• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

5.2.1. Keanekaragaman dan Similaritas Spesies pada Elemen

5.2.2.2. Perbandingan Keanekaragaman Jenis Amphibia

Berdasarkan pada perhitungan yang telah dilakukan tidak ada perbedaan yang signifikan antara bagian hulu dan hilir Sungai Jujuan maupun dengan Sungai Suir. Begitu pula saat diuji perbedaan bagian hulu Sungai Jujuan dengan bagian hilir Sungai Suir dan Bagian hulu Sungai Suir dengan Bagian hilir Sungai Jujuan. Hal yang sama diutarakan oleh Eterovick (2003) bahwa argumentasi yang menjelaskan berudu dapat hanyut dan menyebabkan kekayaan spesies akan lebih tinggi pada sungai yang berukuran sedang (hilir) tidak terbukti dalam studi yang dilakukannya.

Perbedaan keanekaragaman amphibia berdasarkan pengamatan, lebih mengarah pada variasi dari karakter riparia pada masing-masing bagian sungai. Tipe aliran sungai, mikrohabitat yang tersedia, tutupan tajuk. Substrat sungai dan kuat arus hal inilah yang menyebabkan variasi kekayaan jenis dan kelimpahan spesies pada suatu titik dan yang paling. Luas hutan dan konektivitas bukan yang utama dalam menentukan kelimpahan namun ketersediaan habitat berbiak (Bickford et al. 2010).

Berdasarkan komposisi spesies, pada Sungai Jujuan pada bagian hilir memiliki dua spesies yang tidak terdapat pada bagian hulu. Penyebabnya antara lain, pada bagian hilir sungai beberapa parit dari perkebunan bermuara ke dalam badan sungai memberikan kemudahan bagi F. limnocaris untuk masuk ke lingkungan

riparia demikian pula dengan L. microdiscus, bagian hilir sungai jujuan memiliki

tebing-tebing tanah yang lembab merupakan lokasi favorit bagi L. microdiscus,

spesies ini bisa jadi merupakan spesies residen pada riparia atau yang bergerak dari perkebunan kelapa sawit.

Pada Sungai Suir berdasarkan kepada komposisi spesies yang ditemukan, bagian hulu memiliki kekayaan spesies yang lebih banyak dari hilir. Spesies yang tidak ditemukan dihilir antara lain, L. microdiscus karena tidak adanya habitat

genangan air di samping perkebunan kopi masyarakat, mikrohabitat ini tidak ditemukan pada bagian hilir. Sedangkan R. picturata menyukai aliran sungai yang

terpecah membentuk aliran kecil yang relatif tenang yang juga tidak ditemukan pada bagian hilir. F. cancrivora yang ditemukan pada bagian hilir yang langsung

berbatasan dengan perkebunan sawit karakter ini tidak ditemukan pada bagian hulu.

5.2.3. Distribusi dan Dispersal Amphibia 5.2.3.1 Distribusi Amphibia

Area Inti

Daerah tepi pada hutan yang memiliki variasi tipe tutupan vegetasi seperti semak, hutan Macaranga dan hutan sekunder akan membuat perbedaan keadaan lingkungan interior hutan dan kekayaan spesies yang ada di dalamnya. Hal ini berkaitan dengan efek tepi dimana keadaan bagian tepi yang lebih terbuka akan menyebabkan pengaruhnya terhadap lingkungan menjadi lebih besar pula. Efek

tepi menjadi penentu perubahan biotik dan abiotik, seperti fluktuasi pada temperatur, peningkatan angin dan radiasi matahari dan menurunkan kelembaban, yang mempengaruhi kondisi optimum yang diinginkan oleh amphibia (Kapos et al. 1995). Meskipun amphibia disebut memiliki sensitivitas terhadap perubahan

lingkungan (Cushman 2006). Beberapa studi yang mempelajari mengenai efek tepi ini memberikan hasil yang berlawanan dari beberapa teori yang telah dikenal, dimana kekayaan spesies meningkat pada daerah tepi (Gardner et al. 2007) dan

ternyata ada pengaruh yang diberikan oleh variasi ruang dan waktu (Lehtinen et al. 2003). Beberapa penelitian menunjukan terjadinya penurunan kelimpahan pada

beberapa spesies pada bagian tepi dari fragmen atau tidak mengalami berdampak sama sekali(Marsh & Pearman 1997; Schlaepfer & Gavin 2001).

