islamadina yang selalu mendoakan perjuangan Penulis dalam menyelesaikan studi, terkhusus Maharani Anischan atas doa dan motivasinya bagi penulis. Keluarga Tante Ta di Padang atas kehangatannya.

6. Estate Manager PT. Kencana Sawit Indonesia yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian tesis ini di kawasan Perkebunannya. Terima kasih untuk Manager HRD, Bapak Zul, Ober dan Staff HCVF yang telah membantu penulis dalam adiministrasi dan penyediaan data.

7. Taufik, Desman, Rudi, Rivo dan Zie yang setia telah menyumbangkan tenaga dan waktu untuk membantu pengumpulan data penelitian di lapangan. Kepada Angga atas petunjuknya pada analisis spasial, Sahabat baik Herik Kiswanto atas semua bantuannya.

(19)

Rebecca Prananta, Iin Barus, Delsi, Dedi Curup, Bang Dedi Hutapea.

Penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak, demikian pula dalam penyusunan tesis ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan yang disebabkan oleh keterbatasan wawasan dan pengetahuan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun, demi penyempurnaan penulisan di masa yang akan datang sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Terima kasih

Bogor, Juni 2012

(20)

i

2.1. Perkebunan dan Biodiversitas ...………...……... 5

2.1.1. Perkebunan dan Konservasi Biodiversitas ……….…... 5

2.1.2. Perkebunan dengan Pola Pengelolaan Berkelanjutan……. 6

2.1.3. Amphibia dalam Kawasan Perkebunan……….…. 8

2.2. Fragmentasi Habitat ...………..……… 10

2.2.1. Teori Biogeografi Pulau.………...…… 10

2.2.2. Dampak Fragmentasi Terhadap Biodiversitas...………. 11

2.3. Dampak Fragmentasi Habitat Bagi Amphibia...……..………… 12

2.3.1. Amphibia pada Wilayah Terfragment...……...…...….. 12

2.3.2. Dispersal Amphibia dan Elemen Lanskap...………….…. 13

III. METODOLOGI PENELITIAN... 15

3.1. Lokasi dan Waktu... 15

3.2. Alat dan Bahan... 15

3.3. Jenis Data... 16

3.4. Metode Pengumpulan Data... 16

3.4.1. Data Primer... 16

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 25

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 37

5.1. Hasil... 37

5.1.1. Komposisi dan Similaritas Spesies pada Elemen Lanskap.. 37

5.1.1.1. Komposisi dan Similaritas Spesies pada Elemen Lanskap... 37

(21)

ii

5.1.2. Perbandingan Keanekaragaman Jenis Amphibia pada Koridor yang Terpapar dan Tidak dengan Area Inti serta

pada Bagian Hulu dan Hilir... 44

5.1.2.1. Perbandingan Keanekaragaman Jenis Amphibia pada Koridor yang Terpapar dan Tidak Terpapar dengan Area Inti... 44

5.1.2.2. Perbandingan Keanekaragaman Jenis Amphibia pada Aliran Sungai Bagian Hulu dan Hilir... 45

5.1.3. Distribusi dan Dispersal Amphibia... 47

5.1.3.1. Distribusi Amphibia... 47

5.1.3.2. Dispersal Amphibia... 51

5.2. Pembahasan... 53

5.2.1. Keanekaragaman dan Similaritas Spesies pada Elemen Lanskap dan Korelasi Jarak dengan Keanekaragaman... 53

5.2.1.1. Keanekaragaman dan Similaritas Spesies pada Elemen Lanskap... 53

5.2.1. 2. Korelasi Jarak dengan Keanekaragaman... 59

5.2.2. Perbandingan Keanekaragaman Jenis Amphibia pada Koridor yang Terpapar dan Tidak dengan Area Inti serta pada Bagian Hulu dan Hilir... 65

5.2.2.1. Perbandingan Keanekaragaman Jenis Amphibia pada Koridor yang Terpapar dan Tidak Terpapar dengan Area Inti... 65

5.2.2.2. Perbandingan Keanekaragaman Jenis Amphibia pada Aliran Sungai Bagian Hulu dan Hilir... 67

5.2.3. Distribusi dan Dispersal Amphibia... 69

(22)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Daftar Alat dan Bahan ...………... 16 2 Daftar Jalur VES ...……… 17 3 Persamaan Regresi antara Jarak dengan Diversitas... 43 4 Nilai t Hitung Uji t Student Keanekaragaman antara Sungai Jujuan

dengan Sungai Suir ………..……….. 44

5 Nilai t Hitung Uji t Student Keanekaragaman pada Bagian Hulu dan

(23)

iv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Lokasi Penelitian di Kawasan PT. Kencana Sawit Indonesia... 15 2 Peta dan Ilustrasi Jalur Pengamatan Amphibia Lanskap Bukit Tengah

Pulau... ... 18 3 Peta dan Ilustrasi Jalur Pengamatan Amphibia Lanskap Bukit Salo... 19 4 Bukit Salo... 26 5 Bukit Tengah Pulau...……….……. 28 6 Matriks Bukit Tengah Pulau... 30 7 Matriks Bukit Salo ...……….. 31 8 Sungai Suir ...………... 32 9 Sungai Jujuan ...………...………... 34 10 Diagram Kurva Akumulasi Spesies... 37 11 Diagram Estimasi Kekayaan Jenis pada Elemen Lanskap Perkebunan

Kelapa Sawit.………... ……….……... 38

12 Diagram Diversitas Amphibia pada Elemen Lanskap A. Jumlah

Spesies, B. Keanekaragaman, C. Kemerataan ………..……... 39 13 Diagram Similaritas Komposisi dan Kelimpahan Amphibia pada Tiap

Lokasi...………... 41

14 Diagram Komposisi Spesies Per Subtransek Antara Bagian Hulu dan

Hilir Sungai Jujuan ….…………... 45 15 Diagram Komposisi Spesies Per Subtransek Antara Bagian Hulu dan

Hilir Sungai Suir. ...….…….. 46 16 Peta Sebaran Amphibia pada Area Inti, Matriks dan Koridor Bukit

(24)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Karakter Lingkungan... 95 2 Ukuran SVL dan Massa Komunitas Amphibia Di KSI... 97 3 Jenis-jenis Amphibia dan Mikrohabitatnya pada Elemen Lanskap

Perkebunan...………... 98 4 Indeks Keanekaragaman Shannon-wienner ... 100 5 Indeks Kemerataan Shannon-wienner... 101 6 Indeks Similaritas Sorensen... 102 7 Regresi Jarak Area Inti-Koridor... 103 8 Regresi Jarak Area Inti-Matriks... 104 9 Korelasi Pearson... 105 10 Uji t Keanekaragaman Jenis Amphibia pada Wilayah Riparia dengan

Ragam Paparan... 106 11 Uji t Keanekaragaman Jenis Amphibia pada Wilayah Riparia Pada

(25)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Fragmentasi hutan merupakan ancaman utama bagi biodiversitas hutan. Habitat yang terfragmen menyebabkan terbatasnya sumberdaya berkenaan dengan ruang (Fahrig 2003) dan akses (Robertson & Radford 2009), memicu peningkatan efek tepi di daerah peralihan (Forman & Godron 1986), hilangnya spesies dalam wilayah yang terfragmen, perubahan komposisi populasi dan proses ekologi yang melibatkan spesies (Bennett 2003).

