UPAYA MENCARI TITIK TEMU
(Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa
Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
TITANIA AULIA I34070052
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
Many efforts in saving the forest resources has been done by the government to avoid a decline in forest resources. One of them is the expansion of Halimun Salak conservation area with the forestry ministerial decree No.175/Kpts-II/2003, that decree sets forth changes in regional function of ex Perum Perhutani or ex protected forest and the limited production forests around the conservation area TNGH become Halimun Salak Mountain National Park (TNGHS). Under this decree, communities within the region can not occupy the area within the region of TNGHS. This is the case that can causes conflict. In addition, to get the resolution of the conflict, there is collaborative management that involving all stakeholders. The purpose of this study are to describe and analyze: (1) pattern of forest resource management that has been done by the government and local communities, (2) The perception of stakeholders (government, society, and NGOs) to forest resources, (3) the relation between perception of socio-economic and the characteristics of local communities on forest resources, and (4) The perception of stakeholders about the management forestry recources connected with the collaborative management model (top-down and bottom up) as a result of conflict resolution.
The results showed a difference in the forest resources management between the government and local communities. There is a relationship to the perception of socio-economic characteristics. Differences in perception among stakeholders (government, local communities, and NGOs) have led to conflict, so it takes a conflict resolution, the collaborative management. Perceptions of government forest resource management program produces Model Kampung Konservasi (MKK), while the public perception in Kampung Nyungcung had been fasilitated by the NGOs to make Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK). Difference perception between stakeholders (government, local communities, and NGOs) have led to conflict, thats why we need a resolution of the conflict, called the management of collaborative.
TITANIA AULIA. I34070052. PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH PEMERINTAH VS KOMUNITAS LOKAL: UPAYA MENCARI TITIK TEMU (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Dibawah bimbingan HERU PURWANDARI
Upaya penyelamatan sumberdaya hutan dilakukan pemerintah untuk
menghindari penurunan sumberdaya hutan. Salah satunya adalah perluasan
kawasan konservasi Halimun Salak dengan ditetapkan SK Menteri Kehutanan
No.175/Kpts-II/2003. Surat keputusan tersebut menetapkan perubahan fungsi
kawasan eks Perum Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas
disekitar TNGH menjadi kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun
Salak (TNGHS).
Berdasarkan SK tersebut, masyarakat yang berada di dalam kawasan tidak
dapat menempati kawasan TNGHS. Hal inilah yang menyebabkan konflik.
Untuk meresolusi konflik dilakukan suatu pengelolaan kolaboratif yang
melibatkan semua pemangku kepentingan. Tujuan penelitian ini untuk
mendeskripsikan dan menganalisis: (1) Pola pengelolaan sumberdaya hutan yang
dilakukan oleh pemerintah dan komunitas lokal, (2) Persepsi pemangku
kepentingan (pemerintah, masyarakat, dan LSM) terhadap sumberdaya hutan, (3)
Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi komunitas lokal pada
sumberdaya hutan, dan (4) Persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan
sumberdaya hutan berhubungan dengan perbedaan pengelolaan kolaboratif
(bersifat top down dan bottom up) sebagai upaya mencari titik temu.
Penelitian dilaksanakan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung,
Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) sesuai hasil diskusi dengan
pihak RMI- The Indonesian Institute for Forest and Environment. Unit analisis penelitian adalah individu yang menggarap lahan di kawasan Eks Perum
Perhutani. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang dari setiap
kampung, sehingga jumlah responden keseluruhan sebanyak 60 orang. Responden
Analisis data mencakup: (1) pengolahan data: tabulasi silang dan (2) analisis
statistik inferensial: korelasi Rank Spearman.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan dalam pengelolaan
sumberdaya hutan antara pemerintah dan komunitas lokal. Terdapat hubungan
karakteristik sosial ekonomi terhadap persepsi komunitas lokal. Persepsi
pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan adalah lahan yang menjadi
perluasan TNGHS merupakan lahan negara. Lahan negara tidak dapat dijadikan
hak milik masyarakat. Persepsi masyarakat menganggap bahwa hutan tersebut
telah diwariskan sejak nenek moyang mereka untuk digarap dan dimiliki. Persepsi
LSM, perluasan kawasan TNGHS belum terdapat batas yang jelas antara lahan
pemerintah dan lahan yang digarap oleh masyarakat. Peta partisipatif dibuat oleh
masyarakat dengan didampingi pihak LSM untuk menunjukkan batas wilayah
antara pemerintah dan masyarakat agar terlihat jelas, sehingga tidak terjadi
tumpang tindih lahan.
Perbedaan persepsi antara pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas
lokal, dan LSM) telah menyebabkan konflik, sehingga dibutuhkan suatu resolusi
konflik sebagai upaya mencari titik temu, yaitu pengelolaan kolaboratif. Model
pengelolaan kolaboratif ini merupakan persamaan persepsi antara pemerintah,
masyarakat, dan LSM. Persepsi pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya
hutan menghasilkan program Model Kampung Konservasi (MKK) yang bersifat
top down, sedangkan persepsi masyarakat di Kampung Nyungcung dengan difasilitasi LSM menghasilkan Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK)
yang bersifat bottom up.
UPAYA MENCARI TITIK TEMU
(Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa
Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
TITANIA AULIA I34070052
SKRIPSI
Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Titania Aulia
Nomor Mahasiswa : I34070052
Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul Skripsi : Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Pemerintah vs Komunitas Lokal: Upaya Mencari Titik Temu (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui
Dosen Pembimbing
Heru Purwandari, SP, MSi NIP. 19790524 200701 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN OLEH PEMERINTAH VS KOMUNITAS LOKAL: UPAYA MENCARI TITIK TEMU (Kasus: Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA
BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA
MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.
Bogor, September 2011
Penulis bernama Titania Aulia dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23
Desember 1989. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, pasangan
Dr. Ir. Tatag Budiardi, MSi dan Dr. Ir. Kurnia Suci Indraningsih, MSi.
Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah SDN Pengadilan 2 Bogor tahun
1995-2001, SMP Negeri 4 Bogor tahun 2001-2004, dan SMA Negeri 1 Bogor
tahun 2004-2007. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia Institut Pertanian Bogor melalui jalur masuk USMI (Undangan Seleksi
Masuk IPB).
Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif dalam Himpunan
Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
(HIMASIERA) sebagai staf Divisi Advertising and Multimedia pada tahun
2008-2010. Penulis juga menjadi anggota kepanitiaan dalam beberapa kegiatan
kemahasiswaan di IPB antara lain FRESH oleh HIMASIERA tahun 2008, Bukti
Cinta Lingkungan (BCL) oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEMA tahun
2009, Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat tahun 2009, serta Konser Amal dengan tema “Kami Peduli, Kamu..?” tahun 2010 oleh HIMASIERA. Penulis mengikuti kegiatan Go Field IPB tahun
2009 dan magang di Greenpeace tahun 2010. Penulis aktif sebagai asisten
praktikum mata kuliah Sosiologi Pedesaan pada semester ganjil dan semester
genap (semester 5-8) pada tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011. Pada tahun
2011, penulis menjadi pendamping peserta kegiatan Pesta Petani Muda Indonesia
(Pestani) yang merupakan program kerjasama Kodam III Siliwangi dengan
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya, sehingga skripsi dengan judul “Pengelolaan Sumberdaya Hutan oleh Pemerintah vs Komunitas Lokal: Upaya Mencari Titik Temu (Kasus: Kampung
Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” ini dapat diselesaikan. Skripsi ini memaparkan tentang pengelolaan sumberdaya hutan antara pemerintah dan komunitas lokal di
Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari yang memicu
terjadinya konflik, sehingga terdapat pengelolaan kolaboratif yang berbeda di
kedua kampung tersebut.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada para pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi. Semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembacanya.
