• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Ekologi Pengelolaan Mangrove Di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Politik Ekologi Pengelolaan Mangrove Di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK EKOLOGI PENGELOLAAN MANGROVE

DI KABUPATEN PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG

INDRA GUMAY FEBRYANO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Politik Ekologi Pengelolaan Mangrove di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014

Indra Gumay Febryano

(4)

RINGKASAN

INDRA GUMAY FEBRYANO. Politik Ekologi Pengelolaan Mangrove di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO, DUDUNG DARUSMAN, CECEP KUSMANA dan ACENG HIDAYAT.

Politisasi lingkungan telah mendorong kerusakan lingkungan dan marjinalisasi masyarakat yang diakibatkan oleh relasi kekuasaan yang tidak setara antar aktor. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan degradasi lingkungan berupa konversi mangrove menjadi tambak udang intensif dengan menggunakan konsep relasi kekuasaan. Konversi mangrove terjadi di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan Negara. Pengetahuan dan pemahaman tersebut akan bermanfaat bagi berbagai pihak yang terkait dalam membuat rekomendasi pengelolaan mangrove yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan metode yang digunakan adalah studi kasus. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, pengamatan terlibat, dan analisis dokumen. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis menggunakan pendekatan berorientasi aktor dari Bryant dan Bailey (1997) untuk mengkaji posisi, peran, dan kepentingan aktor yang terlibat. Pendekatan tersebut selanjutnya dikombinasikan dengan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) untuk mengkaji kekuasaan dan mekanisme yang dijalankan oleh masing-masing aktor. Penelitian kualitatif di dalam penelitian ini didukung oleh penelitian kuantitatif, khususnya dalam menganalisis kelayakan finansial dari beberapa pola penggunaan lahan mangrove, dengan menghitung Net Present Value (NPV),

Benefit Cost Ratio (BCR), dan Internal Rate of Return (IRR). Konsep kelembagaan lokal dari Uphoff (1986; 1994) digunakan untuk menganalisis kelembagaan lokal pengelolaan mangrove.

(5)

berperan penting dalam pengelolaan mangrove secara lestari di Pulau Pahawang. Struktur organisasi BPDPM yang menempatkan kepala desa sebagai penasihat dan keterlibatan pengurus dalam kegiatan investor berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat, sehingga menurunkan dukungan dan status kelembagaan lokalnya. Akibatnya kelembagaan lokal menjadi lemah karena ketidaktegasannya ketika berhadapan dengan investor yang merupakan pejabat pemerintahan. Sebagian masyarakat juga ikut melakukan pelanggaran akibat ketidaktegasannya tersebut.

Penelitian ini menegaskan pernyataan dari Bryant dan Bailey (1997) mengenai peran politik dari berbagai posisi aktor yang berbeda dalam interaksi manusia-lingkungan di dunia ketiga. Inti dari setiap pemahaman bermakna politik tersebut adalah apresiasi bahwa politik mengenai interaksi aktor-aktor terhadap sumberdaya lingkungan dan pengakuan bahwa aktor, yang lemah sekalipun, memiliki kekuasaan untuk bertindak mendapatkan kepentingannya. Penelitian ini juga menegaskan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) yang menunjukkan bagaimana orang atau kelembagaan dapat memperoleh manfaat dari sumberdaya, baik orang atau kelembagaan tersebut memiliki hak atau tidak. Selain itu, penelitian ini menegaskan pula konsep kelembagaan lokal dari Uphoff (1986; 1994) yang menunjukkan bagaimana kelembagaan lokal melemah akibat kegagalan kelembagaan lokal dalam memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat.

Ketegasan Pemerintah Kabupaten Pesawaran dalam mengimplementasikan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan mangrove secara lestari dapat didorong dengan memberikan tekanan-tekanan yang lebih kuat melalui jejaring yang melibatkan LSM lokal dan nasional, universitas, lembaga penelitian, dan lain-lain. Kekuatan jejaring ini diharapkan membuat Pemerintah Kabupaten Pesawaran menjadi lebih berpihak pada konservasi dan kelembagaan lokal pengelolaan mangrove. Relasi antara pengusaha tambak udang dengan jejaring di atas dapat dijalin melalui akademisi untuk mengembangkan wawasan pengusaha menjadi lebih terbuka terhadap fungsi dan manfaat mangrove, sehingga lingkungan di sekitar tambak tidak tercemar dan keberlanjutan usaha tambak udang serta mata pencaharian masyarakat menjadi lebih terjamin. Hal tersebut dapat dipadukan dengan tanggungjawab sosial perusahaan di bidang lingkungan. Kelembagaan lokal dapat dijadikan salah satu model pengelolaan sumberdaya mangrove di tingkat lokal. Kelembagaan yang didirikan harus independen, sehingga mampu bertahan dari intervensi aktor lainnya yang mempengaruhi politik di tingkat lokal. Keberhasilan kelembagaan lokal sangat membantu Pemerintah Kabupaten Pesawaran dalam pembangunan masyarakat pedesaan di wilayah pesisirnya. Konservasi mangrove dapat disinergikan dengan menciptakan peluang dalam pengembangan silvofisheri, ekowisata, dan lain-lain; sehingga meningkatkan alternatif mata pencaharian masyarakat dan pada akhirnya akan menurunkan tekanan terhadap mangrove.

(6)

SUMMARY

INDRA GUMAY FEBRYANO. Political Ecology of Mangrove Management in Pesawaran Regency, Lampung Province. Supervised by DIDIK SUHARJITO, DUDUNG DARUSMAN, CECEP KUSMANA and ACENG HIDAYAT.

Environment politicized has led to environmental degradation and community marginalization caused by the unequal power relation among actors. This study aims to explain the environmental degradation of mangrove convertion into intensive shrimp ponds by using the concept of power relations. Mangrove conversion has occured in protected areas outside the state forest. It is believed that knowledge and understanding on this matter will be beneficial for any related parties in making equitable, prosperous, and sustainable mangrove management recommendations.

This study is a qualitative research which uses a case study as its method. Data were collected through in-depth interviews, participant observation, and document analysis. The data were analyzed with actor-oriented approach by Bryant and Bailey (1997) to assess positions, roles, and interests of the actors involved. The actor-oriented approach was combined with the theory of access (Ribot and Peluso 2003) to assess power and the mechanism of each actor. Qualitative research in this study is supported by quantitative research, particularly in analyzing the financial feasibility of some landuse patterns of mangrove, by calculate Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), and Internal Rate of Return (IRR). The concept of local institution from Uphoff (1986; 1994) is used to analyze the local institution of mangrove management.

(7)

decrease trust and support of community. As a result, local institutions become weak because their indecision on dealing with a government official investor. Some communities even conduct violation due to the rules indecision.

This study confirmed the statement of Bryant and Bailey (1997) about the political role of different types of actors in human environmental interaction in the third world. The main points of any meaningful understanding of politics are an appreciation that politics is about the interaction of actors over environmental resources and a recognition that even weak actors possess some power to act in the pursuit of their interests. This study also confirmed the access theory of Ribot and Peluso (2003) which showed why people or institutions get benefit from resources, whether they have rights or not. In addition, this study also confirmed the concept of local institutions from Uphoff (1986; 1994) which showed how local institutions become weak due to the failure of local institutions to meet community needs and expectations.

Assertiveness of Pesawaran Regency Government in implementing its policies can be done by giving more pressures and forces through networks involving local and national CSOs, universities, research institutions, and many others. The strength of this network is expected to make Pesawaran Regency Government become more supportive to the conservation and local institutions of mangrove management. Relation between businessmen and the above networking can be built through academicians by educating the businessmen about the importance of mangrove functions and advantages in order to achieve not only the environment sustainability but also the sustainability of shrimp aquaculture and community livelihoods. By giving more pressures through wide networks and making relationship between businessmen and the networks can be combined with corporate social responsibility in environment. Local institutions can serve as a model of mangrove resource management at the local level. Established institutions must be independent, so they can survive from others interventions that influence politics at the local level. The success of local institutions greatly assisted the Pesawaran Government Regency in the development of rural community in its coastal areas. Mangrove conservation can be synergized by creating opportunities in the development of silvofishery, ecotourism, and etc; thus improving people's livelihood alternatives and ultimately will reduce the pressure on mangroves.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

POLITIK EKOLOGI PENGELOLAAN MANGROVE

DI KABUPATEN PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian:

Tertutup: 1. Dr Arif Satria, SP, MSi 2. Dr Ir Iin Ichwandi, MScF

Terbuka: 1. Dr Ir Eko Warsito, MSc

(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi ini. Penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang tulus kepada:

1. Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS selaku ketua komisi pembimbing, Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA, Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS, dan Dr Ir Aceng Hidayat, MT selaku anggota komisi pembimbing yang telah memiliki komitmen sangat tinggi dalam memberikan bimbingan, arahan, kritik, dan saran;

