• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Konflik dalam Film The Bang Bang Club (Analisis Semiotik Roland Barthes Mengenai Konflik dalam Film The Bang Bang Club)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Representasi Konflik dalam Film The Bang Bang Club (Analisis Semiotik Roland Barthes Mengenai Konflik dalam Film The Bang Bang Club)"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

The Bang Bang Club)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Menempuh Ujian Strata-1 Program Sarjana

Pada Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Ilmu Jurnalistik

Oleh :

MAORACHMANSYAH RINALDI CHIKAL NIM. 41809025

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA B A N D U N G

(2)
(3)

i

DALAM FILM THE BANG BANG CLUB)

MAORACHMANSYAH RINALDI CHIKAL NIM. 41809025

Telah disetujui dan disahkan di Bandung sebagai Tugas Skripsi Pada Agustus 2013

Menyetujui, Pembimbing

Rismawaty, S.Sos., M.Si NIP. 4127.35.30.002

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Ketua Program Studi UNIKOM Ilmu Komunikasi

(4)
(5)

x

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8

1.3.1 Maksud Penelitian ... 8

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Kegunaan Penelitian... 9

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 9

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 12

2.1 Tinjauan Terhadap Penelitian Sejenis ... 12

2.2 Tinjauan Pustaka ... 14

2.2.1 Tinjauan Tentang Komunikasi Massa ... 14

2.2.1.1Definisi Komunikasi Massa ... 14

2.2.1.2Film Sebagai Media Komunikasi Massa ... 15

(6)

xi

2.2.2.2Karakteristik Film ... 17

2.2.2.3Jenis-Jenis Film ... 19

2.2.3 Tinjauan Tentang Konflik ... 21

2.2.4 Tinjauan Tentang Semiotik ... 22

2.2.5 Semiotika Roland Barthes ... 24

2.3 Kerangka Pemikiran ... 27

2.3.1 Kerangka Teoritis ... 28

2.3.2 Kerangka Konseptual ... 32

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN ... 37

3.1 Objek Penelitian ... 37

3.1.1 Sinopsis Film ... 37

3.1.2 Tim Produksi dan Kru ... 42

3.2 Metode Penelitian... 47

3.2.1 Desain Penelitian ... 47

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 49

3.2.2.1Studi Pustaka ... 49

3.2.2.2Studi Lapangan... 49

3.2.3 Teknik Analisa Data ... 51

3.2.4 Uji Keabsahan Data... 52

3.2.5 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 57

4.1 Deskripsi Umum Konflik Dalam Film The Bang Bang Club ... 59

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 60

4.2.1 Makna Denotatif Konflik Dalam Film The Bang Bang Club ... 60

(7)

xii

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

5.1 Kesimpulan ... 90

5.2 Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 95

(8)

xiii

Halaman

(9)

xiv

Tabel 2.2 Peta Tanda Barthes... 25

Tabel 2.3 Peta Tanda Roland Barthes ... 28

Tabel 3.1 Sequence Mengenai Konflik Pada Film ... 43

Tabel 3.2Waktu Penelitian ... 55

Tabel 4.1 Deskripsi Sequence 1 ... 60

Tabel 4.2 Deskripsi Sequence 2 ... 61

Tabel 4.3 Deskripsi Sequence 3 ... 62

Tabel 4.4 Deskripsi Sequence 4 ... 63

Tabel 4.5 Deskripsi Sequence 5 ... 65

Tabel 4.6 Deskripsi Sequence 1 ... 66

Tabel 4.7 Deskripsi Sequence 2 ... 67

Tabel 4.8 Deskripsi Sequence 3 ... 69

Tabel 4.9 Deskripsi Sequence 4 ... 71

Tabel 4.10 Deskripsi Sequence 5 ... 73

Tabel 4.11 Deskripsi Sequence 1 ... 74

Tabel 4.12 Deskripsi Sequence 2 ... 76

Tabel 4.13 Deskripsi Sequence 3 ... 77

Tabel 4.14 Deskripsi Sequence 4 ... 79

(10)

xv

Halaman

Lampiran 1 : Surat Persetujuan Menjadi Pembimbing Skripsi ... 95

Lampiran 2 : Lembaran Revisi Usulan Penelitian ... 96

Lampiran 3 : Surat Rekomendasi Pembimbing Mengikuti Sidang Sarjana ... 97

Lampiran 4 : Pengajuan Pendaftaran Ujian Sidang Sarjana ... 98

Lampiran 5 : Lembaran Revisi Skripsi ... 99

Lampiran 6 : Berita Acara Bimbingan ... 100

Lampiran 5 : Sequence Film Yang Akan Diteliti ... 101

(11)

vi

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan ridho-Nya, peneliti diberikan kekuatan, nikmat, dan karunia yang tiada hentinya selama mengerjakan penelitian ini. Dengan begitu, peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini untuk memenuhi syarat mengikuti sidang sarjana.

Terima kasih khususnya kepada keluarga besar peneliti terutama Mamah dan Papah tercinta (Siti Maolida dan Asep Abdurahman) yang sudah mendukung peneliti dalam semua kegiatan yang dilakukan selama ini. Adik peneliti (Nuralda Rahmania) yang sudah sabar menghadapi kakakmu ini yang suka membawa kabur laptop dari rumah. Terima kasih Mamah, Papah, dan Alda.

(12)

vii

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia Bandung yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian ini.

2. Bapak Drs. Manap Solihat, M.Si., selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi dan Public Relations Unikom Bandung yang telah mengesahkan usulan penelitian ini sehingga penelitian ini bisa disidangkan dan terima kasih banyak untuk segala ilmu, kepercayaan, dan canda tawa yang diberikan selama ini.

3. Ibu Melly Maulin P., S. Sos., M.Si., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi dan Public Relations Unikom Bandung yang telah membantu peneliti dalam kelancaran proses pengerjaan dan sidang usulan penelitian ini. Terima kasih juga atas ilmu-ilmu dan pengalaman yang diberikan selama ini.

4. Ibu Rismawaty., S. Sos., M. Si., selaku dosen pembimbing peneliti. Terima kasih atas segala kesabarannya, masukan-masukannya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Terima kasih banyak atas semua pengalaman dan berbagai usulan yang telah diberikan serta kesabarannya selama ini.

(13)

viii

Ibu Tine Agustin Wulandari., S.I.Kom., selaku dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Komputer Indonesia yang telah memberikan ilmu, pelajaran, dan pengalaman kepada peneliti selama perkuliahan.

7. Ibu Astri Ikawati., A.Md Kom., selaku staf sekretariat di lingkungan Program Studi Ilmu Komunikasi dan Public Relations yang sering peneliti mintai bantuan serta semua staf-staf lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Atas bimbingan dan bantuannya kepada peneliti.

8. Lana Syahbani, terima kasih atas semua kenangan dan pengalaman yang kamu sudah berikan kepadaku, mungkin Allah SWT menginginkan kita saat ini berpisah namun tetap ku selalu berdoa yang terbaik untuk kita. Untuk mimpi kita yang saat ini harus kita kubur dahulu.

