• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Farmakologi Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek Farmakologi Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Aspek Farmakologi Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

Tri Widyawati

Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) merupakan salah satu dari sembilan obat tradisional yang diunggulkan untuk dikaji sampai tahap uji klinis. Kandungan kimia terdiri dari flavonoid dan lakton. Zat aktif utama tanaman ini adalah andrographolide, yang berasal dari komponen lakton. Setelah pemberian per oral, 20 mg andrographolide segera diabsorbsi, kadar puncak plasma tercapai dalam waktu 1,5–2 jam, dan waktu paruhnya 6,6 jam. Distribusinya luas di jaringan dan organ tubuh. Efek farmakologi sambiloto di antaranya sebagai antioksidan, antidiabetik, antifertilitas, anti HIV-1, antiflu, anti adhesi intraperitoneal, antima-laria, antidiare, hepatoprotektif, koleretik, dan kolekinetik. Berdasarkan uji toksikologi pada hewan percobaan menunjukkan bahwa andrographolide dan senyawa lain yang terdapat pada sambiloto memiliki toksisitas yang sangat rendah.

Kata kunci: sambiloto, andrographolide, efek farmakologi

Abstract: Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) is one of nine priority traditional medicine that should be examined in a good clinical trial. The chemistry constituents consist of flavonoide and lactone. It major constituents are lactones known as andrographolide. Following an oral administration of 20 mg andrographolide, maximum plasma levels were reached after 1,5–2 hours, and half life were 6,6 hours. This compound will be widely distributed in the body. Pharmacology effect of sambiloto are as antioxidant, antidiabetic, antifertility, antiHIV, antiinfluenza, antiintraperitoneal adhesion, antimalaria, antidiarrhea, hepatoprotektive, choleretic and cholekynetic. Based on various toxicology studies in animal and human, it is confirmed that andrographolide and other compounds of this plant have a very low toxicity.

Keywords: sambiloto, andrographolide, pharmacology effect

PENDAHULUAN

Penggunaan obat tradisional serta pengobatan tradisional telah lama di-praktekkan di seluruh dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju. Menurut WHO, sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal sebagai obat tradisional. Du-kungan WHO terhadap konsep back to nature dibuktikan dengan adanya reko-mendasi untuk menggunakan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeli-haraan kesehatan masyarakat, dan pencegahan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker.1

Indonesia merupakan potensi pasar obat herbal dan fitofarmaka karena saat ini memiliki lebih kurang 30.000 spesies

tumbuhan dan 940 di antaranya ter-masuk tumbuhan berkhasiat. Sampai saat ini ada 180 spesies yang telah di-manfaatkan oleh industri jamu tradisional.1

Salah satu upaya meningkatkan pemanfaatan bahan alam Indonesia yang terjamin mutu, khasiat dan keamanannya sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dapat digunakan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, saat ini Badan POM bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi sedang meneliti 9 tanaman obat unggulan nasional sampai ke tahap uji klinis, salah satu diantaranya adalah sambiloto (Andrographis paniculata Nees).2

Khasiat sambiloto sebenarnya sudah dikenal luas sejak zaman dulu, baik oleh orang Indonesia maupun bangsa-bangsa di dunia.3

(2)

studi telah dilakukan yang sebagian besar konsentrasinya untuk mengetahui komposisi, keamanan, khasiat dan mekanisme kerja sambiloto.4,5,6

Di Indonesia sendiri, sambiloto dipasarkan baik dalam sediaan tunggal atau gabungan dengan bahan alami lain dalam bentuk tablet, yang masih tergolong sediaan jamu.

GAMBARAN UMUM SAMBILOTO

Sambiloto yang juga dikenal sebagai “King of Bitters” bukanlah tumbuhan asli Indonesia, tetapi diduga berasal dari India. Menurut data spesimen yang ada di Herbarium Bogoriense di Bogor, sambiloto sudah ada di Indonesia se-jak 1893. Di India, sambiloto adalah tumbuhan liar yang digunakan untuk meng-obati penyakit disentri, diare, atau malaria. Hal ini ditemukan dalam Indian Phar-macopeia dan telah disusun paling sedikit dalam 26 formula Ayurvedic.7

Dalam Traditional Chinese Medicine (TCM), sambiloto diketahui penting sebagai tanaman ”cold property” dan digunakan sebagai penurun panas serta membersihkan racun-racun di dalam tubuh.8

Tanaman ini kemudian menyebar ke daerah tropis Asia hingga sampai di Indonesia.

