EFEKTIFITAS PERJANJIAN DAMAI DALAM PENGADILAN (AKTA VAN DADING) TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN
WANPRESTASI DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA (STUDI PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
NIM 090200475
WAHYU SYAH ALAM TAMPUBOLON
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
EFEKTIFITAS PERJANJIAN DAMAI DALAM PENGADILAN (AKTA VAN DADING) TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN
WANPRESTASI DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA (STUDI PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
NIM 090200475
WAHYU SYAH ALAM TAMPUBOLON
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
DISETUJUI OLEH:
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
NIP. 196603031985081001 Dr. Hasim Purba, SH. M. Hum
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Muhammad Hayat, SH
NIP. NIP.
Maria Kaban, SH. M. Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penulisan ... 7
E. Metode Penelitian ... 7
F. Keaslian Penulisan ... 10
G. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAMAI DALAM HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Dan Perjanjian Damai ... 13
B. Perjanjian Damai Menurut Adat Dan Kebiasaan ... 19
C. Perjanjian Damai Dalam KUH Perdata... 22
D. Perjanjian Damai Dalam HIR/ RBG ... 33
E. Perjanjian Damai Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 ... 34
A. Pengertian Penyelesaian Sengketa Alternatif ... 38
B. Jenis-Jenis Penyelesaian Sengketa Alternatif ... 41
C. Mediasi dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 ... 54
D. Latar Belakang Perma Nomor 1 Tahun 2008 ... 57
E. Kebaikan Perma Nomor 1 Tahun 2008 ... 63
BAB IV EFEKTIFITAS PERJANJIAN DAMAI DALAM PENGADILAN (AKTA VAN DADING) TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN WANPRESTASI DALAM PENEGAKAN HUKUM PERDATA (STUDI PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN) A. Kekuatan Mengikat Perjanjian Damai (Akta Van Dading) Bagi Para Pihak Yang Berdamai ... 67
B. Akibat Hukum Atas Akta Van Dading ... 69
C. Pelaksanaan Eksekusi Akta Van Dading ... 71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 82
B. Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 85
ABSTRAK
Konflik merupakan aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih. Suatu perselisihan dapat muncul ke permukaan, antara lain disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan. Pada dasarnya konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara elit dengan masyarakat, dalam hai ini elit bisa pejabat, para pengambil kebijakan, kelompok bisnis, polisi, militer, dan lain-lain. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi di kalangan masyarakat itu sendiri, baik konflik antar agama, suku, golongan, konflik harga diri, harta benda, konflik bisnis, dan lain-lain. Konflik-konflik seperti itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi perlu dicarikan alternatif penyelesaiannya secara tepat, supaya tidak berkepanjangan dan jatuh korban. Salah satu metode untuk menyelesaikan sengketa efektif dan efisien adalah dengan alternative
dispute resolution karena memiliki sistem penyelesaian sengketa dengan cepat
dan berbiaya murah. Dewasa ini perkembangan penyelesaian perkara di pengadilan dengan menggunakan alternative dispute resolution mulai tampak dan dikembangkan di Indonesia. Cara penyelesaian sengketa yang dipilih dengan penerapan lembaga damai dalam proses perkara perdata di pengadilan adalah mediasi, hal ini bertujuan untuk memberikan kepuasan bagi masyarakat pencari keadilan dan dalam rangka pembatasan perkara kasasi yang menumpuk di mahkamah agung. Dalam proses perkara perdata di pengadilan, perdamaian tidak hanya dapat diusahakan hakim pada sidang pertama saja, akan tetapi dapat terus dilakukan sebelum ada putusan. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai kekuatan mengikat perjanjian damai (acte van dading) bagi para pihak yang berdamai, akibat hukum atas acte van dading bagi para pihak yang berdamai, dan pelaksanaan eksekusi atas acte van dading yang dilanggar oleh pihak yang berdamai.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research), penelitian lapangan, dan wawancara. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.
hukum tetap (in kracht van gewijsde), karenanya tidak diperkenankan membantahnya melalui upaya hukum banding. Eksekusi riil merupakan eksekusi terhadap putusan atas tidak dilaksanakannya akta perdamaian pengadilan yakni dimulai dengan adanya permohonan dari pemohon (pihak yang menang) dalam hal putusan telah berkekuatan hukum tetap baik putusan tingkat pengadilan negeri yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan pengadilan tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi dan putusan mahkamah agung dalam hal kasasi.
ABSTRAK
Konflik merupakan aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih. Suatu perselisihan dapat muncul ke permukaan, antara lain disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang diperselisihkan. Pada dasarnya konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara elit dengan masyarakat, dalam hai ini elit bisa pejabat, para pengambil kebijakan, kelompok bisnis, polisi, militer, dan lain-lain. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi di kalangan masyarakat itu sendiri, baik konflik antar agama, suku, golongan, konflik harga diri, harta benda, konflik bisnis, dan lain-lain. Konflik-konflik seperti itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi perlu dicarikan alternatif penyelesaiannya secara tepat, supaya tidak berkepanjangan dan jatuh korban. Salah satu metode untuk menyelesaikan sengketa efektif dan efisien adalah dengan alternative
dispute resolution karena memiliki sistem penyelesaian sengketa dengan cepat
dan berbiaya murah. Dewasa ini perkembangan penyelesaian perkara di pengadilan dengan menggunakan alternative dispute resolution mulai tampak dan dikembangkan di Indonesia. Cara penyelesaian sengketa yang dipilih dengan penerapan lembaga damai dalam proses perkara perdata di pengadilan adalah mediasi, hal ini bertujuan untuk memberikan kepuasan bagi masyarakat pencari keadilan dan dalam rangka pembatasan perkara kasasi yang menumpuk di mahkamah agung. Dalam proses perkara perdata di pengadilan, perdamaian tidak hanya dapat diusahakan hakim pada sidang pertama saja, akan tetapi dapat terus dilakukan sebelum ada putusan. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai kekuatan mengikat perjanjian damai (acte van dading) bagi para pihak yang berdamai, akibat hukum atas acte van dading bagi para pihak yang berdamai, dan pelaksanaan eksekusi atas acte van dading yang dilanggar oleh pihak yang berdamai.
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research), penelitian lapangan, dan wawancara. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.
hukum tetap (in kracht van gewijsde), karenanya tidak diperkenankan membantahnya melalui upaya hukum banding. Eksekusi riil merupakan eksekusi terhadap putusan atas tidak dilaksanakannya akta perdamaian pengadilan yakni dimulai dengan adanya permohonan dari pemohon (pihak yang menang) dalam hal putusan telah berkekuatan hukum tetap baik putusan tingkat pengadilan negeri yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan pengadilan tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi dan putusan mahkamah agung dalam hal kasasi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini berbagai macam konflik atau sengketa sering timbul dalam
masyarakat. Penyebabnya sangat beragam dan multidimensi, seperti karena
masalah ekonomi, politik, agama, suku, golongan, harga diri, dan sebagainya yang
kemudian menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest).1
Konflik menjadi hal yang penting untuk dibahas mengingat semakin
meningkatnya jumlah dan kadar konflik dari hari ke hari, baik yang disertai
kekerasan maupun tidak. Pada dasarnya konflik yang terjadi dalam masyarakat
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu konflik vertikal dan konflik
horizontal. Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara elit dengan
masyarakat. Elit di sini bisa pejabat, para pengambil kebijakan, kelompok bisnis,
polisi, militer, dan lain-lain. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi di
kalangan masyarakat itu sendiri, baik konflik antar agama, suku, golongan, Konflik
merupakan aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau pertentangan antara dua
pihak atau lebih. Suatu perselisihan dapat muncul ke permukaan, antara lain
disebabkan karena masing-masing merasa benar, merasa berhak atas apa yang
diperselisihkan. Sebab kalau salah satu pihak dari yang berselisih merasa bersalah
dan tahu tidak berhak atas sesuatu yang diperselisihkan, maka perselisihan itu
tidak ada atau berakhir ketika ketidak benaran dan ketidak berhakkannya disadari.