9. Keluarga Warhadi Team, Idoh, Bagor, Alul, Yuda, Okky, Ganjar, Nai, Bona, Otniel. Be strong pals! Ingat persahabatan kita tak seperti lagu Peterpan.

(14)

ix

peneliti ucapkan beribu-ribu maaf dan terima kasih.

Dalam penelitian ini, peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga mampu tercapainya kesempurnaan dalam penulisan penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya mahasiswa/i komunikasi khususnya konsentrasi jurnalistik.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bandung, Juli 2013

(15)

93

Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala dan Siti Karlinah. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. Bandung : Simbiosa Rekatama Media. Barthes, Roland. 2010. Imaji, Musik, Teks. Yogyakarta : Jalasutra.

Cangara, Hafied. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi Edisi Kedua. Jakarta : Rajawali Pers.

Effendy, Onong Uchjana. 2007. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

_____________________. 2003. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

_______, Heru. 2002. Mari Membuat Film: Panduan Untuk Menjadi Produser.

Yogyakarta : Yayasan Panduan & Konfiden.

Hikmat, Mahi. 2011. Metode Penelitian Dalam Perspektif Ilmu Komunikasi dan Sastra. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Jalaluddin, Rakhmat. 2004. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang : Indonesia Tera.

Marcel, Denasi. 2012. Pesan, Tanda, dan Makna : Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta : Jalasutra.

Mulyana, Deddy. 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

______________. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Sobur, Alex, 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. __________, 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis

(16)

Sugiyono, 2005. Model Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.

________, 2011. Metode Penelitian KOMBINASI (Mixed Methods). Bandung : Alfabeta.

Sumber Lain :

Skripsi. Noorman Wijaksana. 2009. Kekuatan Foto Jurnalistik Dalam Karya-Karya Street Photography. Bandung : UNISBA.

Skripsi. Didin Rohendi. 2010. Analisis Semiotika Tentang Foto Tragis Anak Kecil Dalam Konflik Di Sudan Tahun 1993. Bandung : UNIKOM.

Skripsi. Yaser Dwi Yasa. 2011. Representasi Kebebasan Pers Mahasiswa Dalam Film Lentera Merah. Bandung : UNIKOM.

Skripsi. Eko Nugroho. 2012. Representasi Rasisme Dalam Film This Is England. Bandung : UNIKOM.

Internet :

http://fahri99.wordpress.com/2006/10/14/semiotika-tanda-dan-makna/ diakses pada tanggal 4 April 2013 pukul 23.38 WIB

http://www.thebangbangclub.com diakses pada tanggal 5 April 2013 pukul 14.55 WIB

http://indrimuzaki.blogspot.com/2011/01/metode-semiotika-menurut-ferdinand-de.html diakses pada tanggal 4 April 2013 pukul 20.16 WIB

http://kerozzi.blogspot.com/2013/04/konflik-dan-negoisasi-pok.html diakses pada tanggal 23 Mei 2013 pukul 17.44 WIB

http://www.allmovie.com/movie/the-bang-bang-club-v522116/ diakses pada tanggal 5 April 2013 pukul 21.22 WIB

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

The Bang Bang Club merupakan salah satu film tahun 2011 bergenre drama yang diadaptasi dari kejadian nyata yang dialami oleh 4 orang fotografer perang yang sama-sama ingin membeberkan kebenaran pada setiap karya foto mereka. Film karya sutradara Steven Silver ini tidak hanya mengulas tentang drama namun juga memperlihatkan bagaimana kejadian yang sebenarnya dialami oleh 4 orang fotografer tersebut.

Film ini juga merupakan adaptasi dari sebuah buku berjudul The Bang-Bang Club: Snapshots from a Hidden War karya 2 orang fotografer yang terlibat langsung dalam kejadian perang tersebut. Pada film ini juga diceritakan bagaimana pergulatan batin dari seorang jurnalis ketika akan mengambil sebuah foto jurnalistik namun harus memilih mengikuti kata hati atau beracuan pada kode etik jurnalistik yang ada.

(18)

pada kenyataannya kedua hal ini sering kali bersinggungan pada praktek dilapangannya.

Film The Bang Bang Club adalah film yang dirilis pada 22 April 2011 dan mengambil seting film tahun 1990 hingga 1994 di Afrika Selatan yang pada saat itu sedang terjadi masa transisi sistem politik apartheid. Dalam film ini, The Bang Bang Club dikenal sebagai sebuah kelompok fotografer perang yang bertugas meliput keadaan perang saudara yang terjadi di Afrika Selatan. Nama The Bang Bang Club sendiri muncul pada sebuah artikel yang dikeluarkan Living, yakni sebuah majalah yang dikeluarkan di Afrika Selatan. Awalnya mereka bernama The Bang Bang Paparazzi, namun kata paparazzi

dianggap tidak mencerminkan pekerjaan mereka sehingga pada akhirnya mereka mengubahnya menjadi club. Kata bang-bang sendiri diambil dari suara senjata yang sering didengar oleh para fotografer ini ketika sedang meliput. Kevin Carter (Taylor Kitsch), Greg Marinovich (Ryan Phillippe), Ken Oosterbroek (Frank Rautenbach), dan João Silva (Neels Van Jaarsveld) adalah orang-orang yang merupakan pendiri dari The Bang Bang Club ini.

(19)

The Bang Bang Club merupakan film bergenre drama yang berisi pesan kepada penontonnya. Pesan-pesan yang disajikan oleh sutradara pada film ini ada yang langsung dapat diterima oleh penontonnya dan ada juga yang tidak, hal tersebut terjadi akibat tertutupnya oleh makna-makna yang sengaja tidak diperlihatkan jelas oleh para pembuatnya.

Film merupakan media komunikasi massa yang cukup ampuh. Tidak hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai penyalur infomasi dan pendidikan. (Effendy, 2003:29) Selain itu film juga dapat menceritakan bagaimana kehidupan sosial yang ada pada masyarakat dan kesenjangan yang ditimbulkan dari adanya suatu masalah yang terjadi. Hingga pada akhirnya fungsi film yang dapat menjadi media ekspresi khalayak berbagai golongan.

Namun pada kenyataannya, kebanyakan film yang diproduksi oleh sineas-sineas di Indonesia saat ini lebih mengedepankan pada aspek pemenuhan film sebagai media hiburan dan hal tersebut sejalan dengan fenomena yang terjadi pada sineas-sineas luar negeri yang juga kebanyakan memproduksi film hanya sebatas media hiburan sehingga fungsi film lainnya seperti edukasi dan penyalur informasi kurang terlihat walaupun saat ini juga banyak bermunculan sineas muda, baik dalam dan luar negeri, yang berani mengangkat film-film bertemakan edukasi dan penyalur informasi.

(20)

tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif (Ardianto, 2007:145).