Hal ini selain mempengaruhi kekayaan jenis tentu saja mempengaruhi pada distribusi, dimana amphibia akan cenderung menempati kondisi habitat yang paling menunjang untuk keberlangsungan siklus hidupnya. Respon amphibia dipengaruhi oleh distribusi karakter habitat seperti ketersedian makanan, iklim mikro dan lokasi berbiak, ketiga faktor ini merupakan penentu dalam distribusi amphibia pada patch yang berukuran kecil. Kondisi hutan pada area inti yang

lebih stabil pada bagian tengah, juga turut membawa hubungan ekologi antar spesies yang lebih stabil karena faktor lingkungan yang mendukung. Hubungan yang kuat antara distribusi amphibia dan distribusi karakter yang habitat yang tidak sempurna bisa menyebabkan hubungannya dengan area dapat tidak mengikuti kurva area-spesies (Wind 1999).

Efek tepi juga akan mempengaruhi jenis vegetasi yang tumbuh didalam hutan. Hal ini berkaitan dengan tutupan kanopi dan serasah yang menutup lantai hutan. Amphibia terrestrial pada interior hutan sering berasosiasi dengan adanya ketersediaan serasah. Pada hutan yang di awali dengan semak cenderung memiliki serasah yang tipis secara kualitas serasah di semak lebih buruk dan hutan sekunder memberikan tutupan kanopi dan serasah yang lebih baik hal ini mungkin saja menentukan keberadaan K. pluerostigma dan L. wayseputiense di hutan

sekunder. Berbeda dengan hutan Macaranga memiliki bentuk serasah yang agak berbeda karena bentuk daunnya yang lebar dan melengkung sehingga terlihat tebal namun sepertinya juga tidak disukai oleh amphibia. Kelimpahan dari spesies anura juga tidak dipengaruhi oleh ketebalan lapisan serasah namun lebih mempengaruhi komunitas (Van Sluys et al. 2007) dari pada kelimpahan ( Menin

et al. 2007). Habitat yang masih dalam proses perkembangan tepian hutan yang

dalam tahap pelunakan dan mengungkung (Harper et al. 2005), seperti pada Bukit

Tengah Pulau Utara dan Bukit Salo masih dihindari oleh amphibia.

Pada area inti akuatik distribusi dari amphibia dipengaruhi oleh ukuran sungai dan kuat arus. Studi menunjukkan hubungan antara ukuran sungai dengan jumlah atau komposisi spesies (Parris & McCarthy 1999; Keller et al. 2009).

Diperkirakan kecepatan air dan ukuran badan sungai bisa memiliki pengaruh terhadap kekayaan spesies amphibia, namun variabel ini tidak mempengaruhi komunitas di brazil (Eterovick 2003). Hutan juga sangat penting bagi spesies seperti R. picturata yang sangat bergantung dengan hal ini. R. picturata jelas

menghindari area yang berbatasan langsung dengan perkebunan kelapa sawit demikian pula halnya dengan H. sumatrana dan R. hosii meskipun memiliki

cenderung memiliki karakter habitat yang sama namun R. hosii terlihat lebih dapat mentolerir habitat yang terdegradasi.