1
konflik harga diri, harta benda, konflik bisnis, dan lain-lain. Konflik-konflik
seperti itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi perlu dicarikan alternatif
penyelesaiannya secara tepat, supaya tidak berkepanjangan dan jatuh korban.
Masing-masing konflik yang terjadi belum tentu sama cara penyelesaiannya.
Dalam hal ini setiap masyarakat umumnya mempunyai cara sendiri dalam
menyelesaikan setiap sengketa atau konflik yang dihadapi, mulai dari cara-cara
yang sederhana sampai yang lebih kompleks.
Sebagian besar penduduk Indonesia hidup di pedesaan dimana mereka
merasa dirinya sebagai bagian dari alam sekitarnya (alam semesta). Dengan kata
lain, penduduk senantiasa harus menyesuaikan perilakunya dengan tata hidup
alamiah untuk mencapai kebahagiaan. Sehubungan dengan hal tersebut, mereka
dalam berperilaku memperhitungkan ketentuan-ketentuan gaib yang tidak tampak.
Jika timbul sengketa di antara mereka, jarang sekali dibawa ke pengadilan negeri
untuk diselesaikan. Mereka lebih suka dan dengan senang hati membawa sengketa
ke lembaga yang tersedia pada masyarakat adat untuk diselesaikan secara damai.
Dalam masyarakat hukum adat, penyelesaian sengketa biasanya dilakukan di
hadapan kepala desa atau hakim adat.
Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang
merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas yang
bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan maupun
kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict
of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidak puasannya
pihak pertama, selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, jika reaksi dari pihak
kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda,
terjadi apa yang dinamakan dengan sengketa.2
Penyelesaian perkara dengan menggunakan alternatif dispute resolution
mulai tampak dan dikembangkan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan maraknya
kegiatan perdagangan dunia yang tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa
antar pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan perdagangan tersebut. Dalam kehidupan sosial adanya konflik sudah menjadi hal yang tidak bisa
dipisahkan lagi dari kehidupan sehari-hari, banyaknya kepentingan menyebabkan
lebih banyak konflik, apalagi dalam keadaan masyarakat Indonesia yang
heterogen dan merupakan salah satu negara nerpenduduk paling padat di dunia.
Pencarian berbagai jenis proses dan metode untuk menyelesaikan sengketa yag
muncul adalah sesuatu yang urgen dalam masyarakat. Para ahli non hukum
banyak mengeluarkan energi dan inovasi untuk mengekspresikan berbagai model
penyelesaian sengketa (dispute resolution). Berbagai model penyelesaian
sengketa, baik formal maupun informal, dapat dijadikan acuan untuk menjawab
sengketa yang mungkin timbul asalkan hal itu membawa keadilan dan
kemaslahatan. Pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan
mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki, apakah akan
diselesaikan melalui jalur litigasi (pengadilan) ataupun melalui jalur non litigasi
(di luar pengadilan) dengan menggunakan alternatif dispute resolution, sepanjang
tidak ditentukan sebaliknya dalam peraturan perundang-undangan.
2
Penyelesaian sengketa secara litigasi (melalui pengadilan) dianggap terlalu lama
dalam proses penyelesaian perkara yang dalam dunia bisnis dianggap tidak
menguntungkan dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Salah satu metode untuk menyelesaikan sengketa efektif dan efisien adalah
dengan alternatif dispute resolution karena memiliki sistem penyelesaian sengketa
dengan cepat dan berbiaya murah (quick and lower in time and money to the
parties). Oleh karena sistem penyelesaian sengketa melalui alternatif dispute
resolution yang diatur dalam regleman on de rechtvording tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan perdagangan saat ini, maka dipandang perlu untuk membuat
peraturan perundang-undangan yang baru, yang sesuai dengan kondisi zaman.
Pada 12 Agustus 1999 Pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Sebelumnya masalah ini diatur dalam reglement on de bergerlijke rechtsvordering
S. 1847-52 juncto 1849-63. Ketentuan ini diberlakukan oleh pemerintah Indonesia
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 untuk mengisi kekosongan
hukum. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak hanya mengatur tentang
arbitrase salah satu alternatif penyelesaian sengketa, tetapi diatur juga tentang
alternatif penyelesaian perkara dalam bentuk yang lain seperti negosiasi,
konsiliasi dan mediasi. Sedangkan yang dimaksud dengan alternatif penyelesaian
sengketa adalah pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan
cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi dipengadilan negeri.
Penyelesaian dapat dilakukan sendiri oleh para pihak dalam bentuk negosiasi,
disebut mediasi, lembaga damai atau konsiliasi dan dapat pula dilaksanakan
penyelesaiannya melalui arbitrase.
Istilah peradilan dan pengadilan berasal dari kata dasar adil yang berarti
meletakkan sesuatu pada semestinya. Kata peradilan dan pengadilan mempunyai
arti yang berbeda akan tetapi terkadang dipakai untuk arti yang sama. Peradilan
adalah sebuah sistem aturan yang mengatur agar supaya kebenaran adan keadilan
bisa ditegakkan, sedangkan pengadilan asalah sebuah perangkat organisasi
penyelenggaraan peradilan, dan pengadilan inilah yang biasa disebut lembaga
peradilan.
Dewasa ini perkembangan penyelesaian perkara di pengadilan dengan
menggunakan alternatif dispute resolution mulai tampak dan dikembangkan di
Indonesia. Cara penyelesaian sengketa yang dipilih dengan penerapan lembaga
damai dalam proses perkara perdata di pengadilan, hal ini bertujuan untuk
memberikan kepuasan bagi masyarakat pencari keadilan dan dalam rangka
pembatasan perkara kasasi yang menumpuk di mahkamah agung.
Dalam proses perkara perdata di pengadilan, perdamaian tidak hanya dapat
diusahakan hakim pada sidang pertama saja, akan tetapi dapat terus dilakukan
sebelum ada putusan.3
3
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 66
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulisan
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini,
yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana kekuatan mengikat perjanjian damai (akta van dading) bagi
para pihak yang berdamai?
2. Bagaimana akibat hukum atas akta van dading bagi para pihak yang
berdamai?
3. Bagaimana pelaksanaan eksekusi atas akta van dading yang dilanggar oleh
pihak yang berdamai?
C. Tujuan Penulisan
Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah
yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya tentang
hukum yang mengatur tentang hukum perdata dan hukum acara perdata di
Indonesia. Sesuai permasalahan yang diatas adapun tujuan penulisan skripsi ini
adalah:
1. Untuk mengetahui kekuatan mengikat perjanjian damai (akta van dading)
bagi para pihak yang berdamai?
2. Untuk mengetahui akibat hukum atas akta van dading bagi para pihak
yang berdamai?
3. Untuk mengetahui pelaksanaan eksekusi atas akta van dading yang
D. Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan
dari tujuan penulisan yang telah diuraikan diatas, yaitu:
1. Manfaat secara teoretis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan
masukan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum, khususnya pengetahuan
ilmu hukum keperdataan. Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi
penelitian selanjutnya.
