• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi pengelolaan lingkungan terpadu berkelanjutan TPST Bantargebang, Kota Bekasi:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimasi pengelolaan lingkungan terpadu berkelanjutan TPST Bantargebang, Kota Bekasi:"

Copied!
331
0
0

Teks penuh

(1)

BERKELANJUTAN TPST BANTARGEBANG,

KOTA BEKASI

H. DOUGLAS J. MANURUNG

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Optimasi Pengelolaan Lingkungan Terpadu Berkelanjutan TPST Bantargebang, Kota Bekasi, adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, September 2009

(3)

H. Douglas J. Manurung. 2009. Optimizing of Sustained Integrated Environment Management in TPST Bantargebang, Bekasi. Supervised by Surjono Hadi Sutjahjo, and Suaedi.

ABSTRACT

The growth and development of city bring impacts to the environment. One of the source impact is municipal solid waste, which is increase along with the growth of population and slums area and makes it more difficult to handle. Jakarta, as a metropolitan city in Indonesia also have the same case, municipal solid waste problems. Jakarta produces solid waste 6,525 tons daily, and 70% of it is delivered to TPST Bantargebang, Bekasi.

The existence of TPST Bantargebang brings serious impact to this important element: environment, include society nearby. Because of poor handling, the area and population around TPST Bantargebang had been already polluted by the municipal solid waste. Even, TPST Bantargebang is now using integrated waste processing technology, which is developed from open dumping system and Sanitary Landfill System – implemented since its first operation. This integrated technology is designed to solve various of environment problems in this landfill area. The capacity of TPST to receive all Jakarta’s garbage would reach its limit soon, and this become a serious problem to The Government of DKI Jakarta as well as Bekasi Government. The relation between both government also become a serious problem since TPST belong to Jakarta’s Government but under territory of the Government of Bekasi.

Integrated waste processing technology have to implemented soon, because without it, the society nearby will live in polluted water, soil and air. To find an integrated and sustained TPST’s solution, we needs to approach from the stakeholders’ viewpoints. No longer government, nor society nearby, nor incumbent investor, nor NGO forced its own ways to be implemented in TPST, but together they have to bring solutions from their own perspectives to achieve win-win solutions. The solution will be environment and society oriented and will transform the TPST to be an integrated and sustained sanitary landfill by combining sanitary landfill method with other modern technology, such as a plastic recycle industry, composting, gasification/pyrolisis technology, landfill gas and anaerobic digestion technology which produces power electricity.

(4)

Berkelanjutan TPST Bantargebang, Kota Bekasi. Dibimbing oleh: Surjono H. Sutjahjo, dan Suaedi.

Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota dapat menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan. Salah satu efek negatif tersebut adalah masalah lingkungan hidup yang disebabkan sampah. Kuantitas sampah yang terus meningkat diiringi meningkatnya kepadatan penduduk dan meningkatnya kawasan pemukiman kumuh di kota-kota besar semakin menyulitkan upaya pengelolaan sampah dari waktu ke waktu. Tanpa diimbangi dengan pengelolaan yang memadai, sampah bisa menjadi beban terhadap lingkungan dan berdampak negatif, seperti menimbulkan pencemaran air, tanah dan udara. Sampah yang dikirim ke TPST Bantargebang ini akan menimbulkan masalah apabila tidak dikelola dengan baik, karena sampah ini merupakan penyumbang gas rumah kaca dalam bentuk CH4 dan CO2.Fakta bahkan menunjukkan bahwa CH4 mempunyai

kekuatan merusak 20-30 kali lipat dari CO2 dan pada konsentrasi 15% di udara

gas metan berpotensi menimbulkan ledakan dengan sendirinya.

Selain mencemari udara, berdasarkan penelitian yang dilakukan di lingkungan TPST Bantargebang pada tahun 1999 oleh Dinas Kesehatan dan Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi disimpulkan bahwa sebanyak 40% derajat keasaman (pH) air sudah diambang batas, 95% ditemukan bakteri E. Coli di air tanah, dan 35% tercemar salmonella. Dan dari penelitian yang sama ditemukan bahwa 34% hasil foto rontgen ditemukan penduduk posistif menderita TBC, 99% mengalami ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas), dan 8% penduduk mengalami tukak lambung. Dampak sosial yang timbul diantaranya adalah terjadinya pencurian ratusan pipa paralon (pipa ventilasi) pada sanitary landfill yang berfungsi untuk membuang gas metan, sehingga menyebabkan saluran gas metan mengalami kebuntuan. Akibatnya timbul kebakaran di beberapa zona TPST sehingga menimbulkan asap dan pencemaran udara. TPST Bantargebang juga menyebabkan dampak pada hubungan dua pemerintah daerah. Masalah ini diawali sejak perubahan status Kota Administratif Bekasi menjadi Kota Bekasi pada tahun 1996, dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1996 tanggal 18 Desember 1996, yang menyebabkan tidak jelasnya kewenangan instansi pengelola sampah. Selama periode tersebut Pemerintah DKI Jakarta kurang memperhatikan pengelolaan TPST Bantargebang. Kondisi ini—di mana TPST adalah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedangkan wilayah teritorial di bawah Pemerintah Kota Bekasi—menyebabkan permasalahan pengelolaan TPST Bantargebang menjadi semakin kompleks.

(5)

tahapan, yaitu: (1) mendeskripsikan kualitas lingkungan dan kondisi sosial masyarakat, (2) menganalisis kualitas air, tanah, udara, dan komponen biologis di dalam dan di sekitar lokasi TPST Bantargebang, (3) melakukan PRA di tingkat masyarakat dan FGD di tingkat stakeholder Kota Bekasi dan DKI Jakarta, serta (4) menyusun skenario pengelolaan TPST Bantargebang yang optimal.

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa (1) kualitas air di sekitar TPST Bantargebang pada tahun 2008 sudah berada di luar baku mutu, tetapi tanah dan udara belum tercemar oleh logam berat, dan populasi lalat masih di bawah baku mutu, (2) masyarakat menganggap keberadaan TPST menguntungkan bagi mereka, dan mereka mengharapkan pengelola TPST dapat memfasilitasi pengembangan ekonomi mereka, (3) optimasi pengelolaan lingkungan terpadu berkelanjutan TPST Sampah Bantargebang dapat dilakukan dengan 8 (delapan) program yang menyentuh dimensi sosial, dimensi ekonomi, dimensi ekologi, dimensi teknologi yaitu: (a) melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar, (b) melakukan penanganan terhadap pemulung, (c) mendirikan dan membina koperasi untuk pemulung, (d) menjadikan TPST sebuah industri yang mengarah ke profit center, (e) pengembangan sarana dan prasarana eksisting, (f) pengembangan sarana dan prasarana pengelohan sampah yang baru dengan sistem terpadu antara pengelolaan sanitary landfill dan teknologi modern yang ramah lingkungan, (g) optimasi operasional sanitary landfill dengan berkomitmen pada Standard Operation Procedure (SOP), (h) pembangunan integrated zone dan Pusat Studi Persampahan. Optimasi pengelolaan lingkungan terpadu berkelanjutan ini diharapkan memenuhi konsep zero waste.

(6)

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(7)

Oleh:

H. DOUGLAS J. MANURUNG

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui:

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Dr. Suaedi, SPd., MSi

Ketua Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(9)

tesis ini. Tesis merupakan salah satu prasyarat untuk menyelesaikan studi Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Obyek penelitian ini adalah tempat pemusnahan sampah akhir (TPST) sampah Bantargebang, Kota Bekasi. Adapun tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk menghasilkan suatu skenario pengelolaan TPST yang optimal, terpadu, dan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan dimensi sosial, ekologi, ekonomi, dan teknologi.

Ucapan terimakasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS, sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan sebagai Ketua Program Studi, dan Bapak Dr. Suaedi, SPd., MSi., sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan kontribusi besar dalam bentuk saran pemikiran, bimbingan dan motivasinya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada isteri tercinta Ernika Sitorus, ananda terkasih Stephen Boas Manurung, Patrick Marcellino Manurung dan Felipe Carlito Manurung, serta kepada Orang tua dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Sdr. Roy Marthin Sihombing, ST. dan Sdr. Ir. Agus L. Toruan yang sudah banyak membantu dalam mempersiapkan penulisan tesis ini sampai selesai.

Pada kesempatan ini saya sampaikan juga ucapan terima kasih kepada Jajaran Direksi dan Staff PT. Godang Tua Jaya JO PT. Navigat Organic Energy Indonesia yang telah banyak membantu dalam penyediaan data dan memfasilitasi terlaksananya Participatory Rural Appraisal (PRA) dan focus group discussion

(FGD).