2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf yang telah memberikan pelayanan administrasi akademik kepada mahasiswa dengan sangat baik; 3. Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan beserta staf yang telah

memberikan pelayanan kepada mahasiswa dengan sangat prima;

4. Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS selaku penguji luar komisi pada ujian kualifikasi dan ujian terbuka; Prof Dr Ir Bramasto Nugroho, MS selaku penguji luar komisi pada ujian kualifikasi; Dr Arif Satria, SP, Msi dan Dr Ir Iin Ichwandi, MScF selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup; serta Dr Ir Eko Warsito, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka; yang telah memberikan kritik dan saran;

5. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar di Sekolah Pascasarjana IPB dan memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN);

6. Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dan Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang telah mendukung penulis untuk melanjutkan studi pada program doktor; 7. Keluarga Kol (Purn) Drs H Sahmi Gumay, keluarga H Yulizar Husin, istri

Yurika Tauryska, ST, serta anak-anak Nashwa Azzahra Gumay dan Ryan Pasha Gumay yang dengan sabar memberikan doa, dukungan, motivasi, dan pengertiannya kepada penulis dalam melaksanakan tugas belajar dan penyusunan disertasi ini;

8. Semua kolega di Universitas Lampung, Pemerintah Kabupaten Pesawaran, Lanal Lampung, LSM Mitra Bentala, Shrimp Club Indonesia Provinsi Lampung, BPDPM Desa Pulau Pahawang, dan masyarakat yang telah membantu penulis selama penelitian; dan

9. Rekan-rekan IPH 2010 (Asihing, Bejo, Juli, Maya, Nurdin, Retno, Safe’i, dan Yayuk) dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan segala bantuan dan kerjasamanya dalam penyusunan disertasi ini. Penulis mempersembahkan karya ilmiah ini bagi semua pihak, khususnya pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya alam yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 10

1.4 Novelty ... 10

1.5 Metodologi ... 10

1.5.1 Kerangka Pemikiran ... 10

1.5.2 Definisi Operasional ... 13

1.5.3 Pendekatan Penelitian ... 14

1.5.4 Pengumpulan Data ... 14

1.5.5 Analisis Data ... 15

1.6 Struktur Disertasi ... 15

2 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 17

2.1 Kondisi Administratif dan Geografis ... 17

2.2 Iklim dan Topografi ... 18

2.3 Tata Ruang Wilayah ... 20

2.4 Status Penguasaan Lahan Mangrove ... 22

2.5 Mangrove dan Alih Fungsi Lahannya ... 24

3 AKTOR DAN RELASI KEKUASAAN DALAM PENGELOLAAN MANGROVE ... 28

3.1 Pendahuluan ... 28

3.2 Metode ... 28

3.2.1 Kerangka Pemikiran ... 28

3.2.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 29

3.2.3 Pengumpulan dan Analisis Data ... 30

3.3 Hasil dan Pembahasan ... 30

3.3.1 Industrialisasi Tambak Udang ... 30

3.3.2 Aktor dan Relasi Kekuasaan ... 32

3.3.3 Pembentukan Jejaring Penyelamatan Mangrove ... 41

3.4 Simpulan ... 43

4 ANALISIS FINANSIAL POLA PENGGUNAAN LAHAN MANG- ROVE ... 44

4.1 Pendahuluan ... 44

4.2 Metode ... 44

4.2.1 Kerangka Pemikiran ... 44

4.2.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 45

4.2.3 Pengumpulan dan Analisis Data ... 45

4.3 Hasil dan Pembahasan ... 45

4.3.1 Pola Penggunaan Lahan Mangrove ... 45

4.3.2 Analisis Finansial Pola Penggunaan Lahan Mangrove ... 48

(14)

5 PERAN DAN KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN LOKAL

PENGELOLAAN MANGROVE ... 53

5.1 Pendahuluan ... 53

5.2 Metode ... 54

5.2.1 Kerangka Pemikiran ... 54

5.2.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 54

5.2.3 Pengumpulan dan Analisis Data ... 54

5.3 Hasil dan Pembahasan ... 54

5.3.1 Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan Lokal ... 54

5.3.2 Keberlanjutan Kelembagaan Lokal ... 60

5.4 Simpulan ... 63

6 PEMBAHASAN UMUM ... 64

7 SIMPULAN, IMPLIKASI TEORI, DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 73 7.1 Simpulan ... 73

7.2 Implikasi Teori ... 74

7.3 Implikasi Kebijakan ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77

LAMPIRAN ... 85

(15)

DAFTAR TABEL

1 Dimensi politisasi lingkungan ... 3

2 Tesis politik ekologi ... 4

3 Konsep dan proses dalam politik ekologi ... 5

4 Luas kecamatan dan jumlah penduduk Kabupaten Pesawaran ... 18

5 Luas wilayah berdasarkan ketinggian di Kabupaten Pesawaran ... 20

6 Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat ... 23

7 Klasifikasi sistim budidaya udang ... 27

8 Perkembangan tambak udang di Kabupaten Pesawaran ... 31

9 Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pesawaran yang terkait dengan pengelolaan mangrove ... 33

10 Indikator dan kriteria keputusan analisis finansial ... 45

11 Analisis finansial beberapa pola penggunaan lahan mangrove ... 48

12 Volume dan nilai ekspor udang Indonesia tahun 2007-2011 ... 64

13 Rasio mangrove dengan tambak udang ... 66

14 Kriteria lokal/regional dan global untuk meningkatkan kelestarian lingkungan dalam budidaya udang ... 68

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian ... 12

2 Administrasi Kabupaten Pesawaran ... 19

3 Rencana sistem perkotaan Kabupaten Pesawaran ... 21

4 Lokasi penelitian ... 29

5 Struktur dan peran organisasi BPDPM ... 56

6 Daerah Perlindungan Mangrove di Pulau Pahawang ... 57

7 Perkembangan pengelolaan mangrove di Pulau Pahawang ... 61

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peraturan Desa Pulau Pahawang No. 02/007/Perdes-phm/XI/2006 tentang Perlindungan Hutan Mangrove ... 87

2 Surat Keputusan Kepala Desa Pulau Pahawang No. 03/007/KD-DPM/ 11.1/2006 tentang Aturan Daerah Perlindungan Mangrove ... 91

3 Surat Keputusan Kepala Desa Pulau Pahawang No. 04/007/KD-BPDPM/11.2/2006 tentang Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove ... 96

4 Analisis finansial tambak udang intensif ... 99

5 Biaya tambak udang intensif ... 100

6 Pendapatan tambak udang intensif ... 105

7 Analisis finansial pembibitan mangrove ... 106

8 Biaya pembibitan mangrove ... 107

9 Pendapatan pembibitan mangrove ... 109

10 Analisis finansial ekowisata mangrove ... 110

11 Biaya ekowisata mangrove ... 111

(16)
(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konflik pengelolaan sumberdaya alam seringkali tidak dapat dihindari yang disebabkan oleh nilai-nilai dan/atau kepentingan yang bertentangan dalam pemanfaatannya (Gray 2003). Konflik tersebut merupakan konflik sosial dengan atau tanpa kekerasan yang berhubungan dengan perjuangan untuk mendapatkan akses dan hasil dari pemanfaatannya (Turner 2004). Konflik kepentingan menjadi gambaran umum dari setiap sistem pemanfaatan sumberdaya, sehingga pemanfaatan yang partisipatif dan adil menjadi prasyarat utama dalam pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan (FAO 2000). Studi oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa negara-negara yang paling mungkin menderita konflik adalah negara-negara yang sangat tergantung dengan sumberdaya alam (Bannon dan Collier 2003). Jika konflik-konflik ini tidak ditangani, maka akan dapat menyebabkan degradasi lingkungan, mengganggu pembangunan, dan merusak tatanan kehidupan (FAO 2000).

Escobar (2006) berpendapat bahwa kerangka politik ekologi (political ecology) dapat diterapkan dari hubungan antara perbedaan dan kesamaan akses dalam konflik distribusi ekonomi, ekologi, dan budaya. Hal ini didukung oleh Turner (2004) yang menyatakan bahwa konflik sumberdaya telah menjadi fokus analisis dan metodologi utama dari politik ekologi karena konflik dapat menjelaskan kepentingan, kekuatan, dan kerentanan yang berbeda dari kelompok sosial yang berbeda, yang didasari oleh keprihatinan terhadap keadilan sosial dalam pemanfaatannya. Selain itu, menurut Neumann (1998), politik ekologi telah berhasil digunakan untuk melihat konflik sebagai momen penting, ketika banyak mengungkap struktur yang mendasari kekuasaan dan kepentingan tersebut.

