MEMPELAJARI PROSES PEMBUATAN TEPUNG
DARI WHEY TAHU DENGAN PENGERING SEMPROT
DAN PENGERING BEKU SERTA ANALISIS SIPAT
FUNGSIONAL TEPUNG YANG DIHASILKAN
OLEH
:IMRON FAJRI
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
IMRON F A X . Mempelajari Proses Pembuatan Tepung dari Whey Tahu dengan
Pengering Sernprot dan Pengering Beku serta Analisis Sifat Fungsional Tepung yang
DihasiIkan. Dibimbing oleh PURWIYATNO HARIYADI dan SLAMET
BUDIJANTO.
Whey tahu adalah air buangan sisa proses penggumpalan tahu pada waktu pembuatannya. Didalam whey tahu sendiri masih terdapat sisa protein yang tidak mengganpal d m zat-zat lain yang larut air, termaSuk lesitin dan oligosakarida. Jika whey tahu tidak dimanfaatkan akan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan karena membusuhya senyawa-senyawa organik tersebut, sedangkan pemanfaatannya masih sangat terbatas. Didalam penelitian ini dipelajari pembuatan tepung dari whey tahu sebagai ingredien pangan hngsional, termasuk proses pemekatannya dengan menggunakan evaporator vakurn, proses pengeringannya dengan pengering semprot dan beku, sifat hngsional tepungnya, dan mempelajari kandungan dan jenis isoflavonnya. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) dan untuk melihat perbedaan antar perlakuan dilakukan dengan uji Duncan.
Suhu evaporasi untuk memekatkan whey tahu adalah 60 dan 70°C. Evaporasi
whey tahu pada suhu 60°C, pengeringan dengan pengering semprot dan penambahan
pati 1% meningkatkan derajat putih tepung whey tahu. Akan tetapi kadar protein dan kapasitas buih tepung whey tahu tidak dipengaruhi oleh semua perlakuan.
Evaporasi whey tahu pada suhu 60°C dan penarnbahan 1% pati singkong
meningkatkan stabilitas buih tepung whey tahu. Interaksi antara evaporasi whey tahu
pada suhu 70°C, pengeringan dengan pengering semprot dan penarnbahan 1% pati
singkong meningkatkan kapasitas ernulsi. Sedangkan peningkatan stabilitas emulsi
dicapai oleh evaporasi whey tahu pada suhu 60°C dan pengeringan dengan pengering
beku. Interaksi antar perlakuan te rjadi juga pada pengukuran daya serap air dimana pati jagung meningkatkan daya serap air tepung whey tahu. Sedangkan daya serap
minyak meningkat pada suhu evaporasi whey tahu 60°C dan penambahan 1% pati.
Kemudahan melarut tepung whey tahu meningkat dengan perlakuan evaporasi
whey tahu pad suhu 70°C, pengeringan dengan pengering semprot dan tanpa
penarnbahan pati. Whey tahu dan tepungnya mengaiidung senyawa-senyawa
MEMPELAJARI PROSES PEMBUATAN TEPUNG
DARI WHEY TAHU DENGAN PENGERING SEMPROT
DAN PENGERING BEKU SERTA ANALISIS SIFAT
FUNGSIONAL TEPUNG YANG DIHASILKAN
IMRON FAJRI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh geIar
Magister Sains pada Program Studi I h u Pangan
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Meinpelajari Proses Pembuatan Tepung dari Whey Tahu dengan Pengeringan Semprot dan Beku dan Analisis Sifat Fungsional Tepung yang Dillasilkan
N a ~ n a : Ilnron Fajri
N R P : 97161
Program Studi : Illllu Pangan
Dr. Ir. Slamet Budiianto, MAnr Anggota
2. I<etua Program Studi Ilmu Pangan
J{aCh?+:
-
Prof. Dr. Ir. Bettv Sri Lalcsrni Jenie. MS
-
Tanggal Lulus : 9 fi
RIWAYAT
HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 17 Desember 1969 dari Bapak H .
Hasanuddin dan Ibu Suriyah (alm.). Tahun 1989 penulis lulus dari SMA Negeri 6
PRAKATA
Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT atas rahmat, karunia
dan petunjuk-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul dari
penelitian yang telah dilakukan adalah Mempelajari Proses Pembuatan Tepung dari
.Whey Tahu dengan Pengering Semprot dan Pengering Beku serta Analisis Sifat
Fungsional Tepung yang Dihasilkan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada orang tua, mertua dan seluruh keluarga
atas doa, perhatian dan kasih sayangnya, kepada Paman Dr. Ir. AbduI Munif, M.Eng.
yang telah membiayai paenulis selarna menempuh pendidikan di PPs- IPB, kepada
istri Sri Rosmiati Harahap, SPi. (alm.) dan anakku Fildzah Nadhira Fajri inilah hasil
dari pe juangan kita.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc.
dan Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr. seIaku pembimbing. Disamping itu, ucapan
terima kasih penulis sarnpaikan kepada Bapak dan Ibu teman-teman IPN, keluarga
IPN '97, terutama '1bu Dra. Setyorini Sugiastuti, Apt., M.Si., Ibu Dra. Tri Ratna
Nastiti, Apt., M.Si., Ibu Ir. Susi Desminarti, M.Si. dan Bapak Ir. Rudi Nurismanto,
M.Si. untuk segalanya. Para teknisi dan laboran Mas Nurwanto dan Mbak Sri, Bapak
Sobirin, Mas Taufik, Abah Karna, Mbak Ari terima kasih atas kerjasamanya.
Nurdiansyah Yusuf, STp. dan Romi Lusivera, STp. terima kasih untuk bantuan dan
ke rjasamanya.
Semoga Allah membalas budi baik anda semua dan semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.
Bogor, Januari 2002
DAFTAR
IS1DAFTAR TABEL ... ... DAFTAR GAMBAR
... DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang ... Tujuan ... TINJAUAN PUSTAKA
Proses Pembuatan Tahu ... Whey Tahu ... Senyawa Isoflavon ... Whey Protein ... Proses Pengeringan Whey ...
Evaporasi ... Pengeringan semprot ...
...
Pengeringan beku
Pati ...
Sifat Fungsiolial Protein ...
...
Pembentukan buih
Emulsifikasi ... Daya serap air dan minyak ... Kelarutan
...
METODOLOGI PENELITIANBahan dan Alat ...
. .
Tempat penelltian ... Pelaksanaan Penelitian
...
. .
...
Prosedur Anal~sis
HASIL DAN PEMBAHASAN
. .
...
Penelltian Tahap Pertama
. .
Penel~tian . . Tahap Kedua ... ... Penelitian Tahap Ketiga
...
Kapasitas dan Stabilitas Buih
...
Kapasitas dan Stabilitas Emulsi
...
...
Kemudahan Melarut 6 1
Kandungan dan Jenis Senyawa Isoflavon
...
64 ...KESIMPULAN 69
...
DAFT- PUSTAKA 71
DAFTAR
TABEL1 Hasil analisis proksimat whey tahu ...
2 Parameter hasiI pemekatan whey tahu
...
3 Hasil analisis kadar protein tepung whey tahu dari pengeringan
...
semprot dan beku
4 Hasil analisis proksimat tepung whey tahu dari pengeringan
semprot
...
5 Hasil analisis proksimat tepung whey tahu dari pengeringan beku
....
6 Hasil analisis kapasitas buih tepung whey tahu dari pengeringan semprot dan beku ...
7 Hasil analisis kapasitas emuIsi tepung whey tahu dari pengeringan
semprot dan beku
...