2. Manfaat secara praktis
Secara praktis diharapkan agar penulisan skripsi ini dapat menjadi bahan
masukan bagi masyarakat dan para pihak yang berperan serta yang diharapkan
dapat meningkatkan kesadaran dan perannya dalam memberikan perlindungan
dan kepastian hukum kepada setiap perjanjian damai yang terjadi di Indonesia.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Bambang sunggono menyatakan bahwa dalam penulisan sebuah karya
ilmiah ada 2 (dua) jenis metode penelitian, yaitu:
a. Penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian hukum
doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada
peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain.
Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan
ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak
perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan
sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).4
b. Penelitian yuridis empiris disebut juga dengan penelitian hukum non
doktrinal karena penelitian ini berupa studi-studi empiris untuk
menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai
proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat atau yang disebut
juga sebagai Socio Legal Research.5
Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini
metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris yaitu dengan
pengumpulan data secara studi pustaka (library research) dan penelitian yuridis
empiris.
2. Sumber Data
Data dalam penelitian dapat diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaedah dasar, bahan hukum yang
mengikat seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, HIR, RBg, maupun
peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan kebijakan hukum perdata
dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer seperti Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Sema Nomor 01 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan
Lembaga Perdamaian, Perma Nomor 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur
Mediasi Di Pengadilan, Perma Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur
4
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 81
5
Mediasi Di Pengadilan, Keputusan Ketua MA-RI Nomor
26/KMA/SK/II/2012 Tentang Standar Pelayanan Peradilan.
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris-Indonesia, kamus hukum,
ensiklopedia, karya ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet, dan
lain-lain.
3. Metode pengumpulan data
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka
digunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu
mempelajari dan menganalisis secara sistematis digunakan buku-buku, surat
kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan
bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi
ini. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau yang disebut data sekunder.6
6
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 24
Adapun data sekunder yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi
maupun dari perpustakaan, artikel-artikel yang berkaitan dengan objek peneliitian,
dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan. Di
samping itu ada pun metode pengumpulan data yang lain yaitu Data Primer, data
4. Analisis Data
Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif
yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan
asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik
kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.
F. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi yang berjudul “Efektifitas Perjanjian Damai Dalam
Pengadilan (Akta Van Dading) Terhadap Perbuatan Melawan Hukum Dan
Wanprestasi Dalam Penegakan Hukum Perdata (Studi Pada Pengadilan Negeri
Medan)” adalah hasil pemikiran sendiri. Skripsi ini menurut sepengetahuan,
belum pernah ada yang membuat. Kalaupun ada seperti judul skripsi yang hampir
sama, namun dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan
demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara
moral dan ilmiah. Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat
di perpustakaan fakultas hukum universitas sumatera utara juga telah dilakukan
dan dilewati, maka ini juga dapat mendukung tentang keaslian penulisan.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan menguraikan pembahasan masalah skripsi ini,
maka penyusunannya dilakukan secara sistematis. Skripsi ini terbagi dalam lima
bab, yang sistematikanya sebagai berikut:
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan,
sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAMAI DALAM
HUKUM PERDATA
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang
pengertian perjanjian dan perjanjian damai, perjanjian
damai menurut adat dan kebiasaan, perjanjian damai dalam
KUH Perdata, perjanjian damai dalam HIR/ RBg, perjanjian
damai dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2008.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PENYELESAIAN
SENGKETA ALTERNATIF
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang
pengertian penyelesaian sengketa alternatif, jenis-jenis
penyelesaian sengketa alternatif, mediasi dalam Perma
Nomor 1 Tahun 2008, latar belakang Perma Nomor 1
Tahun 2008, kebaikan Perma Nomor 1 Tahun 2008
BAB IV EFEKTIFITAS PERJANJIAN DAMAI DALAM
PENGADILAN (AKTA VAN DADING) TERHADAP
PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN
PERDATA (STUDI PADA PENGADILAN NEGERI
MEDAN)
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang kekuatan
mengikat perjanjian damai (akta van dading) bagi para
pihak yang berdamai, akibat hukum atas akta van dading,
pelaksanaan eksekusi akta van dading
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang
BAB II
TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAMAI DALAM HUKUM PERDATA
A. Pengertian Perjanjian Dan Perjanjian Damai
Kata perdamaian artinya penghentian permusuhan, tidak bermusuhan,
keadaan tidak bermusuhan, berbaik kembali, tenteram aman. Berdamai, artinya
berbaik kembali, berunding untuk menyelesaikan perselisihan. Mendamaikan atau
memperdamaikan, artinya menyelesaikan permusuhan, merundingkan supaya
mendapat persetujuan.7 Kata damai dipadankan dalam bahasa Inggris peace,
tranquility. Berdamai dipadankan dengan kata be peaceful, be on good terms.
Kata memperdamaikan, mendamaikan dipadankan dengan kata resolve,
peacefully.8 Dalam bahasa Belanda, kata dading diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia menjadi perdamaian, musyawarah. Kata vergelijk dipadankan dengan
kata sepakat, musyawarah atau persesuaian, persetujuan kedua belah pihak atas
dasar saling pengertian mengakhiri suatu perkara.9
Perdamaian merupakan suatu persetujuan di mana kedua belah pihak
dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu
sengketa yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara, dan
persetujuan perdamaian tidak sah melainkan harus dibuat secara tertulis. Dalam
7
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Diolah Kembali Oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm. 259
8
John M. Echols Dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia- Inggris, Jakarta: PT.Gramedia, 1994, hlm. 129
9
persengketaan selalu terdapat dua atau lebih pihak yang sedang bertikai dalam
penyelesaian persengketaan, dapat saja para pihak menyelesaikanya sendiri tanpa
melalui pengadilan misalnya mereka minta bantuan kepada sanak keluarga,
pemuka masyarakat atau pihak lainnya, dalam upaya mencari penyelesaian
persengketaan seperti ini cukup banyak yang berhasil. Namun sering pula terjadi
dikemudian hari salah satu pihak menyalahi perjanjian yang telah disepakati,
untuk menghindari timbulnya kembali persoalan yang sama di kemudian hari,
maka dalam praktek sering perjanjian damai itu dilaksanakan secara tertulis, yaitu
dibuat akta perjanjian perdamaian.
Pengertian perjanjian perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana
kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu
barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah
timbulnya suatu perkara. Perjanjian ini tidaklah sah, melainkan jika dibuat secara
tertulis. Dalam perdamaian tersebut kedua belah pihak saling melepaskan
sebagian tuntutan mereka, demi untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang
bergantung atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara. Dalam prakteknya
suatu perjanjian perdamaian adalah merupakan suatu akta, karena perjanjian
tersebut sengaja dibuat oleh pihak-pihak yang bersangkutan untuk dijadikan alat
bukti dengan tujuan untuk menyelesaiakan sengketa. Akta perdamaian dapat di
bagi dua sebagai berikut:
1. Akta perdamaian dengan persetujuan hakim atau acta van vergelijk.
Pasal 130 HIR menghendaki penyelesaian sengketa secara damai, pasal
pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka.”
Menurut ketentuan Pasal 1858 ayat (1) KUH Perdata, bahwa segala perdamaian di
antara pihak suatu kekuatan seperti putusan hakim dalam tingkat yang
penghabisan. Hal ini pun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR,
bahwa putusan akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap. Sifat kekuatan yang demikian merupakan
penyimpangan dari ketentuan konvensional.
