• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Pemerintah vs Komunitas Lokal: Upaya Mencari Titik Temu (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Pemerintah vs Komunitas Lokal: Upaya Mencari Titik Temu (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA MENCARI TITIK TEMU

(Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa

Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

TITANIA AULIA I34070052

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

Many efforts in saving the forest resources has been done by the government to avoid a decline in forest resources. One of them is the expansion of Halimun Salak conservation area with the forestry ministerial decree No.175/Kpts-II/2003, that decree sets forth changes in regional function of ex Perum Perhutani or ex protected forest and the limited production forests around the conservation area TNGH become Halimun Salak Mountain National Park (TNGHS). Under this decree, communities within the region can not occupy the area within the region of TNGHS. This is the case that can causes conflict. In addition, to get the resolution of the conflict, there is collaborative management that involving all stakeholders. The purpose of this study are to describe and analyze: (1) pattern of forest resource management that has been done by the government and local communities, (2) The perception of stakeholders (government, society, and NGOs) to forest resources, (3) the relation between perception of socio-economic and the characteristics of local communities on forest resources, and (4) The perception of stakeholders about the management forestry recources connected with the collaborative management model (top-down and bottom up) as a result of conflict resolution.

The results showed a difference in the forest resources management between the government and local communities. There is a relationship to the perception of socio-economic characteristics. Differences in perception among stakeholders (government, local communities, and NGOs) have led to conflict, so it takes a conflict resolution, the collaborative management. Perceptions of government forest resource management program produces Model Kampung Konservasi (MKK), while the public perception in Kampung Nyungcung had been fasilitated by the NGOs to make Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK). Difference perception between stakeholders (government, local communities, and NGOs) have led to conflict, thats why we need a resolution of the conflict, called the management of collaborative.

(3)

TITANIA AULIA. I34070052. PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH PEMERINTAH VS KOMUNITAS LOKAL: UPAYA MENCARI TITIK TEMU (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Dibawah bimbingan HERU PURWANDARI

Upaya penyelamatan sumberdaya hutan dilakukan pemerintah untuk

menghindari penurunan sumberdaya hutan. Salah satunya adalah perluasan

kawasan konservasi Halimun Salak dengan ditetapkan SK Menteri Kehutanan

No.175/Kpts-II/2003. Surat keputusan tersebut menetapkan perubahan fungsi

kawasan eks Perum Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas

disekitar TNGH menjadi kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun

Salak (TNGHS).

Berdasarkan SK tersebut, masyarakat yang berada di dalam kawasan tidak

dapat menempati kawasan TNGHS. Hal inilah yang menyebabkan konflik.

Untuk meresolusi konflik dilakukan suatu pengelolaan kolaboratif yang

melibatkan semua pemangku kepentingan. Tujuan penelitian ini untuk

mendeskripsikan dan menganalisis: (1) Pola pengelolaan sumberdaya hutan yang

dilakukan oleh pemerintah dan komunitas lokal, (2) Persepsi pemangku

kepentingan (pemerintah, masyarakat, dan LSM) terhadap sumberdaya hutan, (3)

Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi komunitas lokal pada

sumberdaya hutan, dan (4) Persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan

sumberdaya hutan berhubungan dengan perbedaan pengelolaan kolaboratif

(bersifat top down dan bottom up) sebagai upaya mencari titik temu.

Penelitian dilaksanakan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung,

Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) sesuai hasil diskusi dengan

pihak RMI- The Indonesian Institute for Forest and Environment. Unit analisis penelitian adalah individu yang menggarap lahan di kawasan Eks Perum

Perhutani. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang dari setiap

kampung, sehingga jumlah responden keseluruhan sebanyak 60 orang. Responden

(4)

Analisis data mencakup: (1) pengolahan data: tabulasi silang dan (2) analisis

statistik inferensial: korelasi Rank Spearman.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan dalam pengelolaan

sumberdaya hutan antara pemerintah dan komunitas lokal. Terdapat hubungan

karakteristik sosial ekonomi terhadap persepsi komunitas lokal. Persepsi

pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan adalah lahan yang menjadi

perluasan TNGHS merupakan lahan negara. Lahan negara tidak dapat dijadikan

hak milik masyarakat. Persepsi masyarakat menganggap bahwa hutan tersebut

telah diwariskan sejak nenek moyang mereka untuk digarap dan dimiliki. Persepsi

LSM, perluasan kawasan TNGHS belum terdapat batas yang jelas antara lahan

pemerintah dan lahan yang digarap oleh masyarakat. Peta partisipatif dibuat oleh

masyarakat dengan didampingi pihak LSM untuk menunjukkan batas wilayah

antara pemerintah dan masyarakat agar terlihat jelas, sehingga tidak terjadi

tumpang tindih lahan.

Perbedaan persepsi antara pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas

lokal, dan LSM) telah menyebabkan konflik, sehingga dibutuhkan suatu resolusi

konflik sebagai upaya mencari titik temu, yaitu pengelolaan kolaboratif. Model

pengelolaan kolaboratif ini merupakan persamaan persepsi antara pemerintah,

masyarakat, dan LSM. Persepsi pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya

hutan menghasilkan program Model Kampung Konservasi (MKK) yang bersifat

top down, sedangkan persepsi masyarakat di Kampung Nyungcung dengan difasilitasi LSM menghasilkan Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK)

yang bersifat bottom up.

(5)

UPAYA MENCARI TITIK TEMU

(Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa

Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

TITANIA AULIA I34070052

SKRIPSI

Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Titania Aulia

Nomor Mahasiswa : I34070052

Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Judul Skripsi : Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Pemerintah vs Komunitas Lokal: Upaya Mencari Titik Temu (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui

Dosen Pembimbing

Heru Purwandari, SP, MSi NIP. 19790524 200701 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003

(7)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH PEMERINTAH VS KOMUNITAS LOKAL: UPAYA MENCARI TITIK TEMU (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA

BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA

MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.

Bogor, September 2011

(8)

Penulis bernama Titania Aulia dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23

Desember 1989. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, pasangan

Dr. Ir. Tatag Budiardi, MSi dan Dr. Ir. Kurnia Suci Indraningsih, MSi.

Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah SDN Pengadilan 2 Bogor tahun

1995-2001, SMP Negeri 4 Bogor tahun 2001-2004, dan SMA Negeri 1 Bogor

tahun 2004-2007. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi

Manusia Institut Pertanian Bogor melalui jalur masuk USMI (Undangan Seleksi

Masuk IPB).

Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif dalam Himpunan

Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

(HIMASIERA) sebagai staf Divisi Advertising and Multimedia pada tahun

2008-2010. Penulis juga menjadi anggota kepanitiaan dalam beberapa kegiatan

kemahasiswaan di IPB antara lain FRESH oleh HIMASIERA tahun 2008, Bukti

Cinta Lingkungan (BCL) oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEMA tahun

2009, Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat tahun 2009, serta Konser Amal dengan tema “Kami Peduli, Kamu..?” tahun 2010 oleh HIMASIERA. Penulis mengikuti kegiatan Go Field IPB tahun

2009 dan magang di Greenpeace tahun 2010. Penulis aktif sebagai asisten

praktikum mata kuliah Sosiologi Pedesaan pada semester ganjil dan semester

genap (semester 5-8) pada tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011. Pada tahun

2011, penulis menjadi pendamping peserta kegiatan Pesta Petani Muda Indonesia

(Pestani) yang merupakan program kerjasama Kodam III Siliwangi dengan

(9)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat-Nya, sehingga skripsi dengan judul “Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Pemerintah vs Komunitas Lokal: Upaya Mencari Titik Temu (Kasus: Kampung

Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” ini dapat diselesaikan. Skripsi ini memaparkan tentang pengelolaan sumberdaya hutan antara pemerintah dan komunitas lokal di

Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari yang memicu

terjadinya konflik, sehingga terdapat pengelolaan kolaboratif yang berbeda di

kedua kampung tersebut.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada para pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi. Semoga skripsi ini dapat memberikan

manfaat bagi para pembacanya.

Bogor, September 2011

(10)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada:

(1) Ibu Heru Puwandari, SP, MSi selaku dosen pembimbing dan pembimbing

akademik yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan

bimbingan selama ini.

(2) Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA selaku dosen penguji utama atas

saran-saran perbaikan yang telah diberikan.

(3) Ir. Sutisna Riyanto, MS selaku dosen penguji Wakil Departemen Sains KPM

atas saran-saran perbaikan yang telah diberikan.

(4) Bapak, Ibu, dan Adik Febi yang telah memberikan dorongan moril, doa,

saran, dan motivasi.

(5) Kang Ceceng-RMI yang telah membantu dalam tukar pikiran dan

meminjamkan literatur selama penulisan skripsi.

(6) Bapak Hendri Ketua RW 02, Bapak Usup, dan responden Kampung

Cisangku, serta Bapak Sarkib Ketua RW 05, Bapak Ismail Ketua RW 06,

Kang Gapuy, Teh Eli, Teh Yanti, dan responden Kampung Nyungcung yang

telah membantu dalam pemberian informasi.

(7) Bapak Yosi dan Bapak Ujang, petugas Resort Gunung Botol yang telah

memberikan data dan informasi pada penelitian ini.

(8) Rahmad Saleh teman satu bimbingan, sahabat-sahabatku (Intan, Eka, Kiki,

Dian, Icha, Akira, Aris, Dewi, Ayu, Risma, Fadhil, Fitrah, Ilmy, dan Yudi),

serta teman-teman di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat angkatan 44 yang telah memberikan saran, doa, dan motivasi.

(9) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam membantu dan

mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.

Bogor, September 2011

(11)

Halaman

2.1.1 Pengelolaan Sumberdaya Hutan ... 6

2.1.2 Hak Kepemilikan ...8

2.1.3 Persepsi ...11

2.1.4 Lapisan Masyarakat ...13

2.1.5 Konflik ...14

2.1.6 Pemangku Kepentingan yang Terlibat ...16

2.1.7 Pengelolaan Kolaboratif ...18

2.2 Kerangka Pemikiran ... 19

2.3 Hipotesis ...21

2.4 Definisi Operasional ... 21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...24

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...24

3.2 Teknik Pengumpulan Data ...24

3.3 Teknik Analisis Data ... 26

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...27

4.1 Profil Desa Malasari ... 27

4.1.1 Letak Geografis dan Keadaan Alam ...27

4.1.2 Keadaan Penduduk ...28

4.1.3 Profil Kampung ...30

4.1.4 Karakteristik Sosial Ekonomi Komunitas Lokal ...31

4.2 Profil Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ...33

(12)

BAB V PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN ...37

5.1 Pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan versi Pemerintah ...38

5.2 Pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan versi Komunitas Lokal ...40

5.3 Ikhtisar ...44

BAB VI PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN ... 46

6.1 Persepsi Pemerintah ...46

6.2 Persepsi Komunitas Lokal ...47

6.2.1 Persepsi Komunitas Lokal pada Sumberdaya Hutan ...47

6.2.2 Persepsi Komunitas Lokal terhadap Hak, Kewajiban, dan Alokasi Peranan ...49

6.3 Persepsi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ...61

6.4 Konflik Akibat Perbedaan Persepsi ...62

6.5 Ikhtisar ...64

BAB VII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DENGAN PERSEPSI KOMUNITAS LOKAL PADA PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN ...66

7.1 Keterkaitan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Persepsi Komunitas Lokal ...66

7.2 Ikhtisar ...68

BAB VIII MODEL PENGELOLAAN KOLABORATIF ...69

8.1 Hubungan Persepsi antara Pemangku Kepentingan pada Pengelolaan Sumberdaya Hutan terhadap Model Pengelolaan Kolaboratif ...69

8.2 Model Kampung Konservasi (MKK) ... 70

8.3 Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) ...74

(13)

Nomor Halaman

Tabel 1 Seperangkat Hak Terkait dengan Kedudukan (Bundles of Rights Associated with Positions) ... 10 Tabel 2 Luas Lahan dan Persentasenya Menurut Pemanfaatan Lahan/

Penggunaan Tanah di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, 2010 ... 27

Tabel 3 Jumlah Penduduk Menurut Struktur Umur dan Jenis Kelamin di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor,

2010 ... 28

Tabel 4 Jumlah Penduduk dan Persentasenya Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, 2010 ... 29

Tabel 5 Jumlah Penduduk dan Persentasenya Menurut Mata Pencaharian di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, 2010 ... 30

Tabel 6 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Karakteristik Sosial Ekonomi Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, 2011 ... 32

Tabel 7 Jumlah dan Persentase Penduduk Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Menurut Persepsi terhadap Pengelolaan Sumberdaya Hutan (Hak, Kewajiban, dan

Alokasi Peranan), 2011 ... 48

Tabel 8 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Jenis Kelamin di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, 2011 ... 50

Tabel 9 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Jenis Kelamin di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan

Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 50

Tabel 10 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Jenis Kelamin di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari,

(14)

Tabel 11 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan

Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 52

Tabel 12 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan

Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 53

Tabel 13 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari,

Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 53

Tabel 14 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Tingkat Pendapatan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan

Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 54

Tabel 15 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Tingkat Pendapatan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari,

Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 55

Tabel 16 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Tingkat Pendapatan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari,

Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 55

Tabel 17 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Luas Lahan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, 2011 ... 56

Tabel 18 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Luas Lahan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan

Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 57

Tabel 19 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Luas Lahan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan

Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 57

Tabel 20 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa

(15)

Tabel 21 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor,

2011 ... 59

Tabel 22 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, 2011 ... 60

Tabel 23 Nilai Koefisien Korelasi Tingkat Pendapatan, Luas Lahan, dan Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan yang Berhubungan dengan Persepsi Komunitas Lokal di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari,

(16)

Nomor Halaman

(17)

Nomor Halaman

Lampiran 1 Peta Desa Malasari ... 86

Lampiran 2 Peta Kampung Cisangku ... 87

Lampiran 3 Peta Kampung Nyungcung ... 88

Lampiran 4 Peta Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 89

Lampiran 5 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011 ... 90

Lampiran 6 Sampling Frame Penggarap Lahan di Kawasan Eks Perum Perhutani Kampung Cisangku, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 2011 ... 91

