• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sintesis Dan Karakterisasi Poliuretan Alam Melalui Polimerisasi Toluena Diisosianat (Tdi) Dengan Lignin Isolat Dari Serbuk Kayu Jati (Tectona Grandis L.F.) Dan Polietilen Glikol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sintesis Dan Karakterisasi Poliuretan Alam Melalui Polimerisasi Toluena Diisosianat (Tdi) Dengan Lignin Isolat Dari Serbuk Kayu Jati (Tectona Grandis L.F.) Dan Polietilen Glikol"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Serbuk Kayu Jati Serbuk kayu jati ukuran 80 mesh

Polietilen Glikol 1000 Toluena Diisosianat

(3)

Cetakan Alat Hot Press

Alat Refluks Seperangkat Alat Titrasi

Hot Plate dan Mixer

Corning PC 400 D/Fisher Dyna Mix

Oven

Gallenkamp Plus II

(4)

A.3 Gambar Hasil Penelitian

Ekstraksi Serbuk Kayu Jati Botol Penentuan Bilangan Hidroksi

Titrasi Untuk Penentuan Bilangan

(5)

Lignin Terdispersi Lignin Mengendap

(6)

20 gr TDI : 0 gr PEG : 10 gr LIGNIN 20 gr TDI : 2 gr PEG : 8 gr LIGNIN

20 gr TDI : 4 g PEG : 6 gr LIGNIN 20 gr TDI : 6 gr PEG : 4 gr LIGNIN

20 gr TDI : 8 gr PEG : 2 gr LIGNIN 20 gr TDI : 10 gr PEG : 0 gr LIGNIN

(7)

LAMPIRAN B

(8)

B.1 Sepktrum FTIR Lignin Isolat Hasil Isolasi Serbuk Kayu Jati

(9)

B.3 Spektrum FTIR Poliuretan (20 gr TDI : 2 gr PEG : 8 gr LIGNIN)

(10)

B.5 Spektrum FTIR Poliuretan (20 gr TDI : 6 gr PEG : 4 gr LIGNIN)

(11)
(12)

LAMPIRAN C

(13)

C.1 Perhitungan Penentuan Rendemen Lignin Isolat dari Serbuk Kayu Jati

Berat kayu kering : 1 g

Berat lignin isolat : 0,2384 g

Rendemen Lignin = Berat kayu kering × 100% Berat Lignin

Rendemen Lignin = 0,2384 g1 g × 100%

Rendemen Lignin = 23,84%

C.2 Perhitungan Penentuan Kadar Kemurnian Lignin Isolat

Berat kering lignin : 0,5 g

Berat sampel : 0,43 g

Kadar Lignin = Berat kering lignin × 100%Berat Sampel

Kadar Lignin = 0,43 g 0,5 g × 100%

(14)

C.3 Perhitungan Penentuan Bilangan Hidroksi Pada Lignin Isolat

A : 42,5 ml B : 49,5 ml N : 2 N W : 1 g

Kandungan OH = (B – A) NW × 40

Kandungan OH = (49,5 ml – 42,5 ml) 2 N1 g × 40

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Antonius, P. 2009. Penyediaan Film Mikrokomposit PVC Menggunakan Pemastis Stearin Dengan Pengisi Pati dan Penguat Serat Alam. Tesis Magister. Medan : Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Bandrup. 1985. Hand Book Of Polymer. New York : John Wiley and Sons.

Barber, C. V. 1999. Menyelamatkan Sisa Hutan Di Indonesia dan Amerika Serikat. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Carme, M. 2008. Characterisation Of Polyurethane Networks Based On Vegetable Derived Polyol. Polymer. 49 (2008) : 3279-3287.

Chen, S. 2012. Studies On The Thermal Stability Of Polyurethanes Containing Pyridine: Thermogravimetric Analysis. Thermochimica Acta. 543 (2012) : 28-287.

Cowd, M.A. 1991. Kimia Polimer. Bandung : Institut Teknologi Bandung.

Eisenbach, C. D. 1990. Poly(Urethanes) and Related Polymer. Jerman : University Of Bayreunth.

Gryglewicz, S. 2003. Preparation Of Polyol Esters Based On Vegetable And Animal Fats. Bioresource Technology. 87 (2003) : 35-39.

Hartomo, A. J. 1996. Memahami Polimer dan Perekat. Yogyakarta : Penerbit Andi Offset.

Hatakeyama, H. 2005. Thermal And Mechanical Properties Of Polyurethane-Based Geocomposites Derived From Lignin And Molasses. Composites Part A : Applied Science And Manufacturing. 36 (2005) : 698-704.

Hepburn, C. 1991. Polyurethane Elastomer. Second Edition. New York : Elsevier Applied Science.

Heradewi. 2007. Isolasi Lignin Dari Lindi Hitam Proses Pemasakan Organosolv Serat Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS). Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Hummel, D. O. 1985. Infrared Spectra Polymer In Medium and Long Wave Length Region. London : John Wiley and Sons.

(16)

Lase, E. 2009. Sintesis Poliuretan Melalui Polimerisasi 4,4-Difenilmetana Diisosianat Dengan Senyawa Poliol Yang Diturunkan Dari Minyak Jarak Pagar (Jatropa Curcas Linn). [Tesis]. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Min, K. 2003. Kinetic Studies Of Polyurethane Polymerization With Raman Spectroscopy. Polymer. 44 (2003) : 5137-5154.

Min, K. 2005. Reaction Kinetics Of Thermoplastic Polyurethane Polymerization In Situ With Poly(Vinyl Chloride). Polymer. 46 (2005) : 3649-3660.

Ren, D. 2012. Wood/Adhesive Interactions And The Phase Morphology Of Moisture-Cure Polyurethane Wood Adhesives. International Journal Of Adhesion & Adhesives. 34 (2012) : 55-61.

Rohaeti, E. 2005. Kajian Tentang SintesisPoliuretan dan Karakterisasinya. Yogyakarta : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.

Rohaeti, E. 2011. Analisis Sifat Termal Poliuretan Berbasis Minyak Jarak dan Toluena Diisosianat Dengan DTA dan TGA. Yogyakarta : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta.

Rosu, D. 2010. Investigations On The Thermal Stability Of a MDI Based Polyurethane Elastomer. Journal Of Analytical and Applied Pyrolysis. 89 (2010) : 152-158. Isocyanate Treatment On The Mechanical Properties. Polymer Testing. 23 (2004) : 559-565.

Rudnitskaya, A. 2012. Electrochemical Impedance Study Of The Lignin-Derived Conducting Polymer. Electrochemica Acta. 76 (2012) : 69-76.

Rusdi, R. 2008. Karakteristik Matriks Termoplastik Polietilena Terplastis Poligliserol Asetat. Tesis Magister. Medan : Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Sarkar, S. 2001. Thermal Stability Of Lignin-Hydroxy-Terminated Polybutadiene Copolyurethanes. Polymer Degradation and Stability. 73 (2001) : 169-175.

Sellers, T. 2001. Wood Adhesive. Innovation And Application In North America. Forest Product Journal. 2001 : 51(6).

(17)

Simon, H. 2000. Hutan Jati dan Kemakmuran. Cetakan Kedua. Yogyakarta : BIGRAF Publishing.

Simon, H. 2008. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Stevens, M. P. 2007. Kimia Polimer. Cetakan Kedua. Jakarta : Pradnya Paramita.

Sucipto, T. 2009. Perekat Lignin. Karya Tulis. Medan : Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Sumarna, Y. 2001. Budi Daya Jati. Cetakan Pertama. Jakarta : Penebar Swadaya.

Supri. 2000. Sintesis dan Karakterisasi Poliuretan Dari Sistem Lignin Isolat Kayu Meranti (Shorea Spp) Dengan Polietilen Glikol (Li-PEG). Tesis Magister. Bandung.

Supri. 2004. Kolerasi Daerah Hard dan Soft Segment dan Indeks Ikatan Hidrogen (HBI) Pada Struktur Poliuretan (PU) Dari Segmen Campuran Lignin Isolat-Polietilena Glikol. Jurnal Sains Kimia Vol 8, No. 2, 2004: 48-49.

Tay, G. S. 2011. Polyurethane Composites Derived From Glyserol And Molasses Polyols Filled With Oil Palm Empty Fruit Bunches Studies By TG And DMA. Thermochimica Acta. 525 (2011) : 190-196.

Wake, W. C. 1987. Synthetic Adhesive and Sealants. New York : John Wiley and Sons.

Wegener, G. 1985. Kimia Ultra Struktur Reaksi. Yogyakarta : UGM-Press.

Wijaya, M. 2009. Karakterisasi dan Pembuatan Poliuretan Dari Serbuk Kayu Mahoni Sebagai Polimer Biodegradable. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 2(2) (2009) : 64-67.

Wirakusumah, S. 2003. Mendambakan Kelestarian Sumber Daya Hutan Bagi Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.

Wirjosentono, B. 1995. Analisis dan Karakterisasi Polimer. Medan : USU-Press.