Secara umum suatu putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap, apabila
terhadapnya sudah tertutup upaya hukum. Biasanya agar suatu putusan memiliki
kekuatan yang demikian, apabila telah ditempuh upaya banding dan kasasi.
Namun terhadap putusan akta perdamaian, undang-undang sendiri yang
melekatkan kekuatan itu secara langsung kepadanya. Segera setelah putusan
diucapkan, langsung secara inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap,
sehingga perdamaian itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan
hakim yang berkekuatan hukum tetap.10
Akta perdamaian yang didasarkan atas putusan majelis hakim di
pengadilan sudah mempunyai kekuatan eksekutorial. Apabila salah satu pihak
tidak mentaati atau tidak melaksanakan isi yang tertuang dalam akta perjanjian
perdamaian tersebut tersebut secara sukarela maka dapat diminta eksekusi kepada
pengadilan negeri, sehingga ketua pengadilan negeri memerintahkan pelaksanaan
eksekusi. Putusan tersebut tidak dapat upaya banding maupun kasasi. Menurut
PERMA Nomor 1 Tahun 2008, akta perdamaian adalah akta yang memuat isi
10
kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan
perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar
biasa.
2. Akta perdamaian tanpa persetujuan hakim atau acta van dading.
Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, “dading” adalah suatu perjanjian
(overeenkomst) yang tunduk pada Buku III KUH Perdata, dan oleh karenanya
sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, alinea pertama, dading
sebagai suatu perjanjian, asalkan dibuat secara sah (wettiglijk) mengikat para
pihak yang membuatnya sebagai undang-undang (strekken degenen die dezelven
hebben aangegaan tot wet). Jadi, asalkan dading tersebut, sebagai suatu
perjanjian, dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata
mengenai syarat sahnya perjanjian. Dengan demikian, dading hanya dapat
dibatalkan atau ditarik kembali bilamana:
a. Para pihak yang terikat oleh dading menyepakati pembatalan atau
penarikan kembali kesepakatannya tersebut (met wederzijdsche
toestemming).
b. Atas dasar suatu alasan yang sah yang menurut undang-undang dinyatakan
cukup untuk pembatalan atau penarikan kembali tersebut (uit hoofde der
redenen welke de wet daartoe voldoende verklaart) (Pasal 1338 KUH
Perdata, alinea kedua).
Dalam akta perdamaian terdapat dua istilah acta van dading dan acta van
vergelijk. Kalangan para hakim lebih cenderung menggunakan acta van dading
pengukuhan dari hakim, sedangkan acta van vergelijk adalah akta yang telah
memperoleh pengukuhan dari hakim.
Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi subyek dari perjanjian perdamaian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1852, yang berbunyi “untuk mengadakan suatu
perdamaian diperlukan bahwa seorang mempunyai kekuasaan untuk melepaskan
haknya atas hal-hal yang termaktub di dalam perdamaian itu. Wali-wali dan
pengampu-pengampu tidak dapat mengadakan suatu perdamaian selain jika
mereka bertindak menurut ketentuan-ketentuan dari bab ke lima belas dan tujuh
belas dari buku ke satu kitab undang-undang ini. Kepala-kepala daerah yang
bertindak sebagai demikian begitu pula lembaga-lembaga umum tidak dapat
mengadakan suatu perdamaian selain dengan mengindahkan acara-acara yang
ditetapkam dalam perundang-undangan yang mengenai mereka.”
Obyek perjanjian perdamaian diatur dalam Pasal 1853 KUH Perdata.
Adapun obyek perjanjian perdamaian adalah:
1) Perdamaian dapat diadakan mengenai kepentingan keperdataan yang
timbul dari suatu kejahatan atau pelanggaran. Dalam hal ini, perdamaian
tidak menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut kejahatan atau
pelanggaran yang bersangkutan.
2) Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang tercantum di dalamnya.
Sedangkan pelepasan segala hak dan tuntutan-tuntutan itu berhubungan
dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian tersebut.
Pasal 1851 KUH Perdata, perdamaian yang diadakan di antara para pihak
tertulis dari perjanjian perdamaian yang dimaksudkan undang-undang adalah
bentuk tertulis yang otentik yaitu yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang
untuk itu, yang dalam hal ini adalah notaris. Perjanjian perdamaian secara tertulis
ini dapat dijadikan alat bukti bagi para pihak untuk diajukan ke hadapan hakim
(pengadilan), karena isi perdamaian telah mempunya kekuatan hukum yang tetap.
Pada dasarnya substansi perdamaian dapat dilakukan secara bebas oleh
para pihak, namun undang-undang telah mengatur berbagai jenis perdamaian yang
tidak boleh dilakukan oleh para pihak. Perdamaian yang tidak diperbolehkan
adalah:
a) Perdamaian tentang telah terjadinya kekeliruan mengenai orang yang
bersangkutan atau pokok perkara.
b) Perdamaian yang telah dilakukan dengan cara penipuan atau paksaan.
c) Perdamaian mengenai kekeliruan duduknya perkara tentang suatu alas hak
yang batal, kecuali bila para pihak telah mengadakan perdamaian tentang
kebatalan itu dengan pernyataan tegas.
d) Perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian
dinyatakan palsu.
e) Perdamaian mengenai sengketa yang sudah diakhiri dengan suatu
keputusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti,
namun tidak diketahui oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Akan
tetapi, jika keputusan yang tidak diketahui itu masih dimintakan banding
f) Perdamaian hanya mengenai suatu urusan, sedangkan dari surat-surat yang
ditemukan kemudian ternyata salah satu pihak tidak berhak atas hak itu.
Apabila keenam hal itu dilakukan maka perdamaian itu dapat dimintakan
pembatalan kepada pengadilan.11
B. Perjanjian Damai Menurut Adat Dan Kebiasaan
Perdamaian yang dilakukan oleh para pihak mempunyai kekuatan
mengikat sama dengan putusan hakim pada tingkat akhir, baik itu putusan kasasi
maupun peninjauan kembali. Perdamaian itu tidak dapat dijadikan dengan alasan
pembatalan bahwa kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah
satu pihak dirugikan.
Pada tahun 2005 perjanjian perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditulis dalam satu memorandum of understanding
yang berfungsi sebagai dasar untuk mengundang dan mengimplementasikan
pemerintahan sendiri di Aceh. Perjanjian perdamaian tersebut belum banyak
membicarakan adat, kata tersebut hanya disebut satu kali dalam Pasal 1.1.6 yang
menetapkan bahwa qanun-qanun di Aceh harus “menghormati tradisi sejarah dan
adat istiadat rakyat Aceh”, dan meskipun tidak menyebut kata adat, Pasal 1.1.7
tentang pembentukannya lembaga wali nanggroe juga tidak kalah pentingnya
terhadap proses, revitalisasi lembaga adat di Aceh.
Sebagai tindak lanjut dari kesempatan damai dan untuk meng
implementasikan memorandum of understanding helsinki, pemerintah indonesia
11
telah mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006.
