BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik dengan
konsisten di atas 140/90 mmHG. Diagnosis hipertensi tidak berdasarkan pada
peningkatan tekanan darah yang sekali. Tekanan darah harus diukur dalam posisi
duduk dan berbaring (Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2008)
Hipertensi adalah keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar
dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang
(Depkes, 2007).
Jadi, dapat disimpulakn bahwa Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah
sistolik lebih dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan selang waktu 5 menit diukur dalam posisi duduk atau berbaring
dan pasien dalam keadaan tenang.
Menurut Baradero dkk., (2008) dan Vitahealt (2009) hipertensi dapat diklasifikasikan
[image:1.595.134.462.617.745.2]dalam beberapa stadium yaitu :
Tabel 2.1 Stadium Hipertensi Baradero., (2008) dan Vitahealth (2009)
Stadium Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Paling baik
(optimal)
< 120 < 80
Normal 120-130 80-85
Normal tinggi 130-140 85-90
Stadium 1 140-160 90-100
Stadium 2 160-180 100-110
2.1.2 Tanda Gejala dan Gambaran Klinis Hipertensi
Gambaran klinis hipertensi biasanya asimtomatis, sampai kerusakan
organ-organ tertentu (Silent Killer) (Baradero dkk., 2008). Kenaikan tekanan darah baru
diketahui sewaktu pemeriksaan skrining kesehatan. Gejala umum hipertensi (sakit
kepala, pusing, tinitus, dan pingsan) hampir sama dengan kebanyakan orang
normotensi (Gray, et al, 2005). Namun, sebagain besar nyeri kepala pada hipertensi
ternyata tidak berhubungan dengan tekandan darah. Fase hipertensi yang berbahaya
bisa ditandai oleh nyeri kepala dan hilangnya penglihatan (papiledema) (Gray, et al,
2005 & Davy, 2006).
2.1.3 Faktor Resiko dan Etiologi
Berdasarkan Etiologinya, hipertensi dibagi menjadi dua macam, yaitu
hipertensi esensial (primer) dan hipertensi skunder. (Baradero dkk., 2008).
a. Hipertensi Esensial (Primer)
Sembilan puluh liam persen dari semua kasus hipertensi adalah primer
(Esensial). Tidak ada penyebab yang jelas tentang hipertensi primer, meskipun
ada beberapa teori yang menunjukkan adanya faktor-faktor genetik, perubahan
hormon, dan perubahan simpatis yang berhubungan dengan hipertensi. (Baradero,
Dayrit, & Siswadi, 2008).
Grey, et al (2005) menyebutkan hipertensi dapat disebabkan oleh bebrapa
faktor yaitu :
1. keturunan
sekitar 70-80% penderita hipertensi esensial ditemukan riwayat hipertensi di
dalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua,
Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita yang monozigot (satu telur)
apabila salah satunya menderita hipertensi. Dugaan ini menyokong bahwa
faktor genetik mempunyai peran terjadinya hipertensi.
2. Jenis kelamin
Hipertensi lebih mudah menyerang kaum laki-laki daripada perempuan. Hal
ini karena laki-laki banyak memiliki faktor pendoerong terjadinya hipertensi,
seperti stres, kelelahan, merokok, dan makan tidak terkontrol. Adapun pada
perempuan peningkatan risiko terjadi setelah masa menopose (sekitar 45
tahun).
3. Umur
Pada umumnya, hipertensi menyerang pria di atas 31 tahun, sedangkan pada
wanita terjadi setelah umur 45 tahun. Tekanan darah akan meningkat seiring
dengan bertambahnya umur seseorang. Ini disebabkan karena dengan
bertambahnya umur, dinding pembuluh darah mengalami perubahan struktur
dan fungsi. Jumlah sel otot polos berkurang dan elasitas berkurang sehingga
tahanan tepi meningkat yang dapat menyebabkan jantung bekerja lebih untuk
memompa darah yang berakibat peningkatan pembuluh dara (Grey, et al 2005).
Insiden hipertensi meningkat dengan bertambahnya uisa. Prevalensi
hipertensi ringan sebesar 2% pada usia 25 tahun atau kurang, meningkat
menjadi 25% pada usia 50 tahun dan 50% pada usai 70 tahun (Davy, 2006).
4. Obesitas
Berdasarkan penelitian, kegemukan merupakan ciri khas dari populasi
hipertensi. Obesitas sangat berperan terhadap kejadian penyakti tidak menular
5. Konsumsi garam berlebih.
Garam mempunyai sifat menahan air. Konsumsi garam berlebihan dengan
sendirinya akan menaikkan tekanan darah (Grey et al, 2005). Garam yang
mempunyai fungsi sebagai osmolalitas plasma berperan penting terhadap
hemodinamik darah (Corwin, 2009). Secara fisiologis jika kadar garam dalam
tubuh berlebih, maka tubuh akan mengeluarkannya melalui urin atau keringat,
namun hal ini tida terjadi pada pasien hipertensi, tubuh tidak mamu
mengeluarkan kelebihan garam dalam tubuh, sehingga volme retensi cairan
meningkat dan berakibat pada kenaikan tekanan darah (Soenardi &Soetarjo,
2005).
