• Tidak ada hasil yang ditemukan

lntensitas Komunikasi dan Persepsi Peternak terhadap Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "lntensitas Komunikasi dan Persepsi Peternak terhadap Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Yogyakarta"

Copied!
272
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)
(128)
(129)
(130)
(131)
(132)
(133)
(134)
(135)
(136)
(137)
(138)
(139)
(140)
(141)
(142)

INTENSITAS KOMUNIKASI DAN PERSEPSI PETERNAK

TERHADAP KEBERKELANJUTAN ADOPSl TEKNOLOGX

PERBAIKAN PAKAN SAP1 PERAH PERIODE KERING

DI KECAMATAN CANGKRINGAN KABUPATEN SLEMAN

YOGYAKARTA

OLEH :

RAHIMA KALIKY

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(143)

ABSTRAK

RAHIMA KALIKY. lntensitas Komunikasi dan Persepsi Peternak terhadap Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman

-

Yogyakarta. Komisi pembimbing BASITA GlNTlNG sebagai ketua, HAMDANI NASUTION dan MAKSUM sebagai anggota.

Rendahnya produktivitas sapi perah di Kabupaten Sleman Yogyakarta diantaranya disebabkan rendahnya penguasaan teknologi oleh peternak.Tujuan penelitian adalah mengkaji keberlanjutan adopsi teknologi tersebut oleh peternak, persepsi peternak terhadap komponen komunikasi (Sumber, pesan, dan saluran) teknologi tersebut, intensitas komunikasi peternak, dan hubungan peubah-peubah tersebut dengan keberlanjutan adopsi teknologi itu. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kepuh Harjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten ~lemanl~ogyakarta menggunakan metoda survei. Penentuan lokasi penelitian secara purposive dan pengambilan sampel menggunakan metode sistimatik sampling, jumlah sampel sebanyak 60 peternak.

Hasil penelitian menunjukkan, teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering, masih tetap diadopsi secara berkelanjutan. Persepsi peternak terhadap sumber informasi (komunikator) adalah memiliki kredibilitas tinggi. Teknologi tersebut dipersepsi oleh peternak sebagai teknologi yang memiliki sifat memberikan keuntungan relatif, simple, trialible, observable, dan kompatible. Saluran komunikasi yang diandalkan oleh peternak untuk mendapatkan informasi adalah saluran komunikasi interpersonal dyadic dan kelompok lokalit. Kondisi ini menyebabkan intensitas komunikasi interpersonal dyadic maupun kelompok yang lokalit cukup tinggi dibanding komunikasi interpersonal dyadic dan kelompok kosmopolit.

Hasil analisis korelasi rank Spearman menunjukkan bahwa adopsi teknologi yang berkelanjutan berhubungan dengan persepsi responden terhadap komponen komunikasi teknologi, khususnya komponen pesan dan saluran komunikasi. Komponen pesan berupa sifat teknologi yang signifikan adalah sifat keuntungan relatif (r=0,253*), kompleksitas ( r = 0,263* ), dan kompatibilitas (r

=

0,347*). Sedangkan saluran komunikasi yang signifikan adalah saluran interpersonal (r=0,489**). Disamping itu, adopsi teknologi yang berkelanjutan juga berhubungan dengan intensitas komunikasi responden, khususnya intensitas komunikasi interpersonal dyadic lokalit (r=0,461**) dan intensitas komunikasi kelompok lokalit (r=0,263*).
(144)

ABSTRACT

RAHIMA KALIKY. Communication Intensity and Dairy Farmer's Perseption towards the Sustainable Adoption of Dry Period Dairy Woof Improvement Technology at Cangkringan Subdistrict on Sleman Regency, Yogyakarta. BASITA GlNTlNG as chairman, HAMDANI NASUTION, and MAKSUM, as members of advisory committee.

The low dairy productivity of Sleman Regency, Yogyakarta, is caused by the dairy farmer's poor technological mastering. The objectives of the research are: 1) to examine the sustainable adoption of technology by dairy farmers; 2) dairy farmer's perception about communication components (sources, messages, and channel) of the technology; 3) communication intensity among the dairy-farmers; and 4) the relationship between those variables with the sustainable adoption of technology. This research was held at Kepuh Harjo Village on Cangkringan Sub district in Sleman Regency

-

Yogyakarta, using survey method. Research location was deterrninated purposively and samples were taken using sampling systematic method, where the sample population is 60 dairy-farmers.

The result shows that dry period dairy woof improvement technology, is still being sustainably adopted. Dairy farmer's perception toward the source of information (communicator) is a highly credible one. The technology has been perceived as having relative advantages, simple, trialible, observable, and compatible. Since the communication channel used by dairy-farmers to obtain information is a localite interpersonal dyadic communication and localite groups communication channel, the intensity of interpersonal communication as well as localite groups are quite high, compared to interpersonal cosmopolite and cosmopolite group communication.

Analysis result based on Spearman rank correlation shows that sustainable adoption of technology is related to respondent's perception about technology communication components, especially message and communication channels. Significant technological characteristic of message components are relative advantage (r=0,253*), complexity (r=0,263*), and compatibility (r=0,347*). While the significant communication channel is interpersonal channel (r=0,489**). Furthermore, sustainable adoption of technology are also related to respondent's communication intensity, especially the intensity of the localite interpersonal dyadic communication (r

=

0,461**) and the intensity of the localite group communication (r=0,263*).
(145)

SURAT PERNYATMN

Yang bertanda tangan dibawah ini adalah :

Nama Rahima Kaliky

dengan ini menyatakan bahwa Tesis berjudul :

Intensitas Komunikasi dan Persepsi Peternak terhadap Keberlanjutan Adopqi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaterr Sleman Yogyakarta,

Adalah hasil karya saya sendiri dan dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya.

Bogor, 12 September 2002

(146)

INTENSITAS KOMUNIKASI DAN PERSEPSI PETERNAK

TERHADAP KEBERKELANJUTAN ADOPSI TEKNOLOGI

PERBAIKAN PAKAN SAP1 PERAH PERIODE KERING

DI KECAMATAN CANGKRINGAN KABUPATEN SLEMAN

YOGYAKARTA

Tesis

Sebagai salah satu syarat ~mtuk

memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi

Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(147)

Judul Tesis : lntensitas Komunikasi dan Persepsi Peternak terhadap Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Yogyakarta

Nama : Rahima Kaliky

NRP : P22500016

Program Studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Menyetujui,

Ketua

Dr. S. Hamdani Nasution Anggota

Drs. ~ a k s u m . ' ~ ~ i Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Program Pascasarjana

Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

w *

Dr. Ir. Aida Vitavala S. Hubeis,
(148)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wamlana Pulau Buru, Maluku Tengah pada tanggal 15

Januari 1964 dari Mamah Zainabun Palisoa dan Papah Muhammad Dien Kaliky, dan

merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara.

Penulis mulai mengikuti pendidikan sarjana tahun 1983 dan masuk melalui

jalur seleksi Sipenmaru di Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon. Setelah lima

semester pertama mengikuti perkuliahan di Unpatti, penulis cuti kuliah selama satu

tahun dan selanjutnya tahun 1987 penulis melanjutkan pendidikan tersebut di

Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta dan tamat pada Januari 1991. Tahun 2000 penulis diberi kesempatan

oleh BPTP Ambon untuk mengikuti program pasca sarjana (S2) dengan beasiswa

ARMP-I1 Badan Litbang Pertanian.

