• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Kinerja Pemberantasan Korupsi Dalam Bidang Penindakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Kinerja Pemberantasan Korupsi Dalam Bidang Penindakan"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

KATA PENGANTAR Bismillahirahmaanirahim

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat serta anugrah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Efektivitas Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Bidang Penindakan.” Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhamad SAW, yang telah mengenalkan tentang tujuan hidup yang sebenarnya.

Selanjutnya, dalam kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Dr. Asep Saefuddin Jahar, MA selaku Dekan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta.

2. Drs. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH selaku ketua program studi Ilmu Hukum, Ibu Euis Nurlaelawati, MA., Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik atas segala petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.

3. Drs. H.A Basiq Djalil, SH., MA dan Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah membimbing dan mengarahkan hingga selesai penulisan skripsi ini.

4. Segenap Dosen serta staf karyawan fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

vii

selalu berusaha dan berdoa memberikan yang terbaik untuk penulis., semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan Iman Islam dan mengasihi keduanya.

7. Permata hatiku kedua Putri ku Shahzanan dan Aqila serta adik-adik ku, Farwah, Hanunah, Jawad, Qaswar, dan Zahira serta keluarga besar yang selalu memberikan doa untuk kesuksesan penulis.

8. Habib Alidien Assegaf dan semua anggota Majlis pengkajian atas segala doa dan bantuannya.

9. Keluarga besar Sayyid Ali bin Hassan Alkaff untuk segala doa dan dukungan untuk penulis.

10. Keluarga besar Habib Rizieq bin Hussein Syihab dimana telah memberikan petunjuk serta amanah untuk penulis supaya melanjutkan pendidikan dalam bidang ilmu hukum.

11. Sahabat spesial saya Ahmad Farobi, Irfan Kamil Siregar, Benu Pangestu, Ali Abubakar Alattas,Ahmad Zaki Alattas, Ibrahim Alattas, Ahmad Yusuf Alaydrus, Abdullah Umar Alkaff yang telah memberikan semangat dan waktunya untuk memberikan dukungan moril bagi penulis.

(8)

viii

Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan segenap para akademisi dan masyarakat pada umumnya.

Jakarta Maret 2015

(9)

ix

HALAMAN JUDUL... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... iii

LEMBAR PERNYATAAN... iv

ABSTRAK... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang Masalah………. 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah………... 4

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian………. 4

D. Metode Penelitian……….. 5

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu………. 9

BAB II NEGARA HUKUM, DEMOKRASI, dan PEMBERANTASAN KORUPSI………... 13

A. Pengertian Negara Hukum..……… 13

B. PengertianDemokrasi………….. ……… 18

C. Pengertian dan Pemberantasan Korupsi ...………20

D. Peradilan Tindak Pidana Korupsi ………... 26

(10)

x

A. Latar Belakang Berdirinya……… 31

B. Tugas dan Wewenang………. 37

C. Struktur Organisasi………. 42

BAB IV EFEKTIVITAS KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENINDAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI…….. 49 A. Larangan Korupsi dalam Al-Qur’andan Hadits... 49 B. Penindakan Tindak Pidana Korupsi Oleh KPK Menurut Sistem

Hukum Indonesia... 50 C. Efektivitas Penindakan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi……… 55

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……… 68

B. Saran……….. 69

(11)

xi

1. Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi 2. TEMPO, Edisi 4 Januari 2009

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu masalah yang sangat serius terjadi di Indonesia adalah masalah korupsi. Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai momok yang dapat membawa kehancuran bagi perekonomian Negara. Diakui atau tidak, praktik korupsi yang terjadi dalam bangsa ini telah menimbulkan banyak kerugian tidak saja bidang ekonomi, maupun juga dalam bidang politik,sosial budaya,maupun keamanan.1

Untuk menanggulangi masalah korupsi ini, pemerintah membuat sebuah Badan Anti Korupsi yang independen. Kemandirian Badan Anti Korupsi sangat diperlukan untuk memungkinkan badan tersebut melaksanakan fungsi-fungsinya secara efektif dan mandiri.2

Ide pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya diawali oleh Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan itu mengamanatkan kepada DPR dan pemerintah untuk lebih progresif dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.3

1

Deni Setyawati,KPK Pemburu Koruptor, Cet I, (Yogyakarta: Pustaka Timur 2008), hal. 1

2

(13)

Amanat pembentukan KPK termuat dalam aturan peralihan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Cikal bakal KPK semakin jelas dengan disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.4

Sepanjang 2013, jumlah laporan pengaduan masyarakat yang telah ditelaah, dilakukan tindak lanjut ke pihak-pihak terkait. Pertama, terdapat 581 laporan masyarakat yang diteruskan ke Internal KPK. Kedua, 222 laporan masyarakat yang diteruskan dengan penyampaian surat kepada instansi berwenang. Ketiga, 1.737 laporan masyarakat yang disampaikan kembali ke pelapor untuk dimintakan keterangan tambahan dan berkas-berkas yang masih dalam proses telaah dan perbaikan hasil telaah.5

Kegiatan penyelidikan KPK pada tahun 2013 dilaksanakan terhadap 81 kasus. Sementara itu, kegiatan penyidikan dilaksanakan sebanyak 102 perkara, yang terdiri dari perkara sisa tahun 2012 sebanyak 32 perkara dan perkara tahun 2013 sebanyak 70 perkara. Kegiatan penuntutan dilaksanakan sebanyak 73 perkara, yang terdiri dari perkara sisa tahun 2012 sebanyak 32 perkara dan perkara 2013 sebanyak 41 perkara.6 Jika kita mengacu pada data di atas, maka dari 581 laporan yang diteruskan ke

3

Selanjutnya penulis akan menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi dengan singkatan KPK.

4

Selanjutnya penulis akan menyebut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan singkatan UU PTPK.

5

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahun 2013, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2014), hal.68.

6

(14)

3

internal KPK, hanya 41 perkara yang sampai pada proses penuntutan. Ini berarti hanya sekitar 7% perkara yang dapat ditangani KPK sampai ke tahap penuntutan.