Fragmentasi hutan umumnya lebih sering terjadi karena faktor manusia. Penyebabnya antara lain dikarenakan pembukaan lahan untuk tujuan pembangunan infrastruktur dan pertanian/perkebunan dan pembalakan liar. Pembangunan pertanian/perkebunan saat ini merupakan ancaman utama sebagai penyebab terjadinya fragmentasi hutan (Abdullah & Nakagoshi 2007), dengan kelapa sawit (Elais guineae) sebagai salah satu komoditas budidaya paling pesat

perkembangannya di Indonesia diperkirakan lebih dari 10 juta hektar perkebunan sawit pada saat ini (Glastra et al. 2002).

Pengelolaan perkebunan secara berkelanjutan adalah salah satu solusi untuk menstabilkan ekosistem. Pola sertifikasi telah diperkenalkan dan pengakomodasian ruang bagi biodiversitas telah diatur di dalamnya, salah satunya dengan menggunakan rumusan wilayah-wilayah berkategori bernilai konservasi penting (HCV). Hutan bentukan ini seringkali berupa koridor dan potongan-potongan yang terfragmentasi yang terisolasi dari hutan alam utama.

Potongan hutan yang tersisa lambat laun akan kehilangan keragaman spesies jika kolonisasi dari area inti tidak mampu mengimbangi laju kepunahan pada potongan hutan tersebut. Kemampuan spesies untuk berkoloni akan bergantung pada beberapa faktor termasuk pergerakan (kelincahan) spesies, jarak antar potongan hutan dan karakter dari matriks yang melingkupinya (Weyrauch & Grubb 2004).

(26)

kekayaan spesies pada jarak tertentu dengan area inti (Burbrink et al. 1998),

dikarenakan kekayaan spesies dipengaruhi oleh jarak berkenaan dengan teori biogeografi pulau (MacArthur 1972; Rizaldi et. al. 2010). Hal ini juga berlaku

pada amphibia, diversitas amphibia dipengaruhi oleh jarak keterisolasian dengan sumber populasi lainnya, namun respon yang diberikan tiap jenis berbeda dikarenakan adanya variasi pemilihan relung ekologi dan pergerakan amphibia (Marsh & Pearman 1997). Tipe matriks yang mengisolasi wilayah yang terfragmen juga memiliki pengaruh pada keterisolasian habitat. Jenis matriks yang mengisolasi akan menentukan sensitifitas spesies untuk dapat berdispersal dan tentu beragam pada tiap spesies (Prugh et al. 2008).

Konsep koridor yang dikenal selama ini adalah sebagai penghubung antar habitat bagi dispersal biodiversitas, namun kenyataan di lapangan banyak koridor yang tidak terpapar dengan area inti secara langsung karena ada ruang yang diisi oleh matriks sehingga tidak terhubung satu sama lain. Efektifitas dari koridor sering kali dipertanyakan seberapa baik perannya dapat mendukung dispersal pada biodiversitas. Belum pernah ada kajian yang dilakukan mengenai dampak posisi area inti pada koridor bagi diversitas amphibia.

Sejauh ini belum diketahui daya dukung koridor dan matriks dalam perkebunan pada dispersal amphibia. Banyak spesies spesialis hutan yang tidak toleran terhadap perkebunan (Wanger et al. 2009). Sistem monokultur yang luas

dapat menjadi penghalang bagi pergerakan satwa, dispersal dan menyebabkan populasi dari satwa terisolasi (Bickel et al. 2006). Di Indonesia, banyak spesies

endemik yang ditemukan di dalam hutan (forest specialist). Hingga saat ini belum

diketahui lebih luas sejauh mana toleransi spesies terhadap dampak atas kegiatan manusia tanpa menunjukkan adanya penurunan populasi (Iskandar & Erdelen 2006). Data ilmiah yang objektif mengenai dampak perkebunan terhadap biodiversitas masih dibutuhkan untuk membantu upaya mitigasi. Studi ilmiah akan membantu meningkatkan upaya konservasi biodiversitas dalam kawasan perkebunan (Persey & Anhar 2010).

1.2. Perumusan Masalah

(27)

berupa pengelolaan berkelanjutan, yang didorong pelaksanaannya melalui pelaksanaan kawasan konservasi bernilai penting. Dalam penerapannya hal ini banyak menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran karena minimnya informasi mengenai efektifitas solusi yag ditawarkan bagi konservasi semua biodiversitas yang dalam konteks ini akan lebih spesifik pada kelas amphibia.

Konsep menghubungkan antara area inti dengan habitat yang terfragmen melalui koridor pada daerah riparia, umum diterapkan untuk mengatasi permasalahan habitat yang terfragmen. Ada dua permasalahan yang berkaitan dengan koridor. Pertama, efektifitas koridor sebagai wilayah penghubung bagi dispersal amphibia belum diketahui dengan baik. Amphibia merupakan satwa yang memiliki daya dispersal yang rendah karena pergerakan yang lambat dan memiliki ketergantungan yang kuat dengan daerah lembab dan cenderung

philopatric, dan sangat rentan terhadap kehilangan keragaman genetik. Kedua,

area inti seringkali tidak terpapar langsung dengan koridor, meskipun tujuan utama dari koridor yang dibangun adalah untuk menjembatani antara area inti dengan habitat yang terfragmen. Dalam realitanya banyak koridor yang tidak bersinggungan langsung dengan area inti karena dibatasi oleh barrier alami dan

buatan. Dampaknya terhadap dispersal amphibia belum diketahui dengan jelas karena belum pernah ada studi yang mendalami subjek ini.

(28)

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisa kesamaan keanekaragaman jenis pada area inti dan riparia berkoridor dan membuktikan korelasi antara keanekaragaman jenis pada amphibia dengan jarak terhadap sumber keanekaragaman pada riparia berkoridor

2. Menganalisa perbandingan keanekaragaman jenis amphibia pada wilayah riparia dengan ragam paparan sumber keanekaragaman pada koridor dan keanekaragaman jenis pada koridor hulu dan hilir.

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkebunan dan Biodiversitas

2.1.1 Perkebunan dan Konservasi Biodiversitas

Pemenuhan kebutuhan untuk konsumsi dunia akan menyebabkan perluasan lahan perkebunan yang sebagian besar terjadi pada negara-negara berkembang di daerah tropis. Hal ini di khawatirkan akan menyebabkan hilangnya biodiversitas, sementara penelitian mengenai dampak budidaya pertanian terhadap biodiversitas belum banyak diketahui (Wanger 2009). Saat ini Indonesia merupakan negara penting dalam pengekspor hasil perkebunan utama di dunia seperti kelapa sawit (kedua di dunia) (Wakker 2006), karet (ke-2) (Gouyon 2003) kakao (ke-2), kopi (ke-3) (Alimi, 2011) dan teh (ke-6) (Van der Wal 2006). Hal ini nampaknya sejalan dengan hilangnya hutan 0.3% per tahunnya (Wanger 2009).

Di antara komoditas perkebunan lainnya, kelapa sawit dicurigai merupakan ancaman utama bagi banyak spesies yang menjadi objek konservasi. Perkebunan kelapa sawit membutuhkan curah hujan yang tinggi, tanah yang relatif datar dan ketinggian di bawah 200 mdpl. Kondisi ini persis sama dengan hutan hujan tropis dataran rendah dipterocarp. Konsekuensinya, perkebunan kelapa sawit memiliki peranan yang penting dalam pembersihan lahan hutan dan diasosiasikan dengan masalah lingkungan (Maddox et al. 2007).