Karier penulis sebagai PNS diawali tahun 1993 sebagai Penyuluh Pertanian

di Sekretariat Pelaksana Harian BIMAS-Kantor Wilayah Departemen Pertanian

Maluku; Tahun 1994 -1996 penulis dipekerjakan di Dinas Perkebunan Dati I Maluku,

dan pada tahun 1996-2000 penulis dipekerjakan di Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian (BPTP) Ambon; Selanjutnya akibat instabilitas keamanan di Ambon maka

(149)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Intensitas Komunikasi

dan Persepsi Peternak terhadap Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman- Yogyakarta, berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Basita Ginting, MA dan Bapak Dr. Hamdani Nasution serta Bapak Drs. Maksum, MSi selaku pembimbing

yang telah meluangkan waktu dan mencurahkan pemikirannya selama proses

penulisan karya ilmiah ini. Selain itu ungkapan terima kasih disampaikan kepada

Pimpinan Badan Litbang Pertanian dan ARMP-II yang telah menyediakan beasiswa,

Kepala BPTP Ambon yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program pascasarjana, serta Kepala BPTP Yogyakarta yang telah mengizinkan penulis untuk mengikuti program tersebut. Disamping itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada teman-teman KMPJ2000 atas support-nya dan

Ibu Ir. Rini Dwiastuti, MS atas diskusi-diskusi produktif. Ungkapan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang dalam penulis sampaikan kepada Mamah Zainabun

Palisoa, Papah Muhammad Dien Kaliky, dan suami Ir. Nur Hidayat, MS serta anak-

anakku tercinta : Vika, Angga, dan Dhillah atas segala doa, dorongan moril dan kasih sayangnya.

Semoga Allah SWT senantiasa menuntun dan meridhoi setiap derap langkah

kita untuk menggapai yang terbaik. Amin.

Karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, saran dan kritik konstruktif dari

pembaca akan penulis terima. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2002

(150)
(151)

lntensitas Komunikasi

Frekuensi Komunikasi Interpersonal Lokalit ... 66 Frekuensi Komunikasi Interpersonal Kosmopolit ... 67 Frekuensi Komunikasi Kelompok Lokalit ... 68

Frekuensi Komunikasi Kelompok Kosmopolit ... 69

Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering ... 69

Hubungan Karakteristik Responden dengan Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering ... 71

Hubungan Persepsi Responden pada Komunikator dengan Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering ... 77

Hubungan Persepsi Responden pada Pesan / Sifat Teknologi dengan Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering ... 82

Hubungan Persepsi Responden pada Media Komunikasi interpersonal dengan Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering ... 83

Hubungan lntensitas Komunikasi dengan Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering ... 84

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 88 Saran ... 90

DAFRAT PUSTAKA ... 91

LAMPIRAN

[image:151.607.83.526.84.649.2]

... Hasil Analisis Validitas dan Reliabilitas lnstrumen 95 Tabel Hasil Analisis Korelasi Spearman's rho ... 101

...

Kuesioner Penelitian 104

...

(152)

DAFTAR

TABEL

Halaman

1. Distribusi responden menurut karakteristik yang diamati ... 45

2. Frekuensi dan persentase kategori persepsi responden terhadap komunikator ... 51

3. Frekuensi dan persentase kategori persepsi responden terhadap sifat teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering ... 54

4. Proporsi frekuensi dan persentase persepsi responden terhadap media interpersonal oleh lembaga penyampai teknologi ... 65

5. Frekuensi dan persentase intensitas komunikasi interpersonal lokalit ... 66

6. Frekuensi dan persentase intensitasi komunikasi interpersonal kosmopolit ... 67

7. Frekuensi dan persentase intensitasi komunikasi kelompok lokalit ... 68

8. Frekuensi dan persentase intensitasi komunikasi kelompok kosmopolit.. .... 69

9. Frekuensi dan persentase tingkat adopsi teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering di Kecamatan Cangkringan ... 70

10. Koefisien korelasi dan tingkat signifikansi karakteristik responden dengan keberlanjutan adopsi teknologi ... 71

1 1. Tabulasi silang karakterisrik responden dengan keberlanjutan adopsi teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering ... 74

12. Koefisien korelasi dan signifikansi persepsi responden pada penge- tahuan, sikap dan ketrampilan komunikasi komunikator dengan

keberlanjutan adopsi teknologi ... 77

13. Tabulasi silang persepsi peternak terhadap pengetahuan, sikap, dan ketrampilan komunikasi komunikator dengan keberlanjutan adopsi

...

79

14. Koefisien korelasi dan signifikansi persepsi responden pada Sifat teknologi (pesan komunikasi) dengan keberlanjutan teknologi ... 82

(153)
(154)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

I. Kerangka konsep pemikiran intensitas komunikasi dan persepsi peternak terhadap keberlanjutan adopsi teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman

...

Yogyakarta 33

2. Persentase kategori persepsi responden terhadap Keuntungan relatif teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering ... 54

3. Persentase kategori persepsi responden terhadap kompleksitas teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering

...

56

4. Persentase kategori persepsi responden terhadap trialibilitas teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering

...

57

5. Persentase kategori persepsi responden terhadap observabilitas teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering ... 58

6. Persentase kategori persepsi responden terhadap kompatibilitas teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering

...

59

7. Persentase kategori keberlanjutan adopsi teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering ... 60

8. Frekuensi responden yang pernahhidak pernah membaca Liptan, brosur dan mendengar siaran radio tentang teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering ... 62

9. Proporsi kategori umur dengan kategori keberlanjutan adopsi teknologi

...

76 10. Proporsi kategori pendidikan dengan kategori keberlanjuran adopsi ... 76

1 1. Proporsi kategori pemilikan ternak induk dengan kategori keberlanjutan adopsi teknologi ... 76

12. Proporsi kategori pendidikan dengan kategori keberlanjutan adopsi teknologi ... 76

13. Proporsi kategori pengalaman beternak sapi perah dengan kategori keberlanjutan adopsi teknologi ... 76

(155)

15 . Proporsi persepsi terhadap tingkat pengetahuan komunikator dengan

...

kebertanjutan adopsi teknologi 81

16

.

Proporsi persepsi terhadap sikap kornunikator dengan keberlanjutan adopsi teknologi ... 81

17 . Proporsi persepsi terhadap ketrampilan berkomunikasi komunikator

...

dengan keberfanjutan adupsi teknologi 81

(156)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

.

Hasil Analisis Validitas Dan Reliabilitas lnstrumen ... 95

2 . Tabel Hasil Analisis Korelasi Spearman's rho ... 101

3 . Kuesioner Penelitian ... 104

(157)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara umum pembangunan pertanian harus mampu memberikan

pendapatan dan kesejahteraan yang layak bagi para pelakunya, memainkan

peranan yang nyata dalam pertumbuhan dan pemerataan ekonomi melalui

penyediaan pangan, bahan baku industri, kesempatan kerja produktif, dan devisa

serta mendukung pembangunan wilayah pedesaan (Suryana at a1.1998:58). Lebih

lanjut dikatakan, dari peran yang diharapkan tersebut, permasalahan dan tantangan

utama yang dihadapai sektor pertanian adalah meningkatkan daya kompetisi

komoditas pertanian melalui peningkatan efisiensi usaha. Hal tersebut dapat

dilaksankan dengan memanfaatkan sumberdaya pembangunan secara optimal;

menerapkan pembangunan pertanian spesifik lokasi, mengembangkan komoditas

unggulan dan kawasan andalan, serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan

teknologi sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat.

