• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Kinerja Sistem Irigasi Tetes Bawah Permukaan dengan Beberapa Pola Susunan Lubang pada Tanah Entisol Secara Vertikultur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Uji Kinerja Sistem Irigasi Tetes Bawah Permukaan dengan Beberapa Pola Susunan Lubang pada Tanah Entisol Secara Vertikultur"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

UJI KINERJA SISTEM IRIGASI TETES BAWAH PERMUKAAN

DENGAN BEBERAPA POLA SUSUNAN LUBANG

PADA TANAH

ENTISOL

SECARA VERTIKULTUR

ARIFIN TAMBA

070308039

PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

UJI KINERJA SISTEM IRIGASI TETES BAWAH PERMUKAAN

DENGAN BEBERAPA POLA SUSUNAN LUBANG

PADA TANAH

ENTISOL

SECARA VERTIKULTUR

SKRIPSI

ARIFIN TAMBA

070308039

PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

UJI KINERJA SISTEM IRIGASI TETES BAWAH PERMUKAAN

DENGAN BEBERAPA POLA SUSUNAN LUBANG

PADA TANAH

ENTISOL

SECARA VERTIKULTUR

SKRIPSI

Oleh:

ARIFIN TAMBA

070308039/KETEKNIKAN PERTANIAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana di Program Studi Keteknikan Pertanian Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujui oleh,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sumono, M.S.

Nazif Ichwan, STP, M.Si.

Ketua

Anggota

PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

(4)

ABSTRAK

ARIFIN TAMBA: Uji Kinerja Sistem Irigasi Tetes Bawah Permukaan dengan Beberapa Pola

Susunan Lubang pada Tanah Entisol Secara Vertikultur, dibimbing oleh SUMONO dan NAZIF

ICHWAN.

Pola susunan lubang pada pipa irigasi akan mempengaruhi penyebaran air yang selanjutnya akan mementukan tingkat kinerjanya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2011 di Laboratorium Keteknikan Pertanian Fakulas Pertanian USU, Medan menggunakan pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah, 4 arah dan spiral. Parameter yang diamati adalah sifat fisik tanah Entisol, debit (laju pemberian air) irigasi, pola pembasahan, penyaluran kebutuhan air irigasi dan efisiensi irigasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah memiliki kinerja yang paling baik berdasarkan indikator efisiensi 95,5%, kecukupan 97,6% dan keseragaman 91,5%.

Kata kunci: Model Vertikultur, Pola Susunan Lubang Pada Pipa Irigasi, Tanah Entisol, Kadar Air, Pola Pembasahan, Kinerja.

ABSTRACT

ARIFIN TAMBA: Performance Test of Subsurface Drip Irrigation System with Several Orifice

Formation Patterns on Entisol Soil in Verticulture, supervised by SUMONO and NAZIF

ICHWAN.

Orifice formation pattern on irrigation pipe will affect its water distribution and then will determine its performance level. This research was done in October-November 2011 in Agricultural Engineering Laboratory, College of Agriculture, USU, Medan using irrigation pipe with 3 directions, 4 directions and spiral orifice formation pattern. Parameters measured were Entisol soil physical characteristic, water’s rate of flow, wetting pattern, irrigation water requirement channelization and irrigation efficiency.

The results showed that irrigation pipe with 3 directions orifice formation pattern had the best performance based on indicator efficiency of 95,5%, adequacy of 97,6%, and uniformity of 91,5%.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat

dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Uji Kinerja

Sistem Irigasi Tetes Bawah Permukaan dengan Beberapa Pola Susunan Lubang pada Tanah

Secara Vertikultur”.

Pada kesempatan ini penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada kepada kedua

orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis

juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sumono, M.S. dan Bapak Nazif

Ichwan, M.Si. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, dan Bapak Ir. Edi Susanto, M.Si

yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan, kritik dan saran kepada penulis

sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, serta semua mahasiswa yang telah

membantu penulis dalam menyusun skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan.

Penulis mengharapkan saran dan kritik yang berguna demi penulisan selanjutnya. Akhir kata,

penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2013

(6)

DAFTAR ISI

Pelaksanaan Penelitian ... 24

Mempersiapkan tanah ... 24

Menganalisis sifat fisik tanah ... 24

Mempersiapkan model vertikultur ... 25

Menentukan debit (laju pemberian air) irigasi ... 25

Pengujian kinerja sistem irigasi ... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Tanah ... 28

Laju Infiltrasi……….. 29

Debit (Laju Pemberian Air) Irigasi ... 33

Pola Pembasahan ... 33

(7)

Efisiensi Irigasi ... 39

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 43

Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 45

(8)

DAFTAR TABEL

Hal.

1. Kriteria Laju Infiltrasi Konstan ... 19

2. Sifat Fisik Tanah Entisol ... 28

3. Analisis Tekstur Tanah Entisol ... 29

4. Infiltrasi pada Tanah Entisol ... 30

5. Debit Pipa Irigasi dengan 13 Lubang ... 33

6. Kadar Air pada Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang 4 Arah ... 34

7. Kadar Air pada Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang 3 Arah ... 34

8. Kadar Air pada Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang Spiral ... 34

9. Penyaluran Kebutuhan Air Irigasi ... 38

(9)

DAFTAR GAMBAR

Hal. 1. Grafik Hubungan Infiltrasi Kumulatif (F) Dengan Waktu (t)………… 31

2. Grafik Hubungan Laju Infiltrasi (fp) Dengan Waktu (t)……… 31

3. Pola Pembasahan Tanah Entisol pada PipaIrigasi dengan Pola

Susunan Lubang 4 Arah ... 37

4. Pola Pembasahan Tanah Entisol pada Pipa Irigasidengan Pola

Susunan Lubang 3 Arah ... 37

5. Pola Pembasahan Tanah Entisol pada Pipa Irigasi denganPola

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

1. Flowchart Penelitian ... 49

2. Desain Sistem Irigasi Tetes Bawah Permukaan (Tampak Atas) ... 50

3. Desain Sistem Irigasi Tetes Bawah Permukaan (Tampak Depan) ... 51

4. Desain Sistem Irigasi Tetes Bawah Permukaan (Tampak Samping) ... 52

5. Pola Susunan Lubang pada Pipa Irigasi ... 53

6. Analisis BulkDensity (Bd), Particle Density (Pd) dan Porositas (�) Tanah Entisol ... 54

7. Analisis Kadar Air Awal dan Kapasitas Lapang Tanah Entisol ... 55

8. Analisis Tekstur Tanah Entisol ... 56

9. Tekstur Tanah Entisol Menurut Segitiga USDA ... 57

10. Penentuan Debit (Laju Pemberian Air) Irigasi ... 58

11. Hasil Penimbangan Sampel Tanah Entisol pada Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang 4 Arah ... 60

12. Hasil Penimbangan Sampel Tanah Entisol pada Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang 3 Arah ... 61

13. Hasil Penimbangan Sampel Tanah Entisol pada Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang Spiral ... 62

14. Kadar Air Tanah Entisol pada Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang 4 Arah ... 63

15. Kadar Air Tanah Entisol pada Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang 3 Arah ... 64

18. Kadar Air Tanah Entisol pada Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang Spiral ... 65

(11)

20. PolaPembasahan Tanah Entisol pada Pipa Irigasi denganPola

Susunan Lubang 3 Arah ... 67

21. Pola Pembasahan Tanah Entisol pada Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang Spiral ... 68

22. Penyaluran Kebutuhan Air Irigasi ... 69

23. Pertambahan Kedalaman Air pada Sampel Tanah Entisol (Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang 4 Arah) ... 70

24. Pertambahan Kedalaman Air pada Sampel Tanah Entisol (Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang 3 Arah) ... 71

25. Pertambahan KedalamanAir pada Sampel Tanah Entisol (Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang Spiral) ... 72

26. Efisiensi Pemakaian Air Irigasi (Ea) ... 73

27. Efisiensi Penyimpanan Air Irigasi (Es) ... 74

28. Efisiensi Distribusi Air Irigasi (Ed) ... 75

(12)

ABSTRAK

ARIFIN TAMBA: Uji Kinerja Sistem Irigasi Tetes Bawah Permukaan dengan Beberapa Pola

Susunan Lubang pada Tanah Entisol Secara Vertikultur, dibimbing oleh SUMONO dan NAZIF

ICHWAN.

Pola susunan lubang pada pipa irigasi akan mempengaruhi penyebaran air yang selanjutnya akan mementukan tingkat kinerjanya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2011 di Laboratorium Keteknikan Pertanian Fakulas Pertanian USU, Medan menggunakan pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah, 4 arah dan spiral. Parameter yang diamati adalah sifat fisik tanah Entisol, debit (laju pemberian air) irigasi, pola pembasahan, penyaluran kebutuhan air irigasi dan efisiensi irigasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah memiliki kinerja yang paling baik berdasarkan indikator efisiensi 95,5%, kecukupan 97,6% dan keseragaman 91,5%.

Kata kunci: Model Vertikultur, Pola Susunan Lubang Pada Pipa Irigasi, Tanah Entisol, Kadar Air, Pola Pembasahan, Kinerja.

ABSTRACT

ARIFIN TAMBA: Performance Test of Subsurface Drip Irrigation System with Several Orifice

Formation Patterns on Entisol Soil in Verticulture, supervised by SUMONO and NAZIF

ICHWAN.