Sistem pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK terus mengalami kemajuan yang signifikan, terutama dalam hal sasaran pelaku korupsinya. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya para kader partai politik pengusung pemerintah yang menjadi tersangka kasus korupsi, seperti yang terjadi pada para kader partai yang memenangi pemilu 2009. Hal tersebut merupakan penerapan semangat anti korupsi yang digalakan oleh pemerintah periode 2009 sampai 2014, dimana fokus pemberantasan korupsi menjadi hal yang paling utama.

Setelah pergantian pemerintahan, kembali terjadi friksi antara dua lembaga yang seharusnya saling bahu membahu untuk melakukan pemberantasan korupsi, yaitu lembaga Polisi Republik Indonesia dan KPK itu sendiri. Dilatarbelakangi oleh pemilihan calon Kapolri, dimana calonnya ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK. yang kemudian merembet kepada penetapan wakil pimpinan KPK serta Ketua KPK sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Kegaduhan tersebut telah menimbulkan melunturnya semangat pemberantasan korupsi.

(15)

“Efektivitas Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Bidang Penindakan”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk menghindari kekeliruan dalam memahami masalah yang dibahas, maka penulis akan membatasi permasalahan yang sesuai dengan judul skripsi ini. Pembahasan dalam skripsi ini hanya mengenai penelitian seputar efektivitas KPK dalam bidang penindakan hingga ke peradilan Tipikor, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

2. Rumusan Masalah

Dalam praktek di lapangan, ada beberapa keputusan maupun kasus yang masih dalam penyelidikan KPK tidak dapat berjalan dengan maksimal. Hal ini terjadi karena ada beberapa faktor baik dari internal KPK maupun eksternal KPK itu sendiri.

Penanganan kasus korupsi seringkali mengalami jalan buntu (dead lock) karena terjadi perebutan antar instansi, padahal kewenangan KPK jelas diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 semestinya kasus-kasus yang ditangani KPK bisa terselesaikan dengan baik tanpa hambatan apapun.

Untuk menjelaskan secara detail permasalahan yang akan dibahas dan tepat pada jalur pembahasan, maka rumusan tersebut penulis rangkum dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut :

(16)

5

c. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kinerja KPK dalam bidang penindakan tindak pidana korupsi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan batasan dan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan:

a. Untuk mengetahui wewenang KPK dalam penindakan tindak pidana korupsi.

b. Untuk mengetahui efektivitas KPK dalam penindakan tindak pidana korupsi.

c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kinerja KPK dalam bidang penindakan tindak pidana korupsi.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk:

a. Secara teoritis, memberikan penjelasan tentang sejauh mana keefektivan KPK dalam menyelesaikan tindak pidana korupsi.

b. Secara praktis, memberikan masukan kepada para praktisi ketatanegaraan mengenai formulasi KPK yang ideal. Penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan kinerja KPK.

(17)

Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi bahan untuk meneletian lanjutan.

D. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan tipe penelitian hukum normatif (normative legal reseach). Penelitian ilmiah ini dimaksudkan untuk menentukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Metode ini sering disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen, yakni menggunakan peraturan perundang-undangan, teori-teori hukum dan pendapat-pendapat sarjana hukum terkemuka.7

2. Pendekatan Penelitian

Beberapa pendekatan yang dilakukan di dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

a. Pendekatan Perundang-undangan

Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Pendekatan ini dilakukan untuk meneliti peraturan-peraturan yang aturan penormaannya menjelaskan tentang KPK.8

b. Pendekatan Konsep

7

Afif Fauzi Abbas,Metode Penelitian, (Ciputat: Adelia Press, 2010), hal.157

8 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet.IV, (Malang: Bayumedia,

(18)

7

Ide tentang sebuah Badan Anti Korupsi yang efektif diharapkan dapat terwujud dengan adanya pendekatan konsep. Pendekatan ini berfungsi untuk memahami konsep dan ide membentuk Badan Anti Korupsi yang ideal dengan melihat poin positif dan negatif dari lembaga tersebut.

c. Pendekatan Sejarah

Pendekatan sejarah dapat membuat peneliti memahami hukum secara lebih mendalam. Dengan mengetahui latar belakang dan sejarah suatu lembaga, maka dapat diketahui permasalahan apa saja yang dihadapai dan mempengaruhi kinerja atau efektivitas lembaga tersebut.9

3. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yang berarti mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Selain itu juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.10

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer data sekunder serta data pendukung lainnya atau tersier. Data primer adalah data yang diperoleh langsung oleh pengumpul data dari objek risetnya, sedangkan data sekunder

9

Johnny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,hal.318.

10

(19)

adalah semua data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek yang diteliti.11 Kedua sumber data tersebut adalah:

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan.

c. Data Tersier

Data tersier merupakan data yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap data primer dan sekunder, seperti

kamus hukum, Black’s Law Dictionary, Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.

5. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian.12

11

Sonny Sumarno,Metode Riset Sumber Daya Manusia, Cet.I, (Yogyakarta: Graha Ilmu), hal. 69

(20)

9

6. Metode analisis data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa hasil studi literer (kepustakaan). Oleh karena itu penelitian ini dapat dikatagorikan sebagai penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.13

7. Pedoman penulisan

Adapun sebagai pedoman dalam penulisan proposal penelitian ini, penulis mempergunakan buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.

E. Tinjauan(Review)Studi Terdahulu

Penelitian mengenai kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi merupakan isu yang cukup banyak dan menarik untuk dibahas secara lebih mendalam. Untuk menghindari kesamaan dalam pembahasan mengenai isu yang akan diangkat dalam skripsi ini, terutama dalam hal penindakan oleh KPK maka penulis menyajikan beberapa penelitian yang berkaitan, antara lain:

Penelitian dengan Judul Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia dan Independent Commision Againts Corruption (ICAC) Hongkong (Studi

Komparasi Kinerja dalam Bidang Penindakan) yang ditulis oleh Hadi Nur Pakar.14

(21)

Dalam penelitian ini dihasilkan kesimpulan bahwa Secara umum kinerja KPK di

bidang penindakan tindak pidana korupsi cukup baik, sedangkan kinerja ICAC secara

keseluruhan sangat baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja KPK dan ICAC adalah

kerangka hukum, visi dan misi, kualitas pimpinan, kohesi antara pencegahan dan penindakan,

dan dukungan dana.

