INTENSITAS KOMUNIKASI DAN PERSEPSI PETERNAK
TERHADAP KEBERKELANJUTAN ADOPSl TEKNOLOGX
PERBAIKAN PAKAN SAP1 PERAH PERIODE KERING
DI KECAMATAN CANGKRINGAN KABUPATEN SLEMAN
YOGYAKARTA
OLEH :
RAHIMA KALIKY
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
RAHIMA KALIKY. lntensitas Komunikasi dan Persepsi Peternak terhadap Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman
-
Yogyakarta. Komisi pembimbing BASITA GlNTlNG sebagai ketua, HAMDANI NASUTION dan MAKSUM sebagai anggota.Rendahnya produktivitas sapi perah di Kabupaten Sleman Yogyakarta diantaranya disebabkan rendahnya penguasaan teknologi oleh peternak.Tujuan penelitian adalah mengkaji keberlanjutan adopsi teknologi tersebut oleh peternak, persepsi peternak terhadap komponen komunikasi (Sumber, pesan, dan saluran) teknologi tersebut, intensitas komunikasi peternak, dan hubungan peubah-peubah tersebut dengan keberlanjutan adopsi teknologi itu. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kepuh Harjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten ~lemanl~ogyakarta menggunakan metoda survei. Penentuan lokasi penelitian secara purposive dan pengambilan sampel menggunakan metode sistimatik sampling, jumlah sampel sebanyak 60 peternak.
Hasil penelitian menunjukkan, teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering, masih tetap diadopsi secara berkelanjutan. Persepsi peternak terhadap sumber informasi (komunikator) adalah memiliki kredibilitas tinggi. Teknologi tersebut dipersepsi oleh peternak sebagai teknologi yang memiliki sifat memberikan keuntungan relatif, simple, trialible, observable, dan kompatible. Saluran komunikasi yang diandalkan oleh peternak untuk mendapatkan informasi adalah saluran komunikasi interpersonal dyadic dan kelompok lokalit. Kondisi ini menyebabkan intensitas komunikasi interpersonal dyadic maupun kelompok yang lokalit cukup tinggi dibanding komunikasi interpersonal dyadic dan kelompok kosmopolit.
Hasil analisis korelasi rank Spearman menunjukkan bahwa adopsi teknologi yang berkelanjutan berhubungan dengan persepsi responden terhadap komponen komunikasi teknologi, khususnya komponen pesan dan saluran komunikasi. Komponen pesan berupa sifat teknologi yang signifikan adalah sifat keuntungan relatif (r=0,253*), kompleksitas ( r = 0,263* ), dan kompatibilitas (r
=
0,347*). Sedangkan saluran komunikasi yang signifikan adalah saluran interpersonal (r=0,489**). Disamping itu, adopsi teknologi yang berkelanjutan juga berhubungan dengan intensitas komunikasi responden, khususnya intensitas komunikasi interpersonal dyadic lokalit (r=0,461**) dan intensitas komunikasi kelompok lokalit (r=0,263*).ABSTRACT
RAHIMA KALIKY. Communication Intensity and Dairy Farmer's Perseption towards the Sustainable Adoption of Dry Period Dairy Woof Improvement Technology at Cangkringan Subdistrict on Sleman Regency, Yogyakarta. BASITA GlNTlNG as chairman, HAMDANI NASUTION, and MAKSUM, as members of advisory committee.
The low dairy productivity of Sleman Regency, Yogyakarta, is caused by the dairy farmer's poor technological mastering. The objectives of the research are: 1) to examine the sustainable adoption of technology by dairy farmers; 2) dairy farmer's perception about communication components (sources, messages, and channel) of the technology; 3) communication intensity among the dairy-farmers; and 4) the relationship between those variables with the sustainable adoption of technology. This research was held at Kepuh Harjo Village on Cangkringan Sub district in Sleman Regency
-
Yogyakarta, using survey method. Research location was deterrninated purposively and samples were taken using sampling systematic method, where the sample population is 60 dairy-farmers.The result shows that dry period dairy woof improvement technology, is still being sustainably adopted. Dairy farmer's perception toward the source of information (communicator) is a highly credible one. The technology has been perceived as having relative advantages, simple, trialible, observable, and compatible. Since the communication channel used by dairy-farmers to obtain information is a localite interpersonal dyadic communication and localite groups communication channel, the intensity of interpersonal communication as well as localite groups are quite high, compared to interpersonal cosmopolite and cosmopolite group communication.
Analysis result based on Spearman rank correlation shows that sustainable adoption of technology is related to respondent's perception about technology communication components, especially message and communication channels. Significant technological characteristic of message components are relative advantage (r=0,253*), complexity (r=0,263*), and compatibility (r=0,347*). While the significant communication channel is interpersonal channel (r=0,489**). Furthermore, sustainable adoption of technology are also related to respondent's communication intensity, especially the intensity of the localite interpersonal dyadic communication (r
=
0,461**) and the intensity of the localite group communication (r=0,263*).SURAT PERNYATMN
Yang bertanda tangan dibawah ini adalah :
Nama Rahima Kaliky
dengan ini menyatakan bahwa Tesis berjudul :
Intensitas Komunikasi dan Persepsi Peternak terhadap Keberlanjutan Adopqi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaterr Sleman Yogyakarta,
Adalah hasil karya saya sendiri dan dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya.
Bogor, 12 September 2002
INTENSITAS KOMUNIKASI DAN PERSEPSI PETERNAK
TERHADAP KEBERKELANJUTAN ADOPSI TEKNOLOGI
PERBAIKAN PAKAN SAP1 PERAH PERIODE KERING
DI KECAMATAN CANGKRINGAN KABUPATEN SLEMAN
YOGYAKARTA
Tesis
Sebagai salah satu syarat ~mtuk
memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi
Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : lntensitas Komunikasi dan Persepsi Peternak terhadap Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Yogyakarta
Nama : Rahima Kaliky
NRP : P22500016
Program Studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Menyetujui,
Ketua
Dr. S. Hamdani Nasution Anggota
Drs. ~ a k s u m . ' ~ ~ i Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Program Pascasarjana
Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
w *
Dr. Ir. Aida Vitavala S. Hubeis,RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wamlana Pulau Buru, Maluku Tengah pada tanggal 15
Januari 1964 dari Mamah Zainabun Palisoa dan Papah Muhammad Dien Kaliky, dan
merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara.
Penulis mulai mengikuti pendidikan sarjana tahun 1983 dan masuk melalui
jalur seleksi Sipenmaru di Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon. Setelah lima
semester pertama mengikuti perkuliahan di Unpatti, penulis cuti kuliah selama satu
tahun dan selanjutnya tahun 1987 penulis melanjutkan pendidikan tersebut di
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta dan tamat pada Januari 1991. Tahun 2000 penulis diberi kesempatan
oleh BPTP Ambon untuk mengikuti program pasca sarjana (S2) dengan beasiswa
ARMP-I1 Badan Litbang Pertanian.