Penulis menyadari bahwa tesis ini merupakan rancangan kajian yang relatif singkat dan terbatas serta jauh dari sempurna, karena sebagai manusia biasa tidak lepas dari kekurangan dan kekhilafan. Untuk itu, kritikan dan saran dari pembaca akan sangat membantu penyempurnaan tesis ini. Pada akhirnya penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

Bogor, September 2009

(10)

H. Douglas J. Manurung lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tanggal 29 Desember 1967 dari ayah Drs. Jamiat Manurung dan ibu Bertha Rajagukguk, sebagai anak pertama dari dua bersaudara.

Riwayat pendidikan penulis dimulai saat memasuki sekolah taman kanak-kanak pada tahun 1973 di TK Ostrom Memorial Methodist, Tebing Tinggi Deli. Kemudian tahun 1974 sampai dengan 1978 penulis bersekolah di SD Kristen Methodist II masih di kota yang sama, lalu dilanjutkan di SD Kristen Kalam Kudus Pematang Siantar sampai selesai tahun 1980. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 4 Pematang Siantar lulus tahun 1983, dan SMA Negeri 2 Pematang Siantar lulus tahun 1986. Pada tahun 1986 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Setahun kemudian, tahun 1987, diterima di Jurusan Budi daya Pertanian, Program Studi Agronomi dengan memilih bidang keahlian tanaman perkebunan, dan lulus 1991. Pada tahun 1992 menyelesaikan MBA Programme for fresh graduate di Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM) di Jakarta. Sejak tahun 2007 penulis menempuh pendidikan S2 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.

Riwayat pekerjaan penulis dimulai pada tahun 1992 sampai 1994 sebagai Product Manager di Helios Foods. Pada tahun 1994 sampai tahun 2006, penulis bekerja di PT. Sentral Multirasa Utama sebagai Marketing Manager. Sejak tahun 2004 sampai sekarang penulis bekerja di PT. Godang Tua Jaya sebagai direktur, dan pada tahun 2008 penulis ditunjuk PT. Godang Tua Jaya Joint Operation

dengan PT. Navigat Organic Energy Indonesia (Investor Pengelola TPST Bantargebang) sebagai Managing Director.

Pada 03 Agustus 1996, penulis menikah dengan Ernika Tiurmauli Sitorus dan telah dikaruniai 3 orang anak, Stephen Boas Manurung, Patrick Marcelino Manurung dan Felipe Carlito Manurung.

Bogor, September 2009

(11)

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

iv v

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 4

1.3. Perumusan Masalah ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 7

1.5. Manfaat Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Sampah ... 8

2.2. Pengelolaan Sampah dan Permasalahannnya………... 8

2.3. Kebijakan Pengolahan Sampah di Provinsi DKI Jakarta…………. 10

2.4. Aspek Hukum……….. 11

2.5. Aspek Lingkungan……… 12

2.6. Sanitary Landfill……….. 14

2.7. Pengolahan Sampah Terpadu……….. 17

2.8. PRA dan FGD 18 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian……… 23

3.2. Tahapan Penelitian 23 3.3. Rancangan Penelitian ... 24

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Administratif……….………. 31

4.2. Sosial Budaya……….……….. 31

4.3. Perekonomian……….……….. 33

4.4. Kondisi Umum TPST…….……… 34

4.5. Kondisi Lingkungan TPST……… 36

4.6. Sarana dan Prasarana……… 47

V. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1. Kualitas Lingkungan TPST Bantargebang……… 49

5.2. Persepsi Masyarakat………. 52

5.3. Skenario Optimal Pengelolaan TPST……….……… 54

(12)

6.1. Kesimpulan 72

6.2. Saran 73

DAFTAR PUSTAKA 74

(13)

Tabel 1.

Metode dan Analisis Kualitas Air

Tujuan Penelitian, Cara Pengumpulan Data dan Jenisnya, Metode Analisis, dan Output yang Diharapkan

Tata Guna Lahan Kecamatan Bantar Gebang pada Tiga Kelurahan Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Bantargebang

Komposisi Penduduk Kec. Bantargebang Berdasarkan Mata Pencarian Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Bantargebang

Luas Zona dan Sub Zona TPST Bantargebang Kualitas Inlet Udara Tahun 2007

Kualitas Inlet Udara Tahun 2007

Kualitas Udara di TPST dan Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2008 Kualitas Udara di TPST dan Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2008 Beberapa Penyakit Bawaan Sampah

Data Aset Tidak Bergerak UPT TPST Bantargebang

Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2008 Kualitas Air Sungai di Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2008 Kualitas Air Lindi di Masing-masing IPAS Tahun 2008

Hasil Uji Populasi Lalat di Zona I dan Zona IIIC Alasan Responden Membuka Usaha di TPST

Masalah Utama yang Dihadapi dalam Berusaha di TPST Upaya yang diharapkan untuk Mengatasi Masalah Utama Kebutuhan Lahan untuk Setiap Fasilitas

Matriks dampak skenario terhadap kondisi ekologi, ekonomi, dan sosial

Kebutuhan Lahan untuk Setiap Fasilitas Pengolahan di TPST

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1a. Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Pengelolaan Lingkungan TPST Bantar Gebang

4

Gambar 1b Diagram Alir Perumusan Masalah 6

Gambar 2. Mekanisme Pemusnahan Sampah 16

Gambar 3. Tahapan Penelitian 24

Gambar 4. Peta Lokasi TPST Bantargebang . 32

Gambar 5. Gafik Kualitas Air Sumur I Periode 1999 - 2008 37 Gambar 6. Grafik Kualitas Air Sumur II Periode 1999 - 2008 38 Gambar 7. Grafik Kualitas air sumur III Periode 1999 - 2008 38 Gambar 8. Grafik Kualitas air sumur IV Periode 1999 - 2008 39 Gambar 9. Grafik Kualitas Air Sumur V Periode 1999 - 2008 39 Gambar 10. Grafik Kualitas Air Sungai (Parameter BOD) di Hulu dan Hilir

periode 1999 – 2008

40

Gambar 11. Grafik Kualitas Air Sungai (Parameter COD) di Hulu dan Hilir Periode 1999 – 2008

40

Gambar 12. Grafik Kualitas air sungai (parameter Nitrat) di hulu dan hilir periode 1999 – 2008

41

Gambar 13. Grafik Kualitas Air Sungai (Parameter Nitrit) di Hulu dan Hilir Periode 1999 – 2008

41

Gambar 14. Grafik Kualitas Air Lindi (Parameter BOD Inlet dan Outlet) IPAS

42

Gambar 15. Grafik Kualitas Air Lindi (Parameter COD Inlet dan Outlet) IPAS

42

Gambar 16. Grafik Kualitas Air Lindi (parameter Amonia inlet dan outlet) IPAS

43

Gambar 17. Grafik Kualitas Air Lindi (Parameter pH Inlet dan Outlet) IPAS

43

Gambar 18. Grafik Populasi lalat di TPST Bantargebang 47 Gambar19. Denah GALFAD dan Pembagian Lahan Pengolahan Sampah

di TPST

59

Gambar 20. Diagram Alir Pengomposan 63

Gambar 21. Diagram Alir Proses Pemilahan 64

Gambar 22. Diagram Alir Daur Ulang Plastik 65

Gambar 23. Diagram Alir Proses GALFAD 67

Gambar 24. Diagram Alir Gasification 68

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perkiraan Jenis Dampak Penting di TPST Bantargebang Lampiran 2. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL) TPST

Bantargebang

Lampiran 3. Audit Lingkungan TPST Bantargebang Tahun 2000 Lampiran 4. Hasil Focus Group Discussion

Lampiran 5. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantar Gebang pada Tahun 1999 di Sumur I

Lampiran 6. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantar Gebang pada Tahun 1999 di Sumur II

Lampiran 7. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantar Gebang Tahun 2000 pada Sumur I

Lampiran 8. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantar Gebang pada Tahun 2000 pada Sumur II

Lampiran 9. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Bulan Oktober 2001 Lampiran 10. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Bulan Oktober 2001 Lampiran 11. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Bulan Oktober 2001 Lampiran 12. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Bulan Oktober 2001 Lampiran 13. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2002 Lampiran 14. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2002 Lampiran 15. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2002 Lampiran 16. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2002 Lampiran 17. Kualitas Air Sumur di Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2002 Lampiran 18. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2003

Lampiran 19. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2003 Lampiran 20. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2003 Lampiran 21. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2003 Lampiran 22. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2003 Lampiran 23. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2004 Lampiran 24. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2004 Lampiran 25. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2004 Lampiran 26. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2004 Lampiran 27. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2004

Lampiran 28. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2008 (November 2008)

Lampiran 29. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2008 (November 2008)

Lampiran 30. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2008 (November 2008)

Lampiran 31. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2008 (November 2008)

Lampiran 32. Kualitas Air Sumur di Sekitar Lokasi Studi Tahun 2008 (November 2008)

(16)