Film juga dapat menceritakan kepada kita tentang berbagai hal dan kejadian yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Baik mengenai ekonomi, politik, sosial, budaya, hingga pengalaman hidup seseorang. Melalui film inilah, berbagai hal tersebut diceritakan melalui media berbasis audio visual yang dapat menarik minat khalayak untuk menontonnya sehingga fungsi sebagai media hiburan, informatif, edukatif, bahkan persuasif mampu dicapai oleh sebuah film yang merupakan media komunikasi massa yang cukup ampuh pada saat ini. Selain itu, film juga bisa merupakan ajang ekspresi diri seorang sineas dalam mengungkapkan suatu fenomena atau kejadian yang cocok untuk diperlihatkan kepada khalayak.

Film Cerita Panjang (feature-length films) umumnya memiliki durasi lebih dari 60 menit, lazimnya antara 90-100 menit. Film jenis ini mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat menjadi topik bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan pada kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan ceritanya maupun segi gambarnya. Saat ini, film telah menjadi suatu objek kajian yang menarik untuk diteliti karena selain menjadi media komunikasi massa, film juga terdapat tanda dan makna yang berbeda.

“Film merupakan alat transaksional sebagai penyampaian sebuah pesan

(21)

seni berdasarkan sumber–sumber mengenai semiotika terhadap karya seni ataupun media–media komunikasi yang di buat oleh

pengarangnya”. (Dwi Yasa, Yaser, 2011, Representasi Kebebasan Pers

Mahasiswa Dalam Film Lentera Merah, Bandung, UNIKOM)

Semiotika berasal dari bahasa Yunani, Semeion yang berarti tanda. Dalam bahasa Indonesia, semiotika atau semiologi diartikan sebagai ilmu tentang tanda. Ketika berkomunikasi tanda sangat diperlukan karena merupakan unsur yang penting dimana akan menimbulkan makna sehingga pesan akan dimengerti oleh penerima pesan.

Semiotika sendiri merupakan bidang studi yang membahas tentang tanda dan cara-cara tanda itu bekerja (dikatakan juga semiologi).

“Ferdinand de Saussure merumuskan tanda sebagai kesatuan dari dua bagian yang tidak bisa dipisahkan-seperti hal nya selembar kertas, yaitu bidang penanda (signifier) atau bentuk dan bidang petanda (signified). Maka, antara tanda dan penanda saling berkaitan satu sama lain dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam berkomunikasi”. (Wijaksana, Noorman, 2009, Kekuatan Foto Jurnalistik Dalam Karya-Karya Street Photography, Bandung, UNISBA)

(22)

saya maupun teman saya yang berprestasi. Makna disampaikan dari saya kepada teman yang berprestasi maka komunikasi pun berlangsung. 1

Dasar dari kajian semiotika adalah konsep tentang tanda tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiripun -- sejauh terkait dengan pikiran manusia seluruhnya terdiri atas tanda-tanda, jika tidak begitu manusia tidak bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda nun verbal seperti gerak-gerak, bentuk pakaian, serta beraneka praktek sosial yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur, 2001:13).

Seperti yang dikemukakan oleh van Zoest mengenai film dan tanda bahwasannya,

“Film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai

efek yang diharapkan”. (van Zoest, 1993:109)

Maka dari itu, tidak dapat dipungkiri juga ternyata film The Bang Bang Club terdapat banyak pesan yang memiliki makna langsung dan makna tidak langsung yang dibuat oleh sutradara yang akan disampaikan kepada khalayak.

Melihat film ternyata sarat akan simbol dan tanda, maka pada penelitian ini peneliti tertarik melihat dari sisi semiotikanya, dimana dengan semiotika akan membantu peneliti dalam menelaah secara mendalam mengenai makna dan arti dari kedalaman suatu bentuk komunikasi yang dituangkan dalam

1

(23)

sebuah simbol maupun tanda. Sederhananya, semiotika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda yang ada pada sebuah film tentu saja berbeda dengan format tanda yang lainnya, karena didalam film sangat dimungkinkan berbagai tanda muncul dalam waktu yang bersamaan seperti

visual, audio, dan juga teks.

Semiotika sendiri dapat dikaji dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes, yang lebih mengedepankan unsur denotasi, konotasi, dan mitos/ideologi dalam analisisnya.

Makna denotasi merupakan makna harfiah atau makna yang sesungguhnya. Sementara konotasi merupakan makna yang menjadi kiasan dari sebuah makna yang telah ada. Lalu mitos/ideologi merupakan pengungkapan apa yang terjadi pada periode tertentu.

Dari pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk mengangkat film The Bang Bang Club menjadi sebuah bahan penelitian lebih lanjut, karena terdapat simbol-simbol dan tanda-tanda mengenai representasi konflik pada film ini. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode Analisis Semiotika Roland Barthes. Dimana dalam peta Barthes terdapat tiga unsur utama yakni tanda denotatif, konotatif, dan mitos atau ideologi.

Pada film The Bang Bang Club dirasakan banyak sekali pesan-pesan yang terkandung mengenai konflik yang terjadi antar sesama golongan khususnya yang terjadi di Afrika Selatan yang menjadi latar tempat pada film

(24)

dari itu peneliti hendak melakukan penelitian mengenai makna konflik yang terkandung dalam film The Bang Bang Club ini.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka peneliti menetapkan rumusan masalah dalam penelitian sebagai berikut :

Pertanyaan Makro :

Bagaimana Representasi Konflik Dalam Film The Bang Bang Club?

Pertanyaan Mikro :

1. Bagaimana makna denotatif konflik dalam Film The Bang Bang Club?

2. Bagaimana makna konotatif konflik dalam Film The Bang Bang Club?

3. Bagaimana mitos/ideologi konflik dalam Film The Bang Bang Club?

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

(25)

1.3.2 Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan masalah yang diteliti maka tujuan pada penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui makna denotatif konflik dalam Film The Bang Bang Club.

2. Untuk mengetahui makna konotatif konflik dalam Film The Bang Bang Club.

3. Untuk mengetahui mitos/ideologi konflik pada Film The Bang Bang Club.

1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

(26)

1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan bagi peneliti dalam bidang komunikasi khususnya konsentrasi Jurnalistik mengenai kajian analisis semiotik Roland Barthes. Selain itu, pada penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan peneliti pada khususnya untuk dapat mengetahui makna-makna seperti makna denotatif, konotatif, dan mitos/ideologi pada setiap bidang kajian terutama mengenai sebuah fenomena yakni konflik yang diaplikasikan pada sebuah karya berupa film.

2. Bagi Universitas

(27)

3. Bagi Masyarakat

(28)

12

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1Tinjauan Terhadap Penelitian Sejenis

Dalam sebuah tinjauan pustaka, peneliti akan mengawali dengan penelitian sejenis yang berkaitan dan relevan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Dengan demikian, peneliti akan mendapatkan sebuah rujukan pendukung, pelengkap, pembanding, dan memberikan gambaran awal mengenai kajian yang terkait dalam penelitian ini.