Bogor, September 2011
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada:
(1) Ibu Heru Puwandari, SP, MSi selaku dosen pembimbing dan pembimbing
akademik yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan
bimbingan selama ini.
(2) Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA selaku dosen penguji utama atas
saran-saran perbaikan yang telah diberikan.
(3) Ir. Sutisna Riyanto, MS selaku dosen penguji Wakil Departemen Sains KPM
atas saran-saran perbaikan yang telah diberikan.
(4) Bapak, Ibu, dan Adik Febi yang telah memberikan dorongan moril, doa,
saran, dan motivasi.
(5) Kang Ceceng-RMI yang telah membantu dalam tukar pikiran dan
meminjamkan literatur selama penulisan skripsi.
(6) Bapak Hendri Ketua RW 02, Bapak Usup, dan responden Kampung
Cisangku, serta Bapak Sarkib Ketua RW 05, Bapak Ismail Ketua RW 06,
Kang Gapuy, Teh Eli, Teh Yanti, dan responden Kampung Nyungcung yang
telah membantu dalam pemberian informasi.
(7) Bapak Yosi dan Bapak Ujang, petugas Resort Gunung Botol yang telah
memberikan data dan informasi pada penelitian ini.
(8) Rahmad Saleh teman satu bimbingan, sahabat-sahabatku (Intan, Eka, Kiki,
Dian, Icha, Akira, Aris, Dewi, Ayu, Risma, Fadhil, Fitrah, Ilmy, dan Yudi),
serta teman-teman di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat angkatan 44 yang telah memberikan saran, doa, dan motivasi.
(9) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam membantu dan
mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.
Bogor, September 2011
Halaman
2.1.1 Pengelolaan Sumberdaya Hutan ... 6
2.1.2 Hak Kepemilikan ...8
2.1.3 Persepsi ...11
2.1.4 Lapisan Masyarakat ...13
2.1.5 Konflik ...14
2.1.6 Pemangku Kepentingan yang Terlibat ...16
2.1.7 Pengelolaan Kolaboratif ...18
2.2 Kerangka Pemikiran ... 19
2.3 Hipotesis ...21
2.4 Definisi Operasional ... 21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...24
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...24
3.2 Teknik Pengumpulan Data ...24
3.3 Teknik Analisis Data ... 26
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...27
4.1 Profil Desa Malasari ... 27
4.1.1 Letak Geografis dan Keadaan Alam ...27
4.1.2 Keadaan Penduduk ...28
4.1.3 Profil Kampung ...30
4.1.4 Karakteristik Sosial Ekonomi Komunitas Lokal ...31
4.2 Profil Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ...33
BAB V PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN ...37
5.1 Pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan versi Pemerintah ...38
5.2 Pola Pengelolaan Sumberdaya Hutan versi Komunitas Lokal ...40
5.3 Ikhtisar ...44
BAB VI PERSEPSI PEMANGKU KEPENTINGAN ... 46
6.1 Persepsi Pemerintah ...46
6.2 Persepsi Komunitas Lokal ...47
6.2.1 Persepsi Komunitas Lokal pada Sumberdaya Hutan ...47
6.2.2 Persepsi Komunitas Lokal terhadap Hak, Kewajiban, dan Alokasi Peranan ...49
6.3 Persepsi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ...61
6.4 Konflik Akibat Perbedaan Persepsi ...62
6.5 Ikhtisar ...64
BAB VII HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DENGAN PERSEPSI KOMUNITAS LOKAL PADA PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN ...66
7.1 Keterkaitan Karakteristik Sosial Ekonomi dengan Persepsi Komunitas Lokal ...66
7.2 Ikhtisar ...68
BAB VIII MODEL PENGELOLAAN KOLABORATIF ...69
8.1 Hubungan Persepsi antara Pemangku Kepentingan pada Pengelolaan Sumberdaya Hutan terhadap Model Pengelolaan Kolaboratif ...69
8.2 Model Kampung Konservasi (MKK) ... 70
8.3 Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) ...74
Nomor Halaman
Tabel 1 Seperangkat Hak Terkait dengan Kedudukan (Bundles of Rights Associated with Positions) ... 10 Tabel 2 Luas Lahan dan Persentasenya Menurut Pemanfaatan Lahan/
Penggunaan Tanah di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor, 2010 ... 27
Tabel 3 Jumlah Penduduk Menurut Struktur Umur dan Jenis Kelamin di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor,
2010 ... 28
Tabel 4 Jumlah Penduduk dan Persentasenya Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor, 2010 ... 29
Tabel 5 Jumlah Penduduk dan Persentasenya Menurut Mata Pencaharian di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor, 2010 ... 30
Tabel 6 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Karakteristik Sosial Ekonomi Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor, 2011 ... 32
Tabel 7 Jumlah dan Persentase Penduduk Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Menurut Persepsi terhadap Pengelolaan Sumberdaya Hutan (Hak, Kewajiban, dan
Alokasi Peranan), 2011 ... 48
Tabel 8 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Jenis Kelamin di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor, 2011 ... 50
Tabel 9 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Jenis Kelamin di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan
Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 50
Tabel 10 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Jenis Kelamin di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari,
Tabel 11 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan
Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 52
Tabel 12 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan
Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 53
Tabel 13 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Jenis Pekerjaan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari,
Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 53
Tabel 14 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Tingkat Pendapatan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan
Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 54
Tabel 15 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Tingkat Pendapatan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari,
Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 55
Tabel 16 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Tingkat Pendapatan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari,
Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 55
Tabel 17 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Luas Lahan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor, 2011 ... 56
Tabel 18 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Luas Lahan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan
Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 57
Tabel 19 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Luas Lahan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan
Nanggung, Kabupaten Bogor, 2011 ... 57
Tabel 20 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Hak Menurut Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa
Tabel 21 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Kewajiban Menurut Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor,
2011 ... 59
Tabel 22 Persentase Warga Komunitas Lokal terhadap Persepsi Alokasi Peranan Menurut Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor, 2011 ... 60
Tabel 23 Nilai Koefisien Korelasi Tingkat Pendapatan, Luas Lahan, dan Pengalaman Mengelola Sumberdaya Hutan yang Berhubungan dengan Persepsi Komunitas Lokal di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung, Desa Malasari,
Nomor Halaman
Nomor Halaman
Lampiran 1 Peta Desa Malasari ... 86
Lampiran 2 Peta Kampung Cisangku ... 87
Lampiran 3 Peta Kampung Nyungcung ... 88
Lampiran 4 Peta Zonasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 89
Lampiran 5 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2011 ... 90
Lampiran 6 Sampling Frame Penggarap Lahan di Kawasan Eks Perum Perhutani Kampung Cisangku, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 2011 ... 91
Lampiran 7 Sampling Frame Penggarap Lahan di Kawasan Eks Perum Perhutani Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 2011 ... 92
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumberdaya alam, salah satunya
berupa sumberdaya hutan. Hutan merupakan salah satu aset potensial
pembangunan nasional yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Selain itu, hutan
memiliki manfaat ekologi, dan sosial budaya. Untuk itu, hutan semestinya dapat
dikelola, dikembangkan, dan dimanfaatkan dalam arti eksploitasi secara tepat
untuk kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 telah dinyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Negara mempunyai wewenang untuk membuat kebijakan terhadap pengelolaan hutan. Akan tetapi,
fakta menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan luas hutan di Indonesia, dari
sebesar 93,92 juta hektar pada tahun 2003 (Departemen Kehutanan 2005) menjadi
90,13 juta hektar pada tahun 2006 (Departemen Kehutanan 2008). Hal ini
mengindikasikan bahwa kebijakan yang dicanangkan oleh negara tidak sesuai
dalam pengelolaan sumberdaya hutan untuk memakmurkan masyarakat.