Buku dengan judul Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi yang ditulis oleh Akil Mochtar, S.H.,M.H.15

Permasalahan yang menjadi fokus utama dalam buku ini adalah mengenai penerapan ketentuan pembalikan beban pembuktian berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, serta mengenai kosep pembuktian pembalikan beban pembuktian dalam pembentukan sistem hukum pembuktian pada masa yang akan datang.

Hasil penelitian dalam buku ini adalah penerapan ketentuan pembalikan beban pembuktian berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi, diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, belum efektif karena belum diperkuat oleh hukum acara tersendiri sehingga dalam proses persidangan perkara korupsi, hakim belum dapat menerapkan ketentuan tersebut.

14

Hadi Nur Pakar, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia Dan Independent Commision Againts Corruption (ICAC) Hongkong (Studi Komparasi Kinerja dalam Bidang Penindakan)(Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarifhidayatullah Jakarta, 2012)

15Akil Mochtar,Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal

(22)

11

Konsep pembalikan beban pembuktian dalam sistem hukum pembuktian pada masa yang akan datang harus sejalan dengan konvensi anti korupsi PBB 2003 (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006) dan konvensi kejahatan transnasional terorganisir tahun 2000 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009) serta harus dapat digunakan sebagai sarana hukum untuk mempercepat proses pemulihan kerugian/perekonomian Negara (asset recovery) dengan menjangkau aset terdakwa hasil korupsi yang disembunyikan dinegara lain, dan memudahkan pembuktian dalam delik gratifikasi serta kasus-kasus korupsi yang besar.

Dalam buku dengan Judul Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang ditulis oleh Ermansjah Djaja, menjelaskan tentang identifikasi tindak pidana korupsi dalam kajian yuridis normatif Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 versi undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Komisi pemberantasan Korupsi meliputi kajian yuridis normatif Undang-undang Nomor. 30 Tahun 2002 tentang KPK, kajian yuridis normatif Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK, kajian yuridis normatif Peraturan KPK Nomor 05 Peraturan KPK Tahun 2002 tentang Kode Etik Pegawai, badan-badan pemberantasan korupsi sebelum KPK. Serta pembahasan mengenai sistem pembuktian dalam peradilan tindak pidana korupsi dan pembahasan mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi di berbagai Negara.16

16

(23)

Tesis dengan judul Sinergi antara Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia yang disusun oleh Hendar Rasyid Nasution.17

Penelitian menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan mengenai wewenang dan peran KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Sangat penting untuk membangun koordinasi yang baik antara KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Selain itu, kesepahaman antar lembaga tersebut penting untuk menghindari rivalitas yang negatif. Jika hal ini tidak segera diselesaikan, maka agenda pemberantasan Korupsi kemungkinan akan terbengkalai. Apalagi selama ini penanganan kasus korupsi seringkali mengalami jalan buntu (dead lock) karena terjadi perebutan antar instansi.

Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa bahasan mengenai Efektivitas Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Bidang Penindakan, belum ada yang membahas secara spesifik mengenai kewenangan penindakan yang dimiliki oleh KPK.

17

(24)

13 BAB II

NEGARA HUKUM, DEMOKRASI, dan PEMBERANTASAN KORUPSI A. Negara Hukum

Negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu hidup di dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.1

Terdapat beberapa pengertian yang diberikan oleh para sarjana sebagaimana dikutip oleh Max Boli Sabon, dkk sebagai berikut :

a. Aristoteles, negara (polis) adalah persekutuan dari keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya.

b. Jean Bodin, suatu persekutuan keluarga-keluarga dengan segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang berdaulat.

c. Hugo Grotius, negara adalah suatu persekutuan yang sempurna dari orang-orang yang merdeka untuk memperoleh perlindungan hukum. d. Bluntschi, negara adalah diri rakyat yang disusun dalam suatu

organisasi politik di suatu daerah tertentu.

e. Hans Kelsen, negara adalah suatu susunan pergaulan hidup bersama dengan tata paksa.

1

(25)

f. Woodrow Wilson, negara adalah rakyat yang terorganisir untuk hukum dalam wilayah tertentu.

g. Diponolo, negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang berdaulat yang dengan tata pemerintahan melaksanakan tata tertib atau suatu umat di suatu daerah tertentu.2

Keberadaan Negara memiliki tugasnya tersendiri terutama untuk melindungi setiap kepentingan dan hak-hak dari para warga Negara tersebut. Selain itu Negara harus mampu untuk mengimbangi antara kepentingan pemerintahan dan kepentingan Negara untuk rakyat. Tidak dibenarkan mengorbankan salah satu dari kepentingan tersebut, karena pada dasarnya setiap kepentingan merupakan bentuk dari usaha untuk kesejahteraan rakyat.

Tugas negara menurut faham modern sekarang ini (dalam suatu Negara Kesejahteraan atau Social Service State), adalah menyelenggarakan kepentingan umum untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya berdasarkan keadilan dalam suatu Negara Hukum.3

Guna memfasilitasi serta membatasi setiap perilaku penyelenggara Negara dalam menjalankan tugasnya maka diperlukan sebuah pedoman untuk menjadi sebuah dasar. Secara umum pedoman dasar tersebut dikenal sebagai hukum, dan memungkinkan menjadikan Negara tersebut sebagai Negara hukum.