Sambiloto dapat tumbuh di semua jenis tanah sehingga tidak heran jika tanaman ini terdistribusi luas di belahan bumi.9

Habitat aslinya adalah tempat-tempat terbuka yang teduh dan agak lembab, seperti kebun, tepi sungai, peka-rangan, semak, atau rumpun bambu.3

Sambiloto memiliki batang berkayu berbentuk bulat dan segi empat serta memiliki banyak cabang (monopodial). Daun tunggal saling berhadapan, berben-tuk pedang (lanset) dengan tepi rata (integer) dan permukaannya halus, berwarna hijau. Bunganya berwarna putih keunguan, berbentuk jorong (bulan panjang) de-ngan pangkal dan ujungnya yang lancip. Di India, bunga dan buah bisa dijumpai pada bulan Oktober atau antara Maret sampai Juli. Di Australia bunga dan buah antara bulan Nopember sampai bulan Juni tahun berikutnya, sedang di Indonesia bunga dan buah dapat ditemukan sepanjang tahun.9

Di beberapa daerah di Indonesia, sambiloto dikenal dengan berbagai nama. Masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur

menyebutnya dengan bidara, sambiroto, sandiloto, sadilata, takilo, paitan, dan sambiloto. Di Jawa Barat dise-but dengan ki oray, takila, atau ki peurat. Di Bali lebih dikenal dengan samiroto. Masyarakat Sumatera dan sebagian besar masyarakat Melayu menyebutnya dengan pepaitan atau ampadu.3,9

Sementara itu, nama-nama asing sambiloto diantaranya chuan xin lian, yi jian xi, dan lan he lian (Cina), kalmegh, kirayat, dan kirata (India), xuyen tam lien dan cong-cong (Vietnam), quasabhuva (Arab), nainehavandi (Persia), green chiretta dan king of bitter (Inggris).3

Semua bagian tanaman sambiloto, seperti daun, batang, bunga, dan akar, terasa sangat pahit jika dimakan atau direbus untuk diminum. Diduga ini berasal dari andrographolide yang dikandungnya. Sebenarnya, semua bagian tanaman sambiloto bisa dimanfaatkan sebagai obat, termasuk bunga dan buahnya. Namun bagian yang paling sering digunakan sebagai bahan ramuan obat tradisional adalah daun dan batangnya.3

TAKSONOMI3

Secara taksonomi, sambiloto dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Subkelas : Gamopetalae Ordo : Personales Famili : Acanthaceae Subfamili : Acanthoidae Genus : Andrographis

Spesies : Andrographis paniculata Nees

KIMIA DAN KANDUNGAN BAHAN AKTIF

Secara kimia mengandung flavonoid dan lakton. Pada lakton, komponen utamanya adalah andrographolide, yang juga merupakan zat aktif utama dari tanaman ini. Andrographolide sudah diisolasi dalam bentuk murni dan menunjuk-kan berbagai aktivitas farmakologi. Zat aktif herba ini dapat ditentukan dengan metode gravimetrik atau dengan high performance liquid chromatography [HPLC].10

(3)

deoxyandrographolide, 11,12-didehydro-14-eoxyandro-grapholide, dan neoandrographolide. Flavonoid juga dilaporkan ada terdapat pa-da tanaman ini.3,11

Daun dan percabangannya lebih banyak mengandung lakton sedangkan komponen flavonoid dapat diisolasi dari akarnya, yaitu polimetok-siflavon, androrafin, panikulin, mono-0-metilwithin dan apigenin-7,4 dimetileter. Selain komponen lakton dan flavonoid, pada tanaman sambiloto ini juga terdapat komponen alkane, keton, aldehid, mineral (kalsium, natrium, kalium), asam kersik dan damar.3

