• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perancangan buku mengenai simbol-simbol upacara adat Ngalaksa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perancangan buku mengenai simbol-simbol upacara adat Ngalaksa"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Mochamad Irfan Andriansyah Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal Kelahiran : Bandung, 26 Agustus 1988 Status Marital : Menikah

Warga Negara : Indonesia

Agama : Islam

Alamat : kp. Cijengkol Rt02/Rw05, Desa. Wangunsari, Kec. Lembang, Kab. Bandung barat Nomor Telepon : 082116991703

Email : irfan.andriansyah@gmail.com

Pendidikan Formal

 1995 -2001: SD NEGERI 1 PADASUKA  2001-2004 : SMP NEGERI 1 LEMBANG

 2004-2007 : SMA LAB. SCHOOL UPI BANDUNG

 2008-sekarang : Program Sarjana (S-1) Desain Komunikasi Visual UNIKOM

Pengalaman kerja

 Bandung Barat 2007

 Divisi Objek Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung 16 Maret 2011- 16 Mei 2011

Demikian CV ini saya buat dengan sebenarnya.

(3)
(4)
(5)

Laporan Pengantar Tugas Akhir

PERANCANGAN

BUKU

MENGENAI

SIMBOL-SIMBOL

UPACARA ADAT NGALAKSA

DK 38315/ Tugas Akhir Semester II 2011-2012

Oleh:

Mochamad Irfan Andriansyah

51908246

Program Studi Desain Komunikasi Visual

FAKULTAS DESAIN

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

(6)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji serta syukur kehadirat Allah SWT atas berkat,

rahmat serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan

Pengantar Proyek Tugas Akhir dengan judul “Perancangan Buku Mengenai Simbol-Simbol Upacara Adat Ngalaksa”.

Adapun maksud dari penulisan Laporan Pengantar Tugas Akhir ini adalah

sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan Strata 1 (S1) Universitas

Komputer Indonesia, Bandung.

Dalam pembuatan Laporan Pengantar Tugas Akhir ini, penulis tidak

terlepas dari semua kendala dan kekurang baik dalam segi bahasa, pengambilan

bahan untuk penulisan pada saat pembuatan Laporan Pengantar Proyek Tugas

Akhir ini. Oleh karena itu karena itu penulis mengharapkan bantuan berupa

kritikan atau saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak, untuk dapat

melakukan perbaikan di masa mendatang.

Bandung, 14 Juli 2012

(7)

DAFTAR ISI

BAB II EKSISTENSI UPACARA ADAT NGALAKSA DI MASYARAKAT SUNDA ………... 4

II.1 Kebudayaan ... 4

II.1.1 Pengertian Kebudayaan ... 4

II.1.2 Unsur-Unsur dan Wujud Kebudayaan ... 4

II.1.3 Sifat Kebudayaan ………... 5

II.5.2 Penyelenggara Teknis Upacara Ngalaksa ……….. 11

II.5.3 Peralatan dan Perlengkapan Upacara ……….. .. 12

II.5.4 Tahap-Tahap Pelaksanaan Upacara Ngalaksa ………. .. 13

II.6 Maksud dan Tujuan Upacara Adat Ngalaksa ……….…. .. 16

(8)

II.8 Arti Simbolik Setiap Sesaji ……… 18

II.9 Nilai-nilai yang Terkandung dalam Upacara Ngalaksa ………... 20

II.9.1 Nilai Gotong Royong ………..……… 20

II.9.2 Nilai Musyawarah ………..………. 21

II.9.3 Nilai Persatuan, Kesatuan dan Kesetiakawanan ……….………. .. 21

II.9.4 Nilai Pengendalian Sosial ………. . 21

II.12 Perancangan Pembuatan Media Informasi Simbol-simbol Upacara Adat Ngalaksa ……… ... 27

II.13 Upaya Penyelesaian Masalah ……… 28

II.14 Target Audiens ... 28

BAB III STRATEGI PERANCANGAN DAN KONSEP VISUAL ... 29

(9)

III.2.1.4 Tata Letak (Layout) ………... 34

III.2.1.5 Tipografi ……… 37

III.2.1.6 Warna ……… 38

BAB IV MEDIA DAN TEKNIS PRODUKSI……….………....……. 39

4.1 Teknis Produksi Perancangan Buku Informasi Simbol-simbol Upacara Adat Ngalaksa ……….. ... 39

Lampiran 1. Sketsa Simbol Tarawangsa ... 54

Lampiran 2. Sketsa Simbol Sesaji (Parupuyan) ... 54

Lampiran 3. Sketsa Simbol Sesaji (Kendi) ... 55

Lampiran 4. Sketsa Simbol Sesaji (Daun Hanjuang) ... 55

Lampiran 5. Sketsa Simbol Sesaji (Telur) ... 56

Lampiran 6. Sketsa Simbol Selendang... 56

Lampiran 7. Hasil Akhir Visual ... 57

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Dillistone, F.W. 2002. The Power Of Symbols. Yogyakarta: Kanisius.

Kartikasari, Tatiek, dkk. 1991. Pengukuhan Nilai-Nilai Budaya Melalui Upacara

Adat Tradisional (Upacara Kesuburan Tanah “Ngalaksa” dan Upacara Bersih Desa “Syaparan”). Disbudpar.

Koentjaraningrat. 1983. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Bandung: Djambatan.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalis, dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia.

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Langer, Susanne, K. 1957, Problems Of Arts, edition-6, Charles Seribners Sons, New York.

Rostiati, Ani, dkk. 1995. Fungsi Upacara Tradisional Bagi masyarakat Pendukungnya. Bandung: Depdikbud.

Saptono & Bambang Suteng Sulasmono. 2006. Sosiologi. Jakarta: PT. Phibeta Aneka Gama.

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Soeganda, Akip Prawira. 2007. Upacara Adat Di Pasundan. Bandung: CV Wahana Iptek.

Soekanto, Soerjono. 1998. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sony Kartika, Dharsono. 2007. Estetika. Bandung: Rekayasa Sains.

Suparto. 2007. Sosiologi. Jakarta: Literatur Media Sukses.

Triguna, I.B.G.Y. 1997. Mobilitas Kelas, Konflik dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Bali. Desertasi Doktor, Bandung, PPS Universitas Padjadjaran.

Tunggal, Gus Nuril Soko & Khoerul Rosyadi. 2010. Ritual Gus Dur dan Rahasia Kewaliannya. Yogyakarta: Galangpress.

Wibisono, I. Wibowo, 1977, Simbol Menurut Susanne K. Langer, dalam seri Driyarkara 4, Dari Sudut-sudut Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

(11)

Anonim. 2009 (26 Maret). Simbol-simbol Pada Seni Tarawangsa. Tersedia di: http://sunda-duraring.blogspot.com/2009/03/simbol-simbol-pada-seni-tarawangsa.html. Diakses pada 12 Januari 2012

Anonim. 2010 (30 Juli). Wayang Golek Kresna Murka. Tersedia di: http://ngamumule-islam.blogspot.com/2010/05/wayang-golek-kresna-murka.html. Diakses pada tanggal 12 Juni 2012

Anonim. 2010. Motif Batik Mega Mendung. Tersedia di: http://batikcirebonan.wordpress.com/2011/02/25/tentang-motif-batik-mega-mendung/. Diakses pada 12 Juni 2012.

Suherman, Glency. 2012 (16 April). Upacara Ngalaksa. Tersedia di: http://elisabetglency.blogspot.com/2012/04/upacara-ngalaksa.html.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia yang merupakan bangsa multikultural mempunyai karakteristik

budaya yang beragam. Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang mempunyai

unsur budaya. Diantaranya ada macam-macam kesenian, upacara adat, dan

sebagainya yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Kebudayaan yaitu

kebiasaan satu masyarakat yang disampaikan secara turun temurun dari generasi

ke generasi. Hal ini serupa dengan pendapat Koentjaraningrat (Suparto, 2007, 39)

yaitu kebudayaan merupakan semua gagasan dan karya manusia yang harus

dibiasakan dengan belajar secara menyeluruh dari hasil budi pekerti.

Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain untuk hidup

berbaur, bergaul, menjadi suatu masyarakat yang hidup di suatu daerah. Hal ini

sejalan dengan pengertian masyarakat, yaitu kumpulan individu yang memiliki

kepentingan yang sama dengan mempunyai budaya serta lembaga yang khas

(Saptono & Sulasmono, 2006, 35). Dengan hidup berbaur di masyarakat, secara

tidak disadari manusia menciptakan lambang-lambang selaku hasil kebudayaan

untuk komunikasi dengan sesamanya. Macam-macam bentuk lambang yang

merupakan hasil dari kebudayaan salah satunya yaitu ada yang disebut dengan

upacara adat.

Upacara adat merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat. Dukungan

dari masyarakat akan ada selama upacara adat tersebut bisa memenuhi kebutuhan

masyarakatnya baik individu maupun kelompok. Upacara ini akan terlaksana jika

ada kerja sama dari masyarakat, sampai bisa mempererat rasa solidaritas antar

anggota masyarakat.

Di dalam upacara adat mengandung aturan-aturan yang wajib ditaati dan

dilaksanakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, upacara ini merupakan pranata

(13)

bergaul di masyarakat. Selaku pranata sosial, upacara adat penuh dengan

simbol-simbol yang merupakan alat komunikasi manusia, yang menyambungkan dunia

nyata dengan dunia gaib. Upacara adat memiliki simbol-simbol yang berfungsi

sebagai alat komunikasi kepada masyarakat. Simbol adalah gambar, tulisan,

kata-kata, gerakan, warna, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, agama,

pemikiran, benda, ataupun jumlah sesuatu.