6. Kurang Olahraga
Olahraga seperti bersepeda, jogging, dan aerobik yang teratur dapat
memperlancar peredaran darah sehingga dapat menurunkan tekanan darah.
Orang yang kurang aktif berolah raga pada umunya cenderung mengalami
kegemukan. Degnan berolah raga akan mencegah obesitas, serta mengurangi
asupan garam, dengan mengeluarkannya dari tubuh bersama keringat.
7. Merokok dan konsumsi alkohol
Hipertensi juga dirangsang oleh adanya nikotin dalam batang rokok yang
dihisap seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nikotin dapat
meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah. Selain itu, nikotin
juga dapat menyebabkan terjadinya pengapuran pada dinding pembuluh darah.
Efek dari konsumsi alkohol juga merangsang hipertensi karena adanya
peningkatan sintesis katekolamin yang dalam jumlah besar dapat memicu
b. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder diakibatkan oleh penyakit atau gangguan tertentu seperti:
a. Penyakit ginjal (glomerunefrotis, gagal ginjal)
b. Masalah kelenjar adrenal
sindrom Cushing yang menyebabkan peningkatan volume darah.
Aldosteronisme primer yaitu kelebihan aldosteron yang menyebakan retensi natrium dan air, sehingga menyebabkan volume darah
meningkat.
Fenokromositoma menyebabkan sekresi berlebihan dari kateklamin (noreprinefrin yang membuat tahanan vaskular perifer meningkat)
c. Koartasi aorta yaitu tekanan darah meningkat pada ekstremitas atas dan
berkurangnya perfusi pada ekstremitas bawah,
d. Trauma kepala atau tumor kranial yang meningkatkan tekanan intrakranial
sehingga mengakibatkan perfusi serebral berkurang; iskemia yang timbul akan
merangsang pusat vasometer medula untuk meningkatkan tekanan darah.
e. Obat-obatan
f. Hipertensi dalam kehamilan
Merupakan peningkatan tekanan darah saat kehamilan(Baradero,
Dayrit, & Siswadi, 2008).
2.1.3 Patofisiologi
(Corwin, 2009) Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi
pembuluh darah terletak di Pusat kardiovaskular di otak, yaitu bagian dari
farmasioretikularis dan terletak di medula bagain bawah dan posn. Sinyal-sinyal yang
tekanan darah, puat kardiovaskular mengaktifkan sistem saraf otonom, sehingga
terjadi perubahan stimulasi simpatis dan parasimpatis ke jantung, dan terjadi
perubahan stimulasi simpatis ke seluruh sistem vaskular. Resistensi pembuluh darah
berubah dan aliran darah serta tekanan darah juga terpengaruh.
Saraf simpatis merangsang kecepatan denyut dan kontraktilitas jantung
melalui ikatan dengan reseptor- β1 di jantung. Saraf parasimpatas menurunkan
kecepatan denyut jantung melalui ikatan dengan reseptor kolinergik. Saraf simpatis
mengeluarkan norepinefrin di sebagian besar pembuluh darah, yang berikatan dengan
reseptor spesifik di sel-sel otot polos yang disebut reseptor alfa (α). Perangsangan
reseptor alfa menyebabkan sel otot polos berkontraksi, sehingga pembuluh darah
mengalami penyempitan. Hal ini meningkatkan TPR dan akibatnya tekanan darah
meningkat.
Terdapat beberapa hormon yang mengendalikan resistensi sistem vaskular.
Hormon-hormon ini dilepaskan secara langsung sebagai respon terhadap perubahan
tekanan darah, dan sebagai respon terhadap rangsangan saraf atau keduanya (Corwin,
2009).
a. Norepinefrin dan epinefrin
Norepinefrin dan Epinefrin dikeluarkan dari medula adrenal sebagai reson
terhadap pengaktifan sistem saraf simpatis. Kedua zat tersebut bekerja dengan
berikatan pada reseptor α untuk meningkatkan vasokontriksi, atau dengan reseptor β2
untuk menyebabkan vasodilatasi atriol yang memperdarahi otot rangka. Norepinefrin
dan epinefrin juga berikatan dengan reseptor β1 dan meningkatkan kecepatan denyut
jantung.
Perubahan tekanan darah juga dirasakan oleh baroreseptor di ginjal. Apabila
tekanan darah meningkat, pelepasan hormon renin menurun. Apabila tekanan darah
menurun, pelepasan renin meningkat. Pelepasan renin juga dirangsang oleh saraf
simpatis ke ginjal. Renin mengendalikan pembentukan hormon lain, yaitu angiotensin
II.