Negara memaksa untuk menempatkan posisinya sebagai sumber puncak dari
hukum, hak dan aturan, serta memonopoli semua kewenangan, kekuasaan dan
penyelenggaraan negara. Fay dan Sirait (2001) dalam Lynch dan Harwell (2006)
menyatakan, bahwa negara mengklaim sebagai pengelola tunggal yang sah atas
segala kekayaan dan sumber-sumber alam dalam suatu wilayah, serta
menggunakan kekuasaannya untuk mendahulukan pembangunan ekonomi yang
seringkali mengabaikan, bahkan mengorbankan nasib dan kepentingan
masyarakat yang bermukim sekitar hutan.
Salah satu pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemerintah
berupa taman nasional yang berfungsi sebagai kawasan pelestarian alam yang
dikelola oleh balai taman nasional dibawah pengawasan langsung dari pemerintah
pusat. Berawal dari kawasan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas
taman nasional. Penetapan tersebut didasari atas Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992, di bawah pengelolaan
sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dengan nama
Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Selanjutnya pada tanggal 23 Maret
1997 pengelolaan kawasan TNGH resmi dipisah dari TNGP dan dikelola
langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Ditjen PHKA, Departeman
Kehutanan.
Atas dasar perkembangan kondisi kawasan di sekitarnya, terutama kawasan
hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat
berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan, serta adanya desakan dan
harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi
Halimun Salak yang lebih luas, maka ditetapkan SK Menteri Kehutanan
No.175/Kpts-II/2003. Surat ketetapan tersebut menetapkan perubahan fungsi
kawasan Eks Perum Perhutani atau eks hutan lindung dan hutan produksi terbatas
disekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional
Gunung Halimun Salak (TNGHS 2008).
Hanafi et al. (2004) menyatakan, bahwa sebelum terdapat pembagian “kekuasaan” pengelolaan hutan, semua Kawasan Ekosistem Halimun dikelola oleh Departemen Kehutanan. Selama dalam pengelolaan Departemen Kehutanan,
penduduk masih mempunyai akses terhadap hutan dan segala sumberdayanya.
Tetapi setelah Perum Perhutani dan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH)
ditentukan sebagai pengelola kawasan hutan, semua akses masyarakat di kawasan
hutan menjadi terbatas akibat banyaknya peraturan yang harus ditaati.
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 282 Tahun 1992, areal hutan di
Halimun seluas 40.000 hektar dikelola secara zonasi. Dalam konsep zonasi – walaupun kenyataan di lapang menunjukkan bahwa batas masing-masing zona
masih belum jelas – keberadaan berbagai kampung beberapa desa dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menjadi persoalan. Upaya
konservasi hanya memfokuskan pada perlindungan berbagai jenis flora dan fauna.
Balai TNGHS telah berusaha “membina” masyarakat di kampung-kampung tersebut agar bersedia pindah keluar kawasan TNGHS. Secara sosio-historis
leluhur telah mendiami kawasan TNGHS sejak tahun 1940-an, jauh sebelum
ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Pada kenyataannya saat ini, kampung-kampung tersebut masih memikul status “kampung-kampung ilegal” yang sewaktu-waktu dapat diusir. Pihak TNGHS tidak berdaya untuk menegakkan kepentingan
konservasi. Kondisi ini menggambarkan ketidakadilan dalam arena konservasi.
Salah satu permasalahan penetapan Taman Nasional (TN) adalah proses
penetapannya yang tidak melibatkan semua pemangku kepentingan. Kawasan TN
ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah nasional dan dikelola langsung oleh
Kementerian Kehutanan/Balai Taman Nasional. Lembaga yang berwenang untuk
mengelola TN seringkali tidak mampu mengelola secara efektif dan tidak mampu
menegakkan hukum. Akibatnya, pelanggaran hukum di kawasan konservasi
seringkali dibiarkan. Semua TN mengalami eksploitasi atau perambahan
sumberdaya alam di dalam kawasan konservasi. Kegiatan ini kadang-kadang
dilakukan oleh pendatang yang tertarik pada sumberdaya alam yang berada di
dalam TN. Demikian halnya masyarakat yang semenjak lama tinggal di kawasan
konservasi, kadang-kadang juga melakukan aktivitas tersebut. Suatu TN tidak bisa
dikelola layaknya sebuah pulau pelestarian alam di tengah kegiatan pembangunan.
Semua saling terkait dan saling mempengaruhi (Moeliono et al. 2010).
Kasus yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Desa Malasari
telah menyebabkan konflik, sehingga diperlukan suatu resolusi konflik. Salah satu
upaya mencari titik temu yang dapat dilakukan untuk resolusi konflik adalah
dengan mekanisme pengelolaan kolaboratif. Pengelolaan kolaboratif ini
melibatkan semua pemangku kepentingan, yang terdiri dari pemerintah,
komunitas lokal, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pengelolaan
kolaboratif dilakukan agar terdapat kesepakatan bersama dalam mengelola
sumberdaya hutan, sehingga dapat mencegah timbulnya konflik kembali.
Model pengelolaan kolaboratif yang terdapat di Kampung Cisangku dan
Kampung Nyungcung berbeda walaupun kedua kampung tersebut terletak di desa
yang sama, yaitu Desa Malasari. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan persepsi
antar pemangku kepentingan. Pengelolaan kolaboratif di Kampung Cisangku
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang mengenai pengelolaan sumberdaya hutan, maka
beberapa permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimana pola pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh
pemerintah dan komunitas lokal?
2) Bagaimana persepsi pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas lokal, dan
LSM) terhadap pengelolaan sumberdaya hutan?
3) Bagaimana hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi komunitas
lokal pada pengelolaan sumberdaya hutan?
4) Bagaimana persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya
hutan berhubungan dengan perbedaan pengelolaan kolaboratif (bersifat top
down dan bottom up) sebagai upaya mencari titik temu?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan, penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis:
1) Pola pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemerintah dan
komunitas lokal.