(http://elisabetglency.blogspot.com/2012/04) Upacara adat mempunyai ciri-ciri

budaya yang hakiki, yaitu gambaran ikatan suatu bangsa yang mampu menjaga

dan memelihara ragam budaya. Salah satu kekayaan seni budaya di Kabupaten

Sumedang yang masih ada yaitu upacara adat Ngalaksa yang ada di Desa

Rancakalong. Yang dimaksud dengan upacara adat Ngalaksa adalah suatu prosesi

yang dilakukan oleh masyarakat Rancakalong yang bertujuan untuk

penghormatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, alam, dan sesama manusia yang

rasa kebersyukurannya berpusat dewi segala dewi bagi banyak bangsa dunia,

yaitu Dewi Sri (Ibu yang memberikan kehidupan) atau Shang Hyang atau Nyi

Pohaci (Dewi Padi).

(http://www.sumedangkab.go.id) Desa Rancakalong yang ada di Kecamatan

Rancakalong merupakan model satu desa wisata di Jawa Barat yang mempunyai

kekayaan seni budaya, adat, dan tradisi sangat tinggi. Upacara ini diadakan

setahun sekali selama kurang lebih seminggu mulai dari persiapan sampai selesai.

Upacara adat Ngalaksa adalah salah satu tradisi yang sudah dilakukan oleh

masyarakat Rancakalong semenjak berabad-abad silam. Upacara adat Ngalaksa

merupakan suatu kebudayaan yang mencerminkan kehidupan masyarakat

Rancakalong. Hasil wawancara dengan Bapak Sukarma 75 tahun, Rabu 2 Mei

2012, beliau menuturkan bahwa dalam pelaksanaan upacara ini tidak semua

masyarakat ikut melaksanakan, melainkan hanya 75% masyarakat yang

berpartisipasi, karena masih banyak masyarakat yang belum mengetahui maksud

(14)

I.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat

diidentifikasi masalah sebagai berikut :

1. Masyarakat yang mengerti dan memahami upacara adat Ngalaksa hanya 75%

dari keseluruhan masyarakat yang mengikuti pelaksanaan upacara adat

Ngalaksa di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang.

2. Dalam pelaksanaan upacara adat Ngalaksa tidak semua masyarakat

mengetahui simbol-simbol upacara adat Ngalaksa.

3. Masyarakat Rancakalong belum mengetahui makna dan nilai-nilai dari

simbol-simbol dalam Upacara adat Ngalaksa.

I.3 Fokus Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka fokus permasalahannya

adalah “Bagaimana memberitahukan kepada masyarakat agar masyarakat dapat

mempertahankan tradisi upacara adat Ngalaksa melalui perancangan buku

informasi simbol-simbol upacara adat Ngalaksa”.

I.4 Tujuan Perancangan

Perancangan simbol upacara adat Ngalaksa memiliki kepentingan yang ingin

dicapai dalam tujuan pelaksanaan. Tujuan dari perancangan simbol upacara adat

Ngalaksa ini adalah:

1. Untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai simbol upacara

adat Ngalaksa agar masyarakat dapat menjaga dan memelihara tradisi upacara

adat Ngalaksa.

2. Untuk menjaga dan mempertahankan tradisi upacara adat Ngalaksa, serta jika

upacara tersebut tidak dilaksanakan lagi, maka simbol upacara ini

menunjukkan keberadaan upacara adat Ngalaksa.

3. Untuk ikut serta dalam upaya meningkatkan kelestarian budaya Indonesia,

(15)

BAB II

EKSISTENSI UPACARA ADAT NGALAKSA DI MASYARAKAT SUNDA

II.1 Kebudayaan

II.1.1 Pengertian Kebudayaan

Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu buddhayah, bentuk

jamaknya yaitu buddhi yang artinya budi atau akal (Koentjaraningrat, 1984, 9).

Menurut Ki Hajar Dewantara, kebudayaan merupakan buah budi manusia.

Sedangkan C. A. Van Purseun menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan

manifestasi kehidupan setiap manusia dengan sekelompok manusia. A. L.

Kroeben & C. Kluckhohn menjelaskan bahwa kebudayaan adalah sebuah

manifestasi dan penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti luas (Suparto, 2007,

40).

II.1.2 Unsur-unsur dan Wujud Kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat (2002, 203), secara universal kebudayaan manusia

mempunyai tujuh unsur, yaitu:

1. Bahasa

2. Sistem pengajar

3. Organisasi sosial

4. Sistem peralatan dan teknologi

5. Sistem pekerjaan

6. Sistem religi

7. Kesenian

Sedangkan Malinowski (Soekanto, 1998, 192) menyebutkan ada empat unsur

kebudayaan yaitu:

1. Sistem norma yang memungkinkan adanya kerja sama antar anggota

masyarakat untuk adaptasi dengan lingkungannya.

2. Organisasi ekonomi

3. Alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas pendidikan (keluarga

(16)

4. Organisasi kekuatan (politik)

Koentjaraningrat (2002, 186) menjelaskan bahwa paling sedikit ada tiga wujud

kebudayaan yaitu:

1. Wujud kebudayaan selaku suatu kumpulan dari ide-ide, pendapat, nilai-nilai,

norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan berupa suatu kumpulan aktifitas serta perilaku manusia

yang mempunyai pola dalam kehidupan di masyarakat.

3. Selaku barang-barang hasil dari karya manusia.

II.1.3 Sifat Kebudayaan

Setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda, tetapi setiap kebudayaan

memiliki sifat yang umumnya sama dengan kebudayaan yang lain. Menurut

Suparto (2007, 42) menyimpulkan bahwa ada tujuh sifat umum kebudayaan yaitu:

1. Kebudayaan memiliki ragam;

2. Kebudayaan bisa diteruskan secara sosial dengan pengajaran;

3. Kebudayaan diperlihatkan dalam komponen-komponen biologi, psikologi dan

sosiologi;

4. Kebudayaan mempunyai struktur;

5. Kebudayaan memiliki nilai;

6. Kebudayaan memiliki sifat statis dan dinamis;

7. Kebudayaan bisa dibagi ke dalam bidang atau aspek.

II.2 Upacara Adat

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kebudayaan mempunyai tiga

wujud. Adat istiadat merupakan salah satu wujud ideal yang berguna untuk

mengatur perilaku. Koentjaraningrat (1984, 11) membagi adat istiadat menjadi

empat tingkatan, yaitu: 1) tingkat nilai budaya yang merupakan tingkat paling

abstrak; 2) tingkat norma-norma; 3) tingkat hukum; dan 4) tingkat aturan khusus.

Salah satu wujud dari adat istiadat yaitu upacara adat.

(17)

Koentjaraningrat (2002, 377), secara khusus membagi upacara adat menjadi

empat komponen utama, yaitu:

1. Tempat upacara; berkaitan dengan tempat keramat dimana upacara tersebut

dilaksanakan, yaitu bisa di makam, candi, pura, kuil, gereja, masjid dan

sebagainya.

2. Waktu upacara; berkaitan dengan waktu-waktu ibadah, hari-hari keramat dan

suci, dan sebagainya.

3. Kelengkapan dan peralatan upacara; yaitu kelengkapan dan peralatan yang

berupa barang-barang yang dipakai dalam upacara, termasuk patung-patung

yang melambangkan dewa-dewa, peralatan suara seperti lonceng, suling dan

sebagainya.

4. Pemimpin upacara dan pelaku upacara; seperti pendeta, biksu, dukun, dan

sebagainya.

Menurut Koentjaraningrat (2002, 377), upacara adat memiliki bermacam-macam

unsur, diantaranya:

1. Sesajen

2. Pengorbanan/ kurban

3. Berdo’a

4. Makan makanan yang telah disucikan dengan do’a

5. Tari

6. Nyanyi

7. Pawai

8. Menampilkan seni drama suci

9. Puasa

10. Mengosongkan pikiran dengan memakan obat untuk menghilangkan

kesadaran diri

11. Tapa, dan

12. Semedi

II.2.2 Fungsi Upacara Adat

Menurut Rostiati (1995, 4), upacara adat saat ini memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi

(18)

adalah pelaksanaan upacara adat berkaitan dengan pemujaan kepada leluhur, roh,

atau kepada Tuhan untuk meminta keselamatan. Upacara adat memiliki fungsi

spiritual karena upacara adat mampu membangkitkan emosi keagamaan,

menciptakan rasa aman, tentram dan selamat.

Fungsi sosial bermaksud semua yang menyaksikan upacara adat dapat

memperoleh atau menyerap pesan-pesan yang disampaikan dalam upacara

tersebut. Dalam hal ini, upacara adat bisa dipakai sebagai kontrol sosial, iteraksi,

integrasi dan komunikasi antar warga masyarakat, yang akhirnya dapat

mempererat hubungan antar masyarakat.

Fungsi pariwisata bisa terlihat dari banyaknya masyarakat yang datang untuk

menyaksikan upacara. Masyarakat yang datang bisa dari masyarakat lokal (yang

melaksanakan upacara tersebut) dan masyarakat luar (yang hanya menyaksikan

upacara adat tersebut).