Angiotensin II merupakan suatu vasokontriktor kuat yang terutama
menyebabkan vasokontriksi ateriol halus. Hal ini menyebabkan peningkatan retensi
terhadap aliran darah dan peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah.
Angiotensin II juga bersrkulasi menuju kelenjar adrenal dan menyebabkan sel korkes
adrenal membentuk hormon lain, yaitu aldosteron. c. Aldosteron
Aldosteron bersirkulasi dalam darah menuju ginjal dan menyebabkan sela tubulus
distal meningkatkan reabsorbsi natrium dalam berbagai keadaan, reabsorbsi air
mengikuti penyerapakn natrium sehingga terjadi peningkatan volume plasma.
Peningkatan voume plasma meningkatkan volume sekuncup dan curah jantung. Hal
ini juga menyebabkan peningkatan tekanan darah. d. Hormon Antidiuretik (ADH)
Hormon anti diuretik (ADH) atau vasopresin, dikeluarkan oleh hipofisi posterior
sebagai respon terhadap peningkatan osmolitas plasama (penurunan konsentrasi air)
atau penurunan tekanan darah.
ADH adalah suatu vasokonstrikor kuat yang berpotensi meningkatkan tekanan darah
Gambat 2.1 Sistem RAA (Sherwood, 2012.)
Brashers (2008), hipertensi esensial melibatkan interaksi yang sangat rumit antara
faktor genetik dan lingkungan yang dihubungkan oleh pejamu mediator
nuro-hormonal. Secara umum disebabkan oleh peningkatan tahanan perifer dan/atau
peningkatan volume darah.
Brasher (2008) menyebutkan teori terkini mengenai hipertensi primer meliputi :
a. peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis (SNS)
respon maladaptif terhadap stimulus saraf simpatis
perubahan gen pada reseptor ditambah kadar katekolamin serum yang menetap.
b. Peningkatan aktivitas sistem renin angiotensin –aldosterion (RAA)
Produksi renin antara lain dipengaruhi oleh stimulus syaraf simpatis. Renin
berperan pada proses konversi angiotensin I menjadi angiotensi II yang
mempunyai efek vasokontriksi. Dengan adanya angiotensin II sekresi aldosteron
meningkat menyebabakan retensi garam Natrium dan Air (Soenardi, &Soetardjo,
Secara langsung menyebabkan vasokontriksi tetapi juga meningkatan aktivitas SNS dan menurunkan kadar prostaglandin vasodilator dan oksitosin
nitrat.
Memediasi remodeling arteri (perubahan strukur pada dinding pembuluh darah), dan
Memediasi kerusakan organ akhir pada jantung (hipertrofi), pembuluh darah
dan ginjal
c. Defek pada transport garam dan air.
Gangguan aktivitas pada natriuretik otak (brain natriuretik peptide, BNF), pada atrial (atrial natriuretik peptide, ANF), adrenomedulin, urodilatin, dan
endotelin.
Berhubungan dengan asupan diet kalsium, magnesium, dan kalium rendah. d. Interaksi kompleks yang melibatkan resistensi insulin dan fungsi endotel.
Hipertensi sering terjadi pada penderita diabetes, dan resistensi insulin sitemukan pada banyak pasien hipertensi yang tidak memiliki diabetes
klinis.
Resistensi insulin berhubungan dengan penurunan pelepasan endotelial oksida nirat dan vasodilator lain serta mempengaruhi fungsi ginjal.
[image:9.595.87.527.197.816.2] Resistensi insulin yang tinggi meningkatkan aktivitas SNS dan RAA (Brashers 2008).
2.1.4 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat diakibatkan oleh hipertensi adalah :
Hipertensi dapat menyebabkan dua jenis stroke, yaitu stroke iskemik dan
hemoragik. Jenis stroke yang paling sering (sekitar 80 %) adalah stroke
iskemik (Williasms, 2007). Stroke Iskemik terjadi karena pembuluh arteri
tersumbat plak yang timbul karena tekanan darah tinggi ataupun penumpukan
lemak. Seorang pria yang menderita tekanan darah di atas 170/100 mmHg,
memiliki resiko stroke 3:1 dibandingkan wanita. Tekanan darah diastol di atas
100 mmHg akan meningkatakan risiko stroke 2,5 kali (marliani & Tantan,
2007).
2. Penyakit Jantung
Penyakit ini terjadi akibat dari pembesaran oto jantung kiri sehingga mengalami
gagal Jantung. Pembesaran oto jantung terjadi akibat upaya keras jantung untuk
memompa darah (Jangkaru, 2006).
3. Gagal Ginjal
Kerusakan pada ginjal diakibatkan oleh rusaknya pembuluh darah di ginjal
karena tingginya tekanan darah sehngga penurunan fungsi ginjal jika terus
menuerus berdampak pada gagal ginjal (Jangkaru, 2006).