(18)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Alat

Alat – alat yang digunakan disusun dalam tabel 3.1. Tabel 3.1 Alat – alat penelitian

Nama Alat Spesifikasi Merek

Gelas beaker 5000 mL Pyrex

Neraca analitis (presisi ± 0.0001 g) Mettler Toledo

Hot plate 30 – 600 oC Corning PC 400 D

Oven 30 – 200 oC Gallenkamp Plus II

Ayakan 80 mesh -

(19)

Labu alas leher tiga 500 mL Pyrex

Termometer 100 oC Fisher

Statif dan klem - -

Fourier Transform

Infrared Spectroscopy - Shimadzu

Seperangkat alat Scanning

Electron Microscopy - Jeol Type JSM-6360 LA

Seperangkat alat

Sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan disusun dalam tabel 3.2. Tabel 3.2 Bahan – bahan penelitian

Natrium hidroksida p.a E. Merck

Asam asetat anhidrat p.a E. Merck

Piridin p.a E. Merck

Asam klorida p.a E. Merck

Indikator universal - Macherey-Nagel

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan Reagen dan Standarisasi 3.3.1.1 Pembuatan H2SO4 72 %

(20)

3.3.1.2 Pembuatan NaOH 2 N

Ditimbang NaOH sebanyak 20 gram kemudian dilarutkan dalam aquades hingga 250 mL.

3.3.1.3 Pembuatan Indikator Fenolftalein (PP) 0,5 %

Ditimbang bubuk PP sebanyak 0,25 gram kemudian dilarutkan dalam 30 mL etanol dan 20 mL aquades.

3.3.1.4 Pembuatan HCl 2 N

Diukur sebanyak 16,7 mL HCl 37 % dimasukkan kedalam labu takar 100 mL kemudian diencerkan dengan aquades sampai garis batas.

3.3.1.5 Standarisasi Larutan NaOH 2 N dengan Larutan HCl 2 N

Dipipet sebanyak 5 mL larutan NaOH 2N dimasukkan kedalam erlenmeyer lalu ditambahkan 3 tetes indikator fenolftalein kemudian dititrasi dengan larutan HCl

2N. Titik akhir titrasi ditandai dengan terbentuknya warna merah jambu.

3.3.2 Preparasi Lignin Isolat dari Serbuk Kayu Jati (Tectona Grandis L.f.)

Serbuk kayu jati dikeringkan dan digiling, hasil gilingan dalam bentuk serbuk dengan ukuran 80 mesh. Ekstraksi dan isolasi dilakukan dengan menggunakan metoda Klason. Prosedur metoda Klason adalah :

1. Menimbang 1 ± 0,1 gram contoh kayu.

2. Mengekstraksi contoh kayu dengan etanol : benzena dengan perbandingan 1:2 selama 8 jam. Kemudian dicuci dengan etanol dan air panas lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105ºC.

(21)

4. Setelah terdispersi sempurna, menutup gelas piala dengan kaca arloji dan dibiarkan pada bak perendaman selama 45 menit dan sekali-kali dilakukan pengadukan.

5. Aqudest sebanyak 300-400 ml dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 1000 ml dan contoh dipindahkan dari gelas piala secara kuantitatif. Kemudian larutan diencerkan dengan aquadest samapai volume 575 ml sehingga konsentrasi H2SO4 3%.

6. Larutan dipanaskan sampai mendidih dan dibiarkan selama 1 jam dengan pemanasan tetap dan dapat digunakan pendingin balik.

7. Kemudian membiarkanya sampai endapan lignin mengendap sempurna. 8. Larutan didekantasi dan endapan lignin dipindahkan secara kuantitatif

kecawan atau kertas saring yang telah diketahui beratnya.

9. Endapan lignin dicuci sampai bebas asam dengan aquadest panas, kemudian diuji dengan kertas pH universal.

10.Cawan masir atau kertas saring beserta endapan lignin dikeringkan dalam oven dengan suhu 105ºC.

11.Untuk cara ini rendemen lignin dihitung dengan persamaan 3.1 dibawah ini,

Rendemen Lignin= Berat kayu keringBerat Lignin ×100% ... (3.1)

3.3.3 Kadar Kemurnian Lignin (Metoda Klason)

Ke dalam gelas piala ukuran 100 ml dimasukkan sebanyak 0,5 gram lignin yang telah dikeringkan dalam oven pada suhu 105ºC selama 4 jam. Kemudian dilarutkan dengan 15 ml H2SO4 72% dengan perlahan-lahan dan sambil diaduk dengan batang pengaduk selama 2-3 menit. Menutup dengan kaca arloji dan biarkan selama 2 jam. Hasil reaksi dipindahkan dalam labu erlenmeyer ukuran

500 ml. Diencerkan dengan aquadest sampai 400 ml, lalu direfluks selama 4 jam. Endapan lignin yang terbentuk disaring dengan kaca masir yang terlebih dahulu

(22)

Kadar Lignin = Berat kering ligninBerat Sampel × 100% ... (3.2)

3.3.4 Penentuan Bilangan Hidroksi Pada Lignin

Analisis ini dilakukan terhadap isolat lignin yang diisolasi dari kayu jati. Adapun cara kerja penentuan bilangan hidroksi adalah sebagai berikut.

1. Botol tahan tekanan dan panas disiapkan seperlunya untuk penentuan blanko dan sampel.

2. Dipipet 20 ml reagent asetilasi yang dibuat dengan mencampurkan 127 ml asam asetat anhidrat dengan 1000 ml piridin.

3. Dua buah botol disiapkan untuk penentuan blanko dan kedalam botol lain dimasukkan sejumlah sampel sebanyak 1 gram.

4. Botol-botol tersebut ditutup dan dikocok hingga sampel tersebut larut.

5. Masing-masing botol diletakkan pada posisi yang sesuai dalam penangas minyak pada suhu 98ºC selama 1 jam (diusahakan minyak yang ditambahkan dalam bath sesuai dengan tinggi permukaan larutan dalam botol.

6. Botol – botol tersebut dikeluarkan dari bath dan dibiarkan hingga botol-botol itu dingin pada temperatur kamar.

7. Bilas dengan hati-hati larutan pada penutup botol, dibilas pada dinding flask, sekitas 10-15ml aquadest.

8. Pada masing-masing botol ditambahkan potongan es yang bersih hingga sekitar setengahnya.

9. Setelah selesai didinginkan, tambahkan 2-3 tetes larutan indikator PP dan dititrasi segera dengan larutan NaOH yang terlebih dahulu distandarisasi hingga titik akhir titrasi yang ditandai oleh larutan berwarna pink.

10.Mencatat volume NaOH yang digunakan pada titrasi.

Untuk menghitung jumlah OH dari suatu resin poliol dalam sampel mengikuti persamaan 3.3 dibawah ini;

(23)

dimana :

A : ml NaOH yang dibutuhkan untuk titrasi sampel B : ml NaOH yang dibutuhkan untuk titrasi blanko N : Normalitas NaOH

W : gram sampel yang digunakan

3.3.5 Pembuatan Poliuretan Dengan menggunakan Lignin Isolat Dari Serbuk Kayu Jati (Tectona Grandis L.f.)

Sebanyak 10 gram Lignin Isolat dari serbuk kayu jati dimasukkan kedalam gelas beaker 250 mL lalu ditambahkan Toluena diisosianat sebanyak 20 mL, campuran diaduk selama 15 menit pada suhu 40oC. Campuran tersebut kemudian dimasukkan kedalam cetakan, dan ditempatkan kedalam Hot Compresor pada suhu 40oC selama 20 menit. Hasil cetakan didinginkan pada suhu kamar, kemudian dari cetakan tersebut dikeluarkan untuk di uji. Perlakuan yang sama juga dilakukan pada pencampuran TDI : PEG 1000 : Lignin dengan variasi perbandingan (b/b/b) : 20:10:0 ; 20:8,0:2,0 ; 20:6,0;4,0 ; 20:4,0:6,0 ; 20:2,0:8,0 ; 20:0:10.

3.4 Karakterisasi Poliuretan

Hasil yang diperoleh kemudian dikarakterisasi untuk menentukan sifat-sifat

termal dari poliuretan yaitu dengan Analisa gugus fungsi dengan uji Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FT-IR), Analisa sifat morfologi permukaan dengan uji Scanning Electron Microscopy (SEM), Analisa sifat termal dengan uji Diffrential Scanning Calorimeter (DSC).

3.4.1 Analisa Gugus Fungsi dengan Uji Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FT-IR)

Bahan : Sampel Poliuretan

(24)

Cara kerja :

1. Sampel ditimbang ±1 gram.

2. Pengujian dilakukan dengan meletakkan sampel pada kaca transparan, diusahakan menutupi seluruh permukaan kaca.

3. Kemudian diletakkan pada alat ke arah sinar infra merah. Hasilnya akan direkam ke dalam kertas berskala berupa aliran kurva bilangan gelombang terhadap intensitas.

3.4.2 Analisa Sifat Morfologi dengan Uji Scanning Electron Microscopy (SEM)

Analisa SEM dilakukan untuk mempelajari sifat morfologi dari film yang dihasilkan. Hasil analisa SEM dapat kita lihat rongga-rongga hasil pencampuran antara Lignin Isolat, PEG 1000 dan TDI. Informasi dari analisa ini akan mendapatkan gambaran dari seberapa baik Lignin Isolat, PEG 1000 dan TDI bercampur.

3.4.3 Analisa Sifat Termal dengan Uji Diffrential Scanning Calorimeter (DSC).

Bahan : Sampel Poliuretan Alat : DSC, LIPI Tangerang Cara Kerja :

1. Ditimbang sampel dengan berat +30 mg.

2. Sampel dimasukkan ke dalam sel aluminium, kemudian dipress.

3. Sel yang telah dipress diletakkan pada posisi berdampingan dengan sel referensi.

4. Setelah alat dalam keadaan setimbang, perangkat analisis dioperasikan dengan temperatur -50oC s/d 250oC dengan kecepatan kenaikan pemanasan 10oC/menit dan gas yang digunakan adalah nitrogen.