II.3 Upacara Adat Ngalaksa

II.3.1 Pengertian Ngalaksa

Tatiek Kartikasari (1991, 19), di dalam bukunya menuliskan bahwa kata ngalaksa

berasal dari bahasa sunda, laksa. Dalam kamus umum bahasa Sunda, arti kata ini

ada tiga macam, yaitu: 1). Nama bilangan untuk menyatakan 10.000 (sepuluh

ribu), 2). Nama sejenis makanan yang serupa dengan bihun (mie putih), hanya

saja ukurannya lebih besar, biasanya dimasak dalam sayur kuning dicampur

oncom dan daun kemangi, 3). Untuk menyatakan ukuran tembakau sebanyak 10

lempeng.

Kata laksa selain memiliki pengertian dalam wujud benda, juga berwujud kiasan,

sehingga menjadi kata laksana, yang berarti tercapai segala yang dicita-citakan.

Sementara itu pengertian ngalaksa dalam kaitannya dengan upacara tradisional

yang akan diuraikan ini pada dasarnya mengandung suatu pemaknaan yang

berganda sifatnya. Pertama arti kata ngalaksa sesuai dengan makna sesungguhnya,

(19)

makanan seperti mie yang putih bening dan panjang-panjang seperti tali. Kedua

mengandung arti kiasan setelah adanya pengimbuhan dalam bahasa sunda untuk

kata laksa ditambah awalan nga dan kemudian akhiran na dan keun sehingga

terbentuk kata ngalaksanakeun yang artinya dalam bahasa Indonesia berarti

melaksanakan. Yang dimaksud dengan melaksanakan di sini adalah melaksanakan

kewajiban untuk berterima kasih kepada Nyi Pohaci.

II.3.2 Asal Mula Upacara Adat Ngalaksa

Di dalam bukunya, Tatiek Kartikasari (1991, 20), menjelaskan Ngalaksa yaitu

salah satu tradisi yang dilaksanakan di Kecamatan Rancakalong yang sifatnya

turun temurun. Kata Ngalaksa berasal dari bahasa Sunda, yaitu laksa yang

merupakan suatu jenis makanan. Jadi Ngalaksa bisa diartikan sebagai suatu

upacara yang membuat makanan dari tepung beras, yang dicampur dengan kelapa,

apu, dan garam. Kemudian dicampurkan dan dibungkus dengan daun congkok.

Setelah itu direbus menggunakan air daun combrang. Rangkaian kegiatan upacara

dari awal hingga akhir diiringi oleh kesenian Tarawangsa.

Tatiek Kartikasari (1991, 21), menerangkan pula bahwa jaman dahulu pada tahun

1620-an, pada jaman pemerintahan Suryadiwangsa di Sumedang, keadaan di

Sumedang sedang sibuk. Saat itu wilayah Sumedang berada dalam kekuasaan

kerajaan Mataram. Karena merasa tidak aman, masyarakat Sumedang melarikan

diri ke dua tempat yang berbeda. Para Aparat Pemerintahan pergi ke Dayeuh

Luhur, sebagian lagi yaitu para Budayawan lari ke Rancakalong.

Saat itu, Kerajaan Mataram memiliki rencana untuk menyerang VOC ke Batavia.

Maka ditentukan bahwa pusat perbekalan perang Kerajaan Mataram ada di

Cirebon yang saat itu dipimpin oleh Dipati Ukur. Bahan pangan, terutama padi di

seluruh wilayah Kerajaan Mataram harus dikirim ke Cirebon. Begitu pun

Sumedang, bahan pangan seperti padi, palawija, dan sebagainya habis semua

diberikan ke Cirebon. Tentunya saat itu di Sumedang mengalami paceklik atau

susah pangan. Melihat keadaan tersebut, masyarakat memiliki inisiatif

mengirimkan utusan ke Cirebon. Ada 13 orang utusan yang dipimpin oleh

(20)

Sumedang. Tetapi setelah 3 tahun ternyata tidak membuahkan hasil. Ini karena

ketatnya pengawasan dari penjaga Cirebon. Para utusan tertangkap, digeledah

pada saat membawa benih padi. Oleh karena itu Jatikusumah meminta kepada

Pemerintah Sumedang untuk mencarikan seniman Tarawangsa. Saat itu

Sumedang langsung mengutus 2 orang seniman Tarawangsa untuk pergi ke

Cirebon. Dengan kepintaran 2 utusan tadi mereka berpura-pura menjadi

pengamen, akhirnya benih padi pun bisa sampai ke Sumedang. Sejak saat itu

masyarakat Sumedang tidak lagi mengalami paceklik karena benih padi yang

ditanam hasilnya selalu baik.

Setelah mengetahui di Rancakalong hasil panen sangat melimpah, diputuskan

Sumedang harus mengirim padi ke Cirebon dalam bentuk makanan yang sudah

matang. Saat itu masyarakat Rancakalong mengolah padi menjadi suatu makanan

yang disebut laksa, serta setiap panen harus menyerahkan ke Cirebon untuk bekal

perang. Sejak saat itu, kebiasaan membuat laksa itu dijalankan setelah panen, serta

mengirimkannya ke Cirebon.

Lama-lama para pembuat laksa meninggal karena usianya yang sudah tua.

Akhirnya semuanya meninggal, meninggalkan 1 anak yang berumur 12 tahun.

Anak tersebut bernama Emod. Selanjutnya diangkat oleh seorang warga Desa

Rancakalong, sampai berumur 35 tahun. Dari Emod berumur 12 tahun hingga 35

tahun, kebiasaan membuat laksa berhenti.

II.4 Upacara Adat Ngalaksa dan Dewi Sri

Tatiek Kartikasari (1991, 58) seperti yang telah disebutkan sebelumnya,

masyarakat Desa Rancakalong terikat oleh norma-norma adat, seperti halnya

kepercayaan kepada Dewi Sri. Wujud konkrit dari kepercayaan kepada Dewi Sri

bisa terihat dari sejumlah upacara adat yang rutin dilaksanakan. Setiap tahap dari

kegiatan bertani, misalnya dari awal menanam padi sampai panen, disertai dengan

oleh upacara-upacara yang lengkap dengan sasajen dan penghormatan kepada

Dewi Sri. Dalam hal ini masyarakat mengharapkan agar Dewi Sri bisa terus

memberikan kemakmuran dalam kehidupan masyarakat Rancakalong, terutama

(21)

Dewi Sri merupakan penjelmaan dari telur yang berasal dari air mata Dewa Anta.

Air mata Dewa Anta yang menetes ke bumi berubah menjadi telur yang salah

satunya disuguhkan untuk Sanghyang Guru. Telur tersebut selanjutnya berubah

menjadi anak perempuan yang bernama Dewi Pohaci atau Dewi Sri. Dewi Sri

disusui oleh dewi Uma (Permaisuri Sanghyang Guru). Di sisi lain, Sanghyang

Wenang yang melihat kecantikan Dewi Sri merasa khawatir jika suatu saat nanti

Dewi Sri akan dijadikan istri oleh Sanghyang Guru. Oleh karena itu, Sanghyang

Wenang memberikan buah Khuldi kepada Dewi Sri. Setelah memakan buah

Khuldi, Dewi Sri sakit parah sampai meninggal dunia. Seminggu setelah

dikuburkannya, dari kuburannya muncul berbagai macam pepohonan yang

memiliki manfaat bagi manusia. Salah satunya dibagian mata muncul pohon padi.

Kepercayaan kepada mitos Dewi Sri setidaknya menimbulkan banyak persepsi,

terutama percaya kepada hal-hal gaib yang bisa berbelok dari ajaran agama Islam

yang dianut oleh masyarakat Rancakalong. Tetapi kepercayaan itu tidak

menimbulkan persepsi-persepsi yang aneh. Masyarakat bisa membuat

batasa-batasan yang bersifat abstrak sehingga kepercayaan kepada hal gaib tidak

berbelok dari ajaran agama Islam.

II.5 Pelaksanaan Upacara Ngalaksa

II.5.1 Waktu Pelaksanaan Upacara

Tatiek Kartikasari, (1991, 26), menerangkan dalam bukunya, bahwa setiap daerah

tentunya memiliki perhitungan mengenai hari bagus dan tidaknya dalam aspek

kehidupannya. Masyarakat disuatu daerah tentunya mengharapkan supaya

diberikan keselamatan dan barokah, misalnya dalam mengadakan suatu kegiatan.

Begitu pun masyarakat Sunda, khususnya masyarakat Desa Rancakalong yang

mayoritas menganut agama Islam. Kepercayaan menganai hari baik dan buruk

masih dipegang kuat. Hal ini tidak lepas dari wawasan filsafat leluhur.

Kepercayaan leluhur seperti itu dipercaya akan mendatangkan manfaat bagi

kehidupan. Pemikiran-pemikiran seperti itu tidak lepas dari pengalaman yang

pernah dialami sebelumnya. Pemikiran dianggap benar, tentu seterusnya dianggap

(22)

Upacara adat Ngalaksa dianggap sebagai kegiatan tradisi yang bersifat sosio

religius. Nilai kemasyarakatan disertai dengan sifat religius tentunya

membutuhkan pemikiran yang matang sehingga fungsi dan maksud adanya

upacara sejalan dengan tujuan diadakannya upacara. Menurut tradisi, dulunya

upacara adat Ngalaksa dilaksanakan 3 atau 4 tahun sekali. Tetapi mulai tahun

1985 setelah para sesepuh adat mengadakan musyawarah dengan Dinas

Kebudayaan dan Pariwista Kabupaten Sumedang, upacara menjadi dilaksanakan

setahun sekali, yaitu pada bulan Juli.