Di dalam daun, kadar senyawa andrographolide sebesar 2,5-4,8% dari berat keringnya.3

Ada juga yang mengatakan biasanya sambiloto distandarisasi dengan kandungan andrographolide sebesar 4-6%.12

Senyawa kimia lain yang sudah diisolasi dari daun yang juga pahit yaitu diterpenoid viz. deoxyandro-grapholide-19β-D-glucoside, dan neo-andrographolide.13

FARMAKOKINETIK

Beberapa studi sudah dilakukan untuk melihat disposisi andrographolide dalam berbagai organ tubuh.14

Dalam suatu penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa 48 jam setelah pemberian andrographolide, komponen ini dijumpai tersebar luas ke seluruh organ tubuh. Konsentrasi yang dijumpai di otak sebesar 20,9%, limpa 14,9%, jantung 11,1%, paru-paru 10,9%, rektum 8,6%, ginjal 7,9%, hati 5,6%, uterus 5,1%, ovarium 5,1%, dan usus halus sebesar 3,2%.15

Menurut penelitian terakhir, andrographolide memiliki bioavailabilitas tinggi pada manusia. Setelah pemberian peroral, 20 mg andrographolide segera diabsorbsi, mencapak nilai puncak plasma dalam waktu 1,5 sampai 2 jam dengan waktu paruh 6,6 jam.16

Sementara pada penelitian lainnya menunjukkan waktu paruh andrographolide relatif singkat, lebih kurang dalam waktu 2 jam. Setelah 72 jam, hampir 90% andrographolide dieksresikan. Sebagian besar eksresinya ini melalui urin,17

sebagian lainnya melalui saluran cerna.

Pada beberapa studi dikatakan bahwa 80 persen dari dosis andrographo-lide yang dikonsumsi akan dieksresikan dari tubuh dalam waktu 8 jam.7

FARMAKODINAMIK

Distribusi yang luas di jaringan dan organ tubuh serta adanya khasiat yang mengatur dan meningkatkan sistem imun menyebabkan sambiloto menjadi calon ideal untuk mencegah dan mengobati berbagai penyakit.

Pemberian sambiloto menunjukkan efek protektif terhadap aktivitas en-zim superoxide dismutase, catalase, glutathione peroxidase dan glutathione yang menurun dengan pemberian hexachloro cyclohexane (BHC). Hasilnya menunjuk-kan adanya khasiat antioksidan dan hepatoprotektif dari sambiloto.18

Shukla, dkk.19

mengkaji efek hepatoprotektif ekstrak daun sambiloto terhadap kerusakan hati yang diinduksi karbon tetraklorida. Ekstrak dengan dosis 300 mg/kg (1/6 dari LD50) diperoleh dengan maserasi dingin. Hasilnya, ekstrak ini dijumpai efektif dalam mencegah kerusakan hati dengan parameter penilaian-nya mencakup morfologi, biokimia dan fungsional. Andrographolide juga mence-gah menurunnya jumlah empedu yang disebabkan toksisitas acetaminophen.20

Efek hipoglikemik sambiloto sudah diteliti dengan berbagai cara. Salah satunya, penelitian Borhanuddin, dkk.21

pada kelinci menunjukkan bahwa ekstrak air sambiloto dengan dosis 10 mg/kg berat badan dapat mencegah hiperglikemia yang diinduksi dengan pemberian glukosa per oral dengan dosis 2 mg/kg berat badan secara signifikan. Mekanismenya kemungkinan sambiloto mencegah absorpsi glukosa dari usus.

Zoha, dkk.22

(4)

Wang, dkk.23

mengobservasi efek komponen sambiloto terhadap nitric oxide, endothelin, cyclic guanosine monophosphate, lipid peroxide dan super-oxide dismutase, pada model kelinci percobaan yang memiliki aterosklerotik dengan cara memberi diet tinggi kolesterol. Kesimpulannya, sambiloto memiliki efek antioksidan, menjaga fungsi endothelial, dan mempertahankan ke-seimbangan nitric oxide/endothelin.