2

Max Boli Sabon, dkk,Ilmu Negara Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 25

3

(26)

15

Profesor Utrecht membedakan antara Negara Hukum Formil atau Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiil atau Negara Hukum Modern. Negara Hukum Formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiil yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya.4

Negara hukum ialah negara dimana pemerintah dan semua pejabat-pejabat hukum mulai dari Presiden, hakim, jaksa, anggota-anggota legislatif, semuanya dalam menjalankan tugasnya di dalam dan di luar jam kantornya taat kepada hukum. Taat kepada hukum berarti menjunjung tinggi hukum, dalam mengambil keputusan-keputusan jabatan menurut hati nuraninya, sesuai dengan hukum.5

Negara hukum ialah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh Undang-Undang yang telah ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemberi suara rakyat.6

Unsur-unsur Negara Hukum menurut Freidrich Julius Stahl yang diilhami oleh Immanuel Kant adalah :

a. Berdasarkan dan menegakkan hak-hak asasi manusia

b. Untuk dapat melindungi hak asasi dengan baik maka penyelenggaraan negara harus berdasarkantrias politica

4Utrecht,Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia,(Jakarta: Jakarta, 1962), hal. 9.

5

O. Notohamidjojo,Makna Negara Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970), hal. 36.

6

(27)

c. Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang

d. Apabila pemerintahan yang berdasarkan Undang-Undang masih dirasa melanggar hak asasi maka harus diadili dengan peradilan administrasi.7

Arief Sidharta, merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru, yaitu meliputi lima hal sebagai berikut:

a. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity). b. Berlakunya asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan

menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan

c. Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law) Dalam Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu.

d. Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan.8

7

Astim Riyanto,Teori Konstitusi,(Bandung: Yapemdo, 2006), hal. 274.

8

(28)

17

Muhammad Tahir Azhary, memberikan sebuah penggambaran mengenai Negara hukum dengan pandangan dari sistem hukum Islam yang dikenal sebagai Nomokrasi Islam yang memiliki cirri-ciri ataupun prisip sebagai berikut:

a. Prinsip kekuasaan sebagai amanah; b. Prinsip musyawarah;

c. Prinsip keadilan; b. Prinsip persamaan;

c. Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; d. Prinsip peradilan yang bebas;

e. Prinsip perdamaian; f. Prinsip kesejahteraan; g. Prinsip ketaatan rakyat.9

Selain itu, menurut Bagir Manan menjelaskan mengenai unsur-unsur terpenting dari negara hukum, yang terdiri dari :

a. Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya.

b. Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding) yang secara khusus menjamin suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka.

c. Ada pemencaran kekuasaan negara atau pemerintah (spreiding van de staatsmacht).

9

(29)

d. Ada jaminan terhadap hak asasi manusia.

e. Ada jaminan persamaan dimuka hukum dan jaminan perlindungan hukum.

f. Ada asas legalitas, pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus didasarkan atas hukum (undang-undang).10

Negara hukum memberikan sebuah perlindungan yang nyata terhadap kepentingan individu rakyatnya agar tidak berbenturan dengan kepentingan Negara. Salah satu bentuk jaminan kepentingan serta kebabasan individu dalam Negara hukum adalah demokrasi. Bukan demokrasi yang kebablasan dengan kehendak kebebasan, tetapi demokrasi yang menjungjung tinggi cita Negara hukum itu sendiri. B. Demokrasi

Demokrasi merupakan konsep keterbukaan sebuah pemerintahan dalam Negara. Demokrasi memberikan peluang sebesar-besarnya bagi partisipasi dari setiap unsure Negara, terutama dari rakyat. Menjungjung tinggi asas kesamaan bagi setiap rakyat untuk menetukan masa depan negaranya. Tidak hanya bertumpu kepada kaum mayoritas, bangsawan, ataupun kaum lain yang memiliki pengaruh besar.

Secara umum pelaksanaan demokrasi harus berpegang kepada prinsip-pris yang telah ditentukan. Hal tersebut merupakan kehendak agar demokrasi berjalan sesuai dengan apa yang telah dicitakan sebelumnya. Prinsip-prinsip dalam asas demokrasi itu antara lain, yaitu:

10

(30)

19

a. Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang diselenggarakan secara berkala;

b. Pemerintah bertanggung jawab dan dapat dimintai pertanggung jawaban oleh badan perwakilan rakyat;

c. Semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol pemerintah;

d. Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh semua pihak;

e. Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat; f. Kebebasan pers dan lalu lintas informasi;

g. Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif.

Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum yang menjamin kepastian.

Tetapi, menurut Brian Tamanaha, sebagai “a procedural mode of legitimation

demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang serupa dengan “formal legality”. Seperti dalam “formal legality”, rezim demokrasi juga dapat menghasilkan

(31)

itulah yang diutamakan, maka praktek demokrasi itu dapat saja dianggap menjadi lebih buruk daripada rezmi otoriter yang lebih menjamin stabilitas dan kepastian.11

Semangat demokrasi untuk menjamin kepasatian hukum dalam sebuah Negara sangat berkaitan erat dengan sistem pemberantasan korupsi. Dimana, pemerintahan yang cenderung tertutup dan jauh dari pirinsip demokrasi memungkinkan untuk menjadi pemerintahan yang korup. Maka dengan adanya demokrasi dan keterbukaan dalam pemerintahan dapat menjamin keberlangsungan semangat pemberantasan korupsi.

C. Pemberantasan Korupsi 1. Pengertian Korupsi

Menurut Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolute. Dengan maksud dan tujuan untuk mengingatkan bahwa di manapun dibelahan bumi ini kekuasaan selalu sangat rentan terhadap tindak pidana korupsi.12

Perbuatan korupsi dapat dipengaruhi oleh perilaku buruk para pelakunya, dengan dimaksudkan busuk atau rusak adalah moral atau akhlak dari oknum yang melakukan perbuatan korupsi tersebut.13.

11

Marjanne Termoshuizen-Artz,“The Concept of Rule of Law”, Jurnal Hukum Jentera, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Jakarta, edisi 3-Tahun II, November 2004, hal. 83-92.

