TESIS
Oleh
SESILIA SUSETIASIH
107011020/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
T E S I S
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
SESILIA SUSETIASIH
107011020/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nama Mahasiswa : SESILIA SUSETIASIH
Nomor Pokok : 107011020
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)
Pembimbing Pembimbing
(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Dr.T. Keizerina Devi A,SH,CN,MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
3. Dr. Dedi Harianto, SH, MHum
Nama : SESILIA SUSETIASIH
Nim : 107011020
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PERMOHONAN MENJADI WALI
OLEH SEORANG NENEK TERHADAP
CUCU-CUCUNYA KETIKA IBU KANDUNG MASIH
HIDUP (STUDI KASUS PUTUSAN MA NO. 372/PDT/2008)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
menjadi perwalian, karena itu jika perkawinan dipecahkan oleh Hakim harus pula diatur tentang perwalian terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Perwalian
(voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur yang belum kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua, serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh Undang-undang. Penelitian ini menganalisis kasus putusan Mahkamah Agung No. 372K/ Pdt/ 2008. Dalam penelitian ini dibahas mengenai pengaturan perwalian karena perceraian khususnya untuk etnis keturunan Cina yang berpedoman kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, mengenai pengaturan gugurnya perwalian seorang Ibu, dan mengenai bagaimana Mahkamah Agung memutuskan gugurnya perwalian seorang Ibu dalam kasus putusan Mahkamah Agung No. 372K/ Pdt/ 2008.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan semua gejala dan fakta hukum dan menganalisa permasalahan yang dikemukakan pada penelitian ini.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum (yuridis) normatif atas studi kasus pada Putusan MA No. 372/Pdt/2008 tentang permohonan menjadi wali oleh seorang nenek terhadap cucu-cucunya ketika Ibu kandung masih hidup.
Dapat disimpulkan bahwa pengaturan perwalian karena perceraian untuk etnis keturunan Cina di Indonesia Hakim berpedoman kepada pengaturan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan juga menggunakan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perwalian oleh salah satu orang tua dapat dibatalkan apabila sebelumnya telah dilakukan pencabutan kekuasaan orang tua oleh hakim. Pencabutan kuasa Ibu yang diangkat sebagai wali karena adanya perceraian, dilakukan di Pengadilan Negeri tempat dilakukan tuntutan perceraian sebelumnya. Hakim dalam memutuskan permohonan ini mempertimbangkan adanya akta di bawah tangan yang dilegalisir dalam bentuk surat pernyataan yang isinya menyatakan bahwa jika terjadi perceraian Ibu kandung tidak akan membawa anak-anaknya.
judge, the guardianship of the minors must be regulated. Guardianship is a control towards the minors who are not married yet and not under the authority of their parents, and the handlings of the minors property is regulated by law. This study analyzed the case related to the decision of the Indonesian Supreme Court No. 372K/ Pdt/ 2008. What was discussed in this study were about regulation of guardianship because the divorce especially for the Chinese descent is guided by the Indonesian Civil Codes, regulation of the voidance of mother’s guardianship in the case related to the decision of the Indonesian Supreme Court No. 372K/ Pdt/ 2008.
This descriptive analytical study described all of the symptoms and facts of law and analyzed the issues raised in this study. The normative juridical method was used in this study of the case related to the decision of the Indonesian Supreme Court No. 372K/ Pdt/ 2008 on the application filed by a grandmother who wants to be the guardians for her grandchildren while their biological mother is still alive.
The result of this study showed that, in terms of guardianship regulation due to the divorce for the Chinese descents in Indonesia, the Judge was guided by the regulation stated in the Indonesian Civil Codes and Law No. 23/ 2002 on Child Protection. Guardianship done by one of the two parents can be voided if the parents’ authority has previously been revoked by the judge. The revocation of mother's authority appointed as guardian because of a divorceis performed in the state court where the claim for divorce was done before. In deciding this application, the judge considered the presence of the underhanded deed in the form of affidavit stating in case there is a divorce, the biological mother would not take her children with her.
maka penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ANALISIS YURIDIS
PERMOHONAN MENJADI WALI OLEH SEORANG NENEK TERHADAP
CUCU-CUCUNYA KETIKA IBU KANDUNG MASIH HIDUP (STUDI
KASUS PUTUSAN MA NO. 372 K/ PDT/ 2008)”sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Dalam penyusunan tesis ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari
berbagai pihak. Ucapan Terima Kasih yang mendalam dan tulus penulis ucapkan
secara khusus kepada para dosen pembimbing yang terhormat :
1. Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH., MKn.
2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN.
3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum.
Serta kepada para dosen penguji :
1. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH., MHum.
2. Ibu Dr. Utary Maharani Barus, SH., MHum.
Atas bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K)
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar SH., CN., M.Hum, selaku Sekretaris
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara
5. Para Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan memberikan banyak
pengetahuan dan ilmu kepada penulis
6. Para pegawai Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu dalam hal manajemen
administrasi yang dibutuhkan
7. Teman-teman tercinta di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, terutama teman-teman sekelas dengan
penulis yaitu kelas A yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan
bantuan pikiran kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini
8. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa sayang yang tidak
terhingga kepada suami tercinta Donny Nauphar, BSc. yang telah sangat
mendukung dan membantu penulis dalam menulis tesis ini, serta kepada
sayang dan selalu membantu dan mendukung penulis dalam menulis tesis ini.
10. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga
kepada kedua mertua tercinta, ayahanda H. Salim Usman, Apt., MSi. dan
Ibunda Hj. Yuanita Tanuwidjaja,Apt., MSi. yang selalu membantu dan
mendukung penulis dalam menulis tesis ini.
Akhir kata, penulis mengharapkan agar penulisan tesis ini dapat bermanfaat
untuk kita semua.