8 Stabilitas emulsi tepung whey tahu dari pengeringan semprot
...
9 Stabilitas emulsi tepung whey tahu dari pengeringan Seku ...
10 Daya serap air dan minyak tepung whey tahu dari pengeringan semprot dan beku ...
1 1 Kemudahan melarut tepung whey taha dari pengeringan semprot
...
12 Kemudahan melarut tepung whey tahu dari pengeringan beku
...
13 Hasil analisis kualitatif senyawa isoflavon dengan KLT ...
...
14 Hasil analisis kuantitatif senyawa isoflavon dengan HPLC
Halaman
34
DAFTAR
GAMBAR
1 Diagram alir pembuatan tahu
...
2 Kesetimbangan massa protein pada proses pembuatan tahu
...
3 Tahapan proses pembuatan tepung whey tahu yang dilakukan
pada penelitian ini
... ... ...
4 Tepung whey tahu hasil dari proses pengeringan semprot (A),
pengeringan beku (B) dan whey tahu (C)
...
5 Nilai derajat putih tepung whey tahu dengan bahan pengisi pati singkong
.
. . .
.
.
. .. . . .
. . .
.
. . . .
..
. . .
. .
. . .
. . .
. . . .
.
.
.
. . . -.
.
. . .
.
.
-.
. .
. . .
. . -.
.
.
.
. . .
. .
6 Nilai derajat putih tepung whey tahu dengan bahan pengisi pati
jagung
. . .
.
. . . .
. . .
. . .
..
. . .
.
.
. . .
. . -.
.
. . .
-,... ....
...
. . . . .. ..--...
...7 Stabilitas buih tepung whey tahu pada suhu evaporasi whey tahu
60°C
.
. . .
. . .
. . .
. ..
. .
.
. . .
.
.
.
. . . -.
.
. . .
. . .
.
. . . .
.
.
.
. ..
. .
.
. .
. . . -.
. .
. . . .
8 Stabilitas buih tepung whey tahu pada suhu evaporasi whey tahu
70°C . . . .
. . . .
.
. . .
. . . .
. . .
. . .
.
. . .. . .
.. .
. . .
. . .
. . . -.
.
.
. .
. . .
. . .
.
. . . .
. . .
.
.. . . .
. . .
. .
9 Kesetimbangan massa senyawa isoflavon pada proses pembuatan tahu
...
..-...-...
...-...
....
...
*.....-....
Halaman
5
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Analisis ragarn hasil evaporasi whey tahu
...
77 2 Analisis ragam hasil pengeringan whey tahu...
783 Analisis ragarn hasil analisis sifat fimgsionaI tepung whey.tahu
...
824 Analisis ragam hasil analisis proksimat
...
9 5PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tahu adalah makanan yang relatif murah dan bergizi tinggi. Zat gizi utama
yang terkandung didalam tahu adalah protein. Protein ini terekstrak dan tergumpal
dengan adanya bahan penggumpaI pada waktu proses pembuatan tahu.
Pada proses pembuatan tahu akan dihasilkan limbah. Limbah dari pengolahan
tabu ini berupa limbah padat dan limbah cair. Limbah padat atau ampas tahu dapat digunakan sebagai rnakanan ternak dan sebagai bahan pangan yaitu tempe gembus
dan onconl. Sedangkan limbah cairnya atau whey tahu adalah air buangan sisa
proses penggumpalan tahu yang biasanya dibuang melalui saluran air, sungai atau
ditampuilg dalam suatu kolain di dekat pabrik.
Whey tahu sering menyebabkan terjadinya pcncernaran lingkungan.
Pencemaran ini disebabkan oleh bau yang ditin~bulkan karena membusuknya
senyawa-senyawa organik diantaranya protein. Sugiharto (1987) mengernukakan
bahwa whey tahu dapat mencemari air dengan menurunkan oksigen terlarut.
Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1984) 73,5% protein kedelai akan terekstrak
pada tahu, sedangkan 9% akan terbuang bersama wheynya. Pada proses pembuatan
tahu setiap setengah kilogram kacang kedelai akan menghasilkan empat liter whey.
Uilaporkan oleh Nugroho (1999) sampai akhir tahun 1998 di kabupaten Bogor
tercatat sekitar 18 1 industri tahu anggota KOPTI, j ika satu industri tahu memerlukan
2
maka setiap bulannya akan dihasilkan whey tahu sebanyak 1.914.225 sampai
2.090.550 liter.
Melihat banyaknya whey tahu yang dihasilkan oleh industri-industri tahu
sehingga sangat potensial sebagai bahan pencemar jika tidak ditangani secara benar.
Oleh karena itu, penelitian dan pengembangan perlu dilakukan untuk mencarikan
altematif penanganan whey tahu ini, misalnya dengan mengolahnya menjadi whey
protein konsentrat dan ingredien pangan. Basry (1998) mengemukakan bahwa
pertggunaan hasil olah kedelai, seperti protein kedelai, sebagai ingredien untuk
produk pangan akan memberikan nilai gizi yang lebih baik dari pada protein hewani
dan akan membantu peningkatan status gizi masyarakat secara umurn.
Penelitian ini akan mempelajari pemanfaatan whey tahu untuk menghasilkan
whey ingredicn dalam bentuk tepung. Karena whey tahu masih mengandung kadar
air yang tinggi maka untuk mendapatkan whey tahu dalam bentuk pekat dilakukan
evaporasi dan untuk mendapatkan tepung whey tahu dilakukan dengan proses
pengeringan.
Tepung whey tahu yang dihasilkan akan diuji sifat-sifat fungsionalnya.
Analisis kandungan dan jenis senyawa isoflavon dilakukan pada whey tahu dan
tepung yang dihasilkan setelah mendapatkan beberapa perlakuan.
Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari proses pembuatan tepung
TINJAUAN
PUSTAKA
Proses PembuatanTahu
Proses pembuatan tahu secara umurn dibagi menjadi dua tahap, yaitu :
pembuatan susu kedelai dan penggumpalan susu kedelai sehingga menghasilkan
gumpalan tahu (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Diagram alir pembuatan tahu dapat
dilihat pada Gambar 1.
Tahap awal pembuatan susu kedelai adalah perendaman kedelai selama 8 - 12
jam pada suhu kamar. Tujuan perendaman adalah untuk rnelunakkan struktur
selulernya, mengurangi jumlah energi yang diperlukan untuk menggiling, dan
rneningkatkan kecepatan ekstraksi. Setelah itu kedelai digiling dan ditambah air
panas atau air dingin dengan perbandingan 1 : 8 sampai 1 : 10. BuburkedeIai yang
diperoleli IaIu dimasak pada suhu 100 - 1 10°C selama 10 menit, dan setelah itu
dilakukan penyaringan. Susu kedelai akan mengalir melalui saringan dan ampas
tahunya akan tertahan didalam saringan.
Tahap kedua adalah penggumpalan susu kedelai yang dilakukan dengan
menambahkan bahan penggumpal. Penggumpalan susu kedelai adalah tahap yang
paling penting karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : suhu, pH, jenis
dan jumlah bahan penggumpal, dan cara penarnbahan dan pencampuran bahan
penggumpal (Muchtadi, 1989).
Setelah terjadi gumpalan tahu wheynya dibuang. Gumpalan tahu ditekan atau
5
sebaikllya setelah pencetakan tahu segera direndam dalam air dingin (5°C) selama 60
- 90 menit (Shurtleff dan Aoyagi, 1979).
