• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

2.5 Mangrove dan Alih Fungsi Lahannya

Mangrove di Kabupaten Pesawaran tersebar di tiga kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Padang Cermin, Kecamatan Punduh Pedada dan Kecamatan Marga Punduh. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Propinsi Lampung tahun 2009, Kabupaten Pesawaran diperkirakan memiliki areal mangrove dengan luas sekitar 400 ha (BPLHD Provinsi Lampung 2011). Pemerintah Kabupaten Pesawaran menyatakan bahwa mangrove yang tersebar di sepanjang pesisir Kecamatan Padang Cermin dan Kecamatan Punduh Pedada (± 96 km), serta tumbuh di beberapa pulau kecil lainnya memiliki luas sekitar 1.200 ha (Pemerintah Kabupaten Pesawaran 2010). Berdasarkan data PSSDAL Bakosurtanal luas mangrove di Kabupaten Pesawaran adalah 838,653 ha (Saputro et al. 2009).

Hasil inventarisasi mangrove yang dilakukan oleh Wiryawan et al. (2002) di dua lokasi di Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran menunjukkan bahwa mangrove di Desa Durian berupa asosiasi (multi species) dengan jenis dominan Rhizophora mucronata, dengan indeks nilai penting (INP) berkisar antara 236 hingga 249 dan kerapatan berkisar antara 188 individu/ha hingga 530 individu/ha. Tingkat pertumbuhan pohon di kawasan ini adalah sapihan, tiang, dan pohon. Nilai potensi untuk tiang sebesar 212 m3/ha dan untuk pohon sebesar 278 m3/ha. Ketebalan mangrove di Desa Durian antara 1-1,5 km. Berbeda dengan komunitas mangrove di Desa Durian, maka tipe vegetasi di Desa Sidodadi bertipe konsosiasi, dengan jenis Rhizophora mucronata sebagai jenis dominandan

memiliki INP sebesar 300. Kerapatan individu di daerah ini adalah 900 individu/ha, dan dengan potensi tiang sebesar 754,3 m3/ha. Komunitas mangrove di Desa Sidodadi memiliki ketebalan sekitar 4 km.

Identifikasi mangrove yang dilakukan Mukhlisi et al. (2013) di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, menunjukkan komposisi penyusun jenis mangrove yang ditemukan meliputi 22 jenis yang termasuk ke dalam 10 jenis mangrove mayor, 4 jenis mangrove minor, dan 8 jenis asosiasi mangrove. Keanekaragaman jenis mangrove pada strata semai memiliki nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wienner (H’) = 0,77,

pancang H’= 0.83 dan pohon H’= 0.96. Rhizophora apiculata Blume. dan

Rhizophora stylosa Griff. merupakan dua jenis mangrove dengan INP tertinggi pada setiap strata pertumbuhan. Rhizophora apiculata Blume. memiliki nilai INP tertinggi untuk strata pohon (99.63%) sedangkan

Rhizophora stylosa Griff. dominan pada strata pancang (104.57%) dan semai (68.60%). Hasil penelitian Mayuftia et al. (2013) di desa yang sama menunjukkan bahwa tingkat kerusakan ekosistem mangrove berdasarkan kriteria nilai NDVI (normalized difference vegetation index) sebesar 0,25 dan 0,378, tergolong rusak berat dan rusak sedang. Berdasarkan baku mutu suatu ekosistem mangrove dengan menggunakan kerapatan pohon dengan interpretasi citra menggunakan Landsat TM, kerapatan pohonnya berkisar antara 880- >1.100 pohon, sehingga dikategorikan sangat rapat. Biomassa karbon mangrove terkandung pada vegetasi mangrove yang ada di desa tersebut yaitu 10.694.870,18 kg/ha.

Identifikasi flora dan fauna mangrove juga dilakukan oleh Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah II Kementerian Kehutanan. Identifikasi tersebut dilakukan di Daerah Perlindungan Mangrove yang dikelola oleh Badan Perlindungan Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM) Desa Pulau Pahawang. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat sekitar 41 jenis tumbuhan di wilayah tersebut. Tumbuhan pohon berjumlah 31 jenis yang didominasi oleh

Rhizophora spp dan Bruguiera spp, sementara tumbuhan bawah sejenis herba, perdu, palem, semak, dan tumbuhan menjalar berjumlah 10 jenis. Berbagai jenis fauna yang teridentifikasi antara lain dari jenis mamalia, aves, reptil, dan moluska (BPHM II Kementerian Kehutanan 2012).

Kabupaten Pesawaran belum memiliki peraturan daerah yang secara khusus mengatur pengelolaan mangrove di wilayahnya, tetapi ada beberapa kebijakan yang terkait dengan pengelolaan mangrove dan sekaligus juga pengusahaan tambak udang. Kebijakan tersebut adalah perijinan pengusahaan tambak udang, pembentukan Tim Monev Tambak, SK Bupati Pesawaran No. 162.B/III.06/HK/ 2009 tentang Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran, SK Bupati Pesawaran No. 175/III.06/HK/2009 tentang Pokja Mangrove dan Perda Kabupaten Pesawaran No. 4 tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Pesawaran Tahun 2011-2031. Dalam implementasinya, kebijakan di atas ternyata lebih mendukung intensifikasi tambak udang dibandingkan pelestarian mangrove.

