BAB II
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
IMPLEMENTASI
DISKRIPSI DAN RELEVANSI
Bab ni akan membahas berbagai faktor yang dapat mempengaruhi
proses implementasi kebijakan dan hasil akhirnya, yang disimpulkan dari
hasil telaah para akademisi yang meneliti berbagai kasus kegagalan
implementasi. Faktor-faktor tersebut adalah Tipe-tipe kebijakan yang
berdasarkan tujuan dan metodenya dapat menjadi faktor pembatas dalam
pengimplementasiannya. Selain itu karena nyaris tidak ada kebijakan
yang hanya dilaksanakan oleh agen/lembaga tunggal, maka faktor-faktor
yang berkaitan dengan aktor-aktor pembuat dan pelaksana kebijakan,
serta pola hubungan kerja horizontal dan vertikal antar aktor dan antar
instansi akan mempengaruhi tingkat kesulitan implementasi. Faktor-faktor
lain yang akan dibahas secara singkat adalah faktor lingkungan tempat
kebijakan tersebut diimplementasikan yang dengan karakteristiknya
sendiri dapat memberikan hasil implementasi yang berbeda pula.
Relevansi mempelajari bab ini bagi mahasiswa adalah memahami
cara kerja implementasi kebijakan dan program-program turunannya
dalam menyentuh kehidupan masyarakat, dan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi efektifitasnya. Melalui pemahaman tersebut diharapkan
kelak saat bekerja mereka mampu merancang program-program
Bahasan dalam Bab ini juga berkaitan dengan Teori Politik, Teori
Organisasi dan Teori Kebijakan Publik secara umum.
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu mengidentifikasikan Tujuan Keijakan dan Tipe
Kebijakan yang dapat mempengaruhi proses implementasi Kebijakan.
2. Mahasiswa mampu mengidentifikasikan perbedaan struktur organisasi
pelasana yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan
3. Mahasiswa mampu mengidentifikasikan aktor-aktor pelaksana dan pola
hubungannya yang dapat mempengaruhi proses implementasi
4. Mahasiswa mampu mengidentifikasikan faktor-faktor sumberdaya dan
lingkungan yang dapat mempengaruhi proses implementasi
PENGANTAR ISI BAB
Dokumen kebijakan yang dihasilkan dari proses formulasi selain
memuat dasar hukum dan konsideran – konsiderannya, juga biasanya
memuat tujuan baik tersurat maupun tersirat yang ingin dicapai,
organisasi – organisasi pelaksanaan, walau tidak secara detail. Dari tujuan
– tujuan tersebut dapat dibuat kategori tipe – tipe kebijakan.
Selain tipe kebijakan, maka tentu saja para aktor implementasilah
yang berpengaruh langsung terhadap berhasil-tidaknya kebijakan
mencapai tujuannya. Sebagai sumberdaya utama, kapasitas, kapabilitas,
persepsi, kepentingan, serta pola dan dinamika hubungan antar aktor
implementasi tsb. Faktor lain yang berpengaruh adalah kondisi lingkungan
tempat kebijakan tersebut diimplementasikan. Kondisi lingkungan saat di
lapangan yang bisa berbeda dari perhitungan sebelumnya menyebabkan
timbulnya pemikiran tentang perlunya diskresi bagi para implementor.
II.1.TIPE KEBIJAKAN
Dokumen kebijakan yang dihasilkan dari proses formulasi selain
memuat dasar hukum dan konsideran – konsiderannya, juga biasanya
memuat tujuan baik tersurat maupun tersirat yang ingin dicapai,
organisasi – organisasi pelaksanaan, walau tidak secara detail. Dari tujuan
– tujuan tersebut dapat dibuat kategori tipe – tipe kebijakan.
Pengkatagorian tipe kebijakan ini dibuat untuk kepentingan analisis
kebijakan publik, khususnya bagi studi implementasinya, karena tidak ada
kaitan langsung antara tipe kebijakan dengan manfaat praktis dalam
praktek kebijakan. Bagi studi implementasi kategorisasi kebijakan berguna
untuk membantu pemahaman tingkat kesulitan implementasi tiap tipe
kebijakan, yang ada pada akhirnya mungkin bisa menghasilkan
rekomendasi yang berguna bagi proses implementasi.
Theodore Lowie adalah yang pertama kali melakukannya
pengkategorian kebijakan sebagai salah satu alat bantu analisis kebijakan.
Kategori tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Ripley
menjadi tipologi kebijakan yang berguna dalam menganalisis proses dan
masalah – masalah implementasi. Selain Ripley & Franklin) juga ada
dalam babi ni adalah kategori yang dikembangkan oleh kedua tokoh
tersebut. Berikut ini adalah tipologi kebijakan yang mereka lakukan.