(25)

1 g Serbuk Kayu

Lignin Isolat

Diekstrasi dengan Etanol : Benzena (1:2) selama 8 Jam

Serbuk Hasil Ekstraksi

Dicuci dengan Etanol

Serbuk Kayu Siap Isolasi

Ditambahkan 15 ml H2SO4 72 % secara perlahan - lahan

Didiamkan selama 45 Menit

Lignin Terdispersi

Diencerkan hingga H 2SO4 3 %

Dipanaskan selama 1 Jam Didekentasi larutan

Endapan Lignin

Dicuci sampai bebas asam

Dikeringkan dalam oven (T =105oC ; t = 4 jam) Dibilas dengan Air Panas

Dikeringkan dalam oven (T = 1050C) 3.5 Bagan Penelitian

(26)

3.5.2 Proses Penentuan Kadar Kemurnian Lignin

0,5 g Lignin Isolat

Dilarutkan dengan 15 ml H2SO4 72 %

Diaduk selama 2-3 Menit

Didiamkan selama 2 Jam

Hasil Reaksi

Diencerkan dengan 400 ml Aquadest

Direfluks selama 4 Jam

Endapan Lignin

Disaring

Dicuci dengan aquadest hingga bebas asam

Dikeringkan dalam Oven (T = 105oC, t = 4 jam)

(27)
(28)

3.5.4 Proses Pembuatan Poliuretan Dengan Menggunakan Lignin Isolat Dari Serbuk Kayu Jati (Tectona Grandis L.f.)

Dimasukkan kedalam gelas beaker

Ditambahkan 8 gram PEG 1000

Ditambahkan Toluena Diisosianat sebanyak 20 gram Diaduk selama 15 menit pada suhu 40oC

Dimasukkan kedalam cetakan

Dipress dan dipanaskan (T = 40oC, t = 20 menit)

Dikarakterisasi

Catatan :

Perlakuan yang sama juga dilakukan pada pencampuran TDI : PEG 1000 : Lignin dengan variasi perbandingan (b/b/b) : 20:10:0 ; 20:8,0:2,0 ; 20:6,0;4,0 ; 20:4,0:6,0 ; 20:2,0:8,0 ; 20:0:10.

2 gram Lignin Isolat

Poliuretan

Hasil

Uji SEM Uji DSC

(29)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Isolasi Lignin dari Serbuk Kayu Jati

Kayu Jati yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai ciri umum yaitu : kayu dengan serat dan tekstur paling indah, karakteristiknya yang stabil, kuat dan tahan lama membuat kayu ini menjadi pilihan utama sebagai material bahan bangunan. Kayu jati memiliki serat yang halus dengan warna kayu mula-mula sawo kelabu dan memiliki asah yang lurus. Kayu Jati tersebut sebelum dilakukan isolasi dengan menggunakan metoda klason (SII.0528-81 dan 1293-58) terlebih dahulu dibubukkan dengan ukuran 80 mesh.

4.1.2 Rendemen Lignin Isolat dan Kadar Lignin Murni

(30)

Dari hasil isolasi lignin tersebut akan diperoleh kadar lignin murni sebesar 86%. Hasil isolasi ini dipengaruhi oleh adanya lignin yang terlarut oleh H2SO4 72% selama proses isolasi berlangsung. Sekitar 10-20 % lignin kayu jati akan terlarut karena terjadinya perubahan struktur akibat kondensasi lignin dengan asam. Dengan demikian sukar untuk memperoleh kadar kemurnian lignin dalam jumlah yang tinggi dari isolasi serbuk kayu jati.

4.1.3 Analisa Bilangan Hidroksi Pada Lignin

Analisa lain yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu analisa bilangan hidroksi pada lignin. Analisa ini dilakukan untuk menghitung jumlah OH dari suatu resin poliol dalam sampel lignin isolat yang telah diisolasi sebelumnya. Adapun hasil dari analisa bilangan hidroksi yang didapat tersebut adalah sebesar 560 mmol/gr.

4.1.4 Analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy

(31)

4.1.4.1 Analisa FT-IR Pada Lignin Isolat Dari Serbuk Kayu Jati

Gambar 4.1 Spektrum FTIR Lignin Isolat dari Serbuk Kayu Jati

Analisa dengan spektrum infra merah ini dilakukan dengan cara mengamati frekuensi-frekuensi yang khas dari gugus fungsi spektra FTIR pada sampel lignin isolat. Hasil spektra FTIR yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 4.1. Bilangan gelombang FTIR lignin isolat dapat dilihat pada table 4.1.

Tabel 4.1 Pita Serapan FTIR Lignin Isolat dari Kayu Serbuk Kayu Jati Sampel Kedudukan (cm-1) Pita serapan asal

Lignin Isolat dari Serbuk Kayu Jati

3450-3400 Rentangan OH

2940-2820 Rentangan metil dan metilen 1715-1710 Rentangan C=O tak

terkonjugasi

(32)

Pita serapan infra merah lignin isolat menunjukkan puncak serapan pada daerah bilangan gelombang 3448,72 cm-1 yang merupakan serapan khas dari rentangan OH, pada bilangan gelombang 2931,8 cm-1 merupakan serapan khas rentangan metil dan metilen, pada daerah bilangan gelombang 1620,21 cm-1 dan 1512,19 cm-1 menunjukkan vibrasi cincin aromatic, dan pada daerah bilangan gelombang 1211,30 cm-1 dan 1111,00 cm-1 menunjukkan vibrasi cincin quaiasil.

Berdasarkan analisa FTIR diatas, dapat menunjukkan bahwa lignin isolat yang dihasilkan pada ekstraksi dan isolasi serbuk kayu jati menggunakan metoda klason merupakan suatu poliol. Sehingga poliol yang berupa lignin isolat dari serbuk kayu jati ini telah dapat direaksikan dengan isosianat untuk meningkatkan sifat pengikat.

4.1.4.2 Analisa FTIR Pembuatan Poliuretan

Gambar 4.2 Spektrum FTIR Poliuretan Pada Perbandingan TDI : PEG 1000 : LIGNIN = 20:0:10

(33)

Tabel 4.2 Pita Serapan FTIR Poliuretan

Sampel Kedudukan (cm-1) Pita serapan asal

Poliuretan 3295-3280 Gugus N-H terikat

2940-2820 Rentangan metil dan metilen 1715-1710 Rentangan C=O tak terkonjugasi 1675-1660 Rentangan C=O terkonjugasi

Identifikasi terhadap FTIR tersebut menunjukkan pita serapan pada 3309,85 cm-1 yang merupakan daerah ulur gugus N-H terikat, 1651,07 cm-1 dan 1597,06 cm-1 merupakan vibrasi cincin aromatik, 2924,09 cm-1 merupakan

rentangan metil dan metilen, 1381,03 cm-1 dan 1296,16 cm-1 merupakan puncak serapan C-N, 1219,01 cm-1 merupakan deformasi dari gugus C-O, 2276,00 cm-1 merupakan puncak C=O dari NCO, Puncak serapan OH yang lemah masih tampak pada bilangan gelombang 3749,62 cm-1 menunjukkan masih adanya poliol yang belum habis bereaksi dengan isosianat. Hal ini dapat disebabkan karena reaksi antara TDI dan poliol terlalu cepat dihentikan pada suhu kamar atau dapat dimungkinkan karena jumlah poliol yang tersedia jauh lebih banyak gugusnya dibandingkan gugus isosianat yang tersedia.

Penelitian sebelumnya pembuatan poliuretan dengan mereaksikan MDI dengan PEG 1000 dan Poliol dari Minyak Jarak juga menghasilkan spektrum yang tidak jauh berbeda. Dimana, pada bilangan gelombang 3419,78 cm-1 merupakan gugus N-H dan pada bilangan gelombang 2277,90 cm-1 merupakan puncak C=O dari NCO, 1307,62 cm-1 merupakan puncak serapan C-N, 1167,71 cm-1 merupakan puncak serapan gugus C-O, membuktikan bahwa telah terbentuknya gugus uretan (Lase, E. 2009).

(34)

perbandingan menunjukkan pita serapan pada daerah yang hampir sama terutama pada daerah pita serapan karakteristik. Spektrum polimerisasi poliuretan pada perbandingan TDI : PEG 1000 : LIGNIN = 20 : 0 : 10 menunjukkan spektrum yang paling optimum dibanding spektrum yang lainnya. Pada spektrum ini puncak gugus OH hampir tidak tampak lagi dibandingkan pada spektrum poliuretan yang lainnya berarti telah hampir habis bereaksi dengan isosianat, Dari penampilan spektrum FTIR pada bilangan gelombang 3309,85 cm-1 merupakan serapan puncak gugus N-H yang lebih tajam dibandingkan spektrum yang lainnya dan pada gelombang 2276,00 cm-1 merupakan puncak C=O dari NCO, 1381,03 cm-1 dan 1296,16 cm-1 merupakan puncak serapan C-N, 1219,01 cm-1 merupakan deformasi dari gugus C-O. membuktikan bahwa telah terbentuknya poliuretan.

Gambar 4.3 Spektrum FTIR Poliuretan Pada Perbandingan TDI : PEG 1000 : LIGNIN = 20:4,0:6,0

(35)

deformasi dari gugus C-O yang membuktikan bahwa terbentuknya poliuretan juga terlihat sangat lemah bahkan hampir tidak terlihat puncak serapannya. Hal ini dapat disebabkan karena reaksi antara TDI dan poliol terlalu cepat dihentikan pada suhu kamar dan juga akibat bereaksinya isosianat dengan oksigen.