Lampiran 7 Sampling Frame Penggarap Lahan di Kawasan Eks Perum Perhutani Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 2011 ... 92

(18)

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumberdaya alam, salah satunya

berupa sumberdaya hutan. Hutan merupakan salah satu aset potensial

pembangunan nasional yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Selain itu, hutan

memiliki manfaat ekologi, dan sosial budaya. Untuk itu, hutan semestinya dapat

dikelola, dikembangkan, dan dimanfaatkan dalam arti eksploitasi secara tepat

untuk kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 telah dinyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Negara mempunyai wewenang untuk membuat kebijakan terhadap pengelolaan hutan. Akan tetapi,

fakta menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan luas hutan di Indonesia, dari

sebesar 93,92 juta hektar pada tahun 2003 (Departemen Kehutanan 2005) menjadi

90,13 juta hektar pada tahun 2006 (Departemen Kehutanan 2008). Hal ini

mengindikasikan bahwa kebijakan yang dicanangkan oleh negara tidak sesuai

dalam pengelolaan sumberdaya hutan untuk memakmurkan masyarakat.

Negara memaksa untuk menempatkan posisinya sebagai sumber puncak dari

hukum, hak dan aturan, serta memonopoli semua kewenangan, kekuasaan dan

penyelenggaraan negara. Fay dan Sirait (2001) dalam Lynch dan Harwell (2006)

menyatakan, bahwa negara mengklaim sebagai pengelola tunggal yang sah atas

segala kekayaan dan sumber-sumber alam dalam suatu wilayah, serta

menggunakan kekuasaannya untuk mendahulukan pembangunan ekonomi yang

seringkali mengabaikan, bahkan mengorbankan nasib dan kepentingan

masyarakat yang bermukim sekitar hutan.

Salah satu pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemerintah

berupa taman nasional yang berfungsi sebagai kawasan pelestarian alam yang

dikelola oleh balai taman nasional dibawah pengawasan langsung dari pemerintah

pusat. Berawal dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas

(19)

taman nasional. Penetapan tersebut didasari atas Surat Keputusan Menteri

Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992, di bawah pengelolaan

sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dengan nama

Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Selanjutnya pada tanggal 23 Maret

1997 pengelolaan kawasan TNGH resmi dipisah dari TNGP dan dikelola

langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Ditjen PHKA, Departeman

Kehutanan.

Atas dasar perkembangan kondisi kawasan di sekitarnya, terutama kawasan

hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat

berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan, serta adanya desakan dan

harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi

Halimun Salak yang lebih luas, maka ditetapkan SK Menteri Kehutanan

No.175/Kpts-II/2003. Surat ketetapan tersebut menetapkan perubahan fungsi

kawasan Eks Perum Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas

disekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional

Gunung Halimun Salak (TNGHS 2008).

Hanafi et al. (2004) menyatakan, bahwa sebelum terdapat pembagian “kekuasaan” pengelolaan hutan, semua Kawasan Ekosistem Halimun dikelola oleh Departemen Kehutanan. Selama dalam pengelolaan Departemen Kehutanan,

penduduk masih mempunyai akses terhadap hutan dan segala sumberdayanya.

Tetapi setelah Perum Perhutani dan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH)

ditentukan sebagai pengelola kawasan hutan, semua akses masyarakat di kawasan

hutan menjadi terbatas akibat banyaknya peraturan yang harus ditaati.

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 282 Tahun 1992, areal hutan di

Halimun seluas 40.000 hektar dikelola secara zonasi. Dalam konsep zonasi – walaupun kenyataan di lapang menunjukkan bahwa batas masing-masing zona

masih belum jelas – keberadaan berbagai kampung beberapa desa dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menjadi persoalan. Upaya

konservasi hanya memfokuskan pada perlindungan berbagai jenis flora dan fauna.

Balai TNGHS telah berusaha “membina” masyarakat di kampung-kampung tersebut agar bersedia pindah keluar kawasan TNGHS. Secara sosio-historis

(20)

leluhur telah mendiami kawasan TNGHS sejak tahun 1940-an, jauh sebelum

ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Pada kenyataannya saat ini, kampung-kampung tersebut masih memikul status “kampung-kampung ilegal” yang sewaktu-waktu dapat diusir. Pihak TNGHS tidak berdaya untuk menegakkan kepentingan

konservasi. Kondisi ini menggambarkan ketidakadilan dalam arena konservasi.

Salah satu permasalahan penetapan Taman Nasional (TN) adalah proses

penetapannya yang tidak melibatkan semua pemangku kepentingan. Kawasan TN

ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah nasional dan dikelola langsung oleh

Kementerian Kehutanan/Balai Taman Nasional. Lembaga yang berwenang untuk

mengelola TN seringkali tidak mampu mengelola secara efektif dan tidak mampu

menegakkan hukum. Akibatnya, pelanggaran hukum di kawasan konservasi

seringkali dibiarkan. Semua TN mengalami eksploitasi atau perambahan

sumberdaya alam di dalam kawasan konservasi. Kegiatan ini kadang-kadang

dilakukan oleh pendatang yang tertarik pada sumberdaya alam yang berada di

dalam TN. Demikian halnya masyarakat yang semenjak lama tinggal di kawasan

konservasi, kadang-kadang juga melakukan aktivitas tersebut. Suatu TN tidak bisa

dikelola layaknya sebuah pulau pelestarian alam di tengah kegiatan pembangunan.

Semua saling terkait dan saling mempengaruhi (Moeliono et al. 2010).

Kasus yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Desa Malasari

telah menyebabkan konflik, sehingga diperlukan suatu resolusi konflik. Salah satu

upaya mencari titik temu yang dapat dilakukan untuk resolusi konflik adalah

dengan mekanisme pengelolaan kolaboratif. Pengelolaan kolaboratif ini

melibatkan semua pemangku kepentingan, yang terdiri dari pemerintah,

komunitas lokal, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pengelolaan

kolaboratif dilakukan agar terdapat kesepakatan bersama dalam mengelola

sumberdaya hutan, sehingga dapat mencegah timbulnya konflik kembali.

Model pengelolaan kolaboratif yang terdapat di Kampung Cisangku dan

Kampung Nyungcung berbeda walaupun kedua kampung tersebut terletak di desa

yang sama, yaitu Desa Malasari. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan persepsi

antar pemangku kepentingan. Pengelolaan kolaboratif di Kampung Cisangku

(21)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang mengenai pengelolaan sumberdaya hutan, maka

beberapa permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1) Bagaimana pola pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh

pemerintah dan komunitas lokal?

2) Bagaimana persepsi pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas lokal, dan

LSM) terhadap pengelolaan sumberdaya hutan?

3) Bagaimana hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi komunitas

lokal pada pengelolaan sumberdaya hutan?

4) Bagaimana persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya

hutan berhubungan dengan perbedaan pengelolaan kolaboratif (bersifat top

down dan bottom up) sebagai upaya mencari titik temu?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan, penelitian ini

bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis:

1) Pola pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemerintah dan

komunitas lokal.

2) Persepsi pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas lokal, dan LSM)

terhadap pengelolaan sumberdaya hutan.

3) Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi komunitas lokal pada

pengelolaan sumberdaya hutan.

4) Persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan

berhubungan dengan perbedaan pengelolaan kolaboratif (bersifat top down

dan bottom up) sebagai upaya mencari titik temu.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah:

1) Bagi akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran mengenai

(22)

dapat memanfaatkan sumberdaya hutan dengan tetap menjaga kelestarian

hutan demi keseimbangan lingkungan.

2) Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat meningkatkan wawasan masyarakat

dan mengubah pola pikir menuju pengelolaan sumberdaya hutan yang baik

agar tidak memicu konflik terutama dengan pihak pemerintah.

3) Bagi pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

merancang upaya pengelolaan kolaboratif dengan melibatkan pemangku

kepentinganyang terkait.

4) Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Hasil penelitian ini diharapkan agar peran LSM dapat menjadi jembatan

(liason officer) bagi pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan

sumberdaya hutan agar tidak memicu konflik seperti yang telah terjadi selama

(23)

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Moniaga (1998) menjelaskan bahwa berdasarkan pelaku dan sistem yang

diterapkan, secara sederhana saat ini kita dapat membagi adanya tiga sistem

pengelolaan hutan yang berkembang di Indonesia, yaitu:

(1) Sistem Negara: menempatkan negara sebagai pemeran utama dalam

menetapkan sistem pengelolaan hutan dan hukum termasuk hak-hak di

dalamnya. Sistem ini dapat dilihat dalam pengelolaan hutan di dalam wilayah yang ditetapkan sebagai “kawasan hutan” dan wujud hak-hak penguasaan hutan, taman nasional, cagar alam, hak penguasaan hutan tanaman industri,

hutan kemasyarakatan, dan pengelolaan kawasan penyangga;

(2) Sistem Hutan Kemasyarakatan: menempatkan masyarakat adat dan atau

komunitas lokal lainnya merupakan pemeran utama dalam menetapkan sistem

pengelolaan dan hukum yang dikembangkan. Sistem ini dapat ditemui di

seluruh Indonesia dengan ciri-ciri antara lain adanya sistem wana-tani yang

kompleks, lembaga adat dan adat yang mengatur, adanya aspek budaya yang

kompleks dan wilayah adat tertentu. Dalam beberapa kelompok masyarakat

adat terdapat komoditas tertentu yang secara ekonomis dominan, misalnya

damar di Krui, karet Kalimantan Barat dan rotan di Kalimantan Timur; serta

(3) Sistem Pengelolaan Hutan “campuran”: menempatkan pihak ketiga (biasanya Lembaga Swadaya Masyarakat baik dalam negeri maupun dari luar negeri dan

atau lembaga-lembaga pemerintah asing) yang mengupayakan penggabungan

sistem negara dan sistem yang ada di masyarakat. Model ini dapat ditemui,

misalnya di SFDP-Sanggau, beberapa lokasi kerja WWF di Sumatera,

Kalimantan dan Irian Jaya.

Pengusahaan hutan Pulau Jawa dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan

tidak berjalan secara optimal. Pengelolaan hutan yang sentralistik telah

memisahkan keberadaan masyarakat dengan sumberdaya hutan yang telah

(24)

kepada masyarakat sekitar hutan dan pemangku kepentingan untuk dapat

mengakses sumberdaya hutan. Pihak pengelola kawasan hutan di Pulau Jawa

(Perum Perhutani) maupun pihak lainnya sering menilai bahwa masyarakat sekitar

hutan adalah salah satu pihak yang dapat menyebabkan kerusakan hutan dan lahan

di Pulau Jawa melalui pencurian dan penjarahan kayu secara besar-besaran. Pada

faktanya, pengelolaan sumberdaya hutan di Pulau Jawa yang dilakukan oleh

Perum Perhutani belum dilaksanakan secara maksimal karena kebijakan masih

sentralistik dan lebih menekankan pada profit oriented. Kebijakan yang diterapkan ini tidak sesuai dengan kondisi lapang, tidak mengakar pada

permasalahan yang terjadi dalam masyarakat (Suwarno 2004).

Sebuah karakteristik pengelolaan hutan selama Orde Baru adalah perubahan

tekanan dari ekstraksi kayu ke hutan tanaman. Kayu dianggap bernilai ekonomi,

maka fungsi ekonominya berubah, dan diklasifikasikan kembali dari hutan

produksi ke hutan konservasi. Jika kayu sudah menipis (dan belum habis),

kawasan tersebut tidak dianggap lagi sebagai hutan yang produktif; seringkali

kawasan ini kemudian difungsikan menjadi pertanian perkebunan sebagai sarana untuk “rehabilitasi”. Fungsi ini menegaskan perbedaan definisi antara negara dan komunitas lokal tentang produksi dan fungsi karena hutan bekas tebangan

mungkin masih produktif bagi komunitas lokal dan menyimpan banyak manfaat

untuk kehidupan mereka (Lynch dan Harwell 2006).

Hampir seluruh kawasan hutan di Kawasan Ekosistem Halimun dikelola

oleh Perum Perhutani dan TNGH (Taman Nasional Gunung Halimun). Di Desa

Malasari, sebagian masyarakat desa mendefinisikan hutan sebagai suatu tempat

yang ditumbuhi banyak pohon secara alami (tidak ada intervensi manusia dalam

hal penyebaran dan keanekaragaman tumbuhan di hutan tersebut). Sebagian lagi

mendefinisikan hutan sebagai suatu tempat yang ditumbuhi banyak pohon secara

alami maupun budidaya. Perekonomian di Kawasan Ekosistem Halimun sebagian

besar merupakan perekonomian subsisten dari sumberdaya hutan yang aksesnya

semakin terbatas (Hanafi et al. 2004).

Moniaga (1998) menjelaskan tentang perbedaan sistem pengelolaan hutan

yang berkembang di Indonesia saat ini berimplikasi pada banyaknya konflik yang

(25)

dengan perbedaan sistem hukum yang berkembang dan hal ini tidak dapat

dilepaskan dari sejarah perkembangan hukum dan politik.

Adimihardja (2008) juga mengungkapkan, hingga kini masih terjadi

pandangan berbeda antara pemerintah dan masyarakat adat dan lokal dalam

pengelolaan hutan, maka sering terjadi ketegangan-ketegangan di antara

keduanya. Pengembangan model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat

adat dan lokal perlu mempertimbangkan sistem pengetahuan dan teknologi yang

dikuasai masyarakat adat dan lokal di sekitar kawasan tersebut.