Orifice formation pattern on irrigation pipe will affect its water distribution and then will determine its performance level. This research was done in October-November 2011 in Agricultural Engineering Laboratory, College of Agriculture, USU, Medan using irrigation pipe with 3 directions, 4 directions and spiral orifice formation pattern. Parameters measured were Entisol soil physical characteristic, water’s rate of flow, wetting pattern, irrigation water requirement channelization and irrigation efficiency.

The results showed that irrigation pipe with 3 directions orifice formation pattern had the best performance based on indicator efficiency of 95,5%, adequacy of 97,6%, and uniformity of 91,5%.

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan akan sumber daya air cenderung akan meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup, sehingga kompetensi dalam pemanfaatannya juga semakin tajam baik antara sektor pertanian maupun antar pengguna dalam sektor pertanian itu sendiri. Secara garis besar, pengairan terbagi dalam empat cara, yaitu: (1) pemberian air di permukaan tanah (surface irrigation), (2) pemberian air di bawah permukaan tanah (subsurface irrigation), (3) penyiraman (sprinkler irrigation), (4) irigasi tetes (drip irrigation or trickle irrigation). Diantara keempat cara tersebut, pemberian air irigasi melalui permukaan merupakan cara yang paling sederhana dan mudah untuk dilakukan, namun memiliki kelemahan pada tingkat efisiensi penggunaan airnya yang tergolong rendah. Irigasi permukaan ini sendiri pun merupakan yang paling banyak dijumpai pada lahan pertanian di lahan terbuka, air irigasi dialirkan menggenangi petakan ataupun saluran. Kehilangan air dapat terjadi melalui penguapan dari permukaan air bebas, aliran permukaan, rembesan, maupun perkolasi. Sementara ketiga cara lainnya merupakan inovasi sistem irigasi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi dan keseragaman penyebarannya (Hansen dkk

Terjadinya krisis air dapat dipicu oleh sikap dan perilaku masyarakat yang cenderung

boros dalam memanfaatkan air karena air sebagai milik umum (common property) dianggap

tidak terbatas adanya dan karenanya dapat diperoleh secara cuma-cuma atau gratis. Padahal, air

sebagai sumber daya alam, adalah terbatas jumlahnya karena memiliki siklus tata air yang relatif

tetap. Ketersediaan air tidak merata penyebarannya dan tidak pernah bertambah (Sutawan, 2001). , 1992).

“Hampir dua pertiga populasi dunia hidup di negara yang kekurangan makanan yakni

negara yang mempunyai kurang dari setengah lahan dunia yang dapat ditanami, tetapi

mempunyai tiga perempat lahan yang teririgasi”. Jadi, dapat terlihat betapa pentingnya irigasi di

(14)

Sebagaimana diketahui lahan pertanian semakin lama semakin sempit. Faktor pertambahan penduduk yang pesat disertai dengan kemajuan teknologi dan industri pada akhirnya akan menggeser fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan dan industri. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan jalan bercocok tanam secara vertikal atau dikenal dengan metode “vertikultur” (Widarto, 1996).

Sistem pertanian kota dengan ketersediaan lahan yang sempit dapat ditempuh dengan usaha mengembangkan teknologi pertanian yang hemat lahan. Sistem pertanian vertikal yang diharapkan dapat meningkatkan panen radiasi surya yang melimpah, selain itu juga efisiensi dalam penggunaan lahan dan air. (Yusdiana dkk, 2000).

Pertanian sistem vertikultur merupakan solusi ekstensifikasi pertanian di daerah pertanian. Penerapan sistem irigasi tetes bawah permukaan alternative pemberian air bagi system vertikultur. Kajian kinerja sistem irigasi bawah tanah dengan sistem vertikultur ini telah dilakukan dengan menggunakan tanah Ultisol (Ferry, 2011) dan tanah Inceptisol (Alfrid, 2011).

Perumusan Masalah

Pemanfaatan tanah Entisol pada sektor pertanian perlu dilakukan dalam pengembangan sistem pertanian di Indonesia. Sistem vertikultur sangat cocok untuk daerah dengan lahan sempit/terbatas seperti perkotaan. Pemanfaatan tanah Entisol pada sistem vertikultur perlu dilakukan dalam usaha ekstensifikasi pertanian. Pemberian air dengan sistem irigasi tetes bawah permukaan diharapkan dapat menjadi solusi pengairan bagi sistem vertikultur tersebut.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kinerja sistem irigasi tetes bawah permukaan dengan beberapa pola susunan lubang pada tanah Entisol secara vertikultur.

(15)
(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Vertikultur

Istilah vertikultur diserap dari bahasa Inggris yang berasal dari kata vertical dan culture

yang artinya teknik budidaya tanaman secara vertikal sehingga penanamannya menggunakan

sistem bertingkat. Teknik ini berawal dari gagasan vertical garden yang dilontarkan sebuah

perusahaan benih di Swiss sekitar tahun 1945 yang lalu. Teknik vertikultur merupakan teknik

budidaya tanaman secara vertikultur, sehingga penanaman menggunakan sistem vertikultur

memungkinkan untuk bertanam di lahan yang sempit bahkan tidak ada lahan sekalipun. Teknik

vertikultur memungkinkan produksi dalam jumlah yang banyak pada lahan sempit, waktu cepat,

mudah untuk dipindahkan serta tingkat keberhasilan yang tinggi (Mulatsih dkk, 2005). Dengan

dasar pemikiran bahwa teknik vertikultur dapat melipatgandakan jumlah tanaman dan produksi

maka teknik vertikultur ini secara ekonomis dapat dipertanggungjawabkan untuk tujuan

komersial (Andoko, 2004).

Kelebihan teknik pertanian vertikultur: (1) efisiensi dalam penggunaan lahan, (2)

penghematan pemakaian pupuk dan pestisida, (3) kemungkinan tumbuhnya rumput dan gulma

lebih kecil, (4) dapat dipindahkan dengan mudah, (5) mempermudah monitoring/ pemeliharaan

tanaman. Sementara kekurangannya adalah (1) rawan terhadap serangan jamur karena

kelembaban udara yang tinggi akibat tingginya populasi tanaman, (2) investasi awal cukup

tinggi, (3) sistem penyiraman yang harus kontinu dan diperlukan beberapa peralatan tambahan

(Damastuti, 1996).

(17)

budidaya diatas lahan seluas satu meter persegi dengan jumlah tanaman yang jauh lebih banyak dibanding dengan dilahan datar dengan luas yang sama. Ada beberapa kelebihan dari teknik budidaya secara vertikultur diantaranya:

a. Populasi tanaman per satuan luas lebih banyak karena tanaman disusun ke atas

dengan tingkat kerapatan yang dapat diatur sesuai dengan keperluan.

b. Kehilangan pupuk oleh guyuran air hujan dapat dikurangi karena jumlah media

tanam yang sudah ditentukan hanya berada di daerah sekitar perakaran tanaman di

dalam wadah terbatas.

c. Perlakuan penyiangan gulma sangat berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali

karena sedikit media tanam terbuka yang memungkinkan media ditumbuhi gulma

d. Tempat dibangunnya media vertikultur menampilkan nilai estetika, atau dapat

dikatakan sebagai tanaman hias

e. Efisiensi penggunaan lahan karena dapat diterapkan dilahan sempit.

Disamping banyaknya nilai kelebihan, teknik vertikultur memiliki beberapa kelemahan yakni

investasi atau biaya awal yang diperlukan cukup tinggi (Andoko, 2004).

Sistem pertanian kota dengan ketersediaan lahan yang sempit dapat ditempuh dengan usaha mengembangkan teknologi pertanian yang hemat lahan. Sistem pertanian vertikal yang diharapkan dapat meningkatkan panen radiasi surya yang melimpah, selain itu juga efisiensi dalam penggunaan lahan dan air.Budidaya tanaman dengan sistem vertikultur dapat menghemat air sampai tiga kali (Yusdiana dkk, 2000).

(18)

Entisol merupakan tanah yang bertekstur pasir atau pasir berlempung, sehingga mempunyai daya menahan air yang rendah dan bahan organik yang sangat rendah. Susunan struktur tanah, tekstur dan ruang pori merupakan faktor yang mempengaruhi daya menahan air. Selain itu Entisol juga mempunyai kadar bahan organik yang sangat rendah, hal ini disebabkan karena terjadi pencucian yang sangat tinggi (Utami dan handayani, 2003).

Pada sistem irigasi tetes vertikultur, setiap paralon memiliki lubang dan dua selang di

dalamnya untuk diisi air.Lalu dibiarkan hingga media basah semua, kemudian selang ditutup.Jika

belum sempurna, semprot dengan sprayer dengan lembut agar tidak merusak media.Penyiraman

ini dilakukan pada pagi dan sore setiap harinya (Palupi dan Diennazola, 2010).

Bahan kolom vertikal pipa PVC berdiameter 17 cm, dengan panjang 135 cm dan di sekeliling kolom dibuat lubang tempat menanam bibit. Pada bagian tengah diberi pipa paralon kecil untuk memperlancar distribusi air irigasi yang diberikan. Sebelumnya pipa dibuat beberapa lubang sebagai tempat keluarnya air (Yusdiana dkk, 2000).