Medan, Juli 2012 Penulis,
Nama : Sesilia Susetiasih
Tempat/ Tanggal Lahir : Jakarta/ 7 April 1981
Status : Menikah
Agama : Islam
Tempat Tinggal : Medan
II. KELUARGA
Suami : Donny Nauphar
Anak-anak : Dito Aditama Usman
Devin Saputra Usman
III. PENDIDIKAN
SDN 05 Jakarta 1993 - 1987
SMPN 40 Jakarta 1996 - 1993
SMUN 35 Jakarta 1999 - 1996
S1 (Strata- 1) Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta 2003 - 1999
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR ISTILAH ... ix
DAFTAR SINGKATAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Keaslian Penelitian ... 7
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 8
1. Kerangka Teori ... 8
2. Konsepsi ... 18
G. Metode Penelitian ... 20
1. Jenis Penelitian ... 20
2. Sumber Data ... 21
3. Teknik Pengumpulan Data ... 22
4. Metode Analisis Data ... 22
5. Metode Penarikan Kesimpulan ... 23
BAB II PENGATURAN PERWALIAN KARENA PERCERAIAN 24 A. Sejarah Etnis Cina di Indonesia ... 24
B. Perceraian ... 33
C. Perwalian ... 44
BAB III GUGURNYA PERWALIAN SEORANG IBU... 74
A. Kekuasaan Orang tua ... 74
B. Kekuasaan Wali ... 77
C. Pencabutan Kekuasaan Orang tua ... 78
D. Gugurnya Perwalian ... 81
E. Gugurnya Perwalian seorang Ibu ... 84
BAB IV PENGATURAN PERWALIAN KARENA PERCERAIAN MENURUT KUH PERDATA TERHADAP KASUS PERMOHONAN MENJADI WALI OLEH SEORANG NENEK TERHADAP CUCU-CUCUNYA KETIKA IBU KANDUNG MASIH HIDUP (PUTUSAN MA NO. 372K/ PDT/2008) ... 88
A. Kronologis Kasus ... 88
B. AnalisisKasus ... 90
1. Hukum Acara Perdata Permohonan Penetapan ... 92
2. Pertimbangan Hakim ... 98
3. Kekuatan Pembuktian Penetapan ... 106
4. Upaya Hukum Terhadap Penetapan ... 108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 112
A. Kesimpulan ... 112
B. Saran ... 113
DAFTAR PUSTAKA ... 114
Arbitrary : asas tidak bersifat sewenang-wenang
Audi alteram parlem : asas mendengar jawaban atau bantahan pihak lawan
To hear other side : asas mendengar pihak lain
Both sides be heard before a decision is given : asas mendengar kedua belah pihak sebelum dikeluarkan keputusan
Ne bis in idem : asas terhadap kasus dan pihak yang sama tidak boleh diajukan kedua kalinya
Beginselen van recht(root of law) : asas akar hukum, permulaan hukum
Beschikking : penetapan, ketetapan
Bewijslat : beban bukti, beban
pembuktian
Burgerlijk Wetboek : Kitab Undang-undang Hukum
Perdata/ Sipil
Curatele : pengampuan
Doctrinal research : penelitian doktrinal
De eigenlijke of algemene woonplaats : domisili yang sebenarnya
De gestichten voogdij : perwalian yang diperintahkan kepada yayasan
De langslevende ouder : orang tua yang hidup terlama
De legitieme voogdij : wali menurut hukum
De testamentaire voogdij : wali yang ditunjuk dengan surat wasiat
Due process of law : asas sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku
Effecten : saham
Fair trial : asas peradilan yang adil
Feitelijke woonplaats : tempat kediaman (domisili) yang sesungguhnya
Gekozen woonplaats : tempat kediaman (domisili) yang dipilih
Seberang (Jawa, Madura)
Huwelijkes Ordonnantie Christien Indonesiers : Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia
Indonesian Citizens of Chinese descent : Warga Negara Indonesia keturunan Cina
Inkracht van geisge : berkekuatan pasti
Judicial independency : asas kebebasan peradilan
Kwaadwillige verlating : pihak satu meninggalkan pihak yang lain dengan itikad buruk
Law in the books : hukum yang tertulis
Law in action : hukum di lapangan Law it is decided by the judge through judicial process : hukum yang diputuskan
oleh Hakim melalui proses pengadilan
Library research : penelitian kepustakaan
Moedervoogdes : wali Ibu
Ontheffen : membebaskan
Onheelbare tweespalt : perselisihan antara suami-isteri
Ontheffing : pembebasan
Ontzet : memecat, mencabut
Ontzetting : pemecatan, pencabutan
Ouderlijke macht : (ke)kuasa(an) orang tua
Overspel : zina
Rechtsvervijning : penghalusan hukum
Rechtsvinding : penemuan dalil hukum
Regeling op de gemengde Huwelijke : peraturan perkawinan campuran
Renten : bunga
Slecht levens gedrag : bertingkah laku buruk
Staatsblaad : Lembaran Negara
To give an appropriate opportunity : asas memberi
kesempatan yang layak
To give the same opportunity : asas pemberian
kesempatan yang sama
Vruchtgebruiker : yang berhak manfaat, pemakai hasil
BW :Burgerlijk Wetboek
GHR :Gemengde Huwelijken Regeling
HOCI :Huwelijkes Ordonnantie Christien Indonesiers
HIR :Herzien Inlandsch Reglement
IS :Indische Staatsregeling
KUH Perdata : Kitab Hukum Undang-undang Perdata
MA : Mahkamah Agung
PP : Peraturan Pemerintah
PDT : Perdata
PK : Peninjauan Kembali
RV :Reglement of de Rechsvordering
UUP : Undang-undang Perkawinan
Stbl. :Staatsblaad
menjadi perwalian, karena itu jika perkawinan dipecahkan oleh Hakim harus pula diatur tentang perwalian terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Perwalian
(voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur yang belum kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua, serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh Undang-undang. Penelitian ini menganalisis kasus putusan Mahkamah Agung No. 372K/ Pdt/ 2008. Dalam penelitian ini dibahas mengenai pengaturan perwalian karena perceraian khususnya untuk etnis keturunan Cina yang berpedoman kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, mengenai pengaturan gugurnya perwalian seorang Ibu, dan mengenai bagaimana Mahkamah Agung memutuskan gugurnya perwalian seorang Ibu dalam kasus putusan Mahkamah Agung No. 372K/ Pdt/ 2008.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan semua gejala dan fakta hukum dan menganalisa permasalahan yang dikemukakan pada penelitian ini.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum (yuridis) normatif atas studi kasus pada Putusan MA No. 372/Pdt/2008 tentang permohonan menjadi wali oleh seorang nenek terhadap cucu-cucunya ketika Ibu kandung masih hidup.