Politik ekologi dimulai sebagai kerangka kerja untuk memahami keterkaitan yang kompleks antara orang-orang lokal, politik ekonomi nasional, dan global serta ekosistem (Blaikie dan Brookfield 1987). Konsep ini telah diadaptasi dalam berbagai cara, seperti politik ekologi dunia ketiga (Bryant 1992) atau politik ekologi feminis (Rocheleau et al. 1996). Bryant dan Bailey (1997) menjelaskan bahwa politik ekologi menjadi bidang kajian yang mempelajari aspek-aspek sosial politik pengelolaan lingkungan, dengan asumsi pokok bahwa perubahan lingkungan tidak bersifat teknis, tetapi merupakan suatu bentuk politisasi lingkungan yang melibatkan aktor-aktor yang berkepentingan baik pada tingkat lokal, regional, maupun global.

(18)

pendekatan apolitik adalah pandangan yang cenderung mendominasi dalam pembicaraan global seputar lingkungan, yaitu kelangkaan sumberdaya dan modernisasi. Pandangan ini cenderung untuk mengabaikan pengaruh signifikan dari kekuatan politik ekonomi dan mengabaikan sebagian besar masalah-masalah fundamental dalam ekologi kontemporer. Pandangan tersebut juga mengabaikan klaim terhadap obyektivitas yang tidak berat sebelah, yang merupakan politik secara implisit. Pandangan politik ekologi merupakan kritik terhadap pandangan dominan di atas dan mencari untuk mengekspos kekurangan dalam pendekatan tersebut terhadap lingkungan oleh perusahaan, negara, dan otoritas internasional, khususnya dari sudut pandang masyarakat lokal, kelompok marjinal, dan populasi yang rentan. Politik ekologi berusaha untuk mendenaturalisasi kondisi-kondisi sosial dan lingkungan, yang menunjukkan hasil-hasil yang bergantung pada kekuasaan dan tidak dapat dihindarkan.

Pendapat Robbins (2004) di atas mendukung pendapat Bryant dan Bailey (1997) yang melihat permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh dunia ketiga bukan merupakan refleksi dari kegagalan kebijakan pasar, tetapi merupakan manifestasi dari kekuatan politik dan ekonomi yang lebih luas yang terkait dengan penyebarluasan kapitalisme, terutama sejak abad ke-19 (penebangan hutan, pertambangan, industrialisasi, urbanisasi, dan lain-lain). Adanya campur tangan negara dalam aktivitas perekonomian mendorong ke arah kehancuran lingkungan. Pada beberapa kasus, campur tangan ini sejalan dengan ekspansi kapitalis, tetapi pada beberapa kelembagaan pemerintah, permasalahan ini mencerminkan adanya kepentingan penguasa dalam perebutan kekuasaan, keamanan nasional, ataupun pengayaan diri sendiri. Kompleksnya permasalahan lingkungan dunia ketiga membutuhkan tidak sekedar kebijakan yang bersifat teknis, melainkan juga perubahan mendasar dalam proses politik ekonomi di tingkat lokal, regional, dan global.

(19)

tersebut dan tidak hanya pada konflik kekerasan saja, karena mereka cenderung melihat konflik dan konflik kepentingan melekat pada hubungan sosial serta interaksi manusia dengan alam.

Bryant dan Bailey (1997) menjelaskan bahwa politik ekologi menggunakan asumsi-asumsi untuk menafsirkan politisasi lingkungan dunia ketiga dan fokusnya bukan pada deskripsi dari perubahan lingkungan fisik sendiri, tetapi pada cara dimana perubahan tersebut berhubungan dengan aktivitas manusia. Asumsi-asumsi tersebut adalah: (1) peneliti politik ekologi menerima gagasan bahwa biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan sebagian besar didistribusikan di antara aktor secara tidak merata, (2) distribusi yang tidak merata dari biaya dan manfaat lingkungan tersebut memperkuat atau mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi yang ada, dan (3) dampak sosial dan ekonomi yang berbeda dari perubahan lingkungan juga memiliki implikasi politik dari segi perubahan kekuasaan aktor-aktor dalam hubungannya dengan aktor-aktor lainnya. Politisasi lingkungan yang terjadi di dunia ketiga mencakup tiga dimensi, yaitu: sehari-hari, episodik, dan sistemik. Dimensi ini berkaitan dengan perubahan fisik, tingkat dampak, sifat dampak terhadap manusia, respon politik, dan konsep-konsep kunci (Tabel 1). Sebagian besar ahli politik ekologi belum secara sistematis mengeksplorasi isu-isu dari dimensi yang terakhir dan lebih memusatkan perhatian mereka pada dimensi pertama dan kedua dari politisasi lingkungan.

Tabel 1 Dimensi politisasi lingkungan

(20)

penelitian yang menghubungkan perubahan lingkungan terhadap marjinalisasi politik dan ekonomi muncul pertama kali pada 1970-an dan 1980-an sebagai upaya untuk menerapkan teori ketergantungan terhadap periode krisis lingkungan (Robbins 2004).

Tabel 2 Tesis politik ekologi

Tesis Apa yang dijelaskan Relevansi

Degradasi dan

Konflik lingkungan Akses lingkungan: siapa dan

mengapa?

Konflik lingkungan ditunjukkan menjadi bagian yang lebih luas dari perjuangan gender, kelas, ras, dan

Bryant dan Bailey (1997) menyatakan bahwa peneliti politik ekologi memberikan suatu perspektif politik ekonomi secara luas dengan mengadopsi berbagai pendekatan dalam menerapkan perspektif tersebut untuk investigasi interaksi manusia-lingkungan di dunia ketiga. Pendekatan yang berbeda tersebut tidak saling eksklusif karena para peneliti sering menggabungkan atau menggunakan pendekatan yang berbeda. Hal ini mencerminkan prioritas penelitian yang berbeda di lapangan, yaitu: (1) pendekatan yang mengarahkan penelitian dan penjelasan dalam politik ekologi dunia ketiga seputar masalah lingkungan tertentu atau serangkaian masalah seperti erosi tanah, deforestasi hutan tropis, pencemaran air, atau degradasi lahan, (2) pendekatan yang memfokuskan pada suatu konsep yang dianggap memiliki kaitan penting terhadap pertanyaan politik ekologi, (3) pendekatan yang memeriksa hubungan masalah-masalah politik dan ekologi dalam konteks suatu wilayah geografis tertentu, (4) pendekatan yang mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan politik ekologi dalam menjelaskan karakteristik sosial ekonomi seperti kelas, etnis, atau gender, dan (5) pendekatan yang menekankan kebutuhan yang terfokus pada kepentingan, karakteristik, dan tindakan dari berbagai tipe aktor dalam pemahaman konflik politik ekologi.

(21)

paradigma dan teori-teori yang dikemukakan oleh para peneliti dengan bidang yang sama juga sangat sering bertentangan. Politik ekologi menyediakan alat konseptual untuk analisis daripada sebuah teori yang meliputi hubungan manusia-lingkungan. Selain itu, politik ekologi merupakan studi kasus yang berbeda dan merupakan masalah-masalah kehidupan nyata secara lokal, dimana teori-teori politik ekologi yang spesifik dan koheren yang dijadikan basis penelitian para peneliti sulit untuk diidentifikasi.

Tabel 3 Konsep dan proses dalam politik ekologi

Bidang/pendekatan Konsep Beberapa proses yang harus diperhatikan

Resiko Perilaku beresiko

rendah dan tinggi

Sistem manajemen tradisonal, diarahkan untuk meminimalkan resiko, diubah di bawah tekanan politik/ekonomi

Perilaku cultural ecology Manajer lahan

rasional

Materialisme/Marxisme Nilai surplus Perubahan sistem produksi meningkatkan

eksploitasi dan degradasi tenaga kerja dan lingkungan

Eksploitasi dan hegemoni

Studi petani Moral ekonomi Rekonfigurasi hasil-hasil manajemen

lingkungan dalam krisis dan resistensi lingkungan pada ekstraksi tenaga kerja dan sumberdaya yang termarjinalisasi

Sejarah lingkungan Ambang dasar Sistem ekologi baru muncul dari

persaingan dan penggunaan lingkungan

(22)

resiko dalam perilaku manusia, keragaman persepsi lingkungan, penyebab dan dampak korupsi politik, serta hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Meskipun terdapat keragaman, perhatian dan pertanyaan utama politik ekologi terus berputar di sekitar beberapa alat konseptual umum dan proses (Tabel 3). Hal ini termasuk penjelasan berantai lintas skala (cross-scale chain of explanation), komitmen untuk mengeksplorasi masyarakat marjinal dan perspektif politik ekonomi yang didefinisikan secara lebih luas.