Sistem Irigasi Tetes Bawah Permukaan

Irigasi secara umum didefinisikan sebagai penggunaan air pada tanah untuk keperluan

penyediaan cairan yang dibutuhkan oleh tanaman. Irigasi dapat juga dikatakan penggunaan air

pada tanah yang berfungsi; (1) menambah air ke dalam tanah untuk menyediakan cairan yang

diperlukan untuk pertumbuhan tanaman; (2) mendinginkan tanah dan atmosfer, sehingga

menimbulkan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman; (3) mencuci atau mengurangi

garam dalam tanah; (4) mengurangi bahaya erosi; (5) mempermudah pengolahan tanah

(Hansen dkk, 1980).

Irigasi tetesan adalah penggunaan tetes-tetes air berkali-kali atau setiap hari untuk

melokalisasi daerah tanah. Generalisasi yang umum diterima adalah bahwa bila 60 persen air

(19)

Dengan mengetahui laju evapotranspirasi harian dan simpanan air tanah yang tersedia, penentuan

waktu penggunaan irigasi dapat dihitung (Foth, 1994).

Sistem irigasi bawah permukaan adalah pipa polietilen yang memiliki dripper yang dapat dibentuk secara langsung dengan interval yang telah ditetapkan. “Prinsip dasar sistem irigasi bawah permukaan adalah: mengurangi penggunaan air, mengurangi penguapan, mengurangi pertumbuhan gulma, mengurangi hama dan penyakit tanaman, mengurangi penggenangan dan aliran permukaan serta menyalurkan air secara langsung pada daerah perakaran” (Brian, 2011).

Menurut Sudjarwadi (1990), sistem irigasi bawah permukaan dapat dilakukan dengan

meresapkan air ke dalam tanah di bawah zona perakaran melalui sistem saluran terbuka ataupun

dengan menggunakan pipa porous. Lengas tanah digerakkan oleh gaya kapiler menuju zona

perakaran lalu dimanfaatkan oleh tanaman.

Sasaran dari manajemen irigasi yang baik adalah untuk menyediakan air bagi tanaman ketika diperlukan.Sistem irigasi bawah permukaan menempatkan dripper permanen dibawah permukaan tanah, biasanya pada kedalaman antara 20 hingga 40 cm. Emitter pada dripper memancarkan air selama irigasi.Pada sistem yang baru, keseragaman penyebaran airnya dapat mencapai lebih dari 93%, dibandingkan dengan irigasi curah 60% - 80% dan irigasi permukaan 50% - 60% (Harris, 2005).

Sifat Fisik Tanah Entisol

(20)

Entisol (‘ent’ berasal dari kata recent) adalah tanah mineral yang tidak memiliki horizon-horizon pedogenik yang mencirikan (Soil Survey Staff, 1998). Entisol dicirikan oleh bahan mineral tanah yang belum membentuk horizon diagnostik yang nyata karena pelapukan baru diawali atau bahan induk yang sukar larut seperti pasir kuarsa, atau terbentuk batuan keras yang larutnya lambat seperti batu gamping, atau topografi sangat miring sehingga kecepatan erosi melebihi pembentukan horizon pedogenik (Darmawijaya, 1990).

Sifat fisik tanah Entisol sebagian besar tidak baik. Kendala utama pemanfaatan tanah ini adalah sifat fisik disertai kurangnya air (Komar, 1984). Entisol mempunyai kadar lempung dan bahan organik rendah, sehingga daya menahan airnya rendah, struktur remah sampai sampai berbutir dan sangat sarang, hal ini menyebabkan tanah tersebut mudah melewatkan air dan air mudah hilang karena perkolasi (Mowidu, 2001).

Entisol memiliki kemantapan agregat rendah sehingga menyebabkan tanah ini mudah mengalami disperse apabila mengalami tumbukan oleh air hujan. Keadaan tersebut menyebabkan tanah tersebut mudah tererosi dan agregat yang hancur menjadi partikel-partikel yang sangat halus dapat menutupi pori-pori tanah sehingga akan menurunkan kapasitas infiltrasi (Darmawijaya, 1990).

Di Indonesia tanah Entisol banyak diusahakan untuk areal persawahan baik sawah teknis maupun tadah hujan pada daerah dataran rendah. Tanah ini mempunyai konsistensi lepas-lepas, tingkat agregasi rendah, peka terhadap erosi dan kandungan hara tersediakan rendah. Potensi tanah yang berasal dari abu vulkan ini kaya akan hara tetapi belum tersedia, pelapukan akan dipercepat bila terdapat cukup aktivitas bahan organik sebagai penyedia asam-asam organik (Tan, 1986).

(21)

hingga tinggi dengan KTK sangat beragam, karena sangat tergantung pada jenis mineral liat yang mendominasinya; kadar hara tergantung bahan induk; permeabilitas lambat; dan peka erosi. Meskipun tidak ada pencucian hara tanaman dan relatif subur, untuk mendapatkan hasil tanaman yang tinggi biasanya membutuhkan pupuk N, P, K (Munir, 1996).

Entisol merupakan tanah dengan sedikit perkembangan dimana sifatnya sangat ditentukan oleh bahan induk. Sebagian tanah yang tergolong dalam Entisol terutama bertekstur pasir atau pasir berlempung kadang-kadang mempunyai horizon albic yang tebal di atas horizon B yang warnanya sangat nyata berbeda tetapi sifat-sifat lain tidak jelas berbeda. Entisol terbentuk dari endapan sungai (alluvial) mengalami diskontinuitas (lapisan tanah yang terbentuk karena tidak mempunyai hubungan satu dengan yang lain), sehingga C organiknya rendah (Santoso, 1993).

Pada kebanyakan tanah mineral, nilai kerapatan partikel (particle density) adalah sekitar 2,6-2,7 gram/cm3. Kerapatan massa (bulk density) tanah kering menunjukkan perbandingan antara massa tanah kering terhadap volume total tanah (termasuk partikel tanah dan ruang porinya). Nilai bulk density lebih kecil dari nilai particle density, untuk tanah dengan volume ruang pori yang berkisar setengah dari volume total adalah 1,3-1,35 gram/cm3, untuk tanah berpasir mungkin dapat mencapai 1,6 gram/cm3 (Hillel, 1971).

Ukuran partikel tanah akan menentukan tekstur tanah. Partikel yang diameternya lebih besar dari 1,00 mm adalah kerikil, dari 0,05 hingga 1,00 mm adalah pasir, dari 0,002 hingga 0,05 mm adalah lempung dan yang lebih kecil dari 0,002 mm adalah liat. Untuk menghitung persentase ruang pori (�)

adalah membandingkan nilai kerapatan massadan kerapatan partikeldengan persamaan:

�=�1−��

��� � 100% ...(1)

� = Porositas (%)

(22)

(Hansen dkk, 1992).

Aliran Air dalam Tanah Tidak Jenuh

Ada dua jenis gerakan air dalam tanah yaitu gerakan air tanah jenuh dan gerakan air tanah tidak jenuh.Gerakan air tanah jenuh khususnya muncul setelah hujan deras atau pengirigasian. Gerakan air tanah tidak jenuh muncul ketika sebagian besar air pada pori tanah telah terdrainase dan adanya ruang-ruang udara di dalam tanah (Coyne and Thompson, 1960).

Didalam sebuah tanah yang homogen, air akan bergerak dari daerah yang berpotensial tinggi ke daerah yang berpotensial rendah. Gerakan air mungkin terjadi pada semua arah. Kecepatan aliran semakin tinggi dengan meningkatnya gradien dan jumlah pori yang terisi air (Donahue et.al, 1977).

Gerakan air dalam tanah dalam berbagai segi pengertian adalah laju aliran per satuan luas penampang dengan persamaan:

�=���

�� ………...……… ………(2)

Dimana H adalah tinggi tekanan keseluruhan, k adalah konduktivitas hidrolik dari tanah yang bersangkutan, dan s adalah jarak sepanjang aliran. Dalam kasus yang umum, H adalah jumlah dari tinggi tekanan kapiler, gravitasi dan tekanan uap. Tinggi tekanan kapiler adalah hisapan yang diperlukan untuk menarik air dari dalam tanah. Hantaran k adalah jumlah air yang akan bergerak melalui suatu satuan penampang melintang dalam 1 detik pada suatu gradient. Intisari dari persamaan di atas adalah air tanah cenderung untuk bergerak dari daerah-daerah yang kadar lengasnya tinggi ke yang kadar airnya rendah atau dari potensial tinggi ke potensial rendah (Linsley, 1986).

(23)

Pada aliran horizontal tidak jenuh dalam tanah, pengaruh gaya gravitasi terhadap

gerakan air tanah dapat diabaikan. Jika gaya eksternal tidak ada, yaitu jika tekanan didalam tanah

dan atmosfer sama maka faktor yang berpengaruh terhadap gerakan horizontal tidak jenuh dari

air tanah, sangat ditentukan oleh potensial matriks dan kandungan garam dalam larutan tanah

(Herudjito, 1983).

Gerakan air di dalam tanah adalah melalui interkoneksi ruang pori, secara umum, tanah dengan ruang pori besar akan memiliki konduktivitas hidrolik yang besar. Sebaliknya, tanah dengan ruang pori kecil akan memiliki konduktivitas hidrolik yang kecil pula. Tanah bertekstur kasar seperti pasir biasanya memiliki konduktivitas hidrolik besar, dan tanah bertekstur halus seperti liat biasanya memiliki konduktivitas hidrolik kecil.Gerakan air dalam tanah terjadi sebagai hasil dari perbedaan gradien (hidrolik), dengan arah dari yang berpotensial tinggi ke potensial rendah, kecepatan gerakannya bervariasi oleh besarnya gradien hidrolik dan juga konduktivitas hidrolik tanah (Liu and Evett, 2008).