Survei pada keseluruhan bentang alam di sekitar tanaman sawit menyatakan bahwa terdapat 38 spesies mammalia berukuran sedang dan besar. Dimana 25 spesies di antaranya dilindungi undang-undang dan 18 di antaranya termasuk dalam daftar merah (red list) IUCN, termasuk harimau Sumatera (Panthera tigris

sumatrae, IUCN: Kritis atau Critically Endangered). 90% dari jumlah spesies

tersebut juga ditemukan pada daerah yang sangat terdegradasi, yaitu areal di dalam konsesesi perkebunan yang tidak ditanami (Maddox et al. 2007).

Perkebunan sawit bukan habitat yang sesuai bagi sebagian besar spesies yang hidup di hutan dan matriks yang dibentuknya bisa berfungsi sebagai penghalang bagi pergerakan mamalia (Maddox et al. 2007; Struebig et al. 2008), sedangkan

(30)

taksa serangga (Bruhl et al. 2003; Benedick et al. 2006). Pergerakan satwa pada

potongan suatu habitat bukan hanya berdasarkan pada kemauan satwa itu sendiri namun juga bergantung pada tipe lanskap yang sesuai untuk bergerak (Tischendorf & Fahrig 2000).

Satu batang pohon sawit membutuhkan 10-12 liter air per hari untuk menopang hidupnya yang berakar serabut. Kebutuhan air dalam jumlah besar tersebut dipastikan membuat sungai-sungai yang ada di sekitar perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan jumlah debit air, bahkan sebagian sungai tersebut mengalami kekeringan (Gindo 2009). Tata guna lahan yang berbatasan dengan lahan basah akan mempengaruhi pola hidrologi dan fluktuasi tinggi muka badan air yang dihasilkan akan mempengaruhi kekayaan jenis amphibia (Richter & Azous 1997). Meski banyak perdebatan yang menentang perluasannya, peran yang semakin penting dari kelapa sawit, baik dalam ekonomi Indonesia maupun dunia, telah memastikan bahwa kelapa sawit akan menjadi bagian yang signifikan dari bentang alam di masa depan (Maddox et al. 2007).

2.1.2. Perkebunan dengan Pola Pengelolaan Berkelanjutan.

Pengelolaan perkebunan yang lebih baik dengan menyeimbangkan performa ekonomi tanpa mengabaikan tanggung jawab sosial dan dan lingkungan, merupakan model yang ingin dicapai oleh perkebunan yang berkelanjutan. Banyaknya perkebunan kelapa sawit yang tidak dikelola secara berkelanjutan menjadi perhatian yang serius bagi berbagai kalangan. Pengembangan perkebunan baru yang dihasilkan dari konversi areal hutan bernilai konservasi penting dalam skala besar telah mengancam kekayaan biodiversitas di dalam sistem tersebut. Penggunaan api dalam pembersihan lahan telah berkontribusi sebagai penyebab kebakaran hutan pada akhir 1990-an.

Ekspansi dari perkebunan kelapa sawit telah meningkatkan konflik sosial antara komunitas lokal dengan pengelola perkebunan. Dari berbagai jenis tanaman perkebunan di Indonesia, baru kelapa sawit dan karet yang serius digarap dengan pola pengelolaan berkelanjutan. Perkembangan ini telah mendorong perkebunan sawit untuk dapat terus memenuhi permintaan pasar dengan perkebunan sawit yang berkelanjutan. Untuk mewadahi permasalahan ini didirikan Roundtable on

(31)

Conservation Value sebagian dari prinsip dan kriteria yang ditetapkan oleh RSPO untuk memenuhi standar sertifikasi yang akan diterbitkan (Colchester 2009). Sementara perkebunan karet menggunakan sistem ekolabel dalam pengelolaannya (Gouyon 2003)

Setiap hutan memiliki nilai sosial dan lingkungan. Nilai-nilai ini mungkin juga menyangkut keberadaan spesies langka, situs rekreasi atau sumberdaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal, dimana nilai tersebut dipertimbangkan memiliki kepentingan yang signifikan atau kritis. Demikian juga halnya dengan hutan yang bisa didefinisikan sebagai hutan bernilai konservasi penting (HCVF) (Jennings et al. 2003). Nilai konservasi mungkin bervariasi secara spasial pada

lanskap terfragmen dan heterogen. Namun ekosistem alam atau yang mendekati alami seperti lahan basah, hutan dan sistem sungai lebih mampu mewujudkan makna konservasi bila dibandingkan dengan wilayah yang secara intensif di eksploitasi seperti lahan pertanian, daerah urban dan jaringan jalan (Zanini 2006).

Nilai konservasi dari suatu lanskap digambarkan melalui kapasitasnya dalam mempertahankan kekayaan alam sepanjang waktu. Untuk itu dibutuhkan konsep evaluasi general untuk menentukan tujuan konservasi dan kriteria yang dapat memenuhi persyaratannya (Geneletti 2002). Kriteria evaluasi baru seperti konektivitas dan potongan attribute dalam beberapa dekade terakhir telah

dihubungkan dengan ekologi lanskap karena perannya dalam melihat hubungan antara pola spasial (komposisi dan konfigurasi lanskap) dan proses-proses ekologi yang menjadi basis dalam kemampuan spesies untuk terus bertahan (Forman & Godron 1986).

Suatu kawasan dapat dikategorikan bernilai konservasi penting bila memiliki atribut atau salah satunya yang dijabarkan oleh Jennings et al. (2003) sebagai

berikut:

1. Wilayah tersebut mengandung konsentrasi nilai-nilai biodiversitas dalam skala global, regional atau nasional (seperti: endemik, spesies langka dll). 2. Hutan atau area yang memiliki lanskap hutan yang besarannya signifikan,

memiliki unit manajemen, kebanyakan populasinya viable atau

(32)

3. Hutan/areal yang memiliki ekosistem yang langka atau terancam.

4. Hutan/areal yang menyediakan jasa dasar alamiah bagi situasi-situasi kritis (perlindungan cadangan air, pengontrol erosi dll).

5. Hutan/areal yang secara fundamental berguna untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi komunitas lokal (subsisten, kesehatan dll).

6. Hutan/areal yang memiliki nilai kritis bagi komunitas lokal sebagai identitas budaya (Areal budaya, ekologi, ekonomi atau religius penting bagi komunitas lokal).

2.1.3. Amphibia Dalam Kawasan Perkebunan

Perubahan iklim global, pertanian intensif dan deforestasi menyebabkan terjadinya perubahan pada habitat amphibia. Amphibia seperti satwa lainnya juga memiliki keterikatan dengan beberapa faktor-faktor dalam habitatnya, baik berupa faktor fisik, biologi lingkungan maupun dengan interaksi manusia dalam lingkungannya. Perubahan dari faktor-faktor ini turut menyebabkan terjadinya pergeseran dengan kesesuaian habitat dan amphibia sangat sensitif dalam merespon perubahan dalam habitatnya (Weyrauch & Grubb 2003).

Amphibia diketahui merupakan salah satu kelas yang mendapatkan pengaruh buruk atas kerusakan dan fragmentasi habitat serta polusi bahan kimia, hal yang umum ditemukan di perkebunan. Amphibia sangat sensitif terhadap tekanan lingkungan dikarenakan kulitnya yang permeabel dan siklus hidup dalam dua fase (akuatik dan terestrial). Faktor yang dapat mempengaruhi populasi amphibia skala lokal melibatkan faktor kerusakan habitat, bahan kimia pertanian dan polusi bahan kimia lainnya (Blaustein & Kiesecker 2002). Meskipun demikian habitat yang terfragmen dianggap lebih baik dari pada hanya satu potongan habitat saja, karena area yang lebih besar seharusnya memiliki mikrohabitat yang lebih banyak dan seiring bertambahnya luasan maka probabilitas kehadiran suatu spesies pada mikrohabitat tersebut juga turut meningkat (Mann et al. 1999).