2.1.2 Hak Kepemilikan

Ostrom (1990) dalam Tadjudin (2000) menyatakan mengenai kepemilikan

sumberdaya dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia dikategorikan

menjadi:

(1) Sumberdaya milik negara. Rujukan formal tentang penguasaan sumberdaya

hutan dalam tataran dunia legal di Indonesia berinduk pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Konstitusi itu disusun dengan tujuan untuk menciptakan keteraturan dan kedisiplinan. Para negarawan Indonesia pada tahun 1945, sudah

menyadari agar hutan tidak dipersepsikan oleh warga-negaranya sebagai suatu

properti terbuka karena akan menimbulkan anarkisme dan kekacauan. Hutan

dan kawasan hutan itu “bukan merupakan dan tidak bisa dialihkan menjadi” milik pribadi/swasta. Dengan demikian, ”dikuasai oleh negara” itu secara tegas menunjukkan bahwa hutan dan kawasan hutan itu merupakan

sumberdaya publik;

(2) Sumberdaya milik swasta. Secara hukum tidak ada sumberdaya hutan yang

dimiliki oleh swasta, yang ada adalah hak penguasaan sumberdaya hutan oleh

swasta. Swasta merasa bahwa sumberdaya hutan itu sebagai miliknya

seakan-akan hutan itu sebagai bidang tanah yang dilekati sertifikat hak milik,

sehingga mereka menuding siapa pun (masyarakat) yang memasuki

konsesinya sebagai pengganggu (Jessup dan Peluso, 1990 dalam Tadjudin,

(26)

pendapatan negara dalam kondisi negara itu memiliki kemampuan yang

terbatas untuk mengusahakan hutan. Ditinjau dari nilai absolutnya, adalah

benar bahwa kebijakan ini telah memberikan sumbangan yang cukup besar

terhadap pendapatan negara; serta

(3) Sumberdaya milik masyarakat. Bila dibanding dengan pemerintah dan swasta,

masyarakat merupakan anak tiri dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan.

Meski secara obyektif perundang-undangan yang ada mengkebiri hak-hak

masyarakat dalam konteks hak adat dan sejenisnya, namun dalam hal mengakomodasikan hak masyarakat “lainnya”, perundang-undangan yang ada sebenarnya masih memberikan ruang gerak yang memadai. Menurut McKean

(1996) dalam Tadjudin (2000), properti masyarakat merupakan hal yang

sangat cocok untuk diterapkan dalam masalah pengelolaan hutan, paling tidak

dalam masyarakat itu terdapat tata nilai dan budaya yang mendukung proses

kooperasi sebagai alat untuk meresolusi konflik, jika sumberdaya itu

mengalami tekanan.

Ostrom dan Schlager (1996) menyatakan bahwa setiap hak yang dipegang

individu, terdapat aturan yang memberikan hak atau memerlukan tindakan pada

hak kepemilikan karena hak diartikan sebagai tindakan individu untuk dapat menerima hubungan pada individu lainnya sebagai sesuatu “barang”. Jika seseorang memiliki hak, yang lainnya memiliki tugas sepadan untuk mengamati

hak itu. Tugas individu menerima tindakan yang berarti individu lainnya dapat,

harus, atau tidak harus menerima hubungan dengan lainnya dan kepemilikan

lainnya. Penggunaan sumberdaya milik bersama, yang paling relevan dalam hak

kepemilikan dalam tingkat operasional adalah hak akses dan menangkap.

Seseorang yang memiliki hak akses dan memanfaatkan atau mungkin tidak

memiliki hak yang lebih luas diizinkan berpartisipasi dalam pengambilan

keputusan bersama. Perbedaan hak dalam tingkat operasional dan hak atas

keputusan bersama adalah penting. Ini merupakan perbedaan penggunaan hak

dan partisipasi dalam definisi hak ke depannya untuk digunakan. Kewenangan

untuk menyusun hak tingkat operasional ke depannya adalah apa yang membuat

hak pilihan bersama sangat kuat. Jika diperhatikan untuk sumberdaya bersama,

(27)

Tabel 1 Seperangkat Hak Terkait dengan Kedudukan (Bundles of Rights Associated with Positions)

Hak (Rights) Owner Proprietor Claimant Authorized

user

(1) hak akses: hak untuk memasuki area dan menikmati manfaat nonsubtraktif;

(2) hak memanfaatkan: hak untuk mendapatkan sumberdaya;

(3) hak mengelola: hak untuk menyusun aturan operasional pemanfaatan;

(4) hak eksklusi: hak untuk memutuskan siapa yang mendapat hak akses dan

bagaimana hak dapat dipindahkan; serta

(5) hak pengalihan: hak untuk menjual atau menyewa semuanya atau sebagian

dari hak bersama.

Menurut Tauchid (2009), pengertian umum mengatakan bahwa hak milik

tanah bagi rakyat Indonesia berarti hak untuk mengerjakan dan melakukan hak itu

sebagai kepunyaan sendiri, dengan dibatasi oleh undang-undang dan hukum adat

yang berlaku:

(1) Menghormati hak wilayah desa atau daerah;

(2) Menghormati kepentingan milik tanah lainnya; serta

(3) Menghormati hukum adat yang berlaku mengenai tanah, umpamanya

kewajiban memberikan kesempatan ternak orang lain masuk ke dalam sawah

atau ladang pada waktu tidak ada tanamannya (bero).

(28)

memberikan kepada orang lain, mewariskan baik dengan hukum waris maupun

dengan wasiat (testamen).

Tanah milik perseorangan bisa juga dinamakan tanah yasan (membuat sendiri) yang berasal saat membuka hutan di zaman dahulu untuk dirinya dan

untuk keturunannya. Hak membuka tanah adalah hak nenek moyang atas tanah yang belum dibuka yang biasa dikatakan tanah “pusaka”, sebagai hubungan warisan (pusaka) nenek moyang yang dulu membuka hutan.

2.1.3 Persepsi

Menurut DeVito (1997), persepsi adalah proses yang menjadikan seseorang

sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra manusia. Persepsi

mempengaruhi rangsangan (stimulus) atau pesan apa yang diserap dan apa makna

yang diberikan kepada mereka ketika mereka mencapai kesadaran. Litterer dalam

Asngari (1984) berpandangan bahwa ada keinginan atas kebutuhan manusia untuk

mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui makna dari

informasi yang diterimanya.

Desiderado (1976) dalam Rakhmat (1999) mengemukakan bahwa persepsi

adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang

diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah

memberikan makna pada stimuli indrawi (sensori stimuli). Menafsirkan makna

informasi indrawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi,

motivasi, dan memori.

Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi

untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah pengindraan

(penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk

memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Adapun perbedaan persepsi antara

satu orang dengan orang lainnya disebabkan oleh lima faktor antara lain: (1)

perhatian (rangsangan yang ada di sekitar kita tidak ditangkap secara sekaligus,

tetapi hanya difokuskan pada beberapa obyek saja), (2) set (harapan seseorang

akan rangsangan yang akan timbul), (3) kebutuhan (kebutuhan-kebutuhan sesaat

atau yang menetap akan mempengaruhi persepsi orang tersebut), (4) sistem nilai,

(29)

berpengaruh pula pada persepsi, dan (5) ciri kepribadian, misalnya: watak,

karakter dan kebiasaan akan mempengaruhi persepsi (Sarwono 2002).

Menurut Wibowo (1988) dalam Effendi (2002) mengungkapkan bahwa

faktor-faktor yang dapat menimbulkan perbedaan antara persepsi seseorang

dengan persepsi orang lain meliputi beberapa hal sebagai berikut:

(1) Faktor pengalaman. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki seseorang

mengenai obyek-stimulusnya sebagai hasil dari seringnya kontak antara

perseptor dan obyek, maka semakin tinggi pula veridikalitasnya. Pengayaan

pengalaman ini dapat pula terjadi karena kontak-kontak dengan obyek-obyek

stimulus yang serupa.