Permeabilitas didefenisikan sebagai sifat bahan berongga yang memungkinkan air atau cairan lainnya untuk menembus atau merembes melalui ruang antar pori. Bahan yang mempunyai pori-pori kontinu disebut dapat ditembus (permeable). Contohnya kerikil mempunyai sifat tembus yang tinggi sedangkan lempung kaku mempunyai sifat dapat tembus yang rendah atau dapat juga dikatakan tidak tembus (impermeable) (Soedarmo dan Purnomo, 1997).

Koefisien permeabilitas terutama tergantung pada ukuran rata-rata pori yang dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel, bentuk partikel dan struktur tanah. Secara garis besar, semakin kecil ukuran partikel, semakin kecil pula ukuran pori dan semakin rendah koefisien permeabilitasnya. Berarti suatu lapisan tanah berbutir kasar yang mengandung butiran-butiran halus memiliki harga koefisien permeabilitas yang lebih rendah. Koefisien permeabilitas merupakan fungsi dari angka pori (Craig, 1987).

Pergerakan air dalam tanah tidak jenuh berlangsung dalam dua tingkatan. Tingkat

pertama air bergerak secara difusi yaitu suatu proses dimana berbagai komponen dari suatu

(24)

tempat lain. Selanjutnya disusul dengan tingkatan kedua yang berlangsung secara konveksi yang

disebabkan oleh aliran massa yaitu suatu proses dimana seluruh tubuh cairan bergerak sebagai

respon terhadap perbedaan gradien total (Mansur, 1986).

Konduktivitas hidrolik tanah dipengaruhi oleh struktur dan tekstur tanah tersebut.Konduktivitas hidrolik meningkat jika tanah sangat berpori, remah atau beragregat dibandingkan jika tanah padat dan sesak. Konduktivitas hidrolik tidak hanya bergantung pada total ruang pori, tetapi terutama pada ukuran pori penghubung. Sebagai contoh, tanah berpasir dengan ruang pori yang besar dapat memiliki konduktivitas lebih besar dari tanah liat dengan ruang pori yang kecil walaupun total ruang pori tanah liat secara umum lebih besar daripada tanah berpasir (Hillel, 1971).

Dalam gerakan air tanah horizontal yang sesungguhnya, gerakan vertikal (∇�) adalah nol. Proses

lain juga mungkin terjadi jika ∇� diabaikan, dibandingkan dengan gradien hisapan matriks yang kuat (∇�). Dalam kasus ini,

��

�� = ∇[�(�)∇�] ...(4)

Atau, dalam sebuah sistem gerakan dua dimensi,

��

Dengan memasukkan difusivitas kedalam persamaan, untuk gerakan dua dimensi dengan mengabaikan gravitasi diperoleh,

� = Kadar air volumetrik

� = Waktu (s)

K = Konduktivitas hidrolik (m2/s)

(25)

D = Difusivitas (m2/s) x = Sumbu horizontal y = Sumbu vertikal (Hillel, 1971).

Efisiensi Irigasi

Efisiensi irigasi didefenisikan sebagai persentase air yang dihantarkan dengan air yang

tertahan di zona perakaran dimana menjadi air tersedia untuk pertumbuhan tanaman. Dengan

kata lain sebagai gambaran bagian yang di hantarkan pada bagian lapisan permukaan atas tanah

(Houk, 1996).

Sering terjadi dimana lebih banyak air yang dialirkan ke tanah daripada yang mungkin

bisa ditahannya.Konsep efisiensi pemakaian air irigasi berikut dikembangkan untuk mengukur

dan memusatkan perhatian terhadap efisiensi dimana air yang disalurkan sedang ditampung pada

daerah perakaran tanah, yang dapat digunakan oleh tanaman.

�� = ��

�� 100% ...(7)

Ea = Efisiensi pemakaian air irigasi (%).

Ws = Air yang ditampung pada daerah perakaran selama pemberian air irigasi. Wf = Air irigasi yang disalurkan ke lahan.

Efisiensi pemakaian air irigasi dapat berbeda-beda dari harga yang paling rendah sampai

mendekati 100 %.Konsep efisiensi penyimpanan menunjukkan perhatian secara lengkap

bagaimana kebutuhan air tersebut disimpan pada daerah perakaran selama pemberian air irigasi.

�� = ��

�� 100% ...(8)

(26)

Ws = Air yang ditampung pada daerah perakaran selama pemberian air irigasi.

Wn = Air yang dibutuhkan pada daerah perakaran sebelum pemberian air irigasi.

Efisiensi penyimpanan air irigasi penting apabila air yang tidak memadai disimpan pada daerah

perakaran selama pemberian air irigasi. Distribusi air irigasi yang tidak sama memiliki banyak

karakteristik yang tidak diinginkan. Daerah yang kering terlihat di lahan yang diberi air irigasi

secara tidak merata.Kelebihan air yang digunakan menyebabkan pemborosan air. Rumus untuk

efisiensi distribusi air, yang menggambarkan sampai dimana air didistribusikan secara merata,

diperlihatkan pada:

�� =�1−��� � 100% ...(9)

Ed = Efisiensi distribusi air irigasi (%).

Y = Angka deviasi standar untuk kedalaman air yang ditampung selama pemberian air

irigasi.

d = Kedalaman air rata-rata yang ditampung selama pemberian air irigasi.

(Hansen dkk, 1980).

Kadar Air Tanah

(27)

berlangsung selama cukup air ditambahkan dan tidak ada penghalang.Pergerakan air tidak hanya terjadi secara vertikal tetapi juga horizontal (Hakim dkk, 1986).

Salah satu metode yang digunakan secara luar untuk mengukur kadar air tanah adalah memperkirakan kadar air tanah dengan melihat dan merasakannyadan membandingkannya dengan struktur tanah yang bersangkutan. Tetapi untuk mendapat data yang lebih akurat dapat dengan mengukur berat tanah sampel, kemudian tanah diovenkan sampai pada keadaan tanah kering oven, lalu ditimbang. Selisih antara berat tanah sebelum diovenkan dan sesudah diovenkan menjadi berat air yang terkandung di dalamnya, dengan demikian didapat kadar air tanah (Hansen dkk, 1984).

Pengukuran kadar air tanah dilakukan untuk mengetahui pola pembasahan tanah. Setelah

diketahui kadar air tanahnya kemudian dibandingkan dengan kadar air tanah kapasitas lapang

(Saprianto dan Pandjaitan 1999). Dalam praktek, kadar air tanah kapasitas lapang biasanya

ditentukan 2 hari setelah pemberian air (penjenuhan). Suatu tanah akan sampai pada kapasitas

lapang lebih cepat bila ada suatu tanaman yang aktif tumbuh daripada bila tidak ada yang

mengambil air dari tanah tersebut (Hansen dkk, 1980).

Laju Infiltrasi

Persamaan yang digunakan untuk menghitung laju infiltrasi dengan menggunakan

metode Kostiakov adalah:

�� = ��� ...(10)

fp = Laju infiltrasi (mm/menit)

K,n = Konstanta yang dipengaruhi oleh faktor lahan dan kadar air tanah awal

t = Waktu (menit)

Persamaan tersebut dapat diintegralkan guna memperoleh persamaan untuk infiltrasi kumulatif.

(28)

Penurunan permukaan air diukur setiap selang waktu 2, 5, 10, 20, 30, 45, 60, 90, 120, 180 menit.

Air ditambahkan ke dalam silinder secara berkala agar infiltrasi selalu berlangsung dari

kedalaman yang sama (Januar dan Pandjaitan, 1999).

Biasanya, laju infiltrasi lebih banyak pada permulaan hujan atau pemberian air irigasi

daripada beberapa jam kemudian.Ini dipengaruhi oleh sifat-sifat tanah dan juga oleh tingkat

kelembaban.Pengurangan infiltrasi menurut waktu sesudah pembasahan suatu tanah adalah

penting dalam penelitian curah hujan-limpasan (rainfall-runoff) dan dalam irigasi (Hansen dkk,

198).

Penggolongan nilai laju infiltrasi konstan menurut Haridjaja (1990) dapat dilihat pada

tabel berikut ini:

Tabel 1. Kriteria Laju Infiltrasi Konstan

Kelas Kategori Laju infiltrasi konstan (cm/jam) Keterangan

1

Semua tanah bersifat lolos air, dimana air mengalir melalui ruang kosong yang terdapat

diantara butir tanah. Daerah yang dibasahi tergantung pada kecepatan dan volume

pemancar.Besarnya daerah terbasahi berhubungan dengan volume air per satuan waktu dan

keadaan fisik tanah tersebut yaitu konduktivitas hidroliknya. Air merembes kedalam tanah di

sekitar daerah perakaran mengikuti suatu alur diantara partikel tanah (Keller and Bliesner,

(29)

Pola pembasahan tanah hasil pengamatan setelah sekitar 3 bulan fertigasi berbentuk

seperti bola tanah basah dengan diameter antara 60-65 cm mampu memberikan zona basah

dengan kadar air tanah volumetrik sekitar 30-40 % dan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman.

Rembesan air diamati setiap hari dengan membaca penurunan air di dalam tabung Mariotte

(Hermantoro dkk, 2003).