Dalam Undang-Undang tersebut, keberadaan lembaga adat dijelaskan secara lebih
spesifik. Bab XII membicarakan tentang lembaga wali nanggroe dan
memposisikan wali nanggroe sebagai pemimpin adat yang tertinggi di aceh. Bab
XII mendaftarkan 13 (tiga belas) lembaga adat yang harus difungsikan dan
berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan12
Proses umum yang dijelaskan di atas dapat diaplikasikan terhadap hampir
semua kasus di bawah kewenangan peradilan adat, namun ada perlakuan khusus
terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Perlakuan khusus yang
dimaksud adalah adanya upaya dari pemimpin adat agar tersedianya mekanisme
perlindungan. Langkah-langkah perlindungan yang terpenting adalah adanya
upaya untuk memastikan keselamatan korban mulai dari tahap pelaporan perkara,
proses penyidikan dan penyelidikan, sidang peradilan adat sampai pada tahap
setelah upaya damai dilakukan, dimana pemangku adat harus melakukan
pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kekerasan yang berulang setelah
proses damai. Pada saat pemangku adat tidak mampu memberikan jaminan
keselamatan terhadap korban atau adanya ancaman nyawa pada diri korban, maka
pemangku adat harus melaporkan perkara tersebut kepada kepolisian untuk
memastikan bahwa perlindungan terhadap korban bisa diberikan. Namun jika
penyelesaian perkara-perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat
dilakukan dengan prosedur mekanisme adat, maka keterlibatan perempuan dan
12
anak dalam proses penyelesaian perkara tersebut merupakan suatu keharusan
sehingga mereka tidak merasa terancam dan tertekan untuk menerima sebuah
keputusan melalui prosedur adat. Namun tentunya keputusan tersebut mesti
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak baik korban ataupun pelaku, yang
dituangkan dalam sebuah surat perjanjian damai yang isinya menitik beratkan
agar pelaku tidak lagi melakukan tindak kekerasan, jika kekerasan terjadi secara
berulang maka pemangku adat harus mengambil langkah-langkah yang dianggap
penting dalam memberikan perlindungan pada korban, termasuk melaporkan
perkara tersebut ke pihak kepolisian karena mekanisme adat sudah tidak mampu
menyelesaikan perkara tersebut.
Pada saat ada pelaporan perkara dimana pihak yang terlibat atau
korbannya adalah perempuan, seperti perkelahian antar perempuan atau
pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga maka laporan tersebut dapat saja
disampaikan langsung pada istri pemangku adat atau tokoh perempuan setempat,
dan mereka harus memberitahukan perkara tersebut pada pemangku adat bahwa
penyelesaian awal dilakukan oleh istri pemangku adat atau tokoh perempuan,
namun jika langsung dilaporkan pada pemangku adat yang biasanya semua
laki-laki, maka pemangku adat harus menyerahkan perkara tersebut kepada
istri-istrinya atau tokoh perempuan agar melakukan penanganan awal. Upaya ini
menjadi penting karena penanganan awal yang dilakukan oleh perempuan untuk
perkara tersebut akan memudahkan dalam proses komunikasi dan akan sangat
membantu untuk mengetahui duduk persoalan perkara, dimana pengungkapan
perempuan. Jika penanganan awal telah dilakukan, namun tidak ada penyelesaian
perkara, maka keterlibatan perempuan di dalamnya proses persidangan dan
keputusan adat tersebut juga menjadi prioritas. Jika tidak ada perempuan dalam
struktur adat, minimal harus ada pendampingan pada perempuan yang menjadi
korban pada saat persidangan di lakukan.13
C. Perjanjian Damai Dalam KUH Perdata
Jadi dapat disimpulkan perjanjian damai menurut adat dan kebiasaan
adalah perjanjian persetujuan damai antara para pihak yang bersengketa yang
didamaikan oleh pemangku adat setempat, dimana pihak yang bersengketa
berjanji didepan pemangku adat untuk tidak lagi mengulangi perbuatan mereka
yang merugikan masing-masing pihak dan jika perbuatan tersebut di ulangi maka
pemangku adat akan mengambil jalur hukum untuk menyelesaiakan perselisihan
para pihak.
Perjanjian perdamaian disebut juga dengan istilah dading. Perjanjian
perdamaian diatur dalam Pasal 1851-1864 KUH Perdata. Perdamaian adalah suatu
persetujuan antara kedua belah pihak yang isinya untuk menyerahkan,
menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak boleh mengakhiri
suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan untuk mencegah timbulnya suatu
perkara (Pasal 1851 KUH Perdata).14
13
Badruzzaman Ismail, Pedoman Peradilan Adat Di Aceh Untuk Peradilan Adat Yang Adil Dan Akuntabel, Ketua Majelis Adat Aceh Nanggroe Aceh Darussalam, hlm. 21
14
Salim, Hukum Kontrak: Teori Dan Teknik Penyusunan, Cetakan Ke-8, Jakarta: Sinar Gragika,2008, hlm. 92
Definisi lain dari perdamaian adalah
persetujuan dengan mana kedua belah pihak atas dasar saling pengertian
suatu sengketa. Jadi, dalam perjanjian ini kedua belah pihak harus melepaskan
sebagian tuntutan mereka dengan tujuan untuk mencegah timbul masalah.
Perjanjian ini disebut perjanjian formal dan harus tertulis agar sah dan bersifat
mengikat menurut suatu formalitas tertentu.15 Oleh karena itu harus ada timbal
balik pada pihak-pihak yang berperkara. Tidak ada perdamaian apabila salah satu
pihak dalam satu perkara mengalah seluruhnya dan mengakui tuntutan pihak
lawan seluruhnya.16
Mengenai perdamaian diatur Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH
Perdata. Pengertian perdamaian, Pasal 1851 merumuskan perdamaian yaitu suatu
persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan
atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung
ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Dari rumusan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa perdamaian merupakan suatu perjanjian yang disepakati
kedua belah pihak dengan tujuan mengakhiri suatu perkara yang sedang dalam
proses, atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara. Menurut Subekti,
perdamaian merupakan perjanjian formal, karena diadakan menurut suatu
formalitas tertentu, bila tidak maka perdamaian tidak mengikat dan tidak sah.17
1. Adanya persetujuan kedua belah pihak.
Adapun unsur perdamaian beserta syarat dari unsur tersebut terdapat
dalam KUH Perdata Pasal 1851 dan 130 HIR. Dari kedua pasal tersebut empat
unsur, yaitu:
15
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 177
16
Victor M. Situmorang, Perdamaian Dan Perwasitan Dalam Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 3
17
Dalam perdamaian, kedua belah pihak harus saling sama-sama menyetujui
dan suka rela mengakhiri persengketaan. Persetujuan tidak boleh hanya dari
sebelah pihak atau dari hakim, sehingga berlaku persetujuan yang telah diatur
dalam Pasal1320 KUH Perdata:
a. Adanya kata sepakat secara suka rela (toestemming).
b. Kedua belah pihak cukup membuat persetujuan (bekwamheid).
c. Dibuat persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bepaalde onderwerp).
d. Dengan dasar alasan yang diperbolehkan (geoorlosfde oorzaah).
Oleh karena itu dalam suatu persetujuan tidak boleh ada cacat pada setiap
unsur, seperti kekeliruan/kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), penipuan
(bedrog). Sedangkan dalam Pasal 1859 KUH Perdata perdamaian dapat
dibatalkan jika terjadi kekhilafan mengenai orangnya, dan mengenai pokok yang
diperselisihkan. Kemudian dalam Pasal 1860 dikatakan beberapa faktor kesalah
pahaman perdamaian, seperti kesalahpahaman tentang duduknya perkara, dan
kesalahpahaman tentang suatu atas hak yang batal.