Karier penulis sebagai PNS diawali tahun 1993 sebagai Penyuluh Pertanian
di Sekretariat Pelaksana Harian BIMAS-Kantor Wilayah Departemen Pertanian
Maluku; Tahun 1994 -1996 penulis dipekerjakan di Dinas Perkebunan Dati I Maluku,
dan pada tahun 1996-2000 penulis dipekerjakan di Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) Ambon; Selanjutnya akibat instabilitas keamanan di Ambon maka
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Intensitas Komunikasi
dan Persepsi Peternak terhadap Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman- Yogyakarta, berhasil diselesaikan.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Basita Ginting, MA dan Bapak Dr. Hamdani Nasution serta Bapak Drs. Maksum, MSi selaku pembimbing
yang telah meluangkan waktu dan mencurahkan pemikirannya selama proses
penulisan karya ilmiah ini. Selain itu ungkapan terima kasih disampaikan kepada
Pimpinan Badan Litbang Pertanian dan ARMP-II yang telah menyediakan beasiswa,
Kepala BPTP Ambon yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program pascasarjana, serta Kepala BPTP Yogyakarta yang telah mengizinkan penulis untuk mengikuti program tersebut. Disamping itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada teman-teman KMPJ2000 atas support-nya dan
Ibu Ir. Rini Dwiastuti, MS atas diskusi-diskusi produktif. Ungkapan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang dalam penulis sampaikan kepada Mamah Zainabun
Palisoa, Papah Muhammad Dien Kaliky, dan suami Ir. Nur Hidayat, MS serta anak-
anakku tercinta : Vika, Angga, dan Dhillah atas segala doa, dorongan moril dan kasih sayangnya.
Semoga Allah SWT senantiasa menuntun dan meridhoi setiap derap langkah
kita untuk menggapai yang terbaik. Amin.
Karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, saran dan kritik konstruktif dari
pembaca akan penulis terima. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2002
lntensitas Komunikasi
Frekuensi Komunikasi Interpersonal Lokalit ... 66 Frekuensi Komunikasi Interpersonal Kosmopolit ... 67 Frekuensi Komunikasi Kelompok Lokalit ... 68
Frekuensi Komunikasi Kelompok Kosmopolit ... 69
Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering ... 69
Hubungan Karakteristik Responden dengan Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering ... 71
Hubungan Persepsi Responden pada Komunikator dengan Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering ... 77
Hubungan Persepsi Responden pada Pesan / Sifat Teknologi dengan Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering ... 82
Hubungan Persepsi Responden pada Media Komunikasi interpersonal dengan Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering ... 83
Hubungan lntensitas Komunikasi dengan Keberlanjutan Adopsi Teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering ... 84
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 88 Saran ... 90
DAFRAT PUSTAKA ... 91
LAMPIRAN
[image:151.607.83.526.84.649.2]... Hasil Analisis Validitas dan Reliabilitas lnstrumen 95 Tabel Hasil Analisis Korelasi Spearman's rho ... 101
...
Kuesioner Penelitian 104
...
DAFTAR
TABEL
Halaman
1. Distribusi responden menurut karakteristik yang diamati ... 45
2. Frekuensi dan persentase kategori persepsi responden terhadap komunikator ... 51
3. Frekuensi dan persentase kategori persepsi responden terhadap sifat teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering ... 54
4. Proporsi frekuensi dan persentase persepsi responden terhadap media interpersonal oleh lembaga penyampai teknologi ... 65
5. Frekuensi dan persentase intensitas komunikasi interpersonal lokalit ... 66
6. Frekuensi dan persentase intensitasi komunikasi interpersonal kosmopolit ... 67
7. Frekuensi dan persentase intensitasi komunikasi kelompok lokalit ... 68
8. Frekuensi dan persentase intensitasi komunikasi kelompok kosmopolit.. .... 69
9. Frekuensi dan persentase tingkat adopsi teknologi Perbaikan Pakan Sapi Perah Periode Kering di Kecamatan Cangkringan ... 70
10. Koefisien korelasi dan tingkat signifikansi karakteristik responden dengan keberlanjutan adopsi teknologi ... 71
1 1. Tabulasi silang karakterisrik responden dengan keberlanjutan adopsi teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering ... 74
12. Koefisien korelasi dan signifikansi persepsi responden pada penge- tahuan, sikap dan ketrampilan komunikasi komunikator dengan
keberlanjutan adopsi teknologi ... 77
13. Tabulasi silang persepsi peternak terhadap pengetahuan, sikap, dan ketrampilan komunikasi komunikator dengan keberlanjutan adopsi
...
7914. Koefisien korelasi dan signifikansi persepsi responden pada Sifat teknologi (pesan komunikasi) dengan keberlanjutan teknologi ... 82
DAFTAR GAMBAR
Halaman
I. Kerangka konsep pemikiran intensitas komunikasi dan persepsi peternak terhadap keberlanjutan adopsi teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman
...
Yogyakarta 33
2. Persentase kategori persepsi responden terhadap Keuntungan relatif teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering ... 54
3. Persentase kategori persepsi responden terhadap kompleksitas teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering
...
564. Persentase kategori persepsi responden terhadap trialibilitas teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering
...
575. Persentase kategori persepsi responden terhadap observabilitas teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering ... 58
6. Persentase kategori persepsi responden terhadap kompatibilitas teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering
...
597. Persentase kategori keberlanjutan adopsi teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering ... 60
8. Frekuensi responden yang pernahhidak pernah membaca Liptan, brosur dan mendengar siaran radio tentang teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering ... 62
9. Proporsi kategori umur dengan kategori keberlanjutan adopsi teknologi
...
76 10. Proporsi kategori pendidikan dengan kategori keberlanjuran adopsi ... 761 1. Proporsi kategori pemilikan ternak induk dengan kategori keberlanjutan adopsi teknologi ... 76
12. Proporsi kategori pendidikan dengan kategori keberlanjutan adopsi teknologi ... 76
13. Proporsi kategori pengalaman beternak sapi perah dengan kategori keberlanjutan adopsi teknologi ... 76
15 . Proporsi persepsi terhadap tingkat pengetahuan komunikator dengan
...
kebertanjutan adopsi teknologi 81
16
.
Proporsi persepsi terhadap sikap kornunikator dengan keberlanjutan adopsi teknologi ... 8117 . Proporsi persepsi terhadap ketrampilan berkomunikasi komunikator
...
dengan keberfanjutan adupsi teknologi 81
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
.
Hasil Analisis Validitas Dan Reliabilitas lnstrumen ... 952 . Tabel Hasil Analisis Korelasi Spearman's rho ... 101
3 . Kuesioner Penelitian ... 104
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Secara umum pembangunan pertanian harus mampu memberikan
pendapatan dan kesejahteraan yang layak bagi para pelakunya, memainkan
peranan yang nyata dalam pertumbuhan dan pemerataan ekonomi melalui
penyediaan pangan, bahan baku industri, kesempatan kerja produktif, dan devisa
serta mendukung pembangunan wilayah pedesaan (Suryana at a1.1998:58). Lebih
lanjut dikatakan, dari peran yang diharapkan tersebut, permasalahan dan tantangan
utama yang dihadapai sektor pertanian adalah meningkatkan daya kompetisi
komoditas pertanian melalui peningkatan efisiensi usaha. Hal tersebut dapat
dilaksankan dengan memanfaatkan sumberdaya pembangunan secara optimal;
menerapkan pembangunan pertanian spesifik lokasi, mengembangkan komoditas
unggulan dan kawasan andalan, serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat.