II.5.2 Penyelenggara Teknis Upacara Ngalaksa

Tatiek Kartikasari (1991, 28) dalam pelaksanaan upacara adat Ngalaksa, peserta

dalam upacara tentunya tidak hanya masyarakat lokal yang melaksanakan

upacara, tetapi masyarakat luar pun ikut dalam kegiatan upacara. Dalam upacara

adat Ngalaksa juga demikian. Selain dari peserta inti upacara, yaitu masyarakat

Desa Rancakalong, juga sering dihadiri oleh tamu undangan dan simpatisan, yaitu

masyarakat di luar penduduk resmi, daerah Rancakalong. Masyarakat yang

mepunyai hubungan dengan panitia inti biasanya selalu datang ikut hadir di

tengah-tengah acara untuk berkumpul dengan keluarganya. Kadang-kadang para

simpatisan yang memiliki hubungan dengan masyarakat lokal juga ikut membantu

dan memberi sumbangan berupa makanan dan minuman untuk kebutuhan

upacara.

Menurut Tatiek Kartikasari, (1991, 29), dalam upacara adat Ngalaksa ada yang

disebut penyelenggara teknis, yaitu orang-orang yang terlibat langsung dalam

pelaksanaan upacara, melaksanakan rangkaian upacara. Para penyelenggara teknis

yaitu orang-orang yang mempunyai garis keturunan dengan para sesepuh. Artinya

tugas-tugas yang dikerjakan berupa warisan turun temurun dari generasi tua ke

generasi muda selaku calon penerusnya. Penyelenggara teknis dalam upacara adat

Ngalaksa diantaranya:

1. Ketua Rurukan atau Ketua Kampung, yaitu tuganya memimpin upacara serta

mengatur jalannya upacara. Ketua rurukan yang membuka acara dan diawal

(23)

akan dilaksanakan. Seorang ketua rurukan harus bisa menjaga sehingga

jalannya upacara tidak keluar dari kaidah khususnya dalam upacara;

2. Juru Ijab atau Wali Puhun, yaitu tokoh yang tugasnya selaku mediator yang

mengucapkan mantra-mantra dan do’a untuk roh para leluhur. Juru Ijab harus

hapal mantra dan do’a dalam upacara. Juru Ijab merupakan sesepuh paling tua

dalam jajaran struktur upacara, atau bisa disebut juga ketua adat;

3. Candoli, yaitu tokoh yang tugasnya menunggu dan mengerjakan segala

pekerjaan dan keperluan di tempat penyimpanan sesaji (goah);

4. Saehu, seorang penari sakral khusus dalam upacara. Saehu seperti primadona

diantara penari-penari lain. Ada juga saehu perempuan yang fungsinya hampir

sama dengan saehu laki-laki. Tokoh saehu perempuan ini biasanya istri dari

salah satu sesepuh;

5. Juru tulis, yaitu tokoh yang tugasnya menerima dan mencatat sumbangan dari

warga masyarakat untuk keperluan upacara. Setelah selesai upacara, juru tulis

membagi-bagikan lontong kepada semua peserta upacara sebagai balas jasa;

6. Petugas-petugas lainnya, diantara petugas yang menumbuk padi, membuat

laksa, memasak, merebus, membungkus, dan menerima tamu.

Untuk membedakan antar penyelenggara upacara dengan masyarakat awam

lainnya, setiap petugas memakai tanda khusus, yaitu memakai selendang yang

dipasang dari bahu sebelah kiri ke pinggang sebelah kanan.

II.5.3 Peralatan dan Perlengkapan Upacara

Tatiek Kartikasari (1991, 30), di dalam bukunya menjelaskan, sebelum

melaksanakan upacara, sesepuh-sesepuh sesepuh dan tokoh masyarakat lain

mengadakan dulu rundingan menentukan segala rupa barang-barang yang akan

digunakan dalam upacara. Barang-barang itu berupa bahan olahan, peralatan

untuk mengolah bahan, perlengkapan, serta peralatan untuk sasajen.

1. Bahan olahan, diantaranya: padi yang banyaknya kurang lebih 670 kg, minyak

kelapa, combrang satu kerajang, daun congkok 10.000 lembar, apu 1 kg, daun

cariang 500 lembar, 1 ekor ayam, lalu makanan seperti opak, ranginang,

(24)

2. Peralatan yang diperlukan, diantaranya : tumbukan yang banyaknya 7 buah,

dulang 1 buah untuk membuat adonan, alu yang banyaknya 45 buah, nampan

20 buah, bakul dan keranjang masing-masing 20 buah, tanggungan 20 buah,

kain penutup padi dan beras yang banyaknya 20 lembar, peralatan dapur

seperti piring, gelas, yang jumlahnya tidak ditentukan, minyak tanah 50 liter

dan kayu bakar 10 ikat. Sedangkan khusus peralatan untuk membuat laksa

gencet, yaitu : titihan sepasang, cacadan dari kayu yang panjangnya 5 meter,

sepotong lidi yang panjangnya 1,5 meter, ancak beberapa buah untuk tempat

menyimpan laksa gencet, tungku 1 buah, kancah yang diameternya 60-80 cm

sebanyak 10 buah, tungku yang terbuat dari batang pohon pisang sebanyak 10

pasang, tempat untuk air comrang dan air asem secukupnya;

3. Perlengkapan upacara, diantaranya : baju perempuan dan selendangnya untuk

dipajang yang banyaknya 10 pasang, baju laki-laki 10 pasang, selendang

untuk penari 10 pasang, payung 1 buah, kasur dan alasnya 1 pasang, jentreng

dan tarawangsa 2 buah;

4. Perlengkapan sasajen, diantaranya : minyak kelapa, rampe, kemenyan, tempat

alan untuk wanita berdandan, kendi, telur ayam, beras dan uang yang

disimpan dalam wadah, kunyit yang sudah ditumbuk, dua perangkat pakaian

laki-laki dan perembuan lengkap dengan pusaka keris, selendang sebagai

tanda kepanitiaan dan keperluan tari, makanan ringan berupa kue, opak,

ranginang, dan sebagainya yang banyaknya 9 buah, kelapa muda, dan

sebagainya.

II.5.4 Tahap-Tahap Pelaksanaan Upacara Ngalaksa

Tatiek Kartikasari (1991, 32-51) menerangkan bahwa upacara adat Ngalaksa

dilaksanakan kurang lebih selama tujuh hari. Secara umum upacara dilaksanakan

dalam beberapa tahap utama, yaitu:

1. Babadamian atau Berunding/ Tahap Persiapan

Babadamian atau berunding merupakan tahap persiapan yang dilaksanakan

sebelum diadakan kegiatan upacara. Dalam tahap persiapan ini para sesepuh

dari masyarakat setempat terlebih dahulu mengadakan suatu permusyawaratan

yang maksudnya untuk saling mengingatkan bahwa bahwa sekarang sudah

(25)

melaksanakan upacara adat Ngalaksa. Dalam pertemuan ini segera diadakan

mufakat tentang kapan waktu, tempat dan segala sesuatu yang berkaitan

dengan upacara tersebut.

2. Bewara atau Pengumuman

Bewara disini dimaksudkan untuk menyampaikan hasil perundingan kepada

masyarakat, mulai jadwal pelaksanaan sampai ke perlengkapan apa saja yang

harus dipersiapkan. Selain mempersiapkan perlengkapan upacara, masyarakat

juga menyiapkan fisik dan mental karena suasana pada waktu upacara

meupakan suasana yang sakral.

3. Ijab Kabul

Setelah jadwal pelaksanaan kegiatan upacara disampaikan dalam tahap bewara

oleh sesepuh, di tempat tersebut dilakukan ijab Kabul, yaitu tahap juru ijab

(seorang sesepuh) akan membacakan ijab dan Kabul yang diakhiri dengan baca do’a.

4. Mera

Mera yaitu membagi-bagikan hasil sumbangan dari masyarakat untuk

keperluan acara. Sumbangan ini dikumpulkan selama 10 hari masa jeda dari

ijab Kabul. Sumbangan bisa berupa uang, padi, dan makanan yang

kebanyakan merupakan hasil bertani. Pertama, dibagikan kepada pegawai;

kedua, untuk belanja keperluan upacara; ketiga, buruh untuk para penabuh alat

musik; keempat, untuk bahan membuat laksa.

5. Ngalungsurkeun atau Menurunkan

Setelah selesai mempersiapkan persiapan, tahap pertama yaitu menurunkan

padi yang sebelumnya disimpan di lumbung. Juru ijab membuka tahap

ngalungsurkeun, lalu membakar menyan yang dimaksudkan agar para leluhur

memberi keselamatan selama pelaksanaan upacara. Selanjutnya seorang saehu

laki-laki memulai berkeliling di bangunan utama tempat menyimpan padi

sebanyak 5 kali, diikuti oleh penari lain yang banyaknya 4 orang. Lalu masuk

ke lumbung untuk menurunkan padi ke luar. Selanjutnya diikuti oleh saehu

perempuan dan para pengikutnya. Selama pelaksanaan diiringi oleh alat musik

(26)

6. Nginebkeun atau Menyimpan

Tahap Nginebkeun disini dilakukan oleh saehu perempuan setelah proses tari

yang ditemani oleh saehu laki-laki. Dimulai oleh saehu laki-laki yang berputar

3 kali, diikuti oleh saehu perempuan yang membawa dupa yang berisi sasajen

dan tempat yang berisi beras yang telah melewati proses penumbukkan.

Setelah itu selanjutnya saehu perempuan masuk ke lumbung untuk

menyimpan beras yang telah dibawa.

7. Hiburan

Hiburan ini dilaksanakan pada hari kedua sampai hari keempat. Giliran

pertama oleh para tamu undangan. Diiringi oleh alat musik Tarawangsa.