Kedelai bersih
t
Air ______) Pencucian dan perendaman
8 - 1 2 j a m
Penirisan ----) Air
t
Air
---+
Penggilingant
Pemasakan bubur kedeIai (Air : kedelai = 10 : 1)
t
Penyaringan
-+
Ampas tahuKoagulan
---+
t
Ekstrak (susu kedelai)
6 - 8% padatan
t
Koagulasi 70 - 85°Ct
Penyaringan -w Whcy
t
Pengepresan -b Whey
t
Pendinginant
Pemotongant
TahuPada proses pembuatan tahu tidak semua protein kedelai dapat digumpalkan.
Sebagian protein tersebut masih terdapat didalam limbahnya, yaitu didalam ampas
dan whey tahu. Sitoms dan Ma'sum (1976) melaporkan bahwa ampas tahu masih
mengandung protein sebesar 23,74%, sedangkan susu kedelai mengandung protein
sebesar 20,10%. Mahmud et al. (1990) mengemukakan bahwa kandungan protein
tahu adalah 10.9% dari protein susu kedelai yang dapat digumpalkan sehingga
sisanya terbuang bersama whey tahu. Bagan kesetimbangan massa protein pada
proses pembuatan tahu dapat dilihat pada Gambar 2.
Kedelai (1 kg)
(Kadar protein
*)
= 43.84%)I
Susu kedelai (10.67 It.) Ampas tahu (0.33 kg)
(Kadar prot in 20.10%) (Kadar protein = 23.74%)
P
=Tahu (2.67 kg) Whey (8 It.)
(Kadar protein = 10.9%) (Kadar protein = 9.2%)
*)
Kadar protein dinyatakan dengan basis berat keringGambar 2. Kesetimbangan massa protein pada proses pembuatan tahu
Whey Tahu
Pada proses pembuatan tahu akan dihasilkan limbah yang bempa limbah padat
penyaringan pada waktu penggilingan kedelai. Limbah cair tahu atau whey tahu
adalah air buangan sisa pengendapan atau proses penggumpalan tahu waktu
pembuatannya (Enie et al., 1993).
Ekstraksi protein kedelai dengan air panas pada tahap pembuatan susu kedelai
menyebabkan 79-82% (b/b) kandungan protein kedelai terekstrak. Protein yang
terekstrak pada susu kedelai tidak semiianya dapat n~enggumpal, sehingga sisa
protein yang tidak rnenggumpal dan zat-zat lain yang larut dalam air akan terdapat
dalarn whey tahu yang dihasilkan, termasuk Lesitin dan oligosakarida (Enie et al.,
1993) serta koagulan yang ditambahkan pada tahu dan tripsin inhibitor (Fardiaz,
1988).
Enie ef al. (1993) menggunakan whey tahu untuk pembuatan geI selulosa
mikrobial (nata de soya) yang sccara organoleptik sarrla dengan nara de coco. Linaya
J a n Sangkanparan (1982) mengemukakan bahwa whey tahu dapat digunakan sebagai
whey konsentrat karena mengandung padatan total I%, protein 0.22%, karbohidrat
0.1 % dan lemak 0.02%.
Menurut Fleury et al. (1992) kedelai diketahui mengandung senyawa-senyawa
isoflavon (daidzein, glycitein dan genistein) dan glukosida-glukosida isoflavon
(daidzin, glycitein
-
7 - 0 - glukosida, genistin) yang mempunyai sifat antikanker,antifungal dan antioksidan. Oleh karena isoflavon larut baik dalam air maka didalam
limbah cair atau whey tahu masih terdapat pula senyawa-senyawa isoflavon tersebut.
Hal tersebut telah dibuktikan oleh hasil penelitian Bakhtiar et al. (1995) yang
dapat mengisolasi isoflavon dari 90 liter limbah cair tahu, yaitu daidzein (70 mg) dan
Scnyawa Isoflavon
Isoflavon merupakan golongan senyawa isoflavonoid. Senyawa-senyawa ini
didalam tumbuhan secara alami dijumpai lebih sedikit dibandingkan dengan
flavonoid. Senyawa isoflavon banyak ditemukan pada tanaman kacang-kacangan,
salah satu diantaranya adalah kedelai.
Didalam kedelai senyawa isoflavon terdapat dalam empat bentuk, yaitu : a)
isoflavon aglikon : daidzein, genistein dan glisitein, b) isoflavon glikosida : daidzin,
genistin dan glisitin, c) isoflavon asetilglikosida : 6
-
0-
asetildaidzin, 6-
0-
asetilgenistin dan 6
-
0 - asetilglisitin, dan d) isoflavon malonilglikosida : 6-
0-
malonildaidzin, 6 - 0
-
malonilgenistin dan 6-
0-
malonilgIisitin (Wang danMurphy, 1994).
Menurut Coward et ul. (1993) isoflavon yang dominan pada kedelai terdapat
dalam bentuk terikat dengan gula (glikosida) yaitu daidzin, glisitin dan genistin.
Sedangkan pada produk kedelai yang mengalami fermentasi, isoflavon yang dominan
terdapat dalam bentuk bebas (aglikon), yaitu daidzein, glisitein dan genistein.
Isoflavon bentuk bebas bersifat kurang polar dan cenderung mudah larut dalarn
pelarut organik. Sedangkan isoflavon bentuk terikat bersifat lebjh polar dan mudah
larut dalam air atau alkohol. Naim et al. (1974) mengemukakan bahwa isoflavon
glikosida pada kedelai dapat terhidrolisis menjadi isoflavon aglikon oleh enzim
P-
glukosidase. Ditambahkan oleh Ewan et al. (1 9 9 2 ) proses perendaman didalam air
panas sangat efektif untuk mengaktifkan enzim P-glukosidase yang terdapat didalam
9
Isoflavon kedelai yaitu genistein dapat bertindak sebagai antioksidan dan
antikanker. Penelitian secara in vilro menunjukkan kemampuan genistein sebagai
antiokcidan yaitu melindungi LDL (Low Density Lipoprotein) dari oksidasi. LDL
yang teroksidasi dapat meningkatkan resiko penyempitan pernbuluh darah
(atherosclerosis). Disarnping itu penelitian secara in vitro maupun dengar1 hewan
pcrcobaan menunjukkan bahwa genistein dapat berperan sebagai antikanker, yaitu
dengan rnengharnbat 50% pertumbuhan sel kanker melanoma B16 (Abbey er a[.,
1997).
Whey Protein
Protein utarna didalam susu adalah kasein dan whey protein. Kasein diekstrak
dari susu dengan pengendapan pada titik isoeIektriknya atau secara enzimatik.
Sedangkan whey protein adalall hasil sa~nping dari pengoIahan keju dan kasein
(Giese, 1994). Istilah whey protein yang lebih urnum adalah cairan sisa proses
fiaksinasi dari sistem pangan, terutarna dari larutan protein, yang menghasilkan whey
seperti proses recovery protein dari minyak biji-bijian dan ekstraksi aIkali protein dari
tulang atau daging (Jelen, 1992).
Protein utarna didalam whey adalah P-laktoglobulin, a-laktalbumin, proteose-
pepton, immunoglobulin dan bovin serum albumin (Aguilera, 1995). Produk-produk
whey protein dikelompokkan berdasarkan kandungan proteinnya (basis kering), yaitu
10
n~engandung protein 35 - 85% dan whey protein isolat (WPI) yang mengandung
protein lebih dari 90% (Huffman, 1996).