Kebutuhan Air Irigasi

Tekstur, porositas dan permeabilitas tanah demikian berpengaruh terhadap kebutuhan air

pengairanoleh tanah, terutama sehubungan dengan kehilangan air berupa perkolasi, yang

merupakan perembesan air ke dalam lapisan tanah bagian dalam, berlangsung secara vertikal dan

horizontal. Dalam hal ini, makin besar permeabilitas, makin besar juga perkolasi

(Kartasapoetra, dan Sutedjo, 1994).

Faktor iklim yang mempengaruhi kebutuhan air irigasi adalah curah hujan dan variabel

lain yang mempengaruhi tingkat penguapan. Sementara itu untuk faktor tanah, variabel

pengaruhnya adalah kapasitas tanah memegang air, laju infiltrasi serta perkolasi (Aqil dkk,

2002).

Pemberian air irigasi dalam jumlah kecil kemungkinan tidak dapat terserap oleh tanah

dan tanaman, namum pemberian air dalam jumlah yang besar akan menimbulkan genangan dan

aliran permukaan. Pemberian air pada irigasi tetes erat kaitannya dengan debit, pada irigasi tetes,

debit relatif kecil untuk satuan waktu per detik karena air yang keluar dari emitter berupa tetesan

air oleh sebab itu diperlukan pengaturan debit (James, et.al, 1982)

Sistem irigasi umumnya didesain dan dioperasikan untuk memberikan air irigasi dengan

debit yang rendah serta membasahi sebagian dari permukaan tanah. Pergerakan air arah

(30)

vertikal masih terus berlangasung, pergerakan air arah horizontal akan mencapai suatu jarak

maksimum tertentu. Umumnya daerah yang terbasahkan dari irigasi tetes dengan volume tertentu

tetap diberikan dengan debit pemberian yang berbeda adalah hampir serupa(Kalsim dkk, 2006).

Tabung Mariotte

Tabung Mariotte selama ini digunakan pada irigasi kendi. Prinsip kerja tabung Mariotte

pada intinya mempertahankan tekanan didalam tabung sama dengan tekanan udara di luar tabung

walaupun permukaan air di dalam tabung menurun dikarenakan keluarnya air ke luar tabung. Hal

ini dimungkinkan dengan adanya lubang udara yang terletak sedikit diatas dasar tabung. Lubang

udara ini sekaligus menjadi pengontrol level air (Tribowo, 2003).

Tabung Mariotte selain berfungsi sebagai penyuplai air juga berfungsi untuk

menstabilkan tinggi permukaan air. Dimana setiap ada pengurangan tinggi permukaan air akan

segera disuplai air dengan jumlah yang sama sehingga tinggi permukaan air selalu konstan. Cara

seperti ini terbukti sangat menghemat tenaga kerja karena petani hanya cukup memberi air ke

tabung Mariotte saja. Bahkan pemupukan pun dapat diberikan bersamaan dengan pemberian air,

(31)

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Keteknikan Pertanian,

Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, pada bulan Oktober-November

2011.

Bahan dan Alat

Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: tanah Entisol

dalam keadaan terganggu, air irigasi, kain saring, kapas, pipa PVC berukuran 6

inci untuk model vertikultur dan yang ½ inci untuk pipa irigasi, tee dan elbow ½

inci, dop 6 inci, stopkran, selotip, lem pipa, besi siku dan tabung Mariotte.

Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: saringan tanah

berukuran 9 mesh, bor listrik, gerinda, ring sampel, penggaris, infiltration

apparatus, oven, timbangan digital, stopwatch, gelas ukur dan gelas erlenmeyer,

GPS Garmin 12XL.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan pengamatan langsung dilapangan

(observasi) terhadap kinerja sistem irigasi tetes bawah permukaan dengan

beberapa pola susunan pada tanah Entisol secara vertikultur.

Parameter

1. Sifat fisik tanah Entisol

Dilakukan analisis bulk density, particle density, porositas, tekstur, kadar

(32)

awal dan kapasitas lapang ini akan menjadi acuan (batas bawah dan batas

atas) dalam kecukupan air bagi tanah.

2. Debit (laju pemberian air) irigasi

Diukur debit dari pipa irigasi yang telah dilubangi (d=1 mm) sepanjang

satu sisi setiap 10 cm (13 lubang) dalam ml/menit, kemudian ditentukan

pula laju infiltrasi konstannya dengan menggunakan metode Kostiakov,

lalu bandingkan hasil yang diperoleh, diatur jumlah lubang pada pipa

irigasi.

Laju infiltrasi konstan dijadikan sebagai acuan untuk menentukan laju

pemberian air.Laju pemberian air yang diterapkan harus lebih kecil dari

laju infiltrasi konstan untuk menghindari terjadinya erosi maupun aliran

permukaan (Saprianto dan Pandjaitan, 1999).

3. Pola pembasahan

Pergerakan air yang keluar melalui lubang pada pipa irigasi akan bergerak

secara vertikal maupun horizontal, untuk mengetahuinya dilakukan

pengukuran kadar air tanah pada 30, 60, 120 dan 240 menit setelah

pemberian air irigasi. Sampel diambil melalui lubang pada dinding model

vertikultur.

4. Penyaluran Kebutuhan air irigasi

Jumlah air yang diperlukan untuk irigasi dicatat dari penurunan permukaan

air pada tabung Mariotte.

5. Efisiensi irigasi

Terdiri dari efisiensi pemakaian air, efisiensi penyimpanan air dan efisiensi

(33)

Pelaksanaan Penelitian

Adapun pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan

kerja, yaitu:

Mempersiapkan tanah Entisol

1. Tanah Entisol untuk penelitian ini diperoleh dari Kebun Percobaan Kwala

Bekala Universitas Sumatera Utara (3028’41,9” LU – 98038’18,5” BT) melalui GPS Garmin 12XL.

2. Tanah dibiarkan kering udara terlebih dahulu kemudian disaring dengan

saringan tanah (9 mesh).

Menganalisis sifat fisik tanah Entisol

1. Diambil sampel tanah dengan menggunakan ring sampel sebanyak 3

ulangan, kemudian dianalisis kerapatan massa, kerapatan partikel,

porositas, tekstur, kadar air kapasitas lapangnya dengan metode gravitasi.

2. Kerapatan massa dan kerapatan partikel ditentukan dengan cara

mengambil sampel tanah (3 ulangan) dengan ring sampel lalu dikeringkan

menggunakan oven. Kerapatan massa dan kerapatan partikel dihitung

dengan persamaan berikut:

�� =

(����+���������������)− ���������������

����������ℎ��������������� ...(11)

�� =

(����+���������������)− ���������������

����������ℎ���������� ...(12)

Bd = Kerapatan massa (gram/cm3)

Pd = Kerapatan partikel (gram/cm3)

(34)

Volume tanah kering oven diperoleh dengan cara menjenuhkan tanah

kering oven didalam gelas erlenmeyer hingga mencapai volume 200 ml,

kemudian di dihitung volume tanah kering ovennya (200 ml dikurangi

volume air yang terpakai untuk penjenuhan).

3. Porositas dihitung dengan menggunakan Persamaan 1.

4. Tekstur tanah ditentukan dengan menganalisis sampel (3 ulangan) di

Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas

Sumatera Utara.

5. Kadar air kapasitas lapang ditentukan dengan cara mengambil sampel

sebanyak 3 ulangan lalu dijenuhkan. Sampel dibiarkan kering udara

selama 2 hari agar mencapai keadaan kapasitas lapang. Selanjutnya sampel

tersebut ditentukan kadar airnya dengan metode gravimetrik.

Mempersiapkan model vertikultur

1. Dipotong pipa PVC yang berdiameter 6 inci sepanjang 135 cm, sedangkan

pipa PVC yang berdiameter ½ inci dipotong sepanjang 140 cm.

2. Dilubangi pipa PVC 6 inci yang telah dipotong, dengan diameter sebesar 8

cm pada tiga arah sebanyak lima baris.

3. Dirakit tabung Mariotte sehingga memiliki head sebesar 10 cm (pada

batas atas model vertikultur) yang berfungsi untuk memberikan air dengan

tekanan yang konstan pada pipa irigasi.

Menentukan debit (laju pemberian air) irigasi

1. Diukur debit dari pipa irigasi yang telah dilubangi (d = 1 mm) dan diisi

dengan kapas, sepanjang satu sisi setiap 10 cm (ml/menit) dengan 3 kali

(35)

2. Ditentukan laju infiltasi konstan tanah Entisol dengan menggunakan

metode Kostiakov sebanyak 3 kali ulangan.

3. Dibandingkan hasil pengukuran yang diperoleh (debit irigasi dengan laju

infiltrasi konstan).

4. Ditentukan jumlah lubang yang akan dibuat pada pipa irigasi sehingga

diperoleh debit (laju pemberian air) irigasi yang tidak melampaui nilai laju

infiltrasi konstan, hal ini dilakukan agar air irigasi yang diberikan tidak

mungkin menyebabkan genangan.

5. Dibuat lubang-lubang pada pipa irigasi dengan seimbang sesuai dengan

pola susunannya (4 arah, 3 arah dan spiral).

Pengujian kinerja sistem irigasi

1. Pola pembasahan ditentukan dengan mengambil sampel melalui lubang

pada dinding model vertikultur, 60, 120 dan 240 menit setelah pemberian

air irigasi (untuk setiap pola susunan lubang dengan 3 ulangan), kemudian

diukur kadar airnya.

2. Penyaluran kebutuhan air irigasi ditentukan dengan melakukan

pengukuran besarnya penurunan tinggi permukaan air pada tabung

Mariotte, kemudian dikalikan dengan luas penampang (A) tabung

Mariotte tersebut.