8. Meuseul atau Menumbuk Padi

Meuseul dalam arti yang sebenarnya adalah memijat. Arti meuseul dalam

upacara adat Ngalaksa maksudnya menumbuk. Meuseul dilaksanakan 2 kali,

pertama yaitu setelah tahap ngalungsurkeun. Kedua, dilaksanakan pada tahap

lekasan. Dalam tahap ini meuseul maksudnya menumbuk beras menjadi

tepung, atau disebut juga proses nipung.

9. Lekasan atau Selesai

Tahap lekasan merupakan tahapan puncak dalam proses upacara adat

Ngalaksa. Lekasan dilaksanakan pada hari kelima atau hari penutupan. Tahap

lekasan terdiri dari:

(1) Ngaguar; mengaduk-ngaduk, membolak balikan beras selama 4 hari.

(2) Nipung

(3) Ngadonan atau membuat adonan; tepung beras dicampurkan dengan bahan

lainnya dalam lesung.

(4) Mungkus atau membungkus; setelah semua adonan selesai, selanjutnya

adonan dibungkus oleh daun congkok yang dibentuk menjadi segitiga.

Setelah itu direbus dan disajikan sambil menari sambil diiringi musik

Tarawangsa.

(5) Ngaleer

Untuk keperluan Ngaleer, disiapkan 9 papan yang panjangnya 1,5 meter,

(27)

yang diolesi oleh minyak kelapa agar mudah untuk membuat ulen laksa.

Adonan yang sudah dibungkus tadi yang berisi beras akan dibuka kembali,

dicampurkan, dibola-balik sampai empuk dan mudah dibentuk. Sedangkan

adonan yang berisi beras bungsu tadi tidak dibuka kembali, tapi dibagikan

kepada para pemberi sumbangan.

II.6 Maksud dan Tujuan Upacara Adat Ngalaksa

Tatiek Kartikasari (1991, 25-26), secara garis besar, menjelaskan bahwa tujuan

utama dari upacara adat Ngalaksa bagi masyarakat Rancakalong yaitu untuk

menjalankan amanat para leluhur Desa Rancakalong sehingga masyarakat bisa

memanjatkan rasa syukur akan hasil sawah mereka, terutama dalam memenuhi

kebutuhan ekonomi dari hasil sawah, yaitu padi sebagai kebutuhan hidup yang

utama.

Secara khusus ada beberapa maksud dan tujuan dilaksanakannya upacara adat

Ngalaksa ini, diataranya:

1. Sarana untuk memuja kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakan alam

beserta isinya.

2. Sarana untuk menghormat kepada Dewi Sri. Bisa disebutkan bahwa padi

merupakan bagian dari kehidupan masyarakat. Padi harus dimanfaatkan dengan

baik, jika tidak, maka akan ada rasa takut pada kebaikan Dewi Sri.

3. Untuk memenuhi amanat dalam mendapatkan keberkahan dari Dewi Sri dari

hasil panen yang melimpah. Hal ini memberikan manfaat yang sangat besar

bagi kelangsungan hidup masyarakat. Oleh karena itu masyarakat

mengharapkan Dewi Sri dekat dengan masyarakat sehingga keberkahan tetap

mengalir kepada mereka.

Selain dari tujuan-tujuan memenuhi kebutuhan emosi religius tadi, upacara ini

juga menjadi sarana untuk menyambung silaturahmi, serta mempererat tali

(28)

II.7 Fungsi Upacara Adat Ngalaksa

Pada dasarnya upacara adat memiliki dua fungsi, yaitu sebagai fungsi spiritual dan

fungsi sosial. Fungsi spiritual dalam upacara adat adalah fungsi yang mengatur

hubungan antara manusia dengan Tuhan dan para leluhurnya, sedangkan fungsi

sosial dalam upacara adat adalah mengatur hubungan anatara manusia dengan

manusia (Rostiati, 1995,105). Pelaksanaan Upacara Adat Ngalaksa secara spiritual

berkenaan dengan kehidupan masyarakat Rancakalong yang merupakan

masyarakat agraris. Masyarakat Rancakalong adalah masyarakat petani, maka

fungsi pertama dari Upacara Adat Ngalaksa ini adalah memuliakan padi sebagai

sumber kehidupan bagi masyarakat Rancakalong. Selain itu, menurut mereka padi

merupakan jelmaan dari seorang dewi yang cantik dan baik, yaitu Dewi Sri atau

Nyi Pohaci.

Di dalam bukunya, Tatiek Kartikasari (1991, 58) menjelaskan bahwa begitu besar

jasa Pohaci dalam menjaga tanaman padi, maka sudah sewajarnya untuk

menghargai Pohaci. Masyarakat Rancakalong mempunyai cara tersendiri dalam

menghargai dan menghormati jasa Pohaci tersebut, yaitu dengan cara mengadakan

suatu Upacara Adat Ngalaksa. Selain untuk menghargai dan menghormati jasa

para Pohaci, Upacara Adat Ngalaksa merupakan suatu wujud terima kasih

masyarakat Rancakalong kepada Tuhan karena telah diberikan hasil panen yang

berlimpah.

Selain mempunyai fungsi spiritual, Upacara Adat Ngalaksa juga mempunyai

fungsi sosial. Dalam hal ini, Upacara Adat Ngalaksa dijadikan sebagai sarana

komunikasi sehingga terjalin suatu hubungan sosial sesama masyarakat.

Pelaksanaan Upacara Adat Ngalaksa dapat dijadikan sebagai alat pemersatu atau

berfungsi sebagai media pergaulan antara sesama masyarakat. Hal ini dapat

terlihat pada saat pelaksanaan Upacara Adat Ngalaksa semua masyarakat

Rancakalong bersatu dan saling bekerja sama, sehingga secara sadar atau tidak

sudah terjalin suatu komunikasi dari proses tersebut baik sebelum maupun saat

(29)

II.8 Arti Simbolik Setiap Sesaji

(http://sunda-duraring.blogspot.com/2009/03) Sudah menjadi ketentuan bahwa

sebelum melaksanakan upacara yang bersifat ritual harus menyediakan bermacam

sesajen dan juga perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan. Sesajen

merupakan simbol dari sebuah bentuk persembahan kepada para dewa, roh atau

arwah nenek moyang, serta pengiring doa-doa agar dewa dan roh nenek moyang

menerima dengan bahagia doa mereka sambil menikmati harumnya bunga dan

asap kemenyan. Hal tersebut juga bertujuan agar mereka mendapatkan kelancaran

dan keselamatan dalam melaksanakan upacara.

Persembahan sesajen juga merupakan suatu bentuk komunikasi manusia dengan

Tuhan Yang Maha Kuasa. Budaya timur zaman dahulu termasuk di Nusantara

mengajarkan keseimbangan hubungan terhadap 3 hal, yaitu:

1. Vertikal ke atas antara manusia dengan Tuhan.

2. Horisontal antara manusia dengan sesama manusia.

3. Vertikal ke bawah antara manusia dengan alam serta hewan dan tumbuhan.

Konon, sesajen merupakan bentuk pengajaran penghargaan terhadap alam, bukan

hanya sebuah teori tapi dengan pelaksanaan secara ritual sehingga jika sebuah

tempat dikeramatkan adalah dengan tujuan agar orang tidak merusaknya. Hal

tersebut juga merupakan satu bentuk wujud rasa terima kasih atas berkah yang

diberikan oleh Tuhan melalui tempat atau benda tersebut, jadi bukan menyamakan

benda tersebut atau tempat tersebut dengan Tuhan. Manusia yang memiliki

keterbatasan membutuhkan sebuah simbol atau tanda dalam mengungkapkan

perasaannya.

(http://sunda-duraring.blogspot.com/2009/03) Segala bentuk kegiatan simbolik

dalam masyarakat tersebut juga merupakan sebuah upaya pendekatan manusia

kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menciptakan, menghidupkan dan juga

menentukan kematian. Jadi simbol-simbol tersebut selain mempunyai pesan-pesan

(30)

(http://sunda-duraring.blogspot.com/2009/03) Dalam perspektif kultural, sesajen

dapat dipandang sebagai adat dan tradisi yang penuh makna. Di dalamnya ada

nilai yang jika dipahami akan menjadikan manusia lebih bersikap arif dan bijak

terhadap Tuhan, sesamanya, alam serta lingkungan sekitar. Hal seperti tersebut

dapat lihat pada beberapa sesajen dan perlengkapan upacara Ngalaksa berikut ini:

1. Parupuyan adalah wadah untuk pembakaran kemenyan. Parupuyan

digambarkan sebagai bentuk dari manusia yang mempunyai nafsu yang

disimbolkan oleh bara api dan kesucian yang disimbolkan dengan asap dari

pembakaran kemenyan. Asap dari pembakaran kemenyan pun mempunyai

pengertian sebagai simbol terhubungnya dunia manusia dengan dunia atas atau

dunia para roh leluhur. Parupuyan mempunyai pengertian bahwa manusia

harus bisa menghilangkan segala hawa nafsunya sehingga bisa mencapai

kesucian untuk dapat menuju dunia atas.

2. Kendi berisi air, Kendi adalah tempat air seperti teko yang terbuat dari tanah

liat. Kendi menggambarkan bumi dan air sebagai sumber kehidupan.

3. Pohon hanjuang, pohon ini bagi masyarakat Sunda mempunyai dua arti.

Pertama, kata hanjuang yang berasal dari kata nga-hanju atau pernafasan

dihubungkan dengan semangat hidup atau sebagai gambaran kehidupan.