4.1.5 Analisa Sifat Morfologi dengan Uji Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive Spectroscopy (SEM-EDS)

Hasil dari analisa SEM-EDS dapat memberikan informasi tentang bentuk dan perubahan permukaan dari suatu bahan yang diuji. SEM adalah sebuah instrumen berkekuatan besar dan sangat handal yang dipadukan dengan EDS sehingga dapat digunakan untuk memeriksa, observasi, dan karakterisasi struktur terkecil benda-benda padat dari material organik maupun anorganik yang heterogen, sehingga kita dapat menentukan sifat dari bahan yang diuji baik sifat fisis, kimia maupun mekanis yang dapat mempengaruhi mutu dan kualitas dari

suatu produk.

EDS dihasilkan dari Sinar X karakteristik, yaitu dengan menembakkan

(36)

Gambar 4.4 Hasil Foto SEM-EDS Dari Poliuretan (Perbandingan 20:0:10) Dengan Perbesaran 1500 kali

Gambar 4.4 adalah Hasil Foto SEM-EDS Dari Poliuretan hasil reaksi

Toluena Diisosianat (TDI), Polietilen Glikol, dan lignin isolat sebagai sumber poliol (Perbandingan 20:0:10) dengan perbesaran 1500 kali menunjukkan bahwa

permukaan dari poliuretan tersebut yang tidak rata akibat adanya butiran lignin isolat serbuk kayu jati yang terdispersi dalam poliuretan hasil reaksi antara TDI, PEG, dengan Lignin. Butiran lignin tidak mengalami destrukturisasi selama reaksi polimerisasi. Selain itu, terjadi pengikatan antara permukaan butiran lignin dengan poliuretan hasil reaksi antara TDI, PEG, Lignin. Hal ini menjadi bukti terjadi pencangkokan lignin dengan poliuretan yang belum tercampur secara merata akibat terlalu cepat mengeras karena bereaksi dengan oksigen.

(37)

Dari foto SEM-EDS dapat dianalisa mikrostruktur dan analisa kuantitatif permukaan spesimen. Mikrostruktur poliuretan bersama komposisi kimia permukaan diperoleh dengan serentak, selanjutnya dibaca dalam bentuk grafik. Terdapat dua elemen yang mendominasi dalam komposisi poliuretan hal ini terlihat pada gambar 4.5 dimana banyak mengandung elemen C, dan N. Elemen-elemen ini adalah Elemen-elemen utama dan berkonsentrasi tinggi selain Elemen-elemen O, Al, dan Si, yang turut hadir. Elemen-elemen tersebut dapat dilihat dengan lengkap pada tabel 4.3

Dari tabel 4.3 dan gambar 4.5, kandungan utama poliuretan adalah C sebanyak 50,02%, N sebanyak 38,88%, O sebanyak 10,50%, Al sebanyak 0,57%, dan Si sebanyak 0,03%.

Tabel 4.3 Analisa Kuantitatif Poliuretan Perbandingan (20 : 0 : 10) dengan Uji SEM-EDS Perbesaran 1500 kali

Element (keV) Mass % Error % Atom % K

(38)

Gambar 4.6 Hasil Foto SEM-EDS Dari Poliuretan (Perbandingan 20:4:6) Dengan Perbesaran 1500 kali

Gambar 4.6 adalah Hasil Foto SEM-EDS Dari Poliuretan hasil reaksi Toluena Diisosianat (TDI), Polietilen Glikol, dan lignin isolat sebagai sumber poliol (Perbandingan 20:4:6) dengan perbesaran 1500 kali menunjukkan bahwa permukaan dari poliuretan tersebut yang kurang merata akibat masih adanya butiran lignin isolat serbuk kayu jati yang terdispersi dalam poliuretan hasil reaksi

antara TDI, PEG, dengan Lignin. Butiran lignin tidak mengalami destrukturisasi selama reaksi polimerisasi. Selain itu, terjadi pengikatan antara permukaan butiran

lignin dengan poliuretan hasil reaksi antara TDI, PEG, Lignin. Hal ini menjadi bukti terjadi pencangkokan lignin dengan poliuretan yang belum tercampur secara merata akibat terlalu cepat mengeras dan karena bereaksi dengan oksigen.

(39)

Dari foto SEM-EDS dapat dianalisa mikrostruktur dan analisa kuantitatif permukaan spesimen. Mikrostruktur poliuretan bersama komposisi kimia permukaan diperoleh dengan serentak, selanjutnya dibaca dalam bentuk grafik. Terdapat dua elemen yang mendominasi dalam komposisi poliuretan hal ini terlihat pada gambar 4.7 dimana banyak mengandung elemen C, dan N. Elemen-elemen ini adalah Elemen-elemen utama dan berkonsentrasi tinggi selain Elemen-elemen O, Al, dan Si, yang turut hadir. Elemen-elemen tersebut dapat dilihat dengan lengkap pada tabel 4.4

Dari tabel 4.4 dan gambar 4.7, kandungan utama poliuretan adalah C sebanyak 48,43%, N sebanyak 39,20%, dan O sebanyak 12,37%.

Tabel 4.4 Analisa Kuantitatif Poliuretan Perbandingan (20 : 4 : 6) dengan Uji SEM-EDS Perbesaran 1500 kali

Element (keV) Mass % Error % Atom % K

C K 0.277 43.78 0.07 48.43 51.7420

N K 0.392 41.32 1.53 39.20 42.6745

O K 0.525 14.90 1.28 12.37 5.5835

(40)

4.1.6 Analisa Sifat Termal dengan Uji Diffrential Scanning Calorimeter (DSC)

Differential Scanning Calorimeter (DSC) merupakan peralatan karakterisasi thermal material. Pada karakterisasi thermal dilihat perubahan fisik material terhadap pengaruh temperatur. Alat ini adalah salah satu metoda spektrofotometri termal, yang merupakan metoda analisis berdasarkan perubahan temperatur yang terjadi selama proses pemanasan yang dilakukan terhadap zat. Hasil ploting kurva yang diperoleh berupa hubungan perubahan temperatur terhadap temperatur.

Analisa termal menggunakan DSC memberikan data temperatur transisi gelas (Tg), perubahan entalpi (∆H), temperatur pelelehan (Tm), dan kapasitas kalor (Cp). Peralatan DSC yang digunakan menggunakan pendingin gas Nitrogen. Adanya temperatur transisi gelas (Tg) dapat dideteksi dengan adanya lereng (slope) pada kurva, sedangkan adanya puncak endotermik menunjukkan temperatur pelelehan (Tm).

Analisa menggunakan DSC menghasilkan termogram dengan puncak-puncak yang menggambarkan transisi endotermik dan eksotermik serta

menunjukkan perubahan kapasitas panas. Tetapi pada metode DSC juga diperoleh informasi kuantitatif mengenai perubahan entalpi dalam polimer.

(41)

Karena poliuretan merupakan suatu polimer yang dibentuk dari tiga jenis komponen (Isosianat, senyawa poliol alam, dan poliol sintetik), maka generalisasi sifat termalnya menjadi suatu pekerjaan yang tidak mudah. Tetapi secara umum akan ditemui tiga puncak endotermik pada kurva DSC yaitu temperatur transisi gelas untuk segmen lunak dan dua puncak untuk disosiasi segmen keras (Short range dan long range). Namun rendahnya endoterm temperatur yang terikat dalam susunan segmen keras sering kali dilaporkan untuk poliuretan dengan bahan dasar TDI (Yulindo, Y. 2008).

Gambar 4.8 Kurva Sifat Termal Poliuretan Optimum (Perbandingan 20:0:10) dengan menggunakan DSC Dengan Kecepatan 10oC/menit

Gambar 4.8 merupakan termogram sampel poliuretan optimum dengan perbandingan 20 : 0 : 10, dari termogram di atas diperoleh informasi temperatur transisi gelas (Tg), titik lelehnya (Tm), dan perubahan entalpi (∆H).

(42)

Gambar 4.9 Kurva Sifat Termal Poliuretan minimum (Perbandingan 20:4:6) dengan menggunakan DSC Dengan Kecepatan 10oC/menit

Gambar 4.9 merupakan termogram sampel poliuretan minimum dengan perbandingan 20 : 4 : 6, dari termogram di atas diperoleh informasi temperatur transisi gelas (Tg), titik lelehnya (Tm), dan perubahan entalpi (∆H).

Tabel 4.5 Hasil Pengukuran Sifat Termal Poliuretan Optimum dan Minimum menggunakan DSC

Dari tabel 4.5 dapat dilihat temperatur transisi gelas (Tg) pada poliuretan optimum dan minimum dalam (oC) 50,99 dan 50,22 dihasilkan temperatur yang hampir sama hal ini membuktikan bahwa poliuretan yang dihasilkan adalah sama. Sedangkan untuk titik lelehnya (Tm) diperoleh temperatur yang menunjukkan perbedaan yang signifikan hal ini membuktikan bahwa poliuretan dengan titik

(43)

4.2 Reaksi Penelitian

R’NHCO – O – CH2CH2 – O – CO –NHR’NHCO

m y

OCH3

R’ – NHCO – O – C3 O

OCH3 n R’ – NHCO – O

(44)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai pembuatan poliuretan alam melalui polimerisasi Toluena diisosianat (TDI) dengan Lignin Isolat dari serbuk kayu jati (Tectona Grandis L.f) dan Polietilen glikol, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Lignin isolat hasil isolasi dari serbuk kayu jati (Tectona Grandis L.f) memiliki rendemen 23,84%, kemurnian lignin sebesar 86% dan memiliki bilangan hidroksi 560 mmol/gr.