2) Persepsi pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas lokal, dan LSM)
terhadap pengelolaan sumberdaya hutan.
3) Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan persepsi komunitas lokal pada
pengelolaan sumberdaya hutan.
4) Persepsi pemangku kepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan
berhubungan dengan perbedaan pengelolaan kolaboratif (bersifat top down
dan bottom up) sebagai upaya mencari titik temu.
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah:
1) Bagi akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran mengenai
dapat memanfaatkan sumberdaya hutan dengan tetap menjaga kelestarian
hutan demi keseimbangan lingkungan.
2) Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat meningkatkan wawasan masyarakat
dan mengubah pola pikir menuju pengelolaan sumberdaya hutan yang baik
agar tidak memicu konflik terutama dengan pihak pemerintah.
3) Bagi pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
merancang upaya pengelolaan kolaboratif dengan melibatkan pemangku
kepentinganyang terkait.
4) Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Hasil penelitian ini diharapkan agar peran LSM dapat menjadi jembatan
(liason officer) bagi pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan
sumberdaya hutan agar tidak memicu konflik seperti yang telah terjadi selama
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Moniaga (1998) menjelaskan bahwa berdasarkan pelaku dan sistem yang
diterapkan, secara sederhana saat ini kita dapat membagi adanya tiga sistem
pengelolaan hutan yang berkembang di Indonesia, yaitu:
(1) Sistem Negara: menempatkan negara sebagai pemeran utama dalam
menetapkan sistem pengelolaan hutan dan hukum termasuk hak-hak di
dalamnya. Sistem ini dapat dilihat dalam pengelolaan hutan di dalam wilayah yang ditetapkan sebagai “kawasan hutan” dan wujud hak-hak penguasaan hutan, taman nasional, cagar alam, hak penguasaan hutan tanaman industri,
hutan kemasyarakatan, dan pengelolaan kawasan penyangga;
(2) Sistem Hutan Kemasyarakatan: menempatkan masyarakat adat dan atau
komunitas lokal lainnya merupakan pemeran utama dalam menetapkan sistem
pengelolaan dan hukum yang dikembangkan. Sistem ini dapat ditemui di
seluruh Indonesia dengan ciri-ciri antara lain adanya sistem wana-tani yang
kompleks, lembaga adat dan adat yang mengatur, adanya aspek budaya yang
kompleks dan wilayah adat tertentu. Dalam beberapa kelompok masyarakat
adat terdapat komoditas tertentu yang secara ekonomis dominan, misalnya
damar di Krui, karet Kalimantan Barat dan rotan di Kalimantan Timur; serta
(3) Sistem Pengelolaan Hutan “campuran”: menempatkan pihak ketiga (biasanya Lembaga Swadaya Masyarakat baik dalam negeri maupun dari luar negeri dan
atau lembaga-lembaga pemerintah asing) yang mengupayakan penggabungan
sistem negara dan sistem yang ada di masyarakat. Model ini dapat ditemui,
misalnya di SFDP-Sanggau, beberapa lokasi kerja WWF di Sumatera,
Kalimantan dan Irian Jaya.
Pengusahaan hutan Pulau Jawa dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan
tidak berjalan secara optimal. Pengelolaan hutan yang sentralistik telah
memisahkan keberadaan masyarakat dengan sumberdaya hutan yang telah
kepada masyarakat sekitar hutan dan pemangku kepentingan untuk dapat
mengakses sumberdaya hutan. Pihak pengelola kawasan hutan di Pulau Jawa
(Perum Perhutani) maupun pihak lainnya sering menilai bahwa masyarakat sekitar
hutan adalah salah satu pihak yang dapat menyebabkan kerusakan hutan dan lahan
di Pulau Jawa melalui pencurian dan penjarahan kayu secara besar-besaran. Pada
faktanya, pengelolaan sumberdaya hutan di Pulau Jawa yang dilakukan oleh
Perum Perhutani belum dilaksanakan secara maksimal karena kebijakan masih
sentralistik dan lebih menekankan pada profit oriented. Kebijakan yang diterapkan ini tidak sesuai dengan kondisi lapang, tidak mengakar pada
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat (Suwarno 2004).
Sebuah karakteristik pengelolaan hutan selama Orde Baru adalah perubahan
tekanan dari ekstraksi kayu ke hutan tanaman. Kayu dianggap bernilai ekonomi,
maka fungsi ekonominya berubah, dan diklasifikasikan kembali dari hutan
produksi ke hutan konservasi. Jika kayu sudah menipis (dan belum habis),
kawasan tersebut tidak dianggap lagi sebagai hutan yang produktif; seringkali
kawasan ini kemudian difungsikan menjadi pertanian perkebunan sebagai sarana untuk “rehabilitasi”. Fungsi ini menegaskan perbedaan definisi antara negara dan komunitas lokal tentang produksi dan fungsi karena hutan bekas tebangan
mungkin masih produktif bagi komunitas lokal dan menyimpan banyak manfaat
untuk kehidupan mereka (Lynch dan Harwell 2006).
Hampir seluruh kawasan hutan di Kawasan Ekosistem Halimun dikelola
oleh Perum Perhutani dan TNGH (Taman Nasional Gunung Halimun). Di Desa
Malasari, sebagian masyarakat desa mendefinisikan hutan sebagai suatu tempat
yang ditumbuhi banyak pohon secara alami (tidak ada intervensi manusia dalam
hal penyebaran dan keanekaragaman tumbuhan di hutan tersebut). Sebagian lagi
mendefinisikan hutan sebagai suatu tempat yang ditumbuhi banyak pohon secara
alami maupun budidaya. Perekonomian di Kawasan Ekosistem Halimun sebagian
besar merupakan perekonomian subsisten dari sumberdaya hutan yang aksesnya
semakin terbatas (Hanafi et al. 2004).
Moniaga (1998) menjelaskan tentang perbedaan sistem pengelolaan hutan
yang berkembang di Indonesia saat ini berimplikasi pada banyaknya konflik yang
dengan perbedaan sistem hukum yang berkembang dan hal ini tidak dapat
dilepaskan dari sejarah perkembangan hukum dan politik.
Adimihardja (2008) juga mengungkapkan, hingga kini masih terjadi
pandangan berbeda antara pemerintah dan masyarakat adat dan lokal dalam
pengelolaan hutan, maka sering terjadi ketegangan-ketegangan di antara
keduanya. Pengembangan model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat
adat dan lokal perlu mempertimbangkan sistem pengetahuan dan teknologi yang
dikuasai masyarakat adat dan lokal di sekitar kawasan tersebut.