II.1.1. Tipologi Kebijakan menurut Ripley & Franklin:
Menurut Ripley kebijakan publik dapat dikategorikan menjadi dua
bagian besar yakni Kebijakan Dalam Negeri dan Kebijakan Luar Negeri
dan Pertahanan. Masing – masing kategori tersebut memiliki beberapa
tipe kebijakan berdasarkan tujuannya. Ripley yang menelaah hubungan
antara berbagai tipe kebijakan dengan dinamika interaksi antara aktor
yang terlibat dalam pengimplemnetasian menyimpulkan bahwa
kebijakan – kebijakan dengan tipe tertentu secara substansi memiliki
tingkat kesulitan pengimplementasian yang berbeda- beda. Tipe – tipe
kebijakan tersebut adalah :
A. Kebijakan Dalam Negeri (Domestic Policy): 1. Distributive Policy (Kebijakan Distributif)
adalah kebijakan dan program yang diarahkan untuk mendorong
sector privat untuk melakukan aktifitas yang tidak akan dilakukan
apabila tidak disubsidi oleh pemerintah. Dengan kata lain : “Apabila
masyarakat melakukan tindakan “A” maka akan diganjar dengan
keuntungan “B”. Kebijakan untuk mendorong produktivitas pertanian
dan kebijakan – kebijakan yang bersifat memberikan subsidi biasanya
merupakan jenis kebijakan ini (misalnya subsidi bibit tanaman dan
pupuk untuk mendorong petani menanam tebu, dll).
Kebijakan tipe ini relatif lebih mudah dalam pengimplementasiannya,
kepentingan. Kalaupun kebijakan atau program tipe ini di Indonesia
tidak mencapai hasil yang diharapkan, biasanya berkaitan dengan
perilaku oknum aktor pelaksana yang mencurangi subsidi.
2. Competitive Regulatory Policy (Kebijakan Pengaturan Persaingan)
Adalah kebijakan dan program yang dibuat untuk membatasi aktifitas
sector privat untuk memproduksi jasa – jasa dan barang – barang
tertentu dengan menetapkan criteria – criteria yang harus dipenuhi
karena banyaknya peminat. Regulasi alat dan sarana transportasi
umum biasanya merupakan jenis kebijakan ini.
Kebijakan tipe ini memiliki tingkat kesulitan pengimplementasian
“sedang” karena meski akan ada intervensi kepentingan dari pihak
yang terkena akibat kebijakan, namun tingkat konflik yang timbul
tidak begitu besar.
3. Protective Regulatory Policy (Kebijakan Pengaturan Perlindungan)
adalah kebijakan dan program yang didesain untuk membatasi
aktifitas – aktifitas sector privat yang bisa membahayakan atau
merugikan sebagian masyarakat yang lain (misalnya polusi
kendaraan dan pabrik, pembuatan obat – obatan, minuman keras,
dll). Berbagai kebijakan yang menyangkut kelestarian lingkungan
hidup biasanya juga termasuk tipe kebijaksanaan ini.
Kebijakan tipe ini relatif “sulit” dalam pengimplementasian. Benturan
kepentingan antara pelaku ‘bisnis’ dengan ‘keamanan’ masyarakat
dalam skala yang cukup tinggi, demikian juga kemungkinan benturan
kepentingan antar aktor pelaksana yang terlibat.
4. Redistributive Policy (Kebijakan Pendistribusian Ulang)
adalah kebijakan dan program yang diasumsikan dapat menghasilkan
‘perkembangan’ kesejahteraan, kepemilikan, hak, dan nilai – nilai lain
di antara kelas – kelas social (ataupun kelompok etnis/ suku). Dengan
kata lain tujuan kebijakan dan program ini adalah untuk
mendistribusikan kembali nilai – nilai yang lebih dari satu kelompok
masyarakat pada kelompok masyarakat yang kekurangan (misalnya
penetapan harga BBM dan energi listrik berdasarkan perbedaan
penggunaannya: industri, industri rumah tangga, rumah tangga, dst:
Pajak Pertambahan Nilai: Inpres Daerah Tertinggal, dll).
Kebijakan tipe ini juga relatif sulit dilaksanakan, karena tingkat
konfliknya bisa sangat tinggi, terutama dari yang merasa dirugikan
oleh kebijakan ini. Misalnya saat subsidi BBM dicabut walau diganti
dengan Program Kompensasi Pencabutan BBM (PKPS – BBM) yang
berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat miskin, namun
kebijakan ini tetap menuai protes keras dan demonstrasi terjadi di
hampir seluruh wilayah Indonesia.
B. Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan 1. Structural Policy
Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk memperoleh,
menyebarkan dan mengatur personel – personel dan kebutuhan –
kebutuhan militer. Kebijakan dan program ini dibiayai sepenuhnya
tentang siapa, berapa banyak dan kapan dilakukan, harus
dputuskan terlebih dahulu. (Misalnya pembangunan atau penutupan
instalasi militer, system persenjataan untuk pertahanan negara, dll).
Untuk jenis kebijakan ini pengimplementasiannya dilakukan
langsung oleh Angkatan Bersenjata, bukan oleh pemerintah (c/q
Birokrat).
2. Strategic Policy
Kebijakan dan program strategi ini untuk menegaskan sikap dan
menjalankan kebijaksanaan luar negeri dan militer pada negara lain
(misalnya kebijakan perdagangan luar negeri, pemberian bantuan
pada negara lain yang sedang mengalami musibah, keikutsertaan
dalam pertahanan perdamaian dunia, dll).
3. Crisis Policy
Kebijakan ini dilakukan dengan sebagai respon atas masalah –
masalah luar negeri yang tiba – tiba dihadapi oleh negara (misalnya
ada invasi dari negara asing).