Ternak sapi perah merupakan salah satu usaha andalan sub sektor

peternakan yang memiliki peluang prospektif dalam kegiatan agroindustri sebagai

salah satu sub sistem agribisnis. Pengembangan usaha tenak ini sangat berdampak

positif terhadap penciptaan lapangan kerja dan menjanjikan pendapatan tunai,

sehingga dapat memotivasi peternak untuk berperan aktif dalam kegiatan agribisnis

guna meningkatkan pendapatan kelmarganya. Selain itu juga untuk meningkatkan

gizi peternak dan keluarga, serta secara makro memperbaiki gizi nasional

disamping dapat menghemat devisa (menekan impor susu) (Mulyadi ef a/. 1995:l).

Berkaitan dengan usaha peternakan sapi perah di Indonesia, berberapa hasil

(158)

melaporkan bahwa sebagian besar usaha sapi perah di lndonesia adalah usaha

peternakan rakyat dengan rataan pemilikan kecil yaitu 2-3 ekor induk serta rataan

produksi susu per ekor rendah 5,6 literlhari, disamping sistim usahataninya bersifat

tradisional yang ditandai dengan penggunaan tenaga kerja keluarga, dan

pemeliharaan sederhana, serta sumberdaya belum dimanfaatkan secara optimal

sehingga tingkat keuntungan belum memadai (Puslitbangnak,91;92;93; Sitorus et

a/. 1 994).

Meskipun secara umum produktivitas sapi perah di lndonesia rendah

termasuk di Yogyakarta seperti dilaporkan oleh BPTP bahwa produksi susu rata-rata

di Kabupaten Sleman Yogyakarta adalah 3-8 liter 1 ekor I hari. Namun di Garut Jawa

Barat Sebagaimana dinyatakan dalam laporan hasil penelitian Sori Basya (1993)

diacu dalam Sitorus et a1 (1994:6), bahwa rataan produksi susu sapi perah lokal di

Garut cukup tinggi yakni 153 literlekorlhari.

Kabupaten Sleman merupakan sentra produksi susu sapi di Daerah lstimewa

Yogyakarta (DIY). Jumlah populasi sapi perah di DIY tahun 2000 adalah 4.069 ekor

dengan total produksi susu yang dihasilkan adalah 6.888.049 kg. Dari jumlah

tersebut, 3.744 ekor (92,Ol %) diantaranya berada di Kabupaten Sleman dengan

produksi susu yang dihasilkan sebanyak 6.338.571 kg atau 92,02 % dari total

produksi susu sapi DIY (Dinas Peternakan Propinsi DIY,2000)

Laporan hasil pengkajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta,

(IP2TP,2000:19), menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi peternak di DIY

termasuk Kabupaten Sleman dalam pengembangan sapi perah adalah

keterbatasan penyediaan hijauan pakan dan konsentrat, tata laksana pemeliharaan

yang tradisional, modal usaha kecil, dan rendahnya produksi susu yang hasilkan

(159)

Sementara itu Masbulan et a1 (1 998), melaporkan bahwa para peternak sapi

perah di Yogyakarta seringkali mengalami kerugian yang diakibatkan oleh

ketidakseimbangan antara produksi susu yang dihasilkan dengan input yang

dikobankan. Salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas tersebut adalah

sangat minim teknologi yang dikuasai peternak. Rendahnya penguasan teknologi

oleh peternak tersebut kemungkinan disebabkan kurang tersebamya

(terdesiminasikan) teknologi yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian dan

perguruan tinggi di Indonesia.

Permasalahan minimnya penguasaan teknologi oleh peternak sapi perah

dalam usahaternaknya ini, telah direspons oleh BPTP Yogyakarta dengan

rnelakukan introduksi teknologi tepat guna melalui kegiatan penelitian I pengkajian.

Salah satu teknologi yang telah diintroduksi aleh BPTP adalah teknologi perbaikan

pakan sapi perah periode kering, dengan spesifikasi teknologi adalah pemberian

pakan konsentrat dalam ransum ternak induk pada periode kering sebanyak 1,5 %

dari berat badan . Teknologi ini telah diperkenalkan oleh BPTP pada tahun anggaran

199912000 melalui kegiatan penelitian Sistem Usahatani (SUT) berbasis sapi perah

di Kabupaten Sleman.

Aplikasi teknologi tersebut oleh peternak selama kegiatan penelitianl

pengkajian berlangsung menandakan bahwa para peternak telah mererapkan

teknologi tersebut. Artinya dalam tahap keputusan inovasi, mereka telah

memutuskan untuk mengadopsi teknologi itu dan selanjutnya mengimplementasi-

kannya dalam uasaha ternaknya. Berikutnya pada tahap konfirmasi, apakah

penggunaan teknologi itu akan dihentihan ( ditolak ) atau terus diadopsi secara

berkelanjutan kemudian dikukuhkan dalam usaha ternaknya, tergantung pada

(160)

Penelitian ini ingin mengkaji sejauh mana tingkat keberlanjutan adopsi

teknologi tersebut oleh peternak sapi perah di kecamatan Cangkringan

-

Sleman,

dari perspektif ilmu komunikasi dengan melihat persepsi peternak terhadap

komunikator teknologi itu, sifat teknologi itu sendiri (pesan) , disamping persepsi

terhadap media komunikasilsaluran yang digunakan, serta hubungannya dengan

keberlanjutan adopsi teknologi tersebut. Disamping itu juga diamati intensitas

komunikasi dan karakteristik peternak, serta hubungannya dengan keberlanjutan

adopsi teknologi tersebut.

Meskipun objek penelitian tentang persepsi dan adopsi teknologi telah

banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, namun penelitian ini lebih

difokuskan pada keberlanjutan adopsi teknologi dan persepsi pengguna teknologi

dimana perspektif komunikasi merupakan tinjauan utama, terutama pada komponen

sumber (Source), pesan (Massage), dan media (Channel ) yang digunakan untuk

mengkomunikasikan teknologi tersebut.

Rumusan Masalah

Rendahnya produktivitas sapi perah di Yogyakarta termasuk kabupaten

Sleman diantaranya disebabkan oleh rendahnya penguasaan teknologi oleh

peternak. BPTP Yogyakarta telah memperkenalkan berbagai teknologi tepat guna

berbasis sapi perah. Satu diantara teknologi itu adalah Teknologi Perbaikan Pakan

Sapi Perah Periode Kering. Bagaimanakah persepsi peternak terhadap teknologi

tersebut; bagaimanakan karakteristik mereka; serta bagaimanakan intensitas

komunikasi mereka; adakah kaitan karakteristik dan intensitas komunikasi serta

(161)

Secara spesifik permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah karakteristik peternak?

2. Bagaimana persepsi peternak pada komunikator, pesan (sifat teknologi), dan

saluranlmedia komunikasi terhadap teknologi perbaikan pakan sapi perah

periode kering ?

3. Bagaimanakah intensitas komunikasi peternak ?

4. Bagaimanakah tingkat keberlanjutan adopsi teknologi perbaikan pakan sapi

perah periode kering pasca penelitian BPTP ?