Lampiran 35. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Titik Hilir Pada Tahun 1999 Lampiran 36. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Titik Hulu pada Tahun 2000 Lampiran 37. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Hilir Pada periode Tahun 2000 Lampiran 38. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Titik Hulu dan Hilir pada

Oktober 2001

Lampiran 39. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Titik Hulu pada Oktober 2001 Lampiran 40. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Titik Hilir pada Oktober 2001 Lampiran 41. Kualitas Air Sungai Ciketing pada titik Hulu dan Hilir pada

Oktober 2002

Lampiran 42. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Titik Hulu dan Hilir pada Oktober 2002

Lampiran 43. Kualitas Air Sungai Ciketing pada Titik Hulu dan Hilir pada Oktober 2002

Lampiran 44. Kualitas Sungai Ciketing pada Titik Hulu (22 Oktober 2002) Lampiran 45. Kualitas Sungai Ciketing pada Titik Hilir (22 Oktober 2002) Lampiran 46. Kualitas Air Sungai Ciketing Sebelum dan Sesudah TPST Tahun

2004

Lampiran 47. Kualitas Air Sungai di TPST Bantargebang Tahun 2007 Lampiran 48. Kualitas Air Sungai di TPST Bantargebang Tahun 2007 Lampiran 49. Kualitas Air Sungai di TPST Bantargebang Tahun 2007 Lampiran 50. Hasil Uji Laboratorium Sungai di Ciketing Udik Hulu,TPST

Bantargebang Tahun 2008

Lampiran 51. Hasil uji laboratorium Sungai di Ciketing Udik Hilir,TPST Bantargebang Tahun 2008

Lampiran 52. Hasil Uji Laboratorium Sungai di Cimuning Hulu,TPST Bantargebang Tahun 2008

Lampiran 53. Hasil Uji Laboratorium Sungai di Cimuning Hilir,TPST Bantargebang Tahun 2008

Lampiran 54. Hasil Uji Laboratorium Sungai di Kali Asem Udik Hilir,TPST Bantargebang Tahun 2008

Lampiran 55. Hasil Uji Laboratorium Sungai di Pangkalan 3,TPST Bantargebang Tahun 2008

Lampiran 56. Kualitas Inlet dan Outlet pada IPAS I Tahun 2007 Lampiran 57. Kualitas Inlet dan Outlet pada IPAS II Tahun 2007 Lampiran 58. Kualitas Inlet dan Outlet pada IPAS III Tahun 2007 Lampiran 59. Kualitas Inlet dan Outlet pada IPAS IV Tahun 2007 Lampiran 60. Hasil Uji Laboratorium Air Lindi di Outlet IPAS 1, TPST

Bantargebang Tahun 2008

Lampiran 61. Hasil Uji Laboratorium Air Lindi di Inlet IPAS 1, TPST Bantargebang Tahun 2008

Lampiran 62. Hasil Uji Laboratorium Air Lindi di Outlet IPAS 2, TPST Bantargebang Tahun 2008

Lampiran 63. Hasil Uji Laboratorium Air Lindi di Inlet IPAS 2,TPST Bantargebang Tahun 2008

(17)

Bantargebang Tahun 2008

Lampiran 66. Hasil Uji Laboratorium Air Lindi di Outlet IPAS 4,TPST Bantargebang Tahun 2008

Lampiran 67. Hasil Uji Laboratorium Air Lindi di Intlet IPAS 4,TPST Bantargebang Tahun 2008

Lampiran 68. Kualitas Udara di TPST dan Sekitar TPST Bantargebang Tahun 2008

Lampiran 69. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Cikiwul 1) Tahun 2008 Lampiran 70. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Cikiwul 2) Tahun 2008 Lampiran 71. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Sumur Batu Utara) Tahun

2008

Lampiran 72. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Sumur Batu Selatan) Tahun 2008

Lampiran 73. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Ciketing Udik Timur) Tahun 2008

Lampiran 74. Kualitas Tanah di Sekitar Bantargebang (Ciketing Udik Barat) Tahun 2008

(18)

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota dapat menimbulkan efek

negatif terhadap lingkungan. Salah satu efek negatif tersebut adalah masalah

lingkungan hidup yang disebabkan sampah. Kuantitas sampah yang terus

meningkat diiringi meningkatnya kepadatan penduduk dan meningkatnya

kawasan pemukiman kumuh di kota-kota besar semakin menyulitkan upaya

pengelolaan sampah dari waktu ke waktu. Tanpa diimbangi dengan pengelolaan

yang memadai, sampah bisa menjadi beban terhadap lingkungan dan berdampak

negatif, seperti menimbulkan pencemaran air, tanah dan udara (KLH, 2005).

Kota Jakarta adalah salah satu kota metropolitan di Indonesia yang

mengalami efek negatif tersebut. Jakarta dengan luas 661.52 km2, jumlah

penduduk 9,041 juta jiwa (Bappeda Jakarta, 2009), menghasilkan sampah 29,364

m3 perhari atau setara dengan 6,250 ton perhari (Kompas, 2009). Berdasarkan

hasil kajian WJEMP DKI 3-11 tahun 2005 komposisi sampah rata-rata Jakarta

terdiri dari 55.37% sampah organik dan 44.63% sampah nonorganik ( Dinas

Kebersihan DKI, 2005 ). Sampah yang terangkut, kurang lebih 70% dibawa ke

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, 16.5% ke lokasi-lokasi

informal, dan 13% tidak terkelola, tercecer di dalam kota, di jalan, atau dibuang

ke sembarang tempat. (Dinas Kebersihan DKI, 2001).

Sampah yang dikirim ke TPST ini akan menimbulkan masalah apabila

tidak dikelola dengan baik, karena sampah ini merupakan penyumbang gas rumah

kaca dalam bentuk CH4 dan CO2. Fakta menunjukkan bahwa CH4 mempunyai

kekuatan merusak 20-30 kali lipat dari CO2 dan pada konsentrasi 15% di udara

gas metan berpotensi menimbulkan ledakan dengan sendirinya (KLH, 2007).

Selain mencemari udara, berdasarkan penelitian yang dilakukan di

lingkungan TPST pada tahun 1999 oleh Dinas Kesehatan dan Dinas L. H. Kota

Bekasi disimpulkan bahwa sebanyak 40% pH air sudah diambang batas, 95%

ditemukan bakteri E. Coli di air tanah, dan 35% tercemar salmonella. Dan,

(19)

mengalami tukak lambung (Tri Bangun dan Suyoto, 2008).

Dampak TPST terhadap lingkungan ini semakin meningkat ketika krisis

ekonomi tahun 1997 terjadi. Krisis tersebut menyebabkan terjadinya PHK,

pengangguran, dan tingginya harga bahan pokok. Hasilnya, sampah dijadikan

sumber penghasilan bagi pengangguran dan warga sekitar TPST. Dampak sosial

yang timbul diantaranya adalah terjadinya pencurian ratusan pipa ventilasi pada

sanitary landfill yang berfungsi untuk membuang gas metan, sehingga

menyebabkan saluran gas metan mengalami kebuntuan. Akibatnya timbul

kebakaran di beberapa zona TPST sehingga menimbulkan asap dan pencemaran.

Di samping itu timbul pula bau hingga mencapai kawasan Kemang Pratama,

Kranji, Pekayon, dan wilayah yang berjarak 10 km dari TPST (Armandho, 2009).

Selain menyebabkan masalah lingkungan udara dan air serta masalah

sosial, TPST juga menyebabkan dampak pada hubungan dua pemerintah daerah.

Masalah ini diawali sejak perubahan status Kota Administratif Bekasi menjadi

Kota Bekasi pada tahun 1996, dengan UU RI No. 9 Tahun 1996 tanggal 18

Desember 1996, yang menyebabkan tidak jelasnya kewenangan instansi pengelola

sampah. Selama periode tersebut Pemerintah DKI kurang memperhatikan

pengelolaan TPST. Kondisi ini—di mana TPST adalah milik Pemprov DKI

sedangkan wilayah teritorial di bawah Pemkot Bekasi—menyebabkan

permasalahan pengelolaan TPST menjadi semakin kompleks. Solusi

mengatasinya adalah diberikannya dana kompensasi (Community Development)

sebesar 20% dari tipping fee yang dibayar dari tonase sampah masuk oleh

Pemprov DKI kepada Pemkot Bekasi melalui pengelola TPST.