Ternak sapi perah merupakan salah satu usaha andalan sub sektor
peternakan yang memiliki peluang prospektif dalam kegiatan agroindustri sebagai
salah satu sub sistem agribisnis. Pengembangan usaha tenak ini sangat berdampak
positif terhadap penciptaan lapangan kerja dan menjanjikan pendapatan tunai,
sehingga dapat memotivasi peternak untuk berperan aktif dalam kegiatan agribisnis
guna meningkatkan pendapatan kelmarganya. Selain itu juga untuk meningkatkan
gizi peternak dan keluarga, serta secara makro memperbaiki gizi nasional
disamping dapat menghemat devisa (menekan impor susu) (Mulyadi ef a/. 1995:l).
Berkaitan dengan usaha peternakan sapi perah di Indonesia, berberapa hasil
melaporkan bahwa sebagian besar usaha sapi perah di lndonesia adalah usaha
peternakan rakyat dengan rataan pemilikan kecil yaitu 2-3 ekor induk serta rataan
produksi susu per ekor rendah 5,6 literlhari, disamping sistim usahataninya bersifat
tradisional yang ditandai dengan penggunaan tenaga kerja keluarga, dan
pemeliharaan sederhana, serta sumberdaya belum dimanfaatkan secara optimal
sehingga tingkat keuntungan belum memadai (Puslitbangnak,91;92;93; Sitorus et
a/. 1 994).
Meskipun secara umum produktivitas sapi perah di lndonesia rendah
termasuk di Yogyakarta seperti dilaporkan oleh BPTP bahwa produksi susu rata-rata
di Kabupaten Sleman Yogyakarta adalah 3-8 liter 1 ekor I hari. Namun di Garut Jawa
Barat Sebagaimana dinyatakan dalam laporan hasil penelitian Sori Basya (1993)
diacu dalam Sitorus et a1 (1994:6), bahwa rataan produksi susu sapi perah lokal di
Garut cukup tinggi yakni 153 literlekorlhari.
Kabupaten Sleman merupakan sentra produksi susu sapi di Daerah lstimewa
Yogyakarta (DIY). Jumlah populasi sapi perah di DIY tahun 2000 adalah 4.069 ekor
dengan total produksi susu yang dihasilkan adalah 6.888.049 kg. Dari jumlah
tersebut, 3.744 ekor (92,Ol %) diantaranya berada di Kabupaten Sleman dengan
produksi susu yang dihasilkan sebanyak 6.338.571 kg atau 92,02 % dari total
produksi susu sapi DIY (Dinas Peternakan Propinsi DIY,2000)
Laporan hasil pengkajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta,
(IP2TP,2000:19), menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi peternak di DIY
termasuk Kabupaten Sleman dalam pengembangan sapi perah adalah
keterbatasan penyediaan hijauan pakan dan konsentrat, tata laksana pemeliharaan
yang tradisional, modal usaha kecil, dan rendahnya produksi susu yang hasilkan
Sementara itu Masbulan et a1 (1 998), melaporkan bahwa para peternak sapi
perah di Yogyakarta seringkali mengalami kerugian yang diakibatkan oleh
ketidakseimbangan antara produksi susu yang dihasilkan dengan input yang
dikobankan. Salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas tersebut adalah
sangat minim teknologi yang dikuasai peternak. Rendahnya penguasan teknologi
oleh peternak tersebut kemungkinan disebabkan kurang tersebamya
(terdesiminasikan) teknologi yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian dan
perguruan tinggi di Indonesia.
Permasalahan minimnya penguasaan teknologi oleh peternak sapi perah
dalam usahaternaknya ini, telah direspons oleh BPTP Yogyakarta dengan
rnelakukan introduksi teknologi tepat guna melalui kegiatan penelitian I pengkajian.
Salah satu teknologi yang telah diintroduksi aleh BPTP adalah teknologi perbaikan
pakan sapi perah periode kering, dengan spesifikasi teknologi adalah pemberian
pakan konsentrat dalam ransum ternak induk pada periode kering sebanyak 1,5 %
dari berat badan . Teknologi ini telah diperkenalkan oleh BPTP pada tahun anggaran
199912000 melalui kegiatan penelitian Sistem Usahatani (SUT) berbasis sapi perah
di Kabupaten Sleman.
Aplikasi teknologi tersebut oleh peternak selama kegiatan penelitianl
pengkajian berlangsung menandakan bahwa para peternak telah mererapkan
teknologi tersebut. Artinya dalam tahap keputusan inovasi, mereka telah
memutuskan untuk mengadopsi teknologi itu dan selanjutnya mengimplementasi-
kannya dalam uasaha ternaknya. Berikutnya pada tahap konfirmasi, apakah
penggunaan teknologi itu akan dihentihan ( ditolak ) atau terus diadopsi secara
berkelanjutan kemudian dikukuhkan dalam usaha ternaknya, tergantung pada
Penelitian ini ingin mengkaji sejauh mana tingkat keberlanjutan adopsi
teknologi tersebut oleh peternak sapi perah di kecamatan Cangkringan
-
Sleman,dari perspektif ilmu komunikasi dengan melihat persepsi peternak terhadap
komunikator teknologi itu, sifat teknologi itu sendiri (pesan) , disamping persepsi
terhadap media komunikasilsaluran yang digunakan, serta hubungannya dengan
keberlanjutan adopsi teknologi tersebut. Disamping itu juga diamati intensitas
komunikasi dan karakteristik peternak, serta hubungannya dengan keberlanjutan
adopsi teknologi tersebut.
Meskipun objek penelitian tentang persepsi dan adopsi teknologi telah
banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, namun penelitian ini lebih
difokuskan pada keberlanjutan adopsi teknologi dan persepsi pengguna teknologi
dimana perspektif komunikasi merupakan tinjauan utama, terutama pada komponen
sumber (Source), pesan (Massage), dan media (Channel ) yang digunakan untuk
mengkomunikasikan teknologi tersebut.
Rumusan Masalah
Rendahnya produktivitas sapi perah di Yogyakarta termasuk kabupaten
Sleman diantaranya disebabkan oleh rendahnya penguasaan teknologi oleh
peternak. BPTP Yogyakarta telah memperkenalkan berbagai teknologi tepat guna
berbasis sapi perah. Satu diantara teknologi itu adalah Teknologi Perbaikan Pakan
Sapi Perah Periode Kering. Bagaimanakah persepsi peternak terhadap teknologi
tersebut; bagaimanakan karakteristik mereka; serta bagaimanakan intensitas
komunikasi mereka; adakah kaitan karakteristik dan intensitas komunikasi serta
Secara spesifik permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah karakteristik peternak?