����������������ℎ������������= ∆��� ………...(13)

∆t = Penurunan permukaan air (cm)

A = Luas penampang tabung Mariotte (cm2)

3. Efisiensi pemakaian air irigasi ditentukan dengan membandingkanvolume

(36)

Mariotte dikurangi volume air rembesan) dengan volume air irigasi yang

disalurkan(volume air yang berkurang pada tabung Mariotte).

4. Efisiensi penyimpanan air irigasi ditentukan dengan cara membandingkan

kadar air rata-rata yang bertambah pada sampel tanah dengan kadar air yang

dibutuhkan tanah sebelum pemberian air irigasi.

5. Efisiensi distribusi air irigasi ditentukan dengan cara membandingkan

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik Tanah Entisol

Hasil analisis yang dilakukan terhadap sifat fisik tanah Entisol dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Sifat Fisik Tanah Entisol

Ulangan Bulk density

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai bulk density pada tanah Entisol adalah

sebesar 1,059 gram/cm3. Menurut Hillel (1971) “nilai bulk density untuk tanah berpasir

dapat mencapai 1,6 gram/cm3”, nilai bulk density tersebut tidak sesuai dikarenakan tanah

Entisol yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah dalam keadaan terganggu yaitu telah diberi perlakuan (disaring) sehingga tidak lagi sama dengan kondisi aslinya dilapangan. Nilai bulk density untuk tanah dengan volume ruang pori yang berkisar setengah dari volume total adalah 1,30-1,35 gram/cm3. Nilai porositas (ruang pori) pada tanah Entisol adalah sebesar 59,3 %. Semakin besar nilai volume ruang pori pada tanah

Entisol, maka semakin kecil nilai bulk density.

(38)

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa nilai kadar air awal pada tanah Entisol adalah sebesar 15,775 %, sedangkan nilai kadar airnya pada keadaan kapasitas lapang adalah sebesar 48,745 %.

Hasil analisis untuk menentukan tekstur tanah Entisol dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Analisis Tekstur Tanah Entisol

Ulangan % Pasir % Debu % Liat Tekstur tanah

1 77 0 23 Sandy Loam (lempung pasir)

2 81 0 19 Sandy Loam (lempung pasir)

3 83 0 17 Sandy Loam (lempung pasir)

Rata-rata 80,3 0 19,6 Sandy Loam (lempung pasir)

Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa pada tanah Entisol terdapat persentase pasir adalah sebesar 80,3%, persentase debu adalah sebesar 0 % dan persentase liat adalah sebesar 19,6 %. Menurut segitiga USDA, tanah tersebut memiliki tekstur sandy loam

(lempung pasir). Hal ini sesuai dengan pernyataan Santoso (1993) yang menyatakan

bahwa “Sebagian tanah yang tergolong dalam Entisol terutama bertekstur pasir atau pasir”. Penentuan tekstur tanah menurut segitiga USDA dapat dilihat pada Lampiran 9.

Laju Infiltrasi

Dari pengamatan, didapat persamaan laju infiltrasi � = 17,9684 �−0,5329

dengan laju konstan sebesar 0,41 cm/menit, yang diukur pada kadar air tanah

27,51 % volume (kadar air kapasitas lapang 30,97 % dan titik layu permanen

22,91 %). Laju infiltrasi konstan sebesar 0,41 cm/menit dijadikan sebagai acuan

untuk menentukan laju pemberian air. Laju pemberian air harus lebih kecil dari

0,41cm/menit untuk menghindari terjadinya erosi maupun aliran permukaan

(39)

Hasil pengukuran infiltrasi pada tanah Entisol dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5. Infiltrasi pada Tanah Entisol

t (menit) Infiltrasi kumulatif (cm) Laju infiltrasi (cm/menit)

2 7,4 2,9

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa infiltrasi kumulatif (F) yang diukur pada tanah

Entisol adalah sebesar 7,4 cm pada menit ke-2, 15,0 cm pada menit ke-5, 26,6 cm pada menit ke-10, 42,7 cm pada menit ke-20, 57,4 cm pada menit ke-30, 77,3 cm pada menit 45, 94,3 cm pada menit 60, 123,5 cm pada menit 90, 140,5 cm pada menit ke-120 dan 154,8 cm pada menit ke-180. Berdasarkan nilai infiltrasi kumulatif (F) tersebut, diperoleh persamaan garis:

(40)

Grafik Hubungan Infiltrasi Kumulatif (F) dengan Waktu (t)

Untuk memperoleh persamaan garis untuk laju infiltrasi (fp), Persamaan 14 didiferensialkan sehingga diperoleh:

Y2 : Laju infiltrasi (cm/menit) x : Waktu (menit)

Grafik Hubungan Laju Infiltrasi (fp) dengan Waktu (t)

Berdasarkan Persamaan 15, diperoleh nilai laju infiltrasi konstan pada tanah

Entisol dengan menggunakan t = 1200 menit, sebagaimana dalam literatur Saprianto dan

(41)

Pandjaitan (1999), yaitu sebesar 0,4 cm/menit. Nilai laju infiltrasi konstan dijadikan

sebagai acuan untuk menentukan laju pemberian air.Laju pemberian air yang

diterapkan harus lebih kecil dari laju infiltrasi konstan.

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa laju infiltrasi (fp) pada tanah Entisol adalah sebesar 2,9 cm/menit pada menit ke-2, 2,2 cm/menit pada menit ke-5, 1,8 cm/menit pada menit ke-10, 1,4 cm/menit pada menit ke-20, 1,3 cm/menit pada menit ke-30, 1,1 cm/menit pada menit 45, 1,0 cm/menit pada menit 60, 0,9 cm/menit pada menit ke-90, 0,8 cm/menit pada menit ke-120 dan 0,7 cm/menit pada menit ke-180. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa nilai laju infiltrasi (fp) semakin menurun dengan bertambahnya waktu (t), nilai laju infiltrasi terbesar diperoleh pada menit ke-2 yaitu sebesar 2,9 cm/menit sedangkan nilai laju infiltrasi terkecil diperoleh pada menit ke-180 yaitu sebesar 0,7 cm/menit. Hal ini sesuai dengan literatur Hansen, et.al (1980) yang menyatakan bahwa biasanya laju infiltrasi lebih banyak pada permulaan pemberian air irigasi daripada beberapa jam kemudian.

Nilai laju infiltrasi konstan pada tanah Entisol yaitu sebesar 0,4 cm/menit

(24 cm/jam) menurut Haridjaja (1990) termasuk kedalam kategori infiltrasi

sedang. Hal ini tidak sesuai dengan literatur Munir (1996) yang menyatakan

bahwa tanah Entisol memiliki nilai reaksi pemeabilitas lambat. Hal ini

dikarenakan tanah Entisol yang digunakan dalam penelitian ini memiliki porositas

sebesar 59,3 %, sehingga meningkatkan konduktivitas hidroliknya. Hal ini dapat

dilihat pada literatur Liu and Evett (2008) yaitu, secara umum tanah dengan ruang

pori besar akan memiliki konduktivitas hidrolik yang besar, dan literatur Hillel

(1971) yaitu, konduktivitas hidrolik meningkat jika tanah sangat berpori, remah atau

beragregat dibandingkan jika tanah padat dan sesak.

(42)

Hasil pengukuran debit pada pipa irigasi dengan 13 lubang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4. Debit Pipa Irigasi dengan 13 Lubang

Ulangan Debit (ml/menit)

1 43

2 50

3 48

Rata-Rata 47

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa debit yang diukur pada pipa irigasi dengan 13 lubang adalah sebesar 47 ml/menit atau dengan ketinggian sebesar 0,246 cm pada tabung

Mariotte.

Dengan membandingkan nilai debit yang diukur pada pipa irigasi (kedalaman) yaitu 0,246 cm/menit, dengan nilai laju infiltrasi konstan (0,4 cm/menit), maka diperoleh

jumlah lubang pada pipa irigasi (n) yang diperbolehkan yaitu: n≤21.

Pola Pembasahan

Pola pembasahan dapat digambarkan melalui hasil pengukuran kadar air pada sampel tanah yang diambil melalui lubang pada dinding model vertikultur. Hasil pengukuran kadar air sampel tanah dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6. Kadar Air pada Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang 3 Arah Kadar air tanah Entisol (%) pada t (menit)

60 120 240

Kolom 1 Kolom 2 Kolom 3 Kolom 1 Kolom 2 Kolom 3 Kolom 1 Kolom 2 Kolom 3

(43)

Baris 5 23,896 23,065 22,844 30,987 31,026 29,026 43,416 44,805 44,987

Tabel 7. Kadar Air pada Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang 4 Arah Kadar air tanah Entisol (%) pada t (menit)

Tabel 8. Kadar Air pada Pipa Irigasi dengan Pola Susunan Lubang Spiral Kadar air tanah Entisol (%) pada t (menit)

(44)

susunan lubang 4 arah, 3 arah maupun spiral. Hal ini sesuai dengan literatur Hakim, dkk (1986) yang menyatakan bahwa pergerakan air tidak hanya terjadi secara vertikal tetapi juga horizontal.