Sejak tanggal 05 Desember 2008, melalui lelang terbuka yang dilakukan

oleh Pemprov DKI, telah ditetapkan PT. Godang Tua Jaya joint operation dengan

PT. Navigat Organic Energy Indonesia, sebagai investor baru untuk mengelola

TPST Bantargebang. Pengelola baru ini menawarkan konsep baru untuk

mengelola TPST, kombinasi antara sistem sanitary landfill dan teknologi modern

yang ramah lingkungan, dan menjadikan TPST sebagai pusat industri daur ulang

sampah yang akan menghasilkan produk-produk bermanfaat seperti: pupuk

(20)

dari open dumping menjadi sanitary landfill yang dikombinasikan dengan

pengolahan dengan teknologi modern ini diharapkan dapat meminimalisasi

dampak pencemaran yang terjadi, karena sistem ini sudah didisain dengan

memperhatikan berbagai faktor lingkungan. Di samping itu, cara ini juga akan

menghasilkan produk-produk ekonomi, yang bermanfaat, sehingga dapat

mengubah paradigma dari sampah sumber masalah menjadi sampah solusi

masalah.

Namun demikian, dampak-dampak negatif yang muncul akibat keberadaan

TPST belum sepenuhnya tuntas. Pemulung masih beraktivitas di TPST. Menurut

Simanjuntak (2002) kegiatan pemulung adalah sebagai ujung tombak proses

pemanfaatan kembali sampah yang telah dibuang oleh masyarakat sekaligus

pekerja sektor informal, menjadi salah satu alternatif untuk menyerap tenaga kerja

di sektor tersebut sekaligus memberikan pendapatan yang cukup memadai dan

memperbaiki kondisi kehidupan di masa mendatang. Sedang menurut Thurgood

(1998) aktivitas pemulung menggangu kelancaran operasi landfill karena

membahayakan baik pemulung itu sendiri maupun pegawai landfill. Namun,

karena tidak dapat dihindarkan, aktivitas pemulung sebaiknya dikendalikan. Jadi

untuk mengatasi semua masalah ini diperlukan usaha untuk menjaring masukan

dari semua stakeholder untuk mendapatkan solusi bagi pengelolaan lingkungan di

TPST yang optimal, terpadu dan berkelanjutan.

Optimasi pengelolaan lingkungan yang terpadu dan berkelanjutan ini

meliputi optimasi pemanfaatan sampah dan optimasi pemanfaatan lahan. Dengan

skenario ini diharapkan akan dihasilkan satu pengelolaan yang optimal secara

ekonomi, sosial, ekologi dengan teknologi yang ramah lingkungan dengan

dampak lingkungan yang minimal. Sedangkan pengelolaan sampah secara terpadu

dimaksudkan memadukan 3 cara pengolahan sampah, yaitu: composting,

recycling, dan combusting atau pyrolysis untuk menghasilkan energi listrik,

dengan melibatkan masyarakat, sehingga mampu mereduksi sampah. Pengelolaan

sampah yang berkelanjutan ini juga akan menerapkan prinsip-prinsip mekanisme

(21)

Kerangka pemikiran untuk menghasilkan suatu skenario pengelolaan

TPST Bantargebang, dimulai dengan melihat dan mengevaluasi kondisi eksisting

TPST. Masalah lingkungan, sosial ekonomi, ataupun masalah hukum dan

kelembagaan yang muncul akibat keberadaan TPST memerlukan penanganan

yang terpadu agar pengelolaan TPST dapat berlangsung optimal dan bermanfaat

dari sudut pandang masing-masing stakeholder, yaitu Pemprov DKI sebagai

pemilik TPST, Pemkot Bekasi sebagai otoritas yang memerintah di Bantargebang,

investor selaku pengelola, pemerhati lingkungan, masyarakat sekitar TPST.

Kondisi eksisting TPST ini dilihat dengan menganalisis kualitas air sumur,

air sungai, air lindi, udara, kualitas tanah, dan komponen biologis. Juga dianalisis

persepsi masyarakat sekitar dan analisis optimasi terhadap pengelolaan

lingkungan TPST yang meliputi optimasi dalam pemanfaatan sampah dan

optimasi pemanfaatan lahan pembangunan. Dengan skenario yang dihasilkan ini

diharapkan akan dihasilkan satu strategi implementasi pengelolaan yang optimal

di mana pengelolaan akan maksimal secara ekonomi, sosial, ekologi dengan

teknologi yang ramah lingkungan dengan dampak lingkungan yang minimal.

1.3. Perumusan Masalah

Jakarta sebagai kota metropolitan merupakan pusat kegiatan pendudukan

dan ekonomi. Aktivitas penduduk dan perekonomian ini akan menghasilkan Kondisi Eksisting TPST

Sosial Ekonomi Masyarakat Kualitas Lingkungan

(Air, Udara, dan Tanah)

Pemanfaatan Lahan dan Sampah

Teknologi

Skenario Pengelolaan TPST Bantargebang

Strategi Implementasi Kebijakan Pengelolaan

Lingkungan

Keinginan Masyarakat dan Stakeholder

(22)

TPST Bantargebang, kota Bekasi dengan jumlah kurang lebih 5.000 ton perhari.

Pengelolaan sampah Jakarta dilakukan melalui kerjasama antara dua

pemerintah yaitu Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi melalu perjanjian

bipartit di mana Pemprov DKI Jakarta membayar CD (Community Depelovment)

kepada Pemkot Bekasi sebesar 20% dari tipping fee sampah yang masuk ke

TPST. Sampah Jakarta ini diangkut menggunakan armada angkutan sampah, dan

ini memberikan keuntungan berupa penyerapan tenaga kerja, tetapi juga

menyebabkan dampak lingkungan berupa bau bagi wilayah yang dilalui armada

tersebut. Wilayah-wilayah yang dilalui armada tersebut seperti kelima wilayah

Jakarta dan melalui Jalan Alternatif Cibubur, Jalan Raya Cileungsi, Jalan Raya

Narogong dengan jarak tempuh antara 15-50 km. Masyarakat yang dilalui oleh

armada angkutan sampah menyampaikan keluhan terhadap dampak bau tersebut.

Pengelolaan sampah di TPST dilakukan dengan system sanitary landfill

pada lahan seluas 108 ha yang terbagi dalam lima zona. Pengelolaan sampah ini

menyerap tenaga kerja sekitar 6,000 orang yang terdiri dari para pemulung, lapak,

dan juragan. Namun besarnya tenaga kerja ini menimbulkan persaingan karena

tidak adanya peraturan yang diberlakukan dalam area titik buang tersebut. Proses

pembuangan sampah atau unloading dari armada ke area zona atau titik buang

menggunakan bantuan alat berat (excavator) yang beroperasi selama 24 jam

perhari, dan menyebabkan masalah lain seperti terancamnya keselamatan para

pemulung dan terganggunya operasional alat berat tersebut.

Pengelolaan dengan sitem sanitary landfill ini ternyata masih

menimbulkan percemaran di lokasi TPST dan sekitarnya berupa pencemaran air

sumur, sungai, dan air lindi oleh bakteri E-Coli, peningkatan kadar BOD dan

COD, dan beberapa logam berat seperti Cd; pencemaran udara berupa bau. Bau

ini menimbulkan keluhan dari masyarakat sekitar. Hal ini berarti bahwa sampah

harus dimanfaatkan seoptimal mungkin sehingga tidak menimbulkan pencemaran

dan mendatangkan keuntungan ekonomi.

Keberadaan TPST telah memberikan dampak ekonomi terhadap

masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Masyarakat sekitar mendapatkan

(23)

DKI dari tonase sampah yang masuk. Sedangkan Pemkot Bekasi dalam bentuk

PAD dari pajak dan CD yang dibayar pengelola. Permasalahan yang muncul

kemudian adalah terjadinya perbedaan persepsi dalam hal pembagian dana CD.

Pemerintah menyalurkan dana ini dalam bentuk pembangunan sarana dan

prasarana sosial sementara masyarakat menginginkan dalam bentuk tunai.

Dari sisi masyarakat, sebagian menganggap keberadaan TPST

memberikan keuntungan dan sebagian yang lain menganggap sebagai sumber

masalah. Masyarakat yang menganggap TPST menguntungkan adalah yang dapat

memanfaatkan keberadaan TPST sebagai sumber ekonomi, sedangkan yang

menganggap sebagai sumber masalah adalah yang tidak merasakan manfaat tetapi

hanya mendapatkan dampak pencemaran. Pemerintah menganggap TPST sebagai

sesuatau yang harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulakan permasalaha,

tetapi mendatangkan keuntungan berupa CD.

Keterbatasan lahan TPST merupakan permasalahan yang perlu mendapat

perhatian karena sampah yang sudah menggunung selama 20 tahun mencapai

deposit lebih kurang 10 juta m3 dan apabila sampah yang masuk tidak dikelola

dengan teknologi modern yang ramah lingkunagn maka usia pakainya akan segera

berakhir. Sementara itu lahan yang tersedia di sekitar TPST sangat terbatas.

Dari uraian tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah

bagaimana skenario pengelolaan TPST yang optimal, terpadu dan berkelanjutan

dengan menggunakan pendekatan partisipatif, yang digambarkan dalam bentuk

diagram alir perumusan masalah sebagai berikut:

Gambar 1b. Diagram Alir Perumusan Masalah Kualitas Lingkungan

TPST

Persepsi Masyarakat dan

Stakeholder

Skenario Pengelolaan Lingkungan TPST yang

(24)

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas lingkungan sekitar TPST Bantargebang dan sekitarnya?