Studi psikofarmakologi sudah dilakukan Mandal, dkk.24

dengan menggunakan ekstrak herba sambiloto. Hasilnya menunjukkan adanya perubahan yang signifikan pada pola tingkah laku dan berkurangnya pergerakan spontan. Ekstrak ini juga memperlama waktu tidur hewan percobaan yang diinduksi pentobarbitone dan menurunkan suhu tubuh.

Calabrese, dkk.25

melakukan uji klinis fase I andrographolide yang bera-sal dari sambiloto pada relawan sehat, yaitu 13 orang positif HIV dan 5 orang tidak terinfeksi HIV. Objektifnya terutama untuk menilai keamanan dan to-lerabilitas serta menilai efek andrographolide terhadap kadar plasma RNA virus HIV-1 dan kadar limfosit CD4 (+). Selama penelitian, tidak satu subjekpun yang menggunakan pengobatan antiretroviral. Bila terdapat kelainan hati dan ginjal, maka akan dikeluarkan dari penelitian. Regimen yang direncanakan adalah 5 mg/kg berat badan selama 3 minggu, ditingkatkan menjadi 10mg/kg berat badan selama 3 minggu dan akhirnya sampai 20 mg/kg berat badan selama 3 minggu. Penelitian dihentikan pada minggu keenam karena adanya reaksi yang tidak di-inginkan termasuk reaksi anafilaktik pada satu orang relawan. Semua kejadian yang tidak diinginkan diatasi dengan menghentikan pengamatan. Peningkatan yang signifikan pada rata-rata kadar limfosit CD4 (+) pada subjek HIV terjadi se-telah pemberian 10 mg/kg berat badan andrographolide (dari 405 sel/mm menjadi 501 sel/mm). Tidak ada perubahan statistik yang signifikan pada rata-rata kadar plasma RNA HIV-1 selama penelitian. Andrographolide mungkin menghambat disregulasi siklus sel yang diinduksi HIV, seiring dengan peningkatan kadar lim-fosit CD4 (+) pada penderita yang terinfeksi HIV-1.

Satu studi yang dilakukan oleh Caceres, dkk.26

satu kelompok pelajar di sekolah

pedesaan diberi plasebo dan kelompok lainnya diberi Kan Jang (sambiloto), kemudian diobservasi untuk melihat kejadian flu setelah tiga bulan. Dosis yang diberikan pada kelompok studi sebesar 200 mg per hari. Hasilnya, se-telah satu bulan tidak ada perbedaan yang signifikan, tetapi setelah tiga bulan, ter-jadi perbedaan yang signifikan, yaitu kelompok Kan Jang yang menderita flu, 2,1 kali lebih rendah dibanding kelompok plasebo, dengan laju insidennya 30 persen, sedangkan kelompok plasebo sebesar 62 persen. Pada studi lainnya, Caceres, dkk.27

mengukur keefektifan ekstrak Andrographis, dibandingkan dengan plase-bo, dalam mengurangi gejala yang berhubungan dengan common cold. Kelompok pasien dewasa terdiri dari 158 orang laki-laki dan perempuan. Efek Andrographis diukur pada hari 0, 2, dan 4 setelah pengobatan. Pada hari ke-2, kelompok pasien yang mendapatkan Andrographis menunjukkan adanya pengurangan beberapa gejala, dan pada hari ke-4, kelompok yang sama menunjukkan pengurangan gejala yang signifikan dibandingkan dengan kelompok plasebo. Kesimpulannya, sambi-loto menunjukkan efektivitas yang tinggi dalam menurunkan prevalensi dan inten-sitas gejala common cold tanpa komplikasi dimulai hari kedua pengobatan. Pada penelitian ini, tidak ada efek samping yang dilaporkan.

Darwin28

membuktikan ekstrak sambiloto pada dosis 10 mg/kg berat badan yang diberi peroral mampu mengurangi kejadian adhesi intra-peritonium pada hewan percobaan tikus (86%).