Dispersal memfasilitasi konektivitas antara subpopulasi dan ini akan membantu spesies untuk melawan efek negatif dari demografi dan osilasi lingkungan (Begon et al. 2006). Disamping jarak antar potongan habitat dan

(33)

(Tischendorf & Fahrig 2000). Resistensi lanskap itu sendiri merupakan derajat pada kapasitas dan keinginan untuk dispersal satwa pada lanskap yang merintanginya. Intensifikasi pertanian dan urbanisasi menyebabkan penurunan konektivitas antar potongan dari populasi amphibia melalui degradasi dan hilangnya habitat dan intensifnya pengaruh matriks sekitar (Loman & Lardner 2009).

Farikhin (2010) melakukan pengamatan efek daerah tepi bagi amphibia. Hanya Fejervarya cancrivora yang hidup terspesialisasi pada daerah kebun dan

10 spesies lainnya hidup generalist dari total 19 jenis amphibia yang ditemukan di

dalam areal penelitiannya yang meliputi hutan pantai, hutan dataran rendah dan kebun. Namun hanya tiga spesies yang mampu mengakses daerah peralihan dengan hutan dataran rendah yaitu Occidozyga sumatrana, Polypedates

leucomystax dan Fejervarya limnocharis.

Penemuan ini berbeda dengan teori efek tepi yang menyatakan bahwa jumlah jenis dan kepadatan populasi dari beberapa jenis lebih besar di daerah peralihan daripada di komunitas yang mengapitnya. Hal ini dikarenakan luasan daerah peralihan lebih sempit dibandingkan dengan daerah yang mengapitnya sehingga habitat tersebut hanya dapat menampung jenis yang lebih sedikit dibandingkan dengan daerah yang mengapitnya. Amphibia di lahan perkebunan cenderung hidup berkelompok dan bergantung pada preferensinya pada tipe habitat (Kolozsvary & Swihart 1999).

Mulianty (2010) melakukan penelitian mengenai mikrohabitat dari amphibia di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Selatan. Selama penelitian tercatat 548 individu meliputi 23 spesies (hutan: 350 individu; perkebunan: 98 individu). Kebun sawit yang berumur satu tahun merupakan habitat dengan kondisi lingkungan relatif ekstrim (tidak terbentuk kanopi, tidak terdapat vegetasi lain yang tumbuh) dan memiliki tingkat keanekeragaman spesies terendah, baik jumlah spesies maupun jumlah individu.

Wanger et al. (2009) melakukan penelitian mengenai pengukuran nilai

(34)

spesialis hutan. Dalam penelitian ini lingkungan merupakan penentu utama bagi kehadiran spesies. Untuk itu, agar nilai konservasi dari perkebunan kakao dapat di perkaya ada beberapa variabel yang harus dikelola yaitu ketebalan serasah, bebatuan dan batang kayu yang telah mati; suhu udara; dan rasio antara tutupan serasah dan semak. Faktor ini dianggap sebagai varibel yang dibutuhkan untum membangun mikrohabitat bagi amphibia dalam kawasan kakao.

2.2 . Fragmentasi Habitat

2.2.1 Teori Biogeografi Pulau

Teori biogeografi pulau (TBP) telah menyediakan model konsep dasar untuk memahami habitat yang terfragmentasi. Studi empiris dari lanskap yang terfragmen seringkali menunjukkan kekayaan spesies dipengaruhi dengan kuat oleh area yang terfragmen dan terisolasi (MacArthur 1972). Teori ini memprediksi bahwa jumlah spesies yang ditemukan pada suatu pulau akan mencapai ekuilibrium yang berhubungan positif dengan ukuran pulau (pulau yang lebih besar akan memiliki lebih banyak spesies) dan berhubungan negatif dengan jarak dari daratan utama (jumlah spesies yang lebih sedikit ditemukan pada pulau yang jaraknya lebih jauh dari daratan utama dan sumber koloni baru) (Turner et

al. 2001).

Kekayaan spesies pada suatu masa ditentukan oleh dua proses dinamik yaitu imigrasi propagul dan kepunahan populasi. Laju imigrasi dari spesies baru akan berkurang pada suatu pulau yang memiliki peningkatan jumlah spesies yang sudah mantap dan mencapai jumlah total spesies pada daratan utama sebagai sumber individu, sedangkan laju kepunahan akan meningkat bila jumlah spesies telah mencapai batas (semakin banyak spesies yang ada akan menyebabkan semakin tinggi resiko kepunahan karena berhubungan dengan demografi atau faktor kejadian ekologi) ( Burel & Baudry 2003)

(35)

pertimbangkan dalam TPB. Ketiga, hal yang juga diabaikan oleh TPB adalah matriks dari vegetasi yang termodifikasi di sekitar wilayah terfragmen bisa sangat mempengaruhi dalam konektivitas fragmen. Hal ini akan mempengaruhi demografi, genetik dan daya bertahan hidup spesies lokal terhadap kepunahan. Keempat, kebanyakan lanskap yang terfragmentasi juga dipengaruhi oleh perubahan yang dilakukan faktor antropogenik seperti perburuan, penebangan liar, kebakaran dan polusi yang berinteraksi secara sinergis dengan habitat terfragmentasi. Dan yang terakhir, fragmentasi berdampak yang beragam pada propertis ekosistem seperti dinamika dinamika gap-kanopi, cadangan karbon dan struktur komunitas tropik yang tidak dipertimbangkan dalam TBP (Laurence 2008).

2.2.2. Dampak Fragmentasi Terhadap Biodiversitas

Fragmentasi habitat, fragmentasi hutan dan hilangnya habitat adalah tiga hal yang berbeda. Perbedaan antara hutan dan habitat sangat bergantung pada focal spesies: Pada spesies yang menggunakan hutan sebagai habitat, maka hutan dan habitat dapat dianggap sebagai sinonim; Pada fragmentasi habitat, secara definisi baru dapat dikelompokan sebagai habitat yang terfragmentasi bila memenuhi tiga komponen yaitu: hilangnya habitat asli, reduksi ukuran potongan dan peningkatan isolasi habitat potongan; dan digolongkan sebagai hilangnya habitat bila memenuhi dua kategori yang terakhir saja (Fahrig 1999).

Fragmentasi habitat melibatkan dua proses yang jelas berbeda namun saling berhubungan yaitu jumlah total habitat yang asli berkurang dan habitat yang tersisa terpotong-potong dengan ukuran yang bervariasi dan lambat laun terisolasi (Fahrig 2003). Ukuran dari potongan merupakan karakteristik penting dari suatu lanskap. Potongan yang lebih besar akan mampu menyokong jumlah spesies yang lebih tinggi dari pada potongan yang lebih kecil. Blok yang terfragmentasi lebih kecil akan lebih menurunkan densitas populasi dan menyebabkan ancaman kepunahan meningkat (McGarigal & Marks 1994). Perbedaan ukuran gap juga

(36)

organisme tersebut dan laju keberlangsungan hidup dari suatu organisme ketika melintasi matriks atau wilarah yang bukan habitatnya. Semakin besar demografi potensialnya dan matriks habitat yang lebih bersahabat, maka akan semakin sedikit luasan habitat yang dibutuhkan oleh organisme untuk dapat bertahan hidup (Bascompte & Sole 1996).

