S E K
O L A
H
P A
S C
A S A R JA
N A
PENGARUH KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK
TERHADAP PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN
KELAPA SAWIT DI WILAYAH KERJA KANTOR WILAYAH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SUMATERA UTARA I
T E S I S
Oleh
AGUS SUPRAPTO
117018006
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGARUH KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK
TERHADAP PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN
KELAPA SAWIT DI WILAYAH KERJA KANTOR WILAYAH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SUMATERA UTARA I
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
AGUS SUPRAPTO
117018006
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PENGARUH KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK TERHADAP PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI WILAYAH KERJA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SUMATERA UTARA I
Nama Mahasiswa : Agus Suprapto
Nomor Pokok : 117018006
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec) (Dr. Bastari, SE, MM Ketua Anggota
)
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec) (Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal : 28 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, S.E., M.Ec.
Anggota : 1. Dr. Bastari, MM, BKP.
2. Dr. H.B. Tarmizi, SU, M.Si.
3. Dr. Rujiman, M.A.
PENGARUH KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK TERHADAP PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI WILAYAH KERJA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK SUMATERA UTARA I
PERNYATAAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar
merupakan hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian
tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis
cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika
penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis
ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian
tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang
penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku
Medan, 28 Agustus 2013 Penulis,
PENGARUH KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK TERHADAP PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI WILAYAH KERJA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK SUMATERA UTARA I
ABSTRAK
Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian yang berkembang di negara-negara tropis seperti Indonesia. Ketersediaan lahan, tenaga kerja yang murah, serta pertumbuhan permintaan dunia atas CPO, menjadikan Indonesia sebagai Negara pengekspor CPO terbesar di dunia. Namun demikian, dukungan keringanan pajak bagi perusahaan sawit yang melakukan research and development dan community development dalam kerangka investasi sosial, kurang memadai untuk meningkatkan produktivitas,
terutama bila dibandingkan dengan Malaysia. Kegiatan research and
development, community development, serta dukungan penuh pemerintah, membuat produktivitas sawit Malaysia lebih tinggi dibanding Indonesia. Malaysia dengan luas lahan sawit hanya 61,5% dari luas lahan sawit Indonesia mampu memproduksi CPO hingga 85,3% dari produksi CPO Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh variabel kebijakan insentif pajak terhadap produktivitas industri pengolahan kelapa sawit. Penelitian ini menggunakan data primer berdasarkan survei angket terhadap Wajib Pajak sektor industri pengolahan kelapa sawit yang terdaftar di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I. Model analisis data penelitian adalah Structural Equation Modeling menggunakan software AMOS 21 dengan sampel penelitian sebanyak 102 responden. Hasil analisis membuktikan bahwa kebijakan insentif pajak berpengaruh secara langsung dan signifikan terhadap produktivitas industri pengolahan kelapa sawit. Sementara di sisi lain, kebijakan insentif pajak juga berpengaruh secara tidak langsung dan signifikan terhadap produktivitas, melalui investasi sosial di sektor industri pengolahan kelapa sawit
THE INFLUENCE OF THE POLICY OF TAX INCENTIVES ON THE PRODUCTIVITY OF OIL PALM PROCESSING INDUSTRY IN
THE WORKING AREA OF THE DIRECTORATE GENERAL OF TAXATION OFFICE OF SUMATERA UTARA I
ABSTRACT
Oil palm industry is one of the strategic industries in agricultural sector which is developing in the tropical countries like Indonesia. The availability of area, inexpensive manpower, and the growth of demand for CPO (crude oil palm) have made Indonesia the biggest CPO exporter in the world. However, the support for tax cut for oil palm companies which perform research and development and community development in the frame of social investment is not sufficient to increase productivity, especially when it is compared to that of Malaysia. The activity of research and development, community development, and the full support from the government have caused the productivity of Malaysia’s palm oil to be higher than that of Indonesia. Malaysia, with the area of oil palm is only 61.5% of the Indonesia’s oil palm area is able to produce 85.3% of its CPO, compared to the Indonesia’ CPO production. The objective of the research was to analyze the influence of the variable of the policy of tax incentive on the productivity of oil palm processing industry. The primary data were gathered by distributing questionnaires to the taxpayers of the industrial sector of oil palm processing industry registered in the working area of the Directorate General of Taxation Office of Sumatera Utara I. The data were analyzed by using Structural Equation Modeling with an AMOS 21 software program.The result of the analysis showed that the policy of tax incentive had positive and significant influence on the productivity through social investment in the sector of oil palm processing industry.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT,
atas segala karunia dan ridho-Nya, sehingga tesis dengan judul “Analisis
Pengaruh Kebijakan Insentif Pajak Terhadap Produktivitas Industri Pengolahan
Kelapa Sawit Di Wilayah Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
Sumatera Utara I” ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Magister Sains (M.Si) dalam bidang ekonomi pembagunan pada Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara.
Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak
memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang
tulus kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc. (CTM), Sp.A(K),
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec., selaku Ketua Program Studi
Magister Ilmu Ekonomi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Dr. Ramli, M.S., selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu
Ekonomi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec. dan Bapak Dr. Bastari, S.E., M.M.,
selaku Komisi Pembimbing, yang telah meluangkan waktu dan fikiran dalam
memberikan bimbingan penulisan tesis ini.
6. Bapak Dr. Rahmanta, M.Si, Bapak Dr. Rujiman, MA, dan Bapak Dr. HB
Tarmizi, SU, selaku Komisi Pembanding, yang telah banyak memberikan
saran dan kritik membangun penulisan tesis ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar dan staf Administrasi Program Magister Ilmu
8. Ibunda Nuning Djumiarti dan ayahanda Karman (Alm.) yang selalu
memberikan do’a restu dan dukungan moril, Ibu dan ayah akan selalu ada di
setiap do’a ku.
9. Nurkumaladewi Istriku tercinta, Airlangga Hafizh Kurniawan, Aditya Rasya
Fadhilla, Arya Ikhsan Ramadhan anak-anakku tercinta, pengorbanan dan cinta
tulus kalian merupakan semangat dalam menyelesaikan tesis ini.
10.Seluruh teman-teman seperkuliahan di Program Magister Ilmu Ekonomi
Pembangunan Angkatan 21, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, terimakasih atas kebersamaan yang selama ini terjalin dengan baik.
Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun pustaka yang
ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak memiliki kekurangan,
sehingga perlu pengembangan lebih lanjut agar benar-benar bermanfaat. Oleh
sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar tesis ini lebih
sempurna serta sebagai masukan bagi penulis lain yang berminat melakukan
penelitian dengan topik yang sama.
Akhir kata, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Semoga Allah SWT
memberikan berkah dan rahmat-Nya kepada kita semua, Amin Ya Rabbal Alamin.