Sambiloto dapat menghambat edema sebesar 60% dalam waktu tiga jam pada dosis 200 mg/kg berat badan, dan pada dosis 400 mg/kg berat badan sebesar 62,7%.29

Khasiat antiinflamasi ini kemungkinan melalui mekanisme yang meli-batkan kelenjar adrenal. Efek ini hilang bila kelenjar adrenal diangkat dari binatang percobaan.30

Andrographolide menunjukkan adanya efek koleretik (4.8-73%) tergantung dosis (1,5-12 mg/kg) yang ditunjukkan dengan adanya aliran empedu, garam empedu, dan asam empedu pada tikus dalam keadaan sadar dan guinea pig yang teranastesi.31

Kajian Zulkarnain Rangkuty32

(5)

batang, dan daun sambiloto pada relawan sehat.

Selain yang tersebut di atas, khasiat sambiloto yang lain yang sudah dite-liti diantaranya, sebagai antimalaria33,34

dan anti diare.35

INTERAKSI OBAT

Ekstrak sambiloto kemungkinan memiliki efek sinergis dengan isoniazide.12

Selain itu, sampai saat ini belum diketahui interaksi obat lain dengan sambiloto.

EFEK SAMPING

Sakit kepala, fatique, rasa pahit, dan peningkatan enzim hati dilaporkan terjadi pada uji klinis pada pasien yang terinfeksi HIV yang diberi andrographolide dosis tinggi.25

Hal ini tidak ada dilaporkan pada orang yang menggunakan andrographis atau ekstrak terstandard pada jumlah yang direkomendasikan. Seperti semua herba yang pahit, sambiloto mungkin menyebabkan ulkus dan adanya rasa terbakar. Keamanan terhadap wanita hamil dan menyusui sampai saat ini belum diketahui.

TOKSISITAS

Dalam pengobatan tradisional China, Thailand dan India, sambiloto sudah menunjukkan keamanannya. Uji toksikologi pada hewan coba dan manusia menunjukkan bahwa andrographolide dan senyawa lain yang terdapat pada sambiloto memiliki toksisitas yang sangat rendah. Pada mencit yang diberi ekstrak sambiloto secara oral (10 gr/kgBB) sekali sehari selama 7 hari, tidak ada seekorpun tikus yang mati.36

Jantung, ginjal, hati, dan limpa dijumpai dalam keadaan normal pada hewan percobaan ini. Ketika sambiloto dengan dosis 500 mg/kg berat badan diberikan selama 10 hari setiap hari pada mencit, tidak ada efek pada pertumbuhan, selera makan dan produksi feses. Hewan coba tersebut tetap energik dan hasil jumlah darah lengkapnya berada pada batas normal. Pada kelinci yang diberi andrographolide (10 mg/kg berat badan) secara intravena, menunjukkan tidak ada respons kardiovaskuler yang abnormal. Uji enzim hati, jantung, ginjal dan limpa juga berada dalam keadaan normal pada hewan coba ini.37

Pada uji toksisitas lainnya, tikus

atau kelinci yang diberi andrographolide atau neoandrographolide dengan dosis 1 gr/kg berat badan secara oral selama 7 hari, menunjukkan tidak ada pengaruh terhadap berat badan, jumlah darah, fungsi hati dan ginjal, serta organ penting lainnya.30

PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas dapat kita ketahui bahwa efek farmakologi sambiloto yang menunjukkan khasiat dan keamanannya sebagai salah satu obat tradisional sudah banyak didukung bukti ilmiah baik uji pre klinik maupun uji klinis. Khasiat yang sudah dibuktikan melalui uji pre klinik hendaknya dilanjutkan ke tahap uji klinis untuk mendukung keilmiahan penggunaannya pada pengobatan formal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sukandar, E. Y. Tren dan Paradigma

Dunia Farmasi: Industri-Klinik-Teknologi Kesehatan. Available from: http://www. itb.ac.id.

2. Sukandar, E. Y. (2004). Sembilan

Tanaman Obat Unggulan Hasil Uji Klinis Badan POM. Available from: http//www. beritabumi.or.id.

3. Prapanza, E. Dan Marianto, L.M. (2003). Khasiat & Manfaat Sambiloto: Raja Pahit Penakluk Aneka Penyakit. AgroMedia Pustaka. Hal: 3–9.