2.3. Dampak Fragmentasi Habitat Bagi Amphibia

2.3.1 Amphibia pada Wilayah Terfragment.

Amphibia secara dramatis telah mengalami penurunan populasi di banyak tempat di seluruh dunia. Penurunan ini semakin memburuk dalam 25 tahun terakhir dan amphibia saat ini memiliki tingkat keterancaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan satwa lainnya seperti mamalia atau burung. Perbandingan lebih lanjut dengan taksa lainnya terkendala akan kurangnya data (Trevor et al.

2005).

Bender et al. (1998) menyatakan bahwa kepadatan populasi memiliki

hubungan yang positif dengan ukuran potongan hutan untuk spesies interior dan berhubungan negatif dengan spesies yang memanfaatkan daerah tepi: Pada spesies generalist yang bisa menggunakan daerah tepi dan bagian interior potongan habitat. Penurunan pada ukuran populasi yang berasosiasi dengan rusaknya habitat dihitung sebagai kehilangan habitat saja; Pada spesies interior, penurunan ukuran populasi akan lebih banyak dipengaruhi oleh habitat fragmentasi dibandingkan dengan yang murni hanya disebabkan oleh hilangnya habitat; dan pada spesies tepi, penurunan populasi tidak akan terlalu berpengaruh bila hanya disebabkan oleh hilangnya habitat saja.

(37)

dan habitat amphibia bervariasi berdasarkan tingkatan keterisolasiannya (Wattling & Donnely 2008). Respon amphibia terhadap fragmentasi habitat dapat berbeda pada lokasi yang berbeda, hal ini dikarenakan adanya variasi frekuensi gangguan pada habitat dan keanekaragaman habitat yang terbatas (Silva et al. 2003).

2.3.2 Dispersal Amphibia dan Elemen Lanskap

Konektivitas merupakan kata kunci paling utama bagi fungsi koridor. Untuk itu, untuk membangun konektivitas yang baik sebuah koridor harus memenuhi kriteria-kriteria kebutuhan pokok dari spesies objek (Beier & Noss 1998). Burbrink et al. (1998) melakukan penelitian mengenai zona riparia potensial

sebagai koridor bagi amphibia dan reptil. Hasil penelitian tersebut menemukan hanya 37% spesies dari jumlah total spesies yang ditemui di area inti, dapat ditemukan pada koridor riparian, dan lebar dari riparian tidak berpangaruh kepada kekayaan jenis spesies yang lebih besar.

(38)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di kawasan PT. Kencana Sawit Indonesia (KSI), Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat sebagai lokasi pengamatan dan pengambilan data. Pengolahan dan analisis data penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pengambilan data di lapangan dilakukan dari tanggal 13 April - 19 September 2011. Kegiatan pengamatan dan pengambilan data dilaksanakan pada 6 bulan pertama, selanjutnya digunakan untuk pengolahan dan analisis data. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Lokasi Penelitian di Kawasan PT. Kencana Sawit Indonesia.

3.2. Alat dan Bahan

(39)

Tabel 1 Daftar Alat dan Bahan

No. Kegunaan Alat dan Bahan

1. Pembuatan Jalur dan plot pengamatan

Meteran (50 m), GPS (Global Positioning

System), tali raffia

2. Pengambilan data satwa GPS, headlamp, senter, flagging tape,

baterai, jam tangan, kantong specimen, spidol permanen, field guide (buku panduan

lapangan amphibia), kaliper, timbangan pegas, kaca pembesar.

3. Pengambilan data habitat Termometer, pH meter, dry wet

4. Dokumentasi Kamera digital, alat tulis, tally sheet

5. Analis data Komputer dengan perangkat lunak ArcGis 9.3, Minitab 14 dan Microsoft Office 2007, Peta rupa Bumi, peta tutupan lahan.

3.3. Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan antara lain: Pertama, data primer, dikumpulkan dari hasil pengukuran dan pengkoleksian di lapangan, antara lain:

1. Data satwa: Nama jenis, jumlah individu jenis, waktu ditemukan, posisi (vertikal dan horizontal), koordinat, substrat, aktivitas, ukuran panjang dan massa tubuh.

2. Data habitat: Tanggal dan waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat lingkungan, komposisi vegetasi, suhu udara, kelembaban udara, penutupan tajuk dan data fisik lainnya.

3. Data peta: Foto udara kawasan perkebunan PT. Kencana Sawit Indonesia. Dan Kedua, Data Sekunder, berupa data kondisi lokasi penelitian.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Data primer

(40)

3.4.1.1. Data satwa

Metode yang digunakan dalam pengambilan data satwa yaitu Visual

Encounter Survei (VES) dengan desain transek metode ini adalah salah satu

metode yang paling efektif digunakan di kawasan hutan hujan tropis (Doan 2003).

Pengambilan data dilakukan pada 18 jalur VES desain transek di setiap elemen lanskap dengan rincian seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Daftar Jalur VES

No. Elemen Lanskap Jumlah Panjang (m)

1. Area Inti

Bukit Tengah Pulau 5 500

Bukit Salo 3 500

2. Matriks 500

Matriks Bukit Tengah Pulau 4 500

Matriks Bukit salo 2 500

3. Koridor

Sungai Suir 4 500

Sungai Jujuan 4 500

Tahapan pengambilan datanya yaitu:

1. Survei pendahuluan

Survei pendahuluan dilakukan sebelum pengambilan data. Survei dilakukan dengan cara mendeliniasi kawasan sehingga jelas perbedaan antar elemen lanskap, kemudian menentukan titik penempatan jalur pengambilan data satwa. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan karakteristik habitat di setiap site pengambilan data sehingga jalur yang dibuat diharapkan jalur yang dibuat efektif dalam sebagai plot pengambilan data satwa.

2. Pembuatan Jalur a. Area inti

Delapan jalur transek dibuat pada dua area inti yaitu Bukit Tengah Pulau dan Bukit Salo, pada setiap area inti empat jalur dibuat pada ke empat penjuru mata (utara, timur, selatan dan barat) dengan arah transek dari tepi menuju pusat. Jalur pengamatan dibuat sepanjang 500 meter. Setiap jalur ditandai dengan menggunakan GPS dan flagging tape pada setiap 10 m. Jalur ditempatkan pada

(41)

(diamati melalui survei pendahuluan), pada setiap jalur dilakukan 2 kali ulangan.

Gambar 2 Peta dan ilustrasi jalur pengamatan amphibia lanskap Bukit Tengah Pulau.

b. Koridor

Koridor yang digunakan adalah pada daerah riparia Sungai Suir dan Jujuan, pada masing sungai dibuat dua jalur dengan arah berlawanan menuju hilir dan hulu dari sungai masing-masing dua transek, jalur pengamatan dibuat sepanjang 500 meter. Setiap jalur ditandai dengan menggunakan GPS dan flagging tape

pada setiap 10 meter, pada setiap jalur dilakukan 2 kali ulangan. c. Matriks

Jalur pada matriks dibuat sebanyak 6 jalur, 3 jalur dibuat pada masing-masing pada arah utara, timur, barat ditambah diantara bukit tengah pulau dengan Bukit Salo dengan titik awal pada bagian tepi Bukit Tengah Pulau menjauhi area inti, transek yang berada diantara kedua bukit dibuat secara melintang. Jalur dibuat sepanjang 500 meter. Setiap jalur ditandai dengan menggunakan GPS dan

flagging tape pada setiap 10 meter, pada setiap jalur dilakukan 2 kali ulangan.