5 . Bagaimanakah hubungan antara karakteristik, persepsi peternak pada komunikator, pesan (sifat teknologi), dan saluranlmedia komunikasi yang

digunakan, serta intensitas komunikasi peternak dengan keberlanjutan adopsi

teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering ?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji karakteristik peternak sapi perah

2. Mengkaji persepsi peternak pada komunikator, pesan (sifat teknologi), dan

saluranlrnedia komunikasi terhadap teknologi perbaikan pakan sapi perah

periode kering.

3. Mengkaji intensitas komunikasi peternak

4. Mengkaji tingkat keberlanjutan adopsi taknologi perbaikan pakan sapi perah

periode kering pasca penelitian BPTP

5. Mengkaji hubungan antara karakteristik, persepsi peternak pada komunikator,

(162)

intensitas komunikasi peternak dengan keberlanjutan adopsi teknologi perbaikan

pakan sapi perah periode kering.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna :

Untuk bahan pertimbangan dalam penyusunan program komunikasi dalam

berbagai kegiatan penelitian dan pengkajian (litkaji) teknologi pertanian serta

diseminasi hasil litkaji, sebagai salah satu upaya untuk mencapai

keberhasilan penerapan program litkaji dan diserninasi hasil litkaji ditingkat

lapang.

Sebagai masukan bagi penelitian-penelitian komunikasi pembangunan

pertanian dan pedesaan berikutnya yang melihat persepsi dan proses

adopsi inovasi/teknologi pertanian.

Sebagai kontribusi pemikiran bagi perkembangan ilmu komunikasi

(163)

TINJAUAN PUSTAKA

Konseptualisasi Komunikasi

Mulyana (2001 :61) dalam bu kunya llmu Komunikasi Suatu Pengantar

mengemukakan bahwa setidaknya terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai

komunikasi, yaitu: ( 1 ) komunikasi sebagai tindakan satu arah, (2) komunikasi

sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai transaksi.

Komunikasi Sebagai Tindakan Satu Arah. Pemahaman komunikasi sebagai

proses satu arah disebutkan oleh Micheal Burgoon, sebagai "definisi berorientasi

sumbet" (source oriented definition) yang mengisyaratkan komunikasi sebagai

kegiatan yang sengaja dilakukan seseorang untuk menyampaikan ransangan guna

membangkitkan respons orang lain. Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan

satu arah ini mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif.

Komunikasi Sebagai Interaksi. Pandangan komunikasi sebagai interaksi ini

menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi yang

arahnya bergantian dan lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit lebih dinamis

daripada komunikasi satu arah, meskipun masih membedakan para komunikate

sebagai komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi sumber,

meskipun kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi yang

berlangsung pada dasarnya juga masih bersifat mekanis dan statis.

Komunikasi Sebagai Transaksi. Dalam konteks komunikasi ini, proses

penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan

simultan diantara para komunikate. Semakin banyak orang yang berkomunikasi

(164)

hubungan yang lebih rumit, serta lebih banyak pesan verbal dan non verbal.

Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi tersebut

tidak membatasi komunikate pada komunikasi yang disengaja atau respon yang

dapat diamati. Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah

berlangsung bila seserang telah menafsirkan perilaku orang lain baik perilaku verbal

maupun perilaku non verbal. Artinya konseptualisasi komunikasi ini lebih sesuai

untuk konteks komunikasi interpersonal karena lebih bersifat dinamis dar~ para

pelaku komunikasi tidak dibedakan antara sumber dan penerima, melainkan

semuanya saling berpatisipasi dalam interaksi sebagai partisipan komunikasi.

Ketiga konsep pemahaman komunikasi tersebut sangat dipengaruhi oleh

ketepatan komunikasi (fidelity of communication). Dengan ketepatan komunikasi

yang tinggi, para komunikate akan memperoleh apa yang mereka kehendaki dari

tujuan berkomunikasinya. Komunikator akan puas karena pesan yang disampaikan

dapat diterima dan dilaksanakan komunikan seperti yang dikehendaki, dan

komunikanpun akan puas karena pesan yang diterimanya sesuai dengan

kebutuhan. Ketepatan komunikasi tersebut merupakan indikator dari efektivitas

komunikasi.

Berlo (1960:41) mengemukakan, ada enam elemen dasar yang menentukan

efektivitas komunikasi yaitu : Sumber

-

encoder, pesan, saluran, dan penerima

pesan

-

dekoder.

(a) Sumber

-

enkoder.

Agar komunikasi menjadi efektif, seorang komunikator dalam proses

berkomunikasi harus menentukan strategi bagaimana cara mempengaruhi

komunikannya dan menganalisis pesan yang diterima sebelum memberi respons

(165)

ditentukan oleh empat faktor yaitu : (1) ketrampilan berkomunikasi (communication

skills) secara lisan dan tulisan , (2) sikap jujur dan bersahabat (attitude), (3) tingkat

pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan (knowledge), dan (4)

mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural system)

komunikan.

Menurut Berlo (1960:41) terdapat lima ketrampilan kotnunikasi verbal yaitu

menulis, dan berbicara (ketrampilan meng-encoding), ketrampilan membaca,

dan mendengar 1 menyimak (ketrampilan meng-decoding), serta pemikiran atau

pertimbangan (thought or reasoning) merupakan ketrampilan yang paling penting

didalam meng-encoding maupun meng-decoding pesan.

Sikap komunikator (attitude). Sikap seorang komunikator yang bersahabat,

hangat dan jujur sangat mempengaruhi efktifitas komunikasi. Menurt Berlo (60:45),

sikap komunikator mempengaruhi kebiasaannya berkomunikasi. Berlo

mengartikan kata "sikap" dalam arti sempit dengan menjawab pertanyaan : How do

the attitude of the source affect communication ? Selanjutnya Berlo menjabarkan

sikap komunikator menjadi tiga sikap yatu: (1) sikap terhadap diri sendiri (attitude

toward selt), yang berkaitan dengan kepribadian indvidu dalam berkomunikasi; (2)

Sikap terhadap materi (pesan) yang dikomunikasikan (attitude toward subject

matter). Bila seorang komunikator tidak yakin terhadap subject matter nya, maka ha1

ini akan menyulitkan dia berkomunikasi secara efektif tentang subjek 1 materi itu. (3)

Sikap terhadap komunikan (attitude toward receiver). Sikap komunikator pada

komunikannya berpengaruh terhadap komunikasi diantara mereka. Berlo

mengilustrasikan; Bila pembaca atau pendengar menyadari bahwa apa yang

ditulisldibicarakan sama seperti yang mereka rasakan, maka kritik terhadap pesan

(166)

disampaikan oleh penulis atau pembicara akan diterima oleh komunikan bila pesan

itu sesuai kebutuhan mereka.

Sedangkan pengertian sikap dalam konteks perilaku organisasi menurut

Robbins (2001:138), adalah pernyataan evaluatif mengenai objek, orang atau

peristiwa. Sikap tidak sama dengan nilai, tapi keduanya saling berhubungan. Saling

keterhubungan antara sikap dan nilai tersebut dapat dilihat pada tiga komponen dari

suatu sikap yaitu: (1) pengertian (cognation), (2) keharuan (affection), dan (3)

perilaku (behavior). Komponen kognitif suatu sikap merupakan segmen pendapat

atau keyakinan akan suatu sikap. Komponen afektif merupakan segmen emosional

atau perasaan dari suatu sikap, sedangkan komponen perilaku suatu sikap

merupakan suatu maksud untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap

seseorang atau sesuatu. Lebih lanjut Robbins menegaskan bahwa istilah sikap

(attitude) pada hakekatnya merujuk kebagian afektif dari tiga komponen itu.