4. Kerusakan pada Mata
Pembuluh darah pada mata termasuk pembuluh darah yang lunak dan resisten,
jika terjadi tekanan darah yang tinggi mengakibatkan kerusakan pembuluh darah
dan saraf pada mata sehingga penglihatan terganggu (Jangkaru, 2006).
2.1. 5 Pencegahan Hipertensi
Ramayulis ( 2010) menyebutkan, tindakan yang dapat dilakukan dalam upaya
1. Mengurangi atau membatasi makanan yang mengandung lemak kolestrol tinggi,
makan berminyak, santan, goreng-gorengan. Mengonsumsi makanan berserat
tinggi, seperti buah-buahan dan sayur-sayuran.
2. Penurunan berat badan
Hubungan hipertensi dengan berat badan lebih sangat kuat. Makin besar masa
tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk menyampaikan oksigen dan
makanan ke jaringan tubuh, artinay, volume darah yang berear di pembuluh darah
bertemabah sehingga memberi tekanan yang lebih besar pada dinding pembuluh
darah dan arteri.
Pasien hipetensi dengan berat badan berlebih akan mengalami penurunan
tekanan darah saat penurunan berat badannya mencapai 4,5 kg dan penurunan
tekanan arah terbesar saat penurunan berat badan mencapai 12 kg. Penelitian
menjelaskan bahwa penderita hipertensi yang melakukan penurunan berat badan
tidak memerlukan pengobatan hingga 4-6 bulan.
Penelitian lain menunjukkan bahwa tumpukan lemak di perut berhubungan
dengan risiko hipertensi. selain itu, kelebihan lemak di baigan atas tubuh juga
berisiki terhada dislipidemia, diabetes, dan peningkatan angaka kematian pada
pesien penyakti jantung koroner. Tidak hanya tumpukan lemak di perut dan
bagaian atas tubuh, lingkaran pinggang juga menjadi faktor risiko, yaitu bagi yan
gmempunyai lingkaran pinggang > 86 cm pada wanita dan > 99 cm pada pria
(Ramayulis, 2010).
3. Olah raga (latihan aerobik teratur untuk mencapai kebugaran fisik).
Pada tahun 1993, American Colledge of Sport medicine (ACMS)
cukup (30-40 menit atau lebih) sebanyak 3-4 hari perminggu, dapat menurunkan
tekanan darah sebanyak 10 mmHg pada bacaan sistolik dan diastolik. Olahraga
secara teratur selain dapat mengurangi stres, juga dapat menurunkan berat badan,
membakar lebih banyak lemak di dalam darah, dan memperkuat otot-otot jantung
(Vitahealt, 2009).
4. Pembatasan Asupan Lemak Jenuh
Konsumsi lemak berlebihan dapat meningkatkan kejadian hipetensi, terutama
pada asupan lemak jenuh dan kolestrol. Terdapat dua mekanisme yang dapat
menjelaskan hubungan asupan lemak dengan hipetensi, yaitu sebagai berikut :
a. Asupan lemak berlebihan dapat meningkatkan berat badan. Semakin besar
masa tubuh maka semakin banyak darah yang dibutukan untuk menyampaikan
oksigen dan zat gizi ke jaringan tubuh.
b. Asupan lemak jenuh berlebihan mengakibatkan kadar lemak dalam tubuh
meningkat, terutama kolestrol. Kolestrol yang berlebih akan menumpuk pada
dinding pembuluh darah yang mengakibatkan penyumbatan aliran darah yang
mengakibatkan peningkatan tekanan darah.
Asupan lemak yang di anjurakan adalah 27% dari total energi dan 6% adalah
jenis lemak jenuh, dan kebutuhan kolestrol yang dianjurakan yaitu < 300 mg
per hari (Ramayulis, 2010).
5. Diet rendah garam (sasaran < 5 gram per hari)
Hasil penelitian epidemiologi dengan rancangan kontrol acak menjelaskan
bahwa individu yang berusia > 45 tahun dengan konsumsi rendah natrium akan
mengalami penurunan tekanan darah 2,2-6,3 mmHg.
6. Keseimbangan kalium/ Potasium
Kecukupan asupan kalium dapat memlihara tekanan darah dan membuat
mengalami defisiensi kalium, maka akan menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan darah. Asupan kalium yang dianjurkan sebesar > 3500 mg/hari.
Komite nasional pengobatan hipertensi menganjurakn beberapa hal berikut
mengenai konsumsi kalium dna potasium.
Konsumsi potasium di plasma harus dipelihara dengan mengonsumsi makanan sumber potasium seperti buah-buahan segar dan sayuran.
Jika penderita hipertensi mengalami hipokalemia (rendah kalium dalam darah) selama menjalani terapi diuretik maka dibutuhkan suplementasi
potasium.
Kalium terdapat disemua makanan yang berasal dari tumbuhan dan hewan.
Sumber utamanya adalah makanan mentah dan segar, terutama buah dan
sayuran serta kacang-kacangan.