2. Bagaimana persepsi masyarakat dan stakeholder terkait keberadaan TPST

Bantargebang?

3. Bagaimana pengelolaan lingkungan TPST Bantargebang yang optimal?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah untuk menghasilkan suatu skenario

pengelolaan TPST yang optimal, terpadu, dan berkelanjutan dengan menggunakan

pendekatan dimensi sosial, ekologi, ekonomi, dan teknologi. Untuk mencapai

tujuan umum tersebut, penelitian ini dibagi menjadi 3 subtujuan, sebagai berikut:

4. Menganalisis kualitas lingkungan TPST Bantargebang dan sekitarnya.

5. Menganalisis persepsi masyarakat dan stakeholder terkait keberadaan TPST.

6. Menganalisis pengelolaan lingkungan TPST Bantargebang yang optimal.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Memberikan kontribusi bagi para stakeholder yang terkait dengan pengelolaan

TPST Bantargebang.

2. Sebagai bahan informasi bagi pengelola TPST dan Instansi Pemerintah yang

berwenang dalam melakukan pengelolaan lingkungan TPST.

3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang meneliti pengelolaan

(25)

2.1. Definisi Sampah

Pengertian sampah yang umum digunakan di Indonesia mengikuti konsep

dari Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (2003) yakni sampah merupakan

limbah padat atau setengah padat yang berasal dari kegiatan manusia yang terdiri

dari bahan organik dan anorganik, dapat dibakar dan tidak dapat dibakar, yang

tidak termasuk kotoran manusia. Sedangkan Tchobanoglous (1997) menyatakan

bahwa sampah intinya adalah benda sisa yang tidak dipakai dan harus dibuang.

Arconin 2007, mendefinisikan sampah sebagai limbah padat yang terdiri dari zat

organik dan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar

tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan.

Pembahasan sampah selalu dikaitkan dengan sumber, komposisi, dan

karakteristiknya. Hal ini penting karena berkaitan dengan teknis operasional

pengelolaan dan pengolahan sampah di suatu wilayah, khususnya dalam

menentukan sistem yang tepat dan fasilitas yang diperlukan. Dilihat dari

sumbernya, Peavy, Rowe, dan Tchobanoglous (1986) membagi menjadi 4

kelompok: sampah yang berasal dari pemukiman, sampah komersial, sampah

industri, dan sampah alami. Sampah pemukiman merupakan jumlah terbesar dari

total timbulan sampah di kota-kota besar.

Jumlah dan kepadatan sampah sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis,

iklim, jumlah penduduk, jumlah fasilitas komersial dan industri, status sosial

masyarakat dan pola konsumsi. Menurut Peavy et al (1985) status sosial dan

keragaman aktivitas masyarakat juga mempengaruhi karakteristik timbulan

sampah. Masyarakat dengan status sosial yang tinggi cenderung menghasilkan

sampah yang lebih besar daripada masyarakat yang status sosialnya lebih rendah.

2.2. Pengelolaan Sampah dan Permasalahannya

Pengelolaan sampah adalah serangkaian kegiatan yang melaksanakan

pewadahan sampah, pengumpulan sampah, pemindahan sampah, pengangkutan

(26)

mengganggu dan menekan volume, sehingga mudah diatur.

Menurut Clark (1977) banyak cara yang dapat ditempuh dalam

pengelolaan sampah di antaranya yang dianggap terbaik hingga sekarang adalah

sistem penimbunan dan pemadatan secara berlapis (sanitary landfill) untuk

mencegah sampah tidak terekspos lebih dari 24 jam. Apabila air permukaan

terserap ke dalam lapisan tanah, melalui lapisan sampah, maka akan terbentuk

cairan yang disebut lindi (leachete) yang mengandung padatan terlarut dan zat lain

sebagai hasil perombakan bahan organik oleh mikroorganisme tanah. Air lindi

tersebut meresap ke lapisan tanah atas dan akhirnya masuk ke dalam air tanah.

Menurut Slamet (1994), pengelolaan sampah dapat dilihat mulai dari

sumbernya sampai pada tempat pembuangan akhir. Usaha pertama adalah

mengurangi sumber sampah dari segi kuantitas maupun kualitasnya dengan

meningkatkan pemeliharaan dan kualitas barang, meningkatkan efisiensi

penggunaan bahan baku, dan meningkatkan penggunaan bahan yang dapat terurai

secara alami. Semua usaha ini memerlukan kesadaran dan peran masyarakat.

Selain itu, Notoatmojo (1997) menambahkan bahwa cara-cara pengelolaan

sampah yang baik, bukan saja untuk kepentingan kesehatan saja, melainkan juga

untuk keindahan lingkungan, antara lain dengan:

1. Pengumpulan dan pengangkutan sampah.

Pengumpulan sampah menjadi tanggung jawab masing-masing rumah tangga

atau institusi yang menghasilkan sampah. Oleh sebab itu, mereka harus

membangun tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari

tempat pengumpulan, sampah diangkut ke TPS dan selanjutnya ke TPA.

2. Pemusnahan dan pengolahan sampah.

Pemusnahan dan atau pengolahan sampah padat ini dapat dilakukan dengan

berbagai cara, antara lain sebagai berikut:

a. Ditanam (landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang di

tanah, kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.

b. Dibakar (incenerator), yaitu pemusnahan sampah dengan jalan membakar di

(27)

menjadi pupuk kompos, khususnya untuk sampah organik.

Sistem pengelolaan sampah yang banyak dilakukan saat ini adalah sistem

sanitary landfill. Sistem ini didukung berbagai kegiatan yang memperhatikan

aspek kesehatan lingkungan seperti pemasangan geomembran dan geotekstile

sebagai dasar konstruksi, drainase air lindi, ventilasi, cover soil, dan lain lain.

Sistem ini memang dapat meminimalkan timbulnya bau, penyakit, dan

kerusakan lingkungan, tetapi memiliki risiko yang tidak dapat dihindarkan seperti

terbentuknya gas metan, H2S, NH3, dan air lindi (leachete). Perpindahan gas dan

air lindi dari landfill ke lingkungan sekitarnya akan menyebabkan dampak yang

serius pada lingkungan, misalnya timbulnya ledakan-ledakan akibat konsentrasi

gas metan yang tinggi di udara, kerusakan pada tanaman akibat gas H2S dan NH3

yang merusak sistem pernafasan tanaman, bau yang tidak sedap, pencemaran air

dan tanah dan efek pemanasan global (Ibnu Umar, 2009).

2.3. Kebijakan Pengolahan Sampah di Provinsi DKI Jakarta

Institusi atau lembaga pengelola yang menangani kebersihan di Provinsi

DKI saat ini dilaksanakan oleh tiga institusi, yaitu instansi pemerintah,

masyarakat, dan swasta. Pihak yang berpartisipasi dalam tahap pengumpulan,

pengangkutan, pengolahan sampai pembuangan akhir adalah pihak swasta.

Pengelolaan TPST dilaksanakan oleh Dinas Kebersihan Provinsi DKI

melalui Unit Pelaksana Teknis TPST, yang terdiri dari (1) seksi operasional; (2)

seksi sarana dan prasarana; (3) seksi STA; (4) seksi keamanan dan ketertiban; (5)

Kasubag tata usaha.

Pola umum penanganan sampah Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta

didasarkan pada:

1. Master Plan Penanganan Kebersihan Provinsi DKI Jakarta 1989 - 2005

Pola umum penanganan sampah adalah kumpul – angkut – buang

(musnahkan melalui sistem sanitary landfill).

2. Review Master Plan yang dituangkan dalam action plan 2005-2015.

Berdasarkan Review Master Plan yang dituangkan dalam action plan terdapat

(28)

jumlah sampah sebelum residunya dibuang ke TPST.

2.4. Aspek Hukum

Pelaksanaan pembuangan sampah ke TPST Bantargebang dilakukan atas

dasar kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota

Bekasi, sebagai penguasa teritori. Dasar hukum yang melandasi kerjasama

beroperasinya TPA Bantargebang adalah sebagai berikut:

1. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan

Pemerintah Kota Bekasi Nomor 96 Tahun 1999 serta Nomor 168 Tahun 1999

Tanggal 31 Desember 1999 tentang Pengolahan Sampah dan Tempat

Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi.

2. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan

Pemerintah Kota Bekasi Nomor 127 Tahun 2000 serta Nomor 227 Tahun

2000 Tanggal 17 Oktober 2000 tentang Addendum Pertama.

3. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan

Pemerintah Kota Bekasi Nomor 22 Tahun 2002 serta Nomor 41 Tahun 2002

Tanggal 31 Januari 2002 tentang Addendum Kedua Perjanjian Kerjasama

Pengolahan Sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di

Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi.

4. Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan

Pemerintah Kota Bekasi Tanggal 02 Juli 2004, dalam Perjanjian Tambahan

(Addendum) Kedua atas Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi

DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi tentang Pemanfaatan Lahan

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang, Kota Bekasi

sebagai tempat pembuangan dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)

dengan menerapkan teknologi modern yang ramah lingkungan.

5. Perjanjian Tambahan (Addendum) Kedua atas Perjanjian Kerjasama antara

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Kota Bekasi tentang

Pemanfaatan Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar

Gebang, Kota Bekasi sebagai Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)

(29)

Kota Bekasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Nomor 07/Tahun 2009

tanggal 03 Juli 2009.

2.5. Aspek Lingkungan

Kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam pengelolaan TPA adalah

Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997

dan Undang-undang No. 18 Tahun 2008, yaitu Undang-undang mengenai

Persampahan.

Kegiatan TPA menurut dokumen AMDAL diperkirakan akan

mempengaruhi komponen fisik-kimia, biologi, sosial ekonomi, dan kesehatan

masyarakat. Namun dengan pemantauan yang dilakukan secara berkala,

permasalahan tersebut bisa ditekan. Berikut ini adalah uraian dampak dari

kegiatan operasional TPA Bantargebang.

1. Penurunan kualitas udara akibat meningkatnya kandungan debu yang

disebabkan oleh pengangkutan, pembongkaran, dan penumpukan sampah.

Dampak ini dapat dikelola dengan melakukan penyiraman berkala di jalan

penghubung, pengaturan kecepatan kendaraan, penghijauan, dan melengkapi

operator alat berat dengan APD.

2. Peningkatan kebisingan yang disebabkan oleh pengangkutan, pembongkaran

dan penumpukan sampah. Dampak ini dapat dikelola dengan memelihara alat

berat sehingga kondisi baik dan tidak bising, membuat daerah penyangga,

sabuk hijau, dan taman, dan melengkapi operator dengan APD.

3. Penurunan kualitas air permukaan (Sungai Ciketing & Sungai Sumur Batu).

4. Penurunan kualitas air tanah yang disebabkan oleh leachete. Dampak ini dapat

dikelola dengan melapisi dinding landfill dengan geotekstil, membangun

sistem perpipaan di dasar landfill untuk menampung leachete, melakukan

cover soil, dan membangun Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS).

5. Gangguan pada habitat biota air yang disebabkan oleh pencemaran air oleh

leachete. Dampak ini dikelola dengan cara-cara seperti yang duraikan pada

(30)

pembongkaran sampah di TPA khususnya bagi pemulung. Dampak ini

dikelola dengan memberikan kesempatan kerja kepada para pemulung,

melakukan pengaturan terhadap para pemulung, bekerjasama dengan Kanwil

Depkop dan PKK untuk membentuk koperasi pemulung di TPA.

7. Penurunan kesehatan masyarakat di sekitar lokasi TPA yang disebabkan oleh

tumpukan sampah yang menjadi wadah vektor penyakit berkembang biak.

Dampak ini dikelola dengan menyemprotkan desifektan secara berkala,

melakukan cover soil, melengkapi pekerja TPA dengan APD, dan melakukan

kerjasama dengan Kanwil dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta dalam

mengevaluasi kesehatan.

8. Timbulnya keresahan dan konflik sosial terutama masyarakat pemulung yang

disebabkan oleh persaingan dan perebutan lahan kerja antar kelompok

pemulung. Dampak ini dapat dikelola dengan memberikan kesempatan yang

sama kepada kelompok-kelompok pemulung yang bekerja di TPA, membina

mereka untuk saling bekerja sama, melembagakan peraturan kerja untuk

menertibkan pemulung.

9. Peningkatan kepadatan lalu lintas dan kemacetan akibat kegiatan

pengangkutan sampah ke TPA. Dampak ini dapat dikelola dengan membuat

jalan penghubung alternatif ke TPA, melengkapi rambu-rambu lalu lintas,

meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja guna menghindari antrean armada

yang panjang, melakukan perbaikan, pemeliharaan, dan penggantian alat berat

yang sudah tua, dan menambah karyawan TPA.

10.Peningkatan peluang terjadinya kecelakaan kerja akibat aktivitas pemulung di

TPA. Dampak ini dapat dikelola dengan menerapkan aturan yang ketat

terhadap pemulung untuk bekerja dengan tertib, membuat tanda-tanda

larangan bekerja bagi pemulung pada titik-titik yang berbahaya, menentukan

titik-titik tertentu pembongkaran sampah, sehingga para pemulung dan

operator alat berat tidak saling terganggu.

11.Berkurangnya nilai estetika akibat aktivitas pemulung sampah yang

membangun gubuk-gubuk dan penumpukan sampah di lahan pemukiman

(31)

tanda-tanda larangan menumpuk sampah dan membangun gubuk pada lokasi

tertentu terutama di pinggir jalan penghubung.

12.Timbulnya persepsi positif masyarakat terhadap keberadaan dan aktivitas TPA

Bantargebang akibat tersedianya peluang usaha dan lapangan kerja. Dampak

ini dapat dikelola dengan melaksanakan upaya-upaya pengelolaan lingkungan

dari berbagai aspek dengan baik dan konsisten.

13.Penuhnya TPA Bantargebang sebelum habis usia operasionalnya akibat

jumlah sampah yang masuk melebihi kapasitas. Dampak ini dapat dikelola

dengan mempercepat pembangunan TPA Sampah Ciangir Tangerang,

mengkonversi sampah menjadi kompos, melakukan diversifikasi sampah yang

dimanfaatkan oleh pemulung dan sortasi (pemilahan) sampah. (Sumber:

Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan TPA Bantargebang, 1997. Lihat

juga Lampiran 1, 2, dan 3)

2.6. Sanitary Landfill

Terminologi sanitary landfill kali pertama digunakan pada tahun 1930-an,

yang berarti memapatkan sampah padat dengan menggunakan alat berat dan

kemudian melapisinya dengan tanah. Praktik ini bahkan sudah digunakan di

dalam kebudayaan Yunani 2.000 tahun yang lalu, hanya tanpa pemapatan. Saat ini

metode ini merupakan pilihan yang paling populer, dibandingkan dengan daur

ulang, insinerasi, dan pengomposan, karena kesederhanaan dan versatilitasnya.

Sebagai contoh, metode ini tidak sensitif terhadap bentuk, ukuran, ataupun berat

suatu materi sampah; jauh berbeda dengan pengomposon dan insinerasi yang

membutuhkan sampah dalam bentuk seragam atau memiliki kandungan kimia

yang seragam.

Ada tiga prosedur dasar dalam pelaksanaan sanitary landfill, yaitu

menyebarkan sampah padat secara berlapis; memapatkannya semaksimal

mungkin; dan menutupnya dengan tanah pada sore hari. Metode ini

meminimalkan perkembangbiakan tikus dan serangga di TPST, mengurangi

ancaman kebakaran tak terduga, mengurangi bau, mencegah perkembangan

(32)

aerobik. Sampah padat yang dapat diuraikan secara biologis bereaksi dengan O2

dan membentuk CO2 dan H2O. Temperatur pada tahap ini meningkat 16.7 oC

lebih tinggi dari lingkungan. Asam lemah terbentuk di dalam air dan berbagai

mineral terlarut di dalamnya. Tahap selanjutnya adalah fase aerobik, di dalamnya

mikroorganisme yang tidak membutuhkan oksigen menguraikan sampah menjadi

hidrogen, amonia, karbondioksida, dan asam anorganik. Pada tahap ketiga,

dengan didukung oleh jumlah air yang cukup dan suhu yang hangat, akan

dihasilkan gas metan. Perbandingan kasar gas CO2 dan metana yang dihasilkan

tahap ini adalah 50:50. Gas CO2 memiliki berat jenis lebih besar dari udara

sehingga cenderung tinggal di dasar landfill, sedangkan gas metan yanh berat

jenisnya lebih ringan cenderung naik ke permukaan landfill, dan bisa terbakar bila

tidak dikendalikan.

Sistem pengendalian produksi gas metan berlangsung pasif maupun aktif.

Pada sistem pasif, gas metan dilepaskan ke udara secara alami dengan membuat

lubang ventilasi. Pada sistem aktif, diterapkan sebuah mekanisme yang dapat

berupa sumur recovery, pipa pengumpul gas, pembakar gas, atau penampung gas.

Menurut El-fadel et al. (1997) dan Samorn et al. (2002) hendaknya TPA

dioperasikan dengan sistem sanitary landfill yang dilengkapi dengan instalasi

recovery gas, sistem pengolahan dan pengumpulan gas, penghalang hidrolik

seperti ekstraksi dan sumur pantauan, sumur relief dan parit drainase sebagai

sistem pengumpulan air lindi, yang akan mempercepat proses pembusukan.