(23)

yang menunjukkan bahwa politik adalah sebuah proses di mana pelaku mengambil dan memainkan peran sentral, dan (b) pengakuan bahwa aktor yang lemah sekalipun memiliki kekuasaan untuk bertindak mend apatkan kepentingannya, yang menyatakan kebutuhan ke ranah proses pemahaman global (dan regional atau lokal) dalam apresiasi terhadap peran aktor-aktor tertentu dalam pembangunannya, sehingga membuat proses-proses menjadi lebih nyata dan bermakna secara simultan dalam hal politik.

Suatu pemahaman yang lebih detail mengenai politisasi lingkungan dunia ketiga dapat ditemukan dalam analisis relasi kekuasaan yang tidak setara yang sering dikaitkan dengan konflik akses dan pemanfaatan berbagai sumberdaya lingkungan. Jenis analisis ini telah lama menjadi tema sentral peneliti politik ekologi di Afrika, Asia dan Amerika Latin yang berusaha untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan mengenai pengendalian lingkungan dan kontestasi. Ketidakadilan sosial dan ekonomi adalah suatu gambaran integral dalam pengembangan politik ekologi di dunia ketiga, yang secara umum menekankan marjinalitas dan kerentanan masyarakat miskin terhadap proses sosial dan ekologi. Sebagian besar penelitian politik ekologi merupakan gagasan tentang kondisi sosial dan lingkungan yang dibentuk melalui relasi kekuasaan yang tidak setara. Kekuasaan tercermin dalam kemampuan satu aktor untuk mengontrol aktor lainnya dan dapat dilihat di lingkungan melalui perubahan lahan, udara atau air, seperti: penebangan hutan, hutan tanaman, ladang kapas, pembuangan limbah beracun, limbah tambang, dan sebagainya (Bryant 1998).

Relasi kekuasaan yang tidak setara merupakan faktor utama dalam memahami pola-pola interaksi manusia-lingkungan dan sangat terkait dengan masalah lingkungan, yang secara keseluruhan merupakan krisis lingkungan di dunia ketiga. Relasi ini perlu dikaitkan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing aktor dalam jumlah lebih besar atau kecil yang mempengaruhi hasil konflik lingkungan tersebut. Kekuatan atau kekuasaan (power) dalam politik ekologi menjadi konsep kunci dalam upaya untuk menentukan topografi dari suatu politisasi lingkungan. Peneliti politik ekologi memahami konsep kekuasaan terutama dalam kaitannya dengan kemampuan seorang aktor untuk mengendalikan interaksinya dengan lingkungan dan interaksi aktor-aktor lain dengan lingkungan (Bryant dan Bailey 1997; Bryant 1998).

Teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) menempatkan kekuasaan di dalam konteks politik ekonomi yang membentuk kemampuan orang untuk memanfaatkan sumberdaya; dimana akses didefinisikan sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu, termasuk obyek material, orang, kelembagaan, dan simbol. Analisis ini diperluas melebihi gagasan property

(24)

untuk menyebut proses dan relasi tersebut. Ada beberapa jenis mekanisme yang bekerja. Mekanisme akses berbasis hak (rights-based access), termasuk akses ilegal (access illegal), dapat digunakan secara langsung untuk memperoleh manfaat; sementara mekanisme akses struktural dan relasional (structural and relational acces mechanism) termasuk atau memperkuat akses yang diperoleh secara langsung melalui pembentukan akses berbasis hak atau yang ilegal. Kategori akses dalam mekanisme akses struktural dan relasional menggambarkan jenis-jenis relasi kekuasaan, seperti: teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan peluang tenaga kerja, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial, dan relasi sosial. Setiap bentuk akses memungkinkan, bertentangan, atau melengkapi mekanisme akses lainnya dan menghasilkan pola-pola sosial yang kompleks dari distribusi manfaat.

Safarzynska dan Van Den Bergh (2010) menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya merupakan suatu atribut relasi sosial. Dalam ilmu sosial dan politik, definisi kekuasaan yang ada dibangun pada dikotomi lembaga dan struktur. Perspektif lembaga menekankan mekanisme yang dilakukan oleh individu (atau kelompok) untuk mencapai hasil yang diinginkan; sedangkan perspektif struktural difokuskan pada sumber kekuasaan, yaitu unsur atau ciri institusional yang melimpahkan kekuasaan pada kelompok atau individu tertentu. Dari perspektif lembaga, definisi kekuasaan dapat dibedakan menjadi beberapa tipe, yaitu: (1) kemampuan untuk mempengaruhi pilihan orang lain secara langsung, kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, dan kemampuan untuk memperoleh kemenangan dalam situasi konflik, (2) kemampuan untuk mempengaruhi pilihan sekelompok orang lain, dan (3) kemampuan untuk mempengaruhi preferensi, keyakinan, dan nilai-nilai orang lain terhadap berbagai alternatif; sementara perspektif struktural menekankan pada penerapan keputusan oleh sumber legitimasi kekuasaan yang berasal dari hak istimewa posisi seseorang di dalam struktur dan akses terhadap individu yang berkuasa, informasi, dan sumberdaya.

Konflik akses dan pemanfaatan hasil sumberdaya alam juga muncul dalam pengelolaan mangrove. Deforestasi mangrove secara global telah berlangsung pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Analisis yang dilakukan oleh FAO (2007) menunjukkan bahwa kawasan mangrove di seluruh dunia telah turun 20% atau sekitar 3,6 juta ha selama kurun waktu 25 tahun, yaitu dari 18,8 juta ha pada tahun 1980 menjadi sekitar 15,2 juta ha pada tahun 2005. Di Indonesia, kawasan mangrove telah turun 30% selama kurun waktu yang sama, yaitu dari 4,2 juta ha pada tahun 1980 menjadi 2,9 juta ha pada tahun 2005. Menurut Kusmana (2012) sebagian besar mangrove telah dieksploitasi secara komersial dan area mangrove sebagai sumberdaya lahan juga telah dikonversi untuk penggunaan lainnya (pertanian, perikanan, urbanisasi, pertambangan, dan tambak garam) yang sering menimbulkan konflik kepentingan di antara penggunanya; dimana di beberapa tempat eksploitasi yang berlebihan dan reklamasi lahan mangrove mengakibatkan degradasi dan hilangnya mangrove.

(25)

mengurangi kemiskinan di negara berkembang. Ekspor udang memberikan kontribusi besar bagi ekonomi negara produsen, tetapi seringkali negara-negara ini kurang jelas tata kelola pemerintahannya dalam memastikan penggunaan sumberdaya yang adil. Pada banyak kasus, biaya eksternal dari industri tersebut tidak ditanggung oleh pihak yang mendapatkan keuntungan, tetapi dampaknya berpindah ke masyarakat termiskin dan paling rentan.

Fenomena yang terjadi dalam pengelolaan mangrove, khususnya yang dikonversi untuk kepentingan budidaya perikanan (tambak udang), dapat dijelaskan dengan perspektif politik ekologi. Relasi kekuasaan menjadi sangat penting karena merupakan gambaran bagaimana pemanfaatan sumberdaya mangrove yang tidak adil di antara aktor-aktor yang terlibat. Persoalan ini telah didokumentasikan di beberapa negara dan dianalisis dengan konsep politik ekologi, seperti: Indonesia (Armitage 2002), Thailand (Vandergeest et al. 1999; Vandergeest 2007), Meksiko (Cruz-Torres 2000), Honduras (Dewalt et al. 1996) dan Filipina (Vayda dan Walters 1999). Penelitian di atas masih terfokus pada mangrove yang berada di kawasan hutan negara, sementara yang terjadi di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan negara masih belum dieksplorasi secara lebih mendalam. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan memberi perhatian pada konversi mangrove menjadi tambak udang intensif di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan negara.

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan degradasi lingkungan dalam bentuk konversi mangrove menjadi tambak udang intensif. Konversi tersebut terjadi di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan negara dan membuat masyarakat setempat menjadi termarjinalkan. Konsep yang akan digunakan untuk menjelaskan degradasi lingkungan tersebut adalah relasi kekuasaan. Pertanyaan utama yang ingin dijawab adalah mengapa terjadi degradasi lingkungan, dalam hal ini konversi mangrove menjadi tambak udang intensif. Pertanyaan di atas dapat diuraikan lebih lanjut menjadi beberapa pertanyaan, yaitu:

1. Bagaimana relasi kekuasaan yang terjadi antar aktor dalam pemanfaatan mangrove?

a. Siapa saja aktor yang terlibat?

b. Kepentingan apa saja yang diperjuangkan oleh masing-masing aktor? c. Akses apa saja yang dimiliki oleh masing-masing aktor?

d. Bagaimana mekanisme akses yang dijalankan oleh masing-masing aktor untuk mendapatkan kepentingannya?

e. Bagaimana kelayakan finansial dari pola penggunaan lahan mangrove yang ada?