Dari tipologi kebijakan yang dilakukan oleh Ripley tersebut, untuk
kondisi Indonesia pada umumnya kebijakan – kebijakan domestiklah
yang memiliki relevansi dengan permasalahan implementasi dalam
konteks admnistrasi publik. Kebijakan yang menyangkut masalah
Pertahanan/ militer umumnya diputuskan dan diimplementasikan untuk
kalangan dan lingkup yang khusus : militer dan relatif tertutup bagi
Namun perlu juga diingat bahwa tipologi tersebut dibuat
terutama berdasarkan kenyataan empirik di Amerika Serikat, yang
dalam banyak hal yang berebda kondisi bangsa Indoenesia. Tidak
semua kebijakan yang dilakukan di negara kita bisa dengan tepat
dikategorikan ke dalam salah satu tipe tersebut, kendati Ripley &
Franklin juga mengatakan bahwa bisa jadi sebuah kebijakan
mengandung ciri lebih dari satu tipe kebijakan.
II.1.2. Tipologi Kebijakan menurut George C. Edwards III
George Edward III mengakatagorikan kebijakan secara berbeda
dengan yang dilakukan oleh Ripley & Franklin (yang mengkaitkannya
dengan interaksi antar aktor). Edwards mengkatagorikan berdasarkan
sifat atau karakteristik kebijakan. Menurutnya ada beberapa jenis
kebijakan yang pada dasarnya mudah menemui permasalahan dalam
pengimplementasiannya. Kebijakan tersebut adalah kebijakan yang
bersifat:
1. New Policies
Yang dimaksud dengan kebijakan baru disini bukan sekedar kebijakan –
kebijakan atau program – program yang baru disyahkan, tapi kebijakan
yang memang belum pernah dilaksanakan sebelumnya.
2. Decentralized Policies
Kebijakan ini adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat,
namun program pengimplementasiannya di serahkan pada masing –
masing daerah. Kesulitan yang timbul dikarenakan interpretasi yang
– masing tidak sama, sehingga pengimplementasian dan hasilnya pun
bisa berbeda dari tujuan utama kebijakan tersebut.
3. Controvercial Policies
Kebijakan yang controversial adalah kebijakan yang mengandung
reaksi – reaksi dan penafsiran – penafsiran yang saling bertentangan
secara tajam. Sudah dengan sendirinya kebijakan demikian mudah
menemui kesulitan saat diimplementasikan karena yang merasa
dirugikan akan berusaha menggagalkannya. Contoh kebijakan ini
adalah Kebijakan Anti Prostitusi di Kabupaten Tangerang baru – baru
ini, dan rencana UU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) yang sampai
saat ini belum mendapat persetujuan karena mengundang kontroversi
dari berbagai kalangan secara tajam.
4. Complex Policies
Kebijakan yang komoleks adalah kebijakan yang mengandung banyak
aspek sekaligus melibatkan berbagai badan dalam
pengimplementasiannya. Banyak aspek yang terkait dan beragamnya
pihak yang terlibat (lintas sektoral dan lintas departemen)
menyebabkan kebijakan jenis ini mudah menemui permasalahan
dalam. Contohnya adalah UU Lingkungan Hidup. Aspek yang terkait
sangat beragam mulai air, udara, tanah, hutan, dsb: aktor yang
terkaitpun sangat banyak.
5. Crisis Policies
Kebijakan krisis adalah kebijakan yang dibuat untuk menanggapi
situasi – situasi krisis yang mendesak dilakukannya tindakan segera.
terorganisasi dengan baik, akibatnya pengimplementasian program
mudah menghadapi kesulitan. Contoh kebijakan ini adalah program –
program pemulihan Indoenesia paska krisis ekonomi tahun 1997,
misalnya program BLBI yang tak juga tuntas dan berhasil
mengembalikan kerugian negara akibat hutang – hutang pengusaha
swasta. Juga kebijakan pembangunan kembali Aceh paska badai
Tsunami akhir tahun 2004.
6. Judicial Policies
Kebijakan ini adalah kebijakan yang mengandung penerapan sanksi
hukum bagi pelanggarnya. Pada dasarnya kebijakan ini mudah
menemui kesulitan saat implementasi karena melibatkan badan lain
yang berlainan fungsi dan kewenangan. Misalnya pada kasus
pencemaran lingkungan ditemukan adanya pelanggaran oleh aparat
administrasi publik, maka penyelidikan dan pembukitan harus
dilakukan oleh lembaga – lembaga yang berbeda, yang persepsi dan
penafsirannya atas pelanggaran tersebut juga bisa berbeda. Selain itu
seringkali kebijakan demikian justru belum dilengkapi dengan
perangkat – perangkat hukum yang jelas (kebijakannya sudah ada dan
diimplementasikan, tapi aturan – aturannya belum ada). Batas – batas
kewenangan dan koordinasi adalah masalah yang umumnya terjadi
pada kebijakan – kebijakan jenis ini, segingga seringkali terjadi saling
lempar tanggung jawab atau justru berebut wewenang.
7. Combination of characteristics
Sebuah kebijakan bisa memiliki beberapa karakteristik sekaligus,
tinggi dibanding implementasi yang hanya memiliki satu karakteristik.
Jika RUUAPP berhasil menjadi UU, maka kebijakan ini akan memiliki
karakteristik sebagai new policy, yudicial policy, sekaligus controvercial
dan complex policy.
Relevansi tipe kebijakan Edward III ini bagi studi implementasi adalah
bahwa jika proses implementasi dipahami sebagai kombinasi “problem
generating” dan ‘problem solving’ yang saling berkaitan, maka apabila
telah diketahui bagaimana permasalahan dalam implementasi itu
muncul, akan lebih mudah mengupayakan problem solvingnya. Jika
problem generating berkaitan dengan implement atau teknik yang digunakan pemerintah dalam kebijakan tersebut
(enforcement, inducement, benefaction, dan gabungan dari ketiganya), maka problem solving berkaitan dengan komponen utama sumber daya yang harus ada untuk melaksanakan kebijakan yang dimaksud. Komponen – komponen sumber daya tersebut adalah
dukungan politik, dana, kompetensi administrative, dan kepemimpinan
yang kreatif, yang harus tersedia dengan derajad yang berbeda – beda
bergantung kebijakan yang diimplementasikan.