2. Hasil analisa hasil FTIR pada pembuatan poliuretan pada seluruh perbandingan menunjukan pita serapan pada daerah yang hampir sama terutama pada daerah pita serapan karakteristik. interaksi kimia yang baik

dimana ditemukan spektrum serapan yang khas yaitu spektrum poliuretan menunjukkan bahwa ciri khas terbentuknya poliuretan dapat dilihat pada spektrum FTIR pada bilangan gelombang 3309,85 cm-1 merupakan serapan puncak gugus N-H yang lebih tajam dibandingkan spektrum yang lainnya dan pada gelombang 2276,00 cm-1 merupakan puncak C=O dari NCO, 1381,03 cm-1 dan 1296,16 cm-1 merupakan puncak serapan C-N, 1219,01 cm-1 merupakan deformasi dari gugus C-O. membuktikan bahwa telah terbentuknya poliuretan.

(45)

poliuretan hasil reaksi antara TDI, PEG, dengan Lignin. Butiran lignin tidak mengalami destrukturisasi selama reaksi polimerisasi. Selain itu, terjadi pengikatan antara permukaan butiran lignin dengan poliuretan hasil reaksi antara TDI, PEG, Lignin. Hal ini menjadi bukti terjadi pencangkokan lignin dengan poliuretan yang belum tercampur secara merata akibat terlalu cepat mengeras karena bereaksi dengan oksigen. Dan analisa kuantitatif permukaan poliuretan yang paling optimum TDI : PEG 1000 : LIGNIN (20:0:10) terdapat lima elemen dalam komposisinya, kandungan utamanya adalah C sebanyak 50,02%, N sebanyak 38,88%, O sebanyak 10,50%, Al sebanyak 0,57%, dan Si sebanyak 0,03%. Hal ini mengindikasi terjadinya perubahan kimia yang signifikan.

4. Hasil termogram Differential Scanning Calorimeter (DSC) menunjukkan bahwa temperatur transisi gelas (Tg) pada poliuretan optimum dan minimum dalam (oC) 50,99 dan 50,22 dihasilkan temperatur yang hampir sama hal ini membuktikan bahwa poliuretan yang dihasilkan adalah sama. Sedangkan untuk titik lelehnya (Tm) diperoleh temperatur yang menunjukkan perbedaan

yang signifikan hal ini membuktikan bahwa poliuretan dengan titik leleh 85,78oC merupakan poliuretan yang paling optimum dibandingkan dengan titik leleh 80,53oC yang merupakan poliuretan yang minimum, karena

semakin tinggi titik leleh maka ketahanan panas yang dihasilkan semakin baik.

5.2 SARAN

1. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya pada pembuatan poliuretan menggunakan poliol alam dari serbuk kayu jati menggunakan katalisator serta surfaktan untuk mempercepat reaksi pembentukan poliuretannya sehinga menghasilkan sifat-sifat yang baik.

(46)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Indonesia

Kehutanan dan hasil hutan di Indonesia telah dikukuhkan dalam Undang-Undang Kehutanan No. 5 tahun 1967 tanang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan tidak berubah dalam Undang-Undang Kehutanan yang baru.

Jika rumusan hutan dalam undang-undang dicermati untuk disoroti dari sudut sumber daya ekonomi, ternyata dalam rumusan itu terdapat tiga macam sumber daya alam, yaitu lahan, vegetasi bersama semua komponen hayatinya, serta lingkungan itu sendiri sebagai sumber daya ekonomi yang pada akhir-akhir

ini tidak boleh diabaikan. Pengembangan peran lingkungan hidup di atas sumber daya majemuk itu, misalnya untuk kepentingan tata air, pembinaan satwa liar, wisata, ameliorsi iklim dan lain-lain memandang massa kayu dan lahan sebagai

modal (Wirakusumah,S.,2003).

Pulau-pulau yang tersebar luas di Indonesia ini menjadi tempat bentangan hutan hujan tropis terbesar nomor dua di dunia, yang menckup kurang lebih 109 juta hektar atau 56 persen tanah daratannya. Dari 19 jenis hutan yang telah diidentifikasi sejauh ini, hutan hijau abadi dataran rendah adalah yang paling luas, mencakup sekitar 55 persen jumlah keseluruhan di pulau-pulau luar jawa (Barber,C.V.,1999).

2.1.1 Pengelolaan Hutan

(47)

hubungan komersial secara luas, hutan hanya dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengambil bahan makanan, nabati maupun hewani, atau tempat untuk mengambil kayu untuk membuat rumah tempat tinggal dan untuk sumber energi.

Pengelolaan hutan untuk menghasilkan kayu berkembang pesat di Negara-negara maju, khususnya Eropa Barat, Skandinavia, dan Amerika Serikat, sepanjang abad ke-18 dan 19 sampai paruh pertama abad ke-20. System pengelolaan kebun kayu itu yang menempatkan kelestarian hasil sebagai landasan utamanya, dikenal sebagai sistem pengelolaan hutan modern. Di jawa, sistem tersebut juga dapat terlaksana dengan sukses untuk membuat hutan tanaman jati (Simon,H.,2008).

2.1.2 Hasil Hutan Kayu

Hasil hutan kayu oleh FAO (1993) digolongkan dalam kayu industri dan kayu bakar sebagai satu-satunya hasil hutan bukan kayu industri. Di Indonesia

konsumsi hasil-hasil kayu masih sangat terbatas. Hal itu disebabkan permintaan yang tinggi terhadap kayu bulat disusul permintaan kayu gergajian dan kayu lapis yang sangat merangsang. Tiga hasil hutan kayu di sini adalah kayu bulat, kayu

gergajian, dan kayu lapis (Wirakusumah,S.,2003).

2.1.3 Kayu Jati

(48)

Gambar 2.1 Kayu Jati (sumber : kebun-jati.blogspot.com)

Dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai berikut.

Spesies : Tectona grandis Linn. f. (Sumarna,Y.2001).

Serbuk gergaji kayu jati mengandung komponen utama selulosa, hemiselulosa, lignin dan zat ekstraktif kayu. Komponen kimia didalam kayu mempunyai arti penting, karena menentukan kegunaan sesuatu jenis kayu juga dengan mengetahuinya kita dapat membedakan jenis kayu. Komponen kimia kayu jati dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Komponen-komponen Kimia Kayu Jati

(49)

2.2 Polimer

Polimer merupakan suatu makromolekul dengan rantai panjang yang terdiri dari unit-unit yang lebih kecil yang bergabung bersama. Unit-unit yang lebih kecil ini disebut monomer.

Polimer merupakan obyek kajian yang amat rumit. Oleh karena itu dibuat pengelompokan-pengelompokan polimer menurut struktur, keadaan fisik, reaksi terhadap lingkungan, kimiawi serta penggunaan produk akhirnya. Secara struktur pembagian polimer adalah polimer yang merupakan molekul individual, polimer bercabang, polimer jaringan raksasa makroskopik. Secara tradisional polimerisasi telah diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama yaitu polimerisasi adisi dan polimerisasi kondensasi (Stevens,M.P.,2007).

Polimer terbentuk melalui suatu proses polimerisasi. Polimerisasi kondensasi melibatkan penggabungan molekul kecil-kecil, menghasilkan molekul

besar-besar melalui reaksi kondensasi (atau adisi penyingkiran) dalam kimia organik. Misalnya, jika campuran etanol (etil alkohol) dan asam etanoat (asam asetat) dihasilkan, disertai penyingkiran air.

CH3COOH + C2H5OH CH3COOC2H5 + H2O Asam Asetat Etanol Etiletanoat Air

Polimerisasi kondensasi umumnya melibatkan penghilangan molekul air atau molekul kecil lainnya. Namun hal ini tidak selalu terjadi contohnya pembentukan poliuretan dari diol (glikol) dan diisosianat tidak melibatkan penghilangan molekul air atau molekul kecil lainnya.

OCN – R – NCO + HO –R’ – OH

Isosianat Diol (– CO – NH – R – NH – CO – O –R’ – O –) reaksi selanjutnya Poliuretan

(50)

Pada reaksi diatas, reaksi antara gugus-gugus fungsi melibatkan pengalihan hydrogen dari gugus hidroksi keatom nitrogen pada gugus –NCO. Oleh karena rantai polimer yang dihasilkan mengandung gugus uretan, –NH – CO

– O–, polimer disebut suatu poliuretan (Cowd,M.A.,1991).

Sintesa polimer melalui reaksi polimerisasi bertujuan menciptakan polimer baru dengan struktur rantai tertentu sehingga menghasilkan bahan polimer dengan karakteristik dan sifat mekanis yang diinginkan. Penerapan bahan polimer kesegala kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan memerlukan berbagai standar mutu bahan polimer dari polimer komoditas, sampai bahan polimer teknik, dan polimer khusus. Penyediaan berbagai mutu bahan polimer ini tidak dapat dipenuhi bila hanya digunakan cara polimerisasi. Lebih lanjut, molekul polimer yang terbentuk dapat dimodifikasi menjadi polimer baru melalui reaksi polimer lainnya atau senyawa aditif berbobot molekul rendah (wirjosentono,B.,1995).

2.3 Lignin

Kayu hampir seluruhnya terdiri dari tiga bahan: polisakarida, selulosa dan hemiselulosa, dan lignin. Saat ini sebagian besar lignin yang diproduksi dalam operasi-operasi pembuburan kayu dibakar sebagai bahan bakar pada tempat pembuburan (Stevens,M.P., 2007).