Berikut ini nama bahan makanan yang tinggi kalium diurutkan mulai
kandungna tertingigi per penukarnya : kentang, bayam, jambu monyet, jambu
biji, singkong, kacang kedelai, pisang, durian, kacang merah, kacang hijau,
selada, wortel, tomat, pepaya, kelapa, jeruk manis, semangka, alpukat, nasi,
manggam nanasm kacang tanah, dan anggur (Ramayulis, 2010).
7. Keseimbangan Kalsium
Pada kebanyakan penelitan epidemologi, aa hubungan terbalik antara asupan
kalsium dengan tekanan darah. Peningkatan asupan kalsium dapat menurunkan
tekanan darah.
Berdasarkan angka kecukupan gizi 2004 bagi orang Indonesia, kecukupan
kalsium yang dianjurkan adalah 800 mg untuk wanita dan laki-laki usia 19-49
tahun, 1000 mg untuk wanita dan laki-laki usia 50 tahun ke atas dan 1150 mg
Makanan sumber kaslium utama adalah susu dan hasil olahanya seperti keju,
ikan, kacang-kacangan dan sayuran hijau. Pada pasien hipertensi, pengunaan susu
yang sudah dikalengakan atau dikemas, keju, dan ikan teri asin sebagai sumber
kalsium tidak dianjurakan. Namun pasien hipertensi dapat mengonsumsi susu
segar yang belum diawetkan. Selain itu, penggunaan ikan teri asin dapat diganti
dengan ikan teri tawar (Ramayulis, 2010).
8. Keseimbagan magnesium
Beberapa penelitan menunjukkan bahwa ada hubungan antara asupan
magnesium yang renadah dengan tekanan darah yang tinggi. Namun, komite
nasional tidak menganjurkan mengonsumsi magnesium dalam jumlah yang tinggi
sebagai upaya penurunan tekanan darah. Asupan magnesium yang dianjurakan >
200-500 mg per hari.
Kekurangan asupan magnesium dapat menyebabkan kejang pada pembuluh
darah arteri. Hal ini berkaitan dengan kenaikan tekanan darah dan sensitivitas
terhadap natrium (Ramayulis, 2010).
9. Berhenti merokok
Menghisap rokok berarti menghisap nikotin dan karbon monoksida. Nikotin
akan masuk ke dalam aliran darah dan segera mencapai otak. Otak akan memberi
sinyak kepada kelenjar untuk melepas hormon adrenalin. Hormon adernalin akan
menyempitakn pembuluh darah sehingga terjadi tekanan yang lebih tinggi. Gas
karbon monoksida dapat menyebabkan pembuluh darah tegang dan kondisi kejang
otot sehingga tekanan darah pun naik.
Merokok 2 batang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah sitolik dan
diastolik sebesar 10 mmHg. Peningkatan tekanan darah akan menetap hingga 30
tekanan darah pun menurun perlahan. Namun pada perokok berat, tekanan darah
akan selalu berada pada level tertinggi (Ramayulis, 2010).
10. Manajemen Stres
Stres adalah respon alami dari tubuh dan jiwa seseorang mengalami tekanan
dari lingkungan. Stres yang berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan
kekhawatiran terus-menerus. Akibatnya, tubuh akan melepaskan hormon adrenalin
dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan lebih kuat sehingga tekanan darah
akan meningkat.
Saat stres datang, manajemen stres seperti melakukan latihan pernapasan,
yoga, meditasi, dan distraksi sangat dibutuhakan untuk membuat tubuh rileks
(Ramayulis, 2010).
11. Berhenti Konsumsi Alkohol
Efek dari konsumsi alkohol dapat merangsang hipertensi karena adanya
peningkatan sintesis katekolamin yang dalam jumlah besar dapat memicu kenaikan
tekanan darah (Grey et al, 2005).
Baradero, Dayrit, & Siswadi (2008) menyebutkan terapi yang dapat dilakukan
untuk pasien hipertensi dilakukan berdasarkan stadium hipertensi dan faktor risiko.
[image:17.595.91.528.213.497.2]yaitu sebagai berikut :
Tabel 1. Terapi Hipertensi Berdasarkan Stadium Hipertensi Dan Faktor Risiko Tahap tekanan
darah (mmHg)
Risiko Kelompok A
(tanpa faktor risiko,
tanpa TOD/CCD)1
Risiko kelompok
B (paling tidak 1
faktro risiko tidak
termasuk diabetes
tanpa TOD/CCD)
Risiko Kelompok C
(TOD/CCD
dan/atau tanpa
faktor risiko lain)
Normal tinggi
(130-139/85-89)
Modifikasi gaya hidup Modifikasi gaya
hidup
Terapi obat2
Tahap 1
(140-159/90-99)
Modifikasi gaya hidup3
(sampai 12 bulan)
Modifikasi gaya
hidup (sampai 6
bulan)
Terapi obat
Tahap 2 dan 3
(> 160/ > 110)
Terapi obat Terapi Obat Terapi Obat
Keterangan :
Modifikasi gaya hidup harus menjadi terapi tambahan pada semua pasien yang dianjurkan mendapatkan farmakologis.