Medan, Agustus 2013 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Agus Suprapto
Tempat/Tanggal lahir : Jakarta, 06 Juli 1977
Alamat Rumah : Perumahan Taman Tanah Baru Blok C no. 7, Tanah Baru, Beji, Depok – 16426
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Nama Ayah : Karman (almarhum)
Nama Ibu : Nuning Djumiarti
Pendidikan :
1. SD Negeri Pasir Gunung Selatan III Tahun 1989
2. SMP Negeri 103 Jakarta Timur Tahun 1992
3. SMA Negeri 39 Jakarta Timur Tahun 1995
4. Program Diploma III Pajak – STAN Jakarta Tahun 1998
5. Strata1 (S-1) Administrasi Pajak dan Kebijakan Tahun 2004 Perpajakan – FISIP UI
DAFTAR ISI
2.11. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi ... 37
2.12. Konsep Investasi Sosial ... 41
2.13. Corporate Social Responsibility sebagai Investasi Sosial .... 44
2.14. Produktivitas ... 46
2.15. Unsur-unsur Produktivitas ... 48
2.15.1. Efisiensi ... 48
2.15.2. Efektivitas ... 48
2.15.3. Kualitas ... 49
2.16. Jenis-jenis Produktivitas ... 50
2.17. Model Pengukuran Produktivitas ... 52
2.19. Produktivitas Produksi ... 55
2.20. Pengukuran Produktivitas Produksi ... 56
2.21. Indeks Produktivitas ... 57
3.6. Identifikasi Dan Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 70
4.1.6.3.3. CFA Variabel Produktivitas ... 114
4.1.6.4. Pengujian Kesesuaian Model (Goodnessof Fit Model) ... 115
4.1.6.5. Interpretasi dan Modifikasi Model ... 121
4.1.6.6. Uji Kesahian Konvergen dan Uji Kausalitas ... 122
4.1.6.7. Efek Langsung, Efek Tidak Langsung dan Efek Total ... 124
4.1.6.8. Pengujian Hipotesis ... 127
4.2. Pembahasan ... 129
4.2.1. Pengaruh Langsung Kebijakan Insentif Pajak terhadap Produktivitas ... 129
4.2.2. Pengaruh Tidak Langsung Kebijakan Insentif Pajak Terhadap Produktivitas Melalui Investasi Sosial ... 131
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 135
5.1. Kesimpulan ... 135
5.2. Saran ... 135
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1. Volume, Persentase, dan Pertumbuhan Produksi Minyak Sawit,
2006- 2010 ... 3
1.2. Volume, Persentase, dan Pertumbuhan Ekspor Minyak Sawit, 2006- 2010 ... 4
2.1. Contoh perhitungan indeks produktivitas ... 57
2.2. Mapping penelitian sebelumnya ... 62
3.1. Variabel, Definisi Operasional, dan Indikator ... 76
3.2. Uji kecocokan SEM (Imam Ghazali, 2005) ... 92
4.1. Penjelasan responden atas pernyataan variabel kebijakan insentif Pajak ... 101
4.2. Penjelasan responden atas pernyataan variabel investasi sosial ... 102
4.3. Penjelasan responden atas pernyataan variabel produktivitas ... 103
4.4. Hasil Uji Validitas Instrumen Variabel Kebijakan Insentif Pajak .. 105
4.5. Hasil Uji Validitas Instrumen Variabel Investasi Sosial ... 106
4.6. Hasil Uji Validitas Instrumen Variabel Produktivitas ... 106
4.7. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ... 108
4.8. Normalitas Data Nilai critical ratio ... 109
4.9. Normalitas Data Nilai Outlier ... 100
4.10. Hasil Pengujian Kelayakan Model Penelitian Untuk Analisis SEM ... 116
4.11. Standar Nilai Residual Model ... 121
4.12. Bobot Critical Ratio ... 122
4.13. Hasil Uji Kausalitas Model ... 123
4.14. Standardized Direct Effects... 124
4.15. Standardized Indirect Effects ... 125
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1.1. Perkembangan Ekspor Minyak Sawit Mentah dan Produk
Turunannya 1999-2006 (INDEF, 2007) ... 5
2.1. Hubungan Produktivitas dengan kualitas, efesiensi, efektivitas (Sedamayanti, 2009) ... 50
2.2. Pohon Industri Kelapa Sawit ... 58
2.3. Kerangka Konseptual Penelitian ... 64
3.1. Tahapan Model Analisis SEM ( Cooper & Schindler, 2006) ... 81
3.2. Full model struktural penelitian ... 84
4.1. Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 99
4.2. Responden Berdasarkan Usia/Umur ... 99
4.3. Responden Berdasarkan Pendidikan ... 100
4.4. CFA Kebijakan Insentif Pajak (Output Amos V.21) ... 113
4.5. CFA Investasi Sosial (Output Amos V.21) ... 114
4.6. CFA Produktivitas (Output Amos V.21) ... 114
4.7. Output data penelitian (Output Amos V.21) ... 115
4.8. Dirrect Effect Kebijakan insentif pajak (Output Amos V.21) ... 125
4.9. Dirrect Effect Investasi social (Output Amos V.21) ... 125
4.10. Indirrect Effect Kebijakan insentif pajak (Output Amos V.21) ... 126
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Kuisioner Penelitian ... 142
2 Butir Jawaban Kuesioner ... 149
3 Tabulasi Jawaban Responden ... 158
4 Uji Validitas Data Reliabilitas Kuisioner ... 160
PENGARUH KEBIJAKAN INSENTIF PAJAK TERHADAP PRODUKTIVITAS INDUSTRI PENGOLAHAN KELAPA SAWIT DI WILAYAH KERJA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL
PAJAK SUMATERA UTARA I
ABSTRAK
Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian yang berkembang di negara-negara tropis seperti Indonesia. Ketersediaan lahan, tenaga kerja yang murah, serta pertumbuhan permintaan dunia atas CPO, menjadikan Indonesia sebagai Negara pengekspor CPO terbesar di dunia. Namun demikian, dukungan keringanan pajak bagi perusahaan sawit yang melakukan research and development dan community development dalam kerangka investasi sosial, kurang memadai untuk meningkatkan produktivitas,
terutama bila dibandingkan dengan Malaysia. Kegiatan research and
development, community development, serta dukungan penuh pemerintah, membuat produktivitas sawit Malaysia lebih tinggi dibanding Indonesia. Malaysia dengan luas lahan sawit hanya 61,5% dari luas lahan sawit Indonesia mampu memproduksi CPO hingga 85,3% dari produksi CPO Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh variabel kebijakan insentif pajak terhadap produktivitas industri pengolahan kelapa sawit. Penelitian ini menggunakan data primer berdasarkan survei angket terhadap Wajib Pajak sektor industri pengolahan kelapa sawit yang terdaftar di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I. Model analisis data penelitian adalah Structural Equation Modeling menggunakan software AMOS 21 dengan sampel penelitian sebanyak 102 responden. Hasil analisis membuktikan bahwa kebijakan insentif pajak berpengaruh secara langsung dan signifikan terhadap produktivitas industri pengolahan kelapa sawit. Sementara di sisi lain, kebijakan insentif pajak juga berpengaruh secara tidak langsung dan signifikan terhadap produktivitas, melalui investasi sosial di sektor industri pengolahan kelapa sawit
THE INFLUENCE OF THE POLICY OF TAX INCENTIVES ON THE PRODUCTIVITY OF OIL PALM PROCESSING INDUSTRY IN
THE WORKING AREA OF THE DIRECTORATE GENERAL OF TAXATION OFFICE OF SUMATERA UTARA I
ABSTRACT
Oil palm industry is one of the strategic industries in agricultural sector which is developing in the tropical countries like Indonesia. The availability of area, inexpensive manpower, and the growth of demand for CPO (crude oil palm) have made Indonesia the biggest CPO exporter in the world. However, the support for tax cut for oil palm companies which perform research and development and community development in the frame of social investment is not sufficient to increase productivity, especially when it is compared to that of Malaysia. The activity of research and development, community development, and the full support from the government have caused the productivity of Malaysia’s palm oil to be higher than that of Indonesia. Malaysia, with the area of oil palm is only 61.5% of the Indonesia’s oil palm area is able to produce 85.3% of its CPO, compared to the Indonesia’ CPO production. The objective of the research was to analyze the influence of the variable of the policy of tax incentive on the productivity of oil palm processing industry. The primary data were gathered by distributing questionnaires to the taxpayers of the industrial sector of oil palm processing industry registered in the working area of the Directorate General of Taxation Office of Sumatera Utara I. The data were analyzed by using Structural Equation Modeling with an AMOS 21 software program.The result of the analysis showed that the policy of tax incentive had positive and significant influence on the productivity through social investment in the sector of oil palm processing industry.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor
pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis
seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand. Hasilnya biasa digunakan sebagai
bahan dasar industri lainnya seperti industri makanan, kosmetika, dan industri
sabun. Prospek perkembangan industri kelapa sawit saat ini sangat pesat, karena
terjadi peningkatan jumlah produksi kelapa sawit seiring meningkatnya kebutuhan
masyarakat. Kebun dan industri kelapa sawit menyerap lebih dari 4,5 juta petani
dan tenaga kerja dan menyumbang sekitar 4,5 persen dari total nilai ekspor
nasional (Suharto, 2007). Hal ini telah menjadikan Indonesia sebagai Negara
pengekspor Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia. Tentu saja pencapaian ini
berkat dukungan ketersediaan lahan, tenaga kerja yang murah, serta pertumbuhan
permintaan dunia atas pasokan CPO, terutama untuk memenuhi bahan baku energi
alternatif (biodiesel).