Kedua, kata ini berarti nafas terakhir waktu manusia meninggal dunia. Dengan

demikian pohon hanjuang mempunyai arti penting dalam kehidupan dan

kematian manusia dan harus selalu ada dalam setiap upacara religi sebagai

tanda peringatan bagi setiap manusia bahwa hidup akan selalu berakhir

dengan mati.

4. Telur ayam, adalah lambang kebutuhan hidup manusia yang harus selalu

tersedia. Bentuk telur yang bulat melambangkan kebulatan tekad dan cita-cita

manusia. Jika dihubungkan dengan Dewi Sri, maka telur tersebut adalah bagai

air mata Dewa Anta yang jatuh ke bumi dan berubah menjadi telur, kemudian

menetas dan lahir dari dalamnya seorang putri cantik jelita, yaitu Dewi Sri

(31)

yang mempunyai makna bahwa setiap manusia harus mengalami reborn atau

lahir baru.

5. Selendang. (www. http://sunda-duraring.blogspot.com/2009) Selendang yang

digunakan dalam upacara mempunyai empat macam warna yaitu warna merah,

kuning, hijau, dan putih. Setiap warna tersebut menggambarkan

karakter-karakter yang dimiliki oleh manusia, yaitu:

1) Warna merah menggambarkan sifat pemarah, berani, dan angkara murka.

2) Warna kuning menggambarkan kejujuran, kemuliaan, dan sikap

bertanggung jawab.

3) Warna hijau menggambarkan kedamaian dan ketentraman.

4) Warna putih menggambarkan sifat ksatria, suci, dan membela kebenaran.

II.9 Nilai-nilai yang Terkandung Dalam Upacara Ngalaksa

II.9.1 Nilai Gotong Royong

Tatiek Kartikasari (1991, 63) di dalam bukunya juga menjelaskan bahwa, nilai

gotong royong dalam upacara Ngalaksa nampak mulai dari pengumpulan

perlengkapan upacara samai dengan pengerjaanya. Semua dilaksanakan dengan

tertib secara bersama-sama oleh para warga Kecamatan Rancakalong.

Masing-masing warga memberikan sumbangan berupa padi bersama pula. Demikian

halnya juga dengan sumbangan tenaga merupakan penjelmaan dari ikatan batin

setiap anggota yang sangat mendalam. Setiap warga merasa bahwa dirinya adalah

bagian yang terdekat, tidak bisa dipisahkan dari masyarakat yang dicintainya.

Setiap warga sudah memiliki kesadaran sendiri tentang tugas yang dibebankan

kepadanya, sehingga gotong royong yang terkandung dalam upacara Ngalaksa ini

banyak dilandasi oleh asas-asas sebagai berikut:

1. Kepentingan dan kesejahteraan bersama yang diutamakan dan bukan

kepentingan diri sendiri.

2. Adanya rasa kesatuan, cipta, rasa, karsa dan karya melaksanakan segala

(32)

II.9.2 Nilai Musyawarah

Tatiek Kartikasari (1991, 64) menerangkan, ada beberapa aspek dalam

penyelenggaraan upacara Ngalaksa yang mengandung nilai budaya leleuhur,

diantaranya nilai musyawarah yang mendorong terjalinnya integrasi antara

beberapa lapisan masyarakat. Musyawarah merupakan warisan budaya nenek

moyang yang positif dan merupakan unsur sosial yang ada dalam setiap

masyarakat pedesaan.

Dalam hal ini keputusan bersama dalam upacara Babadantenan atau babadamian

tercapai karena semua pihak yang ikut dalam musyawarah mengurangi pendirian

masing-masing sehingga bisa saling mendekati. Dalam pelaksanaannya

musyawarah tersebut akan menentukan bahan, biaya, alat-alat serta tenaga yang

diperlukan untuk pelaksanaan upacara.

II.9.3 Nilai Persatuan, Kesatuan dan Kesetiakawanan

Tatiek Kartikasari (1991, 65) menerangkan pula bahwa pada upacara Ngalaksa

nampak adanya mekanisme sosial yang mengesankan terutama unsur

kesetiakawanan yang kuat diantara anggota masyarakat. Dalam komuniti kecil

seperti masyarakat desa-desa di Rancakalong hubungan kekeluargaan antara satu

warga dengan warga lainnya terjalin begitu erat dan getaran jiwa itu nampak pada

saat anggota masyarakat lainnya memerlukan bantuan. Demikian pula halnya

dalam pelaksanaan upacara Ngalaksa, setiap pekerjaan yang dilakukan bukanlah

untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk kepentingan bersama. Contohnya

pada saat tahap upacara Lekasan. Hal ini melambangkan bahwa setiap gerak dan

perbuatan harus ada dalam satu kesatuan. Sikap masyarakat tersebut menunjukkan

adanya keinsafan, kesadaran, kerukunan dan rasa tanggung jawab dalam

melaksanakan pekerjaan demi kepentingan dan kesejahteraan bersama.

II.9.4 Nilai Pengendalian Sosial

Tatiek Kartikasari (1991, 65) juga menjelaskan, nilai pengendalian sosial upacara

Ngalaksa dalam pelaksanaannya merupakan suatu cara untuk mengatasi terjadinya

penyimpangan-penyimpangan dalam masyarakat setempat. Pengendalian sosial

(33)

upacara berlangsung. Sebagai contoh, bahwa setiap peserta harus patuh dan

mentaati setiap kebiasaan yang telah diadatkan dan diperkuat dengan peraturan

yang selalu disampaikan oleh para sesepuh setiap upacara akan dimulai, antara

lain agar selalu berpakaian bersih dan rapi serta berbuat dan bertutur secara tertib

dan sopan.

Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama upacara itu diganjar dengan

sanksi sosial yang lebih bersifat pengembangan rasa malu dan takut sebagai

bagian dari suatu kolektif yang memiliki pengendalian sosial bersama. Cara ini

bertujuan untuk mendidik masyarakat secara tradisional sehingga mampu

mengembangkan sikap sungkan terhadap lingkungan sosial dan alamnya. Pada

masyarakat Rancakalong pandangan ini dijelmakan menjadi sejumlah

pantangan-pantangan baik dalam sikap maupun dalam perbuatan, misalnya pantangan-pantangan untuk

berbicara tidak sopan, pantangan untuk melakukan perbuatan kasar apalagi

asusila, menyakiti orang lain serta berbagai perbuatan yang dianggap meresahkan

masyarakat dan makhluk-makhluk gaib yang menyertai keberadaan hidup

manusia di dunia.

II.10 Simbol

II.10.1 Pengertian simbol

Secara etimologis menurut Ida Bagus Gde Yudha Triguna (1997, 65), simbol berasal dari kata Yunani ”sym-ballein” yang berarti berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, menyatukan. Simbol merupakan pernyataan dua hal yang

disatukan dan berdasarkan dimesinya. Simbol selain memiliki fungsi tertentu juga

dapat dimanfaatkan sebagai identitas komunitasnya. Suatu simbol menerangkan

fungsi ganda yaitu transenden-vertikal (berhubungan dengan acuan, ukuran, pola

masyarakat dalam berperilaku), dan imanen horizontal (sebagai wahana

komunkasi berdasarkan konteksnya dan perekat hubungna solidaritas masyarakat

pendukungnya).

Menurut Gus Nuril Soko Tunggal & Khoerul Rosyadi (2010, 86) menjelaskan

bahwa dalam bahasa Yunani kata simbol berasal dari kata symbolon atau

(34)

yakni memberi kesan, berarti, dan menarik. Dalam beberapa pengertian simbol

diartikan sebagai: (a) sesuatu yang biasanya merupakan tanda yang terlihat yang

menggantikan gagasan atau objek, (b) kata, tanda atau isyarat, yang digunakan

untuk mewakili sesuatu yang lain seperti arti, kualitas, abstraksi, gagasan, dan

objek, (c) apapun yang diberikan arti dengan persetujuan umum dan atau dengan

kesepakatan atau kebiasaan, (d) simbol sering diartikan secara terbatas sebagai

tanda konvensional, sesuatu yang dibangun oleh masyarakat atu individu dengan

arti tertentu yang kurang lebih standard an disepakati atau dipakai anggota

masyarakat itu sendiri. Arti simbol dalam konteks ini sering dilawankan dengan

tanda ilmiah. Dengan demikian orang berbicara tentang logika simbolik. Dalam

arti yang tepat simbol dapat dipersamakan dengan citra (image) dan menunjuk

pada suatu tanda indrawi dan realitas supraindrawi. Tanda-tanda indrawi, pada

dasarnya, memiliki kecenderungan tetentu untuk menggambarka realitas

supraindrawi. Dalam suatu komonitas tertentu tanda-tanda indrawi langsung dapat

dipahami. Misalnya sebuah tongkat melambangkan wibawa tertinggi.

Sobur (2004, 157) mengatakan bahwa simbol adalah sesuatu yang digunakan

untuk menunjuk sesuatu yang lain berdasarkan kesepakatan kelompok orang.

Simbol meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang

maknanya disepakati bersama. Hubungan antara simbol dengan sesuatu yang

ditandakan dengan adanya sifat yang konvensional. Berdasarkan konvensi itu juga

masyarakat pemakaiannya menafsirkan ciri dan hubungan antar simbol dengan

objek yang diacu dan maknanya. Whitehead (dalam Dilistone, 2002, 18)

mengatakan bahwa simbol berfungsi apabila beberapa komponen pengalamannya

menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan, mengenai komponen-komponen

lain dalam pengalamannya.