Berikut adalah penelitian sejenis yang peneliti temukan tentang kajian yang sesuai dengan apa yang peneliti angkat :

(29)
(30)

2.2Tinjauan Pustaka

2.2.1Tinjauan Tentang Komunikasi Massa 2.2.1.1Definisi Komunikasi Massa

Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan

oleh Bittner (Rakhmat, 2003 : 188), yakni “Komunikasi massa adalah

pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is messages communicated through a mass

medium to a large number of people)”.

Ahli komunikasi lainnya, Joseph A. Devito merumuskan definisi komunikasi massa yang pada intinya merupakan penjelasan tentang pengertian massa serta tentang media yang digunakan. Ia mengemukakan definisinya dalam dua item, yakni :

“Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan

kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang menonton televisi, tetapi ini berarti bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan/atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefinisikan menurut bentuknya : televisi, radio

siaran, surat kabar, majalah dan film” (Effendy, 1986 : 26).

(31)

2.2.1.2Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Hubungan antara film dan masyarakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Film dengan lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, karena ia tidak mengalami unsur – unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi. (Sobur, 2009:126)

Pengaruh film itu besar sekali terhadap jiwa manusia. Penonton tidak hanya terpengaruh sewaktu atau selama duduk didalam gedung bioskop, tetapi terus sampai waktu yang cukup lama.

Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh sekali, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Dalam ceramah – ceramah penerangan atau pendidikan kini banyak menggunakan film sebagai alat pembantu untuk memberikan penjelasan. Bahkan, film sendiri banyak yang berfungsi sebagai medium penerangan dan pendidikan secara penuh, artinya bukan sebagai alat pembantu dan juga tidak perlu dibantu dengan penjelasan, melainkan medium penerangan dan pendidikan yang komplit. (Effendy, 2003:209)

(32)

Film yang dipertunjukan dalam gedung bioskop mempunyai persamaan yang sama dengan televisi dalam hal sifatnya yang audio-visual, bedanya mekanik atau non elektronik dalam fungsinya. Dampak film pada khalayak sangat kuat untuk menananmkan kesan, layarnya untuk menayangkan cerita yang relatif besar, gambarnya jelas dan suaranya yang keras dalam ruangan yang gelap membuat penonton tercekam. (Effendy, 2003:315)

Film sebagai media massa merupakan sebuah informasi. Informasi yang lebih mudah ditangkap karena dari visualisasinya yang jelas. Film memiliki karakteristik yang dibutuhkan untuk menjadi madia massa, gabungan dari faktor audio dan visual yang dengan segala isinya adalah sarana yang tepat untuk menyampaikan pesannya kepada penontonnya.

2.2.2Tinjuan Tentang Film 2.2.2.1Pengertian Film

(33)

komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu.

Film lebih dahulu menjadi media hiburan dibanding radio dan televisi. Menonton film ke bioskop menjadi aktivitas populer bagi orang Amerika pada tahun 1920an sampai 1950an.

Industri film adalah industri bisnis. Predikat ini telah menggeser anggapan orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya seni, yang di produksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang – orang yang bertujuan memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna. Meskipun pada kenyataannya adalah bentuk karya seni, industri film adalah bisnis yang memberikan keuntungan, kadang – kadang menjadi mesin uang yang seringkali, demi uang, keluar dari kaidah artistik film itu sendiri (Dominick dalam Ardianto dkk, 2007:143)

2.2.2.2Karakteristik Film

Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah sebagai berikut:

1. Layar yang luas/Lebar

(34)

2. Pengambilan Gambar

Sebagai konsekuensi film memiliki layar lebar, maka pada sebuah film, pengambilan gambar atau shot memungkinkan adanya dari jarak jauh atau pengambilan pemandangan secara menyeluruh. Dengan adanya berbagai macam teknik pengambilan gambar ini, film akan lebih terkesan menjadi lebih menarik.

3. Konsentrasi Penuh

Saat menonton film, dibutuhkan konsentrasi yang penuh dari para penontonnya agar pesan yang diinginkan sutradara film tersebut dapat sampai kepada khalayak. Contohnya, ketika kita menonton di bioskop, bila tempat duduk sudah penuh atau waktu menonton sudah tiba, maka seluruh lampu di ruang bioskop pun dimatikan lalu pada layar bioskop tersebut muncul film yang akan ditonton. Kita semua terbebas dari gangguan hiruk pikuk diluar ruangan bioskop dan perlahan kita terbawa suasana film tersebut. Hal semacam itu dibutuhkan konsentrasi penuh agar perasaan kita seakan masuk ke dalam film tersebut.

4. Identifikasi Psikologis

(35)

(mengidentifikasikan) pribadi kita dengan salah seorang pemeran dalam film itu, sehingga seolah-olah kita lah yang sedang berperan. Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut identifikasi psikologis (Effendy, 1981:192).

2.2.2.3Jenis-Jenis Film

1. Film Cerita (Story Film)

Film cerita adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan para bintang filmnya yang tenar. Film ini didistribusikan sebagai barang dagangan dan diperuntukkan semua publik dimana saja (Effendy, 2003:211). Cerita yang diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan ceritanya maupun dari segi gambar yang artistik (Ardianto, 2007:148). Film yang diputar di bioskop umumnya termasuk kedalam kelompok Film Cerita Panjang (Feature-Length Films) karena berdurasi lebih dari 60 menit, atau lazimnya berdurasi antara 90-100 menit.

2. Film Berita (News Reel)

(36)

disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (news value) (Effendy, 2003:212).

3. Film Dokumenter (Documentary Film)

John Grierson mendefinisikan film documenter sebagai ”karya

ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality).

“Titik berat film documenter adalah fakta atau peristiwa yang

terjadi (Effendy, 2003:213).

4. Film Kartun (Cartoon Film)

Film kartun pada awalnya memang dibuat untuk konsumsi anak-anak, namun dalam perkembangannya kini film kartun telah diminati oleh semua kalangan termasuk orang tua. Effendy berpendapat (2003:216), titik berat pembuatan film kartun adalah seni lukis. Dan setiap lukisan memerlukan ketelitian. Satu per satu dilukis dengan seksama untuk kemudian dipotret satu per satu pula. Dan apabila rangkaian lukisan itu diputar dalm proyektor film, maka lukisan-lukisan itu menjadi hidup.

5. Film-Film Jenis Lain

a. Profil Perusahaan (Corporate Profile)

Film ini diproduksi untuk kepentingan institusi tertentu berkaitan dengan kegiatan yang mereka lakukan. Film ini sendiri berfungsi sebagai alat bantu presentasi.

(37)

Film ini diproduksi untuk kepentingan penyebaran informasi, baik tentang produk (iklan produk) ataupu layanan masyarakat (iklan layanan masyarakat atau public service announcement/PSA).

c. Program Televisi (TV Program)

Program ini diproduksi untuk konsumsi pemirsa televisi. Secara umum, program televisi dibagi menjadi dua yaitu cerita dan non cerita.

d. Video Klip (Music Video)

Dipopulerkan pertama kali melalui saluran televisi MTV pada tahun 1981. Sejatinya video klip merupakan sarana bagi para produser musik untuk memasarkan produknya lewat medium televisi (Effendy, 2006:13-14).