Bila kita kaitkan pengertian istilah sikap yang dikemukakan oleh Robins

dengan istilah sikap komunikator yang dikemukakan oleh Berlo, maka dapat

disimpulkan bahwa implementasi istilah sikap komunikator lebih mengarah pada

komponen perilaku (behavior) dari sikap. Sedangkan dalam perilaku organisasi,

istilah sikap lebih mengarah pada komponen afektifnya.

Tingkat pengetahuan (knowledge). Seorang komunikator harus memiliki

tingkat pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan sehingga dia

kredibel dimata khalayaknya. Menurut Aristoteles (diacu dalam Cangara; 2000),

seorang komunikator itu kredibel apabila memiliki ethos, pathos dan logos. Ethos

ialah kekuatan yang dimiliki pembicara dari karakter pribadinya sehingga ucapan-

ucapannya dapat dipercaya. Pathos adalah kekuatan yang dimiliki pembicara dalam

(167)

dimiliki komunikator melalui argumentasinya (argumentasi kuat bila ditunjang tingkat

pengetahuan yang luas). Memperluas pendapat Aristoteles, McCroskey,l966

(Cangara,2000:96)) mengungkapkan bahwa kredibilitas seorang komunikator dapat

bersumber dari kompetensi (competence), sikap (attitude), tujuan (intention),

kepribadian (personality), dan dinamika (dynamism). Kompetensi ialah pengusaan

komunikator terhadap masalah yang dibahas (tingkat pengetahuan terhadap materi

yang bahas cukup luas). Sikap menunjukkan pribadi komunikator apakah tegar atau

toleran dalam prinsip. Tujuan menunjukan apakah hal-ha1 yang disarnpaikan itu

memiliki maksud baik atau tidak. Kepribadian menunjukkan apakah komunikator

memiliki pribadi yang hangat dan bersahabat. Sedangkan dinamika menunjukkan

apakah ha1 yang disampikan itu menarik atau justru membosankan.

Mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural

system) komunikannya. Berlo menyatakan bahwa derajat pesan yang dapat

diserap oleh penerima dipengaruhi oleh berbagai ha1 diantaranya adalah sistem

sosial budaya penerima. Karena itu seorang komunikator seyogyanya memahami

sistem sosial budaya komu ni kannya.

(b) Pesan.

Berlo (1960:54) menegaskan pesan adalah sebagai produk fisik aktual

(actual physical product) dari komunikator-komunikan. Ketika seseorang berpidato,

menulis, menggambar, dan menggerakkan anggota tubuh sebagai isyarat, maka isi

pidato, tulisan, gambar, dan menggerakkan tangan serta ekspresi wajahnya

merupakan pesan.

Tiga faktor yang terkandung dalam pesan adalah kode pesan, isi pesan dan

(168)

masing-masing faktor (elemen dan struktur dari kode pesan, elemen dan struktur

dari isi pesan serta elemen dan struktur dari perlakuan pesan).

Elemen dan struktur pesan. Struktur pesan merupakan gabungan dari

elemen-elemen pesan. Misalnya kita menulis sebuah kata An~ga, maka Angga

merupakan struktur yang tersusun dari elemen-elemen huruf a, n, g, g, dan a. Hal

yang penting diketahui dalam komunikasi adalah perbedaan antara bentuk (struktur)

dan substansi (elemen) dalam proses komunikasi. Berlo menyatakan, perlu

diperjelas dan menjadi bahan perdebatan dalam komunikasi, mana yang lebih

penting antara ide (elemen) atau organisasi ide (struktur).

Kode pesan. Pesan yang dikirim komunikator kepada komunikan terdiri atas

rangkaian simbol dan kode. Simbol adalah lambang yang memiliki suatu objek.

Sedangkan kode adalah simbol yang tersusun secara sistematis dan teratur

sehingga memiliki arti. Dengan demikian simbol yang tidak memiliki arti bukanlah

kode (Berlo, 1960 diacu dalam Cangara,2000:102). Lampu pengatur lalu lintas

(Traffic light) adalah simbol polisi lalu lintas, sedangkan simbol warna adalah kode

bagi pemakai jalan.

Ketika kita meng-encode pesan, kita harus memutuskan kode yang akan

digunakan meliputi (1) kode yang mana saja, (2) elemen kode yang mana, dan (3)

metode struktur elemen dari kode mana yang kita pilih. Tujuan pemilihan tersebut

adalah agar pesan dapat diterima komunikan tanpa distorsi.

Isi pesan. Isi pesan merupakan materi pesan yang terseleksi oleh

komunikator untuk mengekspresikan tujuan. Yang termasuk isi pesan adalah

pernyataanlpemaknaan yang kita buat, informasi yang kita tampilkan, kesimpulan

(169)

Perlakuan pesan. Perlakuan pada pesan adalah keputusan komunikator

untuk memilih dan menyusun kode dan isi pesan yang dikirim. Faktor penentu

perlakuan pada pesan adalah keperibadian, karakter individu, keterampilan, sikap,

pengertahuan, budaya, dan status dalam sistem sosial. Perlakuan pesan bisa juga

disimpulkan sebagai cara komunikator menyusun kode dan isi pesan. Berlo

menambahkan kita dapat mengidentifikasi individu berdasarkan karakter perilaku

pesan melalui tulisan seseorang, musik yang dihasilkan, dl1 kemudian menganalisis

pesan yang disampaikan dari segi kode, isi, dan perlakuan pesan. Jadi karakter

individu dapat dianalisis melalui pesan yang dihasilkan.

(c) Saluran (chanel)

Saluran komunikasi adalah alat untuk menyalurkan pesan dari komunikator

ke komunikan. Rogera dan Shoemaker (1 971 :24) membedakan saluran komunikasi

atas dua jenis yaitu (1) saluran media massa, dan (2) saluran interpersonal. Saluran

media massa adalah alat penyampai pesan yang memungkin pencapaian

komunikan dalam jumlah besar, yang dapat menembus batasan waktu dan ruang

seperti radio, TV, koran, dan sebagainya. Sedangkan saluran interpersonal

merupakan saluran komunikasi melalui pertemuan tatap muka antara komunikator

dan komunikan.

Hanafi (1 986: 1 18) dalam bukunya Memasyarakatkan Ide-ide Banr

menambahkan, saluran interpersonal dapat bersifat kosmopolit dan lokalit. Saluran

interpersonal kosmopolit adalah saluran komunikasi yang melibatkan komunikator

yang berasal dari luar sistem sosial komunikan. Sedangkan saluran interpersonal

lokalit adalah saluran komunikasi dimana komunikator berasal dari dalam sistem

(170)

Penentuan dan penggunaan saluran komunikasi yang tepat sangatlah

penting didalam proses difusi inovasi. Saluran komunikasi media massa lebih efektif

digunakan pada tahap pengenalan inovasi. Dimana saluran tersebut berfungsi untuk

menyampaikan informasi 1 pengetahuan (knowlegde) kepada khalayak dalam jumlah

yang besar. Sedangkan saluran komunikasi interpersonal lebih tepat digunakan

pada tahapan persuasi karena kontak antara komunikator dan komunikan lebih

banyak bersifat pribadi, sehingga akibat yang timbulkan banyak berupa

pembentukkan dan perubahan sikap sehingga saluran interpersonal dapat

memainkan peranan penting pada tahap persuasi. Jadi perbedaan kedua saluran

tersebut pada dampak (efek) yang ditimbulkan. Media interpersonal mempunyai efek

yang tinggi pada pembentukkan dan perubahan sikap dan rendah pads kognitif.