2.1.2 Hak Kepemilikan
Ostrom (1990) dalam Tadjudin (2000) menyatakan mengenai kepemilikan
sumberdaya dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia dikategorikan
menjadi:
(1) Sumberdaya milik negara. Rujukan formal tentang penguasaan sumberdaya
hutan dalam tataran dunia legal di Indonesia berinduk pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Konstitusi itu disusun dengan tujuan untuk menciptakan keteraturan dan kedisiplinan. Para negarawan Indonesia pada tahun 1945, sudah
menyadari agar hutan tidak dipersepsikan oleh warga-negaranya sebagai suatu
properti terbuka karena akan menimbulkan anarkisme dan kekacauan. Hutan
dan kawasan hutan itu “bukan merupakan dan tidak bisa dialihkan menjadi” milik pribadi/swasta. Dengan demikian, ”dikuasai oleh negara” itu secara tegas menunjukkan bahwa hutan dan kawasan hutan itu merupakan
sumberdaya publik;
(2) Sumberdaya milik swasta. Secara hukum tidak ada sumberdaya hutan yang
dimiliki oleh swasta, yang ada adalah hak penguasaan sumberdaya hutan oleh
swasta. Swasta merasa bahwa sumberdaya hutan itu sebagai miliknya
seakan-akan hutan itu sebagai bidang tanah yang dilekati sertifikat hak milik,
sehingga mereka menuding siapa pun (masyarakat) yang memasuki
konsesinya sebagai pengganggu (Jessup dan Peluso, 1990 dalam Tadjudin,
pendapatan negara dalam kondisi negara itu memiliki kemampuan yang
terbatas untuk mengusahakan hutan. Ditinjau dari nilai absolutnya, adalah
benar bahwa kebijakan ini telah memberikan sumbangan yang cukup besar
terhadap pendapatan negara; serta
(3) Sumberdaya milik masyarakat. Bila dibanding dengan pemerintah dan swasta,
masyarakat merupakan anak tiri dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan.
Meski secara obyektif perundang-undangan yang ada mengkebiri hak-hak
masyarakat dalam konteks hak adat dan sejenisnya, namun dalam hal mengakomodasikan hak masyarakat “lainnya”, perundang-undangan yang ada sebenarnya masih memberikan ruang gerak yang memadai. Menurut McKean
(1996) dalam Tadjudin (2000), properti masyarakat merupakan hal yang
sangat cocok untuk diterapkan dalam masalah pengelolaan hutan, paling tidak
dalam masyarakat itu terdapat tata nilai dan budaya yang mendukung proses
kooperasi sebagai alat untuk meresolusi konflik, jika sumberdaya itu
mengalami tekanan.
Ostrom dan Schlager (1996) menyatakan bahwa setiap hak yang dipegang
individu, terdapat aturan yang memberikan hak atau memerlukan tindakan pada
hak kepemilikan karena hak diartikan sebagai tindakan individu untuk dapat menerima hubungan pada individu lainnya sebagai sesuatu “barang”. Jika seseorang memiliki hak, yang lainnya memiliki tugas sepadan untuk mengamati
hak itu. Tugas individu menerima tindakan yang berarti individu lainnya dapat,
harus, atau tidak harus menerima hubungan dengan lainnya dan kepemilikan
lainnya. Penggunaan sumberdaya milik bersama, yang paling relevan dalam hak
kepemilikan dalam tingkat operasional adalah hak akses dan menangkap.
Seseorang yang memiliki hak akses dan memanfaatkan atau mungkin tidak
memiliki hak yang lebih luas diizinkan berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan bersama. Perbedaan hak dalam tingkat operasional dan hak atas
keputusan bersama adalah penting. Ini merupakan perbedaan penggunaan hak
dan partisipasi dalam definisi hak ke depannya untuk digunakan. Kewenangan
untuk menyusun hak tingkat operasional ke depannya adalah apa yang membuat
hak pilihan bersama sangat kuat. Jika diperhatikan untuk sumberdaya bersama,
Tabel 1 Seperangkat Hak Terkait dengan Kedudukan (Bundles of Rights Associated with Positions)
Hak (Rights) Owner Proprietor Claimant Authorized
user
(1) hak akses: hak untuk memasuki area dan menikmati manfaat nonsubtraktif;
(2) hak memanfaatkan: hak untuk mendapatkan sumberdaya;
(3) hak mengelola: hak untuk menyusun aturan operasional pemanfaatan;
(4) hak eksklusi: hak untuk memutuskan siapa yang mendapat hak akses dan
bagaimana hak dapat dipindahkan; serta
(5) hak pengalihan: hak untuk menjual atau menyewa semuanya atau sebagian
dari hak bersama.
Menurut Tauchid (2009), pengertian umum mengatakan bahwa hak milik
tanah bagi rakyat Indonesia berarti hak untuk mengerjakan dan melakukan hak itu
sebagai kepunyaan sendiri, dengan dibatasi oleh undang-undang dan hukum adat
yang berlaku:
(1) Menghormati hak wilayah desa atau daerah;
(2) Menghormati kepentingan milik tanah lainnya; serta
(3) Menghormati hukum adat yang berlaku mengenai tanah, umpamanya
kewajiban memberikan kesempatan ternak orang lain masuk ke dalam sawah
atau ladang pada waktu tidak ada tanamannya (bero).
memberikan kepada orang lain, mewariskan baik dengan hukum waris maupun
dengan wasiat (testamen).
Tanah milik perseorangan bisa juga dinamakan tanah yasan (membuat sendiri) yang berasal saat membuka hutan di zaman dahulu untuk dirinya dan
untuk keturunannya. Hak membuka tanah adalah hak nenek moyang atas tanah yang belum dibuka yang biasa dikatakan tanah “pusaka”, sebagai hubungan warisan (pusaka) nenek moyang yang dulu membuka hutan.
2.1.3 Persepsi
Menurut DeVito (1997), persepsi adalah proses yang menjadikan seseorang
sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra manusia. Persepsi
mempengaruhi rangsangan (stimulus) atau pesan apa yang diserap dan apa makna
yang diberikan kepada mereka ketika mereka mencapai kesadaran. Litterer dalam
Asngari (1984) berpandangan bahwa ada keinginan atas kebutuhan manusia untuk
mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui makna dari
informasi yang diterimanya.
Desiderado (1976) dalam Rakhmat (1999) mengemukakan bahwa persepsi
adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah
memberikan makna pada stimuli indrawi (sensori stimuli). Menafsirkan makna
informasi indrawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi,
motivasi, dan memori.
Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi
untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah pengindraan
(penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk
memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Adapun perbedaan persepsi antara
satu orang dengan orang lainnya disebabkan oleh lima faktor antara lain: (1)
perhatian (rangsangan yang ada di sekitar kita tidak ditangkap secara sekaligus,
tetapi hanya difokuskan pada beberapa obyek saja), (2) set (harapan seseorang
akan rangsangan yang akan timbul), (3) kebutuhan (kebutuhan-kebutuhan sesaat
atau yang menetap akan mempengaruhi persepsi orang tersebut), (4) sistem nilai,
berpengaruh pula pada persepsi, dan (5) ciri kepribadian, misalnya: watak,
karakter dan kebiasaan akan mempengaruhi persepsi (Sarwono 2002).
Menurut Wibowo (1988) dalam Effendi (2002) mengungkapkan bahwa
faktor-faktor yang dapat menimbulkan perbedaan antara persepsi seseorang
dengan persepsi orang lain meliputi beberapa hal sebagai berikut:
(1) Faktor pengalaman. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki seseorang
mengenai obyek-stimulusnya sebagai hasil dari seringnya kontak antara
perseptor dan obyek, maka semakin tinggi pula veridikalitasnya. Pengayaan
pengalaman ini dapat pula terjadi karena kontak-kontak dengan obyek-obyek
stimulus yang serupa.