12

Ermansjah Djaja,Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Mandar Maju, 2010), hal. 19

13

(32)

21

Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek bergantung daripada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana yang dikemukakan oleh Benveniste, korupsi didefinisikan 4 jenis :

a. Discretionary corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. Contoh : seorang pelayanan perizinan tenaga kerja asing, memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada “calo”, atau orang yang bersedia membayar lebih

b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu. Dengan memanipulasi aturan yang didukung oleh kelemahan undang-undang dengan memanfaatkan keadaan darurat dari pada proses pegadaan barang dan jasa untuk Negara.

c. Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Contoh : dalam sebuah persaingan tender, seorang panitia lelang memiliki kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu, secara terselubung atau terang-terangan ia mengatakan bahwa untuk memenangkan tender, peserta harus bersedia memberikan uang “sogok” atau “semir” dalam jumlah

(33)

d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun

discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. Contoh : Penjualan asset BUMN untuk mendukung pemenangan pemilihan umum dari partai politik tertentu adalah contoh dari jenis korupsi ini.14

Seperti halnya hukum bagi para pencuri, Islam juga mengenal hukum untuk larang melakukan perbuatan korupsi. Bentuk dan macam korupsi dijelaskan pula dalam pandangan hukum Islam antara lain :

a. Sariqah, yaitu orang yang mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang dilarang mengambil dari tempat tersebut atau pencuri. Jadi syaratnya harus ada unsur mengambil yang bukan haknya, secara sembunyi-sembunyi, dan juga mengambilnya pada tempat yang semestinya. Kaitannya dengan pencurian uang Negara adalah tidak boleh, karena uang negara tersebut adalah untuk kesejahteraan umum.

b. Ghulul, yaitu penyalahgunaan jabatan, misalnya menerima hadiah, komisi, atau apapun namanya yang tidak halal dan tidak semestinya dia terima.

c. Riswah, (risywah) atau suap yang bisa membungkam seseorang dari kebenaran. Suap bisa terjadi apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi.

14

(34)

23

Unsur-unsur suap meliputi, pertama, yang disuap (Al-Murtasyi); kedua, penyuap (Al-Rasyi); dan ketiga, suap (Al-Risywah).15

2. Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi masuk dalam istilah yuridis di Indonesia dimulai pada tahun 1957 saat tindak pidana korupsi diatur dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957, Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957, Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958, dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958.16

Peraturan militer ini muncul karena militer mengganggap tidak ada kelancaran dalam dalam usaha memberantas perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara sehingga perlu ada tata kerja yang dapat menerobos kemacetan usaha pemberantasan korupsi. Tujuan diadakannya peraturan penguasa perang ini agar perbuatan korupsi yang saat itu merajalela dapat diberantas dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Berdasarkan penjelasan atas bagian I Umum dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruptionyaitu :

15

“Korupsi dan Pemberantasannya Dalam Perspektif Hukum Islam”. Artikel diakses dari http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/korupsi-dan-pemberantasannya-dalam-perspektif-hukum-islam-studi-kasus-indonesia

16

(35)

“Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip

demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan

iritegritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena

korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan

pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah langkah

pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan

berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat intemasional.

Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi

yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan

yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset

yang berasal dari tindak pidana korupsi”.

Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Stafrecht) sebagai salah satu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordasi dan diundangkan dalam Staatblad 1915 Nomor 752, tanggal Oktober 1915.17

Dalam Undang-Undang anti korupsi terkini khususnya dalam Pasal 1 angka 1 Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan tentang pengertian tindak pidana korupsi :

17

(36)

25

“Tidak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun

1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.”

Ditambah lagi dengan tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa:

“setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang tersebut sebagai

tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini”.

Kemudian pengertian tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juga terdapat di dalam Pasal 1 angka 3 Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 :

“Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk

mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi,

supervisi, monitor, penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang

pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku”.

(37)

berbagai tindakan termasuk tindakan ”penyuapan”, yang dapat dipahami dari bunyi

teks pasal-pasalnya, kemudian mengelompokannya ke dalam beberapa rumusan delik.

D. Peradilan Tindak Pidana Korupsi

Ada sejumlah lembaga yang memiliki peran dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi, antara lain: Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pengadilan, Badan Pemeriksaan Keuangan, serta BPKP, dan juga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Berikut ini beberapa unsur yang menjadi bagain dalam Peradila Tindak Pidana Korupsi menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tindak Pidana Korupsi, antara lain:

a. Hakim adalah Hakim Karier dan Hakim ad hoc.

b. Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan

tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak

pidana korupsi.

c. Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan

persyaratan yang ditentukan dalam Undang- Undang ini sebagai

hakim tindak pidana korupsi.

d. Penuntut Umum adalah penuntut umum sebagaimana diatur dalam

(38)

27

Mengenai kedudukannya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum.18Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.19Sementara itu, khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.20

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi dimana kewenangannnya adalah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara :

a. Tindak pidana korupsi;

b. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau

c. Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.21

Begitupun dengan keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga memiliki kewenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi seperti yang tertuang dalam pasal 6, dimana

18

Pasal, 2 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tindak Pidana Korupsi

19

Pasal 3,Ibid.

20

Pasal 4,Ibid.

21

(39)

merupakan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia.22

Seperti peradilan umum lainnya, Peradilan Tindak pidana Korupsi memiliki susunan yang sama. Susunan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas pimpinan, Hakim, dan panitera.23

Di dalam Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga diatur tentang hukum acara yang dalam beberapa hal berbeda dengan hukum acara umum. Dalam Pasal 25 dinyatakan bahwa:

“Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan

berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam

undang-undang ini.”

Mengenai Masa waktu dalam proses penanganan perkara tindak pidana korupsi diatur pula dalam pasal 29 Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yaitu perkara diperiksa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama paling lama 120 hari kerja sejak tanggal pelimpahan perkara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.24

Proses banding dalam hal lanjutan guna menanggapi putusan pengadilan sebelumnya diatur dalam Pasal 30 hingga Pasal 32 yang mengatur mengenai batasan

22

Pasal 7,Ibid.

23

Pasal 8,Ibid.

24

(40)

29

waktunya. Seperti berbunyi pada Pasal 30 Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bahwa pemeriksaan tingkat banding dalam masa 60 hari kerja dihitung sejak tanggal berkas perkara dterima Pengadilan Tinggi dapat diperiksa dan diputuskan.