Dapat disimpulkan bahwa pengaturan perwalian karena perceraian untuk etnis keturunan Cina di Indonesia Hakim berpedoman kepada pengaturan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan juga menggunakan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perwalian oleh salah satu orang tua dapat dibatalkan apabila sebelumnya telah dilakukan pencabutan kekuasaan orang tua oleh hakim. Pencabutan kuasa Ibu yang diangkat sebagai wali karena adanya perceraian, dilakukan di Pengadilan Negeri tempat dilakukan tuntutan perceraian sebelumnya. Hakim dalam memutuskan permohonan ini mempertimbangkan adanya akta di bawah tangan yang dilegalisir dalam bentuk surat pernyataan yang isinya menyatakan bahwa jika terjadi perceraian Ibu kandung tidak akan membawa anak-anaknya.
judge, the guardianship of the minors must be regulated. Guardianship is a control towards the minors who are not married yet and not under the authority of their parents, and the handlings of the minors property is regulated by law. This study analyzed the case related to the decision of the Indonesian Supreme Court No. 372K/ Pdt/ 2008. What was discussed in this study were about regulation of guardianship because the divorce especially for the Chinese descent is guided by the Indonesian Civil Codes, regulation of the voidance of mother’s guardianship in the case related to the decision of the Indonesian Supreme Court No. 372K/ Pdt/ 2008.
This descriptive analytical study described all of the symptoms and facts of law and analyzed the issues raised in this study. The normative juridical method was used in this study of the case related to the decision of the Indonesian Supreme Court No. 372K/ Pdt/ 2008 on the application filed by a grandmother who wants to be the guardians for her grandchildren while their biological mother is still alive.
The result of this study showed that, in terms of guardianship regulation due to the divorce for the Chinese descents in Indonesia, the Judge was guided by the regulation stated in the Indonesian Civil Codes and Law No. 23/ 2002 on Child Protection. Guardianship done by one of the two parents can be voided if the parents’ authority has previously been revoked by the judge. The revocation of mother's authority appointed as guardian because of a divorceis performed in the state court where the claim for divorce was done before. In deciding this application, the judge considered the presence of the underhanded deed in the form of affidavit stating in case there is a divorce, the biological mother would not take her children with her.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Merupakan sifat manusia yang alami menginginkan adanya suatu perkawinan
yang didasarkan dari hubungan saling mencintai dan menyayangi satu sama lain yang
bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Namun terkadang apa
yang diinginkan dan diimpikan tidak seperti yang diharapkan. Seiring berjalannya
waktu keadaan berubah dan sifat seseorangpun berubah, sehingga terkadang
perubahan-perubahan tersebut dapat mempengaruhi bahtera perkawinan yang telah
dijalani. Suatu perkawinan yang pada awalnya harmonis kemudian selama
perjalanannya mengalami perubahan-perubahan pada pribadi-pribadi yang
menjalaninya bahkan kadang juga perubahan-perubahan keadaan yang terjadi
disekeliling mereka dapat juga mempengaruhi bahtera perkawinan yang nantinya
dapat berujung kepada suatu perpisahan antara pribadi-pribadi yang menjalaninya.
Perpisahan perkawinan ini yang kemudian dikenal dengan istilah perceraian.
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan Hakim, atau tuntutan salah
satu pihak dalam perkawinan itu.1
Peningkatan perceraian di Indonesia tiap tahun terus meningkat. Pada tahun
2010 (dua ribu sepuluh), terjadi 285.184 (dua ratus delapan puluh lima ribu seratus
delapan puluh empat) perceraian di seluruh Indonesia. Penyebab pisahnya pasangan
jika diurutkan tiga besar paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak
91.841 (sembilan puluh satu ribu delapan ratus empat puluh satu) perkara, tidak ada
tanggungjawab 78.407 (tujuh puluh delapan ribu empat ratus tujuh) perkara, dan
masalah ekonomi 67.891 (enam puluh tujuh ribu delapan ratus sembilan puluh satu)
perkara. Sedangkan tahun sebelumnya, tingkat perceraian nasional masih di angka
216.286 (dua ratus enam belas ribu dua ratus delapan puluh enam) perkara. Angka
faktor penyebabnya terdiri atas ketidakharmonisan 72.274 (tujuh puluh dua ribu dua
ratus tujuh puluh empat) perkara, tidak ada tanggungjawab 61.128 (enam puluh satu
ribu seratus dua puluh delapan) perkara, dan faktor ekonomi 43.309 (empat puluh tiga
ribu tiga ratus sembilan) perkara.2
Maraknya perceraian yang makin sering terjadi di Indonesia khususnya
perceraian antara suami-istri dengan adanya anak-anak di bawah umur akan memiliki
dampak bagi kepentingan anak-anak itu sendiri baik dari segi psikologis maupun dari
segi hukum. Merupakan kewajiban bagi orangtua dan negara untuk menjamin
kepentingan anak-anak di bawah umur tersebut.