2. Bagaimana peran dan keberlanjutan kelembagaan lokal dalam pengelolaan mangrove?

a. Mengapa dan bagaimana pembentukan dan penguatan kelembagaan lokal dilakukan?

b. Aturan apa saja yang diatur oleh kelembagaan lokal?

(26)

3. Bagaimana rekomendasi kebijakan yang mendukung pengelolaan mangrove secara berkelanjutan?

a. Kebijakan apa saja yang terkait dengan pengelolaan mangrove? b. Bagaimana implementasi kebijakannya?

c. Bila implementasinya belum efektif, maka bagaimana kebijakan menjadi efektif dan mampu mengakomodasi berbagai kepentingan aktor yang berbeda?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan utama penelitian ini adalah menjelaskan degradasi lingkungan berupa konversi mangrove menjadi tambak udang intensif yang terjadi di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan negara dengan menggunakan konsep relasi kekuasaan. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, dilakukan beberapa kajian dengan tujuan sebagai berikut:

1. Menjelaskan relasi kekuasaan yang terjadi antar aktor dalam pengelolaan mangrove.

2. Menjelaskan peran dan keberlanjutan kelembagaan lokal dalam pengelolaan mangrove.

3. Memberikan rekomendasi kebijakan yang mendukung pengelolaan mangrove secara berkelanjutan.

Penjelasan dan rekomendasi tersebut bermanfaat bagi berbagai pihak yang terkait, seperti: pemerintah, akademisi, masyarakat, LSM, pengusaha, dan lain-lain, dalam melakukan pengelolaan mangrove yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan.

1.4 Novelty

Penelitian politik ekologi yang mengkaji tentang degradasi lingkungan, khususnya mengenai konversi mangrove menjadi tambak udang, telah dilakukan beberapa peneliti di berbagai negara, seperti: Indonesia (Armitage 2002), Thailand (Vandergeest et al. 1999; Vandergeest 2007), Meksiko (Cruz-Torres 2000), dan Filipina (Vayda dan Walters 1999). Penelitian tersebut masih terfokus pada relasi kekuasaan antar aktor yang terjadi dalam konversi mangrove menjadi tambak udang di kawasan hutan negara; namun yang terjadi di luar kawasan hutan negara, yang merupakan bagian dari kawasan lindung, belum dieksplorasi secara lebih mendalam. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk mengeksplorasi secara lebih mendalam relasi kekuasaan antar aktor yang mempengaruhi pengelolaan mangrove di luar kawasan hutan negara, yang merupakan bagian dari kawasan lindung, yang sebagian besar telah dikonversi menjadi tambak udang intensif.

1.5 Metodologi

1.5.1 Kerangka Pemikiran

(27)

interaksi atau relasi sosial (konflik atau kerjasama) antar aktor yang seringkali memiliki kepentingan yang berbeda. Perubahan lingkungan yang terjadi berupa konversi mangrove menjadi tambak udang intensif di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan negara. Pemahaman tersebut dapat menjadi pijakan penting dalam merekomendasikan kebijakan pengelolaan mangrove yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan. Alur kerangka pemikiran penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan berorientasi aktor dari Bryant dan Bailey (1997) yang dapat mengeksplorasi secara lebih mendalam posisi dan peran, kepentingan, serta tindakan dari berbagai aktor yang berbeda. Karena pendekatan di atas belum secara jelas dan terperinci menerangkan bagaimana tindakan yang dilakukan oleh aktor, maka pendekatan tersebut selanjutnya dikombinasikan dengan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003). Akses didefinisikan oleh Ribot dan Peluso (2003) sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu, termasuk obyek material, orang, kelembagaan, dan simbol. Dengan memfokuskan pada kemampuan, akses memberikan perhatian terhadap kisaran relasi sosial yang lebih luas yang dapat menghambat atau memungkinkan aktor untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Kekuasaan melekat dan dilaksanakan melalui berbagai mekanisme, proses, dan relasi sosial, dimana penguasaan teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan peluang tenaga kerja, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial, dan relasi sosial (bundle of power) akan mempengaruhi tingkat akses ke sumberdaya. Relasi kekuasaan antar aktor dijelaskan dengan mengkaji bagaimana aktor menggunakan kekuasaannya untuk mengontrol aktor lain dalam pemanfaatan sumberdaya. Semakin besar kekuasaan yang dimiliki aktor, maka semakin besar aksesnya ke sumberdaya mangrove.

Di dalam relasi sosial antar aktor, terjadi konflik atau kompetisi dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya. Kompetisi tersebut akan dimenangkan oleh aktor yang memiliki bundle of power lebih besar dibandingkan aktor lainnya. Untuk memperkuat mengapa sumberdaya mangrove diperebutkan oleh berbagai aktor, maka dilakukan kajian mengenai nilai sumberdayanya dengan menggunakan analisis finansial terhadap beberapa pola penggunaan lahan mangrove yang diusahakan. Semakin tinggi nilai sumberdayanya dalam ukuran kelayakan finansial, maka akan semakin besar tingkat kepentingan aktor untuk menguasai sumberdaya mangrovenya.

(28)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Posisi & Peran

Perspektif Politik Ekologi

Memetakan

politisasi lingkungan yang terjadi

Kepentingan Tindakan

Kelayakan Finansial Pola Penggunaan Lahan Mangrove

(NPV, BCR, dan IRR)

Kelembagaan Lokal (Uphoff 1986; 1994) Akses

Kemampuan memperoleh manfaat dari sesuatu (obyek material, orang, kelembagaan, dan simbol)

Bundle of Power

teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan peluang tenaga kerja, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial, relasi sosial

Memahami konflik/kerjasama antar aktor

Konversi mangrove menjadi tambak udang intensif

Rekomendasi Kebijakan

Teori Akses (Ribot dan Peluso 2003) Pendekatan Berorientasi Aktor

(Bryant dan Bailey 1997)

(29)

1.5.2 Definisi Operasional

Variabel dalam penelitian ini merupakan turunan atau operasionalisasi dari konsep-konsep yang terdapat di dalam kerangka pemikiran di atas. Variabel tersebut diberikan definisi operasionalnya dan selanjutnya ditentukan indikator yang akan diukur. Secara garis besar definisi operasional dari variabel yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Posisi: kedudukan aktor dalam pengelolaan mangrove. Indikator posisi adalah kategori posisi aktor, yaitu: Pemerintah Kabupaten Pesawaran, pengusaha tambak udang intensif, LSM Mitra Bentala, dan masyarakat.

2. Peran: sikap atau tindakan aktor yang diharapkan oleh aktor lainnya sesuai dengan kedudukannya dalam pengelolaan mangrove. Indikator peran adalah kategori perlindungan lingkungan dan pemanfaatan.

3. Kepentingan: sesuatu barang dan jasa yang diperjuangkan yang menjadi kebutuhan menurut masing-masing aktor dalam pengelolaan mangrove. Indikator kepentingan adalah tingkat kepentingan sosial, ekonomi, dan ekologi. Kepentingan sosial diukur dari tingkat keadilan dalam distribusi manfaat dari sumberdaya mangrove. Kepentingan ekonomi diukur dari tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha yang memanfaatkan sumberdaya mangrove. Kepentingan ekologi diukur dari tingkat perlindungan terhadap sumberdaya mangrove.

4. Akses: kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya mangrove dengan menggunakan teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan peluang tenaga kerja, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial, dan relasi sosial. Indikator akses adalah tingkat manfaat yang diperoleh dari mangrove. Tingkat manfaat diukur dari penguasaan atas sumberdaya mangrove dan produksinya.

5. Kelayakan finansial: kelayakan usaha dari pola penggunaan sumberdaya mangrove dengan membandingkan semua barang dan jasa yang dapat meningkatkan atau mengurangi pendapatan selama proses investasi dilaksanakan. Indikator kelayakan finansial adalah Net Present Value (NPV) > 0, Benefit Cost Ratio (BCR) > 1, dan Internal Rate of Return (IRR) > tingkat suku bunga.

(30)

1.5.3 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yang didukung dengan penelitian kuantitatif. Irawan (2007) menyatakan bahwa kebenaran menurut penelitian kualitatif adalah kebenaran “intersubyektif” bukan kebenaran

“obyektif”. Kebenaran intersubyektif adalah kebenaran yang dibangun dari

jalinan berbagai faktor yang bekerja bersama-sama, seperti budaya dan sifat-sifat unik dari individu-individu manusia. Maka, realitas adalah sesuatu yang

“dipersepsikan” oleh yang melihat dan bukan sekedar fakta yang bebas konteks

dan bebas dari interpretasi apapun. Oleh karena itu, kebenaran merupakan

“bangunan” (konstruksi) yang disusun oleh seorang peneliti dengan cara mencatat

dan memahami apa yang terjadi di dalam interaksi sosial kemasyarakatan.