2. Kedua belah pihak sepakat mengakhiri sengketa.
Suatu perdamaian yang tidak secara tuntas mengakhiri sengketa yang
sedang terjadi antara kedua belah pihak dianggap tidak memenuhi syarat. Putusan
seperti ini tidak sah dan tidak mengikat kepada dua belah pihak. Perdamaian sah
dan mengikat jika yang sedang disengketakan dapat diakhiri oleh perdamaian
yang bersangkutan.
3. Isi perjanjiannya menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang
Persetujuan perdamaian tidak sah jika dalam bentuk lisan dan harus
bersifat tertulis dan sifatnya biasanya memaksa (imperatif). Maksud diadakan
perjanjian perdamaian secara tertulis adalah untuk menjadi alat bukti bagi para
pihak untuk diajukan ke hadapan hakim. Jika dilihat dari bentuk persetujuan
perdamaian, maka dapat dibedakan dua bentuk format persetujuan perdamaian,
yakni putusan perdamaian dan akta perdamaian.
4. Sengketa tersebut sedang diperiksa atau untuk mencegah timbulnya suatu
perkara (sengketa).
Perdamaian harus didasarkan pada persengketaan yang sedang diperiksa,
karena menurut Pasal 1851 KUH Perdata persengketaan itu sudah berwujud
sengketa perkara di pengadilan dan sudah nyata wujud dari persengketaan perdata
yang akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian yang dibuat oleh para
pihak mencegah terjadinya persengketaan di sidang pengadilan.
Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan perdamaian, namun dalam
Pasal 1852 KUH Perdata telah ditentukan orang yang berwenang untuk
melepaskan hak-haknya atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian.
Sedangkan orang yang tidak berwenang untuk melakukannya adalah para wali
dan pengampu, kecuali jika mereka bertindak menurut ketentuan-ketentuan dari
Bab XV dan Bab XVII dalam buku kesatu KUH Perdata, dan kepala-kepala
daerah dan kepala lembaga-lembaga hukum.
Objek perjanjian perdamaian diatur dalam Pasal 1853 KUH Perdata.
Objek perjanjian perdamaian adalah mengenai kepentingan keperdataan yang
sekali-kali tidak menghalangi pihak kejaksaan untuk menuntut kejahatan atau
pelanggaran yang bersangkutan. Setiap perdamaian hanya menyangkut soal yang
tercantum di dalamnya, sedangkan pelepasan segala hak dan tuntutan-tuntutan itu
berhubungan dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian tersebut.
Pada setiap permulaan sidang, sebelum pemeriksaan perkara, hakim
diwajibkan mengusahakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara.18
Dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas, tidak dijelaskan
secara rinci tentang mekanisme perdamaian yang harus dilaksanakan oleh hakim,
hanya disebutkan bahwa dalam memeriksa suatu perkara perdata, hakim harus
berusaha mendamaikan kedua belah pihak, terlebih dahulu sebelum memeriksa
pokok perkara. Sebenarnya kata-kata ini kurang tepat sebab pada permulaan
sidang umumnya para hakim belum mengetahui secara pasti bagaimana duduk
perkara yang sesungguhnya dan baru diketahuinya apabila pemeriksaan sudah
berjalan, disinilah hakim baru mempunyai gambaran yang jelas tentang duduknya Perdamaian yang dimaksud di sini adalah perdamaian yang dikenal dengan istilah
“dading” dalam praktik hukum acara perdata, yakni persetujuan dalam perjanjian
yang disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa untuk mengakhiri
perselisihan terhadap suatu perkara yang sedang diselesaikan oleh pengadilan.
Perdamaian yang dilaksanakan itu didasarkan kepada Pasal 130 HIR, Pasal 154
RBG dan Pasal 1851 KUH Perdata. Dalam pasal-pasal ini hanya memuat
kewajiban bagi hakim untuk mengadakan perdamaian terlebih dahulu sebelum
memulai memeriksa pokok perkara.
18
perkara dalam sengketa yang disidangkan. Pada saat itulah, waktu yang tepat
untuk mendamaikan kedua belah pihak, hal ini dapat dilaksanakan secara terus
menerus sebelum perkara itu diputus sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal
31 RV. Oleh karena mekanisme dan teknik usaha perdamaian tersebut diserahkan
kepada hakim yang bersangkutan, maka berhasil atau tidaknya usaha perdamaian
tersebut dengan sendirinya akan tergantung pada usaha maksimal dari hakim yang
bersangkutan.
Hakim yang menyidangkan perkara itu harus berusaha semaksimal
mungkin agar para pihak mau berdamai dan mengakhiri sengketa yang sedang
berlangsung. Tidaklah cukup bila hakim yang menyediakan perkara itu hanya
sekedar menanyakan kesediaan berdamai kepada masing-masing pihak. Bila
hakim tersebut aktif memberikan motivasi kepada para pihak yang berperkara,
maka besar kemungkinan usaha perdamaian itu akan berhasil mencapai
kesepakatan. Jika damai berhasil dilaksanakan maka dibuat akta damai yang
selanjutnya bila para pihak memerlukannya dapat ditetapkan sebagai putusan
perdamaian yang mengikat para pihak seperti putusan yang telah inkrah. Dalam
melaksanakan usaha damai persidangan ada beberapa syarat yang harus
diperhatikan oleh hakim dalam melaksanakannya antara lain:
1. Harus ada persetujuan kedua belah pihak
Kedua belah pihak yang bersengketa hendaknya menyetujui secara
sukarela untuk mengakhiri sengketa yang sedang berlangsung di pengadilan.
Persetujuan sukarela itu timbul dari kehendak yang murni kedua belah pihak yang
ini berlaku sepenuhnya Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kata sepakat secara
sukarela antara kedua belah pihak, cara membuat persetujuan itu objek
persetujuan mengenai hal tertentu dan didasarkan alasan yang diperbolehkan atau
causa yang halal.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam persetujuan damai yang dibuat itu
tidak boleh ada cacat pada setiap unsur esensial persetujuan. Dalam persetujuan
itu tidak boleh terkandung unsur-unsur kekeliruan, paksaan dan penipuan. Apabila
suatu persetujuan yang dibuat itu mengandung cacat formil, maka berdasarkan
Pasal 1859 KUH Perdata, persetujuan damai yang dibuat itu dapat dibatalkan
apabila terjadi kekhilafan mengenai orangnya atau pokok yang diperselisihkan.
Demikian juga tentang faktor kesalahfahaman sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 1860 KUH Perdata, yaitu salah paham mengenai duduknya perkara
atau kesalahan dalam menentukan atas hak yang batal dapat merupakan alasan
yang membatalkan putusan perdamaian.
2. Putusan perdamaian harus mengakhiri sengketa
Apabila perdamaian terjadi, maka perdamaian yang sudah terjadi itu harus
mengakhiri semua sengketa menyeluruh dan tuntas. Bila tidak tuntas dan tidak
menyeluruh semua objek yang disengketakan maka persetujuan damai itu tidak
memenuhi syarat formil sahnya suatu putusan perdamaian. Apabila pelaksanaan
damai dilaksanakan secara menyeluruh dan tuntas, dikhawatirkan di kemudian
hari di antara kedua belah pihak yang berperkara akan mengalami sengketa yang
sama untuk diselesaikan di pengadilan sehingga tidak ada kepastian hukum.
betul-betul mengakhiri sengketa yang sedang terjadi antara para pihak yang berperkara
secara tuntas dan harus betul-betul mengakhiri sengketa secara keseluruhan.