Matriks

Distribusi spesies banyak dipengaruhi oleh efek tepi dan lebih banyak dipelajari dari sisi hutan (Dixo & Martins 2008; Marsh & Pearman 1997; Toral et al. 2002). Pada habitat yang lebih heteregon, efek tepi pada matriks akan berbeda

tiap tipe cover, sangat bergantung pada seberapa besar matriks tersebut dapat menekan efek dari tepi (Santos-Barrera & Urbina-Cardona 2011). Dalam studi ini efek hutan terhadap matriks mungkin lebih berguna dari sisi perkebunan dari pada sisi amphibia itu sendiri. amphibia lebih cenderung terdistribusi mengikuti ketersediaan mikrohabitatnya. Keterikatan yang kuat dengan perkebunan dan habitat non hutan juga menentukan distribusi beberapa spesies (Gillespie et al. in

press). Ketika mikrohabitat tersedia maka amphibia dapat ditemukan pada daerah yang berbatasan dengan hutan hal ini tergambarkan secara umum. Amphibia pada matriks tampaknya tidak terlalu menyenangi daerah perbatasan dengan area inti yang memiliki kontur berbukit yang kering dan sering kali ditanami dengan sawit yang berusia muda, ketiadaan cover yang memadai menyebabkan suhu lebih tinggi pada daerah ini dibandingkan dengan kelapa sawit yang lebih dewasa. Namun daerah perbatasan yang basah seperti aliran sungai dan daerah berawa dapat digunakan oleh beberapa spesies meskipun kelimpahannya rendah.

Hubungan yang ditemukan dalam studi ini menunjukkan bahwa efek tepi berdampak pada kekayaan jenis. Respon dari anura ini diakibatkan karena sensitifitasnya terhadap perubahan lingkungan dikarenakan karakter yang kompleks pada morfologi dan fisiologinya, begitu pula dengan jarak dari tepi hutan memiliki hubungan dengan kekayaan spesies namun bukan kelimpahan dari setiap spesies (Lehtinen et al. 2003). Namun perlu dicatat bahwa respon spesies

terhadap lingkungan juga bervariasi sehingga efeknya tidak bisa disama-ratakan (Nishikido & Menin 2011).

Amphibia dalam kawasan perkebunan sendiri terdistribusi tidak secara acak namun cenderung mengelompok mengikuti mikrohabitat yang ada terutama pada semak pakis-pakisan dan genangan air. Pengamatan di lapangan juga menunjukkan pada kawasan perkebunan yang baru saja dibersihkan dari semak dan pakis-pakisan yang baru saja dibersihkan, begitu juga daerah yang baru saja mengalami pengaruh penyemprotan herbisida tidak ditemukan amphibia

disekitarnya, hal ini juga turut mendorong penurunan jumlah spesies dan kepunahan bagi diversitas (Turner et al. 2011).

Pinggiran jalan perkebunan seringkali terdapat genangan air berlumpur yang merupakan cekungan tanah terjadi akibat tak mampu menahan beban truk dan traktor yang mengangkut tandan buah. Lokasi seperti ini merupakan lokasi favorit bagi amphibia. Pada satu kubangan dapat ditemukan puluhan individu dari 3-5 jenis, namun penghuni tetapnya adalah R. nicobariensis dan M. heymonsi, jenis

yang didapati tergantung apa mikrohabitat apa yang menyokong didekatnya, bila pakis-pakisan maka amphibia arboreal dari Genus Polypedates dan semi arboreal (R. raniceps dan R. parvaccola) juga dapat ditemukan, bila dekat dengan parit

atau sungai pada jalan yang bersemak maka B. asper, L. blythii, L. kuhlii dan P.

leucomystax dapat ditemukan disekitarnya.

Koridor

Spesies yang ditemukan pada koridor umumnya merupakan spesies yang dapat ditemukan pada habitat yang terdegradasi. Secara umum hal ini menggambarkan bahwa koridor merupakan habitat yang telah terdegradasi dan masih mengalami suksesi, distribusi spesies pada koridor erat kaitannya dengan preferensi habitat. dan sangat spesies spesifik. Meski demikian secara umum dapat dikelompokkan menjadi 8 kelompok. Kelompok penghuni tepian (B. asper,

L. blyhtii dan L. crybetus,), tepian basah (L. kuhlii), genangan (M. berdmorei dan

R. nicobariensis), tebing (L. microdiscus), arus deras (H. sumatrana dan R. hosii),

berbatasan dengan perkebunan (R erythraea, F. cancrivora dan F. limocharis),

petengger (R. raniceps dan R. picturata) dan arboreal (R. cyanopunctatus).