Didalam industri whey secara modem, beberapa teknik pemisahan dengan
meinbran ultrafiltrasi digunakan untuk menghasilkan whey protein konsentrat dengan
perbaikan sifat fungsional, terutarna kelarutannya d i dalam air, pembuihan dan
koagulasi karena panas. Menurut Huffman (1996) ultrafiltrasi adalah melewatkan
suatu aIiran bahan melalui membran yang secara fisik memisahkan whey protein dan
l e ~ n a k dari laktosa dan mineral. Membran yang digunakan didisain untuk dapat
menahan molekul dengan berat molekul antara 20.000 - 30.000. Air, garam-garam
dan laktosa yang melewati membran disebut pernleat. Sedangkan protein dan lemak
yang tertahan oleh membran disebut retentat. Penggunaan ultrafiltrasi ini dapat
meningkatkan total padatan sarnpai 35%. Teknik pemisahan dengan mengontrol
komposisi bahan akan meningkatkan manfaat dari ingredien ini.
Pengeringan semprot dapat meningkatkan total padatan whey protein dari 35%
menjadi 95% sehingga dihasilkan tepung whey protein dengan wama putih. Ada
beberapa produk yang dapat dihasilkan dengan menggunakan teknik pemisahan
membran ultrafiltrasi, yaitu whey protein dengan kadar lemak rendah, whey protein
dengan kadar laktosa rendah, dan whey protein isolat.
Proses Pengeringan Whey
Pengeringan adalah salah satu cara yang digunakan untuk mengeluarkan air dari
11
Proses pengeringan dapat menurunkan kadar air sampai batas tertentu sehingga dapat
memperlambat laju kerusakan sebelum bahan diolah
Ada berbagai macam metode pengeringan yang penggunaannya tergantung
pada bahan yang akan dikeringkan dan tujuan pengeringannya. Metode pengeringan
yang sering digunakan dalam pembuatan produk berbentuk bubuk adalah
pengeringan semprot (Filkova dan Mujumdar, 1995). Metode pengeringan lain yang
dapat digunakan untuk menghasilkan produk dalam bentuk bubuk atau tepung adalah
metode pengeringan beku. Metode ini digunakan terutama untuk produk yang tidak
tahan panas (Fellows, 1992).
Pada bahan pangan cair seperti jus buah, susu dan kopi perlu dilakukan proses
evaporasi sebelum proses pengeringan. Tujuan dari proses evaporasi ini adalah untuk
meningkatkan total padatan dan mengurangi penggunaan energi pada saat proses
pengeringan (Lau, 1992). Ditambahkan oleh Huffman ( 1996) evaporasi whey perlu
dilakukan untuk meningkatkan total padatan sebelum proses pengeringan. Proses
pengeringan biasanya dilakukan dengan pengering semprot untuk rnendapatkan whey
kering dalam bentuk tepung.
Pada industri pengolahan whey, penggunaan bahan pengisi seperti pektin,
karagenan atau car.boxymethyCcellulose (CMC) ditujukan untuk memperbaiki dm1
meningkatkan sifat fungsional dari produk yang dihasilkan (Jelen, 1992).
Ditambahkan oleh Fennema (1985) bahan pengisi niempunyai fungsi meningkatkan
jumlah total padatan, mempercepat proses pengeringan, dan mencegah kerusakan
Evaporasi
Whey mengandung kadar air yang tinggi, oleh karena itu untuk menghasilkan
whey protein ingredien perlu dilakukan pengurangan kadar aimya sehingga
didapatkan whey dalain bentuk konsentrat. Operasi pengolahan pangan yang umum
digunakan untuk menghasilkan whey dalam bentuk konsentrat, semi padat atau
kering adalah evaporasi atau pengeringan (Jelen, 1992; Huffman, 1996).
Evaporasi digunakan untuk menguapkan air dari bahan pangan cair agar
didapatkan produk yang lebih pekat (Heldman dan Singh, 1984) dengan atau tanpa
padatan yang tidak larut (Toledo, 1991). Penguapan terjadi karena cairan akan
mendidih dan berlangsung perubahan fase dari cair menjadi uap.
Aplikasi utalna proses evaporasi dalam industri pangan yaitu : 1) prakonsentrasi
sebelum ballan diolah lebih lanjut misalnya sebelum spray drying, d r u m drying,
kristalisasi dan sebagainya, 2) mengurangi volume cairan agar biaya penyimpanan,
transportasi dan pengemasan berkurang, dan 3) meningkatkan konsentrasi padatan
terlarut dalam bahan pangan sebagai usaha untuk membantu pengawetan, misalnya
dalam pembuatan susu kental manis (Wirakartakusumah e l al., 1989).
Varnam dan Sutherland (1994) mengemukakan bahwa untuk meminimalkan
kerusakan akibat panas selama evaporasi susu kisaran suhu yang digunakan adalzh
40-70°C dengan tekanan rendah. Ditambahkan oleh Cheftel ef al. (1985) untuk
menghindari denat~irasi protein karena tekanan, tekanan hidrostatik yang digunakan
adalah dibawah 50 kPa. Pada tekanan 50 dan 60 kPa ovalbumin dan tripsin
Pengeringan semprot
Proses pengeringan semprot adalah proses yang akan mengubah bahan fluida
menjadi produk kering dalam saLu operasi (Filkova dan Mujumdar, 1995). Alat
pengering semprot yang digunakan pada proses ini mengeringkan Iarutan, campuran
atau produk cair lain menjadi tepung pada kadar air yang mendekati kesetimbangan
dengan kondisi udara pada tempat produk keluar (Wirakartakusumah et al., 1989).
Ciri khas dari penggunam alat pengering sernprot ini adalah siklus
pengeringamya yang cepat, retensi dalam ruang pengering singkat dan produk akhir
siap dikemas ketika selesai proses (Heldman dan Singh, 1981). Ditambahkan oleh
Canovas dan Mercado (1996) residence time pada alat pengering semprot antara 5
sampai I 0 0 detik dan partikel yang dihasilkan mempunyai ukuran 10 - 500 pm.
Proses yang terjadi pada alat ini meliputi : atomisasi atau penyemprotan bahan
nielalui alat penyemprot sehingga dapat me~nbentuk semprotan yang halus, kontak
antara patikel hasil atomisasi dengan udara pengering, evaporasi air dari bahan, dzn
peinisahan partikel kering dengan aliran udara yang membawanya ( C h o v a s dan
Mercado, 1996).
Fungsi utama atomisasi pada pengeringm semprot adalah untuk menghasilkan
droplet yang berukuran kecil, sehingga luas permukaan menjadi lebih besar yang
mengakibatkan proses penguapan akan terjadi lebih cepat (Heldman d m Singh,
1981). Untuk mengeringkan whey dengan k a d ~ r air awal 50% dan kadar air kering
4% suhu inletnya adalah 150 - 1 80°C sedangkan suhu outletnya 70 - 80°C (Filkova
14
Keuntungan pengeringan bahan pangan dengan menggunakan aIat pengering
senlprot adalah produk akan kering tanpa bersinggunan dengan logam panas, suhu
produk relatif rendah walaupun pengeringan dilakukan pada suhu yang relatif tinggi,
penguapan berlangsung sangat cepat karena luasnya perrnukaan bahan, dan produk
yang dihasilkan berupa bubuk sehingga memudahkan didalam penanganan dan
pengangkutan.
Pengeringan beku
Bahan pangan yang dikeringkan umumnya mempunyai nilai gizi yang lebih
rendah dibandingkan dengan bahan awalnya. Selama pengeringan juga dapat terjadi
perubahan warna, tekstur, aroma d m lain-lainnya. Perubahan-perubahan tersebut
dapat dibatasi seminimal mungkin dengan cara membuat suhu pengeringan tidak
terlalu tinggi atau dengan cara pengeringan beku.