Industri/perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu sektor unggulan
Indonesia memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap ekspor nonmigas
nasional, dan setiap tahun cenderung terus mengalami peningkatan (Tryfino,
2006). Ekspor CPO Indonesia setiap tahunnya juga menunjukkan tren meningkat
dengan rata-rata peningkatan adalah 12,97 persen (Tryfino, 2006). Walaupun
pemerintah menerapkan tarif pungutan ekspor/pajak ekspor (PE) dan pengenaan
namun sejauh ini sawit tetap menjadi primadona di industri perkebunan,
disamping isu kartel yang dihembuskan beberapa negara, rencana pembatasan
lahan untuk holding company, kenaikan harga patokan ekspor (HPE) hingga soal
pabrik pengolahan tanpa kebun.
Perkembangan luas lahan sawit dalam 20 tahun terakhir menunjukkan
bahwa industri sawit masih menjanjikan keuntungan ekonomis. Luas lahan sawit
nasional pada tahun 1986 tercatat sebesar 606.780 ha, pada tahun 1996 sebesar
2.249.514 ha, dan pada tahun 2006 tercatat 6.074.926 ha. Dari total luas lahan
sawit tersebut, 696.699 ha merupakan milik PT. Perkebunan Nusantara, 2.741.802
ha milik swasta, dan 2.636.425 ha adalah milik rakyat.
Di luar isu dan fakta di atas, pengembangan industri hilir CPO perlu
diprioritaskan sebagai kebijakan industri, mengingat kita tidak dapat selamanya
menjadi Negara pengekspor bahan baku. Apabila kecenderungan mengekspor
CPO dipertahankan, ini menunjukkan industri nasional tidak berkembang dan
tidak mengalami kemajuan, selain itu tidak memberi nilai tambah dari proses
industri secara menyeluruh.
Total produksi minyak sawit (palm oil) menunjukkan bahwa produksi di
dunia mencapai 44,35 juta ton pada tahun 2010 (Tabel 1). Dari total tersebut,
sebanyak 82,86 persen dipasok dari dua Negara penghasil utama minyak sawit,
yaitu Malaysia dan Indonesia dengan produksi masing-masing sebesar 16,99 juta
ton (38,31%) dan 19,76 juta ton (44.55%).
Dibandingkan dengan pertumbuhan produksi di tingkat dunia, produksi
Indonesia menunjukkan nilai tertinggi selama 2006-2010. Pertumbuhan produksi
sebesar -1,61 persen dan tertinggi pada tahun 2006, yaitu 14,83 persen. Tingkat
pertumbuhan produksi minyak sawit di Indonesia selama 2006-2010 terendah
pada tahun 2008, yaitu -0,70 persen, padahal pertumbuhan produksi dua tahun
sebelumnya (2006) mencapai 23,31 persen.
Tabel 1.1. Volume, Persentase, dan Pertumbuhan Produksi Minyak sawit, 2006-2011
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Dunia
Produksi (Juta Ton) 39,42 39,76 43,23 45,08 44,35
Persentase (%) 100 100 100 100 100
Pertumbuhan (%) 14,83 0,86 8,74 4,26 -1,61
Indonesia
Produksi (Juta Ton) 17,35 17,66 17,53 19,32 19,76
Persentase (%) 44,01 44,43 40,56 42,86 44,55
Pertumbuhan (%) 23,31 1,80 -0,70 10,17 2,25
Malaysia
Produksi (Juta Ton) 15,88 15,82 17,73 17,56 16,99
Persentase (%) 40,28 39,79 41,02 38,96 38,31
Pertumbuhan (%) 6,15 -0,35 12,07 -0,95 -3,25
Lainnya
Produksi (Juta Ton) 6,19 6,27 7,96 8,19 7,60
Persentase (%) 15,71 15,78 18,42 18,18 17,14
Pertumbuhan (%) 17,02 1,35 26,92 2,86 -7,20
Sumber: FAOSTAT 2012 (data diolah)
Meskipun demikian, Indonesia mengalami peningkatan porsi ekspor minyak
sawit secara tajam dan konsisten dalam lima tahun terakhir, kecuali tahun 2007
yang mengalami pertumbuhan negatif (Tabel 2). Peningkatan porsi ekspor ini
mencerminkan, penyerapan minyak sawit oleh industri domestik relatif rendah,
Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) mencatat serapan
minyak sawit untuk industri minyak goreng domestik yang merupakan industri
yang dominan menggunakan minyak sawit di dalam negeri hanya berkapasitas 1,9
juta ton per tahun. Industri hilir yang lain, yang menghasilkan produk turunan
minyak sawit belum banyak berkembang dan tidak banyak menyerap bahan baku.
Tabel 1.2. Volume, Persentase, dan Pertumbuhan Ekspor Minyak Sawit, 2006-2010
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Dunia
Ekspor (Ribu Ton) 29.956,19 26.210,55 33.343,51 35.192,61 35.318,81
Persentase (%) 100 100 100 100 100
Pertumbuhan (%) 13,06 -12,50 27,21 5,55 0,36
Indonesia
Ekspor (Ribu Ton) 12.100,92 8.875,41 14.290,68 16.829,20 16.291,85
Persentase (%) 40,39 33,86 42,85 47,82 46,12
Pertumbuhan (%) 16,62 -26,65 61,01 17,76 -3,19
Malaysia
Ekspor (Ribu Ton) 14.202,67 13.011,13 14.142,44 13.924,41 14.732,72
Persentase (%) 47,42 49,65 42,42 39,56 41,72
Pertumbuhan (%) 7,61 -8,39 8,69 1,54 5,80
Lainnya
Ekspor (Ribu Ton) 3.652,59 4.324,01 4.910,37 4.438,99 4.294,24
Persentase (%) 12,19 16,49 14,73 12,62 12,16
Pertumbuhan (%) 25,05 18,38 13,56 -9,6 -3,26
Sumber: FAOSTAT 2012 (data diolah)
Pada periode 1999-2006, produksi produk turunan minyak kelapa sawit
tidak bergerak pada kisaran 60 persen, ekspor minyak sawit mentah sekitar 40
persen (Gambar 1). Produksi minyak sawit Indonesia tahun 2007 mencapai 17,66
juta ton, dengan jumlah sebanyak 8,79 juta ton yang digunakan untuk konsumsi
Gambar 1.1. Perkembangan Ekspor Minyak sawit Mentah dan Produk
Turunannya 1999-2006 (INDEF, 2007)
Indonesia boleh berbangga menjadi produsen terbesar minyak sawit mentah
(crude palm oil/CPO) di dunia. Tahun ini, produksi CPO Indonesia diperkirakan
mencapai 23 juta ton, dan tahun 2020 ditargetkan menembus 40 juta ton. CPO
berikut produk turunannya tahun lalu menyumbangkan devisa tak kurang dari
US$ 15 miliar. Minyak sawit juga menyetor bea keluar ke pemerintah sebesar Rp
15 triliun pada tahun lalu atau Rp 50 triliun bila dihitung secara akumulatif sejak
kebijakan bea keluar diberlakukan.