2. Bagaimana persepsi peternak pada komunikator, pesan (sifat teknologi), dan
saluranlmedia komunikasi terhadap teknologi perbaikan pakan sapi perah
periode kering ?
3. Bagaimanakah intensitas komunikasi peternak ?
4. Bagaimanakah tingkat keberlanjutan adopsi teknologi perbaikan pakan sapi
perah periode kering pasca penelitian BPTP ?
5 . Bagaimanakah hubungan antara karakteristik, persepsi peternak pada komunikator, pesan (sifat teknologi), dan saluranlmedia komunikasi yang
digunakan, serta intensitas komunikasi peternak dengan keberlanjutan adopsi
teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering ?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengkaji karakteristik peternak sapi perah
2. Mengkaji persepsi peternak pada komunikator, pesan (sifat teknologi), dan
saluranlrnedia komunikasi terhadap teknologi perbaikan pakan sapi perah
periode kering.
3. Mengkaji intensitas komunikasi peternak
4. Mengkaji tingkat keberlanjutan adopsi taknologi perbaikan pakan sapi perah
periode kering pasca penelitian BPTP
5. Mengkaji hubungan antara karakteristik, persepsi peternak pada komunikator,
intensitas komunikasi peternak dengan keberlanjutan adopsi teknologi perbaikan
pakan sapi perah periode kering.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna :
Untuk bahan pertimbangan dalam penyusunan program komunikasi dalam
berbagai kegiatan penelitian dan pengkajian (litkaji) teknologi pertanian serta
diseminasi hasil litkaji, sebagai salah satu upaya untuk mencapai
keberhasilan penerapan program litkaji dan diserninasi hasil litkaji ditingkat
lapang.
Sebagai masukan bagi penelitian-penelitian komunikasi pembangunan
pertanian dan pedesaan berikutnya yang melihat persepsi dan proses
adopsi inovasi/teknologi pertanian.
Sebagai kontribusi pemikiran bagi perkembangan ilmu komunikasi
TINJAUAN PUSTAKA
Konseptualisasi Komunikasi
Mulyana (2001 :61) dalam bu kunya llmu Komunikasi Suatu Pengantar
mengemukakan bahwa setidaknya terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai
komunikasi, yaitu: ( 1 ) komunikasi sebagai tindakan satu arah, (2) komunikasi
sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai transaksi.
Komunikasi Sebagai Tindakan Satu Arah. Pemahaman komunikasi sebagai
proses satu arah disebutkan oleh Micheal Burgoon, sebagai "definisi berorientasi
sumbet" (source oriented definition) yang mengisyaratkan komunikasi sebagai
kegiatan yang sengaja dilakukan seseorang untuk menyampaikan ransangan guna
membangkitkan respons orang lain. Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan
satu arah ini mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif.
Komunikasi Sebagai Interaksi. Pandangan komunikasi sebagai interaksi ini
menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi yang
arahnya bergantian dan lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit lebih dinamis
daripada komunikasi satu arah, meskipun masih membedakan para komunikate
sebagai komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi sumber,
meskipun kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi yang
berlangsung pada dasarnya juga masih bersifat mekanis dan statis.
Komunikasi Sebagai Transaksi. Dalam konteks komunikasi ini, proses
penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan
simultan diantara para komunikate. Semakin banyak orang yang berkomunikasi
hubungan yang lebih rumit, serta lebih banyak pesan verbal dan non verbal.
Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi tersebut
tidak membatasi komunikate pada komunikasi yang disengaja atau respon yang
dapat diamati. Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah
berlangsung bila seserang telah menafsirkan perilaku orang lain baik perilaku verbal
maupun perilaku non verbal. Artinya konseptualisasi komunikasi ini lebih sesuai
untuk konteks komunikasi interpersonal karena lebih bersifat dinamis dar~ para
pelaku komunikasi tidak dibedakan antara sumber dan penerima, melainkan
semuanya saling berpatisipasi dalam interaksi sebagai partisipan komunikasi.
Ketiga konsep pemahaman komunikasi tersebut sangat dipengaruhi oleh
ketepatan komunikasi (fidelity of communication). Dengan ketepatan komunikasi
yang tinggi, para komunikate akan memperoleh apa yang mereka kehendaki dari
tujuan berkomunikasinya. Komunikator akan puas karena pesan yang disampaikan
dapat diterima dan dilaksanakan komunikan seperti yang dikehendaki, dan
komunikanpun akan puas karena pesan yang diterimanya sesuai dengan
kebutuhan. Ketepatan komunikasi tersebut merupakan indikator dari efektivitas
komunikasi.
Berlo (1960:41) mengemukakan, ada enam elemen dasar yang menentukan
efektivitas komunikasi yaitu : Sumber
-
encoder, pesan, saluran, dan penerimapesan
-
dekoder.(a) Sumber
-
enkoder.Agar komunikasi menjadi efektif, seorang komunikator dalam proses
berkomunikasi harus menentukan strategi bagaimana cara mempengaruhi
komunikannya dan menganalisis pesan yang diterima sebelum memberi respons
ditentukan oleh empat faktor yaitu : (1) ketrampilan berkomunikasi (communication
skills) secara lisan dan tulisan , (2) sikap jujur dan bersahabat (attitude), (3) tingkat
pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan (knowledge), dan (4)
mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural system)
komunikan.
Menurut Berlo (1960:41) terdapat lima ketrampilan kotnunikasi verbal yaitu
menulis, dan berbicara (ketrampilan meng-encoding), ketrampilan membaca,
dan mendengar 1 menyimak (ketrampilan meng-decoding), serta pemikiran atau
pertimbangan (thought or reasoning) merupakan ketrampilan yang paling penting
didalam meng-encoding maupun meng-decoding pesan.
Sikap komunikator (attitude). Sikap seorang komunikator yang bersahabat,
hangat dan jujur sangat mempengaruhi efktifitas komunikasi. Menurt Berlo (60:45),
sikap komunikator mempengaruhi kebiasaannya berkomunikasi. Berlo
mengartikan kata "sikap" dalam arti sempit dengan menjawab pertanyaan : How do
the attitude of the source affect communication ? Selanjutnya Berlo menjabarkan
sikap komunikator menjadi tiga sikap yatu: (1) sikap terhadap diri sendiri (attitude
toward selt), yang berkaitan dengan kepribadian indvidu dalam berkomunikasi; (2)
Sikap terhadap materi (pesan) yang dikomunikasikan (attitude toward subject
matter). Bila seorang komunikator tidak yakin terhadap subject matter nya, maka ha1
ini akan menyulitkan dia berkomunikasi secara efektif tentang subjek 1 materi itu. (3)
Sikap terhadap komunikan (attitude toward receiver). Sikap komunikator pada
komunikannya berpengaruh terhadap komunikasi diantara mereka. Berlo
mengilustrasikan; Bila pembaca atau pendengar menyadari bahwa apa yang
ditulisldibicarakan sama seperti yang mereka rasakan, maka kritik terhadap pesan
disampaikan oleh penulis atau pembicara akan diterima oleh komunikan bila pesan
itu sesuai kebutuhan mereka.