Pengeringan beku adalah salah satu metode pengeringan dengan prinsip yang
berbeda dibandingkan dengan metode pengeringan yang lain. Pada pengeringan beku
yang terjadi adalah mengurangi sebagian besar air dari bahan pada suhu dibawah titik
beku dengan cara sublimasi.
Pengeringan beku adalah salah satu bentuk pengeringan pangan yang mahal
karena pengeringannya lambat dan menggunakan vakum. Akan tetapi biaya proses
yang dikeluarkan sebanding dengan keuntungan yang diperoleh, yaitu dengan tidak
perlunya penanganan dan penyimpanan bahan pada suhu dingin (Liapis dan Bruttini,
15
Menurut Muchtadi (1997) pada pengeringan beku suhu yang digunakan sangat
rendah yaitu dibawah suhu titik beku bahan sehingga bahan pangan akan terhindar
dari kerusakan kimiawi dan mikrobiologis. Hal ini menyebabkan bahan pangan
kering mempunyai citarasa dan nilai gizi yang tetap, dan daya rehidrasi yang baik.
Secara komersial, pengeringan beku digunaktin untuk menghasilkan bubuk atau tepung dari bahan pangan cair seperti jus buah dan terutama ekstrak kopi, dan bahan
pangan padat termas.uk daging, buah dan sayur (Lau, 1992).
Bahan pangan dari proses pengeringan beku ~nempunyai zat gizi yang baik dan
umur simpan yang lebih lama. Tekstur tetap terjaga dan tidak terjadi case hardening
yaitu suatu keadaan dimana bagian luar atau permukaan bahan sudah kering
sedangkan bagian dalamnya masih basah. Sedikit terjadi perubahan pada protein, pati
atau karbohidrat lain. Akan tetapi struktur bahan pangan yang porus memungkinkan
masuknya oksigen dan menyebabkan terjadinya oksidasi pada lemak (Fellows, 1992).
Bahan pengisi adalah bahan yang ditambahkan pada proses pengolahan pangan
untuk melapisi komponen flavor, meningkatkan total padatan, memperbesar volume,
mempercepat proses pengeringan dan mencegah kerusakan bahan akibat panas.
Pada urnunnya bahan yang bersifat hidrokoloid sering digunakan sebagai bahan
pengisi karena dapat menyetabilkan emulsi, suspensi dan buih. Banyak penyetabil
dan bahan pengisi berasal dari polisakarida seperti gum arab, dekstrin, agar, CMC,
Pati adalah komponen utanla dari banyak bahan pangan dengan fungsi bukan
hanya sebagai sumber energi, tetapi juga sebagai pembentuk struktur maupun tekstur
serta konsistensi pada formulasi dan pengolahan pangan (Fardiaz, 1989).
Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utarna yaitu amilosa,
amilcpektin dan material antara seperti protein dan lemak. Struktur dan jenis material
antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung bahan antara lebih
beszr dibandingkan pati batang dan pati umbi (Greenwood dan Munro, 1979).
Pati ubikayu (tapioka) adalah granula benvarna putih dengan ukuran bervariasi
antara 5 - 35 pm dan rata-rata 17pm. Tapioka mempunyai kadar amilosa 17 - 25%
dengan perbandingan kadar amilosa/amilopektin 1 :4. Granula tapioka sudah pecah
sempurna dibawah suhu 80°C, suhu gelatinisasinya 52 - 64OC (Knight, 1989).
Menurut Pomeranz (1991) pati jagung mempunyai ukuran granula 5 - 25 pm.
Bentuk granula pati jagung adalah bulat dan poligonal. Pati jagung mengandung
anlilosa 26% den tergelatinisasi pada suhu 62 - 72°C. Ditarnbahkan oleh Whistler
dan Daniel (1985) perbandingan kadar amilosa dan amilopektin untuk pati jagung
adalali 1 :3.
Wong (1989) mengemukakan pati terdiri dari dua fraksi polisakarida yaitu
amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah suatu rantai lurus yang terdiri sampai 4000
residu glukosil dan dihubungkan oleh ikatan a-1,4 glukosidik. A m i l o p e k t i ~ ~ adaIah
suatu polimer bercabang dari pengulangan unit glukosa yang dihubungkan oleh
Sifat Fungsional Protein
Sifat fungsional protein adalah sifat-sifat fisikokimia yang memungkinkan
protein berperan pada karakteristik pangan yang diinginkan (Cheftel et al., 1985).
Dalam ha1 ini menyangkut sifat-sifat fisikokimia yang mempengaruhi prilaku protein
selama proses pengolahan, terutama dalam s u a t ~ l sistem pangan. Sebagai contoh,
untuk pensubstitusi produk susu dibutuhkan sifat fungsional pembentuk gel, sifat
koagulasi, pembuihan danfat holdipzg capasity (Chairunnisa, 1997).
Cheftel et al. (1985) mengelompokkan sifat-sifat fungsional atas tiga kelompok,
yaitu : 1 ) sifat penyerapan air yang berhubungan dengan interaksi protein-air seperti
daya serap air, kebasahan, swelling, daya lekat, viskositas dan kelarutan, 2) sifat yang
berhubungan dengan interaksi protein-protein seperti pengendapan, pembentukan gel
dan pembentukan struktur lain. dan 3) sifat-sifat permukaan seperti tegangan
permukaan, emulsitikasi dan pembentukan buih.
Pembentukan buih
Busa atau buih diinginkan pada suatu emulsi dimana fase dispersinya adalah gas
dan fase konti~lyunya adalah cairan atau semipadat. Cheftel et al. (1985)
mengemukakan bahwa kekuatan buih meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
protein dalam larutan sampai dicapai nilai maksimum, sedangkan kemarnpuan
beberapa protein dalam pembentukan buih, dibandingkan dengan cara mengukur
I 8
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan buih adalah pH, konseritrasi
protein, input energi dan adanya garam, gula dan lemak. Didalam emulsi minyzk
dalam air (o/w), energi mekanik diperlukan untuk melnbentuk dispersi dan protein
berperan memperkuat dan menyetabilkan buih (Rupnow, 1992).
Pembentukan buih pada pengolahan pangan adalah penting, misalnya pada
adonan roti atau kue. Buih diperlukan agar adonan mengembang dan memberikan
tekstur yang baik pada roti atau kue. Bahan pangan lain yang memerlukan
pemtentukan buih adalah e s krim, permen dan bir (Huffn~an, 1996).
Emulsifikasi
Emulsi adalah suatu sistem dispersi cairan dalam cairan. Globula cairan
terdispersi pada umumnya mempunyai diameter 0,l - 1 0 , O pm. Protein merupakan
salah satu golongan penyetabil emulsi karena dapat membentuk lapisan tipis yang
kuat pada bidang batas dua cairan (Graham, 1977).
Sifat fungsional ini penting dalam pembuatan banyak produk pangan yang
berupa emulsi seperti salad dressing dan sosis. Whey protein dapat membentuk suztu
emulsi yang stabil pada bahan pangan sehingga dapat memperpanjang umur simpan
pada berbagai kondisi penyimpanan (Giese, 1994).
Kapasitas pengemulsi dan stabilitas emulsi adalah metode yang diymakan
untuk mempelajari emulsifikasi protein. Kapasitas pengemulsi didasarkan pada
kemampuan protein untuk mengurangi tegangan permukaan dan didefinisikan
sebagai volume rninyak yang dapat diemulsifikasi untuk tiap gram protein sebelum
19
men~pertahankan kapasitas emulsinya. Stabilitas emulsi dipermudah dengan adanya
halailgan fisik yang dihasilkan oleh protein pada antar permukaan minyak air.