Pada t = 240 menit, seluruh sampel tanah memiliki kadar air yang hampir sama, berkisar diantara kadar air kapasitas lapangnya. Hal ini dikarenakan air irigasi yang diberikan melalui lubang-lubang pada pipa irigasi bergerak ke segala arah didalam tanah. Tanah tidak akan mengalami kejenuhan karena setelah melebihi kadar air kapasitas lapangnya, air irigasi akan bergerak kebawah oleh gaya gravitasi karena tanah tidak mampu lagi memegang air. Hal ini sesuai dengan literatur Donahue, et.al (1977) yang menyatakan bahwa didalam sebuah tanah yang homogen terjadi pergerakan air dari daerah yang berpotensial tinggi ke daerah yang berpotensial rendah, gerakan air mungkin terjadi pada semua arah.

Dari Tabel 8, dapat dilihat bahwa pada pipa irigasi dengan pola susunan spiral,

kadar air paling tinggi pada t = 240 menit adalah pada baris 2, yaitu sebesar 47,057%

pada kolom 1, 49,850% pada kolom 2 dan 49,147 % pada kolom 3. Hal ini dikarenakan

tanah pada baris 1 sudah mencapai kadar air kapasitas lapangnya sehingga air irigasi mulai bergerak ke bawah (menuju ke tanah pada baris 2). Sementara itu, tanah pada baris 3 memiliki kadar air yang masih rendah. Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa peningkatan kadar air pada baris 3 lebih lambat dibandingkan dengan baris yang sama pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang 4 arah (Gambar 3) dan 3 arah (Gambar 4).

Dari Tabel 6, 7 dan 8 dapat dilihat bahwa pada t = 240 menit, pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah memiliki kadar air yang paling tinggi yaitu rata-rata 47,961 %, sedangkan pipa irigasi dengan pola susunan lubang spiral memiliki kadar air yang paling rendah yaitu rata-rata 45,389 %. Hal ini dikarenakan pipa irigasi dengan pola

(45)

paling besar yaitu sebesar 30192,7 ml (Lampiran 26).Pola pembasahan pada tanah

Entisol dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3. Pola Pembasahan Tanah Entisol pada Pipa Irigasi dengan Pola

(46)

Gambar 5. Pola Pembasahan Tanah Entisol pada Pipa Irigasi dengan Pola

Susunan Lubang Spiral

Penyaluran Kebutuhan Air Irigasi

Penyaluran kebutuhan air irigasi untuk setiap pipa irigasi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 9. Penyaluran Kebutuhan Air Irigasi

Pola Susunan Lubang Pada Pipa Irigasi

Penyaluran Kebutuhan Air Irigasi (ml) pada t (menit)

60 120 240

4 Arah 11173,0 21348,5 31954,0

3 Arah 13836,0 23772,0 33231,7

Spiral 12039,5 24622,0 30575,4

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa penyaluran kebutuhan air irigasi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu, baik pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang 4 arah, 3 arah maupun spiral. Penyaluran kebutuhan air irigasi yang terkecil adalah pada t = 60 menit, yaitu sebesar 11173,0 ml pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang 4 arah, 13836,0 ml pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah

(47)

dan 12039,5 ml pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang spiral, sedangkan penyaluran kebutuhan air irigasi yang terbesar pada t = 240 menit, yaitu sebesar 31954,0 ml pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang 4 arah, 33231,7 ml pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah dan 30575 ml pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang spiral.

Setiap pipa irigasi menyalurkan kebutuhan air irigasi yang berbeda-beda. Penyaluran kebutuhan air irigasi terbesar adalah pada pipa irigasi dengan pola susunan

lubang 3 arah, yaitu, 13836,0 ml pada t = 60 menit, 23772,0 ml pada t = 120 menit dan

33231,7 ml pada t = 240 menit, sedangkan penyaluran kebutuhan air irigasi terkecil adalah pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang 4 arah, yaitu 11173,0 ml pada t = 60 menit, 21348,5 ml pada t = 120 menit, dan 31954,0 ml pada t = 240 menit.

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa penyaluran kebutuhan air irigasi pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah adalah paling tinggi pada t = 120 menit (24622,0 ml) dan paling rendah pada t = 240 menit (30575,4 ml). Hal ini dikarenakan peningkatan kadar airnya lebih cepat pada t = 60 menit dan t = 120 menit, sehingga kadar airnya pun lebih cepat mendekati kadar air kapasitas lapang. Hal ini menyebabkan penyaluran kebutuhan air irigasinya paling rendah pada t = 240 menit. Pada t = 240 menit, penyaluran kebutuhan air irigasi yang paling tinggi adalah pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah yaitu sebesar 30575,4 ml. Hal ini dikarenakan peningkatan kadar airnya (baris 5) lebih lambat, sehingga penyaluran kebutuhan air irigasi masih berlangsung cepat. Peningkatan kadar air (pola pembasahan) dapat dilihat pada Lampiran 19, 20 dan 21.

Efisiensi Irigasi

Efisiensi irigasi merupakan indikator kinerja dari sistem irigasi. Efisiensi irigasi untuk setiap pipa irigasi dapat dilihat pada tabel berikut:

(48)

Pola susunan lubang

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa efisiensi pemakaian air irigasi yang paling tinggi diperoleh pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang 4 arah yaitu sebesar 96,2%, sedangkan yang paling rendah diperoleh pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah yaitu sebesar 95,5 %. Hal ini sesuai dengan literatur Hansen, et.al (1980) yang

menyatakan bahwa nilai efisiensi pemakaian air irigasi dapat berbeda-beda dari

harga yang paling rendah sampai mendekati 100 %. Dari ketiga pola susunan

lubang pada pipa irigasi, tidak ada yang memiliki efisiensi pemakaian air irigasi

100 %, artinya ada air irigasi yang merembes keluar dari model vertikultur

melalui bawah. Hal ini sesuai dengan literatur Hakim, dkk (1986) yang

menyatakan bahwa air irigasi yang memasuki tanah mula-mula menggantikan udara

yang terdapat dalam pori makro dan kemudian pori mikro. Air tambahan berikutnya akan bergerak kebawah melalui proses pergerakan air jenuh.

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa efisiensi penyimpanan air irigasi yang paling tinggi diperoleh pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah yaitu sebesar 97,6%. Dari Lampiran 27 dapat dilihat bahwa kadar air rata-rata yang bertambah pada sampel

tanah (Ws) yaitu 30,916 %, kurang dari kadar air yang dibutuhkan tanah (Wn) yaitu

32,970 %. Sedangkan efisiensi penyimpanan air irigasi pada pipa irigasi dengan pola

susunan lubang spiral adalah sebesar 89,8 %. Hal ini sesuai dengan literatur Kalsim, dkk

(2006) yang menyatakan bahwa secara kuantitatif efisiensi irigasi suatu jaringan

irigasi diasumsikan untuk menambah 40% sampai 100% terhadap keperluan air

(49)

Semakin tinggi nilai kadar air maka semakin tinggi pula efisiensi penyimpanan

air irigasi karena semakin banyak air yang ditampung (Ws). Tetapi jika kadar airnya

melebihi kadar air kapasitas lapang maka terjadilah pemborosan air irigasi (Ws >

Wn, air yang ditampung > air yang dibutuhkan).

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa efisiensi distribusi air irigasi yang paling tinggi diperoleh pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah yaitu sebesar 91,5%, sedangkan yang paling rendah diperoleh pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang spiral yaitu sebesar 88,4 %. Hal ini tidak sesuai dengan literatur Harris (2005) yang

menyatakan bahwa sistem irigasi bawah permukaan memiliki keseragaman penyebaran air yang dapat mencapai lebih dari 93%. Pola susunan lubang pada pipa irigasi akan mempengaruhi penyebaran airnya. Pipa irigasi dengan pola susunan lubang 4 arah memiliki 4 emitter pada setiap baris, lebih banyak daripada pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah yang hanya memiliki 3 emitter pada setiap barisnya, akan tetapi pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah memiliki jarak antarbaris emitter (x) yang lebih kecil, sehingga berdasarkan Persamaan 3 pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah memiliki gradien hidrolik (i) yang lebih besar, dengan asumsi perbedaan potensial

(∆�) adalah sama. Dengan gradien hidrolik yang lebih besar, berdasarkan Persamaan 2, pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah memiliki konduktivitas hidrolik (K) yang lebih kecil, dengan asumsi fluks aliran (Q/A) adalah sama. Dengan konduktivitas hidrolik yang lebih kecil , pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah memiliki efisiensi distribusi air irigasi yang lebih tinggi.

(50)

Kinerja sistem irigasi yang paling baik adalah pada pipa irigasi dengan pola susunan lubang 3 arah, yaitu berdasarkan indikator efisiensi/efficiency (efisiensi

pemakaian) 95,5 %, kecukupan/adequacy (efisiensi penyimpanan) 97,6 % dan

keseragaman/uniformity (efisiensi distribusi) 91,5 %. Sebagaimana dalam literatur

Hansen, et.al (1980) yang menyatakan efisiensi penyimpanan air irigasi yang lebih

sedikit dari 100 % akan memberikan hasil yang terbaik. Efisiensi pemakaian dan

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Andoko,A.2004. Budidaya Cabai Merah SecaraVertikultur Organik. Penebar Swadaya. Jakarta.

Aqil, M., R. H. Anasiru, I. U. Firmansyah, Riyadidan S. S. Arif. 2002.

PendayagunaanIrigasi Air Tanah MenunjangBudidayaTanamanSecaraProduktifpadaLahanKering. Agritech

Vol.22, No. 4: Hal. 145.

Brian. 2011. Subsurface Irrigation, The Facts [22 Maret 2011].