Sedangkan media massa berefek tinggi pada kognitif dan rendah pada

pembentukkan dan perubahan sikap komunikan (audience)

Penggunaan saluran komunikasi ternyata berbeda antara negara-negara

maju dengan negara-negara berkembang. Sebagaimana dijelaskan oleh Hanafi

(1986:121) bahwa di negara berkembang media interpersonal masih memegang

peranan penting dalam tahap pengenalan inovasi, terutama saluran interpersonal

kosmopolit. Hal tersebut menurut hanafi kemungkinan disebabkan oleh (1) kurang

tersedianya media massa yang dapat menjangkau komunikan di wilayah pedesaan,

(2) masih tingginya tingkat buta huruf penduduk, dan (3) tidak relevannya pesan-

pesan yang dimuat media massa itu dengan kebutuhan masyarakat, atau (4)

mungkin media massa lebih dipandang sebagai sarana hiburan daripada sebagai

(171)

(d)

Komunikan.

Komunikan biasa disebut juga dengan istilah penerima pesan, decoder,

khalayak, sasaran,audience dan lain sebagainya. Komunikan merupakan salah satu

aktor dalam proses komunikasi. Berhasil tidaknya proses komunikasi sangat

ditentukan oleh komunikan.

Komunikan dalam studi komunikasi bisa berupa individu, kelompok dan

masyarakat (Cangara:2000:151). Karena itu sebelum memulai proses komunikasi

seorang komunikator harus mengetahui siapa dan bagaimana khlayaknya.

Lebih lanjut Cangara menambahkan ada tiga aspek yang parlu diketahui

komunikator tentang komunikannya yaitu: aspek sosiodemografik, aspek profil

psikologi, dan Aspek karakteristik perilaku. Aspek sosiodernografik antara lain

adalah: jenis kelamin, usia, jumlah populasi, lokasi, tingkat pendidikan, bahasa yang

digunakan, agama, pekerjaan, ideologi, dan pemilikan media massa. Aspek profil

psikologis ialah memahami komunikan dari segi kejiwaan seperti : emosi

(bagaimana temperamenya), bagaimana pendapat-pendapat mereka, adakah

keinginan mereka yang perlu dipenuhi, dan sebagainya. Sedangkan dari aspek

karakteristik perilaku komunikan yang perlu diketahui diantaranya adalah hobi, nilai

dan norma, mobilitas sosial, dan perilaku komunikasi, kebiasaan suka berterus

terang atau tidak.

Terlepas dari ha1 itu semua, perlu diingat bahwa derajat pesan yang dapat

diserap (didecode) oleh komunikan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya

adalah ketrampilan berkomunikasi, tingkat pengetahuan, dan sistem sosial budaya

(172)

Parsepsi

Rakhmat (2000:51) menyatakan persepsi adalah pengalaman tentang objek,

peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi

dan menafsirkan pesan. Dengan demikian persepsi merupakan inti komunikasi

dimana interpretasi merupakan inti persepsi (Mulyana,2000: 167). Dengan kata lain

persepsi adalah pemberian makna pada stimuli indrawi. Pemberian makna pada

stimuli indrawi melibatkan sensasi, atensi, ekspekt.asi, motivasi dan memori

(Desiderato, 1976, dalam Rakhmat, 2000:51). Persepsi juga mempengaruhi

keberhasilan suatu komunikasi, sebab dalam prosesnya persepsi mempengaruhi

rangsangan (stimulus) 1 pesan yang kita terima dan makna yang kita berikan

(Devito, 2000:75). Karena itu kegagalan komunikasi seringkali terjadi karena

ketidakcermatan dalam persepsi interpersonal (Tubbs-Moss,2000:64). Menurut

Samovar et a1 (1981), persepsi adalah proses yang terjadi didalam individu untuk

memilih, mengevaluasi, dan mengorganisasi rangsangan dari iingkungan

sekitarnya. Senada dengan Samovar, Gibson (1994), mendefinisikan persepsi

sebagai proses memberikan arti terhadap lingkungan oleh individu. Berkaitan

dengan Gibson, Effendi (1992:127) mengartikan persepsi sebagai penginderaan

terhadap sesuatu yang timbul dalam lingkungan dan penginderaan itu dipengaruhi

oleh pengalaman, kebiasaan dan kebutuhan. Dengan demikian persepsi merupakan

suatu proses dimana seseorang menjadi sadar tentang keadaan alam

lingkungannya (Kemp et al.1975). Borrnan (1991) mengemukakan persepsi kita

terhadap lingkungan sekitar berbeda-beda. Kita lebih sering memahaminya dengan

mencocokkan berbagai bagiannya dengan bentuk lain yang dapat kita kenal.

(173)

psycological nois, " We tend to see, hear and believe only what we want to see,

hear and believe" (kita cenderung untuk melihat, mendengar dan percaya hanya

pada apa yang ingin kita lihat, dengar dan percayai).

Asngari (1984) lebih menekankan pada proses pembentukkan persepsi,

yaitu proses dimana inforrnasi yang diterima seseorang melalui seleksi, kemudian

disusun menjadi satu kesatuan yang bermakna kemudian diinterpretasikan. Lebih

lanjut dikatakan, pengalaman berperanan penting dalam penginterpretasian

tersebut. Sedangkan Rogers dan Shoemaker (1971) lebih menekankan persepsi

pada fungsi knowledge, dimana individu dibukakan pengetahuannya tentang

keberadaan inovasi, sehingga menambah pemahamannya. Pada fungsi ini secara

psikologis terjadi tahapan persepsi terseleksi, kecenderungan untuk

menginterpretasikan pesan komunikasi berdasarkan sikap dan keyakinannya.

Karena persepsi akan mempengaruhi sikap dan keyakinan individu, maka

keputusan mengadopsi atau menolak suatu inovasi berubungan erat dengan

persepsi individu terhadap inovasi tersebut.

Berdasarkan uraian teoritis diatas, teknologi perbaikan pakan sapi perah

perode kering introduksi BPTP Yogyakarta kepada para peternak di Kabupaten

Sleman, akan diadopsi atau tidak sangat berhubungan dengan persepsi peternak

terhadap teknologi tersebut. Persepsi tersebut melalui proses penyadaran diri

berdasarkan kerangka acuan I frame of reference mereka ( faktor-faktor

fungsional/personal) atau sikap dan pengalaman masa lalu yang telah tersimpan

dalam ingatannya (frame of experience), kemudian menginterpretasikan manfaat

terknologi introduksi tersebut bagi mereka, sehingga dari hasil proses psikologis

tersebut, memungkinkan menjadi pendorong potensial bagi diri masing-masing

(174)

Selama terjadi perbedaan kerangka acuan dan kerangka pengalaman yang

mendasari sikap individu, memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi tentang

manfaat teknologi yang diitroduksikan pada individu bersangkutan.

Dengan kata lain, persepsi individu terhadap suatu stimuli (teknologi

introduksi) bukan ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli itu, melainkan oleh

karakteristik individu yang memberikan respons pada stimuli tersebut

(Rakhmat,2000:56).