Daya serap a i r d a n minyak
Daya serap air berhubungan dengan jurnlah gugus asam amino polar yang
terdapat daIam molekul protein. Gugus asam amino polar ini memberikan sifat
hidrofilik bagi molekul protein. Sifat hidrofilik ini menyebabkan molekul. protein
mudah berikatan dengan air (Hutton dan Champbell, 1981).
Beberapa faktor luar (pH, suhu, kekuatan ion) dapat memberikan pengaruh
terhadap kemampuan molekul protein menyerap air rnelalui perubahan konfirmasi
dan polaritas molekul tersebut. Menurut Rupnow (1992) kemampuan ingredien
protein untuk menyerap dan mengikat air adalah karakteristik fungsional yang
penting pada banyak bahan pangan seperti produk-produk daging dan adonan kue.
Fenornena ini rnenyebabkan terjadinya swelling dan dapat mempei~garuhi bentuk,
adesi dan viskositas sistem.
Mekanisme penyerapan dan pengikatan lemak tampaknya berhubungan dengan
pembentukan dan stabilitas emulsi serta pembentukan matriks gel yang menghalangi
migrasi lemak dipermukaan. Wolf dan Cowan (1971) mengemukakan bahwa pada
produk daging, penggunaan protein kedelai meningkatkan penyerapan dan pengikatan
lemak, sehingga mengurangi kerusakan selama pemasakan dan menjaga stabilitas
ukuran produk yang dimasak. Penambahan tepung kedelai mencegah penyerapan
Kelarutan
Kelarutan protein ditetapkan berdasarkan kemampuannya berasosiasi dengan
air. Sifat kelarutan dibawah berbagai macam kondisi berguna dalam penetapan
fungsi protein dan dalam optimasi ekstraksi, isolasi dan prosedur pengolahan protein.
Tingkat ketidaklarutan protein merupakan indikasi dari denaturasi dan agregasi
protein yang dapat mempengaruhi daya buih, en~ulsifikasi, hidrasi dan sifat
pembentukan gel dari protein. (Rupnow, 1992).
Sifat kelarutan protein ini sangat penting khususnya yang berhubungan era1
dengan fungsin protein didalam daya buih dan pengemulsi. Perhatian perlu
ditingkatkan pada saat proses pemanasan, agitasi dan penyesuaian pH untuk
mencegah terjadinya denaturasi yang dapat mengurangi kelarutan protein (Fox dan
Mulvihill, 1982). Tinggi rendahnya kelarutan protein menunjukkan kesesuaian
penerapannya didalam formulasi makanan. Whey protein yang larut baik pada pH
rendah bariyak ditambahkan pada jus buah dengan kandungan protein yang tinggi,
minuman kesehatan untuk anak-anak (healthy children's drinks), dan minuman untuk
para olah ragawan (sports drinks) (Giese, 1994).
Mohamed ef al. (1987) inengklasifikasikan kelarutan protein atas tiga klasifikasi
berdasarkan jenis produk yang dibuat. Klasifikasi tesebut adalah : 1) keIarutan tinggi
untuk produk susu imitasi, sup dll., 2) kelarutan sedang untuk formulasi pangan, dan
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan d a n Alat
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah whey tahu yang
diperoleh dari pabrik tahu Bapak M. Pauzin, Desa Pasir Jaya, Gunung Batu, Bogor.
Sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan adalah bahan-bahan kimia untuk
keperluan analisis, pati jagung dan pati singkong sebagai bahan pengisi serta bahan-
bahan yang lain.
Alat-alat yang digunakan antara lain : evaporator vakurn efek tunggal,
pengering semprot, pengering beku, homogenizer, High Performance Liquid
Chromatography ( H P L C ) dan alat-alat lain untuk analisis.
Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium kimia pangan, Fateta, pilot plant,
!aboratorium kimia dan biokimia pangan, rekayasa proses pangan, dan mikrobiologi
pangan, Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG), laboratorium Pusat Studi Pemuliaan
Tanaman, Faperta, dan laboratorium teknologi bioindustri, Puspiptek, Serpong.
Pelaksanaan Penelitian
T a h a p pertama
Tahap petarna adalah pemekatan whey tahu dengan menggunakan evaporator
n~enlekatkan 20 liter whey tahu, suhu pemekatan yang digunakan adalah 50, 60 dan
70°C dengan tekanan vakum antara 14 - 16 CmHg.
Penentuan kondisi terbaik dari proses pemekatan whey tahu didasarkan pada
suhu, waktu, total padatan dan warna pekatan yang didapat dari hasil evaporasi.
Hasil terbaik dari proses pernekatan ini akan digunakan pada tahap kedua.
Pada tahap pertama ini rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan
acak lengkap (RAL) sederhana untuk menentukan kondisi terbaik dari proses
pemekatan whey tahu. Uji lanjutnya rnenggunakan uji Duncan untuk melihat
perbedaan antar perlakuan (Gaspersz, 199 1).
Model yang digunakan adalah :
dimana : Yi, = nilai pengamatan pada saat perccbaan ke-j yang rnemperoleh
perlakuan ke-i
p = nilai tengah umum
TI = pengaruh aditif dari perlakuan ke-i
cij = galat percobaan dari perlakuan ke-i pada pengamatan ke-j
Tahap kedua
Tahap kedua adalah tahap pengeringan pekatan whey tahu hasil evaporasi.
Pengeringan pekatan whey tahu dilakukan dengan dua metode pengeringan, metode
pengeringan pertarna menggunakan suhu tinggi yaitu dengan pengering semprot.
Pada proses pengeringan ini suhu inlet yang digunakan berkisar antara 160 - 180°C
23
Metode pengeringan kedua adalah pengeringan menggunakan suhu rendah yaitu
dengan pengering beku. Pada pengeringan ini suhu prosesnya adaiah -50 sampai
4 0 u C dan tekanan vakum antara I 0 0
-
200 mT (7 - 15 CmHg).Sebelum proses pengeringan dilakukan, sebanyak 500 rnl pekatan whey tahu
ditanlbah dengan bahan pengisi yang berupa pati jagung dan pati singkong.
Konsentrasi masing-masing bahan pengisi adalah 0, 0.5 dan 1
.Ox.
Setelah ditambahbahan pengisi kemudian dilakukan homogenisasi selama lima menit untuk masing-
masing perlakuan. Parameter untuk mendapatkan hasil terbaik adalah kadar protein
dan derajat putih tepung whey tahu. Hasil terbaik dari tahap kedua ini a k a
digunakan pada tahap ketiga.
Tahap ketiga
Tahap ketiga adalah tahap analisis. Analisis dilakukan pada whey tahu dan
tepung yang dihasilkan. Sebelum whey tahu dievaporasi, lebih dahulu dilakukan
analisis proksimat, dan analisis kandungan d a r ~ jenis isoflavon dengan tujuan untuk
r~engetahui komposisi kimia dari whey tahu yang akan dievaporasi.