(42)

Gambar 3 Peta dan ilustrasi jalur pengamatan amphibia lanskap Bukit Salo.

3. Pengumpulan data satwa

Penangkapan dan pengumpulan sampel dilakukan dengan mendatangi jalur pengamatan pada malam hari dengan dua kali ulangan untuk setiap jalur. pengamatan malam hari dilakukan pada pukul ±19.00-23.00 WIB. Pengamatan dimulai pada titik nol pada jalur dan difokuskan pada tempat-tempat yang diperkirakan menjadi sarang atau tempat persembunyian amphibia, seperti ranting pohon, di bawah kayu lapuk, diantara akar-akar pohon, di celah-celah batu, di lubang dalam tanah, di bawah tumpukan serasah, atau di tepi sungai.

Setiap individu yang tertangkap pada jalur pengamatan dimasukkan ke dalam kantong dan dicatat datanya. Data yang dicatat meliputi jenis, koordinat, waktu ditemukan, aktivitas, posisi horizontal dan vertikal, subtrat. Amphibia yang berhasil dikumpulkan,dibawa untuk diukur panjang dan massa tubuhnya lalu diidentifikasi. Identifikasi satwa dilakukan dengan menggunakan Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser (Mistar 2003), Amfibi Jawa dan Bali (Iskandar 1998).

3.4.1.2. Data Habitat

(43)

pengamatan pada jalur dan plot pengamatan, sedangkan substrat, komposisi vegetasi dan penutupan tajuk dilakukan pada siang hari.

3.4.2 Data sekunder

Data sekunder mengenai kondisi umum lokasi penelitian diperoleh dengan cara studi pustaka dan wawancara dengan pengelola dan masyarakat di sekitar kawasan.

3.5. Analisis Data

3.5.1. Analisis data satwa

1. Uji statistik

a. Regresi linear digunakan untuk membuktikan adanya korelasi keanekaragaman spesies (Dependent) terhadap jarak dengan area inti (Independent). Semua Keanekaragaman spesies yang digunakan dalam penelitian ini akan ditentukan dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener (Magurran, 2004).

Dengan hipothesis:

Ho = Pertambahan jarak tidak berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis

H1 = Pertambahan jarak berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis

Perhitungan menggunakan Software Minitab 14.

b. Cluster anaysis dengan menggunakan euclidean distance metode ward,

digunakan untuk melihat kesamaan keanekaragaman spesies pada koridor, matriks dan area inti. Perhitungan dengan menggunakan software minitab

14.

c. Uji t digunakan untuk mengetahui; Pertama, perbedaan keanekaragaman jenis pada pada koridor yang terpapar dan tidak terpapar dengan area inti, Kedua, perbedaan keanekaragaman jenis pada pada transek arah hulu dan hilir koridor, pada tingkat kepercayaan 95% dengan menggunakan hipotesa:

(44)

H1 = Ada perbedaan keanekaragaman jenis amphibia pada koridor terpapar dan tidak terpapar/koridor hulu dan hilir. Perhitungan dengan menggunakan Software Minitab 14.

2. Kekayaan jenis

Untuk menduga besarnya kekayaan jenis total pada seluruh habitat di lokasi penelitian digunakan Indeks Kekayaan Jenis Jackknife (Krebs, 1985). Persamaan indeks ini yaitu:

Keterangan :

S = Indeks kekayaan jenis jackknife s = Total jumlah jenis yang teramati n = Banyaknya unit contoh

k = Jumlah jenis yang unik (jenis yang hanya ditemukan pada hanya salah satu unit contoh)

Adapun keragaman dari nilai dugaan (S) tersebut dihitung dengan formula berikut:

Keterangan:

Var(S) = keragaman dugaan jackknife untuk kekayaan jenis

fj = jumlah unit contoh dimana ditemukan j jenis unik (j=1,2,3,..,s)

k = jumlah spesies unik n = jumlah total unit contoh

Penduga selang bagi indeks kekayaan jenis jackknife adalah sebagai berikut :

Dimana tα diperoleh dari tabel t-student dengan nilai derajat bebas = n-1

(45)

3. Kelimpahan Jenis

Kelimpahan jenis diukur dengan mengikuti pengelompokan Burden (2000) yaitu:

1. Umum (paling sedikit 30 temuan/hari pada habitat yang sesuai dengan kondisi cuaca optimal).

2. Cukup umum (10-30 temuan/hari).

3. Tidak umum (5-10 temuan/hari, umumnya pada kebanyakan hari dilakukan survei).

4. Jarang (hingga 5 temuan/hari, namun kemungkinan tidak ditemukan lebih dari setengah hari pelaksanaan survei)

5. Langka (dibawah 5 temuan pada kebanyakan hari survei).

4. Kemerataan Jenis

Kemerataan jenis akan di tentukan dengan menggunakan Indeks Kemerataan Jenis Shannon-wienner (Krebs, 1985).

Keterangan:

J’ = Nilai Evenness (antara 0 – 1)

H’ = Indeks Diversitas Shannon-Wienner

Dmax = Nilai Maksimum Indeks Diversitas

5. Pemilihan Habitat

Jenis yang ditemukan akan ditentukan habitat yang lebih disukai dengan menggunakan Indeks Indeks Neu et al. (Krebs, 1985):

Keterangan:

wi = Indeks pemilihan habitat ke-i atau tipe habitat ke-i

ui = Proporsi jumlah individu ditemukan pada tipe habitat ke-i terhadap

(46)

ai = Luas tiap habitat ke-i

pi = Proporsi luas tipe habitat ke-i terhadap luas total tipe habitat yang

diamati

Distandarkan dengan menggunakan persamaan:

6. Pola Sebaran Spasial

Jenis yang ditemukan akan ditentukan pola sebaran spasialnya dengan menggunakan Indeks Rasio Ragam (Krebs, 1985):

x

=

=

=

( ) x

Keterangan:

x = nilai tengah atau rata-rata (jumlah individu/total plot)

S2 = varians/keragaman xi = jumlah individu

fi = frekuensi banyaknya jumlah individu ditemukan n = jumlah total individu

N = jumlah Plot

Kesimpulan yang diambil yaitu :

 Apabila S2 = x, maka sebarannya acak.

 Apabila S2 < x, maka sebarannya homogen.

 Apabila S2 >x , maka sebarannya berkelompok/agregat.

3.5.2 Analisis Data Habitat

Data habitat yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif berdasarkan kondisi lokasi sampel amphibia yang ditemukan di lapangan.

i i i

(47)
(48)

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Perkebunan kelapa sawit PT. Kencana Sawit Indonesia merupakan perusahaan swasta milik nasional yang bergerak dalam industri dan perkebunan kelapa sawit, yang berstatus penanaman modal asing (PMA) No. 177/I/PMA/1995 dengan produk berupa tandan buah segar dari perkebunan serta CPO dan Kernel dari pabrik kelapa sawit. Merupakan salah satu estate dari Wilmar Internasional Plantation dengan luas 10.215 Ha. yang terletak di Kenagarian Sungai Kunyit, Kecamatan Sangir Balai Janggo, Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatra Barat, mulai tahun tanam sejak 1994. Perkebunan ini merupakan anggota RSPO dan memiliki empat blok HCVF dengan luas 2.229 Ha, diantaranya adalah Bukit Tengah Pulau dan Bukit Salo dan dilalui oleh 3 sungai yaitu Sungai Jujuan, Suir dan Kulai yang dilingkupi oleh hutan riparia. Lokasi ini memiliki curah hujan tahunan 3.885 mm dengan jumlah rata-rata 170 hari dalam setahun. berada sekitar 330 km arah tenggara Kota Padang dari Taman Nasional Kerinci Sebelat. Ketinggian tertingginya pada 560 mdpl pada puncak bukit tengah pulau, konturnya mulai dari datar, bergelombang hingga berbukit-bukit curam. Jenis tanahnya adalah liat berpasir (KSI 2011).