Sedangkan pengertian sikap dalam konteks perilaku organisasi menurut
Robbins (2001:138), adalah pernyataan evaluatif mengenai objek, orang atau
peristiwa. Sikap tidak sama dengan nilai, tapi keduanya saling berhubungan. Saling
keterhubungan antara sikap dan nilai tersebut dapat dilihat pada tiga komponen dari
suatu sikap yaitu: (1) pengertian (cognation), (2) keharuan (affection), dan (3)
perilaku (behavior). Komponen kognitif suatu sikap merupakan segmen pendapat
atau keyakinan akan suatu sikap. Komponen afektif merupakan segmen emosional
atau perasaan dari suatu sikap, sedangkan komponen perilaku suatu sikap
merupakan suatu maksud untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap
seseorang atau sesuatu. Lebih lanjut Robbins menegaskan bahwa istilah sikap
(attitude) pada hakekatnya merujuk kebagian afektif dari tiga komponen itu.
Bila kita kaitkan pengertian istilah sikap yang dikemukakan oleh Robins
dengan istilah sikap komunikator yang dikemukakan oleh Berlo, maka dapat
disimpulkan bahwa implementasi istilah sikap komunikator lebih mengarah pada
komponen perilaku (behavior) dari sikap. Sedangkan dalam perilaku organisasi,
istilah sikap lebih mengarah pada komponen afektifnya.
Tingkat pengetahuan (knowledge). Seorang komunikator harus memiliki
tingkat pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan sehingga dia
kredibel dimata khalayaknya. Menurut Aristoteles (diacu dalam Cangara; 2000),
seorang komunikator itu kredibel apabila memiliki ethos, pathos dan logos. Ethos
ialah kekuatan yang dimiliki pembicara dari karakter pribadinya sehingga ucapan-
ucapannya dapat dipercaya. Pathos adalah kekuatan yang dimiliki pembicara dalam
dimiliki komunikator melalui argumentasinya (argumentasi kuat bila ditunjang tingkat
pengetahuan yang luas). Memperluas pendapat Aristoteles, McCroskey,l966
(Cangara,2000:96)) mengungkapkan bahwa kredibilitas seorang komunikator dapat
bersumber dari kompetensi (competence), sikap (attitude), tujuan (intention),
kepribadian (personality), dan dinamika (dynamism). Kompetensi ialah pengusaan
komunikator terhadap masalah yang dibahas (tingkat pengetahuan terhadap materi
yang bahas cukup luas). Sikap menunjukkan pribadi komunikator apakah tegar atau
toleran dalam prinsip. Tujuan menunjukan apakah hal-ha1 yang disarnpaikan itu
memiliki maksud baik atau tidak. Kepribadian menunjukkan apakah komunikator
memiliki pribadi yang hangat dan bersahabat. Sedangkan dinamika menunjukkan
apakah ha1 yang disampikan itu menarik atau justru membosankan.
Mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural
system) komunikannya. Berlo menyatakan bahwa derajat pesan yang dapat
diserap oleh penerima dipengaruhi oleh berbagai ha1 diantaranya adalah sistem
sosial budaya penerima. Karena itu seorang komunikator seyogyanya memahami
sistem sosial budaya komu ni kannya.
(b) Pesan.
Berlo (1960:54) menegaskan pesan adalah sebagai produk fisik aktual
(actual physical product) dari komunikator-komunikan. Ketika seseorang berpidato,
menulis, menggambar, dan menggerakkan anggota tubuh sebagai isyarat, maka isi
pidato, tulisan, gambar, dan menggerakkan tangan serta ekspresi wajahnya
merupakan pesan.
Tiga faktor yang terkandung dalam pesan adalah kode pesan, isi pesan dan
masing-masing faktor (elemen dan struktur dari kode pesan, elemen dan struktur
dari isi pesan serta elemen dan struktur dari perlakuan pesan).
Elemen dan struktur pesan. Struktur pesan merupakan gabungan dari
elemen-elemen pesan. Misalnya kita menulis sebuah kata An~ga, maka Angga
merupakan struktur yang tersusun dari elemen-elemen huruf a, n, g, g, dan a. Hal
yang penting diketahui dalam komunikasi adalah perbedaan antara bentuk (struktur)
dan substansi (elemen) dalam proses komunikasi. Berlo menyatakan, perlu
diperjelas dan menjadi bahan perdebatan dalam komunikasi, mana yang lebih
penting antara ide (elemen) atau organisasi ide (struktur).
Kode pesan. Pesan yang dikirim komunikator kepada komunikan terdiri atas
rangkaian simbol dan kode. Simbol adalah lambang yang memiliki suatu objek.
Sedangkan kode adalah simbol yang tersusun secara sistematis dan teratur
sehingga memiliki arti. Dengan demikian simbol yang tidak memiliki arti bukanlah
kode (Berlo, 1960 diacu dalam Cangara,2000:102). Lampu pengatur lalu lintas
(Traffic light) adalah simbol polisi lalu lintas, sedangkan simbol warna adalah kode
bagi pemakai jalan.
Ketika kita meng-encode pesan, kita harus memutuskan kode yang akan
digunakan meliputi (1) kode yang mana saja, (2) elemen kode yang mana, dan (3)
metode struktur elemen dari kode mana yang kita pilih. Tujuan pemilihan tersebut
adalah agar pesan dapat diterima komunikan tanpa distorsi.
Isi pesan. Isi pesan merupakan materi pesan yang terseleksi oleh
komunikator untuk mengekspresikan tujuan. Yang termasuk isi pesan adalah
pernyataanlpemaknaan yang kita buat, informasi yang kita tampilkan, kesimpulan
Perlakuan pesan. Perlakuan pada pesan adalah keputusan komunikator
untuk memilih dan menyusun kode dan isi pesan yang dikirim. Faktor penentu
perlakuan pada pesan adalah keperibadian, karakter individu, keterampilan, sikap,
pengertahuan, budaya, dan status dalam sistem sosial. Perlakuan pesan bisa juga
disimpulkan sebagai cara komunikator menyusun kode dan isi pesan. Berlo
menambahkan kita dapat mengidentifikasi individu berdasarkan karakter perilaku
pesan melalui tulisan seseorang, musik yang dihasilkan, dl1 kemudian menganalisis
pesan yang disampaikan dari segi kode, isi, dan perlakuan pesan. Jadi karakter
individu dapat dianalisis melalui pesan yang dihasilkan.
(c) Saluran (chanel)
Saluran komunikasi adalah alat untuk menyalurkan pesan dari komunikator
ke komunikan. Rogera dan Shoemaker (1 971 :24) membedakan saluran komunikasi
atas dua jenis yaitu (1) saluran media massa, dan (2) saluran interpersonal. Saluran
media massa adalah alat penyampai pesan yang memungkin pencapaian
komunikan dalam jumlah besar, yang dapat menembus batasan waktu dan ruang
seperti radio, TV, koran, dan sebagainya. Sedangkan saluran interpersonal
merupakan saluran komunikasi melalui pertemuan tatap muka antara komunikator
dan komunikan.