(2) Faktor intelegensia. Semakin tinggi intelegensia seseorang atau semakin
cerdas orang yang bersangkutan semakin besar kemungkinan ia akan
bertindak lebih obyektif dalam memberikan penilaian atau membangun kesan
mengenai obyek stimulus.
(3) Faktor kemampuan menghayati stimuli. Setiap orang dalam taraf yang
berbeda-beda, memiliki untuk menangkap perasaan orang lain sebagaimana
adanya. Kemampuan ini dinamakan empati.
(4) Faktor ingatan. Daya ingat seseorang juga menentukan veridikalitas
persepsinya.
(5) Faktor disposisi kepribadian. Disposisi kepribadian diartikan sebagai
kecenderungan kepribadian yang relatif menetap pada diri seseorang.
(6) Faktor sikap terhadap stimulus. Sikap secara umum dapat dinyatakan sebagai
suatu kecenderungan yang ada pada diri seseorang untuk berpikir atau
berpandangan, berperasaan dan berkehendak, dan berbuat secara tertentu
terhadap suatu obyek.
(7) Faktor kecemasan. Seseorang yang dicekam oleh kecemasan karena sesuatu
hal yang berkaitan dengan obyek-stimulusnya akan mudah dihadapkan pada
hambatan-hambatan dalam mempersepsi obyek tersebut. Kecemasan dapat
menyebabkan seseorang melakukan macam-macam hal untuk mengatasi
keadaan di dalam dirinya.
(8) Faktor pengharapan. Faktor ini merupakan kumpulan dari beberapa
manusia, perilaku dan ciri-cirinya, serta pada taraf tertentu diyakini
kebenarannya.
Persepsi juga bergantung pada: (1) pendidikan seseorang, (2) kedudukannya
dalam strata sosial, (3) latar belakang sosial budaya, (4) usia, dan sebagainya.
2.1.4 Lapisan Masyarakat
Menurut Sorokin (1959) dalam Soekanto (2000), kata stratification berasal dari stratum (jamaknya strata yang berarti lapisan). Social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat
(hirarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah.
Dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian
hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan
pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
Soekanto (2000) mengungkapkan bahwa setiap masyarakat harus
menempatkan individu-individu pada tempat-tempat tertentu dalam struktur sosial
dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai
akibat penempatan tersebut. Apabila semua kewajiban selalu sesuai dengan
keinginan individu dan sesuai pula dengan kemampuan-kemampuannya, maka
persoalannya tidak akan terlalu sulit untuk dilaksanakan. Pada kenyataannya
kedudukan dan peranan tertentu sering memerlukan kemampuan dan
latihan-latihan dan hal itu tidak selalu sama. Adanya sistem lapisan masyarakat sekaligus
memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat, yaitu penempatan individu
dalam tempat-tempat yang tersedia dalam struktur sosial dan mendorongnya agar
melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan serta peranannya. Pada
umumnya warga lapisan atas (upper-class) tidak terlalu banyak apabila
dibandingkan dengan lapisan menengah (middle class) dan lapisan bawah (lower
class).
Lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai
oleh masyarakat. Kedudukannya yang tinggi itu bersifat kumulatif. Artinya,
mereka yang mempunyai uang banyak, akan mudah sekali mendapatkan tanah,
untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu
lapisan adalah sebagai berikut:
(1) Ukuran kekayaan. Barangsiapa yang memiliki kekayaan paling banyak
termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya, dapat dilihat
pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-cara
mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan
untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya;
(2) Ukuran kekuasaan. Barangsiapa yang memiiki kekuasaan atau yang
mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan atasan;
(3) Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari
ukuran-ukuran kekayaan dan/atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan
dihormati mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini, banyak
dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah
golongan tua atau mereka yang pernah berjasa; serta
(4) Ukuran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh
masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi ukuran tersebut
kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat negatif. Ternyata
ukuran bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar
kesarjanaannya. Hal yang demikian memacu segala macam usaha untuk
mendapat gelar, walau tidak halal.
Ukuran di atas tidaklah bersifat limitatif karena masih ada ukuran-ukuran lain
yang dapat digunakan. Akan tetapi ukuran-ukuran di atas menentukan sebagai
dasar timbulnya sistem lapisan dalam masyarakat tertentu.
2.1.5 Konflik
Fisher et al. (2000) menyatakan bahwa konflik (conflict) adalah sesuatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi
ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik
biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih
baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat.
Pengertian konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih,
sumberdaya. Konflik akan selalu dijumpai dalam kehidupan manusia atau
kehidupan masyarakat sebab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia
melakukan berbagai usaha yang dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada
sejumlah hak dan kewajiban. Kata konflik seringkali mengandung konotasi
negatif, yang cenderung diartikan sebagai lawan kata dari pengertian kerjasama,
harmoni, dan perdamaian. Konflik bukanlah sesuatu yang dapat dihindari atau
disembunyikan tetapi harus diakui keberadaannya, dikelola, dan diubah menjadi
sesuatu kekuatan bagi perubahan positif (Fuad dan Maskanah 2000).
Tipe-tipe konflik menuntun ke berbagai bentuk kemungkinan intervensi.
Terdapat empat tipe konflik yang masing-masing memiliki potensi dan
tantangannya sendiri. Pertama, tanpa konflik, dalam kesan umum adalah lebih
baik. Namun, setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika mereka
ingin agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan
dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik
secara kreatif. Kedua, konflik laten yang sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat
ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Ketiga, konflik terbuka
adalah yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai tindakan
untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Keempat, konflik di
permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya
karena kesalahpahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan
meningkatkan komunikasi (Fisher et al. 2000).
Pemetaan konflik merupakan suatu teknik yang digunakan untuk
menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan
masalah dan dengan pihak lainnya. Ketika masyarakat yang memiliki berbagai
sudut pandang berbeda memetakan situasi mereka secara bersama, mereka saling
mempelajari pengalaman dan pandangan masing-masing (Fisher et al. 2000).
Menurut Fuad dan Maskanah (2000), kebanyakan konflik mempunyai sebab
ganda, sebagai kombinasi dari masalah hubungan antar pihak yang bertikai dan
mengarah pada konflik yang terbuka. Konflik seringkali terlihat sangat rumit,
sehingga dapat mendefinisikan pusat situasi kritisnya, permasalahan pokoknya,
yang bertikai. Pemetaan konflik dengan mengelompokkannya dalam ruang-ruang
konflik dengan kriteria-kriteria di bawah ini:
(1) Konflik data, terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang
dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana atau mendapat
informasi yang salah atau tidak sepakat mengenai data apa saja yang relevan
atau menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda atau memakai tata
cara pengkajian yang berbeda;
(2) Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang
dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik yang
berdasarkan kepentingan terjadi karena masalah yang mendasar atau
substantif, masalah tata cara atau masalah psikologis;
(3) Konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif
yang kuat, salah persepsi atau stereotipe, salah komunikasi atau tingkah laku
yang negatif (repetitif);
(4) Konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian,
entah itu hanya dirasakan atau memang ada. Nilai adalah kepercayaan yang
dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya; serta
(5) Konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan akses
dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki
wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih
memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak
terhadap pihak lain.