Sebagai contoh kebijakan yang harus diimplementasikan adalah
kebijakan yang harus menggunakan teknik enforcement, misalnya
kebijakan Anti-Terorisme, atau kebijakan menaikkan harga BBM, maka
komponen utama yang harus tersedia adalah dukungan politik sebab
tanpa dukungan politik yang kuat, niscaya kebijakan tersebut tak dapat
diimplementasikan menggunakan teknik inducement, maka
sumberdaya berupa kompetensi administrasif implementor haruslah
kuat, dan seterusnya tergantung pada teknik yang digunakan dalam
menginterpretasikan kebijakan yang harus diimplementasikan.
II.2. AKTOR KEBIJAKAN DAN HUBUNGAN ANTAR AKTOR
Dari tujuan yang tercantum dalam dokumen kebijakan, selain
tersirat tipe atau jenis kebijakannya, juga tersurat aktor – aktor (badan/
instansi) yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikannya. Tipe
kebijakan dan aktor – aktor ini sama – sama mempengaruhi
implementasi dalam cara yang berbeda.
Jika tipe kebijakan berpengaruh terhadap tingkat kesulitan yang
dapat terjadi dalam proses implementasi, maka aktor – aktor pelaksana
dan hubungan antar aktor berpengaruh langsung terhadap keberhasilan
implementasi. Umumnya penjelasan mengenai aktor dan pola hubungan
mereka menggunakan teori-teori yang dipinjam dari disiplin ilmu
organisasi, psikologi dan ilmu politik. Istilah ”Disposisi” atau ”kepatuhan”
misalnya digunakan untuk menggambarkan sikap mental aktor pelaksana
terhadap kebijakan yang harus ia implementasikan. ”Interest” atau
”kepentingan”, yang digunakan untuk menggambarkan bahwa adanya
hubungan emosi dalam wujud kepentingan (apapun itu), akan
mempengaruhi cara implementor melaksanakan tugasnya, dll.
Hubungan antar aktor ini bisa bersifat horizontal (layers), vertikal
(levels), maupun antar lembaga (locus-loci). Secara umum dapat
dalam implementasi sebuah kebijakan, maka akan semakin sulit pula
kebijakan tersebut diimplementasikan dan mencapai tujuan yang
diharapkan. Hal ini mudah dipahami karena semakin banyak aktor yang
terlibat, maka akan semakin banyak pula biaya koordinasi yang
dbutuhkan, semakin banyak pula kepentingan yang bersaing untuk
didahulukan, belum lagi masalah kewenangan dan tanggung-jawab antar
aktor yang mesti diperjelas terlebih dahulu.
Dinamika hubungan antar aktor/instansi/organisasi/lembaga dalam
implementasi kebijakan dibahas oleh semua teori implementasi meski
dengan intensitas dan sebutan berbeda, mengingat sangat jarang
kebijakan yang hanya diimplementasikan oleh organisasi tunggal. Bardach
memasukkannya sebagai bagian yang harus diperhatikan dalam
”scenario writing’ proses implementasi; Van Meter dan Van Horn
membahasnya dalam ”Penguatan dan Komunikasi inter organisasi”;
Edwards III membahasnya dalam ”Struktur Birokrasi”, Sabatier dan
Mazmanian membahasnya dalam variabel ”Kemampuan Kebijakan
menstrukturkan implementasi”; Grindle membahasnya dalam ”kedudukan
Pengambil Keputusan” dan dalam ”kekuasaan, kepentingan dan strategi
aktor yang terlibat”, dlsb (teori mereka akan dibahas pada bab
berikutnya). Mereka memberikan perhatian terhadap pentingnya
pengaruh hubungan antar aktor/organisasi dari perspektif pembuat
kebijakan (top-down), yang memandang bahwa hubungan antar aktor
berpotensi menimbulkan kerumitan, bukan sebagai faktor yang dapat
Berikut ini dibahas aktor – aktor yang umumnya terlibat dalam
keseluruhan proses kebijakan. Istilah aktor merupakan isitlah yang biasa
digunakan dalam buku – buku teks kebijakan publik (John W. Kingdon
menggunakan isitlah “participants”untuk badan – badan atau orang –
orang yang terlibat dalam proses kebijakan). Sebagimana disebutkan
sebelumnya, kegagalan paradigma textbook pada analisis proses
kebijakan publik karena dianggap terlalu ‘top down’ sehingga melupakan
peran aktor – aktor lainnya. Tapi siapakah aktor – aktor lainnya, selain
pembuat kebijakan, yang dianggap mampu mempengaruhi proses
implementasinya ? Secara umum aktor – aktor atau yang terlibat dalam
proses kebijakan publik dibagi dalam dua katagori besar yakni :
1. Aktor inside government dan
2. Aktor outside government
II.2.1. Aktor Inside Government
Aktor inside government dalam konteks negara kita (yang bisa jadi
berbeda dengan negara – negara lain) meliputi :
1. Eksekutif (Presiden: staf penasihat Presiden: para Menteri, para
Kepala Daerah) yang umumnya merupakan jabatan politis
2. Anggota – anggota dari badan perwakilan rakyat (Legislatif/ DPR &
MPR)
3. Badan dan orang – orang Yudikatif secara parsial
4. Birokrasi dari Sekwilda, kepala Kanwil sampai level terbawah
(misalnya: petugas Trantip sebagai street level bureaucrat) yang
II.2.2. Aktor Outside Government:
1. Kelompok – kelompok kepentingan (interest groups) yang bisa
berwujud LSM (NGO): Kelompok/ ikatan professional, kelompok
bisnis, perserikatan buruh, bahkan organisasi atau lembaga
keagamaan (NU: Muhammadiyah: FPI, dll)
2. Akademisi, Peneliti dan Konsultan, pihak swasta (perush yg
memberikan layanan sesuai permintaan pemerintah)
3. Politisi
4. Media massa
5. Opini public
6. Kelompok Sasaran Kebijakan (beneficiaries)
7. Lembaga-lembaga Donor (diantaranya adalah Bank Dunia; IMF;
yang di Indonesia cukup berpengaruh dalam menentukan kebijakan
dan implementasinya).