Hanafi (1 986: 1 18) dalam bukunya Memasyarakatkan Ide-ide Banr
menambahkan, saluran interpersonal dapat bersifat kosmopolit dan lokalit. Saluran
interpersonal kosmopolit adalah saluran komunikasi yang melibatkan komunikator
yang berasal dari luar sistem sosial komunikan. Sedangkan saluran interpersonal
lokalit adalah saluran komunikasi dimana komunikator berasal dari dalam sistem
Penentuan dan penggunaan saluran komunikasi yang tepat sangatlah
penting didalam proses difusi inovasi. Saluran komunikasi media massa lebih efektif
digunakan pada tahap pengenalan inovasi. Dimana saluran tersebut berfungsi untuk
menyampaikan informasi 1 pengetahuan (knowlegde) kepada khalayak dalam jumlah
yang besar. Sedangkan saluran komunikasi interpersonal lebih tepat digunakan
pada tahapan persuasi karena kontak antara komunikator dan komunikan lebih
banyak bersifat pribadi, sehingga akibat yang timbulkan banyak berupa
pembentukkan dan perubahan sikap sehingga saluran interpersonal dapat
memainkan peranan penting pada tahap persuasi. Jadi perbedaan kedua saluran
tersebut pada dampak (efek) yang ditimbulkan. Media interpersonal mempunyai efek
yang tinggi pada pembentukkan dan perubahan sikap dan rendah pads kognitif.
Sedangkan media massa berefek tinggi pada kognitif dan rendah pada
pembentukkan dan perubahan sikap komunikan (audience)
Penggunaan saluran komunikasi ternyata berbeda antara negara-negara
maju dengan negara-negara berkembang. Sebagaimana dijelaskan oleh Hanafi
(1986:121) bahwa di negara berkembang media interpersonal masih memegang
peranan penting dalam tahap pengenalan inovasi, terutama saluran interpersonal
kosmopolit. Hal tersebut menurut hanafi kemungkinan disebabkan oleh (1) kurang
tersedianya media massa yang dapat menjangkau komunikan di wilayah pedesaan,
(2) masih tingginya tingkat buta huruf penduduk, dan (3) tidak relevannya pesan-
pesan yang dimuat media massa itu dengan kebutuhan masyarakat, atau (4)
mungkin media massa lebih dipandang sebagai sarana hiburan daripada sebagai
(d)
Komunikan.Komunikan biasa disebut juga dengan istilah penerima pesan, decoder,
khalayak, sasaran,audience dan lain sebagainya. Komunikan merupakan salah satu
aktor dalam proses komunikasi. Berhasil tidaknya proses komunikasi sangat
ditentukan oleh komunikan.
Komunikan dalam studi komunikasi bisa berupa individu, kelompok dan
masyarakat (Cangara:2000:151). Karena itu sebelum memulai proses komunikasi
seorang komunikator harus mengetahui siapa dan bagaimana khlayaknya.
Lebih lanjut Cangara menambahkan ada tiga aspek yang parlu diketahui
komunikator tentang komunikannya yaitu: aspek sosiodemografik, aspek profil
psikologi, dan Aspek karakteristik perilaku. Aspek sosiodernografik antara lain
adalah: jenis kelamin, usia, jumlah populasi, lokasi, tingkat pendidikan, bahasa yang
digunakan, agama, pekerjaan, ideologi, dan pemilikan media massa. Aspek profil
psikologis ialah memahami komunikan dari segi kejiwaan seperti : emosi
(bagaimana temperamenya), bagaimana pendapat-pendapat mereka, adakah
keinginan mereka yang perlu dipenuhi, dan sebagainya. Sedangkan dari aspek
karakteristik perilaku komunikan yang perlu diketahui diantaranya adalah hobi, nilai
dan norma, mobilitas sosial, dan perilaku komunikasi, kebiasaan suka berterus
terang atau tidak.
Terlepas dari ha1 itu semua, perlu diingat bahwa derajat pesan yang dapat
diserap (didecode) oleh komunikan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya
adalah ketrampilan berkomunikasi, tingkat pengetahuan, dan sistem sosial budaya
Parsepsi
Rakhmat (2000:51) menyatakan persepsi adalah pengalaman tentang objek,
peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan menafsirkan pesan. Dengan demikian persepsi merupakan inti komunikasi
dimana interpretasi merupakan inti persepsi (Mulyana,2000: 167). Dengan kata lain
persepsi adalah pemberian makna pada stimuli indrawi. Pemberian makna pada
stimuli indrawi melibatkan sensasi, atensi, ekspekt.asi, motivasi dan memori
(Desiderato, 1976, dalam Rakhmat, 2000:51). Persepsi juga mempengaruhi
keberhasilan suatu komunikasi, sebab dalam prosesnya persepsi mempengaruhi
rangsangan (stimulus) 1 pesan yang kita terima dan makna yang kita berikan
(Devito, 2000:75). Karena itu kegagalan komunikasi seringkali terjadi karena
ketidakcermatan dalam persepsi interpersonal (Tubbs-Moss,2000:64). Menurut
Samovar et a1 (1981), persepsi adalah proses yang terjadi didalam individu untuk
memilih, mengevaluasi, dan mengorganisasi rangsangan dari iingkungan
sekitarnya. Senada dengan Samovar, Gibson (1994), mendefinisikan persepsi
sebagai proses memberikan arti terhadap lingkungan oleh individu. Berkaitan
dengan Gibson, Effendi (1992:127) mengartikan persepsi sebagai penginderaan
terhadap sesuatu yang timbul dalam lingkungan dan penginderaan itu dipengaruhi
oleh pengalaman, kebiasaan dan kebutuhan. Dengan demikian persepsi merupakan
suatu proses dimana seseorang menjadi sadar tentang keadaan alam
lingkungannya (Kemp et al.1975). Borrnan (1991) mengemukakan persepsi kita
terhadap lingkungan sekitar berbeda-beda. Kita lebih sering memahaminya dengan
mencocokkan berbagai bagiannya dengan bentuk lain yang dapat kita kenal.
psycological nois, " We tend to see, hear and believe only what we want to see,
hear and believe" (kita cenderung untuk melihat, mendengar dan percaya hanya
pada apa yang ingin kita lihat, dengar dan percayai).
Asngari (1984) lebih menekankan pada proses pembentukkan persepsi,
yaitu proses dimana inforrnasi yang diterima seseorang melalui seleksi, kemudian
disusun menjadi satu kesatuan yang bermakna kemudian diinterpretasikan. Lebih
lanjut dikatakan, pengalaman berperanan penting dalam penginterpretasian
tersebut. Sedangkan Rogers dan Shoemaker (1971) lebih menekankan persepsi
pada fungsi knowledge, dimana individu dibukakan pengetahuannya tentang
keberadaan inovasi, sehingga menambah pemahamannya. Pada fungsi ini secara
psikologis terjadi tahapan persepsi terseleksi, kecenderungan untuk
menginterpretasikan pesan komunikasi berdasarkan sikap dan keyakinannya.
Karena persepsi akan mempengaruhi sikap dan keyakinan individu, maka
keputusan mengadopsi atau menolak suatu inovasi berubungan erat dengan
persepsi individu terhadap inovasi tersebut.