(51)

Jumlah dan sifat lignin kayu sangat bervariasi bergantung pada jenis kayu, kayu daun jarum (softwood) atau kayu daun lebar (hard wood), lingkaran usia

kayu. Penelitian pada “Douglas-fir: menunjukkan bahwa kayu di bagian tengah batang memiliki kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tepi batang. Kayu daun tropis mempunyai kandungan lignin lebih tinggi dibandingkan dengan kayu daun dari daerah temperatur sedang. Kandungan lignin kayu jarum bervariasi antara 24-33% dan kayu daun tropis 26-35%. Dalam tanaman bukan kayu kandungan lignin umumnya antara 12-17% (Supri, 2000). Poliuretan diturunkan dari dua jenis lignin, yakni lignin kraft, lignosulfonat dan molase (Hatakeyama,H.2005).

2.3.1 Gugus Fungsi Pada Lignin

Lignin mempunyai gugus fungsi antara lain metoksil, hidroksil fenolik, hidroksil non fenolik, karbonil, eter, dan karbosila. Analisis gugus fungsi lignin pada prinsipnya merupakan analisis gugus fungsi organik yang sulit. Hal tersebut

disebabkan oleh sifat lignin yang khas suatu polimer alam dengan struktur rumit, sifat polifungsi dan kelarutan sangat terbatas (Fengel dan wagener, 1985). Lignin mempunyai sifat pertukaran ion karena adanya berbagai macam gugus fungsi

yang membuatnya menjadi substansi yang sangat aktif (Rudnitskaya,A.2012).

2.3.2 Gugus Hidroksil Pada Lignin

(52)

2.3.3 Spektroskopi Infra Merah Pada Lignin

Spektrum lignin menunjukkan sejumlah pita serapan utama yang dapat diperuntukkan secara empiris bagi gugus-gugus struktural, berdasarkan hasil yang diperoleh dari senyawa model lignin. Pita-pita FTIR khas dengan peruntukan saling mungkin tercantum dalam tabel 2.2

Tabel 2.2 Pita Serapan Penting FTIR Lignin (menurut Hergert 1971).

Kedudukan (cm-1) Pita Serapan Asal 3450-3400

Pita serpan infra merah lignin yang paling karakteristik terdapat pada sekitar 1510 cm-1 dan 1600 cm-1 (vibrasi cincin aromatik). Daerah bilangan gelombang yang di sebut pertama miskin dalam pita-pita tambahan dan karena itu dapat

digunakan untuk mengkaji adanya lignin dalam sedian-sedian yang tak diketahui.

Hubungan yang berbeda antara intentitas pita-pita serapan pada 1510 cm -1dan 1600 cm-1 dapat digunakan untuk membedakan lignin kayu lunak dan kayu

(53)

2.3.4 Isolasi Lignin

Metoda isolasi lignin pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kelompok besar: a. Metoda yang menghasilkan lignin sebagai sisa.

b. Metoda yang melarutkan lignin tanpa bereaksi dengan pelarut yang digunakan untuk ekstraksi atau dengan pembentukan turunan yang larut. Sebelum isolasi lignin, ekstraktif harus dihilangkan terlebih dahulu untuk mencegah pembentukan hasil-hasil kondensasi dengan lignin selama proses isolasi. Dengan alasan yang sama, terutama jika asam mineral kuat digunakan dalam isolasi pelarut seperti alkohol atau aseton harus dihilangkan dengan sempurna dari kayu yang diekstraksi. Metoda isolasi kelompok pertama menghasilkan lignin asam dengan menggunakan asam sulfat atau asam klorida, campuran asam-asam tersebut atau mineral lain. Dalam hal lignin asam sulfat konsentrasi asam yang digunakan untuk tahap hidrolisis pertama adalah antara 68% dan 78% (kebanyakan 72%) kemudian dilanjutkan dengan tahap pengenceran dan untuk menyempurnakan hidrolisis polisakarida digunakan

asam dengan konsentrasi rendah. Lignin asam klorida yang diperoleh dengan mereaksikan kayu dengan asam klorida lewat jenuh dikatakan kurang terkondensasi bila dibandingkan dengan lignin asam sulfat. Semua lignin yang

diperoleh dengan hidrolisis asam berubah struktur dan sifat-sifatnya terutama karena reaksi kondensasi (Fengel dan wagener, 1985).

2.3.5 Penentuan Lignin

Metoda-metoda penentuan lignin secara kuantitatif dapat dibagi sebagai berikut : 1. Metoda langsung , yaitu lignin ditentukan sebagai sisa.

2. Metoda tidak langsung, dimana kandungan lignin dihitung sesudah penetuan polisakarida, dihitung dengan metoda spektrofotometri, merupakan hasil reaksi lignin dengan kimia pengoksidasi.

(54)

diekstraksi lebih dahulu atau pulp tak dikelantang dengan asam sulfat 72% dan langkah terakhir hidrolisis dengan asam sulfat 3% pada kondisi tertentu (Fengel dan wagener, 1985).

2.4 Perekat 2.4.1 Isosianat

Perekat isosianat merupakan bahan reaktif yang kuat rekatannya pada logam, karet, plastik, gelas, kulit, kain. Yang terpenting ialah dipoli-isosianat, yang gugus-gugus fungsinya efektif berikatan dengan gugus-gugus berkandungan hidrogen aktif (seperti amino, imino, karboksil, sulfonat, hidroksil).

Penggunaannya dapat tersendiri atau dicampur larutan elastromer (perekat karet ke logam atau kain), zat pengubah sifat perekat basis karet (serba guna), sebagai reaktan dengan poliester atau polieter menghasilkan poliuretan untuk

maksud khusus.

Perekat isosianat misalnya difenilmetan diisosianat dalam khlorobenzen

baik untuk merekatkan logam-elastromer yang tahan panas, pelarut pukulan dan awet (tidak mengalami fatigue/kelelahan). Larutan 2% isosianat dalam hidrokarbon aromatik meningkatkan adhesi antara kain dengan karet apabila dipakai sebagai primer.

(55)

Perekat isosianat-poliester metan juga banyak dipergunakan. Isosianat polifungsi direaksikan dengan senyawa polihidroksi (poliester tak jenuh atau fenol) membentuk poliuretan bergugus isosianat bebas, yang dapat bereaksi dengan permukaan substrat. Reaksinya dapat sempurna atau parsial selama curing (Hartomo,A.J., 1996).

2.4.1.1 Jenis Perekat Isosianat

Isosianat merupakan bagian yang utama dalam pembentukan poliuretan, ia mempunyai reaktivitas yang sangat tinggi, khusnya dengan reaktan nukleofilik. Reaktivitas dari poliuretan ditentukan oleh sifat posistif dari atom C dalamn ikatan rangkap yang terdiri dari pada N, C, dan O.

Dalam pembentukan poliuretan adalah sangat perlu memilih isosianat yang sesuai untuk bereaksi dengan poliol karena akan dapat menentukan hasil akhir, seperti terbentuknya rangkaian biuret, urea, uretana, dan alfanat. Banyak

peneliti telah memakai berbagai isosianat untuk mendapatkan hasil akhir poliuretan yang diinginkan. Isosianat yang umum digunakan dan telah dipasarkan contohnya :

a). Difenilmetana diisosianat (MDI)

MDI adalah turunan dari aniline, reaksi dasarnya yaitu

CH

(56)

amine, yang disusun terutama dari 4,4 – diamino difenilmetana dengan jumlah 2,4

Komposisi yang tepat dari campuran terutama tergantung perbandingan aniline formaldehid yang digunakan, ia akan bertambah jumlahnya karena aniline yang diberikan pada susunan dari diamino difenilmetana. Kadang-kadang campuran amin adalah fraksi bersih yang diberikan 4,4, - diamino difenilmetana yang mana selanjutnya melalui tahap phosgenasi dari difenilmetana 4,4 diisosianat.

Difenilmetana diisosianat berwujud padat, dengan titik leleh 37 – 38 oC disamping itu polimer difenilmetana diisosianat juga ada berwujud cair, kedua- duanya produk yang mempunyai tekanan uap rendah disbanding dengan toluene diidosianat telah digunakan dalam pembuatan elastomer dalam skala pabrik dan polimer difenilmetana yang paling luas dalam pemakaiannya terutama untuk

produk rigid foam.

b). Toluen Diisosianat (TDI)

Toluene adalah bahan pertama dari produksi toluene diisosianat (TDI). Prosesnya boleh bervariasi supaya memberikan hasil dari turunan ispmer yang dikehendaki. Pada proses phosgenasi biasanya mempertimbangkan untuk mengikutsertakan pada pembentukan dari karbonil klorida didalam keadaan dingin dan produk ini dalam keadaan panas.

R – NH2 + COCl2 R – NHCOCl + HCl

(57)

Isomer toluena diisosianat adalah campuran cair dalam batas suhu 5 – 15 0 C dan karena itu biasanya dijumpai sebagai cairan tolilen 2,4 – diisosianat, dan jika dijumpai dalam padatan biasanya dengan titik leleh 22 oC.