II.2.2. Lokus Peran Aktor dalam Proses Kebijakan
Pada tahap mana atau pada fungsi apa dan bagaimana mereka
berperan ? Merujuk pada siklus kebijakan, maka peran – peran mereka
kurang lebih dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Tahap Identifikasi masalah menjadi Agenda kebijakan :
a. Untuk kebijakan – kebijakan pembangunan yang rutin dan sudah
terprogramkan melalui GBHN atau repelita, maka peran inside
government, khususnya birokrat dalam tahap atau fungsi
identifikasi masalah biasanya lebih besar. Hal ini disebabkan
permasalahan dibanding pejabat – pejabat politis. Meski pada saat
penyusunan GBHN tentu saja peran aktor legislative lebih menonjol,
juga aktor outside government terutama kelompok kepentingan dan
kalangan akademisi. Tingkat konflik dalam memperebutkan jakan
menjadi agenda kebijakan biasanya rendah.
b. Untuk kebijakan – kebijakan situasional yang harus diambil
untuk mersepon kondisi – kondisi social yang terjadi atau isu – isu
social yang hangat maka peran outside government sangat besar.
Contoh isu – isu social yang berhasil menjadi agenda (bahkan
kebijakan publik) misalnya beberapa paket kebijakan di bidang
perekonomian saat negara kita mengalami krisis ekonomi tahun
1997, Undang – undang anti teroris, kebijakan otonomi daerah,
Undang – undang anti kekerasan dalam rumah tangga, bahkan
kebijakan khusus pembangunan kembali Aceh Darussalam paska
badai Tsunami, sampai rencana undang – undang pornografi dan
pornoaksi, dll.
Aktor – aktor dari berbagai kelompok kepentingan yang terkait pada
permasalahan kebijakan politisi non legislative, media massa, opini
publik, akademisi, dll saling bersaing untuk memasukkan
kepentingannya menjadi agenda pemerintah. Pada proses agenda
setting kebijakan yang dihasilkan seringkali jauh dari sempurna baik
karena tekanan waktu maupun karena informasi yang tidak lengkap.
Akibatnya pada proses implementasinya resiko kegagalan bisa lebih
besar dibanding pengimplementasian kebijakan – kebijakan rutin
2. Tahap Formulasi Kebijakan
a. Pada tahap inisiasi formulasi kebijakan aktor – aktor yang banyak
berperan adalah eksekutif dan birokrat. Permasalahan yang berhasil
menjadi agenda kebijakan pemerintah, biasanya diolah dulu oleh
eksekutif (Presiden beserta staf penasehat dan menteri – menteri)
serta jajaran birokrat level atas menjadi rancangan UU, Perpu,
Program dsb. Untuk kebijakan yang menjadi wewenang daerah
otonom yang berperan tentu saja Kepala Daerah beserta Stafnya).
b. Pada tahap legislasi kebijakan maka yang paling berperan adalah
aktor – aktor dari badan legislative, karena rancangan atau proposal
program (berikut rencana anggarannya) harus mendapatkan
persetujuan aktor – aktor legislative sebelum dapat dijalankan.
Revisi, reinterpretasi atas proposal yang diajukan pemerintah
sangat mungkin terjadi pada tahap ini. Partai – partai politik (melalui
wakil – wakilnya) saling berebut pengaruh. Kompromi, koalisi,
negosiasi dan advokasi juga terjadi dalam proses ini.
Advokasi pada proses hearing (dengar pendapat) juga melibatkan
peran aktor dari badan eksekutif dan birokrat, serta aktor Outside
Government yang terkait dengan permasalahan. Tingkat konflkik
yang terajdi dalam tahap ini cenderung lebih tinggi dibandingkan
pada tahap – tahap lainnya. Contoh kebijakan yang alot dalam
proses legislasi ini (yang bahkan sampai tulisan ini dibuat belum
juga lolos) adalah Undang – undang anti Pornoaksi dan Pornografi.