Berdasarkan uraian teoritis diatas, teknologi perbaikan pakan sapi perah
perode kering introduksi BPTP Yogyakarta kepada para peternak di Kabupaten
Sleman, akan diadopsi atau tidak sangat berhubungan dengan persepsi peternak
terhadap teknologi tersebut. Persepsi tersebut melalui proses penyadaran diri
berdasarkan kerangka acuan I frame of reference mereka ( faktor-faktor
fungsional/personal) atau sikap dan pengalaman masa lalu yang telah tersimpan
dalam ingatannya (frame of experience), kemudian menginterpretasikan manfaat
terknologi introduksi tersebut bagi mereka, sehingga dari hasil proses psikologis
tersebut, memungkinkan menjadi pendorong potensial bagi diri masing-masing
Selama terjadi perbedaan kerangka acuan dan kerangka pengalaman yang
mendasari sikap individu, memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi tentang
manfaat teknologi yang diitroduksikan pada individu bersangkutan.
Dengan kata lain, persepsi individu terhadap suatu stimuli (teknologi
introduksi) bukan ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli itu, melainkan oleh
karakteristik individu yang memberikan respons pada stimuli tersebut
(Rakhmat,2000:56).
Karakteristik lndividu
Karakteristik individu turut mempengaruh persepsi seseorang. Sebagaimana
dinyatakan oleh Rakhmat (2000:49) bahwa secara psikologis setiap orang
mempersepsi stimuli sesuai dengan karakteristik personalnya. Karena itu, pesan
yang sama dapat diberi makna berbeda oleh orang yang berlainan; sehingga
Rakhmat menyatakan, "word don't mean; people mean" (kata-kata tidak mempunyai
makna; oranglah yang memberi makna). Newcomb et a1 (1978:122) menjabarkan
karakteristik individu diantaranya meliputi : umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
status sosial ekonomi, bangsa dan agama.
Dalam disertasi Harun R, pada university of the Philippines at Los Banos
(1 987) dalam Danuredja (1 999:20 ), dinyatakan bahwa karakteristik personal seperti
umur, tingkat pendidikan, pengalaman, status sosial ekonomi, keanggotaan pada
suatu organisasi, serta perilaku mencari informasi, merupakan peubah yang
berhubungan dengan persepsi dan sikap terhadap inovasi. Sedangkan hasil
penelitian Danuredja (1999:73) di Jawa Barat yang melihat hubungan antara
karakteristik individu (masyarakat kurang mampu) dengan persepsi mereka
memiliki hubungan positif dengan karakteristik umur dan pendapatan keluarga
kecuali tingkat pendidikan formal.
Dilain pihak hasil penelitian Suryadi (2000:iv) di Kabupaten Bogor,
menyimpulkan bahwa karakteristik penyuluh dan petani nelayan kecil (PNK) sangat
menentukan persepsinya tentang kendala berkomunikasi diantara mereka. Hal
senada juga diungkapkan oleh Saedinobrata (1 998:63) dalam penelitiannya tentang
hambatan-hambatan komunikasi dalam organisasi di Kabupaten Sukabumi
menyimpulkan bahwa persepsi tentang hambatan-hambatan komunikasi dalam
organisasi berbeda menurut karakterisrik masing-masing. Karakteristik dimaksud
meliputi : umur, pendidikan formal, pendapatan dan frekwensi pertemuan. Begitu
pula dengan Maksum (1994:i) yang dalam penelitiannya di Kabupaten Cilacap
menyimpulkan bahwa persepsi petani tentang faktor-faktor penghambat adopsi
embung berbeda menurut karakteristik masing-masing.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi, Soekartawi (1 988:87-94),
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi proses difusi inovasi, diantaranya
adalah mencakup faktor personal dan situasional. Faktor personal yang
mempengaruhi difusi inovasi meliputi: umur, pendidikan dan karakteristik psikologis
(rasionalitas, refleksibilitas mental, dogmatis, orientasi menuju kegiatan pertanian
dan kemudahan inovasi). Sedangkan faktor situasionalnya meliputi : pendapatan
usahatani, ukuran usahatani, prestise, sumber-sumber informasi yang digunakan
dan tingkat kehidupan. Dilain pihak Rogers dan Shoemaker (1971), menyatakan
kecenderungan individu menginterpretasikan pesan-pesan komunikasi menurut
sikap, kepentingan, kebutuhan dan keyakinannya sangat dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan, status sosial, keterdedahan pada media komunikasi, kontak
Berkaitan dengan berbagai landasan teori diatas maka dalam penelitian ini
karakteristik individu yang diamati melipqti : umur, pendidikan, pemilikan ternak,
pendapatan rumah tangga, pengalaman beternak sapi perah, dan kekosmopolitan.
Intensitas Komunikasi
Berkaitan dengan dinamika receiver dalam mendapatkan informasi (pesan
komunikasi), Rogers dan Shoemaker membedakan saluran komunikasi atas dua
macam yakni saluran media massa dan saluran interpersonal. Selanjutnya saluran
interpersonal dibedakan atas saluran interpersonal lokalit dan saluran interpersonal
kosmopolit. Saluran interpersonal lokalit adalah saluran antar pribadi yang
berlangsung sebatas daerah atau sistim sosial itu saja. Sedangkan saluran
interpersonal kosmopolit adalah komunikasi yang berlangsung antara receiver
dengan sumber pesan dari luar sistem sosial receiver.
Berdasarkan ha1 tersebut, penelitian ini akan melihat sejauh mana dinamika
peternak sapi perah di Kecamataln Cangkringan melakukan kontak interpersonal
atau intensitas komunikasi mereka dalam mencari dan menerima informasi yang
berkaitan dengan teknologi perbaikan pakan sapi perah periode kering, dengan
berbagai pihak baik yang bersifat lokalit maupun kosmopolit; serta hubungannya
dengan keputusan inovasi mereka.
Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), kecenderungan individu
menginterpretasikan pesan menurut kebutuhan dan lain-lain, diantaranya sangat
Proses Pengambilan Keputusan lnovasi
Rogers dan Shoemaker (1 986:35) mengklasifikasikan keputusan inovasi atas
dua tipe. Pertama, keputusan otoritas yaitu keputusan yang dipaksakan kepada
seseorang, oleh individu yang berada dalam posisi atasan. Kedua, keputusan
individual, keputusan yang lebih bersifat demokratis dimana individu yang
bersangkutan turut mengambil peranan didalam menentukan keputusan itu. Lebih
lanjut Rogers dan Shoemaker mengklasifikasikan keputusan individual tersebut atas
dua jenis yakni keputusan opsional dan keputusan kolektif. Keputusan opsional
merupakan keputusan individual yang terlepas dari keputusan yang dibuat oleh
anggota sistem. Sedangkan keputusan kolektif merupakan keputusan-keputusan
yang dibuat oleh individu-individu didalam sistem sosial melalui suatu konsensus.
Dari klasifikasi keputusan inovasi tersebut penelitidn ini lebih memfokuskan
diri pada tipe keputusan individual opsional para peternak sapi perah didalam proses
keputusan inovasi mereka terhadap teknologi perbaikan pakan sapi perah periode
kering yang diintroduksikan oleh BPTP Yogyakarta.