II.10.2 Jenis Simbol

Susanne Langer membuat dua macam cara pembedaan simbol, pertama simbol

diskursif (discursive symbol) dan kedua simbol presentasional atau penghadir

(presentational symbol). Simbol diskursif adalah simbol yang cera

(35)

simbol nalar. Penyampaian hal apa yang akan diungkapkan berlangsung secara

berurutan, tidak spontan. Simbol dengan logika modern menganalisis

pertanyaan-pertanyaan. Bahasa adalah satu-satunya yang tergolong dalam simbol diskursif,

baik itu bahasa sehari-hari (languange of ordinary thought), bahasa ilmu

(languange of scientific knowledge) ataupun bahasa filsafat (languange of

philosophical thought). Keempat bahasa ini memiliki konstruksi secara

konsekwen. Dalam simbol diskursif terkandung suatu struktur yang dibangun oleh

kata-kata menurut hukum tata bahasa dan sintaksis. Pengabaian terhadap hukum

tersebut menyebabkan kalimat kehilangan maknanya atau tak dapat dipahami,

terjadi kekaburan makna.

Simbol presentasional ialah simbol yang cara pengungkapannya tidak

memerlukan intelek, dengan spontan ia menghadirkan apa yang dikembangkannya

(Wibisono, 1977, 147). Pemahaman simbolisme persentasional tidak tergantung

kepada hukum yang mengatur hubungan unsur-unsurnya, akan tetapi dengan

intuisi atau perasaan. Simbol presentasional dapat berdiri sendiri sebagai simbol

yang penuh, artinya bukan dibangun deri suatu konstruksi atau secara bertahap,

melainkan suatu kesatuan yang bulat dan utuh. Simbol seperti inilah yang kita

jumpai dalam alam dan kreasi manusia, seperti tarian, lukisan, ornamen, dan lain

sebagainya, maknanya tidak ditangkap dengan logika, tetapi dengan intuisi

langsung. Bentuk kesenian tidak berupa suatu konstruksi atau susunan yang bisa

diuraikan unsur-unsurnya, melainkan suatu kesatuan yang utuh. Tarian atau

lukisan itu ditangkap hanya melalui arti keseluruhan, melalui hubungan antara

elemen-elemen simbol dalam struktur keseluruhan. Sebagai suatu kesatuan yang

bulat dan utuh, bentuk representasional berbicara langsung kepada indra manusia.

Hal ini pertama-tama dan terutama adalah kehadiran langsung dari suatu objek

individual, oleh sebab itu simbol ini tidak dapat diterjemahkan ke dalam

bentuk-bentuk yang lain.

II.10.3 Proses Simbolisasi

Menurut Langer (1976, 41), Proses simbolisasi adalah proses pembentukan

simbol yang merupakan ciri khas manusia. Proses ini tidak terdapat pada binatang,

(36)

terus-menerus dalam akal budinya, oleh sebab itulah manusia dikatakan makhluk

bersimbol. Kebutuhan dasar ini jelas hanya terdapat pada manusia. ”This basic

need, which certainly ISSN obvious only in man, is the need of symbolization”.

Kata simbolisasi mengacu kepada suatu proses atau kegiatan, ada gerak pemikiran

manusia yang dinamis. Karena merupakan proses, terjadi suatu proses perubahan

secara gradual atau bertahap menuju suatu goal (sasaran). Terjadinya simbolisasi

karena adanya peralihan dari dunia pasif impresi semata-mata menuju suatu dunia

yang lain merupakan ekspresi murni dari ide manusia. Proses simbolisasi

menampakkan terjadinya kontak antara manusia sebagai subjek dengan dunia atau

realitas. Sasaran dari proses ini menampakkan ide baru dari wadah simbol (suatu

realitas baru) yang muncul dari interaksi antara akal manusia dengan bahan

mentah yang dipikirkannya.

II.11 Hasil Wawancara

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sukarma (75 tahun), pada hari rabu 5

Mei 2012, sesepuh Rancakalong, mengungkapkan bahwa pemahaman masyarakat

terhadap upacara adat Ngalaksa tidak semua masyarakat mengerti maksud dan

tujuan dari upacara ini. Dari keseluruhan masyarakat, lebih dari 75% yang

mengerti dan memahami maksud dan tujuan upacara Ngalaksa ini, serta ikut

melaksanakan upacara ini, baik kaum muda dan orang tua. Tidak semua kaum

muda mengerti dan memahami upacara adat Ngalaksa, karena seiring

perkembangan jaman mereka telah terpengaruh oleh kebudayaan luar. Sehingga

kaum muda kurang berpartisipasi. Mayoritas panitia pelaksana dan peserta yang

melakukan ritual Upacara Adat Ngalaksa adalah kaum tua. Padahal seharusnya

kaum muda harus lebih berpartisipasi dalam pelaksanaan Upacara Adat Ngalaksa,

karena kaum muda inilah yang nanti akan mewarisi, terus melestarikan dan

melaksanakan Upacara Adat Ngalaksa. Ketidaktahuan masyarakat terhadap

maksud dan tujuan upacara Ngalaksa, membuat masyarakat tidak mengikuti

tradisi ini. Bagi masyarakat yang mengerti maksud dan tujuan upacara ini, tetap

melaksanakan perintah agama juga menjaga adat tradisi leluhur. Karena adat

(37)

untuk menghormati dewi Sri Pohaci yaitu dewi padi. Dalam penghormatan ini

bukan menyembah kepada padi namun melainkan hanya sebuah penghormatan

karena padi yang melimpah tetapi tetap menyembah kepada sang Pencipta yaitu

Tuhan Yang Maha Esa.

Rangkaian upacara Ngalaksa ini dari awal diiringi musik tarawangsa. Alat musik

tarawangsa ini diiringi pula dengan alat musik kecapi. Tarawangsa ini memiliki

arti yaitu ta yang berarti tatabeuhan atau pukulan, ra yang berarti rakyat, wa yang

berarti wali, dan sa yaitu salapan atau sembilan, jadi arti dari tarawangsa adalah

tatabeuhan rakyat wali salapan. Karena di Indonesia yang pertama kali menerima

agama Islam adalah para wali. Peringatan upacara ini diikuti oleh 5 Desa yaitu

Rancakalong, Nagarawangi, Pamekaran, Pasir Biru dan Cibunar. Peringatan

upacara Ngalaksa ini dilaksanakan secara bergiliran setiap tahun. Ini bertujuan

agar tradisi upacara Ngalaksa ini tidak pernah putus dan dapat terjaga dengan

baik, tuturnya.

Beliau juga menuturkan bahwa nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Upacara

Adat Ngalaksa ini sebagai penyambung silahturahmi masyarakat Rancakalong.

Selain itu, Upacara Adat Ngalaksa juga bisa menumbuhkan sikap saling

menghargai, menumbuhkan sikap kekeluargaan, kebersamaan dan memupuk

sikap gotong royong diantara masyarakat Rancakalong, serta adanya nilai religius,

ungkapan rasa syukur atas rizki yang telah diberikan oleh Tuhan yang maha Esa.

Kemudian beliau juga menuturkan bahwa hingga saat ini adat upacara adat

Ngalaksa masih diperkuat, serta peninggalan-peninggalan nenek moyang masih

diperkuat, agama yang diyakini adalah Islam namun adat tradisi leluhur masih

tetap dilaksanakan. Beliau bersama para sesepuh lainnya yang berasal dari daerah

lain di Jawa Barat membuat sebuah persatuan yang diberi nama Duta Sawala,

yang artinya yaitu duta adalah utusan dan sawala adalah musyawarah. Persatuan

tersebut mengadakan rapat yang dilaksanakan hampir satu minggu sekali yang

betujuan untuk mempertahankan budaya Sunda. Karena cita-cita yang utama

adalah tradisi yang sudah ada harus diperkuat dan dikembangkan, dan tradisi yang

(38)

Penuturan beliau juga menjelaskan bahwa Upacara Ngalaksa ini belum memiliki

simbol secara visual.

II.12 Perancangan Buku Mengenai Simbol-simbol Upacara Adat Ngalaksa

Upacara adat Ngalaksa dilaksanakan setahun sekali. Upacara ini dilaksanakan

pada bulan Juli. Pada peringatannya upacara ini dihadiri oleh Bupati Sumedang,

Camat Rancakalong, para tokoh adat dan agama, masyarakat setempat dan para

wisatawan baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Pelaksanaannya

tidak hanya oleh para pemangku adat di lima rurukan, yaitu desa Rancakalong,

Pasir Biru, Cibunar, Pamekaran, dan Nagarawangi, tetapi dibantu oleh desa-desa

lain se-Kecamatan Rancakalong, termasuk Pemerintah Kecamatan dan

Kabupaten. Dengan beragamnya warisan budaya leluhur di Sumedang, seperti

upacara adat Ngalaksa, maka Bupati Sumedang membuat kebijakan Desa

Rancakalong sebagai Desa wisata. Dalam pelaksanaan upacara adat Ngalaksa,

terdapat nilai-nilai yang terkandung dalam upacara tersebut. Seperti nilai spiritual

dan nilai sosial. Nilai-nilai tersebut memiliki simbol-simbol yang menunjukkan

sebuah makna.