Analisis yang dilakukan pada tepung whey tahu n~eliputi : analisis proksimat
dan analisis sifat fungsional yang terdiri dari : kapasitas dan stabilitas buih, kapasitas
dan stabilitas emulsi, daya serap air dan minyak, kemudahan melarut dan warna serta
analisis kandungan dan jenis isoflavon yang dilakukan terhadap perlakuan terbaik
dari :ahap analisis proksimat dan analisis sifat fungsional tepung whey tahu. Tahapan
proses pembuatan tepung whey tahu dan analisis yang dilakukan disajikan pada
Whey tahu
i
- Analisis proksimat- Analisis kandungan dan jenis
isoflavon
-
Suhu evaporasi : 50,60 dan 70°C- Tekanan : 14 - 16 CmHg
-
Parameter : waktu evaporasi,Bahan pengisi total padatan dan
(pati jagung dan pati derajat putih
- Suhu inlet : 160 - 1 80°C - Suhu : -50 sampai 4 0 ° C
- Suhu outlet : 70 - 90*C - Tekanan : 100 - 200 mT
- Parameter : kadar protein - Parameter : kadar protein
derajat putih derajat putih
- Analisis proksimat
- Analisis kandungan dan jenis isoflavon
-
Analisis sifat fungsional, meliputi :Analisis kapasitas dan stabilitas buih
Analisis kapasitas dan stabilitas emulsi Daya serap air dan minyak
Kemudahan melarut
-
WarnaGarnbar 3. Tahapan proses pembuatan tepung whey tahu yang dilakukan
Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap ketiga adalah rancangan acak
lengkap (RAL) faktorial dengan dua kali ulangan dan uji lanjut dengan uji Duncan
untuk melihat perbedaan antar perlakuan (Gaspersz, 1991). Faktor-faktor yang
dicobakan adalah : a) Suhu evaporasi whey tahu yang terdiri dari dua taraf, yaitu :
60 dan 70°C, b) Proses pengeringan pekatan whey tahu terdiri dari dua taraf, yaitu :
pengeringan dengan pengering semprot dan pengering beku, dan c) Bahan pengisi
bempa pati singkong yang terdiri dari dua taraf, yaitu : 0.0 dan 1.0 %. Hal yang sama
dilakukan pula pada perlakuan dengan bahan pengisi pati jagung.
Prosedur Analisis
Analisis kadar air dan total padatan (AOAC, 2984)
Analisis kadar air dan total padatan dilakukan dengan metode oven. Whey tahu
atau tepung whey tahu ditimbang kurang lebih 5 gram dan dimasukkan ke dalam
cawan yang telah dikeringkan di dalam oven dengan suhu 105°C selama 15 menit,
dimana berat cawan telah diketahui. Sampel di dalam cawan kemudian dikeringkan
di dalam oven pada suhu 105°C selama 6 jam. Setelah dimasukkan ke dalam
desikator sampai beratnya tetap lalu ditimbang kembali. Kadar air dan total padatan
whey tahu dan tepung whey tahu ditentukan dengan persamaan :
a - b
Kadar air (%b/b) = --- x 100, dimana : a = berat awal sampel (g)
a b = berat sampel kering (g)
bb = berat basah
b
Total padatan ( O h ) = --- x 100
Analisis kadar abu (AOAC, 1984)
Analisis kadar abu ditentukan dengan nlenggunakan metode pengabuan di
dalam tanur. Whey tahu atau tepungnya sebanyak 3 - 5 gram dimasukkan kedalam
cawan porselen yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya, lalu dioven pada suhu
105OC selama 30 menit. Setelah dioven dimasukkan kedalam tanur yang bersuhu
600°C selama lebih kurang enam jam sampai berwarna putih, kemudian dimasukkan
kedalam desikator selama 30 menit, lalu ditimbang. Kadar abu ditentukan dengan
persamaan :
Berat abu (g)
Kadar abu (%) =
...
X 100Berat sampel (g)
Analisis kadar protein (Metode Kjeldahl mikro - AOAC, 1984)
Whey tahu atau tepung whey tahu sebanyak 0.1 - 0.2 gram dimasukkan
kedalam labu Kjeldahl 50 ml, ditambah dengan 2 gram K2S04, 40 mg HgO dan 2 ml
H2S04 pekat. Sampel didestruksi selama 30 menit sampai cairan menjadi jemih.
Cairan jernih ini didinginkan, Ialu dipindahkan kedalam alat destilasi. Labu Kjeldahl
dibilas dengan air suling dan air ini dimasukkan kedalam alat destilasi, ditarnbah
dengan 10 nil NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman kemudian didestilasi.
Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang telah berisi 5 ml larutan
H2B03 dan indikator (campuran 2 bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan 1
bagian metil b i ~ u 0.2% dalam alkohol). Campuran ini kemudian dititrasi dengan HC1
0.02N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Untuk blanko penetapannya
(ml HCI - ml blanko) x N HCI x 14.007
Total nitrogen (%) = ... x 100
mg sampel
Kadar protein = Total nitrogen (%) x faktor konversi
Analisis kadar lemak (AOAC, 1984)
a) Metode ekstraksi soxhlet
Tepung whey tahu sebanyak 5 gram dibungkus dengan kertas saring dan
dirnasukkan kedalam labu soxhlet. Sejumlah petroleum eter dituangkan kedalam labu
leinak yang telah ditimbang beratnya. Selanjutnya direfluks selama minimal 5 jam
sampai peiarut yang turun ke labu !enlak berwarna jernih. Pelarut yang ada didalam
la5u lemak didestilasi, setelah itu labu lemaknya dikeringkan didalam oven pada suhu
1 O S ° C . kernudian ditimbang. Kadar lemak ditentukan dengan persamaan :
Berat akhir labu - berat awal labu
Kadar (%) = ... x 100
Berat sampel
b) Metode Babcock
Whey tahu sebanyak 17.6 ml dimasukkan kedalam botol Babcock dan ditambah
dengan HzS04 pekat bersuhu 22'C kemudian dikocok sampai terbentuk larutan yang
holiiogen. Selanjutnya disentrifus pada suhu 60°C pada kecepatan 700 - 1000 rpm
selama lima menit. SeteIah itu ditambah air panas dengan air panas (60°C) sampai
batas skala terbawah, lalu disentrifus lagi selarna dua menit. Kemudian ditambah air
28
Botol Rabcock setelah disentrifus ditempatkan kedalam penangas air pada suhu 55 -
60°C selarna lima menit. Kadar lemak ditentukan dengan melihat panjang kolom
Iemak yang terbentuk dibagian atas botol.
Derajat putih
Alat yang digunakan untuk pengamatan warna atau derajat putih sarnpel adalah
Chromameter (Minolta CR 200). Sebelum dilakukan pengukuran wartia sampel
terlebih dahulu dilakukan kalibrasi dengan standar warna putih dengan nilai Y =
9 4 . i 0 , x = 0.3139 dan y = 0.321 1. Derajat putih whey tahu ataupun tepungnya
ditentukan dengan persamaan-persamaan sebagai berikut :
Kapasitas emulsi (Okezie dan Bello, 1988)
Tcpung whey tahu sebanyak satu gram ditambah dengan 3 4 ml larutan NaCl 3%
diblender selama 3 0 detik. Sambil diblender ditambahkan 3 0 ml minyak nabati,
lagi selama 30 detik. Kemudian dipindahkan kedalam tabung sentrifus 50 ml dan dipanaskan didalam penangas air pada suhu 80°C selama 15 menit. Selanjutnya diselitrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 40 menit. Volume minyak yang terpisah dicatat. Kapasitas emulsi rnerupakan jumlah emulsi minyak yang tertahan untuk tiap gram sampel.
Stabilitas emulsi (Okezie dan Bello, 1988)
Sebanyak 1.5 gram tepung whey tahu didispersikan kedalam 12.5 ml air destilata, ditambahkan 12.5ml minyak nabati sambil diblender selama 30 detik, proses blending dilanjutkan selama 60 detik dengan kecepatan tinggi. Kemudihn dipindahkan kedalam gelas ukur 50 ml. Perubahan v o l u n ~ e buih. minyak dan air dicatat pada interval waktu 0.5, 1, 1.5, 2 dan 6 jam.