2.1.6 Pemangku Kepentingan yang Terlibat
Menurut Tadjudin (2000), istilah stakeholder (pemangku kepentingan) dalam pengelolaan sumberdaya hutan diintroduksikan oleh negara-negara donor,
termasuk para donor yang mendukung Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Manajemen kolaboratif sekurang-kurangnya melibatkan lima stakeholder yang saling berinteraksi dan memiliki hak dan tujuan individual yang berbeda. Mereka
berkedudukan sederajat dan didorong agar mampu mengakomodasikan
Kelima stakeholder tersebut adalah masyarakat, pemerintah, swasta, hutan, dan lembaga penyangga. Keberadaan kelima stakeholder tersebut berbeda pada setiap kasus pengelolaan hutan. Namun, secara umum terdapat dua bentuk, yaitu:
kelima stakeholder itu ada yang akan dijumpai dalam pengelolaan hutan produksi
dan hutan tanaman industri dan hanya terdapat empat stakeholder tanpa kehadiran
swasta. Kasus seperti ini akan dijumpai dalam pengelolaan hutan lindung, hutan
suaka, hutan taman nasional, dan juga pada hutan rakyat. Pengertian dari kelima
stakeholder tersebut sebagai berikut:
(1) masyarakat adalah penduduk yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan
hutan, yang kehidupan ekonomi, sosial, dan budayanya bergantung pada
keberadaan sumberdaya hutan. Masyarakat di sini tidak sekedar dipandang
sebagai rumah tangga (household) yang dalam konsep ekonomi ditetapkan
sebagai sosok yang memiliki fungsi tujuan untuk memaksimumkan utilitas,
melainkan juga dipandang sebagai entitas bisnis yang memiliki fungsi tujuan
untuk memperoleh keuntungan ekonomi sebesar-besarnya;
(2) pemerintah adalah lembaga-lembaga pemerintah, baik di pusat maupun di
daerah, tidak terbatas pada satu departemen teknis yang mengurus masalah
hutan. Fungsi tujuan pemerintah adalah memaksimumkan pelayanan;
(3) swasta adalah badan usaha yang bidang bisnisnya adalah pendayagunaan
sumberdaya hutan. Fungsi tujuan swasta adalah memaksimumkan keuntungan
ekonomi;
(4) lembaga penyangga merupakan lembaga swadaya masyarakat dan
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya yang memiliki kepedulian terhadap masalah
pemberdayaan masyarakat dan kelestarian lingkungan hutan; serta
(5) hutan dipandang sebagai entitas hidup yang berhak untuk memiliki anatomi,
sifat, ciri, dan status tertentu. Hutan tidak sekedar dipandang sebagai
sumberdaya yang boleh diekstrak aliran-manfaatnya, melainkan dipandang
juga sebagai entitas-hidup (subyek) yang memiliki hak-hak yang sederajat
2.1.7 Pengelolaan Kolaboratif
Menurut Julia dan Yaffee (2000) dalam Suporahardjo (2005),
perkembangan pendekatan kolaborasi mulai muncul sebagai respon atas tuntutan
kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumberdaya yang baru, demokratis, lebih
mengakui perluasan yang lebih besar atas dimensi manusia dalam mengelola
pilihan-pilihan, mengelola ketidakpastian, mengelola kerumitan dari potensi
keputusan dan membangun kesepahaman, dukungan, kepemilikan atas pilihan-pilihan bersama. Pendekatan kolaborasi sering disebut sebagai “jembatan” (bridges) untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya. Oleh karena itu,
kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak
dalam konflik multi pihak.
Istilah collaborative management (pengelolaan secara kolaboratif) dalam bahasa Inggris sering digunakan secara bergantian dengan berbagai istilah
lainnya, seperti co-management (pengelolaan secara kemitraan), participatory management (pengelolaan partisipatif), joint management (pengelolaan bersama), shared management (pengelolan berbagi), multistakeholder management (pengelolaan multipihak) atau round-table management (pengelolaan meja bundar). Dalam bentuk aslinya, pengelolaan kolaboratif merupakan proses
partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam
berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi bersama, belajar
bersama, dan penyesuaian praktek-praktek pengelolaan (Kusumanto et al. 2006).
Pokok-pokok pikiran Gray (1989) dalam Suporahardjo (2005) tentang lima
ciri penting yang menentukan proses kolaborasi, yaitu:
(1) Membutuhkan keterbukaan karena dalam kolaborasi antara stakeholder harus saling memberi dan menerima (give and take) untuk menghasilkan solusi
bersama. Hal ini tidak akan tercapai bila satu dengan yang lain bersengketa
bekerja secara mandiri/terpisah. Pada tahap awal kolaborasi penting ada
kesadaran dan perhatian terhadap cara dimana kepentingan stakeholder
dirangkai dan alasan mengapa antara stakeholder membutuhkan satu dengan yang lain (saling ketergantungan) untuk menyelesaikan masalah;
(2) Menghormati perbedaan dan menjadikan sumber potensi kreatif untuk
(3) Peserta dalam kolaborasi secara langsung bertanggung jawab untuk
pencapaian kesepakatan tentang suatu jalan keluar. Tidak seperti dalam
pendekatan litigasi atau peraturan (regulation), yaitu peran penengah/
mediator (pengadilan, lembaga pemerintah, legislator) merencanakan jalan
keluar yang dipaksakan kepada stakeholder. Kesepakatan dalam kolaborasi, para pihak keputusan dibebankan kepada mereka sendiri. Ketika terjadi
kolaborasi berbagai stakeholder dengan persepsinya masing-masing yang khas
atas masalah harus bernegosiasi;
(4) Membutuhkan satu jalan keluar yang disepakati untuk arahan interaksi di
antara stakeholder di masa depan. Perlu ada kontrak baik formal maupun informal tentang ciri pertukaran di kemudian hari antara stakeholder mengenai
apa yang akan dicapai selama kolaborasi; serta
(5) Membutuhkan kesadaran bahwa kolaborasi sebagai suatu proses, maka akan
menjadi sebagai resep. Memandang kolaborasi sebagai suatu proses, maka
akan menggambarkan penyebab dan pengembangan kolaborasi. Oleh karena
itu, kolaborasi dapat dipikirkan sebagai suatu forum yang bersifat temporer
dan berevolusi untuk menyelesaikan suatu masalah.
2.2 Kerangka Pemikiran
Karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang dapat mempengaruhi persepsi
dikategorikan menjadi jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, luas
lahan, dan pengalaman mengelola sumberdaya hutan. Berdasarkan karakteristik
sosial ekonomi tersebut akan mempengaruhi persepsi komunitas lokal pada
sumberdaya hutan.
Persepsi berkaitan dengan hak dan kewajiban serta alokasi peranan.