Agar putusan perdamaian itu sah dan mengikat para pihak yang
berperkara, maka putusan perdamaian itu dibuat dengan sukarela dan formulasi
perdamaian itu bagi para pihak. Agar hal ini dapat berjalan dengan baik maka
peranan hakim sangatlah menentukan dalam mengajak para pihak untuk berdamai
dan mengakhiri sengketa yang sedang berlangsung di pengadilan.
3. Perdamaian atas sengketa yang telah ada
Dalam Pasal 1851 KUH Perdata dikemukakan bahwa syarat untuk dapat
dijadikan dasar suatu putusan perdamaian adalah sengketa para pihak yang sudah
terjadi, baik yang sudah terwujud maupun yang sudah nyata terwujud tetapi baru
akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak
dapat mencegah terjadinya perkara yang masuk ke pengadilan. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa isi Pasal 1851 KUH Perdata, bahwa perdamamain itu dapat
lahir dari suatu sengketa perdata yang sedang diperiksa di pengadilan maupun
yang belum diajukan ke pengadilan, atau perkara yang sedang tergantung di
pengadilan sehingga persetujuan perdamaian yang dibuat oleh para pihak dapat
mencegah terjadinya perkara di pengadilan.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa putusan perdamaian itu
hanya terjadi dalam sengketa perdata dan persengketaannya secara nyata telah
terwujud secara resmi. Format perdamaian yang diajukan kepada pengadilan
4. Bentuk perdamaian harus tertulis
Dalam Pasal 1851 KUH Perdata juga dikemukakan bahwa persetujuan
perdamaian itu sah jika dibuat secara tertulis. Syaratnya adalah imperatif tidak ada
persetujuan perdamaian apabila dilaksanakan secara lisan di hadapan pejabat yang
berwenang. Akta perdamaian harus dibuat secara tertulis dengan format yang
telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku. Sesuai tahap dibuatnya persetujuan
perdamaian, dikenal 2 (dua) macam bentuk persetujuan:
a. Bentuk putusan perdamaian
Dikatakan persetujuan perdamaian berbentuk putusan perdamaian apabila
terhadap persetujuan dituangkan dalam putusan pengadilan. Dalam hal ini
perselisihan antara kedua belah pihak sudah diajukan ke pengadilan berupa
gugatan perdata. Apabila para pihak sepakat berdamai, persetujuan
perdamaian yang dibuat dimintakan kepada hakim untuk menjadi acuan
putusan pengadilan. Tidak menjadi soal apakah persetujuan itu tercapai
sebelum atau sesudah perkara itu diperiksa pengadilan di persidangan. Pada
dasarnya para pihak boleh meminta putusan perdamaian pada saat permulaan
pemeriksaan, pertengahan atau pada akhir pemeriksaan. Hakim yang
dimintakan untuk menjatuhkan putusan perdamaian haruslah terlebih dahulu
memperhatikan adanya persetujuan perdamaian yang dirumuskan dalam suatu
akta, dan persetujuan perdamaian itu tidak boleh bertentangan atau
menyimpang dari pokok perkaranya. Meskipun yang merumuskan materi isi
persetujuan perdamaian adalah inisiatif para pihak, namun tidaklah
memberikan petunjuk dan dapat berperan sebagai pendamping ketika isi
persetujuan dirumuskan. Adalah penting untuk diperhatikan hakim ada
tidaknya tanda tangan kedua belah pihak dibubuhkan dalam akta persetujuan
yang dibuat. Sekiranya didapati salah satu pihak enggan untuk
menandatangani, hakim haruslah menolak permintaan putusan perdamaian,
dan melanjutkan pemeriksaan perkaranya. Apabila ternyata para pihak telah
bersama-sama menandatangani akta persetujuan dan isi persetujuan
perdamaian itu tidak menyimpang dari pokok perkara yang dipersengketakan,
maka hakim dapat menjatuhkan putusan perdamaian dengan mengambilalih
sepenuhnya isi persetujuan dan dictum atau amar putusan menghukum kedua
belah pihak untuk mentaati dan melaksanakan isi persetujuan perdamaian.
b. Berbentuk akta perdamaian
Jika usaha perdamaian berhasil maka dibuatlah akta perdamaian yang isinya
menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah
dibuat antara mereka.19
19
Ibid.
Jika persetujuan perdamaian terjadi tanpa campur
tangan hakim disebut persetujuan dalam bentuk akta perdamaian. Apabila
yang disengketakan para pihak sudah atau belum diajukan sebagai gugatan
kepengadilan. Misalnya sengketa sudah diajukan sebagai gugatan ke
pengadilan, lalu campur tangan hakim para pihak menghadap notaris
membuat persetujuan damai dalam bentuk akta perdamaian dan dengan
adanya akta perdamaian itu para pihak mencabut perkaranya dari pengadilan
Putusan perdamaian berbeda dengan akta perdamaian, pada putusan
perdamaian melekat kekuatan eksekutorial, sedangkan pada akta perdamaian
tidak melekat kekuatan eksekutorial, dan sewaktu-waktu masih terbuka hak
para pihak untuk mengajukan sebagai gugatan perkara. Seperti telah
dikemukakan terdahulu pada putusan perdamaian melekat kekuatan hukum
yang mengikat kedua belah pihak. Dari bunyi Pasal 1858 KUH Perdata
demikian pun dari isi Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBG dapat ditarik
kesimpulan:
1) Putusan perdamaian disamakan dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
2) Terhadap putusan perdamaian tertutup upaya hukum baik banding maupun
kasasi dan peninjauan kembali, hal ini sejalan dengan pengertian yang
melekat pada suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap. Suatu putusan disebut sebagai putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap ialah putusan yang tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
3) Dalam putusan perdamaian melekat kekuatan hukum mengikat para pihak
atau kepada orang yang memperoleh hak dari mereka. Para pihak tidak
dapat membatalkan putusan perdamaian secara sepihak, dan para pihak
wajib mentaati dan melaksanakan sepenuhnya isi putusan perdamaian.
Sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 9 Nopember 1976
No. 1245.K/Sip/1974 bahwa ”pelaksanaan suatu perjanjian dan tafsiran
suatu perjanjian tidak dapat didasarkan semata-mata atas kata-kata
tujuan yang telah ditentukan dalam perjanjian. Uraian tersebut di atas
menunjukkan apabila ternyata salah satu pihak mengingkari isi putusan
perdamaian, maka pihak yang lain dapat langsung mengajukan
permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri, supaya pihak yang inkar
itu dipaksa memenuhi isi putusan perdamaian, dan jika perlu dapat diminta
bantuan alat negara. Dalam hal ini semua ketentuan eksekusi terhadap
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap berlaku
sepenuhnya terhadap eksekusi putusan perdamaian.20
D. Perjanjian Damai Dalam HIR/RBG
Hukum acara perdata yang berlaku dalam perjanjian damai diatur baik
dalam Pasal 130 Herzien Indonesis Reglement (HIR) maupun Pasal 154
Rechtsreglement Buitengewesten (RBg), mendorong para pihak untuk menempuh
proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses
ini. Dalam ketentuan Pasal 130 HIR hakim wajib mendamaikan para pihak,
meliputi perdamaian dalam persidangan dimana hakim akan membuat akta
perdamaian yang mengikat dan berkekuatan hukum tetap bagi para pihak, dan
perdamaian diluar persidangan dengan terlebih dahulu mencabut gugatan (tidak
mengikat karena hanya sebagai persetujuan dan dapat diajukan gugatan kembali).