Perkebunan sawit merupakan tempat bergantung 3,5 juta kepala keluarga.
Setidaknya 17 juta tenaga kerja terserap di perkebunan sawit dan industri sawit.
Namun, di balik prestasi itu, ada beberapa hal yang merisaukan, terutama bila
industri sawit nasional dibandingkan dengan Malaysia, produsen CPO terbesar
kedua di dunia. Setidaknya perlakuan yang diberikan pemerintah terhadap industri
sawit kedua negara amat jauh berbeda. Meski produsen CPO nasional sudah
perlakuan timbal balik yang sepadan. Praktis, tidak ada dana yang telah disetor itu
dikembalikan ke industri maupun perkebunan sawit, untuk pengembangan
industri yang bersangkutan. Terkesan pemerintah hanya ‘memerah’ produsen
CPO. Hal itu berbeda dengan Malaysia, sebagian dana hasil setoran yang
diberikan oleh industri sawit, dikembalikan untuk pengembangan industri sawit.
Pemerintah Malaysia juga memberikan keringanan pajak bagi perusahaan sawit
yang melakukan research and development (R&D) dan community development
dalam kerangka social investment.
Sebuah BUMN perkebunan Malaysia, menempatkan research and
development (R&D) dan community development sebagai prioritas utama
(investor.co.id, 2013). Perusahaan itu menganggarkan 2-3% keuntungan bersihnya
untuk kegiatan tersebut, dan untuk tahun ini dianggarkan minimal Rp 150 miliar.
Dua kementerian yang membawahkan urusan sawit juga mengembangkan riset
tersendiri khusus tentang sawit. Divisi riset perusahaan sawit Malaysia
terus-menerus berusaha menemukan bibit unggul yang mampu memberikan
produktivitas tinggi, cepat panen, dan tahan terhadap hama-penyakit. Bukan
hanya itu, seluruh pemangku kepentingan di Malaysia bersatu untuk memajukan
perkebunan dan industri sawit. Dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat
Malaysia satu sikap dalam soal sawit. LSM setempat tidak mau menjadi
perpanjangan Green Peace, yang terkadang menjadi corong negara maju lantaran
takut produk minyak nabatinya tersaingi minyak sawit. Tak mengherankan bila
industri hilir sawit Malaysia sangat maju. Malaysia berhasil membuat bermacam
produk derivatif yang memberikan nilai tambah tinggi, tidak sekadar mengekspor
untuk membangun pabrik produk derivatif sawit, meski lahan sawitnya hanya
berada di tiga negara.
Kegiatan research and development (R&D), community development, serta
dukungan penuh pemerintah, membuat produktivitas sawit Malaysia jauh lebih
tinggi dibanding Indonesia. Produktivitas sawit Malaysia 3,5 ton per ha,
sedangkan Indonesia 2,5 ha per tahun. Akibat perbedaan produktivitas, Malaysia
dengan luas lahan sawit hanya 61,5% dari luas lahan sawit Indonesia mampu
memproduksi CPO hingga 17 juta ton atau 85,3% dari produksi CPO Indonesia.
Saat ini, lahan yang sudah ditanami sawit baru 7,8 juta ha, sekitar 16,5% dari
wilayah pertanian dan perkebunan atau 8,3% dari total wilayah hutan. Masih ada
7 juta ha lahan yang bisa ditanami sawit. Di sinilah perlunya komitmen penuh dari
produsen CPO dan para pemangku kepentingan, terutama pemerintah.
Berangkat dari data di atas, Indonesia memiliki kebutuhan untuk
merevitalisasi industri minyak kelapa sawit. Pengurus Gabungan Pengusaha
Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) seperti dirilis okezone.com, menjadikan
investasi untuk merevitalisasi industri sawit sebagai fokus utama menuju
sustainable industry. Investasi yang mencakup ekspansi lahan dan teknologi
terbarukan yang ramah lingkungan dalam pengolahan minyak kelapa sawit tentu
membutuhkan kemampuan finansial yang besar, untuk itu pelaku usaha yang
bergerak di sektor ini, sangat mengharapkan peran pemerintah melalui insentif
Dari uraian tersebut penulis berusaha untuk membahas masalah ini menjadi
sebuah tesis dengan judul “Pengaruh Kebijakan Insentif Pajak Terhadap
Produktivitas Industri Pengolahan Kelapa Sawit di Wilayah Kerja Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, penulis
membatasi perumusan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Apakah kebijakan insentif pajak berpengaruh langsung terhadap produktivtas
sektor industri pengolahan kelapa sawit di wilayah kerja Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I.
2. Apakah kebijakan insentif pajak berpengaruh secara tidak langsung terhadap
produktivitas sektor industri pengolahan kelapa sawit melalui investasi sosial
di sektor industri pengolahan kelapa sawit di wilayah kerja Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis pengaruh kebijakan insentif pajak terhadap produktitas sektor
industri pengolahan kelapa sawit di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak Sumatera Utara I.
2. Menganalisa pengaruh kebijakan insentif pajak terhadap produktivitas sektor
pengolahan kelapa sawit di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak Sumatera Utara I.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Menambah literatur penelitian mengenai pengaruh kebijakan insentif pajak
terhadap produktivitas sektor industri pengolahan kelapa sawit dan pengaruh
kebijakan insentif pajak terhadap produktivitas sektor industri pengolahan
kelapa sawit melalui investasi sosial di sektor industri pengolahan kelapa
sawit di wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera
Utara I.
2. Informasi bagi stoke holder dalam upaya peningkatan produktivitas sektor
industri pengolahan minyak kelapa sawit di wilayah kerja Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fungsi Ekonomi Pemerintah
Sejak lama para filosof telah memperdebatkan peranan negara, sementara itu para
pemikir politik telah mengajukan pendekatan-pendekatan yang berbeda terhadap
pemerintah. Tidak dapat dipungkiri bahwa peranan pemerintah tetap dibutuhkan
meskipun era globalisasi telah mengaburkan batas-batas negara. Tidak ada negara
yang sanggup meluputkan diri dari globalisasi, sehingga negara dengan segala
fungsinya ikut terpengaruh oleh globalisasi yang membuat dunia seakan menjadi
dusun global (global village) tetapi pemerintahan negara manapun tetap
menjalankan fungsinya.
Menurut Mankiw seperti diterjemahkan Munandar (1992), dari segi
ekonomi, ada 4 fungsi pemerintah yaitu :
1. Mendirikan kerangka kerja resmi bagi perekonomian
Dalam fungsi ini pemerintah membuat aturan main ekonomi. Peraturan ini
meliputi batasan kekayaan perusahaan, hukum perjanjian kontrak, kewajiban
majikan atas pegawainya dan lain-lain.
2. Mempengaruhi pengalokasian berbagai sumber daya untuk mengubah
efisiensi ekonomi
Fungsi ini disebut juga fungsi alokasi yang berkaitan dengan barang publik,
3. Membentuk berbagai program untuk mengubah distribusi pendapatan
Fungsi ini dikenal dengan fungsi distribusi, pemerintah memiliki peran yang
sangat penting dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Terdapat ketidakmerataan sejulah distribusi pendapatan sedangkan pasar
tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut
4. Menstabilkan perekonomian melalui kebijakan makro
Pemerintah berusaha untuk memperlancar arus bisnis untuk menghindari
tingkat pengangguran yang kronis, stagnasi ekonomi dan inflasi, serta
mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Senjata utama pemerintah
untuk mengontrol fluktuasi bisnis dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
adalah kebijakan moneter dan kebijakan fiskal..