Perbedaan persepsi antar pemangku kepentingan (pemerintah, komunitas lokal,
dan LSM) dapat menimbulkan konflik. Fisher et al. (2000) menyatakan bahwa konflik adalah sesuatu kenyataan hidup, tidak terhindaran dan sering bersifat
kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Konflik ini dapat
dilihat dari tipe konflik, pemetaan konflik, dan pemangku kepentingan yang
terlibat di dalamnya. Bila telah dilakukan analisis mengenai konflik tersebut,
dibutuhkan suatu resolusi konflik untuk mendapatkan bentuk penyelesaian yang
akan dilakukan atas sejauhmana persamaan persepsi dari kedua belah pihak.
Salah satu bentuk penyelesaian konflik ini adalah pengelolaan kolaboratif.
Menurut Kusumanto et al. (2006), pengelolaan kolaboratif merupakan proses partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif dalam
berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi bersama, belajar
bersama, dan penyesuaian praktek-praktek pengelolaan. Model pengelolaan
kolaboratif yang digunakan pada setiap lokasi berbeda, sehingga mencari tahu apa
yang menyebabkan perbedaan model pengelolaan kolaboratif tersebut di lokasi
penelitian (Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung) dengan menentukan
proses kolaborasi yang dilakukan sesuai pernyataan Gray (1989) dalam
2.3 Hipotesis
Hipotesis penelitian yang diajukan, yaitu:
(1) Terdapat hubungan antara karakteristik sosial ekonomi terhadap persepsi
komunitas lokal pada pengelolaan sumberdaya hutan.
(2) Terdapat hubungan persepsi antara pemangku kepentingan pada pengelolaan
sumberdaya hutan dengan model pengelolaan kolaboratif.
2.4 Definisi Operasional
Definisi operasional peubah dimaksudkan untuk memberikan batasan yang
jelas, sehingga memudahkan dalam melakukan pengukuran. Definisi operasional
dan pengukuran peubah dalam rencana penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Karakteristik sosial ekonomi merupakan ciri-ciri yang melekat pada setiap
individu dalam suatu komunitas lokal. Peubah ini meliputi: jenis kelamin,
jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, luas lahan, dan lama pengalaman
mengelola sumberdaya hutan.
(a) Jenis kelamin adalah identitas biologis individu yang terbagi atas dua
kategori, yaitu laki-laki dan perempuan.
(i) Laki-laki : Kategori 1
(ii) Perempuan : Kategori 2
(b) Jenis pekerjaan adalah profesi yang menopang kehidupan individu untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
(i) Petani : Kategori 1
(ii) Buruh tani : Kategori 2
(iii) Non Pertanian : Kategori 3
(c) Tingkat pendapatan adalah jumlah rupiah yang diperoleh individu sebagai
hasil dari bekerja sesuai dengan jenis pekerjaan dalam satuan rupiah per
waktu (tahun).
(d) Luas lahan adalah luasnya lahan yang dikelola oleh individu dalam satuan
hektar.
(i) Sempit : 0,01 – 0,54 (ii) Sedang : 0,55 – 1,08 (iii) Luas : 1,09 – 1,63
(e) Pengalaman mengelola sumberdaya hutan adalah lamanya individu dalam
mengelola sumberdaya hutan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun).
(i) Rendah : 3 – 18 (ii) Sedang : 19 – 34 (iii) Tinggi : 35 – 50
(2) Persepsi komunitas lokal adalah penilaian komunitas lokal terhadap
keinginan atas kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat
hidupnya, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya.
Pengukuran persepsi menggunakan skala Likert: 1 (tidak sesuai), 2 (kurang
sesuai), 3 (sesuai), dan 4 (sangat sesuai), kemudian data dikategorikan
menjadi tiga, yaitu kategori rendah: skor 10-14, kategori sedang: skor 15-19,
dan kategori tinggi: skor 20-25.
(a)Persepsi komunitas lokal terhadap hak adalah penilaian komunitas lokal
terhadap sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan,
kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh
undang-undang, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yg benar atas sesuatu atau
untuk menuntut sesuatu, derajat atau martabat.
(b)Persepsi komunitas lokal terhadap kewajiban adalah penilaian komunitas
lokal terhadap sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal
yang harus dilaksanakan).
(c)Persepsi komunitas lokal terhadap alokasi peranan adalah penilaian
komunitas lokal terhadap aspek dinamis dari kedudukan, apabila
seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai
dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan.
(3) Persepsi pemerintah adalah penilaian pemerintah terhadap keinginan atas
kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan
(4) Persepsi LSM adalah penilaian LSM terhadap keinginan atas kebutuhan untuk
mengetahui dan mengerti dunia tempat hidupnya, dan mengetahui makna dari
informasi yang diterimanya.
(5) Konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang
disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan
sumberdaya.
(a) Tipe konflik adalah menuntun ke berbagai bentuk kemungkinan intervensi
yang masing-masing memiliki potensi dan tantangannya sendiri.
(b) Pemetaan konflik adalah pengelompokkan dalam ruang-ruang konflik
yang menggunakan kriteria-kriteria tertentu dengan mengamati dan
memahami pihak-pihak yang bertikai.
(c) Pemangku kepentingan yang terlibat adalah pihak yang saling berinteraksi
dan memiliki hak dan tujuan individual yang berbeda.
(6) Resolusi konflik adalah menangani sebab-sebab konflik dan berusaha
membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di antara
kelompok-kelompok yang bermusuhan.
(a) Analisis akar permasalahan adalah mencari tahu pokok permasalah yang
ditimbulkan akibat perbedaan persepsi.
(b) Model pengelolaan kolaboratif adalah model yang dibuat pada proses
partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan secara aktif
dalam berbagai kegiatan pengelolaan, termasuk pengembangan visi
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung,
Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat
(Lampiran 1-3). Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) sesuai hasil
diskusi dengan pihak RMI- The Indonesian Institute for Forest and Environment
dikarenakan:
(1) Desa Malasari termasuk ke dalam perluasan kawasan Taman Nasional
Halimun-Salak (Lampiran 4).
(2) Terdapat konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
(3) Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung memiliki model pengelolaan
kolaboratif yang berbeda.
Ciri khas penelitian ini dibandingkan dengan penelitian yang lain adalah
terdapat model pengelolaan kolaboratif yang berbeda di kedua kampung tetapi
masih dalam satu desa. Dalam satu desa terdapat model pengelolaan kolaboratif
yang berbeda, yakni di Kampung Cisangku dan Kampung Nyungcung. Model
pengelolaan kolaboratif di Kampung Cisangku berupa Model Kampung
Konservasi (MKK) yang bekerjasama dengan pemerintah (TNGHS) dan bersifat
top down. Pada Kampung Nyungcung, model pengelolaan kolaboratif berupa Kampung Dengan Tujuan Konservasi (KDTK) dengan difasilitasi oleh pihak
LSM yang bersifat bottom up.
Penelitian dilaksanakan dalam waktu satu bulan (Lampiran 5). Kegiatan
penelitian meliputi pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data,
penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian dirancang dengan menggunakan metode survai yang bersifat
deskriptif korelasional (Singarimbun dan Effendi 1989). Pengumpulan data