Salah satu dampak dari suatu perceraian yaitu akan mengakibatkan
kekuasaan orangtua (ouderlijke macht) berakhir dan berubah menjadi perwalian
(voogdij), karena itu jika perkawinan dipecahkan oleh Hakim harus pula diatur tentang perwalian itu terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Penetapan wali
oleh Hakim dilakukan setelah mendengar keterangan dari keluarga dari pihak ayah
maupun dari pihak ibu yang rapat hubungannya dengan anak-anak tersebut. Hakim
merdeka untuk menetapkan ayah atau ibu menjadi wali, tergantung dari siapa yang
paling cakap atau baik mengingat kepentingan anak-anak. Penetapan wali ini juga
dapat ditinjau kembali oleh Hakim atas permintaan ayah atau ibu berdasarkan
perubahan keadaan.3
Menurut Subekti :
Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh Undang-undang. Dengan demikian, berada di bawah perwalian. Anak yang berada di bawah perwalian adalah:4
1. Anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orangtua;
2. Anak sah yang orangtuanya telah bercerai; 3. Anak yang lahir diluar perkawinan
Menurut Rachmadi Usman :
“Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang, badan hukum atau negara berdasarkan keputusan pengadilan untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orangtua, atau kedua orangtua atau orangtua yang masih hidup tidak cakap dan mampu melakukan perbuatan hukum atau menunaikan kewajiban bagi anaknya”.5
Berikut satu kasus permohonan menjadi wali yang akan dibahas dalam
penelitian ini, putusan MA No.372 K/Pdt/2008 yang memutuskan sebagai berikut
dalam perkara :
Tjong Gek Hong sebagai Pemohon, bahwa Pemohon adalah Ibu kandung dari
Tuan Suwandi Alain Wijaya yang telah melangsungkan perkawinan di Medan dengan
3Subekti,op.cit,hal.44 4Ibid, hal.52-53
Nyonya Jely Nonny, pada tanggal 1 Maret 2000 dengan akta perkawinan
No.176/2000. Dari perkawinan tersebut dilahirkan 3 orang anak-anak, yakni :
1. Cindy, perempuan, lahir di Medan tanggal 12 Maret 2000
2. Melvina, perempuan, lahir di Medan tanggal 6 Desember 2001
3. Ricky, laki-laki, lahir di Medan tanggal 8 Mei 2004
Perkawinan antara Tuan Suwandi Alain Wijaya dengan Nyonya Jely Nonny
tersebut telah putus karena perceraian pada tanggal 15 (lima belas) September 2005
(dua ribu lima) sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Medan No.156/
Pdt.G/2005/P.Mdn, tanggal 15 (lima belas) September 2005 (dua ribu lima) dan Akta
Perceraian No.59/2005 tertanggal 5 (lima) Desember 2005 (dua ribu lima), yang
dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kependudukan kota Medan.
Pengasuhan anak-anak jatuh ke tangan Tuan Suwandi Alain Wijaya sesuai
dengan penetapan Pengadilan Negeri Medan No.31/Pdt.P/2007/PN.Mdn, tertanggal 8
(delapan) Maret 2007 (dua ribu tujuh).
Tuan Suwandi Alain Wijaya tersebut meninggal dunia di Medan pada tanggal
7 (tujuh) November 2007 (dua ribu tujuh), sesuai dengan akta kematian No.929/2007
tertanggal 9 (sembilan) November 2007 (dua ribu tujuh) yang selanjutnya disebut
dengan almarhum. Sejak meninggalnya almarhum pengasuhan anak-anak almarhum
berada dibawah pengasuhan Pemohon.
Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Medan supaya
diberikan suatu penetapan yang menyatakan secara hukum bahwa Pemohon sebagai
dapat dengan leluasa menurut hukum dan kebiasaan mengasuh/ memelihara
cucu-cucunya.
Namun permohonan Pemohon ditolak oleh Pengadilan Negeri Medan, dengan
Penetapan No. 253/Pdt P/2007/ PN.Mdn. tanggal 18 (delapan belas) Desember 2007
(dua ribu tujuh).
Kemudian Pemohon mengajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal
27 (dua puluh tujuh) Desember 2007 (dua ribu tujuh) sebagaimana ternyata dari akte
permohonan kasasi No.106/Pdt/Kasasi/2007/PN.Mdn yang dibuat oleh Panitera
Pengadilan Negeri Medan, permohonan mana diikuti oleh memori kasasi yang
memuat alasan-alasan yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada
tanggal 8 (delapan) Januari 2008 (dua ribu delapan).
Setelah permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima diputuskan
permohonan Pemohon dikabulkan untuk menjadi Wali Pengasuh/Pemelihara bagi
cucu-cucunya dengan putusan MA No.372 K/Pdt/2008.
Melihat kasus ini ternyata meskipun ibu sebagai orang tua kandung yang
hidup terlama tidak dapat menjadi wali bagi anak-anaknya sendiri. Penelitian ini
dilakukan juga untuk mengetahui pengaturan perwalian karena perceraian terkait
kasus ini dan hal-hal apa saja yang menggugurkan perwalian seorang Ibu kandung.
B. Perumusan Masalah
Melihat dari kasus perwalian yang menjadi latar belakang penelitian ini maka
1. Bagaimana pengaturan perwalian karena perceraian khususnya untuk etnis
keturunan Cina berdasarkan aturan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) ?
2. Bagaimana pengaturan gugurnya perwalian seorang Ibu?
3. Bagaimana Mahkamah Agung (MA) memutuskan gugurnya perwalian
seorang Ibu dalam kasus putusan MA No.372K/ Pdt/ 2008
C. Tujuan Penelitian
Dilihat dari perumusan masalah dalam penelitian ini, maka adapun tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan perwalian karena perceraian
khususnya untuk keturunan etnis Cina berdasarkan aturan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan gugurnya perwalian seorang
Ibu.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis keputusan Mahkamah Agung (MA)
dalam memutuskan gugurnya perwalian seorang Ibu dalam kasus putusan MA
No.372K/ Pdt/ 2008
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan hukum bidang keperdataan khususnya yang
berkaitan dengan perwalian.