Kapasitas buih (Okezie dan Bello, 1988)
Tepung whey tahu sebanyak 1.5 gram ditambah dengan 40 ml air destilata lalu diblender dengan kecepatan tinggi selama 2 menit. Setelah diblender dipindahkan kedalam gelas ukur 100 ml. Sisa buih yang masih tertinggal didalam gelas dibilas dengan 10 mi air destiIata. Volume sebeIum dan sesudah mengembang dicatat. Kapasitas buih dihitung dengan persamaan :
Volume sebelum - volume sesudah
Kapasitas buifi = ... x 100
Stabilitas buih (Okezie dan Bello, 1988)
Tepung whey tahu sebanyak 1.5 gram ditambah air destilata 40 ml lalu diblender selama 1 menit. Setelah diblender dipindahkan kedalam gelas ukur 100 ml, tahung untuk blender dibilas dengan 10 ml air destilata dan dituangkan kedalam geias ukur. Pembahan volume buih didalam gelas ukur dicatat pada interval waktu 1, 10, 30, 60, 90 dan 120 menit.
Daya serap air dan minyak (Okezie dan Bello, 1988)
Sebanyak satu gram tepung whey tahu ditarnbah dengan 50 ml air destilata dan 50 ml minyak nabati. Campuran ini diblender selama dua menit, setelah diblender didiainkan s e l a ~ a 30 menit pada suhu ruang. Kemudian disentrifus pada kecepatan 5000 rpm selama 30 menit. Volume air dan minyak bebas dibaca langsung dari tabung sentrifus. Jumlah air atau minyak yang diserap (total dikurangi yang bebas) dikalikan dengan dznsitasnya untuk konversi ke gram. Daya serap air atau minyak dihitung sebagai ber3t atau gram air atau minyak yang diserap per gram sarnpel. Densitas air dissumsikan 1 g/ml dan densitas minyak adalah 0.92 g/ml.
Kemudahan melarut (Pedroza-Islas er al., 2000)
3 1
Sebagai blanko kontroI digunakan 25 n11 air. Ken~udahan melarut dinyatakan dalam
persentase berat bahan terlarut terhadap berat bahan awal yang dihitung berdasarkan
persamaan berikut :
Berat bahan terlarut
Kemudaharl Inelarut (%) = ... x 100
Berat bahan awal
pH (Okezie dan Bello, 1988)
pH diukur dengan membuat 10% (b/v) suspensi tepung whey tahu didalam a i ~
destilata. Suspensi ini kemudian diblender dan pH ditetapkan dengan menggunakan
pH meter.
Analisis senyawa isoflavon (Pawiroharsono, 1995)
Sebanyak 2 gram tepung whe) tahu atau 20 ml whey tahu dikeringkan didalam
oven pada suhu 40°C selarna semalam untuk mengurangi kadar air sampel sehingga
proses pengeringan ekstrak sampel dengan rotavapor tidak terlalu lama. Sampel
kering diekstrak dengan metanol absolut sebanyak dua kali masing-masing 10 ml.
Filtrat yang diperoleh (20 ml) diuapkan dengan rotavapor pada suhu 40°C.
Ekstrak yang telah kering dilarutkan kembali dalam 5 ml metanol absolut. Kemudian
disentrifus pada kecepatan 400C rpm selama lima menit untuk memisahkan cndapan
yang terbentuk sehingga diperoleh filtrat yang bening.
Filtrat sebanyak 2 ml diambil untuk dimurnikan ciidalam kolom kromatografi
didalam kolom dilakukan secara bertahap dengan metanol 25%, 50% dan 70%
~nasing-masing 20 tnl. Fraksi 70% ditampung dan dikeringkan dengan rotavapor pada suhu 40°C sampai kering. Residu yang diperoleh dilarutkan dalam 1.5 ml ~netanol absolut grade HPLC dan disentrifus pada kecepatan 4000 rpm selarna Iima menit untuk memisahkan endapan yang ada. Filtrat yang bening siap untuk dianalisis dengan menggunakan HPLC.
Identifikasi senyawa isoflavon secara kualitatif menggunakan metode kromatografi lapis tipis (KLT). Filtrat bening hasil tahap pemurnian ditotolkan pada lenlbar KLT silika gel 60 F 254 sebanyak 4 p1 dengan menggunakan mikroinjektor. Standar yang digunakan adalah lamtan Faktor-2, daidzein, glisitein dan genistein. Len~bar KLT yang telah ditotol dengan sampel dan standar dimigrasi dengan pelarut LM-24 yang terdiri dari sikloheksan : metilen klorida : etil format : nsam format dengan perbandingan 35 : 3 0 : 30 : 5 dalam bejana kromatografi. Setelah pelarul bermigrasi sampai batas tertentu maka Lembaran KLT diambil, dikeringkan dan dilihat dibawah sinar UV pada panjang gelombang 254/366 nm sehingga spot akan ta~npak berflouresensi.
Parameter yang dihitung yaitu intensitas warna (IW) dan nilai Rf (Retention factor). Faktor-2 akan berwarna ungu tua sedangkan daidzein, glisitein dan genistein akan benvarna ungu kemerahan. Sebagai referensi digunakan senyawa standar yang diberi skor 10 terhadap intensitas warna yang dihasilkan dan skor yang lebih kecil rnenunjukkan warna yang semakin berkurang. Nilai Rf (Retention factor) = X / Y ,
dari tith awal ke pusat spot dan Y adalah jarak yang ditempuh pelarut pengembang dari titik awal hingga batas tertentu.
Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan Kromatografi Cairan Kinerja Tinggi (KCKT) atau HPLC. HPLC yang digunakan berada pada kondisi : Volume sampel : 20 pl
Kolom : Li chrosorb RP 18 (250 x 4 m, 5 pm)
Eluen : Asam asetat 3% (pelarut A) dan asetonitril (pelarut B)
Gradien : 20% B dalam (A+B) sampai 60% (A+B) selama 35 menit Detektor : UV261 nm
Kecepatan alir : 0.8 ml/menit Suhu : 35OC
HASIL DAN
PEMBAHASANPenelitian Tahap Pertama
Analisis proksimat, dan analisis kandungan dan jenis senyawa isoflavon whey
tahu dilakukan sebelum penelitian tahap pertarna. Analisis proksimat dan analisis
senyawa isoflavon ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui komposisi kimia
whey tahu. Hasil dari analisis proksimat dan analisis senyawa isoflavon disajikan
pada Tabel I .
I I I
Keterangan : *) Data adnlfh hasil rata-raw dari dua kali
Tabel 1. Hasil analisis proksimat whey tahu*)
-
ulangan
Komposisi
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Totak padatan (%)
Protein (Oh)
Lemak (%)
Karbohidrat (%)
PH
Isoflavon (mg/g bahan)
Hasil analisis proksimat tersebut menunjukkan bahwa whey tahu mengandung
kadar air yang tinggi, yaitu 99.23% dan total padatan 0.65%. Oleh karena itu untuk
meningkatkan total padatan whey tahu perlu dilakukan proses evaporasi. Jelen
(1 992) dan Huffman (1996) mengemukakan whey mengandung kadar air yang tinggi,
oleh karena itu untuk menghasilkan whey protein ingredien perlu dilakukan
Operasi pengolahan pangan yang umum digunakan adalah evaporasi untuk
menghasilkan whey dalam bentuk konsentrat.
Pada penelitian tahap pertama ini proses evaporasi whey tahu dilakukan dengan
menggunakan evaporator vakum efek tunggal. Tujuan dari proses evaporasi ini
adalah untuk mengurangi kadar air, meningk