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan bagaimana atau mengapa, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata (Yin 2006). Kasus yang dipelajari terikat pada sistem, waktu dan tempat atau ruang; mengkaji secara detail dan mendalam satu atau lebih program, kejadian, individu, atau aktivitas; dimana konteks dari kasus tersebut mencakup latar fisik, sosial, ekonomi, dan sejarah (Suharjito 2014).

Studi kasus memberikan akses dan peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif, dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti (Bungin 2006). Pendekatan pada metode studi kasus menekankan pada abstraksi tingkat pertama, yakni penjelasan langsung dari pelaku; bukan pada abstraksi tingkat kedua, yakni asumsi-asumsi dan klasifikasi-klasifikasi yang dikonstruksikan oleh peneliti (Bennet 1976, diacu dalam Suharjito 2014). Dengan kata lain, menurut Suharjito (2014), penjelasan tentang suatu gejala atau fenomena dalam penelitian ini diberikan secara emik, dimana penjelasan emik tersebut dimaksudkan untuk dapat mengungkapkan apa yang dipikirkan, diketahui, dilakukan, dan diharapkan oleh informan sesuai apa yang disampaikan informan sendiri.

Bungin (2006) menyatakan bahwa pendekatan studi kasus yang digunakan tidaklah kaku sifatnya dan sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan perkembangan fakta empiris yang tengah dicermati. Hal ini menyangkut prinsip dalam penelitian kualitatif dan tidak berarti terjadinya inkonsistensi, melainkan lebih mengedepankan dan mengutamakan aspek emik daripada etik-nya terhadap fenomena sosial yang menjadi unit analisis. Selanjutnya Suharjito (2014) menjelaskan bahwa studi kasus bukan untuk menguji teori, sehingga peneliti tidak berpegang pada suatu teori dari awal hingga akhir pengumpulan data. Namun demikian, peneliti dapat mengganti teori yang pertama, jika diperlukan dengan teori yang lain yang lebih tepat dan seterusnya sampai proses penelitian selesai.

1.5.4 Pengumpulan Data

1. Wawancara mendalam

(31)

informan baru dan proses pengumpulan informasi dianggap sudah selesai. Analisis stakeholder tidak dilakukan dalam penelitian ini untuk memilih informan kunci, karena informan kunci berdasarkan pendekatan berorientasi aktor dari Bryant dan Bailey (1997) merupakan aktor-aktor utama yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya alam. Karena peneliti telah cukup lama berinteraksi dengan aktor-aktor tersebut di lokasi penelitian, maka hal ini memudahkan peneliti di dalam menentukan aktor-aktor utama dalam pengelolaan mangrove di Kabupaten Pesawaran.

2. Pengamatan terlibat

Pengamatan terlibat merupakan suatu bentuk pengematan khusus dimana peneliti tidak hanya menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil berbagai peran dalam situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang akan diteliti. Pengamatan terlibat memberikan peluang kepada peneliti untuk mendapatkan akses terhadap peristiwa-peristiwa atau kelompok-kelompok yang tidak mungkin bisa sampai pada penelitian yang ilmiah. Peluang yang lainnya adalah kemampuan untuk menyadari realitas dari sudut pandang ”orang

dalam” dibandingkan orang luar pada studi kasus tersebut (Yin 2006).

3. Analisis dokumen

Analisis dokumen dilakukan dengan mengkaji publikasi, laporan, dan lain-lain yang terkait dengan fenomena yang diteliti.

1.5.5 Analisis Data

Pendekatan berorientasi aktor dari Bryant dan Bailey (1997) digunakan untuk mengeksplorasi lebih mendalam posisi dan peran, kepentingan, serta tindakan dari aktor-aktor kunci yang terlibat langsung dalam pengelolaan mangrove. Pendekatan di atas selanjutnya dikombinasikan dengan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) untuk menerangkan secara lebih jelas dan terperinci bagaimana tindakan yang dilakukan aktor, dengan mengidentifikasi dan memetakan mekanisme kekuasaan masing-masing aktor, serta menganalisis relasi kekuasaan yang mendasari mekanisme akses tersebut, yang digunakan untuk memperoleh, mempertahankan, dan mengontrol akses terhadap sumberdaya mangrove. Untuk mendukung mengapa sumberdaya mangrove diperebutkan oleh berbagai aktor, maka dilakukan kajian mengenai kelayakan finansial beberapa pola penggunaan lahan yang ada dengan menghitung NPV, BCR, dan IRR. Konsep kelembagaan lokal dari Uphoff (1986; 1994) selanjutnya digunakan untuk menganalisis kelembagaannya.

1.6 Struktur Disertasi

(32)

menjelaskan status penguasaan lahan mangrove oleh aktor-aktor dengan mengacu pada konsep property right dari Ostrom dan Schlager (1996) dan konsep rezim pengelolaan kepemilikan Bromley (1991). Bab ini diakhiri dengan menguraikan secara singkat kondisi mangrove di lokasi penelitian yang sebagian besar mengalami alih fungsi lahannya menjadi tambak-tambak udang intensif.

Bab 3 membahas tentang aktor dan relasi kekuasaan dalam pengelolaan mangrove yang sangat terkait dengan industrialisasi tambak udang yang terjadi di lokasi penelitian. Pendekatan berorientasi aktor dari Bryant dan Bailey (1997) digunakan untuk mengkaji posisi, peran, dan kepentingan aktor yang terlibat; yang dikombinasikan dengan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) untuk mengkaji kekuasaan dan mekanisme yang dijalankan oleh masing-masing aktor. Pada bagian akhir, dibahas mengenai pembentukan jejaring penyelamatan mangrove yang bertujuan untuk mendorong implementasi kebijakan yang terkait dengan pengelolaan mangrove menjadi lebih efektif.

Bab 4 membahas tentang analisis finansial pola penggunaan lahan mangrove dengan menghitung nilai NPV, BCR, dan IRR. Ada tiga pola penggunaan lahan mangrove dominan yang terdapat di lokasi penelitian, yaitu: tambak udang intensif, pembibitan mangrove, dan ekowisata. Nilai yang tinggi dari suatu pola penggunaan lahan dibandingkan pola lainnya akan menjelaskan mengapa suatu aktor memiliki kepentingan tinggi untuk menguasai sumberdaya mangrove tersebut.

Bab 5 membahas tentang peran dan keberlanjutan kelembagaan lokal pengelolaan mangrove. Konsep kelembagaan lokal dari Uphoff (1986; 1994) digunakan untuk menganalisis tingkat pemahaman, kepatuhan, dan kepercayaan terhadap peraturan pengelolaan mangrove yang berlaku. Bab ini menguraikan bagaimana pembentukan dan penguatan kelembagaan lokal di Desa Pulau Pahawang. Bab ini diakhiri dengan pembahasan mengenai keberlanjutan kelembagaan lokal, dimana kelembagaan lokal belum memperoleh status dan kualitas kelembagaannya karena kegagalannya dalam menegakkan aturan-aturan yang telah disepakati bersama.

(33)

2 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Kondisi Administratif dan Geografis

Menurut BPS Kabupaten Pesawaran (2013), Kabupaten Pesawaran merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Lampung yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2007 berdasarkan UU No. 33 tahun 2007. Ibukotanya adalah Gedong Tataan yang berjarak 27 km dari ibukota provinsi Bandar Lampung. Secara administratif, Kabupaten Pesawaran terbagi dalam sembilan kecamatan, yaitu Padang Cermin, Punduh Pidada, Kedondong, Way Lima, Gedong Tataan, Negeri Katon, Tegineneng, Marga Punduh, dan Way Khilau (Gambar 2). Secara geografis, Kabupaten Pesawaran terletak pada koordinat 104,92°-105,34° BT dan 5,12°-5,84° LS, dengan batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Pardasuka, Kecamatan Ambara-wa, Kecamatan Gadingrejo, dan Kecamatan Adiluwih (Kabupaten Pringsewu); 2. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kalirejo, Kecamatan Bangun-rejo, Kecamatan Bumi Ratu Nuban, dan Kecamatan Trimurjo (Kabupaten Lampung Tengah);

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Natar (Kabupaten Lampung Selatan), Kecamatan Kemiling dan Kecamatan Teluk Betung Barat (Kota Bandar Lampung); dan

4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Lampung yang merupakan bagian dari Kecamatan Kelumbayan dan Kecamatan Cukuh Balak (Kabupaten Tanggamus).

Tiga kecamatan terletak di wilayah pesisir, yaitu: Kecamatan Padang Cermin, Kecamatan Punduh Pedada, dan Kecamatan Marga Punduh. Kecamatan Marga Punduh merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Punduh Pedada pada tahun 2012. Persentase luas wilayah ketiga kecamatan tersebut adalah 46,16% dari luas total Kabupaten Pesawaran, dengan jumlah penduduk sebesar 28,48% dari jumlah total penduduk Kabupaten Pesawaran (Tabel 4).