Musgrave (1989) menyebutkan fiscal function pemerintah adalah sebagai berikut :
1. The Provision for social goods, or the process by which total resource use is
divided between privat and social goods and by which the mix of social goods
is chosen. This provision may be termed the allocation function of budget
policy Regulatory policies, which may also be considered apart of the
allocation function, are not included here because they are not primarily a
problem of budget policy.
2. Adjustment of the distribution of income and wealth to ensure conformance
with what society consider a ”fair” or ”just” state of distribution, here
referred to as the distribution function.
3. The use of budget policy as a means of maintaining high employment, a
economic growth, with allowances for effects an trade and on the balance of
payments. We refer to all these objectives as the stabilization function.
Dengan demikian fungsi pemerintah menurut Musgrave ada tiga yaitu fungsi
alokasi yang berkaitan dengan penyediaan barang-barang publik, fungsi distribusi
yang berkaitan dengan pembagian yang merata di masyarakat mengenai
penghasilan dan kesejahteraan dan fungsi stabilisasi yang berkaitan dengan
stabilitas barang-barang kebutuhan masyarakat, mempertahankan kesempatan
kerja yang senantiasa terbuka luas dan menjamin pertumbuhan ekonomi yang
mantap.
2.2. Kebijakan Publik
Dalam menjalankan fungsinya, pemerintah membutuhkan instrument untuk dapat
mengimplementasikan fungsinya tersebut. Instrumen yang dimaksud adalah
kebijakan. Helco dalam Parsons (2005) memberi batasan dari suatu kebijakan,
yaitu “To suggest in academic circle that there is a general agreement of
anything is to done a crimson in the bullpen, but policy is one termon which there
seems to be a certain amount of definitional agreement, as commonly used, the
terms policy is ussualy consider to apply to amethong bigger than particular
decisions, but smaller the general social movement.” Kebijakan adalah suatu
istilah yang disepakati secara umum yang biasanya digunakan untuk
mempertimbangkan keputusan tertentu juga untuk perubahan sosial.
Menurut Jones dalam Tangkilisan (2003), Kebijakan terdiri dari
komponen-komponen sebagai berikut :
2. Plans atau proposal yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan
3. Program yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan
4. Decision atau keputusan yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan,
membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program
5. Efek yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau
sekunder)
Eaulau dan Previt, dalam Tangkilisan (2003) merumuskan kebijakan sebagai
keputusan yang tetap, ditandai dengan kelakuan yang berkesinambungan dan
berulang-ulang pada mereka yang membuat kebijakan dan yang
melaksanakannya, dengan demikian kebijakan merupakan suatu keputusan untuk
menetapkan tujuan yang berkesinambungan, melaksanakan dan mengevaluasinya.
Istilah kebijakan publik dikemukakan oleh para pakar di bidang politik maupun
administrasi Negara. Salah satu definisi yang sering digunakan adalah pendapat
dari Dye dalam Thoha (1993) yang menyebutkan “Whatever government choose
to do or not to do” (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan ataupun
untuk tidak dilakukan). Pengertian sederhana ini mencakup bahwa kebijakan
publik tidak hanya berupa apa yang dilakukan oleh pemerintah melainkan
termasuk juga apa saja yang tidak dilakukan pemerintah. Tindakan yang tidak
dilakukan pemerintah pun mempunyai dampak yang besar seperti halnya apa yang
dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah tidak melakukan tindakan bukan berarti
tidak respons dengan masalah publik, namun bias saja masalah publik tersebut
telah diatur ketentuannya dengan kebijakan yang sudah ada sehingga tidak
Lebih lanjut Thoha (1993) mengemukakan bahwa public policy dalam arti luas
mempunyai dua aspek pokok :
1. Policy, merupakan praktik sosial, bukan event yang tunggal atau terisolir.
Dengan demikian sesuatu yang dihasilkan pemerintah berasal dari segala
kejadian dalam masyarakat dan digunakan untuk kepentingan masyarakat.
2. Policy, adalah suatu peristiwa yang ditimbulkan untuk mendamaikan “claim”
dari pihak-pihak yang konflik, atau untuk menciptakan “incentive” bagi
tindakan bersama bagi pihak-pihak yang ikut menetapkan tujuan akan tetapi
mendapatkan perlakuan yang tidak rasional dalam usaha tersebut.
Senada dengan Thoha, Chandler dan Plano dalam Tangkilisan (2003) berpendapat
bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara
terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang
beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi
dalam pembangunan secara luas. Dengan demikian jika ada pihak-pihak yang
berkonflik atau menuntut suatu insentif, maka salah satu usaha yang dilakukan
untuk mengatasinya adalah dihasilkan suatu policy.
2.3. Sistem Perpajakan
Sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia dan pada beberapa negara pada
umumnya terdiri dari tiga macam pilar utama. Menurut Mansury (1996) Pilar itu
terdiri dari Kebijakan pajak (Tax Policies), Undang-Undang Pajak (Tax Laws),
dan juga Administrasi Pajak (Tax Administration). Untuk menunjang sebuah
sistem perpajakan yang baik maka koordinasi antara ketiga pilar tersebut tidak
1. Kebijakan Pajak (Tax Policies)
Mansury (1999) menyatakan bahwa kebijakan pajak merupakan pengertian sempit
dari kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal dalam arti luas adalah kebijakan untuk
mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi dengan
mempergunakan instrument pemungutan pajak dan pengeluaran belanja Negara,
sedangkan pengertian dari kebijakan fiskal dalam arti sempit adalah kebijakan
yang berhubungan dengan penentuan siapa-siapa yang akan dikenakan pajak, apa
yang akan dijadikan dasar pengenaan pajak, bagaimana menghitung besarnya
pajak yang harus dibayar dan bagaimana tatacara pembayaran pajak yang
terhutang.
Menurut Sicat dalam Nirwono (1991), kebijakan fiskal (fiscal policy) berkaitan
dengan pemanfaatan gabungan pengeluaran pemerintah, perpajakan dan utang
pemerintah untuk mencapai sasaran yang dikehendaki. Kebijakan fiskal yang aktif
dirancang untuk membantu meredakan goncangan liar siklus dunia usaha
(business cycles) agar perekonomian menjadi lebih stabil. Kebijakan fiskal juga
harus dirancang guna memantapkan pertumbuhan pendapatan dari waktu ke
waktu, memperluas kesempatan kerja, serta meningkatkan keadilan pembagian
pendapatan dan kekayaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal merupakan salah satu
instrumen yang dimiliki pemerintah untuk menstabilkan perekonomian dengan
menggunakan instrumen perpajakan dan pengeluaran pemerintah serta hutang
pemerintah dengan peraturan atau pengawasan pemerintah yang dapat
mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja, dan meratakan
Telah disebutkan bahwa kebijakan pajak merupakan bagian dari kebijakan fiskal.
Menurut Mansury (1999) tujuan kebijakan pajak sebagai berikut :
1. Peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran
2. Distribusi penghasilan yang lebih adil
3. Stabilitas
Dalam pembuatan kebijakan perpajakan, pemerintah harus memperhatikan
terlebih dahulu mengenai dua fungsi utama dari perpajakan. Dua fungsi tersebut
adalah fungsi budgeter dan fungsi regulerend. Fungsi budgeter yaitu fungsi untuk
menghimpun dana dari masyarakat bagi kas negara untuk pembiayaan kegiatan
pemerintah, baik pembiayaan rutin maupun pembiayaan pembangunan,
Sedangkan fungsi regulerend yaitu fungsi pajak yang memberikan wewenang
kepada pemerintah untuk mengatur, bila perlu mengubah susunan pendapatan dan
kekayaan swasta.