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan berbagai permasalahan yang
timbul dalam kasus-kasus perwalian di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi serta penelusuran yang dilakukan di kepustakaan
Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul Analisis Yuridis
Permohonan Menjadi Wali Oleh Seorang Nenek Terhadap Cucu-cucunya Dikala
Sang Ibu Masih Hidup (Studi Kasus Putusan MA No.372 K/Pdt/2008) belum pernah
dilakukan oleh peneliti lainnya, sehingga dengan demikian penelitian ini adalah asli
dan dapat dipertanggung jawabkan.
Judul-judul tesis lain yang berkaitan dengan masalah perwalian anak, juga
pernah ditulis sebelumnya, antara lain oleh :
1. Yunita Hasibuan, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Nomor Induk
Mahasiswa 057011099, dengan judul tesis “Perwalian Anak panti Asuhan
Setelah Diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak (Studi Kasus Di Panti Asuhan Islam).
2. Syarifah Tifany, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Nomor Induk Mahasiswa
037011076, dengan judul tesis “Pengasuhan Anak Setelah Terjadinya
3. Rosmaliana, Mahasiswa Magister Kenotariatan, Nomor Induk Mahasiswa
077011058, dengan judul tesis “Akibat Hukum Yang Timbul Dari Perceraian
Orang Tua Terhadap Pengasuhan Anak Ditinjau Dari Undang-Undang
Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan Anak Dan
Kompilasi Hukum Islam.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam suatu penelitian diperlukan adanya teori. Suatu teori pada hakekatnya
merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut
cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada
umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu, dalam bentuknya yang paling
sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih, yang telah
diuji kebenarannya. Suatu variabel merupakan karakteristik dari orang-orang,
benda-benda atau keadaan yang mempunyai nilai-nilai yang berbeda, seperti misalnya, usia,
jenis kelamin, dan lain sebagainya.6
Penelitian ini menggunakan teori, hukum adalah suatu proses rekayasa sosial
(social engineering) oleh Roscoe Pound yang dijadikan landasan bahasan penelitian berjudul “Analisis Yuridis Permohonan Menjadi Wali Oleh Seorang Nenek Terhadap
Cucu-cucunya Ketika Ibu Kandung Masih Hidup (Studi Kasus Putusan MA No.
372K/ Pdt/ 2008).
Roscoe Pound dipandang sebagai pelopor aliran “sociological jurisprudence”. Pokok pemikirannya berkisar pada tema bahwa hukum itu bukanlah suatu keadaan melainkan suatu proses. Dan, bahwa hukum itu (pembuatannya,
interpretasinya maupun penerapannya) hendaknya dengan pintar dihubungkan dengan
fakta-fakta sosial untuk mana hukum itu dibuat dan ditujukan. Pound sangat
menekankan pada effektivitas bekerjanya hukum dan untuk itu ia sangat
mementingkan beroperasinya hukum di dalam masyarakat. Dengan sadar ia
membedakan pengertian“law in the books”di satu pihak dan“law in action”di lain pihak.7
Roscoe Pound (1870-1964) menganut aliran teori hukum modern sociological jurisprudence yang menyatakan bahwa, proses hukum pada hakikatnya adalah suatu proses rekayasa sosial(social engineering). Hukum itu pada hakikatnya adalah sarana yang dapat digunakan untuk mengontrol dan merekayasa masyarakat. Hukum
diselenggarakan dengan tujuan untuk mengoptimalkan pemuasan kebutuhan dan
kepentingan (interest). Roscoe Pound cenderung melihat kepentingan (bukan etika atau moral) sebagai unsur paling hakiki di dalam kajian hukum, dan yang karena itu
pantas dijadikan konsep dasar untuk membangun seluruh teori sociological jurisprudence. Pada hakikatnya, hukum itu diperlukan karena dalam kehidupan ini banyak terdapat kepentingan untuk dilindungi. Disini Roscoe Pound mendefinisikan
kepentingan sebagai “a demand or desire which human beings, either individual or through groups or associations or in relations seek to satisfy”.8
Ada tiga macam kepentingan yang perlu diketahui, yaitu : kepentingan
individu, kepentingan umum (yaitu kepentingan badan-badan pemerintah) dan
kepentingan sosial (yaitu kepentingan untuk melindungi dan menegakkan nilai-nilai
yang dijunjung tinggi di dalam masyarakat, seperti misalnya keamanan umum,
perlindungan Sumber Daya Alam, kemajuan dalam kehidupan politik dan budaya dan
sebagainya). Sehubungan dengan apa yang diketengahkan sebagai kepentingan sosial
itu, Roscoe Pound menunjukkan bahwa hukum dapat difungsikan sebagai alat
rekayasa sosial untuk melindungi kepentingan-kepentingan sosial. Pembuat hukum
haruslah mempelajari apa efek sosial yang mungkin ditimbulkan oleh sarana kontrol
atau sarana rekayasa lain yang bukan hukum. Roscoe Pound juga mengajukan
gagasannya bahwa penyelesaian-penyelesaian perkara yang adil, dapat dilakukan
menurut hukum yang berlaku, tetapi dapat pula tidak. Apabila diselesaikan menurut
hukum, maka penyelesaian itu akan berlangsung dalam forum pengadilan.