Kelompok penghuni tepian memiliki ciri yang paling spesifik adalah menggunakan tepian untuk berdiam diri. Baik itu tepian berbatu, berpasir, sedikit bertebing atau tanah. Kelompok ini dapat terdistribusi dimana saja pada bagian sungai dan hampir merata terutama sekali B. asper. Pada kelompok tepian basah

hanya memiliki L.kuhlii, menyukai karakter tepian sungai yang sangat dangkal

dan cenderung berlumpur serta berair jernih. Pada tebing sungai meskipun jarang ditemukan hanya L. microdiscus yang memanfaatkannya. Bila sungai memiliki

sedangkan M. berdmorei yang hanya satu individu belum banyak diketahui

meskipun juga ditemukan dekat genangan air.

Sungai berbatu dengan arus yang deras merupakan ciri spesifik mikrohabitat bagi R. hosii dan H. sumatrana, meskipun H. sumatrana lebih menyukai air yang

lebih jernih. Bila sungai berbatasan dengan perkebunan kelapa sawit terkadang juga terdapat parit-parit kecil yang bermuara ke dalam sungai maka ada kemungkinan R. erythraea, F. cancrivora dan F. limnocaris dapat ditemukan.

Kelompok petengger menyenangi aliran sungai yang tenang biasanya pada aliran sungai kecil yang sedikit terbelah disisi pulau kerikil yang agak bersemak Dan terakhir bila kondisi hutan pada bagian tepian sungai memiliki kanopi dan kondisi hutan yang baik dapat ditemukan R. cyanopunctatus meskipun jarang sekali.

Penjelasan diatas tergambar berbagai macam mikrohabitat yang dibutuhkan oleh spesies pada koridor, komposisi dan distribusi spesies pada koridor akan mengikuti pola mikrohabitat yang dibentuk oleh sungai disepanjang alirannya dan amphibia akan mengikuti pola sebaran mikrohabitat tersebut.

5.2.3.2 Dispersal Amphibia pada Kawasasan PT. KSI

Fragmentasi habitat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan amphibia berdispersal, Amphibia yang rentan terhadap fragmentasi dapat terdorong untuk berdispersal jarak mencapai jarak 5 km ketinggian ( 750 m) dengan kelerengan (36o sejauh 2 kilometer). Penemuan ini menunjukan bahwa dispersal merupakan karakter sejarah hidup yang penting bagi beberapa amphibia dan menunjukan bawa fragmentasi merupakan ancaman yang serius terhadap amphibia (Funk et al.

2004). Secara global kurang lebih Satu kilometer merupakan merupakan rata-rata jarak dispersal yang mampu ditempuh oleh sekitar 44% amphibia di dunia, tidak semua amphibia membentuk metapopulasi dan tidak semua amphibia memiliki daya dispersal yang buruk (Smith & Green 2005).

Fragmentasi habitat mempengaruhi spesies dalam cara-cara yang berbeda. Beberapa spesies dapat menurun populasinya secara tajam atau hilang sama sekali dalam fragmen-fragmen, lainnya dapat bertahan dengan susah payah dan spesies yang lain dapat meningkat populasinya dengan tajam (Laurance 2008). Spesies

memiliki ketergantungan yang bervariasi pada karakter habitat dikarenakan kesensitifannya pada respon lingkungan.