Coyne, M. S. and J. A. Thompson. 1960. Math for Soil Scientists. Thomson Delmar Learning. New York.

Craig, R, F. 1987. Mekanika Tanah, Penerjemah: Budi SusiloSoepandji. Erlangga, Jakarta.

Damastuti, A. P. 1996. PertanianSistemVertikultur. Wacana.Bank Indonesia. Jakarta. Donahue, R. L., R. W. Miller and J. C. Shickluna. 1977. An Introduction to Soils and

Plant Growth. Prentice-Hall. New Jersey.

Foth, H. D. 1994. Dasar-DasarIlmu Tanah.Penerjemah S. Adisoemarto. Erlangga. Jakarta.

Hakim, N., A. M. Lubis, G. N. Sutopodan H. H. Bailey. 1986. Dasar-DasarIlmu Tanah. Unila Press. Lampung.

Hansen, V. E., O. W. Israelsen and G. E. Stringham. 1980. Irrigation Principles and Practices. John Wiley & Sons. New York.

Haridjaja, O., K. Murtilaksono, Sudarmo, L. M. Rachman. 1990. HidrologiPertanian. Jurusan Tanah FakultasPertanianInstitutPertanian Bogor. Bogor.

Harris, G. 2005. Subsurface Drip Irrigation, Advantages and Limitations.Department of Primary Industries and Fisheries. Queensland.

Herudjito, D. 1983. ModulKuliahFisika Tanah. DepartemenIlmu Tanah, FakultasPertanian, InstitutPertanian Bogor. Bogor.

Hillel, D. 1971. Soil and Water, Physical Principles and Processes.Academic Press. New York.

Hillel, D. 1980. Fundamentals of Soil Physics.Academic Press. New York.

(52)

James, D. W., O. W. Israelsen and G. E. Stringham. 1982. Modern Irrigated Soils. Department of Soil Science and Meteorology, Utah State University. Utah.

Januar, M. R. dan N. H. Pandjaitan.1999.EvaluasiPersamaanInfiltrasiKostiakovdan Philip

SecaraEmpirikuntuk Tanah RegosolCoklatKekelabuan.BuletinKeteknikanPertanian Vol. 13, No. 3: Hal. 2-3.

Kalsim, D. K., B. I. Setiawan, A. Sapei, Prastowodan Erizal.2006.PerancanganIrigasidanDrainaseInteraktifBerbasisTeknologiInformasi

.HibahPengembangan Course Content, Program HibahKompetisiTeknologiInformasidanKomunikasi. InstitutPertanian Bogor.

Bogor.

Kartasapoetra, A, G. danSutedjo, M, M. 1994.TeknologiPengairanPertanianIrigasi. BumiAksara, Jakarta.

Keller, J. and R. D. Bliesner. 1990. Sprinkle and Trickle Irrigation. Van Nostrand Reinhold. New York.

Kertonegoro, B. D., S. Hastuti, N. Supriyantodan H. Suci. 1998. PanduanAnalisisFisika Tanah. UniversitasGadjahMada Press. Yogyakarta.

Linsley, R, K. 1986. TeknikSumberDaya Air.Erlangga, Jakarta.

Liu, C. And J. B. Evett. 2008. Soils and Foundations. Pearson Prentice Hall. New Jersey. Lubis, K. S. 2007. AplikasiPotensial Air Tanah.USU Repository. Medan.

Mansur, M. 1986. PengukuranDifusivitasdanDayaHantarHidrolikTidakJenuhdenganLarutanGaram

MelaluiGerakan Horizontal pada Tanah Terganggu yang BerteksturLiat

(Andosol), LempungBerpasir (Andosol) danBerpasir

(Regosol).Skripsi.InstitutPertanian Bogor. Bogor.

Mulatsih, R. T., W. Slametdan F. Kusmiyati. 2005. PerbaikanKualitasdanPerancanganAlatPembibitanSayurandenganTeknikVertikult ur.Skripsi.UniversitasDiponegoro. Semarang.

Munir, M. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia, Karakteristik, KlasifikasidanPemanfaatannya. DuniaPustaka Jaya. Jakarta.

Murtiningrum, D. A. Agustinadan D. Ridwan. 2007. PenilaianKinerjaJaringanIrigasiTersierMenggunakanTeoriHimpunanKaburan.

Prosiding.SeminarNasionalTeknikPertanian.Yogyakarta.

Palupi, I. R. dan R. Diennazola.2010.HematLahandenganVertikultur.TabloidAgribisnisAgrina

(53)

Rosegrant, M.W., X. Cai and S.A. Cline. 2002. World Water and Food to 2025: Dealing With Scarcity. International Food Policy Research Institute. Washington D.C.

Sapriantodan N. H. Pandjaitan.1999.EfisiensiPenggunaan Air padaSistemIrigasiTetesdanCurahuntukTanamanKrisan

(Chrysantemumsp).BuletinKeteknikanPertanian Vol. 13 No. 3: Hal 13.

Setiawan, B. I. 1996. SistemIrigasiKendiuntukTanamanSayuran di Daerah Kering.FakultasTeknikPertanian, InstitutPertanian Bogor. Bogor.

Soedarmo, G, D. danPurnomo, S, J. 1997.Mekanika Tanah. Kanisius, Yogyakarta.

Soemarno, 2008.Teknik Pemberian Air Irigasi (Irrigation

Application).ModulKuliah. UniversitasBrawijaya. Malang.

Sudjarwadi. 1990. TeoridanPraktekIrigasi. PusatAntarUniversitasIlmuTeknik, UniversitasGadjahMada. Yogyakarta.

Sutawan, N. 2001.Pengelolaan SumberDaya Air untukPertanianBerkelanjutan,

Masalahdan Saran Kebijaksanaan.Prosiding.SeminarOptimalisasiPemanfaatanSumberdaya

Tanah dan Air yang TersediauntukKeberlanjutan Pembangunan, KhususnyaSektorPertanian. 28 April 2001. Auditorium UniversitasUdayana.Bali.

Tribowo, R. I. 2003. PengembanganTeknologidanManajemenIrigasiHemat Air.KedeputianIlmuPengetahuanTeknik. Bandung.

Widarto, L. 1996. VertikulturBercocokTanamSecaraBertingkat. PenebarSwadaya. Jakarta.

Yusdiana, D. H., S. H. Marwanto, G. Kanastridan D. A. Permanasari.2000.PemanfaatanCampuran Lumpur Selokandan Lumpur

KolamSebagai Media TumbuhTanamanHortikulturaSecaraVertikaluntukPertanian

(54)

Lampiran 1.Flowchart Penelitian

Mulai

Selesai Persiapan model

vertikultur Persiapan tanah

Pengujian kinerja sistem irigasi Penentuan debit

irigasi

Model vertikultur Analisis sifat fisik

tanah

Air

Pola pembasahan

Penyaluran kebutuhan air irigasi Efisiensi pemakaian air irigasi Efisiensi penyimpanan air irigasi Efisiensi distribusi air irigasi

Layak ? Tidak

(55)
(56)
(57)
(58)
(59)

Lampiran 6. Analisis BulkDensity (Bd), Particle Density (Pd)dan Porositas () Tanah Entisol

Ulangan Berat ring sampel +

BTKO (gram)

Berat ring sampel

(gram)

BTKO

(gram)

VTKU

(cm3)

VTKO

(cm3)

Bulk density

(gram/cm3)

Particle density

(gram/cm3)

Porositas

(%)

1 309.6 102.7 206.9 192,5 79 1.075 2.619 58.961

2 297.6 103.4 194.2 192,5 75 1.009 2.589 61.039

3 312.4 102 210.4 192,5 81 1.093 2.598 57.922

Rata-rata 306.5 102.7 203.8 192,5 78.3 1.059 2.602 59.307

Keterangan: BTKO = Berat tanah kering oven

VTKU = Volume tanah kering udara/volume ring sampel (d = 7 cm, t = 5 cm)

(60)

Lampiran 7. Analisis Kadar Air Awal dan Kapasitas Lapang Tanah Entisol

Kadar air awal

Ulangan Berat ring sampel + BTKU (gram) Berat ring sampel + BTKO (gram) Berat ring sampel (gram) VTKU(cm3) Kadar air (%)

1 339.5 309.6 102.7 192,5 15.532

2 328.7 297.6 103.4 192,5 16.156

3 342.5 312.4 102 192,5 15.636

Rata-rata 336.9 306.5 102.7 192,5 15.775

Kadar air kapasitas lapang

Ulangan Berat ring sampel + BTKU (gram) Berat ring sampel + BTKO (gram) Berat ring sampel(gram) VTKU(cm3) Kadar air(%)

1 393.6 299.3 102.7 192,5 48.987

2 396.8 302.4 103.4 192,5 49.039

3 388.6 295.8 102 192,5 48.208

Rata-rata 393.0 299.2 102.7 192,5 48.745

Keterangan: BTKU = Berat tanah kering udara

(61)
(62)

Lampiran 9. Tekstur Tanah Ultisol Menurut Segitiga USDA

Pasir : 80,3 %

Debu : 0 %

Liat : 19,6 %

Gambar

Tabel 2. Sifat Fisik Tanah Entisol
Tabel 3. Analisis Tekstur Tanah Entisol
Tabel 5. Infiltrasi pada Tanah Entisol
Grafik Hubungan Infiltrasi Kumulatif (F) dengan Waktu (t)
+5

Referensi

Dokumen terkait