2.2.3Tinjauan Tentang Konflik

Konflik berasal dari kata kerja Latin, configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses social antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

(38)

Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) mengungkapkan, konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi, dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak yang berterusan.

Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi, sebaliknya integrasi yang tidak sempurna dapat menimbulkan konflik.

Faktor-faktor penyebab konflik pun beragam, mulai dari perbedaan individu, perbedaan latar belakang kebudayaan, perbedaan kepentingan, hingga perubahan nilai-nilai yang terjadi dalam suatu masyarakat yang berubah terlampau cepat.

2.2.4Tinjauan Tentang Semiotik

Semiotika berasal dari kata Yunani yakni semeion, yang berarti tanda. Sementara menurut Charles Sanders Pierce (Sobur, 2009:13), semiotika

(39)

Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996:64). Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. (Sobur, 2009:15)

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia, dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkandengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes dan Kurniawan dalam Sobur, 2009:15).

Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda (Littlejohn, 1996:64). Semiotika, menurut Lechte (2001:191), adalah teori tentang tanda dan penandaan. Segers menambahkan (2000:4), semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs „tanda-tanda‟ dan berdasarkan pada sign system (code)

„sistem tanda‟.

(40)

2.2.5Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Bertens (2001:208) (Sobur, 2009:63) menyebutkan sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an.

Pada eseinya, Barthes, seperti dipaparkan Cobley & Jansz (1999:44), membahas fenomena sehari-hari yang luput dari perhatian. Barthes juga mengungkapkan adanya peran pembaca (the readers) dengan tanda yang dimaknainya. Dia berpendapat bahwa konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi.

Barthes secara lugas mengulas mengenai apa yang disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang didalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.

(41)

Tabel 2.2

Sumber: Paul Cobley & Litza Jansz. 1999. Introducing Semiotics. NY: Totem Books, hal 51 (dalam Sobur, 2009:69)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan penanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan

unsur material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi

seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley dan Jansz, 1999:51). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotative yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2009:69).

(42)

makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang

disebutnya sebagai „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan

memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi suatu mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.

Barthes mengartikan mitos sebagai “cara berpikir kebudayaan tentang

(43)

justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.

Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotative yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Saussure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotative semata.

Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, pembaca teks dapat memahami penggunaan bahasa kiasan dan metafora yang tidak dapat dilakukan pada tingkatan denotatif. Lebih dari itu, semiotika ala Barthes ini memungkinkan penggunaannya pada wilayah lain selain teks, seperti

fenomena sosial yang dapat ditafsirkan sebagai “tanda” alias layak dianggap

sebagai sebuah lingkaran linguistik.

2.3Kerangka Pemikiran

(44)

2.3.1Kerangka Teoritis

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang suatu tanda (sign).

Dalam ilmu komunikasi “tanda” merupakan sebuah interaksi makna yang

disampaikan kepada orang lain melalui tanda-tanda. Dalam berkomunikasi tidak hanya dengan bahasa lisan saja namun dengan tanda tersebut juga dapat berkomunikasi. (Zoezt, 1993:18)

Roland Barthes merupakan seorang pemikir strukturalis yang mempraktikan model linguistik dan semiologi Sausserean. Barthes juga dikenal sebagai intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. (Sobur, 2009:63).

“Semiotika adalah suatu ilmu atau metoda analisis untuk mengkaji

tanda.tanda–tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah–tengah manusia dan bersama–sama manusia. (Barthes, 1998:179; Kurniawan, 2001:53)

Tabel 2.3

(45)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan

unsur material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi

seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley dan Jansz, 1999:51).

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2009:69).

Pemetaan perlu dilakukan pada tahap-tahap konotasi. Tahapan konotasi sendiri dibagi menjadi dua. Tahap pertama memiliki 3 bagian, yakni: efek tiruan, sikap (pose), dan objek. Sedangkan 3 tahap terakhir adalah: Fotogenia, estetisme, dan sintaksis.

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang

disebutnya sebagai „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan

(46)

hal dapat menjadi suatu mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.

Dalam peta tanda Barthes, mitos merupakan unsur yang terdapat dalam sebuah semiotik yang tidak tampak, namun hal ini baru terlihat pada signifikansi tahap kedua Roland Barthes.

Gambar 2.1

Signifikasi Dua Tahap Barthes

Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hal 88 (dalam Sobur, 2001:12)

First Order Second Order

reality signs culture

Denotation

Signifier

Signified

Connotation

(47)

Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna subyektif atau paling tidak intersubyektif. (Fiske, 1990:88 dalam Sobur, 2001:128).

Signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan (Fiske, 1990:88 dalam Sobur, 2001:128).

(48)

maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dengan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman dalam Sobur, 2001:70-71).

2.3.2Kerangka Konseptual

Pada sub bab ini akan diaplikasikan seluruh teori yang telah dijelaskan pada sub bab kerangka teoritis. Berikut pengaplikasiannya.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia, dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Karena dalam memaknai sesuatu, tiap orang memiliki perbedaan sesuai dengan apa yang mereka ketahui.

Maka dari itu dalam penelitian kali ini peneliti hendak meneliti bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai berbagai hal (things) yang dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate) sebuah konflik yang terdapat dalam sequences pada film The Bang Bang Club. Pada penelitian kali ini, peneliti merasakan bahwasannya model dari Roland Barthes dianggap mewakili pemikiran peneliti dalam menganalisis semiotik konflik dalam film The Bang Bang Club.

Pada penelitian ini, peneliti juga mengambil beberapa sequence dari film

(49)

Barthes sesuai dengan apa yang menjadi makna denotatif pada suatu objek, makna konotatif pada suatu objek, hingga mitos dalam objek yang nantinya peneliti akan teliti.

Berikut alur pemikiran peneliti yang diadaptasi sesuai dengan model signifikasi dua tahap Roland Barthes.

Gambar 2.2

Peta Alur Pemikiran Peneliti

Sumber : Analisa Peneliti, Juli 2013 Analisis Semiotik Roland Barthes

Konflik pada Film The Bang Bang Club

Petanda (Signified) Penanda (Signifier)

Makna Denotasi

Makna Konotasi

(50)

Berdasarkan pada peta alur pemikiran diatas yang diadaptasi dari signifikasi dua tahap Roland Barthes bahwa penanda dan petanda mengenai konflik dalam film The Bang Bang Club sudah ada dalam setiap sequence

yang peneliti angkat. Berangkat dari hal tersebut nantinya peneliti akan mencari makna denotatif yang berarti makna sebenarnya yang terdiri atas isi yang tampak dari sequence yang peneliti angkat. Namun pada saat yang bersamaan, makna sebenarnya yang terdapat dalam sebuah sequence yang menunjukkan konflik juga memiliki makna lain tetapi tersembunyi. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material, maksudnya jika kita

mengenal atau melihat tanda “konflik” maka konotasinya seperti

penganiayaan, kekerasan, dan bentrokan.