Karakteristik lndividu

Karakteristik individu turut mempengaruh persepsi seseorang. Sebagaimana

dinyatakan oleh Rakhmat (2000:49) bahwa secara psikologis setiap orang

mempersepsi stimuli sesuai dengan karakteristik personalnya. Karena itu, pesan

yang sama dapat diberi makna berbeda oleh orang yang berlainan; sehingga

Rakhmat menyatakan, "word don't mean; people mean" (kata-kata tidak mempunyai

makna; oranglah yang memberi makna). Newcomb et a1 (1978:122) menjabarkan

karakteristik individu diantaranya meliputi : umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

status sosial ekonomi, bangsa dan agama.

Dalam disertasi Harun R, pada university of the Philippines at Los Banos

(1 987) dalam Danuredja (1 999:20 ), dinyatakan bahwa karakteristik personal seperti

umur, tingkat pendidikan, pengalaman, status sosial ekonomi, keanggotaan pada

suatu organisasi, serta perilaku mencari informasi, merupakan peubah yang

berhubungan dengan persepsi dan sikap terhadap inovasi. Sedangkan hasil

penelitian Danuredja (1999:73) di Jawa Barat yang melihat hubungan antara

karakteristik individu (masyarakat kurang mampu) dengan persepsi mereka

(175)

memiliki hubungan positif dengan karakteristik umur dan pendapatan keluarga

kecuali tingkat pendidikan formal.

Dilain pihak hasil penelitian Suryadi (2000:iv) di Kabupaten Bogor,

menyimpulkan bahwa karakteristik penyuluh dan petani nelayan kecil (PNK) sangat

menentukan persepsinya tentang kendala berkomunikasi diantara mereka. Hal

senada juga diungkapkan oleh Saedinobrata (1 998:63) dalam penelitiannya tentang

hambatan-hambatan komunikasi dalam organisasi di Kabupaten Sukabumi

menyimpulkan bahwa persepsi tentang hambatan-hambatan komunikasi dalam

organisasi berbeda menurut karakterisrik masing-masing. Karakteristik dimaksud

meliputi : umur, pendidikan formal, pendapatan dan frekwensi pertemuan. Begitu

pula dengan Maksum (1994:i) yang dalam penelitiannya di Kabupaten Cilacap

menyimpulkan bahwa persepsi petani tentang faktor-faktor penghambat adopsi

embung berbeda menurut karakteristik masing-masing.

Berkaitan dengan proses difusi inovasi, Soekartawi (1 988:87-94),

menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi proses difusi inovasi, diantaranya

adalah mencakup faktor personal dan situasional. Faktor personal yang

mempengaruhi difusi inovasi meliputi: umur, pendidikan dan karakteristik psikologis

(rasionalitas, refleksibilitas mental, dogmatis, orientasi menuju kegiatan pertanian

dan kemudahan inovasi). Sedangkan faktor situasionalnya meliputi : pendapatan

usahatani, ukuran usahatani, prestise, sumber-sumber informasi yang digunakan

dan tingkat kehidupan. Dilain pihak Rogers dan Shoemaker (1971), menyatakan

kecenderungan individu menginterpretasikan pesan-pesan komunikasi menurut

sikap, kepentingan, kebutuhan dan keyakinannya sangat dipengaruhi oleh tingkat

pendidikan, status sosial, keterdedahan pada media komunikasi, kontak

(176)

Berkaitan dengan berbagai landasan teori diatas maka dalam penelitian ini

karakteristik individu yang diamati melipqti : umur, pendidikan, pemilikan ternak,

pendapatan rumah tangga, pengalaman beternak sapi perah, dan kekosmopolitan.

Intensitas Komunikasi

Berkaitan dengan dinamika receiver dalam mendapatkan informasi (pesan

komunikasi), Rogers dan Shoemaker membedakan saluran komunikasi atas dua

macam yakni saluran media massa dan saluran interpersonal. Selanjutnya saluran

interpersonal dibedakan atas saluran interpersonal lokalit dan saluran interpersonal

kosmopolit. Saluran interpersonal lokalit adalah saluran antar pribadi yang

berlangsung sebatas daerah atau sistim sosial itu saja. Sedangkan saluran

interpersonal kosmopolit adalah komunikasi yang berlangsung antara receiver

dengan sumber pesan dari luar sistem sosial receiver.

Berdasarkan ha1 tersebut, penelitian ini akan melihat sejauh mana dinamika

peternak sapi perah di Kecamataln Cangkringan melakukan kontak interpersonal

atau intensitas komunikasi mereka dalam mencari dan menerima informasi yang

berkaitan dengan teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering, dengan

berbagai pihak baik yang bersifat lokalit maupun kosmopolit; serta hubungannya

dengan keputusan inovasi mereka.

Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), kecenderungan individu

menginterpretasikan pesan menurut kebutuhan dan lain-lain, diantaranya sangat

(177)

Proses Pengambilan Keputusan lnovasi

Rogers dan Shoemaker (1 986:35) mengklasifikasikan keputusan inovasi atas

dua tipe. Pertama, keputusan otoritas yaitu keputusan yang dipaksakan kepada

seseorang, oleh individu yang berada dalam posisi atasan. Kedua, keputusan

individual, keputusan yang lebih bersifat demokratis dimana individu yang

bersangkutan turut mengambil peranan didalam menentukan keputusan itu. Lebih

lanjut Rogers dan Shoemaker mengklasifikasikan keputusan individual tersebut atas

dua jenis yakni keputusan opsional dan keputusan kolektif. Keputusan opsional

merupakan keputusan individual yang terlepas dari keputusan yang dibuat oleh

anggota sistem. Sedangkan keputusan kolektif merupakan keputusan-keputusan

yang dibuat oleh individu-individu didalam sistem sosial melalui suatu konsensus.

Dari klasifikasi keputusan inovasi tersebut penelitidn ini lebih memfokuskan

diri pada tipe keputusan individual opsional para peternak sapi perah didalam proses

keputusan inovasi mereka terhadap teknologi perbaikan pakan sapi perah periode

kering yang diintroduksikan oleh BPTP Yogyakarta.

Para ahli sosiologi pedesaan tahun 1955 (Rogers dan Shoemaker 1986:36)

menyatakan bahwa keputusan inovasi merupakan suatu "proses adopsi", dimana

keputusan individu untuk menerima atau menolak inovasi merupakan serangkaian

proses dalam kurun waktu tertentu. Proses adopsi tersebut menurut mereka terdiri

atas 5 tahapan proses yaitu: (1) kesadaran (awamess), pada tahap ini dikatakan,

seseorang mengetahui adanya inovasi (ide baru) namun kurang memiliki informasi

tentang ha1 tersebut. (2) tahap minat (inferst), individu berminat terhadap inovasi itu

dan mulai mencari informasi tentang ha1 itu. (3) tahap penilaian (evaluation),

(178)

menentukan untuk mencobanya atau tidak. (4) tahap mencoba (trial), pada tahapan

ini individu mulai menerapkan inovasi tersebut dalam skal kecil guna melihat

manfaatnya. (5) tahap penerimaan inovasi (adoption), tahapan diaman individu itu

menggunakan inovasi tersebut secara tetap dalam skala luas. Kelima tahap proses

adopsi tersebut lebih familiar dengan sebutan (akronim) AIETA.

Konsep ini belakangan dikritik karena memiliki beberapa kelemahan: (1)

konsep itu menyatakan bahwa "proses adopsi" berakhir dengan keputusan adopsi.