Sedangkan, apabila penyelesaian perkara dilakukan tidak menurut hukum, akan tetapi
secara musyawarah, maka penyelesaian itu akan bercorak administratif. Menurut
Roscoe Pound, kedua corak itu (yang yudisial maupun administratif) senantiasa
ditemukan dalam sistem hukum manapun di dunia. Dalam praktiknya, sesekali corak
yang yudisial tersebut yang mengemuka dan sesekali pula justru yang administratif
tersebut yang lebih popular. Keseimbangannya yang diterima masyarakat itulah yang
tentunya harus dinilai oleh hakim sebagai cara dan corak yang terbaik.9
Bagaimana putusan pengadilan menjadi pendorong bagi perubahan sosial
digambarkan dalam pernyataan, bahwa para Hakim termasuk orang-orang profesional
yang bekerja dengan diam-diam. Lingkungan dan suasana kerja Hakim adalah
suasana yang tenang dan tentram, sangat berbeda dengan komponen peradilan yang
lain, seperti polisi. Pekerjaan memeriksa dan mengadili lebih banyak mengarahkan
kemampuan intelektual daripada otot. Tetapi ternyata kelirulah jika berpendapat,
bahwa pekerjaan profesional yang penuh dengan ketenangan itu tidak dapat
menghasilkan suatu keguncangan besar, suatu perubahan sosial bahkan suatu
revolusi.10
Dengan demikian tugas Hakim dalam menerapkan hukum, tidak melulu
dipahami sebagai upaya sosial kontrol yang bersifat formal dalam menyelesaikan
konflik.11Tetapi sekaligus mendisain penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering, yakni sosial kontrol dalam arti luas, yang dengan pelaksanaan diorientasikan kepada perubahan-perubahan yang dikehendaki.12
Penerapan Hukum menurut Roscoe Pound, dalam mengadili sesuatu perkara menurut
hukum ada tiga langkah yang harus dilakukan :13
9Ibid,hal. 229
10Ahmad Ubbe, “Putusan Hakim sebagai “Rekayasa Sosial” dalam Pembinaan Hukum
Nasional”,Majalah Hukum NasionalBPHN Depkeh dan HAM, No.I, hal.72, 2002
11Satjipto Rahardjo,Hukum dan Perubahan Sosial(Bandung: Alumni,1979) hal.126-127 12Ahmad Ubbe,op.cit,hal.73
a) Menemukan hukum, menetapkan manakah yang akan diterapkan di antara
banyak kaedah di dalam sistem hukum, atau jika tidak ada yang dapat
diterapkan, mencapai satu kaedah untuk perkara itu (yang mungkin atau tidak
mungkin dipakai sebagai satu kaedah untuk perkara-perkara lain sesudahnya)
berdasarkan bahan-bahan yang sudah ada menurut sesuatu cara yang
ditunjukkan oleh sistem hukum.
b) Menafsirkan kaedah yang dipilih atau ditetapkan secara demikian, yaitu
menentukan maknanya sebagai mana ketika kaedah itu dibentuk dan
berkenaan dengan keleluasaan yang dimaksud.
c) Menerapkan kepada perkara yang sedang dihadapi kaedah yang ditemukan
dan ditafsirkan demikian.
Ada tiga teori tentang penerapan hukum Roscoe Pound, yaitu :14
a) Teori analitis
Teori ini menerima satu himpunan hukum yang lengkap tanpa kekurangan
dan pertentangan satupun, diberi wewenang oleh negara sekaligus, dan karena
itu harus diperlukan seolah-olah tiap Pasal diciptakan pada waktu yang sama
dengan tiap Pasal lainnya. Apabila hukum itu berbentuk undang-undang,
penganut teori analitis menerapkan aturan-aturan penafsiran sejati, penganut
teori tersebut berusaha (membahasnya) dengan logika serta menempatkan
tiap-tiap perkara ke dalam satu kotak dengan satu proses yang memakai logika
dan merumuskan hasilnya dalam satu putusan.
b) Teori yang bersendikan sejarah, penganut teori ini menganggap bila satu
hukum terdapat dalam satu kitab undang, pada pokoknya
undang-undang tersebut merupakan suatu pernyataan dari hukum yang ada sejak
dulunya, undang-undang itu dipandang sebagai satu lanjutan dan
perkembangan dari hukum yang ada sebelumnya.
c) Teori adil, penganut teori-teori ini yang terpenting ialah suatu penyelesaian
yang dapat diterima oleh akal yang sehat dan adil bagi perselisihan individu.
Mereka memahamkan perintah hukum, baik legislatif atau tradisionil, sebagai
satu petunjuk bagi hukum, yang membimbingnya ke arah hasil yang adil,
tetapi di dalam batas-batas yang luas, Hakim bebas dalam memeriksa tiap-tiap
perkara, supaya dapat dipenuhinya tuntutan keadilan antara pihak-pihak yang
berperkara, dan menyesuaikannya dengan akal sehat dan kesadaran moral dari
orang-orang biasa.
Langkah pertama yang menuju ke arah satu ilmu hukum ialah mengadakan
pemisahan antara apa yang termasuk dan apa yang tidak termasuk ke dalam makna
hukum dari satu kaedah.15
Ada pula variant lain dari problematik sosiologi-yurisprudensi ini tidak hanya
memusatkan perhatian pada faktor-faktor sosial yang memepengaruhi hukum tetapi
juga mencakup di dalamnya konsekuensi sosial daripada hukum, dalam arti pengaruh
hukum terhadap sistem sosial yang lebih luas.16
15Ibid
Problematik penting kedua yang dikembangkan di dalam gerakan sosiologis
di dalam hukum dapat ditandai sebagai problematik “hukum sebagai alat
pengendalian sosial (social control)”. Arti penting hukum tidaklah berasal dari sesuatu yang ada di dalam hukum itu sendiri, tetapi berasal dari klasifikasinya sebagai
bagian proses sosial yang lebih luas. Hukum dipandang merupakan salah satu bentuk
proses-proses dalam masyarakat yang menyangkut pengendalian sosial.17
Tentang hukum sebagai alat pengendalian sosial ini, Roscoe Pound,
mengemukakan bahwa dalam menentukan kepentingan-kepentingan apakah yang
boleh dijamin oleh ketertiban hukum dan bagaimana ia menjaminnya, kita harus
perhatikan tiga pembatasan hukum yang penting sebagai alat kontrol sosial.