1TOD/CCD : menunjukkan penyakit organ sasaran/penyakit kardiovskular klinis. 2Untuk penderita gagal jantung, insufisiensi finjal, atau diabetes
3Untuk penderita yang memiliki risiko ganda, dokter harus mempertimbangkan obat sebagai terapi awal ditambah modifikasi gaya hidup.
(Dari The Sixth Report of the Joint National Committee on Prevention, detection, Evaluation, and Treatmnet of High Blood Pressure. (1997). Archieves of internal Medicine 157, 2420 ).
Baradero, Dayrit, & Siswadi (2008) menyebutkan, prinsip Farmakologis untuk pasien
Terapi farmakologis ditujukan untuk pasien yang telah gagal dengan terapi modifikasi gaya hidup saja, mengalami hipertensi tahap 2 atau 3, mengalami kerusakan pada
organ sasaran, atau memiliki faktor risiko kardiovaskular lain yang bermakna.
Prinsi secra umum adalah menyesuaikan pilihan obat antihi pertensi sesuai keadaan pasien.
JNC (Joint National Committe) VI tetap merekomendasikan diuretik atau penyekat –β
(β-bloker) sebagai obat garis pertama untuk hipertensi tanpa komplikasi.
Terdapat obat baru yang dikenal sebagai reseptor angiotensin II (ACE Angiotensin Converting Enzyme)
Setelah keberhasilan tercapai, terutama setelah modifikasi gaya hidup yanng bermakna, pengurangan obat secara bertahap.
Garam adalah senyawa ionik sederhana berbentuk padatan rapuh dengan titik
leleh 801 0C, terdiri dari unsur natrium dan klorida (NaCl), yaitu bahan kimia yang
berfungsi sebagai pemberi rasa asin (He and MacGregor 2010).
2.2 Manfaat Garam
2.2.1 Manfaat garam bagi Tubuh
Garam dapur terdiri atas Ion Natrium dan Klorida (NaCl), yang merupakan
elektrolit penting dalam tubuh. Elektrolit berperan untuk mempertahankan
keseimbangan asam basa dan volume cairan tubuh.
a. Natrium
Natrium merupakan kation penting dalam ekstraseluler. Sebagai ion
ekstraseluler utama di tubuh, natrium berperan pada penting dalam mengontrol
osmolalitas cairan ekstraseluler (Asmadi 2008 & Corwin 2009).
Natrium sebagian besar (98 %) direabsorbsi oleh ginjal pada tubulus renalis
yang disesuaikan oleh kebutuhan tubuh (Asmadi 2008 & Corwin 2009), yang
bergantung pada ada atau tidaknya hormon aldosteron. Rangsangan yang
ditimbulkan oleh hormon angiotensi II memicu korteks adrenal mensekresikan
aldosteron, yang berfungsi untuk meningkatkan reabsorbsi natrium (Corwin,
2009).
Konsentrasi normal dari natirum adalah sekitar 138-145 mEq/L. Bila natrium
hilang dari cairan tubuh, maka cairan menjadi hipotonis. Kehilangan natrium
dari kompartemen intravaskuler dapat menyebabkan cairan dari darah berdifusi
ke ruangan interstitial, yang dapat menyebabkan shock dan koma (Asmadi
2008) .
Berikut adalah fungsi natrium (Ramayulis 2010):
2. Berperan penting dalam menjaga keseimbagan osmolalitas plasma.
3. Memelihara potensial membran dan konduksi saraf
4. Berperan dalam tranmisi neurokimia dan neuromuskular yang
mempengaruhi fungsi otot, irama dan kontraktilitas jantung
b. Klorida
Klorida merupakan anion utama dalam cairan ekstrasel. Jumlah klorida pada
orang dewasa normal sekitar 30 mEq per kilogram berat badan. Sekitar 88% klorida
berada dalam cairan ekstraseluler dan 12% dalam cairan intrasel. Konsentrasi
klorida pada bayi lebih tinggi dibandingkan pada anak-anak dan dewasa. Klorida
berperan penting dalam menjaga keseimbangna asam dan basa (Klutts and Scott
2006). Sebagai anion utama dalam cairan ektra seluler, klorida juga berperan dalam
memelihara cairan dan elektrolit. Klor akan bergerak secara bebas melintasi
membran sel dan berasosiasi dengan natrium atau kalium (Almatsier, 2009).
2.2.2 Manfaat Garam dalam Kehidupan
Garam memiliki rasa asin yang digunakan sebagai penyedap rasa dalam
masakan. Selan itu, garam juga dimanfaatkan sebagai bahan pengawet makanan
(Caldwell, et al, 2004).