The Bang Bang Club sendiri memiliki beberapa sequence yang memiliki makna denotatif yang bisa langsung dimaknai oleh siapa saja yang melihatnya. Makna konotasi merupakan makna yang terkandung dalam sebuah tanda, pada penelitian kali ini yang dimaksudkan adalah sequence yang ada dalam film

The Bang Bang Club, dimana akan dikaji menggunakan 6 konsep penandaan konotatif yang diungkapkan Barthes (2010:7-11) yaitu sebagai berikut.

1. Efek Tiruan

(51)

2. Pose/Sikap

Gerak tubuh yang berdasarkan kebiasaan masyarakat tertentu dan memiliki arti tertentu pula.

3. Objek

Benda–benda yang dikomposisikan sedemikian rupa sehingga diasumsikan dengan ide–ide tertentu.

4. Fotogenia

Seni memotret sehingga foto yang dihasilkan telah dibumbui atau dihiasi dengan teknik–teknik pengambilan cahaya hingga hasil cetakan. Dalam sebuah film, fotogenia sendiri digunakan untuk menghasilkan suasana yang disesuaikan dengan kondisi cerita yang ada dalam sequence.

5. Esestisisme

Lebih berkaitan dengan sebuah keindahan dari komposisi gambar yang diambil.

6. Sintaksis

Biasanya hadir dalam rangkaian gambar yang ditampilkan dalam satu judul dimana waktu tidak muncul lagi pada masing – masing gambar, namun pada keseluruhan gambar yang ditampilkan terutama bila dikaitkan dengan judul utamanya (Barthes, 2010:7-11).

(52)
(53)

37

BAB III

OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana semiotik konflik dalam film The Bang Bang Club. Adapun objek dalam penelitian adalah beberapa sequence dalam film The Bang Bang Club dengan fokus penelitian yaitu adegan yang menggambarkan konflik dalam film The Bang Bang Club. Kategori adegan yang menggambarkan konflik ini meliputi sequence yang didapat dari hasil pemotongan yang terdapat dalam film The Bang Bang Club.

3.1.1 Sinopsis Film

Seorang fotografer lepas bernama Greg Marinovich (Ryan Philippe) sedang mencoba mencari foto jurnalistik yang akan dijualnya kepada surat kabar yang meliput tentang konflik yang terjadi di Afrika Selatan. Disana terdapat segerombolan masyarakat asli Afrika Selatan yang sedang menangisi salah satu orangnya yang dibunuh di bawah kolong jembatan yang diduga menjadi tempat konflik 2 kubu yang mendukung dan tidak mendukung politik

(54)

Greg yang masih memiliki rasa penasaran yang besar untuk mendapatkan foto mengenai kenapa pembunuhan itu bisa terjadi memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut dengan mengikuti segerombolan orang yang terlihat menjauh seusai konflik dibawah jembatan itu berlangsung. Setelah mendapatkan informasi dari seseorang bahwa yang membunuh pendukung partai ANC (African National Congress) milik pemerintah yakni kelompok Inkatha, milisi sipil Zulu yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah sebagai kontra revolusi Nelson Mandela yang ketika itu sedang berjuang mengenyahkan politik apartheid di negerinya, Greg langsung mengikuti dengan hati-hati para gerombolan orang asal Inkatha.

Dengan bermodalkan nekat dan rasa penasaran yang tinggi akhirnya Greg pun mencoba masuk ke dalam markas kelompok Inkatha. Namun sebelum masuk ke dalam markas Inkatha, Greg sempat dikejar oleh para anggota Inkatha karena Greg dicurigai sebagai mata-mata atau paling tidak ia dikira sebagai orang asing yang mencoba “merusak” markas Inkatha tersebut.

(55)

anggota kelompok Inkatha. Ia pun tidak melewatkan setiap momen yang terjadi ditempat itu.

Foto-foto dari markas Inkatha tersebut akhirnya membawa Greg bertemu dengan Kevin di kantor sebuah media cetak. Pada akhirnya, Greg pun ditarik sebagai fotografer oleh editor foto media cetak tersebut yakni Robin Comley (Malin Akerman) karena foto-fotonya yang dianggap memiliki nilai berita yang sangat besar.

Keesokan harinya, Greg pun berkumpul dengan ketiga fotografer lainnya yang bekerja di media tersebut disebuah minimarket yang biasa menjadi tempat berkumpul ketiga fotografer media tersebut sebelum pergi mencari gambar-gambar yang nantinya akan dicetak. Salah satunya adalah Kevin. Dua orang lainnya adalah Ken Oosterbroek (Frank Rautenbach), dan João Silva (Neels Van Jaarsveld). Pada hari itu mereka meliput mengenai unjuk rasa yang ditunjukkan pihak Inkatha dimana para pengunjuk rasa itu menutupi seluruh badan jalan dengan arak-arakan khas dari Afrika Selatan. Keempat orang fotografer ini tampak menikmati mengambil setiap momen yang ada, terlebih ketika mengambil foto seorang anak kecil asal Afrika yang berlari dengan latar belakang foto yakni para pengunjuk rasa yang mulai melakukan aksi anarkis, yakni merusak fasilitas-fasilitas umum yang ada disekitar mereka.

(56)

Disana Greg dihadapkan pada pilihan yakni mengambil gambar penganiayaan yang dilakukan Inkatha kepada pendukung ANC dengan membacok kepalanya dan melemparinya dengan bom molotov. Ketiga kawan Greg yakni Kevin, João, dan Ken mencoba menghentikannya karena Greg dianggap mengambil foto dengan jarak foto yang sangat dekat dengan kejadian. Namun Greg memaksakan diri untuk tetap mengambil foto penganiayaan tersebut walaupun pada akhirnya Greg mengalami sedikit gangguan mental akibat melihat adegan yang sangat sadis dengan mata kepalanya sendiri.

Mengetahui hal ini, editor foto mereka Robin menyuruh Greg untuk tidak bekerja selama beberapa waktu hingga kesehatannya pulih kembali. Tetapi Robin tetap mempublikasikan foto tersebut di media cetak tempat Greg bekerja dan hal ini mengakibatkan melonjaknya pemasukan media cetak tersebut yang pada akhirnya membuat Greg memenangkan sebuah Pulitzer

kategori Spot News Photography.

(57)

berpihak pada Greg, akhirnya Greg mengalami cedera akibat gesekan dari peluru yang ditembakkan oleh pihak milisi. Karena persahabatan yang terjalin diantara mereka sangat erat, entah peluru datang dari arah mana, Ken Oosterbroek, fotografer tertua dalam The Bang Bang Club tersebut tertembak dan Ken pun meninggal ditempat sebelum sempat menolong Greg yang terluka parah.