Toluen diisosianat dapat menimbulkan iritasi pada pernapasan dan sangat diperhatikan dalam pengguanaannya. Produknya bermacam-macam lebih dari 80 : 20 campuran isomer yang sangat luas penggunaanya, terutama dalam produksi dari fleksibel foam. 4 – isosianat adalah kelompok paling banyak digunakan yang lebih reaktif disbanding 2 atau 6 – isosianat.

c). Nafialena 1,5 – diisosianat (NDI)

Naftalena 1,5 – diisosianat adalah turunan dari naftalena

NH2

1,5 - diamine 1,5 - dinitronaphthalene Napthalene

Napthalene 1,5 - diidosianat

(58)

d). HDI (Hexametilen diisosianat)

Hexametilen diisosianat (HDI) dihasilkan melalui phosgenasi hexametilendiamin

H2N – (CH2)6 – NH COCl→ 2 OCN – (CH2)6 – NCO

Hexametilen diisosianat merupakan cairan yang tekanan penguapannya hamper sama dengan TDI juga bersifat mengganggu pernafasan dan dapat menimbulkan efek yang berbahaya terhadap kulit dan mata. HDI merupakan salah satu diisosianat yang pertama sekali digunakan dalam pembuatan PU dalam hal ini dalam pembuatan fiber (Hepburn, C., 1991).

2.4.2 Perekat Lignin

Beberapa istilah lain dari perekat yang memiliki kekhususan meliputi glue, mucilage, paste dan cement.

1. Glue merupakan perekat yang terbuat dari protein hewani, seperti kulit, kuku, urat, otot dan tulang yang secara luas digunakan dalam industry pengerjaan kayu.

2. Mucilage adalah perekat yang dipersiapkan dari getah dan air dan diperuntukkan terutama untuk merekatkan kertas.

3. Paste merupakan perekat pati (starch) yang dibuat melalui pemanasan campuran pati dan air dan dipertahankan berbentuk pasta.

4. Cement adalah istilah yang digunakan untuk perekat yang bahan dasarnya karet dan mengeras melalui pelepasan pelarut.

Berdasarkan unsure kimia utama (major chemical component), perekat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

1. Perekat alami (Adhesive of natural origin)

(59)

b. Berasal dari protein, seperti kulit, tulang, urat daging, blood (albumin dan darah keseluruhan), casein (susu) serta soybean meal (termasuk kacang tanah dan protein nabati seperti biji-bijian pohon dan biji durian)

c. Berasal dari material lain, seperti asphalt, shellac (lak), rubber(karet), sodium silikat, magnesium oxychloride dan bahan anorganik lainnya. 2. Perekat sintetis (Adhesive of synthetic origin)

a. Perekat termoplastis yaitu resin yang akan kembali menjadi lunak ketika dipanaskan dan mengeras kembali ketika didinginkan. Contohnya seperti polyvinyl alkohol (PVA), polyvinyl asetat (PVAc), copolymers, cellulose esters, poliamida, polistirena, polivinil butiral, serta polivinil formal. b. Perekat thermosetting yaitu resin yang mengalami atau telah mengalami

reaksi kimia dari pemanasan, katalis, sinar ultra violet dan sebagainya serta tidak kembali ke bentuk semula. Contohnya seperti urea, melamin, phenol, resolcinol, furfuryl alcohol, epoxy, polyurethane, unsaturated polyesters (poli ester tidak jenuh). Untuk perekat urea, melamine, phenol dan resorcinol menjadi perekat setelah direaksikan dengan formaldehida

(CH2O) (Sucipto, T. 2009).

2.5 Poliuretan

(60)

NCO + HO NHCO O Isosianat hidroksil Uretan

Poliuretan yang disebut juga polikarbamat (dari asam karbamat, R2NHCO2H), adalah turunan ester amida dari asam karbonat. Poliuretan dipakai dalam berbagai macam aplikasi, termasuk serat (teristimewa jenis elastis), bahan perekat, pelapis, elastomer, dan busa-busa yang fleksibel yang kuat (Stevens,M.P.,2007)

Penerapan terpenting poliuretana untuk serat-serat melibatkan kopolimer

blok elastomeric yang terdiri dari segmen “lunak” dan “keras” yang berselang -seling. (Spandex dari du Pont adalah salah satu contohnya). Yang khas, diisosianat aromatic berlebih direaksikan dengan polieter atau polyester berujung hidroksi yang memiliki berat molekul rata-rata 2000 sampai 3000 untuk menghasilkan suatu polimer berujung isosianat yang selanjutnya bereaksi dengan

rantai diamin yang berfungsi sebagai pemanjang. Perlu dicatat bahwa perpanjangan rantai terjadi lewat ikatan-ikatan urea bukan uretana. Polieter dan poliester umum, berturut-turut, yaitu poli(propilena glikol) dan

poli(dietilenaglikol adipat). Toluena-diisosianat (TDI) dan metilena-4,4’ -difenil-diisosianat (MDI) merupakan -difenil-diisosianat--difenil-diisosianat yang khas. Diamin-diamin sebagai etilendiamin dipakai sebagai pemanjang.

(61)

segera kembali ke keadaan amorfus dengan tenaga yang sebanding dengan besarnya perubahan entropi sistem tersebut.

Elastomer poliuretan digunakan sebagai perekat kontak yang dihasilkan

melalui reaksi antara poliester diol dengan 4,4’-difenil-imetan-diisosianat yang menghasilkan suatu polimmer linier yang cabangnya dapat diabaikan. Poliester ini akan menyumbangkan sifat kristalinitas pada produk akhir poliuretan. Polimer ini dihasilkan melalui suatu proses polimerisasi dengan temperatur reaksi 100-140oC (umumnya 120oC) dan waktu reaksinya sekita 0,5-24 jam (umumnya adalah sekitar 1-2 jam). Massa molarnya dapat dihitung dengan mengukur viskositas spesifiknya.

Untuk menghasilkan sifat-sifat larutan yang baik, maka perbandingan molar isosianat dengan hidroksil, biasanya berkisar antara 0,97:1,0 dan 0,999:1,000, yang dapat menghasilkan suatu polimer dengan gugus hidroksil terminal.

Walaupun ada sejumlah reaksi yang merumuskan pembentukan poliuretan, tetapi hanya satu bentuk umum yang paling penting: yaitu reaksi antara suatu

isosianat dengan suatu alkohol. Untuk menghasilkan polimer ini, maka paling tidak harus mengandung dua gugus fungsional :

n OCNRNCO + n HOR’OH → n OCN(RNHCOOR’)OH

(Wake,W.C.,1987)

Penentuan degradasi termal dari elastomer poliuretan didasarkan pada

(62)

2.5.1 Pembuatan Poliuretan

Pada dasarnya poliuretan dapat dibuat melalui reaksi polimerisasi antara monomer-monomer diisosianat dengan poliol polieter atau poliester. Polieter yang dapat digunakan sebagai poliol dalam sintesis poliuretan, yaitu politetrametilenglikol, polietilen glikol, dan polipropilen glikol. Poliester yang umum digunakan untuk sintesis poliuretan yaitu poliester jenuh yang mengandung gugus hidroksi terminal, diantaranya polietilen adipat, polipropilen adipat, dan gliserol adipat (Rohaeti,E.,2005).

Ada dua metode utama untuk pembuatan poliuretan: reaksi biskloroformat dengan diamin dan lebih penting dari prespektif industry, reaksi diisosianat dengan senyawa-senyawa dihidrasi. Biskloroformat, yang dipreparasi lewat reaksi diol atau bisfenol dengan fosgena berlebih,

O O O

2Cl – C – Cl + HO – R – OH Cl – C – O – R – O – C – Cl + 2HCl

Kurang reaktif daripada kloroda-klorida asam; meskipun demikian, ia bereaksi

dengan diamin pada suhu rendah dibawah kondisi-kondisi polimerisasi antar permukaan. poliuretan yang terbentuk dalam reaksi

O O

Cl – C – O – (CH2)2 – O – C – Cl + H2N – (CH2)6 – NH2 O O

– C – O – (CH2)2 – O – C – NH – (CH2)6 – NH – + 2HCl

melebur pada suhu sekitar 180oC, dibandingkan dengan 295oC untuk poliamida (nilon 46) yang strukturnya sebanding (Stevens,M.P.,2007).

(63)

melalui metode polimerisasi larutan dan lelehan pada temperature cukup tinggi. Kereaktifan diisosianat merupakan factor penting dalam mensintesis poliuretan. Diisosianat aromatic bersifat lebih reaktif dibandingkan diisosianat alifatik, dan gugus diisosianat pada atom sekunder dan atom karbon tersier. Diisosianat komersial yang biasa digunakan, yaitu heksametilen-1,6-diisosianat(HMDI), difenilmetan-4,4’-diisosianat(MDI), dan campuran tolilen-2,4-diisosianat dengan tolilen-2,6-diisosianat(TDI).

Adisi senyawa dihidroksi ke diisosianat untuk membentuk poliuretan pada prinsipnya serupa dengan sintesis poliurea. Di antara produk komersial yang paling awal (di kembangkan di Jerman sebagai alternative untuk serat-serat nilon yang dilindungi paten) adalah poliuretana 28 (Farbenfabriken Bayer, merek dagang Perlon U), yang di preparasi dari 1,6-heksanadiisosianat dan 1,4-butana-diol. Reaksi tersebut dikatalisis oleh amin dan beberapa garam logam, tetapi tidak diperlukan katalis-katalis untuk pembuatan polimer dengan berat molekul tinggi. Meskipun 28 secara komersial tidak lagi secemerlang nilon, rute diisosianat

sekarang dipakai untuk membuat serat, plastik, elastomer, dan bahan pelapis uretana. Karena reaksinya sedemikian cepat, maka cocok sekali untuk teknologi RIM.