Salah satu bentuk dari fungsi regulerend sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya dipergunakan untuk mengatur kondisi perkonomian yang ada, salah
satunya mengatur mengenai investasi atau penanaman modal. Dalam hal ini
apabila pemerintah ingin meningkatkan pertumbuhan investasi baik asing maupun
dalam negeri maka pemerintah dapat memberikan rangsangan-rangsangan
investasi kepada pihak investor. Rangsangan tersebut dapat berupa pemberian
insentif usaha. Salah satu jenis insentif usaha yang dapat diberikan oleh
pemerintah adalah melalui pemberian fasilitas pajak.
2. Undang-Undang Pajak (Tax Laws)
Definisi tentang pajak, salah satu elemen yang terkandung didalamnya adalah
diperlukan suatu sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai masalah
perpajakan ini. Peraturan yang mengatur mengenai Undang-Undang pajak ini
pada umumnya dikategorikan sebagai hukum pajak. Rosdiana dan Tarigan (2005)
menyatakan, pengertian dari hukum pajak sendiri merupakan bagian dari hukum
publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang
atau badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak. Menurut Mansury
(1999) definisi dari hukum pajak adalah keseluruhan peraturan yang meliputi
kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan
menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara.
3. Administrasi Pajak (Tax Administration)
Administrasi perpajakan merupakan elemen yang tidak kalah penting dari kedua
elemen sebelumnya dalam suatu sistem perpajakan. Menurut Rosdiana (2005),
administrasi perpajakan memegang peranan yang sangat penting karena
seharusnya bukan saja sebagai perangkat laws enforcement, tetapi lebih penting
dari itu, sebagai service point yang memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat sekaligus pusat informasi perpajakan.
Sebagai sarana yang ‘menjembatani’ antara pihak pemerintah dengan para wajib
pajak maka sudah sewajarnya sistem administrasi perpajakan menjadi salah satu
faktor penting penting dalam sistem perpajakan. meskipun terdapat kebijakan
perpajakan yang baik dan juga telah dituangkan dalam peraturan perpajakan yang
baik tanpa adanya administrasi perpajakan yang baik maka fungsi utama dari
2.4. Pajak
Adriani dalam Brotodiharjo (2003) menyatakan “Pajak adalah iuran kepada
negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang
langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.”
Brotodiharjo dalam Waluyo (2005) mengemukakan “Pajak adalah iuran kepada
negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang
langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.”
Soemitro (2004) mendefinisikan “ Pajak adalah iuran rakyat kepada Negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak dapat jasa
timbal balik (konsentrasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum.”
Judisseno (2005) mengemukakan“Pajak adalah suatu kewjiban kenegaraan dan
pengapdiaan peran aktif warga negara dan anggota masyarakat lainnya untuk
membiayai berbagai keperluan negara berupa pembangunan nasional yang
pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan untuk
Sejak reformasi perpajakan, ditandai dengan di undangkannya Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tanggal 31 Desember 1983, definisi pajak baru dimasukkan
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 pada tanggal 17 Juli
2007. Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 28 Tahun 2007
menyebutkan “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dari definisi pajak tersebut di atas jelas bahwa pajak merupakan kewajiban
kenegaraan dan pengabdian peran aktif warga negara dalam upaya pembiayaan
pembangunan nasional kewajiban perpajakan setiap warga negara diatur dalam
Undang-Undang dan Peraturan-peraturan pemerintah. Ciri-ciri yang melekat pada
pajak berdasarkan beberapa definisi yang telah diutarakan di atas adalah :
1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-undang serta
aturan pelaksanaannya.
2. Pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual
oleh pemerintah atau negara.
3. Pajak dipungut oleh pemerintah atau negara.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, dan public
2.5. Fungsi Pajak
Fungsi pajak sangat berkaitan erat dengan fungsi ekonomi pemerintah seperti
telah dijelaskan sebelumnya. Pajak sebagai salah satu sumber pendanaan bagi
pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Nurmantu (2003) menyebutkan
dua fungsi pajak yaitu budgetair dan regulerend.
2.5.1. Fungsi Budgetair
Menurut nurmantu (2003), fungsi budgetair adalah salah satu fungsi dimana
pajak digunakan untuk memasukkan dana secara optimal ke kas Negara
berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Rosdiana (2003)
menyatakan, fungsi pajak yang paling utama adalah untuk mengisi kas Negara (to
raise government’s revenue), fungsi ini disebut juga fungsi fiskal (fiscal function).
Karena itu suatu pemungutan pajak yang baik sudah seharusnya memenuhi azas
revenue productivity. Fungsi ini merupakan fungsi utama di Negara-negara
berkembang termasuk Indonesia. Siahaan (2004) menyatakan, terkait dengan
fungsi budgetair, ada 3 hal yang harus diperhatikan yaitu ; jangan sampai ada
wajib pajak/subjek pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan, jangan
sampai ada obyek pajak yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak, dan jangan
sampai ada obyek pajak yang terlepas dari pengamatan atau penghitungan negara
2.5.2. Fungsi Regulerend
Menurut Nurmantu (2003), fungsi regulerend adalah suatu fungsi dimana pajak
dipergunakan pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Rosdiana
(2004) menyebutkan bahwa pada kenyataannya pajak bukan hanya berfungsi
untuk mengisi kas Negara, pajak juga digunakan pemerintah sebagai instrument
2.6. Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan adalah pajak yang dipungut atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh oleh subyek pajak. Sedangkan pengertian penghasilan itu sendiri antara
lain,
1. Menurut Schanz sebagaimana dikutip Rosdiana (2005) melalui teorinya The
Accreation Theory of Income, menyatakan bahwa pengertian penghasilan
untuk keperluan perpajakan seharusnya tidak membedakan sumbernya dan
tidak menghiraukan pemakaiannya, melainkan lebih menekankan kepada
kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk menguasai barang dan jasa.
2. Menurut Haig sebagaimana dikutip Rosdiana (2005), penghasilan merupakan
the money value of the net accreation to one’s economic power between two
points of time atau the increase or accreation in one’s power to satisfy his
wants in a given period in so far as that power consists. Penghasilan adalah
nilai uang berupa penambahan kemampuan ekonomis pada suatu waktu atau
peningkatan kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya dalam
suatu waktu.
3. Menurut Simon sebagaimana dikutip Rosdiana (2005), ”Personal income may
be defined as the algebraic sum of (1) the market value of rights exercised in
consumption an (2) the change in the value of the store of the property rights
between the beginning and the end of the period in question. In other words, it
is merely the result obtained by adding consumption during the period to
’wealth’ at the end of the period and then substracing ’wealth’ at the
beginning”. Penghasilan adalah penjumlahan dari nilai yang dikonsumsi
Ketiga konsep tersebut menekankan pada adanya tambahan kemampuan
ekonomis seseorang yang diperolehnya dari sumber manapun juga baik digunakan
untuk konsumsi maupun untuk hal lainnya. Hal ini sesuai dengan definisi
penghasilan yang dianut oleh sistem perpajakan di Indonesia. Dalam hal ini
pengklasifikasiannya, pajak penghasilan termasuk dalam pajak subyektif, yaitu
pajak yang dikenakan dengan memperhatikan keadaan wajib pajaknya, oleh
karena itu dalam menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan-alasan obyektif
yang berhubungan erat dengan keadaan materilnya atau yang disebut dengan daya
pikulnya. Besarnya daya pikul seseorang tidak hanya berdasarkan faktor
pendapatan atau kekayaan, tetapi masih ada faktor-faktor lain yang
mempengaruhinya.
Menurut Mansury (1999) ada beberapa unsur pokok dari konsep penghasilan yang
dianut di Indonesia, yaitu :
1. Tambahan kemampuan ekonomis
Obyek pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang dimiliki wajib pajak, yang diperoleh baik dari penghasilan karena hubungan
kerja, penghasilan dari pekerjaan bebas dan penghasilan karena pemilikan modal.