Spesies generalist memiliki respon yang positif dan mampu berkembang

dengan pesat pada habitat sekunder atau perkebunan yang telah diklelola, sementara spesialist terus menurun populasinya bahkan menjadi punah (Yaap et al. 2010). Fragmentasi menyebabkan terbatasnya dispersal amphibia kawasan

yang terfragmen dan hanya spesies yang tidak memiliki pengahambat pergerakan dan kemampuan beradaptasilah yang mampu berdispersal antar elemen lanskap. Dalam penelitian ini dapat dikelompokan spesies berdasarkan tipe habitat yang dihuninya yang menjadi asumsi dasar kemampuannya berdispersal antar elemen lanskap yang dibagi menjadi tiga kelompok spesies, yaitu:

Spesies Obligat

Spesies obligat merupakan spesies yang hanya ditemukan pada tipe elemen tertentu saja. Hal ini dikarenakan keterkaitan siklus hidupnya pada karakter habitat yang ada. Keterikatan pada karakter habitat ini menyebabkan pergerakkannya juga bergantung pada sebaran spasial karakter spesifik yang ada di dalam perkebunan. Ketidakmampuan beradaptasi dengan lingkungan yang lain yang membatasi wilayah yang dihuni saat ini menuju habitat yang lebih baik merupakan faktor penghambat utama.

Faktor diatas disebabkan oleh keterbatasan morfologi dan fisiologi. Spesies terrestrial hutan yang tersisa pada area inti mungkin saja dapat mentolerir suhu dan kelembaban yang sedikit meningkat pada hutan yang terdegradasi. Namun berbeda pada matriks dimana tutupan kanopinya tidak seperti hutan sekunder dimana suhu dan kelembaban berubah cukup sigifikan dan tidak adanya serasah pada matriks akan menjadi penghambat dalam pergerakan.

Kalophrynus merupakan amphibia yang tidak berbiak di sungai (non stream breeding) (Iskandar & Mumpuni 2004b), dapat ditemukan pada serasah hutan primer pada ketinggian rendah, berudunya ditemukan pada genangan yang sangat kecil dan dangkal. Kataknya ini memakan semut dan rayap, dan bergerak hingga menemukan jalur semut atau sarangnya dan makan hingga puas sedangkan M.

borneensis hanya ditemukan pada lantai hutan primer dan berbiak pada genangan

dispersal keduanya jelas hanya akan didorong oleh ketersediaan habitat untuk mendukung siklus hidupnya. (Inger & Stuebing 1997). B. biporcatus biasanya

juga berlimpah pada daerah hutan dan berkurang pada hutan sekunder dan habitat yang terdegradasi (Iskandar & Mumpuni 2004a).

Pada spesies akuatik seperti O. laevis dikenal sebagai spesies hutan

menyukai daerah berlumpur dan sungai yang sangat kecil, juga ditemukan pada genangan Badak dan Babi. Secara berkala dewasanya hanya duduk atau mengambang pada genangan berlumpur (Mistar 2003). Tak jauh berbeda dengan

O. Sumatrana yang biasanya ditemukan pada hutan dataran rendah yang lembab

dan mampu bertahan pada hutan sekunder yang tidak terlalu terganggu (Iskandar & Mumpuni 2004c). Genus Occidozyga belum banyak diketahui bagaimana

spesies ini bergerak dari satu kubangan ke kubangan yang lainnya, namun faktor sedikitnya kubangan berlumpur yang ditemukan menjelaskan mengapa kelimpahannya juga rendah.

Pada matriks hanya tercatat hanya P. cf macrotis yang tidak berbagi habitat.

Pada lokasi lain spesies ini mampu hidup di hutan sekunder, kelimpahannya yang rendah pun mungkin saja menggambarkan sebenarnya perkebunan kelapa sawit bukan merupakan habitat yang ideal bagi spesies ini dan mengalami tekanan populasi. R. macrotis Umum dijumpai pada habitat kolam-kolam kecil dalam

jumlah banyak, di hutan sekunder pada vegetasi bagian bawah (Inger & Stubeing 1997).