Berdasarkan RTRW Kabupaten Pesawaran, mangrove yang merupakan bagian dari kawasan sempadan pantai termasuk di dalam kawasan perlindungan setempat. Kawasan sempadan pantai adalah sempadan berjarak 100 meter dari bibir pantai yang terletak di Kecamatan Punduh Pedada (Kecamatan Punduh

Pedada telah dimekarkan menjadi Kecamatan Punduh Pedada dan Kecamatan Marga Punduh pada tahun 2012) dan Kecamatan Padang Cermin. Perwujudan kawasan sempadan pantai meliputi: penataan kawasan sempadan pantai untuk melindungi pantai dari berbagai usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengganggu fungsi sempadan pantai, penertiban bangunan yang melanggar kawasan sempadan pantai, penyelamatan terumbu karang, dan rehabilitasi ekosistem hutan bakau (mangrove). RTRW juga menetapkan wilayah di sepanjang pesisir pantai di tiga kecamatan di atas sebagai kawasan peruntukan perikanan budidaya berupa rencana pengembangan tambak, baik tambak udang maupun tambak ikan bandeng. Selain itu, wilayah tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan minapolitan yang berbasis budidaya udang sebagai komoditas unggulannya.

RTRW memuat pula ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang yang menjadi acuan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten yang meliputi: ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan pemberian insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. Ketentuan umum zonasi sempadan pantai meliputi:

1. Kegiatan yang diijinkan meliputi:

a. Kawasan sempadan pantai ditetapkan 100 meter dari titik pasang tertinggi; b. Kegiatan yang diijinkan dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk

zona pemanfaatan terbatas dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional; dan

c. Dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk dalam zona inti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya kecuali kegiatan penelitian, bangunan pengendali air, dan sistem peringatan dini;

2. Kegiatan yang diijinkan bersyarat berupa: a. Bangunan penunjang pariwisata; dan

b. Bangunan pengolahan limbah dan bahan pencemar lainnya; 3. Kegiatan yang dilarang berupa:

a. Bangunan yang tidak berhubungan secara langsung dengan fungsi wilayah pantai; dan

b. Kegiatan baik berupa bangunan maupun bukan yang potensi mencemari pantai;

4. Intensitas pemanfaatan ruang meliputi koefisien dasar bangunan (KDB) yang diijinkan 10%; koefisien lantai bangunan (KLB) yang diijinkan 10%; dan koefisien daerah hijau (KDH) yang diijinkan 90%.

Dinamika yang terjadi di ketiga kecamatan pesisir tersebut telah menyebabkan perubahan lingkungan yang berlangsung secara kontinyu, terutama diakibatkan oleh banyaknya lahan mangrove yang dikonversi menjadi tambak udang oleh pengusaha. Secara umum, tambak udang diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan, yaitu: ekstensif, semi intensif, dan intensif (Tabel 7). Pengusahaan tambak udang secara ekstensif telah dimulai sekitar tahun 1980-an, sementara secara semi intensif dan intensif mulai dilakukan sekitar akhir 1990-an. Konversi mangrove secara masif menjadi tambak udang mengakibatkan fungsi dan manfaatnya yang sangat penting untuk mendukung kehidupan di daerah pesisir menjadi hilang dan membuat masyarakat lokal menjadi termarjinalkan. Dampak yang muncul akibat aktivitas tersebut memperoleh kepedulian dari salah

satu LSM di Provinsi Lampung, yaitu LSM Mitra Bentala. LSM ini sejak tahun 1997 aktif melakukan fasilitasi masyarakat pesisir di Kabupaten Pesawaran untuk mempertahankan keberadaan mangrove di wilayahnya. LSM Mitra Bentala juga memfasilitasi pembentukan kelembagaan lokal di Pulau Pahawang; namun kelembagaan lokal tersebut menghadapi tantangan terhadap keberlanjutan kelembagaannya berupa intervensi dari aktor lainnya yang memiliki kepentingan berbeda.

Tabel 7 Klasifikasi sistim budidaya udang

Uraian Ekstensif Semi intensif Intensif

Ukuran petak (ha) 1-10 1-2 0,1-1

Penambahan populasi

alami + buatan buatan buatan

Kepadatan tebar (benur/m2)

1-3 3-10 10-50

Sumber benur alam + hatchery hatchery + alam hatchery

Produksi tahunan 0,6-1,5 ton/ha/tahun 2-6 ton/ha/tahun 7-15 ton/ha/tahun

Sumber pakan alami alami + formula formula

Pupuk ya ya ya

Pergantian air Pasang surut + pompa

< 5% tiap hari pompa < 25% tiap hari pompa < 30% tiap hari Aerasi tidak ya ya

Keragaman jenis mayoritas monokultur,

beberapa polikultur dengan ikan

monokultur monokultur

Masalah penyakit jarang sedang - sering sering

Tenaga kerja < 7 orang/ha 1-3 orang/ha 1 orang/ha

Biaya konstruksi tambak

US $ 10-35.000/ha US $ 25-250.000/ha

Biaya produksi/ kg US $ 1-3 US $ 2-6 US $ 4-8

3 AKTOR DAN RELASI KEKUASAAN

Dokumen terkait