Tabel 4 Luas kecamatan dan jumlah penduduk Kabupaten Pesawaran

Kecamatan Luas Jumlah penduduk*

km2 % jiwa %

Punduh Pedada 113,19 9,64 12.721 3,12

Marga Punduh 111,00 9,46 12.837 3,15

Padang Cermin 317,67 27,06 90.503 22,21

Kedondong 67,00 5,71 32.399 7,95

Way Khilau 64,11 5,46 25.724 6,31

Way Lima 99,83 8,50 29.495 7,24

Gedong Tataan 97,06 8,27 90.294 22,16

Negeri Katon 152,69 13,01 62.626 15,37

Tegineneng 151,26 12,89 50.876 12,49

Total 1.173,81 100,00 407.475 100,00

Keterangan: * = proyeksi jumlah penduduk tahun 2012

(34)

2.2 Iklim dan Topografi

Rata-rata curah hujan di Kabupaten Pesawaran selama tahun 2012 sebanyak 138,79 mm dengan 11,17 rata-rata hari hujan per bulan. Curah hujan tertinggi dan hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Desember dengan curah hujan mencapai 424,50 mm dan 23 hari hujan. Curah hujan terendah dan hari hujan terkecil terjadi pada bulan Agustus yang hanya 2,10 mm curah hujan dan 2 hari hujan. Topografi Kabupaten Pesawaran merupakan daerah dataran rendah dan dataran tinggi dengan ketinggian dari permukaan laut yang bervariasi antara 0-1.682 m (Tabel 5). Sebagian besar wilayah Kabupaten Pesawaran berada pada ketinggian 100-200 mdpl, dengan luasan terbesar yaitu 24.261,14 ha yang tersebar di wilayah Kecamatan Kedondong. Sedangkan kelas ketinggian di antara 500 - 600 mdpl dengan luasan terbesar yaitu 2.897,05 ha yang tersebar di wilayah Kecamatan Padang Cermin (BPS Kabupaten Pesawaran 2013).

Tabel 5 Luas wilayah berdasarkan ketinggian di Kabupaten Pesawaran Ketinggian

(mdpl)

Luas

ha %

0-100 22.924,64 19,53

100-200 46.303,07 39,45

200-300 11.251,34 9,59

300-400 12.686,18 10,81

400-500 7.177,69 6,12

500-600 4.298,54 3,66

>600 12.735,53 10,85

Sumber: BPS Kabupaten Pesawaran (2013)

(35)

Sumber: Pemerintah Kabupaten Pesawaran (2012)

Gambar 2 Administrasi Kabupaten Pesawaran

(36)

2.3 Tata Ruang Wilayah

Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Pesawaran No. 4 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pesawaran Tahun 2011-2031 telah menetapkan sistem pusat kegiatan yang dikembangkan secara hierarki dalam bentuk pusat kegiatan, sesuai kebijakan nasional dan provinsi, potensi, dan rencana pengembangan wilayah kabupaten (Gambar 3). Sistem pusat kegiatan tersebut meliputi:

1. Pusat Kegiatan Wilayah promosi (PKWp) berada di Perkotaan Gedong Tataan yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan dan jasa, pusat pendidikan, dan kesehatan;

2. Pusat Kegiatan Lokal promosi (PKLp) berada di Perkotaan Tegineneng yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, pusat industri, dan pusat perdagangan skala lokal;

3. Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) meliputi:

a. Perkotaan Padang Cermin yang berfungsi sebagai pusat minapolitan tangkap dan kawasan penunjang agropolitan; dan

b. Perkotaan Negeri Katon yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan dan permukiman perkotaan;

4. Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) meliputi:

a. Perdesaan Kedondong yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, permukiman perdesaan, dan kawasan penunjang agropolitan; b. Perdesaan Way Lima yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan

kecamatan, permukiman perdesaan, dan kawasan penunjang agropolitan; dan

c. Perdesaan Punduh Pedada yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, permukiman perdesaan, kawasan penunjang agropolitan, dan minapolitan.

Perda tersebut juga menetapkan rencana pola ruang yang meliputi: 1. Kawasan lindung terdiri atas:

a. Kawasan hutan lindung;

b. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; c. Kawasan perlindungan setempat;

d. Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya; dan e. Kawasan rawan bencana alam.

2. Kawasan budidaya terdiri atas:

a. Kawasan peruntukan hutan produksi; b. Kawasan peruntukan hutan rakyat; c. Kawasan peruntukan pertanian; d. Kawasan peruntukan perikanan; e. Kawasan peruntukan pertambangan; f. Kawasan peruntukan industri; g. Kawasan peruntukan pariwisata;

(37)

Sumber: Pemerintah Kabupaten Pesawaran (2012)

(38)

2.4 Status Penguasaan Lahan Mangrove

Mangrove yang terdapat di Kabupaten Pesawaran tumbuh di lahan-lahan yang berada di luar kawasan hutan negara. Berdasarkan penuturan tokoh-tokoh masyarakat dan tetua kampung, dahulunya tidak ada yang mengklaim kepemilikan lahan-lahan mangrove di wilayah tersebut; karena sebagian besar masyarakat memiliki profesi sebagai petani yang menggarap sawah atau ladang dan nelayan yang mencari ikan di laut. Budidaya udang yang mulai berkembang di tahun 1980-an mendorong sebagian masyarakat menguasai lahan mangrove untuk diusahakan menjadi tambak yang dikelola secara tradisional. Sebagian lainnya menguasai lahan mangrove dengan tujuan untuk dijual kepada investor yang berasal dari luar wilayahnya. Di beberapa lokasi, sempat pula terjadi pengambilalihan secara paksa lahan-lahan mangrove milik masyarakat oleh investor dengan ganti rugi yang tidak layak; sehingga sempat menimbulkan konflik kekerasan. Seiring pesatnya perkembangan budidaya udang yang diusahakan secara semi intensif dan intensif sekitar akhir tahun 1990-an, sebagian besar lahan-lahan mangrove yang berada di pesisir Kabupaten Pesawaran (di daratan Pulau Sumatra) telah beralih kepemilikannya kepada investor yang berasal dari luar wilayah tersebut.

Saat ini, sebagian besar lahan mangrove yang berada di pesisir Kabupaten Pesawaran (di daratan Pulau Sumatra) merupakan lahan yang dibebani hak milik. Hal ini dibuktikan dengan kepemilikan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dikeluarkan oleh kepala desa atau Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Pesawaran dan BPN Kabupaten Lampung Selatan (SHM diterbitkan sebelum Kabupaten Pesawaran dimekarkan dari Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2007). Sebagian lahan mangrove di wilayah yang sama, diklaim tanpa bukti kepemilikan lahan. Kondisi serupa juga terjadi dengan lahan-lahan mangrove yang terdapat di pulau-pulau kecil yang masuk ke dalam wilayah kabupaten tersebut; namun, ada juga yang diklaim oleh masyarakat setempat dan dikelola oleh kelembagaan lokal, seperti yang berada di Desa Pulau Pahawang.

(39)

Secara teoritis, konsep hak kepemilikan (property right) dapat digunakan untuk menjelaskan status kepemilikan dari lahan-lahan mangrove di atas; dimana menurut Robbins (2004) hak kepemilikan merupakan salah satu bagian dari kajian politik ekologi. Ostrom dan Schlager (1996) mengemukakan bahwa hak kepemilikan dalam pelaksanaannya dapat dibagi lebih lanjut menjadi beberapa bentuk, yaitu: access dan withdrawal, management, exclusion, dan alienation. Hak akses (access) adalah hak untuk memasuki suatu batas fisik kepemilikan yang telah ditetapkan. Hak pemanfaatan (withdrawal) adalah hak untuk mendapatkan hasil atau produk dari suatu sumberdaya. Hak pengelolaan (management) adalah hak untuk mengatur pola-pola pemanfaatan internal dan mengubah sumberdaya dengan melakukan perbaikan. Hak ekslusi (exclusion) adalah hak untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan hak akses dan bagaimana hak tersebut ditransfer. Hak pengalihan (alienation) adalah hak untuk menjual atau menyewakan salah satu atau lebih hak-hak pilihan kolektif di atas.

Selanjutnya Ostrom dan Schlager (1996) membedakan hak-hak yang dimiliki oleh lima kelompok masyarakat yang mempunyai strata hak kepemilikan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, yaitu: authorized entrant, authorized user, claimant, proprietor, dan owner (Tabel 6). Authorized entrant

adalah individu-individu yang diberi hak untuk dapat memasuki sumberdaya.