Pada koridor spesies yang hanya pada elemen lanskap ini adalah H.

sumatrana, spesies ini menyukai aliran sungai yang kuat dan dikelilingi oleh

hutan. Kelembaban merupakan faktor utama mengapa spesies ini hanya ditemukan pada sungai dengan aliran air yang deras, jernih dan berbatu-batu.

Jeram akan meningkatkan kandungan air dalam udara, faktor lainnya adalah H.

sumatrana dan juga menggunakan karakter sungai seperti ini untuk berbiak.

Spesies ini juga cukup unik karena ada fase dimana mereka juga menggunakan daratan namun selama pengamatan tidak teramati, selama bulan purnama jantan akan tinggal disekitar rerumputan tidak jauh dari tepi sungai, tetapi betina akan sulit ditemukan (Mistar 2003). R. cyanopunctatus pada hutan primer dataran

tutupan tajuk yang rapat (Mistar 2003). Belum diketahui apakah R.

cyanopunctatus merupakan stream breeding spesies atau bukan namun

keberadaannya yang sering ditemukan di didekat sungai di duga spesies ini menggunakan sungai sebagai lokasi berbiak.

Spesies Fakultatif

Spesies fakultatif merupakan spesies yang mampu menempati dua tipe habitat yang berbeda, terdiri atas tiga bagian yaitu:

1. Area Inti-Koridor

Kemungkinan besar dispersal yang terjadi hanyalah pada amphibia yang memiliki keterikatan dengan sungai seperti amphibia akuatik dan semi akuatik. Sedangkan amphibia terrestrial tidak menunjukkan adanya kemungkinan penggunaan koridor sebagai dispersal. Hal ini diperkuat hasil uji similaritas (Gambar 12) menunjukan bahwa komposisi spesies pada area inti akuatik hampir identik dengan koridor Sungai Suir mencapai 96%. Namun untuk komposisi spesies terrestrial yang diuji dengan indeks similaritas sorensen rata-rata tingkat kesamaan komposisi spesies adalah 2.28%. Beier & Noss (1998) menyatakan bahwa penggunaan koridor spesies lebih kepada focal spesies dan lanskap. Kesesuaian habitat tampaknya merupakan alasan utama dari satwa dalam menggunakan koridor untuk berdispersal. Spesies interior hutan umumnya adalah amphibia terrestrial dan arboreal, spesies terrestrial yang tidak ditemukan kemungkinan disebabkan oleh kelembaban yang buruk karena faktor edge efek karena riparia berbentuk linear sempit Burbrink et al. (1998) berpendapat

absennya spesies pada koridor mungkin disebabkan oleh kebutuhan untuk melengkapi siklus hidup yang tidak terpenuhi.

R. picturata Selalu dijumpai di tepian sungai-sungai berukuran kecil dan

sedang, pada tumbuhan herba atau akar, kadang-kadang dijumpai agak jauh dari sungai (Inger & Stuebing 1997). Spesies ini diketahui menghabiskan pada saat juvenile mereka hidup pada serasah dan ketika dewasa mereka kembali ke sungai (Mistar 2003). Mungkin hal ini yang menyebabkan keberadaannya yang tidak berada jauh dari hutan, demikian pula halnya dengan R. hosii, hanya saja

dengan lingkungan dan diyakini memiliki tingkat keberhasilan yang rendah mengingat jumlah yang ditemukan sangat minim.

2. Area Inti -Matriks

Spesies yang ditemukan pada Area inti lebih kepada penghuni hutan, dan ada beberapa yang juga beradaptasi dengan matriks kelapa sawit. Spesies yang ditemukan didominasi oleh P. leucomystax yang sebenarnya berada pada kaki

bukit yang masih bersemak tidak terlalu jauh dari perkebunan sawit dimana populasinya cukup berlimpah, P. leucomystax memiliki keterikatan yang kuat

dengan daerah non-hutan (Gillespie et al. in press). Sementara didalam hutan

sendiri hanya Polypedates sp saja yang ditemukan di perkebunan kelapa sawit

jenis ini lebih banyak ditemukan dari pada hutan, spesies ini diperkirakan baru bagi dunia ilmiah karena memiliki karakter yang berbeda dengan genus Polypedates yang telah diprediksikan sebelumnya.