Tempat Pemusnahan Akhir (TPA) Sampah Bantargebang dengan luas

110.3 Ha (efektif untuk pembuangan sampah 89.3 Ha) sudah menggunakan

metode sanitary landfill , tetapi sejak 5 Desember 2009 pengelolanya yang baru,

yaitu PT. Godang Tua Jaya joint operation dengan PT. Navigat Organic Energy

Indonesia, menawarkan konsep baru, yaitu kombinasi antara sistem sanitary

landfill dan teknologi modern yang ramah lingkungan. Kombinasi ini diharapkan

menjadikan TPST Bantargebang sebagi pusat industri daur ulang sampah yang

akan menghasilkan produk-produk bermanfaat seperti: pupuk kompos, biji plastik

dan produk-produk turunannya, serta listrik. (Lihat mekanisme pemusnahan

(33)

MEKANISME PEMUSNAHAN SAMPAH

DI TPA SANITARY LANDFILL BANTAR GEBANG

RUMAH

I NSTALASI PENGOLAHAN AI R SAMPAH ( I PAS)

(34)

operasional penutupan sampah dengan tanah merah (cover soil), pembuatan jalan

precast, penghijauan, pembuatan ventilasi dan pengelolaan air bersih.

Konstruksi sanitary landfill, terdiri dari:

a. Pembentukan muka tanah, yaitu untuk mengalirkan air lindi maupun air

hujan menuju saluran yang direncanakan, maka pada permukaan tanahnya

dibentuk kemiringan 5%.

b. Pelapisan kedap air, yaitu untuk mencegah masuknya air lindi ke dalam

tanah, maka dasar timbunan sampah diberi lapisan impermeable seperti

geotextile atau geomembrane.

c. Pengumpulan dan pengolahan air lindi.

2.7. Pengelolaan Sampah Secara Terpadu

Pengelolaan sampah secara terpadu pada intinya adalah memadukan 3 cara

pengolahan sampah, yaitu: pengomposan (composting), mendaur ulang

(recycling), dan melakukan pembakaran (combusting), dengan melibatkan

masyarakat (Tchobanoglous, 1993). Proses pengomposan dilakukan terhadap

sampah organik biasanya dilakukan dengan bantuan mikroorganisme, baik dalam

keadaan aerob maupun anaerob. Sedangkan daur ulang (recycling) dilakukan

terhadap sampah anorganik seperti plastik, kertas, dan logam. Sampah sisa dari

kedua proses ini dibakar melalui incenerator. Pengelolaan sampah secara terpadu

ini dapat mereduksi sampah sampai 96%. Sisa pembakaran berupa residu hanya

tinggal 4%, dan residu yang berbentuk abu ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan

bangunan. Keberhasilan pengelolaan sampah secara terpadu tergantung dari

partisipasi masyarakat, sebagai penghasil utama sampah. Partisipasi masyarakat

ini dapat berupa pemilahan antara sampah organik dan anorganik dalam proses

pewadahan di sumber sampah, atau melalui pembuatan kompos dalam skala

individu dan mengurangi penggunaan barang (material), Bebasari, 2001.

Menurut Kholil (2005), untuk menghindari ketergantungan pada lahan,

penanganan sampah kota harus dilakukan pada upaya pengurangan di sumber

dengan pendekatan 3 R ( reduce, reuse, dan recycle ), dan pengolahan di TPS

(35)

dengan sistem penanganan terpadu berbasis zero waste di TPS dapat mereduksi

volume sampah sampai 96 % – 98 %, dan mereduksi biaya operasional sampai

65.9 %.

2.8. PRA dan FGD

2.8.1. PRA ( ParticipatoryRural Appraisal )

PRA adalah suatu metode pendekatan yang digunakan dalam melakukan

pengkajian/penilaian/penelitian untuk memahami keadaan desa/wilayah/lokalitas

tertentu dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Melalui PRA tim peneliti

bersama masyarakat bisa secara cepat dan sistematis mengumpulkan informasi

untuk: (a) analisis umum tentang topik khusus yang perlu penilaian; (b) studi

kelayakan; (c) mengidentifikasi dan memprioritaskan proyek tertentu; dan (d)

mengevaluasi proyek/program yang dilaksanakan di pedesaan (Bhandori, 2003).

Menurut Robert Chambers , orang yang mengembangkan metode PRA,

metode dan teknik dalam PRA terus berkembang, sehingga sangat sulit untuk

memberikan definisi final tentang PRA. Menurutnya PRA merupakan metode dan

pendekatan pembelajaran mengenai kondisi dan kehidupan desa/wilayah/lokalitas

dari, dengan dan oleh masyarakat sendiri dengan catatan: (1) pengertian belajar,

meliputi kegiatan menganalisis, merancang dan bertindak; (2) PRA lebih cocok

disebut metode-metode atau pendekatan-pendekatan (bersifat jamak) daripada

metode dan pendekatan (bersifat tunggal); dan (3) PRA memiliki beberapa teknik

yang bisa kita pilih, sifatnya selalu terbuka untuk menerima cara-cara dan

metode-metode baru yang dianggap cocok.

Teknik-teknik yang banyak dipakai meliputi: mengkaji data sekunder,

observasi langsung, wawancara semi-struktur, FGD (focus group discussions),

metode social rating, analysis group discussion (AGD), innovation assessment,

mapping, transects, seasonal calendar, profil historis, analisis kehidupan sosial,

pengamatan terlibat, membuat diagram-diagram, dan mengumpulkan

kategori-kategori lokal, istilah lokal dan sebagainya. Sedangkan perangkat yang digunakan

meliputi: triangulasi, tim multidisiplin, belajar bersama masyarakat, analisis on

(36)

yang sudah dilakukan oleh masyarakat sendiri.

Prinsip-prinsip dasar Participatory Rural Appraisal (PRA) terdiri dari:

1. Prinsip mengutamakan yang terabaikan (keberpihakan)

Prinsip ini mengutamakan masyarakat yang terabaikan agar memperoleh

kesempatan untuk memiliki peran dan mendapat manfaat dari program

pembangunan. Keberpihakan ini lebih pada upaya untuk mencapai keseimbangan

perlakuan terhadap berbagai golongan yang terdapat di suatu masyarakat,

mengutamakan golongan paling miskin agar kehidupannya meningkat.

2. Prinsip pemberdayaan (penguatan) masyarakat

Pendekatan PRA bermuatan peningkatan kemampuan masyarakat,

kemampuan itu ditingkatkan dalam proses pengkajian keadaan, pengambilan

keputusan dan penentuan kebijakan, sampai pada pemberian penilaian dan koreksi

kepada kegiatan yang berlangsung.

3. Prinsip masyarakat sebagai pelaku dan orang luar sebagai fasilitator

PRA menempatkan masyarakat sebagai pusat dari kegiatan pembangunan.

Orang luar juga harus menyadari perannya sebagai fasilitator. Fasilitator perlu

memiliki sikap rendah hati serta kesedian untuk belajar dari masyarakat dan

menempatkan mereka sebagai narasumber utama dalam memahami keadaan

masyarakat itu. Pada tahap awal peran orang luar lebih besar, namun seiring

dengan berjalannya waktu diusahakan peran itu bisa berkurang dengan

mengalihkan prakarsa kegiatan PRA pada masyarakat itu sendiri.

4. Prinsip saling belajar dan menghargai perbedaan

Salah satu prinsip dasarnya adalah pengakuan akan pengalaman dan

pengetahuan tradisional masyarakat. Hal ini bukan berarti bahwa masyarakat

selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah. Pengalaman dan pengetahuan

masyarakat serta pengetahuan orang luar harusnya saling melengkapi dan sama

nilainya, dan proses PRA sebaiknya dipandang sebagai ajang komunikasi antara

kedua sistem pengetahuan itu agar melahirkan sesuatu yang lebih baik.

5. Prinsip santai dan informal

Kegiatan PRA diselenggarakan dalam suasana yang bersifat luwes,

(37)

bukan sebagai tamu asing yang oleh masyarakat harus disambut secara resmi.

6. Prinsip triangulasi

Salah satu kegiatan PRA adalah usaha mengumpulkan dan menganalisis

data atau informasi secara sistematis bersama masyarakat. Untuk mendapatkan

informasi yang kedalamannya bisa diandalkan kita dapat menggunakan triangulasi

yang merupakan bentuk pemeriksaan dan pemeriksaan ulang (check and recheck)

informasi. Triangulasi dilakukan melalui penganekaragaman keanggotaan tim

(keragaman disiplin ilmu atau pengalaman), penganekaragaman sumber informasi

(keragaman latar belakang golongan masyarakat, keragaman tempat, jenis

kelamin) dan penganekeragaman teknik.