Pembatasan-pembatasan ini tumbuh dari :18
a) Keperluan yang menjadi syarat bagi hukum, praktis hanya berurusan dengan
perbuatan-perbuatan manusia dan barang-barang dan bukan bagian di
dalamnya;
b) Pembatasan-pembatasan yang melekat di dalam sanksi-sanksi hukum
pembatasan atas paksaan terhadap kemauan manusia dengan kekerasan; dan
c) Keperluan yang mensyaratkan hukum untuk mempergunakan badan luas
untuk melaksanakan isi dan maksud tujuannya, karena perintah-perintah
hukum itu tidak dapat memaksakan dirinya secara sendiri.
17Loc.cit
Seorang Hakim Agung berperan untuk penemuan hukum (rechtsvinding)
ketika ia menganggap bahwa putusan pengadilan tinggi dan pengadilan tingkat
pertama belum mencerminkan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat pada era reformasi dan transformasi. Penemuan hukum ini dilakukan
melalui metode :19
a) Penafsiran peraturan perundang-undangan berdasarkan teknik:
1) metode analogi,
2) metodeargumentum a contrario,
3) metode pengkonkretan hukum(rechtsvervijning),dan 4) metode fiksi hukum;
b) Metode argumentasi atau metode penalaran hukum berdasarkan teknik:
1) penafsiran bahasa,
2) penafsiran sistematis,
3) penafsiran sejarah,
4) penafsiran sosiologi,
5) penafsiran autentik,
6) penafsiran ekstensif, dan
7) penafsiran restriktif.
Selain uraian di atas bahwa dalam memeriksa perkara, menerapkan,
menemukan bahkan membuat hukum jika diperlukan, pada prinsipnya Hakim harus
19
mandiri. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh pihak-pihak lain, termasuk oleh pihak
eksekutif sekalipun. Inilah yang diajarkan oleh teori kebebasan Hakim.20
Pada prinsipnya, teori kebebasan Hakim ini menguatkan hal-hal sebagai
berikut :21
a) Hakim bebas dalam memutus perkara dan dapat menggunakan standar apapun
yang dianggap layak, selama tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan
sebagai hakim(abuse of power).
b) Terutama untuk keperluan praktis, tidak begitu diperlukan diskusi yang
mendalam bagi hakim untuk membenarkan putusan yang dibuatnya.
c) Baik di negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental, maupun di
negara-negara yang menganut sistem anglo saxon, hakim dapat menyimpang
dari putusan Hakim sebelumnya.
d) Putusan pengadilan yang sudah inkracht (berkekuatan pasti) bersifat final, tidak mungkin di review oleh instansi manapun, kecuali oleh pengadilan sendiri melalui prosedur yang sangat khusus, yaitu melalui upaya peninjauan
kembali.
e) Hakim bebas memutuskan perkara karena pengangkatannya, terutama Hakim
agung yang dalam pengangkatannya melibatkan juga pihak parlemen
(legislatif) dan pemerintah (eksekutif), sehingga Hakim memiliki alas
kewenangan yang kuat untuk bertindak mengatas namakan kepentingan
masyarakat.
Dalam pemikiran Sosiological Jurisprudence, Roscoe Pound (1870-1964), ditegaskan bahwa kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya.22Menurut Roscoe
Pound hukum adalah “an ordening of conduct so as to make the good of existence and the means of satisfiying claims go round as for as possible with the least friction and waste”, dengan demikian penerapan hukum adalah teknik pemecahan masalah-masalah sosial.23
Social Engineering Pound ditujukan untuk membangun struktur sosial sedemikian rupa, sehingga secara maksimum dicapai keputusan akan
kebutuhan-kebutuhan dengan seminimum mungkin benturan dan pemborosan24. Disini Pound
melihat dan memahami hukum sebagai pengatur dan pendamai dari konflik
keinginan. Hukum merupakan alat untuk mengontrol keinginan sesuai dengan
prasyarat-prasyarat kepatuhan sosial.25
Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum harus dilihat atau dipandang
sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial, dan adalah tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan suatu
kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.
22Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum(Bandung:Alumni, 1982) hal.266 23Ahmad Ubbe,op.cit,hal. 75
Selanjutnya Pound menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses
(law in action),yang dibedakannya dengan hukum yang tertulis(law in the books).26
2. Konsepsi
Selain dari teori ada pengertian lain yang disebut konsepsi yang merupakan
unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk membuat karya ilmiah. Sebenarnya
yang dimaksud konsepsi adalah suatu pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat
berbentuk batasan (definisi) tentang sesuatu yang akan dikerjakan.
Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan
penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain
untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan.
Dalam rangka untuk lebih mengarahkan penelitian ini, ada beberapa istilah
yang didefinisikan sebagai landasan konsepsi, yaitu :
a) Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan
kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.
b) Nenek adalah sebutan dari cucu kepada ibunya ayah, menurut pasal 293 KUH
Perdata : dalam garis lurus diukurnya, bahwa antara dua orang adalah
pertalian keluarga sekian derajat, seperti pun sekianlah pula jumlah kelahiran
yang ada; demikianlah dalam garis ke bawah pertalian anak terhadap
bapaknya adalah derajat ke satu, cucu derajat ke dua dan demikian
selanjutnya, dan sebaliknya dalam garis ke atas : pertalian bapak dan kakek
terhadap anak dan cucu, adalah derajat ke satu atau derajat kedua dan
demikian seterusnya.