Para ahli sosiologi pedesaan tahun 1955 (Rogers dan Shoemaker 1986:36)
menyatakan bahwa keputusan inovasi merupakan suatu "proses adopsi", dimana
keputusan individu untuk menerima atau menolak inovasi merupakan serangkaian
proses dalam kurun waktu tertentu. Proses adopsi tersebut menurut mereka terdiri
atas 5 tahapan proses yaitu: (1) kesadaran (awamess), pada tahap ini dikatakan,
seseorang mengetahui adanya inovasi (ide baru) namun kurang memiliki informasi
tentang ha1 tersebut. (2) tahap minat (inferst), individu berminat terhadap inovasi itu
dan mulai mencari informasi tentang ha1 itu. (3) tahap penilaian (evaluation),
menentukan untuk mencobanya atau tidak. (4) tahap mencoba (trial), pada tahapan
ini individu mulai menerapkan inovasi tersebut dalam skal kecil guna melihat
manfaatnya. (5) tahap penerimaan inovasi (adoption), tahapan diaman individu itu
menggunakan inovasi tersebut secara tetap dalam skala luas. Kelima tahap proses
adopsi tersebut lebih familiar dengan sebutan (akronim) AIETA.
Konsep ini belakangan dikritik karena memiliki beberapa kelemahan: (1)
konsep itu menyatakan bahwa "proses adopsi" berakhir dengan keputusan adopsi.
Padahal hasil akhir dari keputusan inovasi tidak selalu dengan mengadopsi
melainkan bisa juga penolakan. Karena itu istilah "proses adopsi" perlu diperluas
lagi; (2) Kelima tahapan proses tersebut terjadi secara berurutan, padahal dalam
kenyataannya bisa juga terjadi beberapa tahapan dilewatkan; (3) Proses keputusan
inovasi jarang berakhir dengan adopsi. Biasanya proses tersebut masih berlanjut
dengan pencarian informasi lain untuk mengukuhkan keputusan yang telah dibuat.
Berdasarkan ha1 tersebut Rogers kemudian merumuskan kembali pengertian
"proses adopsi" sebagai "proses keputusan inovasi" sebagaimana dituangkan
dalam bukunya dengan judul Diffusion of Inovation yang pertama kali diterbitkan
tahun 1962 yang edisi ketiganya diterbitkan tahun 1983. Dalam buku tersebut
Rogers (1 983: 163) mendefinisikan proses keputusan inovasi sebagai proses yang
terjadi pada seseorang atau unit pembuat keputusan lainnya, sejak pertama kali
mengetahui atau mengenal adanya suatu inovasi sampai mengambil suatu
keputusan mengadopsi atau menolak dan mengimplementasikan serta
mengkonfirmasi keputusan tersebut untuk tetap mengadopsi (sustainable adoption)
atau menolak terknologi itu. Lebih lanjut Rogers (1983:164) merinci tahapan yang
umum dilalui dalam proses pengambilan keputusan inovasi adalah: (1) tahap
suatu inovasi dan memperoleh gambaran / pengertian tentang fungsi dari inovasi
tersebut. (2) tahap persuasi (persuasion), individu / unit pengambil keputusan mulai
membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan dengan inovasi tersebut. (3) tahap
keputusan (decision), individu / unit pengambil keputusan menetapkan untuk
menerima atau menolak inovasi tersebut. (4) tahap penerapan (implementation),
individu / unit pengambil keputusan mulai melaksanakan apa yang telah diputuskan
pada tahap pengambilan keputusan tersebut, dan (5) tahap konfirmasi
(confirmation), pada tahapan ini, individu / unit pengambil keputusan mencari
penguatan atau pengukuhan terhadap inovasi yang telah diterimanya. Pada tahap
ini, bila informasi baru yang diperoleh lebih mengukuhkan inovasi yang telah
diiplementasikan tadi, maka inovasi tersebut tetap diadopsi. Sebaliknya bila
informasi baru yang diperoleh melemahkan inovasi yang telah diadopsi, maka pada
tahapan konfirmasi ini akan berakhir dengan penolakan.
Tingkat kecepatan adopsi suatu inovasi pada masing-masing individu
berbeda-beda karena itu Rogers dan Shoemaker (198638) mengkategorikan
adopter berdasarkan waktu (cepat-lambat) penerimaan suatu inovasi, dalam 5
kategori yaitu : (1) Perintis (inovator), (2) Pelopor ( early adopter), (3) Pengikut dini
/ Mayoritas awal (early mayority), (4) Pengikut akhir 1 Mayoritas akhir (late mayor@)
dan (5) Kaum kolot (laggard).
Cepat atau lambatnya proses adopsi suatu inovasi oleh individu tergantung
juga pada ciri-ciri yang melekat pada inovasi. Ciri-ciri tersebut adalah (1) keuntungan
relatif, yaitu derajat kebaikan suatu inovasi (gagasan atau teknologi baru) dibanding
dengan inovasi sebelum / sesudahnya, (2) kompabilitas, yaitu derajat kesamaan
atau keterkaitan inovasi dengan nilai-nilai, kepercayaan, dan pengalaman-
inovasi. lnovasi seyogyanya memiliki kompabilitas dengan kebutuhan adopternya.
Kompabilitas inovasi berhubungan positif dengan kecepatan adopsi, (3)
kompleksitas (kerumitan inovasi), adalah tingkat dimana suatu inovasi dianggap
relaif sulit untuk dimengerti dan digunakan. Kerumitan suatu inovasi berhubungan
negatif dengan kecepatan adopsinya, (4) Triabilitas suatu inovasi adalah tingkat
kemungkinan dapat dicoba inovasi itu dalam skala kecil / terbatas. Triabilitas suatu
inovasi berhubungan secara positif dengan kecepatan adopsi , (5) observabilitas,
yaitu tingkat dimana hasil-hasil inovasi dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain.
Observabilitas suatu inovasi berhubungan secara positif dengan kecepatan adopsi
(Rogers dan Shoemaker, 1986: 146).
Berkaitan dengan kecepatan adopsi inovasi tersebut Levis (1996),
menyatakan bahwa kecepatan adopsi inovasi juga sangat ditentukan oleh semakin
intensif dan seringnya intensitas promosi yang dilakukan oleh agen pembaru
(penyuluh) setempat dan atau pihak lain yang juga berkepentingan dengan proses
adopsi tersebut, seperti lembaga penelitian, pedagang atau sumber inovasi itu
sendiri. Lebih lanjut Levis menyatakan, kecepatan adopsi suatu inovasi oleh
seseorang atau suatu komunitas tertentu sangat ditentukan oleh urgensitas
(kepentingan segerah) masalah dan kebutuhan masyarakat. Sedangkan Soekartawi
(1990) dalam Levis (1 996), menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan proses
komunikasi dan adopsi inovasi berbagai paket teknologi pembangunan, transfer
teknologi memerlukan waktu relatif cukup lama. Hal tersebut dipenga