(2) Faktor intelegensia. Semakin tinggi intelegensia seseorang atau semakin

cerdas orang yang bersangkutan semakin besar kemungkinan ia akan

bertindak lebih obyektif dalam memberikan penilaian atau membangun kesan

mengenai obyek stimulus.

(3) Faktor kemampuan menghayati stimuli. Setiap orang dalam taraf yang

berbeda-beda, memiliki untuk menangkap perasaan orang lain sebagaimana

adanya. Kemampuan ini dinamakan empati.

(4) Faktor ingatan. Daya ingat seseorang juga menentukan veridikalitas

persepsinya.

(5) Faktor disposisi kepribadian. Disposisi kepribadian diartikan sebagai

kecenderungan kepribadian yang relatif menetap pada diri seseorang.

(6) Faktor sikap terhadap stimulus. Sikap secara umum dapat dinyatakan sebagai

suatu kecenderungan yang ada pada diri seseorang untuk berpikir atau

berpandangan, berperasaan dan berkehendak, dan berbuat secara tertentu

terhadap suatu obyek.

(7) Faktor kecemasan. Seseorang yang dicekam oleh kecemasan karena sesuatu

hal yang berkaitan dengan obyek-stimulusnya akan mudah dihadapkan pada

hambatan-hambatan dalam mempersepsi obyek tersebut. Kecemasan dapat

menyebabkan seseorang melakukan macam-macam hal untuk mengatasi

keadaan di dalam dirinya.

(8) Faktor pengharapan. Faktor ini merupakan kumpulan dari beberapa

(30)

manusia, perilaku dan ciri-cirinya, serta pada taraf tertentu diyakini

kebenarannya.

Persepsi juga bergantung pada: (1) pendidikan seseorang, (2) kedudukannya

dalam strata sosial, (3) latar belakang sosial budaya, (4) usia, dan sebagainya.

2.1.4 Lapisan Masyarakat

Menurut Sorokin (1959) dalam Soekanto (2000), kata stratification berasal dari stratum (jamaknya strata yang berarti lapisan). Social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat

(hirarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah.

Dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian

hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan

pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.

Soekanto (2000) mengungkapkan bahwa setiap masyarakat harus

menempatkan individu-individu pada tempat-tempat tertentu dalam struktur sosial

dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai

akibat penempatan tersebut. Apabila semua kewajiban selalu sesuai dengan

keinginan individu dan sesuai pula dengan kemampuan-kemampuannya, maka

persoalannya tidak akan terlalu sulit untuk dilaksanakan. Pada kenyataannya

kedudukan dan peranan tertentu sering memerlukan kemampuan dan

latihan-latihan dan hal itu tidak selalu sama. Adanya sistem lapisan masyarakat sekaligus

memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat, yaitu penempatan individu

dalam tempat-tempat yang tersedia dalam struktur sosial dan mendorongnya agar

melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan serta peranannya. Pada

umumnya warga lapisan atas (upper-class) tidak terlalu banyak apabila

dibandingkan dengan lapisan menengah (middle class) dan lapisan bawah (lower

class).

Lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai

oleh masyarakat. Kedudukannya yang tinggi itu bersifat kumulatif. Artinya,

mereka yang mempunyai uang banyak, akan mudah sekali mendapatkan tanah,

(31)

untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu

lapisan adalah sebagai berikut:

(1) Ukuran kekayaan. Barangsiapa yang memiliki kekayaan paling banyak

termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya, dapat dilihat

pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-cara

mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan

untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya;

(2) Ukuran kekuasaan. Barangsiapa yang memiiki kekuasaan atau yang

mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan atasan;

(3) Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari

ukuran-ukuran kekayaan dan/atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan

dihormati mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini, banyak

dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah

golongan tua atau mereka yang pernah berjasa; serta

(4) Ukuran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh

masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi ukuran tersebut

kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat negatif. Ternyata

ukuran bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar

kesarjanaannya. Hal yang demikian memacu segala macam usaha untuk

mendapat gelar, walau tidak halal.

Ukuran di atas tidaklah bersifat limitatif karena masih ada ukuran-ukuran lain

yang dapat digunakan. Akan tetapi ukuran-ukuran di atas menentukan sebagai

dasar timbulnya sistem lapisan dalam masyarakat tertentu.

2.1.5 Konflik

Fisher et al. (2000) menyatakan bahwa konflik (conflict) adalah sesuatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi

ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik

biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih

baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat.

Pengertian konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih,

(32)

sumberdaya. Konflik akan selalu dijumpai dalam kehidupan manusia atau

kehidupan masyarakat sebab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia

melakukan berbagai usaha yang dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada

sejumlah hak dan kewajiban. Kata konflik seringkali mengandung konotasi

negatif, yang cenderung diartikan sebagai lawan kata dari pengertian kerjasama,

harmoni, dan perdamaian. Konflik bukanlah sesuatu yang dapat dihindari atau

disembunyikan tetapi harus diakui keberadaannya, dikelola, dan diubah menjadi

sesuatu kekuatan bagi perubahan positif (Fuad dan Maskanah 2000).

Tipe-tipe konflik menuntun ke berbagai bentuk kemungkinan intervensi.

Terdapat empat tipe konflik yang masing-masing memiliki potensi dan

tantangannya sendiri. Pertama, tanpa konflik, dalam kesan umum adalah lebih

baik. Namun, setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika mereka

ingin agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan

dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik

secara kreatif. Kedua, konflik laten yang sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat

ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Ketiga, konflik terbuka

adalah yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan

untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Keempat, konflik di

permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya

karena kesalahpahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan

meningkatkan komunikasi (Fisher et al. 2000).

Pemetaan konflik merupakan suatu teknik yang digunakan untuk

menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan

masalah dan dengan pihak lainnya. Ketika masyarakat yang memiliki berbagai

sudut pandang berbeda memetakan situasi mereka secara bersama, mereka saling

mempelajari pengalaman dan pandangan masing-masing (Fisher et al. 2000).

Menurut Fuad dan Maskanah (2000), kebanyakan konflik mempunyai sebab

ganda, sebagai kombinasi dari masalah hubungan antar pihak yang bertikai dan

mengarah pada konflik yang terbuka. Konflik seringkali terlihat sangat rumit,

sehingga dapat mendefinisikan pusat situasi kritisnya, permasalahan pokoknya,

(33)

yang bertikai. Pemetaan konflik dengan mengelompokkannya dalam ruang-ruang

konflik dengan kriteria-kriteria di bawah ini:

(1) Konflik data, terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang

dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana atau mendapat

informasi yang salah atau tidak sepakat mengenai data apa saja yang relevan

atau menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda atau memakai tata

cara pengkajian yang berbeda;

(2) Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang

dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik yang

berdasarkan kepentingan terjadi karena masalah yang mendasar atau

substantif, masalah tata cara atau masalah psikologis;

(3) Konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif

yang kuat, salah persepsi atau stereotipe, salah komunikasi atau tingkah laku

yang negatif (repetitif);

(4) Konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian,

entah itu hanya dirasakan atau memang ada. Nilai adalah kepercayaan yang

dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya; serta

(5) Konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan akses

dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki

wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih

memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak

terhadap pihak lain.