Jika pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka hakim
harus berusaha mendamaikan mereka. Pada saat inilah hakim dapat berperan
secara aktif sebagaimana dikehendaki oleh HIR/ RBg. Untuk keperluan
20
perdamaian itu sidang lalu diundur untuk memberi kesempatan mengadakan
perdamaian. Pada hari sidang berikutnya apabila mereka berhasil mengadakan
perdamaian, disampaikanlah kepada hakim di persidangan hasil perdamaiannya,
yang lazimnya berupa surat perjanjian di bawah tangan yang tertulis di atas kertas
bermaterai. Berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah pihak untuk
memenuhi isi perdamaiannya yang telah dibuat antara mereka. Adapun kekuatan
putusan perdamaian ini sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti
putusan-putusan lainnya. Hanya dalam hal ini banding tidak dimungkinkan dan
usaha perdamaian ini terbuka sepanjang pemeriksaan di persidangan. Dalam hal
perdamaian gagal, maka hakim akan melanjutan proses pemeriksaan perkara
dengan pemeriksaan perkara biasa, namun hakim dalam setiap lanjutan
persidangan harus tetap mengupayakan proses perdamaian.
E. Perjanjian Damai Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses
perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.21
21
Pasal 1Ayat 6 Dan 7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
Tidak
ditempuhnya proses mediasi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini
merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg yang
pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara tersebut telah
diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator
yang bersangkutan.22
Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih
dahulu dibebankan kepada pihak pengggugat melalui uang panjar biaya perkara.
Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, biaya pemanggilan para pihak
ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan. Apabila gagal biaya dibebankan
kepada yang kalah.23
1. Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak,
hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.
Tahapan pra mediasi dalam hukum acara perdata menurut
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 dimana terdapat kewajiban
hakim pemeriksa perkara dan kuasa hukum, yakni:
2. Ketidak hadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan
mediasi.
3. Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak,
mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses
mediasi.
4. Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri
berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
5. Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan
kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
22
Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
23
6. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para
pihak yang bersengketa.
7. Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuat akta perdamaian, yang harus
dibacakan terlebih dahulu oleh hakim dihadapan para pihak sebelum
hakim menjatuhkan putusan yang menghukum kedua belah pihak untuk
mentaati isi perdamaian tersebut.24
Setelah adanya tahap pra mediasi ini, maka akan dilakukan tahap
selanjutnya adalah mediasi antara kedua belah pihak yang dimediatori oleh hakim
maupun non hakim. Tahapan mediasi tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk
mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan
resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.
b. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal
memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume
perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.
c. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak
mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dan (6).
d. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat
diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa
40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 3.
24
e. Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan
perkara.
f. Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat
dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.25
Setelah dalam proses mediasi yang dilakukan oleh pihak pengadilan untuk
menyelesaikan sengketa tersebut berhasil maka dibuatlah akta atau putusan
perdamaian untuk bukti perdamaian tersebut. Jika usaha perdamaian tidak
berhasil, hal tersebut harus dicatat dalam berita acara persidangan, selanjutnya
pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat gugatan dalam bahasa
yang dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan menggunakan penterjemah
(Pasal 131 HIR/ Pasal 155 RBg).
Khusus untuk gugatan perceraian, hakim wajib mendamaikan kedua belah
pihak yang bersengketa, yang sedapat mungkin dihadiri sendiri oleh suami-istri
tersebut. Apabila usaha perdamaian berhasil, maka gugatan penceraian tersebut
harus dicabut, apabila usaha perdamaian gagal maka gugatan perceraian diperiksa
dalam sidang yang tertutup untuk umum.
25
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF
A. Pengertian Penyelesaian Sengketa Alternatif
Suatu konflik atau sengketa tidak akan selesai sampai konflik atau
sengketa tersebut terselesaikan. Sebenarnya penyelesaian sengketa secara
damailah yang diinginkan, dimana bertujuan untuk mencegah dan menghindarkan
kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar individu, kelompok,
organisasi, lembaga bahkan antar negara sekalipun. Namun dengan cara
perdamaian haruslah dengan hati yang lapang menerima segala kesepakatan yang
disetujui dan dengan cara damai haruslah adil dimana yang berhak mendapatkan
dialah yang berhak mendapatkan, dan yang tidak berhak mendapatkan haruslah
menerima kalau hal yang dipermasalahkan bukan menjadi haknya.26
Penyelesaian sengketa sifatnya adalah segera, karena jika tidak segera
ditanggapi dengan tanggap maka permasalahan atau sengketa akan semakin
memuncak dan masalah bisa menjadi semakin besar dan mengakibatkan adanya
kekerasan diantara kedua belah pihak tersebut. Perselisihan dan sengketa diantara
dua pihak yang melakukan hubungan kerjasama mungkin saja terjadi. Terjadinya
perselisihan dan sengketa ini sering kali disebabkan apabila salah satu pihak tidak
menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dengan baik ataupun karena ada pihak
yang wanprestasi, sehingga merugikan pihak lainnya. Secara umum pengertian
26
penyelesaian sengketa adalah rangkaian proses untuk menyesaikan suatu sengketa
dengan suatu cara atau metode yang digunakan untuk mencari akar permasalahan
dan juga untuk mencari solusi atas permasalahan yang telah menjadi sengketa.
Metode yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa ini biasanya bisa
berbentuk penyelesaian sengketa secara melalui lembaga peradilan maupun
melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa.
Seiring dengan reformasi di lembaga-lembaga peradilan yang tidak lain
untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan yang
ada, untuk memaksimalkan proses penyelesaian sengketa, maka dikembangkan
alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution) yang merupakan
pengembangan budaya dari masyarakat dalam upaya-upaya penyelesaian konflik,
yang kemudian diatur tentang pengembangan kelembagaannya melalui landasan
hukum yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbritase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam undang-undang tersebut tidak mengatur
bagaimana jika kesepakatan alternative dispute resolution tersebut ternyata
kemudian hari diingkari oleh salah satu pihak. Ketentuan dalam undang-undang
tersebut ditujukan untuk mengatur penyelesaian sengketa di luar forum pengadilan
dengan memberikan kemungkinan dan hak bagi para pihak yang bersengketa
untuk menyelesaikan persengketaan atau perselisihan atau perbedaan pendapat
diantara para pihak dalam forum yang lebih sesuai dengan maksud para pihak.
Suatu forum diharapkan mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa.
Sebagaimana judulnya yang lebih menekankan pada arbitrase dapat dilihat bahwa
mengenai ketentuan arbitrase sedangkan ketentuan mengenai alternatif
penyelesaian sengketa selain arbitrase itu sendiri hanya diatur dalam satu pasal
yaitu Pasal 6.27
Model penyelesaian konflik melalui alternative dispute resolution di
Indonesia bukan hal yang baru lagi karena sudah membudaya dan lama
dipraktekkan oleh masyarakat dalam penyelesaian sengketa. Pada masyarakat
Amerika Serikat, banyak sekali pengusaha yang lebih memilih menyelesaikan
sengketa kontrak di luar pengadilan. Alternatif dispute resolution yang jika
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti penyelesaian sengketa alternatif
adalah suatu proses penyelesaian sengketa non litigasi dimana para pihak yang
bersengketa dapat membantu aatau dilibatkan dalam penyelesaian persengketaan
tersebut atau melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral.
28
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa mengartikannya sebagai lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni
penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi atau penialaian ahli (Pasal 1 Ayat 10). Undang-undang ini juga
menjelaskan mengenai penyelesaian sengketa atau beda pendapat antara
hubungan hukum tertentu yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa
atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum
tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui penyelesaian
27
Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis: Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2001, hlm.1
28