2.3 Angka Kebutuhan garam
Ramayulis (2010), Kecukupan natrium yang dianjurkan dalam sehari + 2400
mg. 2000 mg dipenuhi dari penggunaan garam dapur sebagai pemberi rasa pada
masakan dan 400 mg natrium terkandung dalam bahan makanan yang digunakan. 1
gram garam dapur mengandung 387,6 mg natrium. Oleh karena itu dianjurkan
pembatasan natrium yang terdapat dalam garam dapur, perlu dibatasi juga natrium
yang terdapat dalam kue, baking powder, dan natrium benzoat.
Makanan yang mengandung natrium tinggi yaitu sebagai berikut :
Sumber karbohidrat dari roti, biskuit, serta kue-kue yang dimasak dengan garam dapur dan/atau baking powder, dan soda.
Sumber protein hewani dari otak, ginjal, lidah, sardin, daging, ikan, susu, dan telur yang diawetkan dengan garam dapur seperti daging asap,
dendeng, keju ikan asin, ikan kaleng, kornet, ebi, udang kering, telur asin,
dan telur pindang.
Sumber protein nabati dari keju, kacang-kacangan dan hasilnya yang dimasak dengan garam dapur dan natrium lain.
Sayuran yang dimasak dan diawetkan dengan garam dapur dan ikatan natrium lainya seperti sayuran dalam kaleng, sawi asin, asinan, dan acar.
Buah-buahan yang diawetkan dengan garam dapur dan ikatan natrium lainya seperti buah kaleng.
Lemak dari margarin dan mentega biasa.
Minuman ringan
Bumbu seperti garam dapur, baking powder, soda kue, vetsin, kecap, terasi, kaldu instan, saus tomat, petis, dan tauco.
2.4 Hubungan Garam dan Hipertensi
Natrium sebagai kation utama dalam cairan ektra seluler, berfungsi menjaga
keseimbangan cairan dalam komplementer tersebut. Natriumlah yang berperan besar
masuk ke dalam sel-sel. Sedangkan di dalam sel tekanan osmosis diatur oleh kalium
guna menjaga cairan tidak keluar dari sel (Almatsier, 2009).
Secara normal, tubuh dapat menjaga keseimbangan antara natirum di luar sel
dan kalium di dalam sel. Bila seseorang terlalu banyak mengonsumsi garam, kadar
garam dalam tubuh akan meningkat. Rasa haus yang ditimbulkan menyebabkan
minum sedemikian banyak sehingga konsentrasi natrium dalam darah menjadi
normal. Ginjal kemudian akan mengeluarkan kelebihan cairan natrium tersebut dari
tubuh. Hormon aldosteron berperan menjaga keseimbangan natrium di dalam darah
berada pada nilai normal (Almatsier, 2009).
Bila jumlah natrium meningkat secara berlebihan, air akan masuk ke dalam
sel, akibtnya sel akan membengkak. Inilah yang menyebabkan oedem dalam jaringan
tubuh (Almatsier, 2009). Selain itu, apabila jumlah garam terlalu banyak maka tubuh
tidak mampu mengeluarkan kelebihan garam, sehingga volme retensi cairan
meningkat dan berakibat pada kenaikan tekanan darah (Soenardi &Soetarjo, 2005).
Natrium tinggi juga dapat mngecilkan diameter pembuluh darah dan arteri sehingga
2. 3 Kerangka Teori
Gambar II. 3 Kerangka Teori
(Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2008).
Faktor Risiko Hipertensi Esensial:
keturunan Usia
Jenis kelamin Obesitas Stress
Diet Konsumsi garam berlebih
Diet Konsumsi Kolestrol Kurang Olahraga
Merokok
Konsumsi Alkohol
Faktor Hiertensi Sekunder : Penyakit ginjal
Masalah kelenjar adrenal Kehamilan Trauma kepala
Hipertensi Curah Jantung Meningkat
Tekanan Periver Meningkat Volume cairan meningkat
Kontraksi vena meningkat
Preload meningkat
Kontraktilas meningkat Aktifitas simpatis meningat
Renin Angiotensi Aldosteron meningkat
DAFTAR PUSTAKA :
Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Amadi. 2008. Teknik Prosedural Konsep & Aplikasi Kebutuhan Dasar. Jakarta : Salemba Medika.
Asaria P et al. (2007) Chronic disease prevention: health effects and financial costs of strategies to reduce salt intake and control tobacco use. Lancet370: 2044–53.
Baradero, Mary. Dayrit, Mary Wilfrid. & Siswadi, Yakobus. 2008. Klin Gangguan Kardiovaskular: Seri Asuhan Keperawatan. Jakrta : Egc.
Brashers, Valentina L. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologi, Pemeriksaan Dan Manajemen. Jakarta : Egc.
Bustan, M. N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Rineka cipta.