Lalu pada pasal 31 disebutkan pada pemeriksaan tingkat kasasi dapat diperiksa dan diputus dalam waktu 120 hari kerja sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung . Serta ditegaskan lagi pada Pasal 32 jika putusan pengadilan dimintakan peninjuan kembali, pemeriksaan perkara diperiksa dan diputus paling lama 60 hari kerja sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.

Di luar Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang No. 46 tahun 2009) di atas, kita juga harus melihat ketentuan dalam Undang- Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Undang-Undang No. 30 Tahun 2002). Di dalam upaya penanggulangan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi didukung dengan ketentuan yang bersifat strategis antara lain:

a. Perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik;

b. Wewenang untuk penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat negara.

(41)

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Khusus mengenai alat bukti, menurut undang-undang ini, alat bukti petunjuk mengalami perluasan, yaitu di samping yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail),

(42)

31 BAB III

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI A. Latar Belakang Berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi

Jika kita lihat kembali lembaran sejarah Indonesia, ternyata berbagai peraturan telah dikeluarkan dan berbagai lembaga telah dibentuk oleh pemerintah untuk memberantas korupsi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.1.

1. Pemberantasan Korupsi dari Masa ke Masa

Tahun Produk Hukum Lembaga Keterangan

1957 Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/061957

1958 Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat

No.PRT/Peperpu/013/1958 1960 UU No. 24/Prp/1960 tentang

pemberantasan korupsi 1967 Keppres No.228/1967

tanggal 2 Desember 1967

Tim

Pemberantasan Korupsi

Tugas: Membantu

(43)

penindakan) 1970 Keppres No.12/1970 tanggal

(44)

33

1998 Tap MPR No.XI/MPR/1998 tentang Pemerintahan yang

2000 PP No. 19/2000 Tim Gabungan

Pemberantasan putusan hak uji materiil (judicial

review/toetsingrecht)

Mahkamah Agung

(45)

2002 UU No.30/2002 Komisi

Pemberantasan

Korupsi (

Desember 2003)

Tugas: Menyelidiki kasus korupsi yang nilainya di atas Rp 1 Milyar dan menarik perhatian masyarakat; melakukan koordinasi, supervisi penegak hukum dalam penanganan korupsi; memonitor

penyelenggaraan negara; melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan kasus korupsi; melakukan upaya pencegahan korupsi.

2004 Keppres No. 59/2004 Pengadilan Tipikor

Wewenang: memeriksa dan memutus kasus

korupsi yang

penuntutannya diajukan oleh KPK

(46)

35

Pemberantasan Tipikor

penyelidikan, penyidikan, penuntutan kasus korupsi yang ditangani kejaksaan; menelusuri,

mengamankan aset

korupsi untuk

pengembalian kerugian negara secara optimal.1

2. Dasar Hukum Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi

Dalam pembentukan sebuah lembaga Negara secara umum membutuhkan dasar hukum sebagai dasar pembentukannya. Seperti halnya Mahkamah Konstitusi yang langsung diamanatkan pembentukannya oleh hasil dari pada amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka KPK juga memiliki dasar hukum dalam pembentukannya, yaitu :

a. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,Kolusi,dan Nepotisme dalam Pasal 2 angka 6 huruf a, yaitu :

“Arah kebijakan pemberantasan korupsi,kolusi dan nepotisme adalah membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk

1

(47)

membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan TindakPidana Korupsi”.2

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 43 ayat 1 disebutkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak berlaku dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku,dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

e. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam pasal 2, yaitu :

“Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut KomisiPemberantasan Korupsi”.

f. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2

(48)

37

g. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK.

B. Tugas Dan Wewenang

Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu : kepastian hukum,keterbukaan,akuntabilitas,kepentingan umum dan proposionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan BPK. Adapun tugas KPK adalah :

1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.3 Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;

3

(49)

2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;

4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan 5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

korupsi.4

Dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK berwenang melakukan pengawasan,penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.5

Dalam melaksanakan wewenang tersebut, KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.6

Dalam pengambil alihan tersebut, KPK wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam

4

Pasal 7 Undang-Undang KPK.

5

Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang KPK.

6

(50)

39

waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.7

Penyerahan dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan wewenang kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada KPK.8. Pengambil alihan penyidikan dan penuntutan tersebut dilakukan dengan alasan :

1. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;

2. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; 3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku

tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; dan

6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilakukan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.9

7

Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang KPK.

8

Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang KPK.

9

(51)

Selanjutnya dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan KPK berwenang:

1. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

2. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri;

3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;

5. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;

6. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;

(52)

41

8. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangakapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri; dan

9. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan panangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.10

Dalam melaksanakan tugas pencegahan, KPK berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut:

1. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;

2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;

3. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;

4. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;

5. Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;

6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.11

Dalam melaksanakan tugas monitor, KPK berwenang untuk:

10

Pasal 12 Undang-Undang KPK.

11

(53)

1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah;

2. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; dan

3. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.12 C. Struktur Organisasi

KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, yakni seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur pemerintahan dan unsur masyarakat. Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.13

Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang dipimpin seorang Sekretaris

12

Pasal 14 Undang-Undang KPK.

13

(54)

43

Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK.14

Dalam struktur keorganisasian KPK terdapat unsur yang meliputi Deputi dan Direktorat Komisi Pemberantasan Korupsi15

1. DEPUTI BIDANG PENCEGAHAN

Fungsi: pendaftaran dan pemeriksaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara; penerimaan laporan dan penetapan status gratifikasi; penyelenggaraan pendidikan anti korupsi; sosialisasi pemberantasan korupsi, dan kampanye anti korupsi. Dalam deputi bidang pencegahan ini terdapat beberapa unsur lainnya yaitu:

a. Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara

Fungsi: memantau dan klarifikasi harta kekayaan penyelenggara negara; meneliti laporan atau pengaduan masyarakat; menyelidiki harta kekayaan penyelenggara negara yang diduga korupsi; mencari bukti untuk penyelidikan penyelenggara negara yang diduga korupsi; dan meminta pejabat yang berwenang membuktikan dugaan tersebut. b. Direktorat Gratifikasi

14

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),Laporan Tahun 2013,hal.6.