Tambahan kemampuan ekonomis ini diperoleh dengan mengurangkan
penghasilan dengan biaya yang terjadi atau dikeluarkan sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
2. Diterima oleh wajib pajak
Unsur ini membatasi pengenaan pajak atas setiap tambahan kemampuan
konsep akuntansi, yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan dengan memakai
“cash bassic” atau “accrual bassic”
3. Berasal dari Indonesia atau luar negeri
Nurmantu (2003) berpendapat, Indonesia dalam menentukan penghasilan
yang terutang pajak, menganut prinsip “world wide income” yaitu penghasilan
yang dikenakan pajak meliputi penghasilan yang diperoleh dari manapun juga,
baik yang berasal dari sumber di Indonesia maupun luar Indonesia. Mansury
(1999) menyatakan, prinsip ini dikenal juga dengan global taxation, yaitu setiap
wajib pajak harus menjumlahkan semua penghasilan selama satu tahun buku dari
manapun sumbernya.
4. Untuk konsumsi atau menambah kekayaan
Unsur ini merupakan cara tidak langsung dalam menghitung atau mengukur
besarnya penghasilan yang dikenakan pajak, yaitu sebagai hasil penjumlahan
seluruh pengeluaran untuk konsumsi dan tabungan atau investasi dan aset lainnya.
2.7. Pajak Pertambahan Nilai
Salah satu hal yang dapat membantu memahami Pajak Pertambahan Nilai adalah
dengan mengetahui karakteristik atau legal character Pajak Pertambahan Nilai.
Rosdiana (2005) mengatakan Legal character dapat didefinisikan sebagai ciri-ciri
atau nature dari suatu jenis pajak. Pemahaman tentang feature atau nature dari
suatu jenis pajak akan menentukan atau memberikan konsekuensi bagaimana
sebaiknya pajak tersebut harus dipungut. Karakteristik berbeda dengan definisi,
tetapi definisi dapat dibuat berdasarkan karakteristik. Oleh karena itu,
membedakannya dengan sesuatu yang lain, dibandingkan dengan definisi.
Karakteristik atau legal karakter Pajak Pertambahan Nilai menurut Terra (1988)
adalah pajak tidak langsung atas konsumsi yang bersifat umum (general indirect
tax on consumption).
1. General
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak konsumsi yang bersifat umum. Kata umum
ini yang membedakan Pajak Pertambahan Nilai dengan jenis pajak lainnya.
Karakter ini pun berarti Pajak Pertambahan Nilai dikenakan terhadap semua jenis
barang dan jasa yang menjadi expenditure private masyarakat baik berupa barang
maupun jasa. Seperti yang diungkapkan oleh Williams dalam Thuronyi (1996)
“The principle of the common system of value added tax involve the application
goods and services of general tax on consumption exactly proportional to the
price of the good and services, what ever the number of transaction that take
place in the production and distribution process before the stage at which tax is
charge.”
2. Indirect
Pajak Pertambahan Nilai adalah jenis pajak tidak langsung, dimana beban
pajaknya dapat dilimpahkan kepada pihak lain dengan cara forward shifting
maupun backward shifting. Sukardji (2002) berpendapat bahwa karakter pajak
tidak langsung ini member konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak
(destinataris) dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke Negara di
3. On Consumption
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi baik untuk konsumsi
sekaligus maupun bertahap. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi
barang bergerak dan tidak bergerak serta pemanfaatan jasa. Semua barang
seharusnya menjadi obyek Pajak Pertambahan Nilai tanpa kecuali, tanpa
membedakan apakah barang bergerak maupun tidak bergerak. Cnossen dalam
Thuronyi (1996) berpendapat bahwa “VAT is a tax on consumption expenditure as
they are incurred”.
Legal character VAT di atas diadopsi oleh Indonesia yang
menerapkannya sebagai pengganti pajak penjualan. Gunadi (1999) menyebutkan
bahwa, karakteristik Pajak Pertambahan Nilai adalah ciri khusus yang melekat
dalam sistem Pajak Pertambahan Nilai yang tidak dimiliki oleh sistem pajak yang
lain. Karakteristik tersebut yaitu :
1. Merupakan pajak tidak langsung
2. Merupakan pajak obyektif
3. Bersifat Multistage tax
4. Menggunakan faktur pajak
5. Merupakan pajak atas konsumsi dalam negeri
2.8. Konsep Nilai Tambah
Pada dasarnya Pajak Pertambahan Nilai merupakan turunan pajak penjualan yang
dikenakan atas nilai tambah yang muncul baik pada setiap jalur produksi maupun
distribusi. Tait (1988) menyatakan ”value added is the value that procedure
trainer, or circus owner) adds to his raw material or purchase (other than labour)
before selling the new or improved product or service. That is, the inputs (the raw
materials, transport, rent, advertising, and so on) are bought, people are paid
wages to work on these inputs and, when the final good or service is sold, some
profit is left. So value added can be looked at from the additive side (wages plus
profit) or from the substractive side (output minus input).
Tait melihat konsep nilai tambah dari sisi penambahan (gaji ditambah dengan
keuntungan) dan dari sisi pengurangan (keluaran dikurangi masukan). Nilai
tambah dapat juga diidentikkan dengan selisih antara penjualan dengan
pembelian. Hal ini sesuai dengan definisi menurut OECD (1998), ”value added is
identical to the different between sales and purchases.”
Aron (1982) mendefinisikan hal yang sama tentang nilai tambah sebagai berikut
”value added is the difference between the value of a firm sales and the value for
chosed material inputs used in production sold”, Sementara Hyman (1982)
mendefinisikan tentang nilai tambah sebagai berikut ”value added is the
difference between sales proceeds and purchases of intermediate goods and
services over a certain period.”
2.9. Insentif Pajak
Insentif pajak atau yang dalam peraturan perpajakan Indonesia disebut dengan
fasilitas pajak secara umum dapat diartikan sebagai kemudahan yang diberikan
oleh pemerintah dalam hal perpajakan. Viherkentta (1991) mengatakan “There is
no universally accepted definition of a ‘tax incentives’. In this study, the concept
inward foreign investmet”, sementara menurut Aaron sebagaimana dikutip oleh
Viherkenttä (1991) menyatakan “Tax incentives are often understood to be
spesific provisions intended by the lawgiver to encourage certain kinds of
behaviour in response to tax benefits granted in the provision.”
Menurut United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD)
(2000) “FDI incentives may be defined as any measurable advantages accorded
to specific enterprises or categories of enterprises by (or at the direction of) a
Government, in order to encourage them to behave in a certain manner. They
include measures specifically designed either to increase the rate of return of a
particular FDI undertaking, or to reduce (or redistribute) its costs or risks.”
Dari ketiga teori tersebut dapat ditemukan kesamaan yaitu insentif pajak
merupakan sebuah fasilitas yang diberikan kepada investor agar tertarik untuk
menanamkan modalnya disuatu negara. Dari definisi tersebut juga dapat
disimpulkan bahwa insentif pajak merupakan alat yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk mempengaruhi perilaku investor dalam menentukan kegiatan
bisnisnya.
Menurut Chalk (2001) Beberapa alasan rasional pemberian insentif usaha dalam
bentuk insentif pajak menurut tulisan yang dikeluarkan oleh International
Monetary Fund (IMF) adalah:
1. Kebijakan sektor industri
2. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi
3. Penciptaan lapangan pekerjaan
4. Pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia
6. Akses ke pasar global
7. Penciptaan klaster-klaster kegiatan ekonomi
Alasan dalam pemberian insentif usaha tersebut digunakan dengan pertimbangan
pertama dalam hal industrial policy, alasan dari diberikannya insentif usaha
adalah guna mendorong majunya industri yang ada dalam suatu negara, karena
diharapkan dengan adanya insentif usaha maka para pelaku industri besar
berminat untuk menanamkan modalnya di negara yang bersangkutan dan
selanjutnya dapat menjadi katalis guna memajukan industri dalam negeri.