Padahal hasil akhir dari keputusan inovasi tidak selalu dengan mengadopsi

melainkan bisa juga penolakan. Karena itu istilah "proses adopsi" perlu diperluas

lagi; (2) Kelima tahapan proses tersebut terjadi secara berurutan, padahal dalam

kenyataannya bisa juga terjadi beberapa tahapan dilewatkan; (3) Proses keputusan

inovasi jarang berakhir dengan adopsi. Biasanya proses tersebut masih berlanjut

dengan pencarian informasi lain untuk mengukuhkan keputusan yang telah dibuat.

Berdasarkan ha1 tersebut Rogers kemudian merumuskan kembali pengertian

"proses adopsi" sebagai "proses keputusan inovasi" sebagaimana dituangkan

dalam bukunya dengan judul Diffusion of Inovation yang pertama kali diterbitkan

tahun 1962 yang edisi ketiganya diterbitkan tahun 1983. Dalam buku tersebut

Rogers (1 983: 163) mendefinisikan proses keputusan inovasi sebagai proses yang

terjadi pada seseorang atau unit pembuat keputusan lainnya, sejak pertama kali

mengetahui atau mengenal adanya suatu inovasi sampai mengambil suatu

keputusan mengadopsi atau menolak dan mengimplementasikan serta

mengkonfirmasi keputusan tersebut untuk tetap mengadopsi (sustainable adoption)

atau menolak terknologi itu. Lebih lanjut Rogers (1983:164) merinci tahapan yang

umum dilalui dalam proses pengambilan keputusan inovasi adalah: (1) tahap

(179)

suatu inovasi dan memperoleh gambaran / pengertian tentang fungsi dari inovasi

tersebut. (2) tahap persuasi (persuasion), individu / unit pengambil keputusan mulai

membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan dengan inovasi tersebut. (3) tahap

keputusan (decision), individu / unit pengambil keputusan menetapkan untuk

menerima atau menolak inovasi tersebut. (4) tahap penerapan (implementation),

individu / unit pengambil keputusan mulai melaksanakan apa yang telah diputuskan

pada tahap pengambilan keputusan tersebut, dan (5) tahap konfirmasi

(confirmation), pada tahapan ini, individu / unit pengambil keputusan mencari

penguatan atau pengukuhan terhadap inovasi yang telah diterimanya. Pada tahap

ini, bila informasi baru yang diperoleh lebih mengukuhkan inovasi yang telah

diiplementasikan tadi, maka inovasi tersebut tetap diadopsi. Sebaliknya bila

informasi baru yang diperoleh melemahkan inovasi yang telah diadopsi, maka pada

tahapan konfirmasi ini akan berakhir dengan penolakan.

Tingkat kecepatan adopsi suatu inovasi pada masing-masing individu

berbeda-beda karena itu Rogers dan Shoemaker (198638) mengkategorikan

adopter berdasarkan waktu (cepat-lambat) penerimaan suatu inovasi, dalam 5

kategori yaitu : (1) Perintis (inovator), (2) Pelopor ( early adopter), (3) Pengikut dini

/ Mayoritas awal (early mayority), (4) Pengikut akhir 1 Mayoritas akhir (late mayor@)

dan (5) Kaum kolot (laggard).

Cepat atau lambatnya proses adopsi suatu inovasi oleh individu tergantung

juga pada ciri-ciri yang melekat pada inovasi. Ciri-ciri tersebut adalah (1) keuntungan

relatif, yaitu derajat kebaikan suatu inovasi (gagasan atau teknologi baru) dibanding

dengan inovasi sebelum / sesudahnya, (2) kompabilitas, yaitu derajat kesamaan

atau keterkaitan inovasi dengan nilai-nilai, kepercayaan, dan pengalaman-

(180)

inovasi. lnovasi seyogyanya memiliki kompabilitas dengan kebutuhan adopternya.

Kompabilitas inovasi berhubungan positif dengan kecepatan adopsi, (3)

kompleksitas (kerumitan inovasi), adalah tingkat dimana suatu inovasi dianggap

relaif sulit untuk dimengerti dan digunakan. Kerumitan suatu inovasi berhubungan

negatif dengan kecepatan adopsinya, (4) Triabilitas suatu inovasi adalah tingkat

kemungkinan dapat dicoba inovasi itu dalam skala kecil / terbatas. Triabilitas suatu

inovasi berhubungan secara positif dengan kecepatan adopsi , (5) observabilitas,

yaitu tingkat dimana hasil-hasil inovasi dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain.

Observabilitas suatu inovasi berhubungan secara positif dengan kecepatan adopsi

(Rogers dan Shoemaker, 1986: 146).

Berkaitan dengan kecepatan adopsi inovasi tersebut Levis (1996),

menyatakan bahwa kecepatan adopsi inovasi juga sangat ditentukan oleh semakin

intensif dan seringnya intensitas promosi yang dilakukan oleh agen pembaru

(penyuluh) setempat dan atau pihak lain yang juga berkepentingan dengan proses

adopsi tersebut, seperti lembaga penelitian, pedagang atau sumber inovasi itu

sendiri. Lebih lanjut Levis menyatakan, kecepatan adopsi suatu inovasi oleh

seseorang atau suatu komunitas tertentu sangat ditentukan oleh urgensitas

(kepentingan segerah) masalah dan kebutuhan masyarakat. Sedangkan Soekartawi

(1990) dalam Levis (1 996), menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan proses

komunikasi dan adopsi inovasi berbagai paket teknologi pembangunan, transfer

teknologi memerlukan waktu relatif cukup lama. Hal tersebut dipenga

Gambar

Tabel Hasil Analisis Korelasi Spearman's rho ........................................
Gambar 1. Kerangka konsep pemikiran hubungan karakteristik peternak,
Tabel 1 : Distribusi responden menurut karakteristik yang diamati
Tabel 2. Frekuensi dan persentase kategori persepsi responden terhadap
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi yang berjudul “Peranan Sri Sultan Hamengkubuwono IX Dalam Mempertahankan Kedaulatan RI Pada Masa Agresi Militer Belanda Kedua (1948- 1949)” telah dipertahankan di

(2012) bahwa kesesuaian jenis pakan sangat mempengaruhi suatu organisme untuk dapat tumbuh dan berkembang biak. Pakan yang sesuai dengan kebutuhan ikan akan dimanfaatkan

Pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) dan media tanam tersebut telah memenuhi kebutuhan unsur hara pada masa pertumbuhan awal tanaman yang akan menentukan

Perbedaan kekerasan paduan Ti-6Al- 4V yang didapatkan dalam penelitian ini dibandingkan penelitian terdahulu diantaranya dapat diakibatkan perbedaan lama waktu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan Fe, Cu dan Zn di dalam rambut pengguna kosmetika pemerah bibir dan cat kuku serta hubungannya dengan kadar jenis logam yang

Sebagai penelitian awal dilakukan analisis kuantitatif merkuri dalam sampel dilakukan dengan tiga cara, yaitu sebagai berikut : menggunakan pereaksi KI, NaOH dan kawat

Bentuk saluran pemasaran buah naga di Desa Sanggulan adalah saluran dua tingkat yaitu dari petani, pedagang pengumpul, pedagang pengecer, dan

Indikator yang paling berpengaruh terhadap nilai IPG di Daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun 1999, 2002, 2005 adalah indeks kesehatan yaitu secara berturut-turut nilainnya