15

(55)

Fungsi: penelitian laporan dan pengaduan masyarakat; identifikasi penerimaan gratifikasi; pencarian bukti; penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menkeu.

c. Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat

Fungsi: sosialisasi peran dan fungsi KPK; pendidikan dan pelatihan manajemen kinerja di instansi pemerintah, BUMN/BUMD, masyarakat dan swasta; penyelenggaraan seminar, workshop antikorupsi; menyusun dan menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan; penyusunan dan pengembangan materi pendidikan dan pelatihan; evaluasi pelaksanaan; menjalin kerjasama dengan lembaga antikorupsi di luar negeri.

d. Direktorat Penelitian dan Pengembangan

(56)

45

e. Sekretaris Deputi Bidang Pencegahan

Fungsi: menyiapkan rumusan kebijakan teknis kesekretariatan koordinasi dengan semua satuan kerja; pengumpulan pencatatan dan penyusunan laporan pelaksanaan rencana dan program kerja; pelaksanaan ketatausahaan.

2. DEPUTI BIDANG PENINDAKAN

Fungsi: perumusan kebijakan teknis kegiatan justifikasi; perencanaan, pelaksanaan, pengendalian penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan tindakan hukum lain dan pengadministrasiannya; memberi saran, pendapat dan pertimbangan hukum kepada Pimpinan KPK. Dalam deputi ini terdapat beberapa direktorat yaitu:

a. Direktorat Penyelidikan

Fungsi: perumusan rencana dan program kerja penyelidikan; perumusan kebijakan teknis; penerimaan, analisis dan penelitian informasi, pengaduan, laporan dan menyiapkan pendapat dan saran; pelaksanaan penyelidikan dan penghentian penyelidikan; penyampaian saran kepada Deputi agar penyelidikan dapat ditingkatkan ke penyidikan dan usul penghentian penyelidikan; kerjasama koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis kepada satuan tugas penyelidik tipikor.

(57)

Fungsi: perumusan rencana dan program kerja; perumusan kebijakan teknis; penerimaan, analisis dan penelitian hasil penyelidikan; penyidikan dan pemberkasan perkara; penyampaian saran agar penyidik ditingkatkan ke penuntutan; pengambil alihan penyidikan yang dilakukan kepolisian atau kejaksaan; pembinaan kerjasama dan koordinasi penyidikan; pemberian bimbingan kepada satuan tugas. c. Direktorat Penuntutan

Fungsi: perumusan kebijakan teknis penyempurnaan berkas perkara untuk dilakukan penuntutan; penerimaan perkara dan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti, melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim, putusan pengadilan, serta tindakan hukum lain; pengambil alihan penuntutan yang sedang dilakukan kepolisian atau kejaksaan; pemantauan jalannya persidangan dan menelaah tuntutan jaksa penuntut umum; bimbingan teknis kepada satuan tugas.

d. Sekretaris Deputi Bidang Penindakan

(58)

47

3. DEPUTI BIDANG INFORMASI DAN DATA

Fungsi: penyusunan rencana dan program pengelolaan data dan informasi serta pengembangan sistem informasi; pengolahan datan dan informasi; analisis hasil pelaksanaan program dan kegiatan KPK; pengembangan jaringan informasi dengan instansi pemerintah dan masyarakat; monitor upaya pencegahan dan penindakan korupsi pada instansi negara. Dalam Deputi ini juga terdapat beberapa direktorat, yaitu:

a. Direktorat Pengelolaan Informasi dan Data

Fungsi: penyusunan rencana; pengumpulan dan pengolahan data; penyiapan bahan analisis kinerja KPK; penyelenggaraan administrasi basis data.

b. Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasa Antar Komisi dan Instansi

Fungsi: penyusunan rencana dan pengembangan sistem aplikasi; pengembangan teknologi informasi; pengembangan dan pemeliharaan jaringan informasi dengan instansi pemerintah dan masyarakat.

c. Direktorat Monitor

(59)

laporan KPK kepada Presiden, DPR dan BPK, bila saran perubahan KPK tidak diperhatikan.

d. Sekretaris Deputi Bidang Informasi dan Data

Fungsi: perumusan kebijakan teknis; koordinasi semua satuan kerja; penyusunan laporan pelaksanaan kerja dan program kerja; pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas.

4. DEPUTI BIDANG PENGAWASAN INTERNAL

Fungsi : perumusan kebijakan pengawasan di lingkungan KPK; pengawasan internal dan pemrosesan pengaduan masyarakat; pemberian saran kepada Pimpinan KPK atas hasil pengawasan internal dan pemrosesan pengaduan masyarakat. Dalam Deputi ini juga terdapat beberapa direktorat penunjang, yaitu:

a. Direktorat Pengawasan Internal

Fungsi: pemeriksaan ketaatan, efisiasi dan efektifitas pelaksanaan tugas dan kegiatan unit kerja di lingkungan KPK; evaluasi pelaksanaan program kerja.

b. Direktorat Pengaduan Masyarakat

(60)

49 BAB IV

EFEKTIVITAS KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM PENINDAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. LARANGAN KORUPSI DALAM AL-QUR”ANDAN HADITS

Perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (Al-Qur’an) maupun haditsRasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Di dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

ﺎ َﻣ َو

١ ٦ ١

“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang).

Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu ..” [Ali-Imran : 161]

Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara yang batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya.

َﻻ َو

kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

(61)

Dengan bahasa yang lugas, Rasulullah menegaskan : “Hadiah yang diterima para pejabat atau pemegang kebijakan adalah ghulul (korupsi).”1

B. Penindakan Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Menurut Sistem Hukum Indonesia

Pemberantasan korupsi di Indonesia diatur melalui beberapa peraturan perundang-undangan, di antaranya UU no. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU no. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perumusan Undang-Undang tersebut tidak terlepas dari tuntutan pada saat itu sebagai suatu upaya peralihan dari orde baru menuju orde reformasi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk sebagai salah satu upaya pemerintah memberantas tindak pidana dan budaya korupsi yang telah melekat pada pejabat Negara sebagai warisan peninggalan orde baru.Dalam memberantas tindak pidana korupsi, KPK memiliki tugas untuk melakukan penindakan. Upaya penindakan yang dilakukan oleh KPK dilaksanakan oleh Wakil Ketua KPK bidang penindakan yang membawahi 3 (tiga) sub-bidang, yakni sub-bidang penyelidikan, sub-bidang penyidikan dan sub-bidang penuntutan. Masing-masing dari tiap sub-bidang ini akan membawahi beberapa satuan tugas yang diperlukan.