Pada tahap ini aktor yang paling berperan tentu saja para birokrat dari
semua level. Namun demikian juga terdapat peran aktor – aktor inside
government lainnya (misalnya dari kepolisian dan badan Yudikatif)
serta aktor – aktor outside government (misalnya LSM, peneliti dan
bahkan para konsultan) pada implementasi – implementasi kebijakan
yang sesuai.
a. Pada kebijakan yang bersifat top-down, program – program yang
harus diimplementasikan biasanya bersifat multi dan lintas sektoral,
sehingga makin banyak pula aktor yang terlibat. Semakin banyak
lapisan secara vertical maupun secara horizontal dalam struktur
birokrasi yang terlibat maka akan semakin rentan pula timbul konflik
kepentingan, sementara revisi program tidak mudah dilakukan.
b. Pada kebijakan tingkat daerah (otonom), tujuan kebijakan bisa jadi
gagal tercapai bukan hanya disebabkan kegagalan pada tahap
implementasi, tapi juga karena kebijakan itu sendiri yang jauh dari
sempurna dan seringkali hanya bersifat reaktif pada permasalahan
yang timbul di daerah.
Contoh menarik yang bisa dikaji kasus ini misalnya Perda anti
Prostitusi di Kabupaten Tangerang yang baru – baru ini diberlakukan.
Pada saat mulai diimplementasikan, petugas Trantip (sebagai street
level actors) tanpa pandang bulu menangkap perempuan –
perempuan yang masih berada di jalanan setelah pukul 22.00 WIB.
Akibatnya terjadi banyak salah tangkap. Perempuan baik – baik
yang baru pulang kerja sebagai buruh pabrik shift sore, bahkan ibu
sama dengan wanita Tuna Susila. Kebijakan ini menuai kritik dan
protes keras khususnya dari kaum perempuan yang merasa haknya
dilanggar. Kendati Kepala Daerah yang menelurkan kebijakan ini
bertekad memperbaiki prosedur pengimplementasiannya,
kemungkinan besar tetap tidak akan menuai hasil (output) yang
diharapkan, yakni terbebasnya Kabupaten Tangerang dari prostitusi.
Apalagi bisa mencapai dampak (outcomes) yang disecara tersirat
diinginkan, yakni makin membaiknya moral masyarakat. Akan
semakin buruk jika ternyata kebijakan ini adalah kebijakan artificial
yang dibuat hanya untuk emenangkan simpati golongan tertentu
sebab yang di ‘garuk’ hanya yang tampak di pinggir jalan yang
notabene dari ekonomi lemah, sedang prostitusi yang tersembunyi
di hotel – hotel tidak tersentuh maka dampak yang tak diharapkan
justru akan lebih besar dari dampak yang diharapkan terjadi.
Dalam kerangka system, implementasi adalah proses konversi
(throughput) yang mengubah input (kebijakan, tujuan dan
sarananya) menjadi output dan outcomes. Persepsi, disposisi dan
kapabilitas para implementers akan sangat mempengaruhi
bagaimana suatu program dijalankan. Sangat mungkin terjadi
kebijakan yang sama diinterpretasikan dan diimplementasikan
secara berbeda oleh aktor – aktor pelaksana pada daerah yang
berbeda sehingga hasilnya pun tidak akan sama.
c. Pada Kebijakan yang berasal dari pusat namun pelaksanaan di
daerah diserahkan pada kebijakan masing-masing kepala Daerah,
Kemampuan/kapabilitas, kepentingan, dan persepsi actor daerah
sangat mempengaruhi hasil implementasi. Sebagai contoh
kebijakan otonomi daerah dan kebijakan sumber keuangan daerah
yang ditafsirkan sangat beragam oleh masing-masing daerah
sehingga hasilnya pun sangat beragam. Ada daerah yang menjadi
sangat kaya raya namun kemampuan mengelola pembangunan
daerahnya minim (Kutai Kertanegara, yang sebelum otonomi tak
pernah bajir, setelah otonomi tiap musim penghujan dilanda banjir,
sementara Kepala Daerahnya tersengkut kasus korupsi), dan ada
pula daerah yang minus PAD namun menjadi lebih berkembang
setelah otonomi (Kab. Jembrana di Bali).
4. Tahap evaluasi Kebijakan
Pada tahap evaluasi ini aktor yang secara formal memiliki otoritas
adalah lem,baga legislative. Namun secara emprik di Indonesia proses
evaluasi seringkali dimulai (dan biasanya lebih efektif) dan disuarakan
terlebih dahulu oleh aktor –aktor outside government seperti LSM,
Media massa, opini publik. Hal ini disebabkan belum berfungsinya
lembaga Yudikatif di Indonesia secara optimal sebagai lembaga kontrol.
Bagi negara berkembang seperti Indoensai, banyak program –program
kebijakan yang dananya berupa pinjaman lunak atau bantuan dari Luar
Negeri atau lembaga – lembaga keuangan internasional (negara –
negara G 7, IMF, World Bank), dalam kondisi seperti ini maka penilaian
dan evaluasi dari lembaga – lembaga donor tersebut juga
Evaluasi berarti menilai seberapa jauh program –program yang
dilaksanakan dapat menghasilkan dampak perusahaan (outcomes)
yang diinginkan oleh kebijakan termaksud. Hasil evaluasi biasanya
berwujud justifikasi, rekomendasi atau bahkan terminasi atau
penghentian program/ kebijakan jika dampak yang tak diharapkan
justru yang terjadi.