Dalam tugas akhir ini, penulis akan membuat perancangan buku mengenai

simbol-simbol upacara adat Ngalaksa. Perancangan buku mengenai simbol-simbol

upacara adat Ngalaksa ini dimaksudkan sebagai penghormatan kepada tanah air,

penghormatan kepada leluhur, penghormatan kepada sesama manusia,

penghormatan kepada bumi, penghormatan kepada alam semesta, penghormatan

kepada Dewi Sri sebagai Dewi ibu pembawa berkah dan kesuburan,

meningkatkan keimanan dan sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan dibuatnya perancangan buku mengenai simbol-simbol upacara adat

Ngalaksa ini, diharapkan kebudayaan nasional ini dapat dikenal oleh masyarakat

khususnya masyarakat Desa Rancakalong, agar warisan kebudayaan ini tetap

terjaga, serta dapat menambah pengetahuan tentang kebudayaan yang ada di

(39)

II.13. Upaya Penyelesaian Masalah

Solusi penyelesaian masalah pada upacara adat Ngalaksa yaitu:

1. Upaya memberikan informasi kepada masyarakat agar mengetahui

simbol-simbol upacara adat Ngalaksa.

2. Dengan perancangan buku mengenai simbol-simbol upacara adat Ngalaksa

ini, diharapkan masyarakat dapat tetap menjaga kelestarian budaya, khususnya

upacara adat Ngalaksa di Desa Rancakalong, Kabupaten Sumedang.

3. Perancangan buku simbol ini dirancang agar masyarakat mengetahui bahwa

upacara adat Ngalaksa itu merupakan warisan leluhur Desa Rancakalong

sebagai penghormatan kepada Dewi Sri Pohaci yang merupakan Dewi

kesuburan.

II.14 Target Audiens

Target audiens yaitu masyarakat sebagai penerima informasi dan pesan mengenai

Upacara Adat Ngalaksa.

1. Geografis

Kota Sumedang sebagai kota dimana Upacara Adat Ngalaksa dilaksanakan.

Daerah sekitar Kota Sumedang dan Jawa Barat umumnya.

2. Demografis

Target audiens yang dituju adalah untuk masyarakat Desa Rancakalong.

3. Psikografis

Psikografis yang dituju adalah masyarakat yang memiliki minat untuk

mempelajari dan tertarik pada kebudayaan tradisional khususnya Upacara

(40)

BAB III

STRATEGI PERANCANGAN DAN KONSEP VISUAL

III.1 Strategi Perancangan

III.1.1 Strategi Komunikasi

Dalam perancangan simbol ini, strategi komunikasi berperan sangat penting

dalam proses penyampaian pesan kepada masyarakat agar dapat diterima dan

dimengerti dengan baik oleh masyarakat. Informasi yang akan disampaikan

kepada masyarakat secara sederhana dengan dukungan unsur-unsur visual.

1. Tujuan Komunikasi

Tujuan komunikasi merupakan suatu hal yang diharapkan dapat dicapai dari hasil

kegiatan yang akan dilakukan, yaitu sebagai berikut:

1) Untuk menginformasikan kepada masyarakat mengenai simbol Upacara Adat

Ngalaksa sebagai salah satu tradisi kebudayaan tradisional Desa Rancakalong,

Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang yang harus dipertahankan.

2) Untuk menghasilkan simbol yang dapat menarik perhatian dan mempengaruhi

masyarakat agar dapat ikut menjaga dan melestarikan kebudayaan Upacara

Adat Ngalaksa.

3) Untuk menjadikan buku ini sebagai media penyampaian informasi tentang

Upacara Adat Ngalaksa yang nantinya diharapkan menjadi media efektif

sebagai media informasi untuk target masyarakat, sehingga mereka dapat

mengetahui maksud dan tujuan dalam Upacara Adat Ngalaksa.

2. Materi Komunikasi

Materi yang disampaikan dalam buku ini adalah mengenai upacara adat Ngalaksa

yaitu tujuan dari upacara adat Ngalaksa, ilustrasi simbol-simbol upacara adat

Ngalaksa beserta narasinya.

3. Pendekatan Komunikasi Visual

Agar buku informasi simbol ini sampai kepada target sasaran dilakukan

pendekatan komunikasi secara visual, yaitu mengilustrasikan simbol-simbol

upacara adat Ngalaksa dengan pendekatan ilustrasi menggunakan unsur-unsur

visual budaya Sunda tradisional, seperti wayang golek dan batik mega mendung.

(41)

ini merupakan upacara adat yang berasal dari daerah Sunda yaitu Desa

Rancakalong Kabupaten Sumedang.

4. Pendekatan Komunikasi Verbal

Pada pendekatan komunikasi secara verbal akan digunakan bahasa Indonesia

formal namun sederhana. Pemilihan bahasa yang sederhana ini ditujukan agar

memudahkan target dalam memahami penjelasan simbol-simbol dari upacara adat

Ngalaksa.

III.1.2 Strategi Kreatif

Strategi yang dilakukan adalah dengan membuat perancangan simbol upacara adat

Ngalaksa, perancangan simbol ini terdiri dari simbol sesaji, dan simbol dari

maksud dan tujuan upacara adat Ngalaksa melalui media buku informasi.

Ilustrasi atau gambar yang digunakan dalam media ini adalah ilustrasi-ilustrasi

dengan gaya ilustrasi realis. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan suasana

visual yang lebih hidup dan nyata.

Media informasi ini berupa buku. Dimana buku ini menerangkan tentang simbol

upacara adat Ngalaksa. Dengan desain yang dibuat sederhana, dapat membuat

simbol menjadi lebih menarik, sehingga informasi yang disampaikan melalui

simbol tersebut dapat mudah diterima oleh masyarakat.

III.1.3 Strategi Media

Media merupakan alat penghubung, perantara, sarana, serta saluran alat

komunikasi untuk menyampaikan pesan yang hendak disampaikan kepada target

dengan perencanaan yang sistematis dan tentunya mengharapkan bahwa media

tersebut dapat diterima dengan baik oleh target.

1. Pemilihan Media

Pemilihan media berfungsi untuk membatasi media yang akan digunakan dalam

perancangan media informasi agar tidak terlalu luas dengan pertimbangan

disesuaikan dengan target yang dituju. Maka pemilihan media yang akan

digunakan haruslah efektif dan tepat audiens. Pendekatan yang dilakukan penulis

(42)

1) Media Utama

Media Utama adalah media utama yang dipakai untuk menyampaikan informasi

kepada target. Media utama merupakan buku yang menjelaskan tentang simbol

upacara adat Ngalaksa. Tampilan buku akan dikemas secara menarik dengan

warna-warna yang menarik yang didominasi ilustrasi untuk menarik perhatian

pembaca. Penyampaian informasi dalam buku berupa rancangan simbol yang

dapat memberitahukan kepada masyarakat tradisi upacara adat Ngalaksa.

Buku ini juga bertujuan memberikan informasi sekaligus menjaga aset

kebudayaan agar tetap terjaga di jaman modern ini. Tampilan visual dibuat

menarik agar target, terutama mereka yang pada awalnya tidak mengetahui sama

sekali mengenai maksud dan tujuan Upacara Adat Ngalaksa dengan dibuatnya

perancangan simbol ini maka masyarakat tersebut menjadi tahu maksud dan

tujuan dari upacara adat Ngalaksa sekaligus mengetahui pula simbol upacara adat

Ngalaksa. Sehingga dapat ikut serta menjaga warisan budaya ini dan dapat

memberikan informasi kepada generasi berikutnya.

Penggunaan media utama dalam media informasi ini dikarenakan:

a. Buku ini menjelaskan tentang simbol upacara adat Ngalaksa. Simbol ini lebih

mendominasi dan juga di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan arti dan

maksud dari simbol tersebut.

b. Buku ini mempunyai ukuran yang tidak terlalu besar, sehingga bisa dibaca

dimana saja, menjelaskan pesan melalui ilustrasi dan mudah diterima oleh

masyarakat.

c. Buku ini berfungsi sebagai media pemberi informasi dan pengingat akan

keberadaan Upacara Adat Ngalaksa dan simbol upacara Adat Ngalaksa.

2) Media Pendukung

Media pendukung digunakan untuk menarik perhatian pembaca selain

menggunakan media utama. Media pendukung merupakan media tambahan bagi

Gambar

Gambar 3. 1. Wayang Golek
Gambar 3.3. Cover Depan Buku
Gambar 3.4. Cover Belakang Buku
Gambar 3.5. Layout Buku
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari Gambar 15 tampak bahwa nilai skala Likert pada responden guru untuk Aspek Tampilan pada Interaksi Pengguna adalah 84% sehingga masuk dalam kategori

Subjek (penderita malaria falciparum) datang dengan status sedang menderita penyakit malaria di wawancarai untuk mengetahui gejala klinis yang dialami oleh subjek,

a) Data yang dihasilkan dari tes diagnostik dua dimensi akan dianalisa menggunakan teknik skor positif- negatif berdasarkan jawaban dan tingkat keyakinan (CRI)

Parameter yang berperan dalam preferensi masyarakat dalam membeli jeruk di Kota Denpasar terdapat 17 parameter.Peranan parameter terbesar terhadap preferensi masyarakat

Adapun alasan mengapa peneliti memilih berita tersebut sebagai subjek penelitian karena berita yang diterbitkan oleh detik.com pada edisi tersebut memberikan

Hasil simulasi model hidrodinamika 2 D pada kondisi muka air pada saat pasang (Gambar 6) menunjukan bahwa arah arus bergerak dari Utara ke Selatan, tetapi

Sampel yang diambil berupa sedimen dan organisme dasar laut pada kelima titik tersebut untuk diamati kandungan logam berat dari jenis Chromium (Cr), Lead (Pb)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kecelakaan lalu lintas per kilometer dengan metode pendekatan EAN (Equivalent Accident Number), dan untuk mengetahui