2.1.6 Pemangku Kepentingan yang Terlibat

Menurut Tadjudin (2000), istilah stakeholder (pemangku kepentingan) dalam pengelolaan sumberdaya hutan diintroduksikan oleh negara-negara donor,

termasuk para donor yang mendukung Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Manajemen kolaboratif sekurang-kurangnya melibatkan lima stakeholder yang saling berinteraksi dan memiliki hak dan tujuan individual yang berbeda. Mereka

berkedudukan sederajat dan didorong agar mampu mengakomodasikan

(34)

Kelima stakeholder tersebut adalah masyarakat, pemerintah, swasta, hutan, dan lembaga penyangga. Keberadaan kelima stakeholder tersebut berbeda pada setiap kasus pengelolaan hutan. Namun, secara umum terdapat dua bentuk, yaitu:

kelima stakeholder itu ada yang akan dijumpai dalam pengelolaan hutan produksi

dan hutan tanaman industri dan hanya terdapat empat stakeholder tanpa kehadiran

swasta. Kasus seperti ini akan dijumpai dalam pengelolaan hutan lindung, hutan

suaka, hutan taman nasional, dan juga pada hutan rakyat. Pengertian dari kelima

stakeholder tersebut sebagai berikut:

(1) masyarakat adalah penduduk yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan

hutan, yang kehidupan ekonomi, sosial, dan budayanya bergantung pada

keberadaan sumberdaya hutan. Masyarakat di sini tidak sekedar dipandang

sebagai rumah tangga (household) yang dalam konsep ekonomi ditetapkan

sebagai sosok yang memiliki fungsi tujuan untuk memaksimumkan utilitas,

melainkan juga dipandang sebagai entitas bisnis yang memiliki fungsi tujuan

untuk memperoleh keuntungan ekonomi sebesar-besarnya;

(2) pemerintah adalah lembaga-lembaga pemerintah, baik di pusat maupun di

daerah, tidak terbatas pada satu departemen teknis yang mengurus masalah

hutan. Fungsi tujuan pemerintah adalah memaksimumkan pelayanan;

(3) swasta adalah badan usaha yang bidang bisnisnya adalah pendayagunaan

sumberdaya hutan. Fungsi tujuan swasta adalah memaksimumkan keuntungan

ekonomi;

(4) lembaga penyangga merupakan lembaga swadaya masyarakat dan

lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya yang memiliki kepedulian terhadap masalah

pemberdayaan masyarakat dan kelestarian lingkungan hutan; serta

(5) hutan dipandang sebagai entitas hidup yang berhak untuk memiliki anatomi,

sifat, ciri, dan status tertentu. Hutan tidak sekedar dipandang sebagai

sumberdaya yang boleh diekstrak aliran-manfaatnya, melainkan dipandang

juga sebagai entitas-hidup (subyek) yang memiliki hak-hak yang sederajat

(35)

2.1.7 Pengelolaan Kolaboratif

Menurut Julia dan Yaffee (2000) dalam Suporahardjo (2005),

perkembangan pendekatan kolaborasi mulai muncul sebagai respon atas tuntutan

kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumberdaya yang baru, demokratis, lebih

mengakui perluasan yang lebih besar atas dimensi manusia dalam mengelola

pilihan-pilihan, mengelola ketidakpastian, mengelola kerumitan dari potensi

keputusan dan membangun kesepahaman, dukungan, kepemilikan atas pilihan-pilihan bersama. Pendekatan kolaborasi sering disebut sebagai “jembatan” (bridges) untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya. Oleh karena itu,

kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak

dalam konflik multi pihak.

Istilah collaborative management (pengelolaan secara kolaboratif) dalam bahasa Inggris sering digunakan secara bergantian dengan berbagai istilah

lainnya, seperti co-management (pengelolaan secara kemitraan), participatory management (pengelolaan partisipatif), joint management (pengelolaan bersama), shared management (pengelolan berbagi), multistakeholder management (pengelolaan multipihak) atau round-table management (pengelolaan meja bundar). Dalam bentuk aslinya, pengelolaan kolaboratif merupakan proses

partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam

berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi bersama, belajar

bersama, dan penyesuaian praktek-praktek pengelolaan (Kusumanto et al. 2006).

Pokok-pokok pikiran Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005) tentang lima

ciri penting yang menentukan proses kolaborasi, yaitu:

(1) Membutuhkan keterbukaan karena dalam kolaborasi antara stakeholder harus saling memberi dan menerima (give and take) untuk menghasilkan solusi

bersama. Hal ini tidak akan tercapai bila satu dengan yang lain bersengketa

bekerja secara mandiri/terpisah. Pada tahap awal kolaborasi penting ada

kesadaran dan perhatian terhadap cara dimana kepentingan stakeholder

dirangkai dan alasan mengapa antara stakeholder membutuhkan satu dengan yang lain (saling ketergantungan) untuk menyelesaikan masalah;

(2) Menghormati perbedaan dan menjadikan sumber potensi kreatif untuk

(36)

(3) Peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk

pencapaian kesepakatan tentang suatu jalan keluar. Tidak seperti dalam

pendekatan litigasi atau peraturan (regulation), yaitu peran penengah/

mediator (pengadilan, lembaga pemerintah, legislator) merencanakan jalan

keluar yang dipaksakan kepada stakeholder. Kesepakatan dalam kolaborasi, para pihak keputusan dibebankan kepada mereka sendiri. Ketika terjadi

kolaborasi berbagai stakeholder dengan persepsinya masing-masing yang khas

atas masalah harus bernegosiasi;

(4) Membutuhkan satu jalan keluar yang disepakati untuk arahan interaksi di

antara stakeholder di masa depan. Perlu ada kontrak baik formal maupun informal tentang ciri pertukaran di kemudian hari antara stakeholder mengenai

apa yang akan dicapai selama kolaborasi; serta

(5) Membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi sebagai suatu proses, maka akan

menjadi sebagai resep. Memandang kolaborasi sebagai suatu proses, maka

akan menggambarkan penyebab dan pengembangan kolaborasi. Oleh karena

itu, kolaborasi dapat dipikirkan sebagai suatu forum yang bersifat temporer

dan berevolusi untuk menyelesaikan suatu masalah.

2.2 Kerangka Pemikiran

Karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang dapat mempengaruhi persepsi

dikategorikan menjadi jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, luas

lahan, dan pengalaman mengelola sumberdaya hutan. Berdasarkan karakteristik

sosial ekonomi tersebut akan mempengaruhi persepsi komunitas lokal pada

sumberdaya hutan.

Persepsi berkaitan dengan hak dan kewajiban serta alokasi peranan.