O O

OCN(CH2)6NCO + HO(CH2)4OH –CNH(CH2)6NHCO(CH2)4O– 28

Poliuretan linier biasanya dipreparasi dalam larutan karena polimer ini cenderung berdisosiasi menjadi alkohol dan isosianat atau terdekomposisi menjadi amin, olefin dan karbon dioksida pada suhu tinggi yang diperlukan untuk polimerisasi leburan. Hal ini teristimewa berlaku untuk poliuretan yang dipreparasi dengan diisosianat aromatik.

(64)

dari produksi poliuretan melibatkan pemakaian polyester-poliester berujung hidroksi dengan berat molekul rendah atau polieter-polieter sebagai “monomer” dihidroksi. Kopolimer yang fleksibel dari tipe ini tidak hanya bermanfaat sebagai serat tetapi bias juga dikonversi menjadi elastomer-elastomer yang terikat silang lewat reaksi lebih lanjut dengan diisosianat berlebih, suatu reaksi adisi yang melibatkan nitrogen dari ikatan uretana. gugus yang terjadi adalah suatu alofonat (allophonate).

Jenis dan ukuran setiap monomer pembentuk poliuretan akan memberikan sumbangan terhadap sifat poliuretan yang dihasilkan. Hal ini membuat poliuretan

dapat disintesis dengan massa jenis dan kekakuan bervariasi mulai dari elastomer yang sangat fleksibel hingga plastik kaku dan rigid. Bervariasinya massa jenis dan kekakuan poliuretan, sehingga produk poliuretan dapat dijumpai pada berbagai

bidang kehidupan (Rohaeti,E.,2011).

2.5.2 Pembentukan Ikatan Silang Poliuretan

Akibat dari struktur lignin yang rumit dan adanya ikatan hidrogen akan membentuk ikatan silang yang teratur pada poliuretan, akhirnya Poliuretan menjadi kaku (Supri,2004). Secara umum ada dua tahap pembentukan ikatan silang poliuretan, yaitu:

(65)

2. Poliuretan liniear direaksikan dengan gugus hidroksi atau gugus diisosianat yang mempunyai dua gugus fungsi.

Poliuretan elastis pertama kali disintesis oleh O, Bayer (1962) dengan dua tahap, yaitu pengeringan dan berat molekul rendah. Poliester atau polieter yang memiliki gugus hidroksi akan direaksikan dengan isosianat berlebih. Kira-kira 2 atau 3 molekul dioal linear berikatan secara bersama-sama sehingga dapat memperpanjang rantai rantai yang lurus serta mengandung beberapa gugus uretan (Eisenbach and Hartmuth, 1990). Sedangkan menurut Kurimoto,Y.2001 komponen kayu yang terlarut dapat bertindak sebagai titik pengikatan silang dalam jaringan struktur poliuretan.

Reaksi ikat silang bisa juga diefektifkan dengan mempreparasi bagian dari polimer tersebut dengan suatu poliol seperti gliserol sehingga gugus-gugus hidroksi pendan yang terjadi sepanjang kerangka polimer bias bereaksi dengan diisosianat untuk memberikan ikatan-ikatan silang uretana.

+ NCO

OH O

C O NH

(66)

O

OCN NCO + H2O OCN NHCOH → −CO2

O OCN NH2 NHCNH

Reaksi ikat silang bisa terjadi lewat reaksi gugus-gugus urea dengan isosianat yang tak bereaksi untuk membentuk ikatan silang biuret. Pelapis-pelapis tipe ini biasanya diformulasikan dengan polyester yang dipreparasi dengan alkohol-alkohol polifungsional untuk memastikan bahwa reaksi ikat silang akan terjadi menurut reaksi. Karena tidak diperlukan bahan tambahan untuk mengefektifkan proses ikat silang, formulasi bahan pelapis demikian sering

dinyatakan sebagai sistem “satu komponen” atau “satu pot”. Polimer-polimer berujung isosianat bisa dipolimerisasikan lebih lanjut lewat reaksi-reaksi dengan diol atau diamin untuk membentuk berturut-turut gugus uretana dan urea

tambahan. Menurut Min,K.2005 reaksi polimerisasi poliuretan akan memiliki sifat termodinamik yang meningkat dengan adanya poli (vinil klorida) dan hpencampuran ikatan silang yang dihasilkan menjadi lebih baik.

O O

(67)

2.6.1 Analisa Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FT-IR)

Spektroskopi inframerah merupakan teknik spektroskopi yang dapat digunakan untuk menentukan struktur senyawa yang tak diketahui maupun untuk mempelajari karakteristik ikatan dari senyawa yang diketahui. Identifikasi dengan spektroskopi inframerah adalah berdasarkan penentuan gugus fungsinya. Spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas, artinya senyawaan yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula. Selain dari senyawaan isomer-optik, tidak satupun antara 2 senyawaan yang mempunyai kurva serapan inframerah yang identik. Daerah inframerah terletak pada daerah spektrum 4000-400 cm-1.

Analisis infra merah memberikan informasi tentang kandungan aditif, panjang rantai struktur polimer. Di samping itu analisis mengenai bahan polimer

yang terdegradasi oksidatif dengan munculnya gugus karbonil dan pembentukan ikatan rangkap polimer. Gugus lain yang menunjukkan terjadinya degradasi oksidatif adalah gugus karbonil dan karboksilat. Umumnya pita serapan polimer

pada spektrum infra merah adalah adanya ikatan C/H/regangan pada daerah 2880 cm-1 sampai dengan 2900 cm-1 dan regangan dari gugus lain yang mendukung suatu analisa mineral (Hummel, 1985).

Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan yang karakteristik untuk masing-masing polimer dengan membandingkan spektrum yang telah dikenal. Pita serapan yang khas ditunjukan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya ( Hummel, 1985 ).

(68)

dapat dilakukan dengan membandingkan tinggi peak (transmitansi) pada panjang gelombang tertentu yang dihasilkan oleh zat yang diuji dan zat yang standar. Dalam ilmu material, analisa ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya reaksi atau interaksi antara bahan -bahan yang dicampurkan. (Antonius Sitorus, 2009).

2.6.2 Analisa Sifat Morfologi dengan Uji Scanning Electron Microscopy (SEM)

SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen. Interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar X, elektron sekunder dan absorpsi elektron.

Teknik SEM pada hakekatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau

dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan. Gambar permukaan yang diperoleh merupakan tofografi dengan segala tonjolan, lekukan dan lubang pada permukaan. Gambar tofografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder

yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh detektor yang diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar yang khas menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar di monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam ke dalam suatu disket.

(69)

2.6.3 Analisa Sifat Termal dengan Uji Differential Scanning Calorimeter (DSC)

Differential Scanning Calorimetry (DSC) merupakan teknik analisa termal yang dapat digunakan untuk mempelajari temperatur transisi, kalor transisi, entalpi reaksi, kalor spesifik dari material padat. Analisa termal dapat diartikan sebagai pengukuran sifat-sifat fisik maupun kimia suatu material sebagai fungsi dari temperatur. Pada awal data diplot kemudian dianalisa untuk menentukan nilai Tg, Tm, Entalpi reaksi baik eksoterm maupun endotermik dan lain-lain.

Peralatan DSC dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mengukur perbedaan energi yang diberikan pada substansi dan material referensi sebagai fungsi dari temperatur atau waktu. Dalam bidang polimer peralatan ini banyak digunakan untuk menentukan temperatur transisi gelas (Tg) dan temperatur leleh (Tm). Temperatur transisi gelas (Tg) merupakan temperatur dimana terjadi perubahan sifat-sifat fisik polimer dari bentuk kaku (glassy) menjadi bersifat

elastik (lunak). Temperatur transisi gelas sendiri bersfat spesifik untuk setiap material padat yang dianalisa.

Untuk material yang kristalin atau semikristralin, puncak-puncak tersebut akan tampak tajam (jelas), sedangkan untuk material yang amorf, puncak-puncak tersebut tampak sebagai lereng (slope) atau bahkan tidak tampak sama sekali (Bandrup, 1985).

Gambar

Tabel 3.1  Alat – alat penelitian
Tabel 3.2  Bahan – bahan penelitian
Tabel 4.1 Pita Serapan FTIR Lignin Isolat dari Kayu Serbuk Kayu Jati
Gambar 4.2  Spektrum FTIR Poliuretan Pada Perbandingan TDI : PEG 1000 : LIGNIN = 20:0:10
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Hasil Evaluasi Dokumen Penawaran yang tertuang dalam Berita Acara Hasil Pelelangan Nomor : 11/PBJ-MTSN-SAMPIT/VII/2012 tanggal 30 Juli 2012 dan Surat Penetapan

Kepala Bidang Perencanaan dan Pengelolaan Informasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil mempunyai tugas melaksanakan pengkoordinasian penyiapan bahan perumusan kebijakan

PANITIA PENGADAAN BARANG DAN JASA MADRASAH IBTIDAIYAH NEGERI KASONGAN LAMA. TAHUN ANGGARAN

[r]

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;(1) Analisis data hasil validasi perangkat pembelajaran dengan statistik deskriftif; (2)

Melalui praktik siswa dapat menggunaan perangkat presentasi untuk memaparkan hasil pencarian informasi menciptakan Peluang usaha pengolahan dari bahan nabati dan hewani

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesehatan koperasi pegawai di Sungailiat periode 2011-2015 yang dilihat dari tujuh aspek yaitu, aspek permodalan, kualitas

Schwartz (Dahlan, 1994:39) mendefinisikan kausalitas sebagai suatu keadaan yang saling berhubungan di mana keadaan yang satu dipengaruhi oleh keadaan yang lain