Secara umum teridentifikasi 72 Famili tumbuhan dengan total 219 spesies terdapat dilokasi perkebunan ini. satwa yang ditemukan termasuk Tapir (Tapirus

indicus), Beruang Madu (Helarctos malayanus), Babi Jengot (Sus barbatus), Babi

Hutan (Sus scrofa), Napu (Tragulus napu), Kijang (Muntiacus muntjak), Rusa

(Cervus timorensis), Landak (Hystrix brachiura), Musang (Paradoxurus

hermaproditus), Burung Kuau (Argusianis argus), Enggang (Buceros spp), Ungko

(Hylobates agilis), Kukang (Nictycebus coucang), Simpai (Presbitys melalophos),

Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestrina),

sedangkan reptil yang ditemukana antara lain Piton Batik (Python reticulatus),

Piton Bantal (Python brongersmai), Kobra Sumatra (Naja sumatrana), King

Cobra (Ophiopaghus hannah), Ular Cincin Emas (Boiga dendrophyla), Ular Air,

Pit Viper (Parias hageni), Kadal (Eutropis multifasciata), Biawak (Varanus

(49)

A. Bukit Salo (BS)

Gambar 4 Bukit Salo.

Pada area inti Bukit Salo terdapat tiga lokasi yang dijadikan sebagai tempat pengambilan data yaitu Bukit Salo, Bukit Salo Sungai Jernih dan Sungai Ternuk. Bukit Salo merupakan hutan sekunder yang mengalami degradasi parah pada hampir setengah luasannya dengan rata-rata tutupan tajuk 40,45%, suhu 24oC dan dan pH 5-6. Hutan yang tersisa berupa hutan dengan strata pohon yang sangat bervariasi, beberapa pohon yang tingginya diatas 20 meter masih dapat ditemukan pada lokasi ini namun kanopinya tidak rapat dengan pohon yang lain. Transek dilakukan pada bagian bukit yang bisa menjangkau hingga 700 meter ke dalam hutan, diawali dengan dominasi semak dan vegetasi tingkat tiang yang memiliki gap antar kanopi yang luas pada 200 meter pertama, kemudian dilanjutkan dengan hutan sekunder yang bervariasi tingkat tutupan kanopinya, transek ini dilakukan dengan arah menurun, dengan tingkat kelerengan 20%. Serasah relatif tipis dan treknya juga bersih. Tidak ditemukan adanya air tergenang di dalam hutan, sehingga kondisi tanahnya kering. Di sepanjang trek sering teridentifikasi satwa lain seperti Landak, Rusa dan Burung Kuau.

(50)

tepinya rapat denga posisi dekat dengan garis air. Sungai Ternuk memiliki aliran air yang berasal dari perkebunan kelapa sawit, tutupan tajuk rata-rata 33,05% dan suhu 26,5oC, awal transek dipadati oleh semak kemudian diikuti oleh dominasi euphorbiaceae dengan tutupan kanopi semakin rapat pada bagian akhir transek, lebar sungai bervariasi dari 3-6 meter, tersedimentasi berat oleh pasir dan lumpur, kedalaman air mulai dari 30- 90 cm, daerah tepian landai dengan vegetasi yang jarang dan relatif jauh dari tepi air. Pada bagian tepi juga digunakan oleh babi untuk berkubang.

Jenis tumbuhan yang tercatat di bukit Salo antara lain: (Annonaceae); Xylopia

malayana, Desmos chinensis, Polyalthia hypoleuca, (Apocynaceae); Alstonia scholaris (Arecaceae); Johannesteijsmania altifrons, (Blechnaceae); Blechnum orientale, (Bombacaceae); Durio oxleyanus, (Burseraceae); Dacryodes rostrata

(Caesalpiniaceae) Saraca declinata, (Clusiaceae); Dialium platysepalum, Mesua

sp., Mesua ferrea, Calophyllum soulattri, (Combretaceae) Combretum latifolium

(Connaraceae) Roureopsis emarginata, (Dipterocarpaceae); Shorea sp,.

(Ebenaceae); Diospyros sp. (Euphorbiaceae); Blumeodendron tokbrai,

Cleistanthus sumatranus, (Fagaceae) Quercus lineata (Hypericaceae) Cratoxylum formosum (Lauraceae) Litsea grandis Litsea noronhae Endiandra rubescens

(Lecythidaceae) Barringtonia acutangula (Malvaceae) Hibiscus macrophyllus,

(Melastomataceae) Clidemia hirta, Memecylon oligoneurum, Bellucia

axinanthera (Meliaceae) Sandoricum koetjape, (Mimosaceae) Archidendron fagifolium (Moraceae) Ficus aurata, (Myristicaceae); Myristica maxima,

(Myrtaceae); Tristaniopsis merguensis, Acmena acuminatissima, Syzigium sp,

Syzigium cf. palembanicum, (Olacaceae); Ochanostachys amentaceae, Strombosia ceylanica, (Palmae) Calamus sp. (Poaceae); Axonopus compressus, Digitaria setigera (Podocarpaceae) Podocarpus rumphii (Polygalacea) Xanthophyllum

eurynchum (Rubiaceae) Gardenia anisophylla (Sapotaceae); Palaquium gutta,

(Simaroubaceae); Eurycoma longifolia, (Thymelaeaceae); Gonystylus bancanus,

(51)

B. Bukit Tengah Pulau (BTP)

Gambar 5 Bukit Tengah Pulau.

Lima lokasi digunakan sebagai tempat pengumpulan data pada bukit tengah pulau antara lain:Bukit Tengah Pulau Utara, Bukit Tengah Pulau Barat, Bukit Tengah Pulau Timur, Bukit Tengah Pulau Selatan dan Bukit Tengah Pulau Sungai Kecil. Karakterisitk dari kelimanya sedikit berbeda-beda. Pada Bukit Tengah Pulau Utara, transek diawali dengan hutan Macaranga dengan serasah yang tebal yang kemudian berganti dengan hutan sekunder dengan serasah yang lebih tipis, tutupan tajuk rata-rata 43,5% dan suhu 23,5oC. Tanahnya berupa liat kering dengan kelerengan yang sedang, strata vegetasinya di didominasi oleh tingkat pancang dan tidak padat, pada bagian akhir transek berupa puncak yang landai dan didapati beberapa kubangan babi namun gap kanopi relatif luas di bagian ini menyebabkan tumbuhan pionir dan pakis-pakisan tumbuh subur.