Dari kejadian ini, akhirnya pihak pemerintah memutuskan agar tidak berkelompok ketika sedang meliput didaerah konflik. Mengetahui keputusan dari pemerintah akan hal ini, akhirnya ketiga sahabat ini mengambil jalannya masing-masing sebagai fotografer solo.

Beberapa bulan kemudian, Greg dan João mendapatkan kabar bahwa Kevin yang memutuskan mengundurkan diri akibat pihak media cetak mengetahui bahwa Kevin memakai narkotika, memenangkan sebuah Pulitzer

kategori Featured Photography yang dimana foto tersebut menggambarkan seekor burung pemakan bangkai yang sedang menunggu mangsanya yakni seorang anak kecil yang kelaparan di Negara Sudan. Tapi entah mengapa, setelah beberapa bulan mendapatkan Pulitzer, Kevin dinyatakan meninggal akibat bunuh diri. Selidik punya selidik, Greg dan João mengetahui penyebab kematian Kevin akibat depresi karena terlalu sering melihat kejadian yang begitu sadis didepan matanya ketika mengambil gambar melalui lensa kamera.1

1http://www.allmovie.com/movie/the-bang-bang-club-v522116/ diakses pukul 14.55 WIB

(58)

3.1.2 Tim Produksi dan Kru CAST :

Ryan Philippe as Greg Marinovich

Taylor Kitsch as Kevin Carter

Malin Akerman as Robin Comley

Frank Rautenbach as Ken Oosterbroek

Neels Van Jaarsveld as João Silva

CREW :

Steven Silver - Director, Screenwriter, Executive Producer Adam Friedlander, Daniel Iron, Lance Samuels - Producer Miroslaw Baszak - Cinematographer

Philip Miller - Composer (Music Score)

Stacey Horricks - Musical Direction/Supervision Ronald Sanders - Editor

Emelia Weavind - Production Designer Carla Mowbray - Co-producer

(59)

Ahmed Omar Carrim, Chris Ouwinga, Darryn Welch, Jannie Van Wyk, Kweku Mandela Amuah, Lal Bharwaney, Laszlo Barna, Neil Tabatznik, Patrice Theroux, Shabir Carrim - Executive Producer Ruy Filipe - Costume Designer

David McCallum, Jane Tattersall, Lou Solakofski - Sound/Sound Designer

Tabel 3.1

Sequence Mengenai Konflik Pada Film

Timeline Video Audio

Durasi gambar,

00.13.25” –00.13.28”

Suara interaksi dengan bahasa khas Inkatha disertai suara shutter

kamera.

(60)

Durasi gambar, man? It doesn't matter. Just take the

(61)
(62)

when you stop killing him. mean, i don't like what they did, but

i'm not fucking helping the cops.

(63)

hero for?

Denotatif Konotatif Mitos/Ideologi

Sumber: Peneliti, Juli 2013

3.2Metode Penelitian 3.2.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan analisis semiotic Roland Barthes. Menurut Charles Sanders Peirce (dalam Littlejohn, 1996:64) mendefinisikan semiotik sebagai berikut.

“a relationship among a sign, an object, and a meaning (suatu

hubungan di antara tanda, objek, dan makna).” (Littlejohn, 1996:64)

Dapat disimpulkan bahwasannya semiotik adalah suatu metode yang melihat bagaimana suatu hubungan antara tanda, objek, dan sebuah makna. Dapat diartikan juga bahwa semiotik penarikan kesimpulan namun tidak akan selalu apa yang di artikan sama dengan apa yang akan dibahas secara lain, karena dalam semiotik terdapat makna yang denotatif dan juga konotatif.

“Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran

(64)

Barthes mengembangkan semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang

disebutnya sebagai „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan

memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Barthes mengartikan mitos sebagai “cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebut mitos sebagai rangkaian konsep

yang saling berkaitan” (Sudibyo, 2001:245). Bagi Barthes, mitos bermain

pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Saussure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.

Berbeda dengan Roland Barthes, John Fiske menjelaskan bahwa ideologi yang dikajinya terdiri dari transference dan struggle. Transference

(65)

melakukan perlawanan terhadap apa yang terjadi lawannya dalam film tersebut. (Fiske, 1987)

Melihat penjelasan diatas maka penelitian ini memilliki tujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan bagaimana makna denotatif, konotatif, dan mitos mengenai konflik dalam film The Bang Bang Club.

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data 3.2.2.1Studi Pustaka

Mencari dan mengumpulkan tulisan, buku, serta informasi lainnya yang berkaitan dengan analisis semiotik, film, konflik, dan seputar informasi film The Bang Bang Club yang bermuatan pesan-pesan. Studi pustaka ini dilakukan guna memperoleh data sebagai analisa pada sebuah wacana media film.

3.2.2.2Studi Lapangan 1. Studi Dokumentasi

(66)

Berikut langkah-langkah yang akan ditempuh peneliti guna melakukan studi dokumentasi pada penelitian ini sebagai berikut :

a. Mengamati film The Bang Bang Club dengan menontonnya. b. Mengambil sequence yang tepat dengan permasalahan yang

akan diteliti.

2. Internet Searching

Peneliti juga melakukan pencarian data dan literatur melalui pencarian di internet. Pencarian data di Intenet merupakan salah satu langkah yang digunakan sebagai bentuk satu trobosan efisiensi waktu dalam perolehan data maupun studi literatur. Adapun tahapan yang akan dilakukan oleh peneliti sebagai berikut :

a. Mencari data-data yang mendukung penelitian seperti pemeran-pemeran dalam film, definisi-definisi yang berkaitan dengan permasalahan konflik, dan lain-lain. b. Membaca dan mengumpulkan jurnal-jurnal penelitian

sejenis guna menambah wawasan dan pengertian peneliti dalam mengkaji permasalahan dalam penelitian ini.

c. Mengambil dokumentasi-dokumentasi yang tidak bisa didapatkan melalui studi lapangan seperti cover dari film

(67)

film, hingga foto-foto pemeran dalam film yang peneliti teliti.

3.2.3 Teknik Analisa Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi melalui cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, mengklasifikasikan hal-hal penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan, sehingga mudah dipahami oleh peneliti dan oleh pembaca.

Terdapat beberapa tahap dalam analisa data yang umum dilakukan pada penelitian kualitatif, yaitu:

1. Kategorisasi dan reduksi data, peneliti mengumpulkan informasi-informasi yang terkait dengan masalah penelitian yang peneliti angkat, dan selanjutnya mengelompokkan data sesuai dengan topik permasalahannya.

2. Sajian data. Data yang tadi telah dikumpulkan dan dikelompokkan tersebut akan disusun secara sistematis sehingga peneliti dapat meneliti dan menelaah data-data dari sajian data tersebut.

(68)

Setelah memperoleh data penelitian, maka hal yang akan dilakukan selanjutnya oleh peneliti yaitu.