L. wayseputiense merupakan spesies hutan yang dikenal bermigrasi menuju

sungai untuk berbiak (Inger & Stuebing 1997), mengingat sisi perbukitan dimana spesies ini ditemukan tidak didapati adanya aliran sungai. Diyakini spesies ini memasuki matriks untuk berbiak pada parit kecil yang berada tidak begitu jauh dari posisinya ditemukan, L. wayseputiense menggunakan waktu malam untuk

bergerak menuju perairan pada matriks untuk menghindari lingkungan yang ekstrim dan mungkin menggunakan garis hutan yang tersisa didekatnya sebagai cover disiang hari. Leptobrachium hidup pada lantai hutan berserasah dan memakan serangga yang berukuran besar. Kaki belakangnya yang pendek membuat pergerakan nya juga hanya berupa loncatan kecil, dewasanya bermigrasi ke sungai yang berukuran kecil atau sedang untuk berbiak dan meletakan telurnya pada bagian berkolam yang tenang (Inger & Stuebing 1997). Dispersal lokal dikenal pada beberapa spesies hutan di perkebunan kelapa sawit (Gillespie et al.

in press)

M. heymonsi sendiri meski diyakini berasal dari spesies yang sama namun

spesies yang berada di hutan memiliki pola warna warna yang berbeda dengan yang ditemukan pada matriks. Mungkin ini adalah pola adaptasi dengan lingkungan matriks, M. heymonsi pada hutan memiliki pola yang mirip dengan

coklat warna serah dengan alur coklat muda sementara pada M. heymosi pada

matriks warna coklat ke abu-abuan dengan alur yang pudar.

Matriks kelapa sawit memiliki kemiripan spesies dengan yang menghuni koridor. Spesies spesialis hutan telah hilang waktu hutan. Laju dispersal yang tinggi menunjukkan bahwa dispersal memainkan peranan yang penting dalam dinamika populasi, fragmentasi habitat meningkatkan laju kepunahan. Dispersal pada amphibia bisa dihalangi oleh jalan, urbanisasi dan hutan yang telah gundul ditebangi (Carr & Fahrig 2001; Johnston & Frid 2002).

3. Matriks-Koridor

Spesies yang menghuni matriks dan koridor lebih cenderung dikarena aksesnya yang berdekatan dengan perkebunan kelapa sawit. Dispersal yang terjadi bisa dilakukan pada masa juvenile dan fase berudu dari parit-parit yang mengaliri

matriks dan bermuara di sungai. Ketika menemukan habitat yang disenangi maka amphibia akan mulai menetap pada lokasi di dalam lingkungan sungai dan diyakini dispersal ini merupakan pergerakan dari matriks menuju koridor karena kelimpahan spesies yang lebih besar ditemukan pada elemen matriks.

F. cancrivora umumnya dijumpai di habitat hutan primer maupun sekunder

dataran rendah, rawa, sawah, bahkan air payau (Mistar 2008). F. limnocaris, Jenis

ini menempati habitat yang telah terganggu pada daerah dataran rendah sampai pegunungan dataran rendah dan terikat dengan perkebunan dan habitat non-hutan (Inger & Stuebing 1997; Gillespie et al. in press). R. nicobariensis jenis yang

umum ditemukan pada habitat yang terganggu. Hidup pada habitat yang telah terganggu bahkan terdapat disekitar pemukiman dimana terdapat air tergenang atau mengalir lambat (Inger & Stuebing 1997). Ketidak beradaannya pada area inti dipengaruhi oleh preferensinya untuk memilih perkebunan sebagai habitat

Dokumen terkait