Pada Bukit Tengah Pulau Barat dan Selatan memiliki karakter yang sama dimana kaki bukit langsung berupa hutan sekunder dengan kelerengan yang relatif sama namun gap antar kanopi lebih luas pada bagian selatan. Rata-rata tutupan tajuk pada bagian barat 51,9% dan suhu 24oC sedangkan pada bagian selatan Pada bagian barat serasahnya juga lebih tebal dan tidak didapati adanya kubangan mamalia besar yang didapati di bagian selatan tutupan tajuk rata-ratanya 48,2% dan 26oC, bagian puncaknya memiliki karakter yang sama ditumbuhi oleh

Euphorbiaceae, pohon yang ada sedikit dan tidak rapat.

(52)

Hutannya seperti dibagi menjadi dua, bagian atas lebih rimbun daripada bagian yang bawah, terdapat gap kanopi yang cukup luas dibagian tengah bukit dikarenakan bekas aktifitas logging dengan tutupan tajuk rata-rata 43,15% dan suhu rata-rata 24,5oC.

Pada Bukit Tengah Pulau Sungai Kecil, berupa sungai kecil dengan lebar 3-5 meter yang bermuara pada sungai jujuan. Tutupan tajuk rata-rata 14,1%, suhu 23,8oC, dan pH 5-6 bagian hilirnya berbatu dan bagian hulunya yang merupakan perkebunan kelapa sawit, banyak ditemukan log kayu dengan ukuran besar di badan sungai, cenderung berlumpur dan berpasir. Bagian tepiannya landai berlumpur dan sedikit berpasir, vegetasi tepi tidak terlalu padat kecuali dibagian perkebunan sawit.

Jenis tumbuhan yang tercatat di Bukit Tengah Pulau antara lain: (Anacardiaceae); Gluta wallichii, Campnosperma coriacea (Araceae);

Rhaphidophora montana (Araliaceae); Schefflera rugosa Arecaceae; Licuala spinosa Burseraceae; Santiria laevigata, Dacryodes rostrata Celastraceae; Bhesa robusta (Dipterocarpaceae); Shorea sp. Shorea hopeifolia Shorea leprosula

(Euphorbiaceae); Croton argyratus, Drypetes laevis, Croton laevifolius,

Antidesma tetrandum, Mallotus sumatranus Macaranga sp. (Fagaceae); Lithocarpus sp. (Gleicheniaceae); Gleichenia linearis (Lauraceae); Litsea robusta, Litsea sp. (Lecythidaceae); Barringtonia acutangula (Malvaceae); Hibiscus macrophyllus Hibiscus tiliaceus (Melastomataceae); Clidemia hirta Bellucia axinanthera (Meliaceae); Aglaia glabrata Moraceae; Artocarpus dadah, Ficus

aurata (Myrtaceae); Rhodamnia cinerea (Olacaceae); Ochanostachys amentaceae

(Palmae); Calamus sp. (Pandanaceae); Pandanus sp. (Piperaceae); Piper lowong

(Rhizophoraceae); Gynotroches axillaris (Rubiaceae); Lasianthus cyanocarpus

(Simaroubaceae); Eurycoma longifolia Sterculiaceae; Sterculia sp. Sterculia

(53)

C. Matriks Bukit Tengah Pulau (MBTP)

Matriks Bukit Tengah Pulau terdiri atas 4 transek yaitu Matrik Bukit Tengah Pulau Timur, Matrik Bukit Tengah Pulau Barat, Matrik Bukit Tengah Pulau Utara dan Matrik Bukit Tengah Pulau BTP-Salo. Secara umum matriks berupa perkebunan kelapa sawit yang telah berusia dewasa yang membedakan adalah konturnya yang sedikit berbeda-beda, kondisi vegetasi bawah dan jumlah jalan perkebunan yang melintasinya. Pada saat pengambilan data pada Matrik Bukit Tengah Pulau Barat, pada awal transek vegetasi bawah baru dipangkas dan dalam kondisi baru seperti habis disemprot herbisida. Rata-rata tutupan tajuknya 11,45% dengan suhu 24,8oC , kondisi lokasi pada dua sub transek awal berupa bukit yang

baru ditanami dengan sawit berumur 3-5 tahun. Terdapat parit kecil berlumpur yang dinaungi oleh semak tinggi, dibagian dalam perkebunan sangat banyak ditemukan genangan air ditepi jalan, sementara pada Matrik Bukit Tengah Pulau Utara, Matriks berupa sawit yang berusia sekitar 15 tahun yang di dominasi oleh Melastomataceae, Compositae dan semak pakisan yang tumbuh diantara piringan yang dibatasi oleh pelepah kering. Tutupan tajuk rata-ratanya 14,3% dan suhu 25oC. Awal transek berupa bekas sungai yang masih dialiri parit kecil tergenangan bersemak.

Gambar 6 Matriks Bukit Tengah Pulau.

(54)

piringannya jarang ditemukan dan berkesan gersang. Rata-rata tutupan tajuknya 11,8% dan suhu 25oC. Sedikit hutan masih bersisa di dalam matriks mungkin dahulunya adalah parit yang cukup besar dengan hulu dari bukit tengah pulau, transek berakhir pada perkebunan sawit yang berbatasan dengan sungai ternuk.

Jenis tumbuhan yang sering ditemukan pada matriks perkebunan kelapa sawit adalah (Asteraceae); Mikania micrantha, (Blechnaceae); Blechnum orientale,

(Cyperaceae); Scleria sumatrensis, Cyperus iria, Cyperus rotundus, (Graminae); Saccharum sponteneum, (Melastomataceae); Clidemia hirta, Melastoma malabatricum (poaceae); Ottochloa nodosa, Axonopus compressus, Paspalum conjugatum, Echinochloa colona, (Oleandraceae); Nephrolepis falcata, Nephrolepis bisserata, Nephrolepis falcata, (Rubiaceae): Borreria alata (Violaceae) Rinorea anguifera.

D. Matriks Bukit Salo (MBS)

Gambar 7 Matriks Bukit Salo.

(55)

Pada transek awal merupakan bagian dari bukit salo sehingga konturnyaa menanjak dan dengan tipe tanah berpasir yang kering, banyak semak kecil berkayu dengan ketinggian mencapai 50 cm, transek ke tiga berupa lahan yang datar yang sepertinya sering dibanjiri kala musim penghujan tiba. Dicirikan dengan tanah yang berlumpur tebal, sawit yang ditanami juga masih berumur muda. Pada transek selanjutnya sama seperti umumnya sawit berumur dewasa, semak relatif tidak ada hanya ada beberapa rimbunan paku pada pembatas piringan sawit yang ditutupi dengan pelepah kering semakin ke hilir akan semakin terjal.

Jenis tumbuhan yang sering ditemukan pada Matriks perkebunan kelapa sawit adalah (Asteraceae); Mikania micrantha, (Blechnaceae); Blechnum orientale,

(Cyperaceae); Scleria sumatrensis, Cyperus iria, Cyperus rotundus, (Graminae); Saccharum sponteneum, (Melastomataceae); Clidemia hirta, Melastoma malabatricum (poaceae); Ottochloa nodosa, Axonopus compressus, Paspalum conjugatum, Echinochloa colona, (Oleandraceae); Nephrolepis falcata, Nephrolepis bisserata, Nephrolepis falcata, (Rubiaceae): Borreria alata (Violaceae) Rinorea anguifera.

C. Sungai Suir (SS)

Gambar 8 Sungai Suir.

Gambar

Tabel 1 Daftar Alat dan Bahan
Gambar 2 Peta dan  ilustrasi jalur pengamatan amphibia lanskap Bukit Tengah
Gambar 4 Bukit Salo.
Gambar 5 Bukit Tengah Pulau.
+7

Referensi

Dokumen terkait