Perbedaan persepsi antar pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas lokal,

dan LSM) dapat menimbulkan konflik. Fisher et al. (2000) menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu kenyataan hidup, tidak terhindaran dan sering bersifat

kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Konflik ini dapat

dilihat dari tipe konflik, pemetaan konflik, dan pemangku kepentingan yang

terlibat di dalamnya. Bila telah dilakukan analisis mengenai konflik tersebut,

(37)

dibutuhkan suatu resolusi konflik untuk mendapatkan bentuk penyelesaian yang

akan dilakukan atas sejauhmana persamaan persepsi dari kedua belah pihak.

Salah satu bentuk penyelesaian konflik ini adalah pengelolaan kolaboratif.

Menurut Kusumanto et al. (2006), pengelolaan kolaboratif merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam

berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi bersama, belajar

bersama, dan penyesuaian praktek-praktek pengelolaan. Model pengelolaan

kolaboratif yang digunakan pada setiap lokasi berbeda, sehingga mencari tahu apa

yang menyebabkan perbedaan model pengelolaan kolaboratif tersebut di lokasi

penelitian (Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung) dengan menentukan

proses kolaborasi yang dilakukan sesuai pernyataan Gray (1989) dalam

(38)

2.3 Hipotesis

Hipotesis penelitian yang diajukan, yaitu:

(1) Terdapat hubungan antara karakteristik sosial ekonomi terhadap persepsi

komunitas lokal pada pengelolaan sumberdaya hutan.

(2) Terdapat hubungan persepsi antara pemangku kepentingan pada pengelolaan

sumberdaya hutan dengan model pengelolaan kolaboratif.

2.4 Definisi Operasional

Definisi operasional peubah dimaksudkan untuk memberikan batasan yang

jelas, sehingga memudahkan dalam melakukan pengukuran. Definisi operasional

dan pengukuran peubah dalam rencana penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Karakteristik sosial ekonomi merupakan ciri-ciri yang melekat pada setiap

individu dalam suatu komunitas lokal. Peubah ini meliputi: jenis kelamin,

jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, luas lahan, dan lama pengalaman

mengelola sumberdaya hutan.

(a) Jenis kelamin adalah identitas biologis individu yang terbagi atas dua

kategori, yaitu laki-laki dan perempuan.

(i) Laki-laki : Kategori 1

(ii) Perempuan : Kategori 2

(b) Jenis pekerjaan adalah profesi yang menopang kehidupan individu untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya.

(i) Petani : Kategori 1

(ii) Buruh tani : Kategori 2

(iii) Non Pertanian : Kategori 3

(c) Tingkat pendapatan adalah jumlah rupiah yang diperoleh individu sebagai

hasil dari bekerja sesuai dengan jenis pekerjaan dalam satuan rupiah per

waktu (tahun).

(39)

(d) Luas lahan adalah luasnya lahan yang dikelola oleh individu dalam satuan

hektar.

(i) Sempit : 0,01 – 0,54 (ii) Sedang : 0,55 – 1,08 (iii) Luas : 1,09 – 1,63

(e) Pengalaman mengelola sumberdaya hutan adalah lamanya individu dalam

mengelola sumberdaya hutan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun).

(i) Rendah : 3 – 18 (ii) Sedang : 19 – 34 (iii) Tinggi : 35 – 50

(2) Persepsi komunitas lokal adalah penilaian komunitas lokal terhadap

keinginan atas kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat

hidupnya, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya.

Pengukuran persepsi menggunakan skala Likert: 1 (tidak sesuai), 2 (kurang

sesuai), 3 (sesuai), dan 4 (sangat sesuai), kemudian data dikategorikan

menjadi tiga, yaitu kategori rendah: skor 10-14, kategori sedang: skor 15-19,

dan kategori tinggi: skor 20-25.

(a)Persepsi komunitas lokal terhadap hak adalah penilaian komunitas lokal

terhadap sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan,

kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh

undang-undang, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yg benar atas sesuatu atau

untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.

(b)Persepsi komunitas lokal terhadap kewajiban adalah penilaian komunitas

lokal terhadap sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal

yang harus dilaksanakan).

(c)Persepsi komunitas lokal terhadap alokasi peranan adalah penilaian

komunitas lokal terhadap aspek dinamis dari kedudukan, apabila

seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai

dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan.

(3) Persepsi pemerintah adalah penilaian pemerintah terhadap keinginan atas

kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan

(40)

(4) Persepsi LSM adalah penilaian LSM terhadap keinginan atas kebutuhan untuk

mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui makna dari

informasi yang diterimanya.

(5) Konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang

disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan

sumberdaya.

(a) Tipe konflik adalah menuntun ke berbagai bentuk kemungkinan intervensi

yang masing-masing memiliki potensi dan tantangannya sendiri.

(b) Pemetaan konflik adalah pengelompokkan dalam ruang-ruang konflik

yang menggunakan kriteria-kriteria tertentu dengan mengamati dan

memahami pihak-pihak yang bertikai.

(c) Pemangku kepentingan yang terlibat adalah pihak yang saling berinteraksi

dan memiliki hak dan tujuan individual yang berbeda.

(6) Resolusi konflik adalah menangani sebab-sebab konflik dan berusaha

membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di antara

kelompok-kelompok yang bermusuhan.

(a) Analisis akar permasalahan adalah mencari tahu pokok permasalah yang

ditimbulkan akibat perbedaan persepsi.

(b) Model pengelolaan kolaboratif adalah model yang dibuat pada proses

partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif

dalam berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi

(41)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung,

Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat

(Lampiran 1-3). Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) sesuai hasil

diskusi dengan pihak RMI- The Indonesian Institute for Forest and Environment

dikarenakan:

(1) Desa Malasari termasuk ke dalam perluasan kawasan Taman Nasional

Halimun-Salak (Lampiran 4).

(2) Terdapat konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

(3) Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung memiliki model pengelolaan

kolaboratif yang berbeda.

Ciri khas penelitian ini dibandingkan dengan penelitian yang lain adalah

terdapat model pengelolaan kolaboratif yang berbeda di kedua kampung tetapi

masih dalam satu desa. Dalam satu desa terdapat model pengelolaan kolaboratif

yang berbeda, yakni di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung. Model

pengelolaan kolaboratif di Kampung Cisangku berupa Model Kampung

Konservasi (MKK) yang bekerjasama dengan pemerintah (TNGHS) dan bersifat

top down. Pada Kampung Nyungcung, model pengelolaan kolaboratif berupa Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) dengan difasilitasi oleh pihak

LSM yang bersifat bottom up.

Penelitian dilaksanakan dalam waktu satu bulan (Lampiran 5). Kegiatan

penelitian meliputi pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data,

penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian dirancang dengan menggunakan metode survai yang bersifat

deskriptif korelasional (Singarimbun dan Effendi 1989). Pengumpulan data

Gambar

Tabel 21 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi
Tabel 1 Seperangkat Hak Terkait dengan Kedudukan (Bundles of Rights Associated with Positions)
Gambar 1.  Kerangka Pemikiran
Tabel 2  Luas Lahan dan Persentasenya Menurut Pemanfaatan Lahan/Penggunaan
+7

Referensi

Dokumen terkait