7. Prinsip mengoptimalkan hasil

Prinsip mengoptimalkan atau memperoleh hasil informasi yang tepat guna

menurut metode PRA adalah:

a. Lebih baik kita "tidak tahu apa yang tidak perlu kita ketahui" (ketahui

secukupnya saja)

b. Lebih baik kita "tidak tahu apakah informasi itu bisa disebut benar seratus

persen, tetapi diperkirakan bahwa informasi itu cenderung mendekati kebenaran"

(daripada kita tahu sama sekali)

8. Prinsip orientasi praktis

PRA berorientasi praktis, yaitu pengembangan kegiatan. Oleh karena itu

dibutuhkan informasi yang sesuai dan memadai agar program yang dikembangkan

bisa memecahkan masalah dan meningkatkan kehidupan masyarakat. Perlu

diketahui bahwa PRA hanyalah sebagai alat atau metode yang dimanfaatkan

untuk mengoptimalkan program-program yang dikembangkan bersama

masyarakat.

9. Prinsip keberlanjutan dan selang waktu

Metode PRA bukanlah kegiatan paket yang selesai setelah kegiatan

penggalian informasi dianggap cukup dan orang luar yang memfasilitasi kegiatan

keluar dari desa. PRA merupakan metode yang harus dijiwai dan dihayati oleh

(38)

yang mencoba menggerakkan potensi masyarakat.

10.Prinsip belajar dari kesalahan

Terjadinya kesalahan dalam kegiatan PRA adalah suatu yang wajar, yang

terpenting bukanlah kesempurnaan dalam penerapan, melainkan penerapan yang

sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan yang ada. Kita belajar dari

kekurangan-kekurangan atau kesalahan yang terjadi, agar pada kegiatan

berikutnya menjadi lebih baik.

11. Prinsip terbuka

Prinsip terbuka menganggap PRA sebagai metode dan perangkat teknik

yang belum selesai, sempurna, dan pasti benar. Diharapkan bahwa teknik tersebut

senantiasa bisa dikembangkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat.

Sumbangan dari mereka yang menerapkan dan menjalankannya di lapangan untuk

memperbaiki konsep, pemikiran maupun merancang teknik baru yang akan sangat

berguna dalam mengembangkan metode PRA.

2.8.2. FGD ( Focus Group Discussion )

Focus Group Discussion (FGD) merupakan metode khusus untuk

mengorganisasi diskusi atau serangkaian diskusi. Pada FGD, diskusi difokuskan

pada pertanyaan-pertanyaan spesifik. Topik FGD dapat berupa isu lingkungan,

pengembangan teknologi, akseptabilitas program atau produk, atau cara

mengembangkan pelayanan masyarakat (Kreuger, 1988; Stewart & Shamdasani,

1992).

FGD bentuk penelitian kualitatif di mana kelompok masyarakat

menyampaikan sikap, komsep, gagasan, atau solusi dari topik yang didiskusikan.

FGD merupakan alat untuk mengumpulkan data kualitatif melalui forum diskusi.

Topik dibahas dalam bentuk kelompok interaktif di mana setiap peserta bebas

menyampaikan gagasan. Moderator harus dapat mengumpulkan informasi

in-depth tentang topik yang dibahas dari peserta (Budiharsono et al., 2006).

Manfaat FGD adalah untuk memperoleh informasi tentang masyarakat,

penduduk, organisasi, produk, atau jasa. Informasi tersebut mencakup: kebutuhan,

(39)

dalam merespons suatu program, metode, kebijakan, produk, dan jasa; 2)

identifikasi masalah, kendala, biaya, atau manfaat. stimulasi creative thinking

seperti solusi optimal, peluang, keterkaitan atau identifikasi dampak potensial; 3)

menentukan prioritas atau batasan masalah; 4) memperoleh informasi yang lebih

mendalam; 5) memperoleh gambaran budaya atau kelompok sosial yang lebih

akurat; 6) melibatkan audiens baru; dan 7) memperoleh feedback lebih cepat

(Morgan, 1997).

Keunggulan FGD antara lain: 1) FGD memberikan penjelasan lebih,

bukana hanya pada apa yang peserta pikirkan, melainkan juga mengapa mereka

berpikir seperti itu; 2) Dapat mengungkapkan konsensus atau keragaman

kebutuhan peserta, pengalaman, keinginan, dan asumsi; 3) Memungkinkan

interaksi kelompok sehingga peserta dapat membangun konsep atau pandangan

yang komprehensif lebih mendalam dari setiap ide, bukan hanya dari pandangan

individual; 4) Komentar yang tidak terduga dan perspektif baru dapat ditelusuri

dengan mudah; 5) Moderator dan peserta dapat mengekspresikan perasaannya

secara langsung.

Kelemahan FGD antara lain: 1) sampel yang sedikit sehingga

memungkinkan tidak representatif; 2) semua peserta harus hadir di tempat dan

waktu yang sama, hal ini sulit jika peserta berada pada cakupan wilayah yang

berjauhan; 3) dapat memperoleh data kualitatif yang sangat banyak sehingga

menyulitkan untuk analisis data; 4) informasi yang dikumpulkan lebih bias karena

interpretasi subjektif dibanding metode kuantitatif; 5) individu yang banyak bicara

dapat mendominasi diskusi. Pandangan dari peserta yang asertif kadang sulit

diperoleh; dan 6) kualitas diskusi dan manfaat informasi yang diperoleh sangat

(40)

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di TPST Sampah Bantargebang, Kecamatan

Bantargebang, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat, yang meliputi tiga kelurahan,

yaitu: Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Sumur Batu, dan Kelurahan Cikiwul.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 sampai dengan Juni 2009.

3.2. Tahapan Penelitian

Tahapan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tahapan pertama: mendeskripsikan kualitas lingkungan dan kondisi sosial masyarakat berdasarkan publikasi dan penelitian mengenai TPST

Bantargebang. Kualitas lingkungan yang disajikan berupa kualitas air, kualitas

tanah, kualitas udara, dan kualitas komponen biologi.

Tahapan kedua: menganalisis kualitas air, tanah, udara, dan komponen biologis di dalam dan di sekitar lokasi TPST Bantargebang. Kualitas air yang

dianalisis mencakup kualitas air sumur, air sungai, dan air IPAS. Kualitas tanah

dinalisis di sekitar lokasi TPST Bantargebang yaitu di Cikiwul, di Sumur Batu,

dan di Ciketing Udik. Pengujian kualitas udara dilakukan di semua zona

pembuangan sampah, di luar zona, di Sumur Batu, di Perumahan Limus Pratama,

dan di Duku Zamrud. Data komponen biologi dilakukan dengan penghitungan

populasi lalat di TPST.

Tahapan ketiga: melakukan PRA di tingkat masyarakat dan FGD di tingkat stakeholder Kota Bekasi dan DKI Jakarta. Aspek yang dikaji pada PRA

adalah persepsi masyarakat terkait keberadaan TPST Bantargebang, kebutuhan

masyarakat dalam pengembangan usaha, dan solusi yang diharapkan untuk

memnuhi kebutuhan masyarakat. FGD dilakukan untuk mendapatkan pendapat

para stakeholder mengenai berbagai masalah terkait TPST Bantargebang dan

solusinya.

Tahapan keempat: menyusun skenario pengelolaan TPST Bantargebang yang optimal. Optimalisasi difokuskan pada tiga aspek yakni optimasi

Gambar

Gambar 2.  Mekanisme Pemusnahan Sampah
Gambar 3. Tahapan penelitian
Tabel 1. Metode dan Analisis Kualitas Air
Tabel 2. Tujuan Penelitian, Cara Pengumpulan Data dan Jenisnya, Metode
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas air limbah bengkel produksi ATMI Surakarta dan air tanah dangkal atau air sumur yang berada di sekitar saluran pembuangan dan

Hasil analisis kualitas air bawah tanah pada 3 (tiga) lokasi kawasan perumahan di Kabupaten Sumenep yaitu dapat disimpulkan bahwa parameter kualitas air yang melampaui baku mutu

Kandungan logam berat Pb, Cd pada ikan nila ( Orechromis niloticus Linn.) masih berada di bawah nilai baku mutu batas cemaran logam dalam pangan sesuai SNI 7387 :

Seharusnya kalau ditinjau dari Pasal 4 ayat (1) Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 10 TAHUN 2009 Baku Mutu Udara Ambien Dan Emisi Sumber Tidak Bergerak Di

Seharusnya kalau ditinjau dari Pasal 4 ayat (1) Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 10 TAHUN 2009 Baku Mutu Udara Ambien Dan Emisi Sumber Tidak Bergerak Di

Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil analisis laboratorium yang ada secara umum kualitas air laut di sekitar muara Sungai Jelitik masih memenuhi baku mutu baik untuk pelabuhan