Penindakan tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam UU no. 30 tahun 2002,meliputipenyelidikan,penyidikan dan penuntutan. Haltersebutsebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 6 poin C, dimana KPK bertugasuntuk

1

(62)

51

melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.2

Bahkan dalam pasal 8 ayat 2 dijelaskan pula bahwa KPK dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terkait tindak pidana korupsi yang tengah dilakukan oleh lembaga hukum lain (Kepolisian dan Kejaksaan).3Hal tersebut menunjukan bahwa KPK memiliki kedudukan istimewa dalam hal penindakan tindak pidana korupsi. Pengambilalihan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana yang disebutkan diatas dilakukan dengan alasan sebagai berikut:

1. Laporan masyarakat terkait tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti 2. Proses penanganan tindak pidana korupsi yang berlarut-larut tanpa alasan

yang dapat dipertanggungjawabkan

3. Penanganan tindak pidana korupsi yang ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya

4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi

5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi akibat pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif yang ikut campur, atau

6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan menyulitkan penanganan tindak pidana korupsi.4

2

Lihat Pasal 6 butir C UU no. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

3

Lihat Pasal 8 Ayat 2 UU no. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

4

(63)

Selanjutnya dalam pasal 11 dijelaskan terkait prasyarat suatu tindak pidana korupsi yang dapat ditindak KPK, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara dan pihak lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan/atau penyelenggara Negara

2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan/atau 3. Paling sedikit merugikan Negara sebesar satu milyar rupiah.5

Dalam melakukan penindakan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6 huruf C, KPK memiliki wewenang sebagai berikut :

1. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan

2. Memerintahkan kepada instansi terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri

3. Meminta keterangan kepada bank dan lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa

4. Memerintahkan kepada bank dan lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait

5. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan tersangka dari jabatannya

5

(64)

53

6. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait.

7. Menghentikan sementara transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang diperiksa

8. Meminta bantuan Interpol atau instansi penegak hukum di Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang bukti di luar negeri

9. Meminta bantuan kepolisian dan instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.6 Dalam melakukan penindakan tindak pidana korupsi, baik berupa penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK tunduk terhadap Kitab Undang-Undang Gukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai penerapan asas hukum lex specialis derogate lex generale, dimana KUHAP berkedudukan sebagai aturan hukum yang utama dan rujukan kecuali ada aturan hukum khusus yang mengatur lain.

Salah satu aturan umum yang dikesampingkan adalah pasal 7 ayat 2 KUHAP.

Yang menjelaskan bahwa “Yang dimaksud dengan penyidik dalam ayat ini adalah

6

(65)

misalnya pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan yang melakukan

tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh

undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing”.7

Pasal tersebut dikesampingkan karena menurut undang-undang no. 30 tahun 2002, pejabat khusus yang berwenang melakukan penyidikan terkait tindak pidana korupsi adalah penyidik KPK, baik terkait dengan bidang kehutanan, bea cukai, maupun bidang-bidang khusus lainnya.8

Dalam menjalankan proses penyidikan, penyidik KPK mendapatkan hak istimewa, khususnya dalam hal penyitaan, dimana penyidik KPK diperkenankan melakukan penyitaan tanpa mendapat persetujuan dari kepala Pengadilan Negeri dan cukup dengan pembuatan berita acara penyitaan.

KPK dapat melimpahkan dan mengambil alih penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dari lembaga yang memiliki wewenang penyidikan dan penuntutan (dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan).Dalam hal KPK melimpahkan perkara tindak pidana korupsi kepada kepolisian dan kejaksaan, maka kedua instansi tersebut dalam menjalankan fungsinya wajib melakukan koordinasi dan melaporkan perkembangan perkara kepada KPK. Sedangkan dalam hal kedua instansi tersebut melakukan penyidikan paling sedikit 14 hari sebelum KPK memulai penyidikan maka kedua instansi tersebut harus menghentikan penyidikan yang dilakukan dan menyerahkan perkaranya agar ditangani oleh KPK.

7

Gambar

Tabel 3.1.1.Pemberantasan Korupsi dari Masa ke Masa

Referensi

Dokumen terkait

pada Program Studi Diploma III Teknik Kimia Universitas Diponegoro5. Menerapkan ilmu yang didapat dari bangku perkuliahan seacar

Transformasi sawijine karya sastra saka naskah dadi prosesi utawa ora bisa ditindakake kanthi sekabehane. Ana perangan saka karya sastra kasebut kang ditambahi

DAFTAR PESERTA PLPG RAYON 140 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO.. GURU KELAS SD KABUPATEN CILACAP SAT U

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana pengaruh pengetahuan dan sikap pasien terhadap pemanfaatan ulang

man, bahwa seorang animator dapat mengkreasi sebuah objek atau efek yang tidak mampu dihasilkan camera man. Seorang animator mampu membuat visualisasi angin topan,

Menunjuk Berita Acara Hasil Pelelangan Nomor W29.Ed.PL.02.03.5442 tanggal 17 desember 2012 perihal Pekerjaan pengadaan Bahan makanan narapidana dan Tahanan, dengan ini

Terdapat beberapa permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu bagaimana cara sterilisasi eksplan daun pohpohan?; kombinasi zat pengatur tumbuh kinetin dan 2,4 D pada

Batas laut wilayah yang disepakati dalam perjanjian tersebut adalah kelanjutan dari garis batas laut wilayah yang telah disepakati sebelumnya pada perjanjian antara Republik