Caldwell, Jh et al. 2004. Proceedings of the "Dietary Reference Intakes for Water, Potassium, Sodium, chloride and sulfate”; The National Academies. Accessed via www.nap.edu/
tanggal 30 Oktober 2013 Jam 22.00 WIB.
Cappuccio FP (2011) Policy Options to reduce population salt intake. BMJ (Clinical research ed.) 343: d4995.
Carpenito, Lyanda Juall. 2009. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis Edisi 9. Jakrta: EGC.
Corwin, Elizaabeth J. 2009. Buku Saku patofisiologi Edisi 3. Alih Bahasa, Nike Budhi Subekti; Editor Edisi Bahasa Indonesia, Egi Komara Yudha, et al. Jakarta : EGC
Darwis D, dkk. Fisiologi Keseimbangan Air dan Elektrolit’ dalam Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam-Basa, Fisiologi, Patofisiologi, Diagnosis dan Tatalaksana, ed. ke-2, FK-UI, Jakarta, 2008, hh. 29-114.
Davey, Patrick. 2006. Medicine At A Glance. Jakarta : Erlangga.
Gray, Huon H, Et Al. 2005. Lecture Notes : Kariologi Edisi Empat. Jakarta : Erlangga.
He FJ & MacGregor GA (2010) Reducing population salt intake worldwide: from evidence to implementation. Progress in Cardiovascular Disease 52: 363–82.
He FJ, Campbell NRC, MacGregor GA. Reducing salt intake to prevent hypertension and cardiovascular disease. Rev Panam Salud Publica. 2012;32(4):293–300.
He FJ, Markandu ND, Sagnella GA, MacGregor GA (1998) Importance of the renin system in determining blood pressure fall with salt restriction In black and white hypertensives. Hypertension. 32,5,820-824
http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=157 (2009). Hipertensi Faktor Risiko Utama Penyakit Kardiovaskular. Diakses Tanggal 10 Nopember 2013, Jam 23.09 WIB
http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/blood_pressure_mean_text/en/index.html. Mean
Systolic Blood Pressure (SBP) . 2013. Diunduh tanggal 10 Nopember 2013, Jam 13.39 WIB
Jangkaru, Zulkifli. 2006. Tanaman Obat Pelancar Air Seni. Jakarta : Penebar Swadaya.
Katan MB, et. Al. (2009) Which are the greatest recent discoveries and the greatest future challenges in nutrition? EJCN 63:2–10
Klutts J.S. and Scott M.G. 2006. ‘Physiology and disorders of Water, Electrolyte, and Acid-Base Metabolism’ In: Tietz Text Book of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostics, 4th Ed. Vol.1, Elsevier Saunders Inc:Philadelphia.
Lopez AD, et al. (2006). Global and regional burden of disease and risk factors, 2001: systematic analysis of population health data. Lancet 367:1747–1757
MacGregor GA, et, al. Double-blind study of three sodium intakes and long-term effects of sodium restriction in essential hypertension. Lancet. 1989;334:1244–7
Marliani, Lili & H. Tantas S. 2007. 100 Questions & Answer Hiertensi. Jakarta : Erlangga.
Matfin G. and Porth C.M, ‘Disorders of Fluid and Electrolyte Balance’ In: Pathophysiology Concepts of Altered Health States, 8th Edition, McGraw Hill Companies USA, 2009, pp. 761-803
Prince, Sylvia A., & Wilson, Lorraine M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta. Buku Kedokteran EGC.
Ramayulis, Rata. 2010. Menu & Resep Unutk Penderita Hipertensi. Jakarta : PT Penebar Plus.
Ruusunen M, Puolanne E (2004) Reducing sodium intake from meat products. Meat Sci 40:531–541
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem, Edisi 6. Jakarta : EGC.
Sitepoe, Mengku. 2008. Coret-coret Anak Desa Berprofesi Ganda. Jakarta : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Soenanto, 2009. 100 Resep Sembuhakan Hipertensi, Asam Urat, dan Obesitas. Jakarta : PT Elex Media Komputindo Gramedia.
Soenardi, Tuti Dan Soetardjo, Susirah. 2005. Hidup Sehat Unutk Penderita Hipertensi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Sutomo, Budi. 2009. Menu Sehat Penakluk Hipertensi. Jakarta : Gramedia.
Vitahealth. 2009. Inforamasi Lengkap Untuk Penderita Hipertensi Dan Keluargannya. Jakarta : Gramedia Utama.
www.depkes.go.id. . Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Diakses tanggal 10 Nopember 2013, Jam 16.07 WIB.
www.depkes.go.id. . Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007. Di Akses tanggal 10 Nopember 2013, jam 16.04 WIB.
Rahajeng, Ekowati dan Sulistyowati Tuminah. 2009. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di Indonesia dalm majalah edokteran Indonesia, Volume 59. Jakarta: Pusat penelitian Biomedis Farmasi Badan Penelitian Kesehatan Departemen Kesehatan RI.