Kedua yaitu the transfer of proprietary knowledge or technology, dengan adanya
pemberian insentif usaha yang nantinya akan menghadirkan para investor yang
memiliki skala industri besar maka diharapkan pengetahuan dan teknologi yang
digunakan oleh para investor tersebut dapat dimanfaatkan oleh para investor lokal,
pemerintah, dan juga masyarakat melalui proses alih teknologi sehingga ilmu
pengetahuan dan teknologi akan menjadi semakin maju.
Ketiga yaitu employment objectives, diharapkan dengan adanya insentif usaha
yang dapat mengajak para investor untuk menanamkan modalnya dapat
menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat terutama apabila investasi
tersebut merupaka investasi yang menyerap banyak tenaga kerja.
Keempat yaitu training and human capital development, berkaitan dengan alasan
sebelumnya yaitu adanya transfer pengetahuan dan tekhnologi maka selanjutnya
dengan adanya proses transfer tersebut maka diharapkan kualitas sumber daya
manusia akan semakin meningkat.
Kelima yaitu economic diversification, dengan masuknya para investor baru maka
sehingga kemungkinan adanya penambahan sektor-sektor industri baru dapat
tumbuh lebih banyak.
Keenam yaitu access to overseas market, dengan adanya insentif usaha maka para
investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya, apabila investor mulai
memasuki industri dalam negeri maka kemungkinan besar investor tersebut akan
melakukan perdagangan internasional, sehingga diharapkan dapat membuka akses
pasar internasional terhadap negara yang bersangkutan. Dengan adanya akses ke
pasar internasional ini maka diharapkan dapat mendorong kegiatan ekspor negara
yang bersangkutan.
Ketujuh yaitu regional or locational objectives, dengan penentuan lokasi-lokasi
tertentu untuk penanaman modal yang telah ditentukan oleh pemerintah maka
diharapkan pertumbuhan dari lokasi-lokasi tersebut dapat lebih maju tingkat
pertumbuhannya.
Alasan-alasan pemberian fasilitas pajak diatas, merupakan suatu penilaian untuk
menetapkan layak atau tidaknya suatu industri atau daerah tertentu untuk
diberikan fasilitas pajak penghasilan. Perumusan mengenai bidang usaha dan
daerah tertentu yang dapat diberikan fasilitas pajak penghasilan tersebut dilakukan
mengingat tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam rangka pemberian
fasilitas pajak penghasilan.
Jenis-jenis insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah pada umumnya terdapat
suatu pola yang sama. Hanya dalam penerapannya terdapat berbagai macam
variasi yang disesuaikan dengan kondisi negara masing-masing. Menurut Holland
dan Vann dalam Thuronyi (1998), secara umum insentif pajak dapat dibagi lima
1. Tax Holidays
2. Investment Allowances and Tax Credits
3. Timing Differences
4. Tax Rate Reductions
5. Administrative Discretion.
Insentif pajak dalam bentuk tax holidays pada umumnya digunakan oleh
negara-negara berkembang untuk menarik minat investor agar mau berinvestasi
dinegaranya. Insentif ini menurut Holland dan Vann dalam Thuronyi (1998) “ ...
new firms are allowed a period of time when they are exempt from the burden of
income taxation.” Maka dengan tax holidays ini wajib pajak memperoleh hak
berupa pembebasan dari pengenaan pajak dalam suatu periode waktu tertentu.
Jenis insentif yang kedua adalah investment allowances and tax credits, jenis
insentif ini menurut Holland dan Vann dalam Thuronyi (1998) “Investment
allowances and tax credit are forms of tax relief that are based on the value of
expenditures on qualifying investments.” Jenis insentif ini merupakan insentif
yang berdasarkan jumlah investasi yang bersangkutan. Pada umumnya jenis
insentif ini menggunakan suatu persentase tertentu yang ditentukan oleh
pemerintah dan kemudian diperhitungkan dalam penghitungan pajak yang harus
dibayarkan oleh wajib pajak.
Jenis insentif yang ketiga adalah timing differences, jenis insentif ini pada intinya
ialah terdapat adanya perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan
laporan keuangan pajak dalam pengakuan biaya dan juga dalam hal pengakuan
“Timing differences can arise through either the acceleration of deductions or the
defferal of the recognition of income.”
Jenis insentif yang keempat adalah tax rate reductions, jenis insentif ini sesuai
dengan namanya yaitu pengurangan tarif pajak merupakan jenis insentif yang
mengurangi tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak dari suatu persentase
atau tingkatan tarif tertentu ke tingkatan tarif yang berada dibawahnya.
Jenis insentif selanjutnya adalah administrative discretion, administrative
discretion merupakan salah satu isu yang pada umumnya beredar dalam
perumusan kebijakan fasilitas pajak. Pengertian dari administrative discretion ini
adalah apakah fasilitas pajak dapat dinikmati secara otomatis oleh setiap wajib
pajak yang memenuhi ketentuan atau harus mengajukan permohonan penggunaan
fasilitas pajak terlebih dahulu. Discretion dapat diartikan sebagai selektif,
sehingga administrative discretion dapat diartikan sebagai proses administrasi
yang selektif dalam rangka pemberian fasilitas pajak.
Sedangkan menurut Spitz sebagaimana dikutip Suandy (2006) umumnya terdapat
empat macam bentuk insentif pajak, yaitu:
1. Pengecualian dari pengenaan pajak
2. Pengurangan dasar pengenaan pajak
3. Pengurangan tarif pajak
4. Penangguhan pajak.
Insentif pajak dalam bentuk pengecualian dari pengenaan pajak merupakan bentuk
insentif yang paling banyak digunakan. Jenis insentif ini memberikan hak kepada
wajib pajak agar tidak dikenakan pajak dalam jangka waktu tertentu yang
mempertimbangkan pemberian insentif ini. Hal yang perlu diperhatikan adalah
sampai berapa lama pembebasan pajak ini diberikan dan sampai berapa lama
investasi dapat memberikan hasil. Contoh dari jenis insentif ini adalah tax holiday
atau tax exemption.
Jenis insentif yang kedua berupa pengurangan dasar pengenaan pajak. Jenis
insentif ini biasanya diberikan dalam bentuk berbagai macam biaya yang dapat
dikurangkan dari pendapatan kena pajak. Pada umumnya biaya yang dapat
menjadi pengurang boleh dikurangkan lebih dari nilai yang seharusnya. Jenis
insentif ini misalnya dapat ditemui dalam bentuk double deduction, investment
allowances, dan loss carry forwards.
Jenis insentif yang ketiga adalah pengurangan tarif pajak. Insentif ini yaitu berupa
pengurangan tarif pajak dari tarif yang berlaku umum ke tarif khusus yang diatur
oleh pemerintah. Insentif ini paling sering ditemui dalam pajak penghasilan.
Misalnya pengurangan tarif corporate income tax atau tarif witholding tax.
Jenis insentif yang terakhir menurut Spitz Suandy (2006) adalah penangguhan
pajak. Jenis insentif ini pada umumnya diberikan kepada wajib pajak sehingga
pembayar pajak dapat menunda pembayaran pajak hingga suatu waktu tertentu.
Kemudian menurut UNCTAD (2000), a Global Survey mengklasifikasikan jenis
insentif pajak antara lain sebagai berikut,
a. Reduced corporate income tax rate
b. Loss carry forwards
c. Tax holidays
d. Investment allowances