4. Wang, Y. H. (1983). The Pharmacology and Application of Traditional Chinese Medicine. Beijing: People’s Health Press. 5. Sandberg, F. (1994). Andrographidis

Herba Chuanxinlian: A Review. Gothenburg, Sweden: Swedish Herbal Institute. In: The American Botanical Council (USA).

6. Weibo, L. (1995). Prospect for Study on Treatment of AIDS with Traditional Chi-nese Medicine. J. Trad. Chinese Med. 15(1): 3–9.

(6)

8. Lukas, R. (1998). Rahasia Herbalis Cina, Ramuan Tanaman Obat Cina. Pustaka Delapratasa. Jakarta.

9. Yusron, M., Januwati dan Rini, E. P. Budidaya Tanaman Sambiloto. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika. Sirkuler. 11. Available from: http://www.balittro.go.id.

10. Hu, C. Q. dan Zhou B. N. (1982). Isolation and Structure of Two New Diterpenoid Glucosides from Andrographis paniculata Nees. Yao Xue Xue Bao. 17(6): 435–440.

11. Siripong, P., B. Kongkathip, K. Preechanukool, P. Picha, K. Tunsuwan dan W.C. Taylor. (1992). Cytotoxic Diterpenoid Constituents from Andrographis paniculata, Nees leaves. J. Sci. Soc. Thailand. 18(4):187–194.

12. Siripong, P., B. Kongkathip, K. Preechanukool, P. Picha, K. Tunsuwan dan W.C. Taylor. (2003). Andrographis paniculata. Available from: http://www. vitamin-herbuniversity.com.

13. Weiming, C. dan Xiaotion, L. (1982). Deoxyandrographolide 19β-D-glucoside from the leaves of A. paniculata. Planta Medica. 15: 245–246.

14. Tang, W. dan Eisenbrandt, G. (1992). Chinese Drugs of Plants Origin: Chemistry, Pharmacology, and Use in Traditional and Modern Medicine. New York: Springer-Verlag.

15. Zheng, Z. Y. (1982). Pharmakokinetic Studies on 3H-andrographolide. Chinese Herbal Med. 13(9): 33–36.

16. Panossian, A., Ovhannisyan, A. dan Mamikonyan, G. (2000). Pharma-kokinetic and Oral Bioavailability of Andrographolide from Andrographis pani-culata Fixed Combination Kan Jang in Rats and Human. Phytomedicine. 7(5): 351–364.

17. Panossian, A., Ovhannisyan, A. dan Mamikonyan, G. (1979). Wuxi Medicine Institute. Ushow Medical Academy. Acta Bioche-mica Biophysica Sinica. 11.

18. Trivedi, N. P. dan Rawal, U.M. (2001). Hepatoprotective and Antioxidant Property of Andrographis paniculata (Nees) in BHC Induced Liver Damage in Mice. Indian J Exp Biol. 39 (1): 41–46. 19. Shukla, B., Visen, P. K., Patnaik, G. K.

dan Dhawan, B.N. (1992). Choleretic Effect of Andrographolide in Rats and Guinea Pigs. Planta Med. 58 (2): 146– 149.

20. Holt, S. dan Comac, L. (1998). Miracle Herbs: How Herbs Combine with Modern Medicine to Treat Cancer, Heart Disease, AIDS, and More, Caro Publishing Group.

21. Borhanuddin, M., Shamsuzzoha, M. dan Hussain A.H. (1994). Hypoglycaemic effects of Andrographis paniculata Nees on Non-diabetic Rabbits. Bangladesh Med Res Counc Bull. 20 (1): 24–26.

22. Zoha, M. S., Hussain, A. H. dan Choudhury, S. (1989). Antifertility Effect of Andrographis paniculata in Mice. Bangladesh Med Res Counc Bull. 15 (1): 34–37.

23. Wang, H. W., Zhao, H.Y. dan Xiang, S. Q. (1997). Effects of Andrographis pani-culata Component on Nitric Oxide, Endothelin and Lipid Peroxidation in Experimental Atherosclerotic Rabbits. Zhongguo Zhong Xi Yi Jie He Za Zhi. 17 (9): 547–549.