Authorized user adalah individu-individu yang diberi hak untuk dapat memasuki dan memanfaatkan sumberdaya. Claimant adalah individu-individu yang memiliki hak yang sama sebagai authorized user ditambah hak pilihan kolektif untuk menentukan pengelolaannya. Proprietor adalah individu-individu yang memiliki hak pilihan kolektif untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan menentukan keikutsertaan/mengeluarkan pihak lain. Owner adalah individu-individu yang diberi hak pilihan kolektif untuk dapat memasuki dan memanfaatkan, menentukan bentuk pengelolaan, menentukan keikutsertaan/mengeluarkan pihak lain, dan dapat memperjualbelikan hak atas sumberdaya. Dengan ciri-ciri hak kepemilikan di atas, maka secara de facto pihak-pihak, baik yang menguasai lahan-lahan mangrove secara formal (dengan bukti kepemilikan) maupun informal dapat disebut sebagai owner; namun secara de jure hanya pihak-pihak yang memiliki bukti kepemilikan secara formallah yang lebih kuat kedudukannya. Ada juga pihak yang disebut sebagai proprietor, karena hanya memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, dan hak ekslusi, yaitu kelembagaan lokal pengelolaan mangrove yang berada di Desa Pulau Pahawang.

Tabel 6 Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat

Tipe hak Owner Proprietor Claimant Authorized user Authorized entrant

Access X X X X X

Withdrawal X X X X

Management X X X

Exclusion X X

Alienation X

(40)

Menurut Bromley (1991) ada empat rezim pengelolaan kepemilikan, yaitu: rezim kepemilikan pribadi (private property regime), rezim kepemilikan bersama (common property regime), rezim kepemilikan oleh negara (state property regime), dan rezim akses terbuka (open acces regime). Rezim kepemilikan pribadi adalah kepemilikan pribadi terhadap sesuatu, dimana hak terhadap sesuatu tersebut melekat pada pemiliknya, sehingga aturan yang berkaitan dengan sesuatu tersebut ditetapkan sendiri dan hanya berlaku untuk pemiliknya. Rezim kepemilikan bersama adalah kepemilikan oleh sekelompok orang tertentu dimana hak, kewajiban, dan aturan ditetapkan dan berlaku untuk anggota kelompok tersebut. Rezim kepemilikan oleh negara adalah hak kepemilikan dan aturan-aturannya ditetapkan oleh negara dan invidu tidak boleh memilikinya. Rezim akses terbuka adalah tidak ada aturan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban.

Mengacu pada konsep rezim pengelolaan kepemilikan di atas, maka terdapat beberapa rezim pengelolaan kepemilikan lahan-lahan mangrove di Kabupaten Pesawaran. Lahan-lahan mangrove yang berada di lahan milik merupakan rezim kepemilikan pribadi. Lahan-lahan mangrove yang tidak/belum dibebani hak milik secara de jure merupakan rezim kepemilikan negara karena merupakan bagian dari kawasan perlindungan setempat berdasarkan peraturan daerah mengenai RTRW; tetapi secara de facto dalam kondisi akses terbuka. Rezim kepemilikan bersama, secara de facto, dapat ditemui pada lahan mangrove yang dikelola oleh kelembagaan lokal di Desa Pulau Pahawang; namun secara de jure lahan-lahan mangrove tersebut sebenarnya merupakan rezim kepemilikan negara. Lahan mangrove yang berada di wilayah pangkalan angkatan laut TNI AL merupakan rezim kepemilikan oleh negara.

2.5 Mangrove dan Alih Fungsi Lahannya

Mangrove di Kabupaten Pesawaran tersebar di tiga kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Padang Cermin, Kecamatan Punduh Pedada dan Kecamatan Marga Punduh. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Propinsi Lampung tahun 2009, Kabupaten Pesawaran diperkirakan memiliki areal mangrove dengan luas sekitar 400 ha (BPLHD Provinsi Lampung 2011). Pemerintah Kabupaten Pesawaran menyatakan bahwa mangrove yang tersebar di sepanjang pesisir Kecamatan Padang Cermin dan Kecamatan Punduh Pedada (± 96 km), serta tumbuh di beberapa pulau kecil lainnya memiliki luas sekitar 1.200 ha (Pemerintah Kabupaten Pesawaran 2010). Berdasarkan data PSSDAL Bakosurtanal luas mangrove di Kabupaten Pesawaran adalah 838,653 ha (Saputro et al. 2009).

(41)

memiliki INP sebesar 300. Kerapatan individu di daerah ini adalah 900 individu/ha, dan dengan potensi tiang sebesar 754,3 m3/ha. Komunitas mangrove di Desa Sidodadi memiliki ketebalan sekitar 4 km.

Identifikasi mangrove yang dilakukan Mukhlisi et al. (2013) di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, menunjukkan komposisi penyusun jenis mangrove yang ditemukan meliputi 22 jenis yang termasuk ke dalam 10 jenis mangrove mayor, 4 jenis mangrove minor, dan 8 jenis asosiasi mangrove. Keanekaragaman jenis mangrove pada strata semai (68.60%). Hasil penelitian Mayuftia et al. (2013) di desa yang sama menunjukkan bahwa tingkat kerusakan ekosistem mangrove berdasarkan kriteria nilai NDVI (normalized difference vegetation index) sebesar 0,25 dan 0,378, tergolong rusak berat dan rusak sedang. Berdasarkan baku mutu suatu ekosistem mangrove dengan menggunakan kerapatan pohon dengan interpretasi citra menggunakan Landsat TM, kerapatan pohonnya berkisar antara 880- >1.100 pohon, sehingga dikategorikan sangat rapat. Biomassa karbon mangrove terkandung pada vegetasi mangrove yang ada di desa tersebut yaitu 10.694.870,18 kg/ha.

Identifikasi flora dan fauna mangrove juga dilakukan oleh Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah II Kementerian Kehutanan. Identifikasi tersebut dilakukan di Daerah Perlindungan Mangrove yang dikelola oleh Badan Perlindungan Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM) Desa Pulau Pahawang. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat sekitar 41 jenis tumbuhan di wilayah tersebut. Tumbuhan pohon berjumlah 31 jenis yang didominasi oleh

Rhizophora spp dan Bruguiera spp, sementara tumbuhan bawah sejenis herba, perdu, palem, semak, dan tumbuhan menjalar berjumlah 10 jenis. Berbagai jenis fauna yang teridentifikasi antara lain dari jenis mamalia, aves, reptil, dan moluska (BPHM II Kementerian Kehutanan 2012).

Kabupaten Pesawaran belum memiliki peraturan daerah yang secara khusus mengatur pengelolaan mangrove di wilayahnya, tetapi ada beberapa kebijakan yang terkait dengan pengelolaan mangrove dan sekaligus juga pengusahaan tambak udang. Kebijakan tersebut adalah perijinan pengusahaan tambak udang, pembentukan Tim Monev Tambak, SK Bupati Pesawaran No. 162.B/III.06/HK/ 2009 tentang Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran, SK Bupati Pesawaran No. 175/III.06/HK/2009 tentang Pokja Mangrove dan Perda Kabupaten Pesawaran No. 4 tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Pesawaran Tahun 2011-2031. Dalam implementasinya, kebijakan di atas ternyata lebih mendukung intensifikasi tambak udang dibandingkan pelestarian mangrove.

Gambar

Tabel 1  Dimensi politisasi lingkungan
Tabel 3  Konsep dan proses dalam politik ekologi
Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 4  Luas kecamatan dan jumlah penduduk Kabupaten Pesawaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, data yang diperoleh dari laman media sosial Facebook DJPb dan hasil wawancara dengan pembuat teks juga akan dianalisis untuk menemukan beberapa konteks

selama lima tahun yang tertuang dalam dokumen RPJMD

Perubahan tersebut juga diikuti dengan adanya tren peningkatan curah hujan (22%) pada bulan-bulan basah (November-Januari) serta penurunan curah hujan (26%) pada

Gulunglah kain kapan bersama – sama ( 2 orang ) dengan arah yang sama atau boleh juga berlawanan arah.. Ikatkan jenazah itu sebanyak 5 ikatan, yaitu di ujung kaki, di lutut, di

Keterkaitan Empat Negara ASEAN terha- dap Indonesia Saat Krisis Tahun 1997 Sebelum membahas mengenai keterkaitan empat negara ASEAN terhadap Indonesia saat krisis tahun 1997,

and many more. Picoult’s novels usually deal with ethical issues and are told from a variety of viewpoints, with each chapter written in a different character’s voice..

Hasil dari analisis ini adalah data prediksi deformasi yang terjadi pada campuran tanah dengan sampah plastik PET kadar 0.35%, yang ditunjukkan pada Tabel 2. Hasil

Salah satunya penggunaan pupuk hayati berupa FMA jenis Glomus fasciculatum yang cocok digunakan untuk tanaman pangan seperti kedelai, dari segi agronomis masih