Contoh kasus: Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah salah satu kebijakan pemerintah tahun 2005 yang dananya diperoleh
dari Program Kompenasai Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM. Outcomes
yang diharapkan adalah membantu meringankan beban biaya
pendidikan yang dikeliarkan orang tua karena nilai penghasilan
menjadi berkurang akibat kekurangan biaya operasional sekolah yang
selama ini menyebabkan terjadinya pungutan/ iuran di luar SPP. Namun
karean instrumen yang dipilih tidak tepat dan petunjuk pelaksanaan
yang tidak jelas, maka yang terjadi adalah output yang tercapai:
Sekolah – sekolah mendapatkan bantuan operasional, sedang
outcomes – pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan
-tidak tercapai. Sekolah – sekolah cenderung menggelembungkan
RAPBSnya sehingga iuran tetap ada dan beban orang tua dalam
pembiayaan pendidikan tetap tidak berkurang, bahkan pada beberapa
kasus malah cenderung bertambah akibat kegiatan yang diajukan oleh
II.2.4. Hubungan Horizontal, Vertikal dan Antar
Lembaga dalam Proses Kebijakan
Dalam konteks implementasi, memberikan perhatian yang cukup
besar pada pola hubungan antar actor ini sangatlah penting, sebab pada
hakekatnya merekalah yang menentukan bagaimana sebuah kebijakan
dilaksanakan. Hubungan horizontal antar actor secara organisasional
dimaknai sebagai hubungan kerja yang memiliki status kewenangan
sederajad. Hubungan ini bisa menjadi masalah manakala struktur
implementasi memiliki hubungan interdependensi dan pola sekuensial
pada pelaksanaan program. Keterlambatan penyelesaian tugas oleh satu
bagian akan berakibat terhambatnya pula kelanjutan pelaksanaan tugas
yang lain. Hubungan horizontal ini jelas membutuhkan koordinasi yang
kuat serta komunikasi yang jelas dan lancar.
Hubungan Vertikal secara organisasional dimaknai sebagai
hubungan kewenangan dan tanggung-jawab antar actor yang berbeda
tingkatannya. Semakin jauh jarak antara pengambil keputusan dengan
pelaksana paling bawah, maka akan semakin besar pula kemungkinan
keterlambatan pengambilan keputusan yang sesuai, semakin besar pula
kemungkinan terjadinya miskomunikasi dan penyimpangan dari tujuan.
Pada kasus-kasus implementasi kebijakan demikian (biasanya yang
bersifat sentralistis) biasanya diperlukan Petunjuk Pelaksanaan dan SOP
yang jelas dan rinci, selain juga pengawasan yang ketat agar
implementasi berjalan sesuai dengan struktur yang telah ditentukan.
Hubungan antar lembaga/instansi secara organisasional dimaknai
masing-masing memiliki tugas dan kewenangan berbeda atas penyelesaian suatu
program. Hubungan actor antar lembaga ini seringkali terdapat pada
kebijakan yang besar dan luas cakupannya, misalnya kebijakan
pengentasan kemiskinan, kebijakan peningkatan ekonomi dan
kebijakan-kebijakan sejenisnya. Hubungan ini tentu saja lebih rumit dan lebih
membutuhkan kerjasama, koordinasi dan komunikasi yang lebih intens,
dan yang merupakan masalah besar di negeri kita, mengingat adanya
arogansi instansi yang menganggap dirinya lebih berwenang dan lebih
penting; terlebih lagi manakala tidak ada rumusan yang tegas yang
mengatur bentuk kerjasama tersebut. Sering terjadi suatu instansi
menahan data yang diperolehnya kendati diperlukan oleh instansi lainnya
dengan alasan bukan wewenang dan kewajibannya memberikan data
tersebut. Akibatnya pekerjaan yang sama dapat dilakukan oleh beberapa
instansi, yang ironisnya kadang memberikan hasil yang berbeda.
Beberapa studi bahkan mengatakan bahwa keberhasilan
implementasi mencapai tujuan kebijakan akan lebih tinggi manakala
peran utama diserahkan pada satu lembaga tunggal yang bersifat
otonom. Desentralisasi implementasi juga menjadi pilihan untuk
meminimalkan kerumitan hubungan yang bersifat horizontal, selain juga
agar implementor dapat menyesuaikannya dengan kebutuhan dan kondisi
lingkungan dimana kebijakan tersebut diterapkan. Studi-studi
implementasi pada decade belakangan juga mengkaji dan mengambil
model dari pendekatan teori komunikasi untuk menstrukturkan pola
II.3. LINGKUNGAN
Tak pelak bahwa kondisi lingkungan akan dapat mempengaruhi hasil
akhir sebuah implementasi kebijakan, meski tidak secara langsung.
Bahwa sebuah kebijakan telah diperhitungkan secara masak dan rasional,
struktur implementasi telah dipersiapkan sebaik mungkin, actor-aktor
pelaksana dan pola komunikasi juga telah persiapkan secara matang,
namun hasil akhir bisa berbeda tergantung pada kondisi lingkungan
dimana kebijakan tersebut diimplementasikan. Perbedaan factor kondisi
lingkungan inilah yang kemudian melahirkan istilah diskresi dalam
implementasi kebijakan public (walau tidak pernah dinyatakan secara
implicit dalam model-model implementasi).
Secara umum factor-faktor kondisi lingkungan yang dipandang
dapat mempengaruhi implementasi kebijakan adalah factor-faktor sistem
politik, sistem ekonomi, dan nilai-nilai sosial budaya yang berlaku.