24. Mandal, S. C., Dhara, A. K. dan Maiti, B. C. (2001). Studies on psychophar-macological activity of Andrographis paniculata extract. Division of Pharmacognosy, Department of Pharmaceutical Technology, Jadavpur University, Calcutta, India. Phytother Res. 15 (3): 253–256.

(7)

26. Caceres, D. D., Hancke, J. L., Burgos, P. A. dan Wikman, G. K. (1997). Prevention of Common Colds with Andrographis paniculata Dried Extract. A Pilot double blind trial. Phytomedicine. 4(2): 101–104. 27. Caceres, D. D., Hancke, J. L., Burgos R.

A., Sandberg, F. dan Wikman, G. K. (1999). Use of visual analogue scale measurements (VAS) to asses the effectiveness of standardizing Andrographis paniculata extract SHA-10 in reducing the symptoms of common cold. A randomized double blind-placebo study. Phytomedicine. 6(4): 217–223. 28. Darwin. (2005). Efek Antiadhesi Ekstrak

Sambiloto dan Meloksikam Pascalaparatomi pada Tikus Putih. Thesis. Pasca Farmasi. Universitas Sumatera Utara.

29. Manez, S., Alcaraz, J. J., Paya., Rios, J. L. dan Hancke, J. L. (1990). Selected Extracts from Medicinal Plants as Anti-inflammatory Agents.

30. Yin, J. dan Guo, L. (1993). Contemparory traditional Chinese medicine. Bei-jing:Xie Yuan.

31. Shukla, B., Visen, P. K., Patnaik, G. K. dan Dhawan, B.N. (1992). Choleretic Effect of Andrographolide in Rats and Guinea Pigs. Planta Med. 58 (2): 146– 149.

32. Rangkuty, Z. (2006). Efek Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) terhadap Kontraksi Kantong Empedu Manusia. Thesis. Pasca Farmasi. Universitas Sumatera Utara.

33. Misra, P., Pal, L., Guru, P. Y., Katiyar, J. C., Srivastava, V. dan Tandon, J. S. (1992). Antimalarial Activity of Andrographis paniculata (Kalmegh) Against Plasmodium Berghei NK 65 in Mastomys natalensis. Int. J. Pharmacog. 30(4): 263–74.

34. Zein, U., Ginting, Y., Saragih, A., Hadisahputra, S., Arrasyid, N. K., Yulfi, H. dan Sulani, F. (2004). Antimalaria effect of Chloroquin-Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Combination Compared Chloroquin Alone in Adult Patients of Uncomplicated Malaria Falciparum. e-USU Repository. 35. Deng, W. L. (1978). Outline of Current

Clinical and Pharmacological Research on Andrographis paniculata in China. Newsletters of Chinese Herbal Med. 10: 27–31.

36. Chung, Y. (1979). Andrographis paniculata. Handbook of traditional Chinese Medicine. Guangzhou.

Referensi

Dokumen terkait

Development of Light Mayonnaise Formula Using Carbohydrate-Based Fat Replacement.. Pengaruh Air Perasan Buah Belimbing Wuluh ( Averrhoa bilimbi L.) terhadap Kadar Kolesterol

Batuk adalah gejala paling umum pada penderita bronkhitis, seringkali.. pada penderita bronkhitis mengalami batuk- batuk hampir

kelahiran, atau sampai ibu dan bayi dalam keadaan stabil. 2.) Kunjungan kedua 6 hari pasca

Undang­Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007

Pengawasan Pemerintah Kabupaten Agam dalam Pemanfaatan Sumber Daya Air Danau. M aninjau ………

Hasil penelitian menunjukkan bahwa soal biologi kelas X dan kelas XI sebagai berikut: (1) Kualitas soal Ulangan Akhir Semester (UAS) Biologi tahun pelajaran 2015/2016

Kebijakan penanggulangan kejahatan yang bersifat integral secara umum akan melibatkan berbagai aspek dan tidak semata-mata hanya menggunakan cara hukum melalui

Penelitian yang dilakukan menghasilkan akurasi sistem diagnosa Anorexia Nervosa Menggunakan Finite State Automata sesuai dengan hasil diagnosa sistem pakar dan dapat