1. Mengumpulkan sequence yang menjadi kajian pada penelitian kali ini dengan memotong dan memilih beberapa bagian yang menjadi pokok pikiran di setiap sequencenya.

2. Menganalisis sesuai apa yang menjadi tujuan penelitian. Caranya yakni menganalisis beberapa sequence yang telah dipilih dengan menggunakan teori semiotika dari Roland Barthes.

Pada teori semiotika Barthes, digunakan 3 pembedahan makna dalam sebuah objek yaitu melihat dari sisi denotatif yang terdapat dalam objek, lalu melihat dari sisi konotatif, serta mitos/ideologi yang terdapat dalam objek agar objek tersebut dapat dijabarkan secara teliti dan menyeluruh oleh peneliti.

3.2.4 Uji Keabsahan Data

Dalam penelitian uji keabsahan data perlu dilakukan, hal ini dilakukan untuk menentukan valid atau tidaknya suatu temuan atau data yang dilaporkan peneliti dengan apa yang terjadi sesungguhnya di lapangan. Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti. Dengan demikian data yang

(69)

peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek penelitian. (Sugiyono, 2009:267).

Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi beberapa pengujian. Peneliti menggunakan uji credibility (validitas interbal) atau uji kepercayaan terhadap hasil penelitian. Adapun beberapa cara uji keabsahan data dengan uji kredibilitas data diantaranya : Perpanjangan Pengamatan, Peningkatan Ketekunan, Triangulasi, Diskusi dengan teman sejawat, Analisis Kasus Negatif, Membercheck. (Sugiyono, 2011:270)

Dalam penelitian ini, uji keabsahan data yang dilakukan oleh peneliti meliputi :

1. Peningkatan Ketekunan

Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut maka kepastian data dan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis. (Sugiyono, 2013:272)

2. Analisis Kasus Negatif

Melakukan analisis kasus negatif berarti peneliti mencari data yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan dengan data yang ditemukan. (Sugiyono, 2011:275)

3. Menggunakan Referensi

(70)
(71)

3.2.5 Lokasi dan Waktu Penelitian

(72)

d. Revisi Seminar UP

e. Pengumpulan Data

3

Pengolah Data

a. Bimbingan BAB IV

b. Bimbingan BAB V

c. Bimbingan Seluruh

BAB

4

Sidang

a. Pendaftaran Sidang

b. Penyerahan Draft

Skripsi

c. Persiapan Sidang

d. Sidang Skripsi

Sumber : Peneliti, Juli 2013

(73)

108

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Maorachmansyah Rinaldi Chikal Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 13 Juli 1991

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Belum Menikah

Status Saudara : Anak pertama dari dua bersaudara Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Hobi : Mendengarkan musik, bermain game, dan desain Alamat : Jalan Cibarengkok no. 12 RT 02/09 Blok 182C

Kelurahan Sukabungah Kecamatan Sukajadi Bandung 40162

Telp : 085 624 300 101

Email/Blog : duncecappirotte@yahoo.co.uk

maorachmansyahrinaldichikal@gmail.com

(74)

109

2009 – 2012 Universitas Komputer Indonesia Mahasiswa Strata 1

2006 – 2009 Sekolah Menengah Atas SMA Negeri 4 Bandung

2003 – 2006 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP Negeri 9 Bandung

2002 – 2003 Sekolah Dasar

SD Angkasa 1 Bandung 1997 – 2002 Sekolah Dasar

SD Al-Furqon Jember

SD Pramuka Anggota

SLTP Pramuka Anggota

SMA Dewan Keluarga Masjid Anggota Universitas Komputer

Indonesia

- -

Lain-Lain Insurgent Army MC Warhadi Team Bandung

Pengurus Pengurus

PENDIDIKAN FORMAL

(75)

110

1. Study Tour Media Massa, Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Komputer Indonesia, 2011.

2. Mentoring Agama Islam, Program Studi Ilmu Komunikasi & LDK UMMI Universitas Komputer Indonesia 2010.

3. TalkshowofEntrepreuneurshipandartshowwith Raditya Dika, “Act Locally think globally”, Universitas Padjajaran, 2011.

4. Seminar Budaya Preneurship “Mengangkat Budaya Bangsa Melalui Jiwa

Enterpreneurship”, Universitas Komputer Indonesia, 2010.

5. Table Manner Course Banana – Inn Hotel & Spa, Universitas Komputer Indonesia, 2010.

6. Seminar “When New Media Start to Take The Lead”, Universitas

Padjajaran, 2011.

7. Bedah Buku “Handbook of Public Relations” dan Seminar “How to be A

Good Writer”, Universitas Padjajaran, 2012.

8. Workshop Sinematografi Communiaction, Universitas Komputer Indonesia, 2012.

9. Ceramah Umum Dekan Fisip UNIKOM “Peningkatan Kualitas Keilmuan,

Keterampilan ICT, dan Kewirausahaan Sebagai Fakultas Ilmu Sosial dan

(76)

111

Komputer Terbiasa dengan beberapa program komputer seperti MS. Word, MS. Excel, MS. PowerPoint, MS. Publisher, Adobe Photoshop, Adobe Ilustrator, Adobe InDesign, CorelDraw, SAM Broadcaster, StudioOne 2, Fruity Loops.

(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)

REPRESENTASI KONFLIK DALAM FILM

THE BANG BANG CLUB

(Analisis Semiotik Roland Barthes Mengenai Konflik Dalam Film The Bang Bang Club)

Oleh :

MAORACHMANSYAH RINALDI CHIKAL NIM. 41809025

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA B A N D U N G

Gambar

Tabel 2.1
Tabel 2.2 Peta Tanda Barthes
Tabel 2.3
Signifikasi Gambar 2.1 Dua Tahap
+4

Referensi

Dokumen terkait

bersifat defensif (bertahan) sedangkan blok Sekutu lebih banyak melakukan serangan.  Tahapan ketiga,

[r]

Dengan pembelajaran berbasis masalah berorientasi green chemistry maka kemampuan peserta didik memecahkan masalah dan keterampilan berpikir serta kerja ilmiah dapat

Building on the reasoning above, it can be expected that, in cases of poor M&A performance, managers with greater acqui- sition experience will be more likely to attribute

Di Desa Gunung Bungsu Kecamatan XIII Koto Kampar terdapat beberapa jenis media penyuluhan yang digunakan oleh petani karet dalam menjalankan usahatani

Pada penelitian ini variabel bebasnya terdiri dari disiplin kerja, motivasi dan iklim organisasi, sedangkan variabel terikatnya adalah kinerja karyawan.. Pengujian instrumen

Melalui kegiatan mengamati gambar, siswa dapat menyebutkan 3 peristiwa atau tindakan pada teks nonfiksi dengan benar.. Melalui kegiatan diskusi, siswa mampu mengidentifikasi

Pembentukan opini publik tentang dampak negatif dari PLTU Suralaya berhubungan positif terhadap fungsi dan pesan yang disampaikan oleh para tokoh agama. Semakin