Faktor-faktor sistem politik/tata pemerintahan misalnya berpengaruh terhadap
bagaimana seharusnya penstrukturan proses implementasi. Ada yang
distrukturkan secara legal formal dan ada yang cenderung lebih
pragmatis. Manakala kontrol publik sangat besar terhadap kinerja
pemerintahan, maka struktur yang legal formal lebih disukai implementor
untuk menghindari klaim public atau sebagai tameng dalam akuntabilitas
public. Oleh karenanya implementasi diterapkan sesuai “textbook” dan
diskresi dihindari. Faktor lingkungan ekonomi misalnya apakah yang
dianut adalah sistem ekonomi pasar, terpimpin, atau campuran, karena
masing-masing sistem akan melahirkan kebijakan dan cara
Diskresi merupakan keleluasaan implementor kebijakan, utamanya
yang berhadapan langsung dengan kelompok sasaran, untuk menafsirkan
dan memilih cara yang mungkin berbeda dengan yang disepakati
sebelumnya, sepanjang tidak keluar dari tujuan utamanya. Namun
kewenangan untuk melakukan diskresi juga harus dilakukan dengan
hati-hati, sebab bisa memerangkap pelakunya dengan “pelanggaran prosedur’
walau dengan tujuan yang mulia, atau bisa juga kewenangan tersebut
disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi. Sementara itu manakala
tingkat kepercayaan public relative tinggi, maka struktur implementasi
bisa bersifat lebih pragmatis sesuai kebutuhan yang ada, sehingga
diskresi bagi para implementor menjadi dimungkinkan. Studi yang
dilakukan oleh F. van Waarden (dalam Hill & Hupe, 165-167) membahas
tentang hal tersebut secara lebih rinci, dan akan sangat bermanfaat
dibaca guna pemahaman lebih lanjut.
RINGKASAN DAN KESIMPULAN
Bab ini membahas mengenai factor-faktor yang mempengaruhi
implementasi yang dielaborasi dari berbagai pendekatan dan teori yang
dihaslkan oleh para akademisi kebijakan. Secara garis besar disimpulkan
bahwa proses dan struktur implementasi dipengaruhi oleh tipe-tipe
kebijakan yang dilaksanakan, karena kebijakan yang berbeda
membutuhkan penstrukturan proses implementasi yang berbeda pula.
Tipe kebijakan tertentu secara substansial memiliki tingkat kesulitan
implementasi lebih tinggi dibanding tipe lainnya, yang karenanya
Struktur implementasi dapat dikatakan sebagai
pengadministrasian proses-proses implementasi yang melibatkan para
actor dan hubungan kerja antar mereka.. Jika Tipe Kebijakan bertindak
sebagai ‘antecedent variables’ (yang mempengaruhi struktur dan proses
implementasi), maka dapat dikatakan bahwa Para aktor pelaksana dan
pola hubungan kerja antar mereka inilah yang berpengaruh langsung
terhadap keberhasilan implementasi. Sedang factor-faktor kondisi
lingkungan dapat dikatakan sebagai ‘intervening variables’ yang
mempengaruhi system dan cara kerja para actor implementasi.
SENARAI
Kebijakan domestik Kebijakan luar negeri
Pertahanan
Kebijakan Distribusi Kebijakan Pengaturan
Persaingan
Kebijakan Pengaturan Perindungan New Policy
Crisis Policy Judicial Policy
Complex Policy Controversial Policy
Aktor-aktor Kebijakan Inside Government Actors
Outside Government Actors Hubungan horizontal
Kewenangan Hubungan Vertikal
Komunikasi Hubungan antar Organisasi
TUGAS – TUGAS MAHASISWA :
Tugas 1. Cari satu contoh untuk masing – masing tipe kebijakan menurut
Randal P. Ripley dan menurut George Edwards III dan berikan alasan
mengapa kebijakan tersebut bisa lebih sulit diimplementasikan
dibanding tipe lainnya.
Tugas 2. Pilih sebuah kebijakan yang anda minati, tentukan tipe kebijakan
tersebut, kemungkinan-kemungkinan pengaruhnya terhadap
struktur implementasi beserta alasan logisnya.
Tugas 3. Dari kasus Kebijakan yang sama, tentukan aktor – aktor inside
government dan outside government yang terlibat dalam
keseluruhan proses implementasi tersebut, beserta pola hubungan
kerja antar mereka.
Tugas 4. Dari kebijakan yang anda pilih tersebut, tentukan factor
lingkungan apa saja yang berpengaruh terhadap proses
implementasi, beserta alasan logisnya.
Tugas 5. Selanjutnya diskusikan bagaimana kemungkinan
pengimplementasiannya. Faktor-faktor apa yang dapat menjadi
penghambat dan pendukung dalam keberhasilan implementasinya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Randall B. Ripley, Policy Analysis in Political Science, Nelson Hall, Chicago, 1985
2. Randall B. Ripley & Grace A. Franklin, Bureaucracy and Policy Implementation; Dorsey Press: Homewood III, 1982
4. Michael Hill & Peter Hupe, Implementing Public Policy: Governance in Theory and Practice, Sage Publication, London,
2002.
5. Riant Nugroho, Public Policy, Elekmedia Komputindo, Jakarta; 2008
6. Grindle, Merilee S., (ed.), Politics and Policy Implementation in The Third World: Baltimore : John Hopkins university Press, 1980
7. Arnold J. Meltsner, Policy Analysist in the Bureaucracy, University of California Press, 1976
8. Donald S. van Meter & Carl E. van Horn, The Policy Implementation Process, Administration & Soiaty Juornal, 1975.
9. Eugene Bardach, The Implementation Game- What Happens After a Bill Becomes a Law, MIT Press, 1978