Dengan demikian untuk pertalian orangtua dengan nenek adalah derajat ke
satu sedangkan pertalian untuk nenek dengan anak orangtua (cucu) adalah
derajat kedua garis lurus kebawah dilihat dari nenek, garis lurus ke atas dilihat
dari cucu.
c) Cucu adalah anak dari anak (dilihat dari nenek)27, untuk pertalian nenek
dengan cucu jika dilihat dari nenek ke cucu maka derajat kedua garis lurus ke
bawah begitupun sebaliknya jika dilihat dari cucu ke nenek maka derajat
kedua garis lurus ke atas.
d) Ibu adalah adalah sebutan untuk seorang wanita yang telah melahirkan anak,
pertalian antara ibu dan anak dilihat dari ibu ke anak maka derajat kesatu garis
lurus ke bawah begitupun sebaliknya jika dilihat dari anak ke ibu maka derajat
kesatu garis lurus ke atas.
e) Cina adalah sebagai pengganti untuk sebutan orang-orang Cina yang diakui
oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda sebagai istilah resmi pada tahun
1928.28
f) Anak sah, anak sah dalam prinsip (menurut undang-undang KUH Perdata)
seorang anak adalah anak sah jika dilahirkan atau dibenihkan dalam suatu
pernikahan (pasal 250 KUH Perdata).29
27Ibid, hal.85
28B.P. Paulus,Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945 khususnya kewarganegaraan
g) Anak luar nikah (anak alam), pada umumnya anak-anak alam adalah anak
yang lahir atau dibenihkan di luar pernikahan.30
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu menggambarkan atau
mendeskripsikan semua gejala dan fakta hukum dan menganalisa permasalahan yang
dikemukakan pada penelitian ini. Deskriptif maksudnya untuk mengetahui dan
memperoleh gambaran secara meneyeluruh dan sistematis tentang peraturan yang
dipergunakan berkaitan dengan penelitian ini. Analisis maksudnya menguraikan
secara cermat terhadap aspek-aspek hukum dari apa yang telah digambarkan secara
menyeluruh dan juga sistematis dari permasalahan yang dikemukakan.31
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum
(yuridis) normatif atas studi kasus. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai
penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisa hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process).32
29Tan Thong Kie,Studi Notariat beberapa mata pelajaran dan Serba-serbi Praktek Notaris (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007) hal. 20
30Ibid,hal.22
31Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) hal. 29
Pendekatan yuridis normatif selain mengacu kepada norma-norma hukum
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan
serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat, juga melihat sinkronisasi
suatu aturan dengan aturan lainnya secara hierarki.33
2. Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh
dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek
penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan
peraturan perundang-undangan.
Data sekunder tersebut, dapat dibagi menjadi :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian, yaitu :
1) Undang - undang Nomor I tahun 1974 tentang Perkawinan
2) Undang – undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
3) Undang – undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
4) Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
5) Putusan MA RI No. 372K/ Pdt/ 2008
b. Bahan hukum sekunder yaitu semua bahan hukum yang berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.
Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,
jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan yang
terkait dengan objek penelitian ini.34
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang dapat memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan primer maupun bahan sekunder.
3. Teknik Pengumpulan Data
alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan
(library research), yaitu dengan mempelajari perundang-undangan, peraturan-peraturan, buku-buku hukum, artikel, literatur-literatur yang berhubungan dengan
objek penelitian ini.
4. Metode Analisis Data
Analisis data adalah sebuah proses yang mengatur urutan data, yang
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan kesatuan uraian dasar.35
Analisis data yang digunakan adalah secara deskriptif kualitatif. Analisa data
yang dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokkan, pengolahan dan
evaluasi sehingga diketahui rehabilitas data tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif
dengan mempelajari seluruh jawaban. Kemudian dilakukan pembahasan untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian kegiatan analisis data ini
diharapkan akan dapat memberikan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan
34Peter Mahmud Marzuki,op.cit,hal. 141 35
penelitian yang benar dan akurat serta dapat direpresentasikan dalam bentuk
deskriptif.36
5. Metode Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan cara deduktif-induktif dan
diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Proses analisis data
dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, setelah
dibaca, dipelajari, ditelaah, maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi
data yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi.37
Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yaitu menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkret yang dihadapi.38
36Soerjono Soekanto,Pengantar penelitian Hukum,(Jakarta: Universitas Indonesia, 1999) hal.6
37Soerjono Soekanto,op.cit,hal.6
BAB II
PENGATURAN PERWALIAN KARENA PERCERAIAN
A. Sejarah Etnis Cina di Indonesia
Berhubung dalam penelitian ini si Pemohon adalah orang keturunan Cina, ada
baiknya di ceritakan sedikit mengenai sejarah etnis Cina di Indonesia yang diawali
dari mulai masuknya mereka sampai dengan di jaman mulai masuknya orang-orang
Belanda yang awalnya ingin melakukan perdagangan di Indonesia.
Sistem kekeluargaan yang dianut dalam hukum adat Cina adalah sistem
kekeluargaan patrilineal, yakni bahwa yang menentukan garis keturunan adalah dari
pihak laki-laki. Pihak laki-laki memegang peranan yang sangat penting dalam suatu
keluarga, artinya bahwa anak laki-laki memiliki posisi dan kedudukan yang istimewa
dalam keluarga karena merupakan penerus marga atau nama keluarga.39
Menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia, disebutkan bahwa istilah Cina
berasal dari nama dinasti Chin (abad ketiga sebelum Masehi) yang berkuasa di Cina
selama lebih dari dua ribu tahun sampai tahun 1913. Adanya bencana banjir,
kelaparan dan peperangan memaksa orang-orang bangsa Chin ini merantau ke
seluruh dunia. Kemudian sekitar abad ke tujuh orang-orang ini mulai masuk ke
Indonesia. Pada abad ke sebelas, ratusan ribu bangsa Chin mulai berdiam di kawasan
Indonesia, terutama di pesisir timur Sumatra dan di Kalimantan Barat. Bangsa Chin
yang merantau dari Cina ini di Indonesia kemudian disebut dengan Cina perantauan.
39Lodewik, Tinjauan Yuridis terhadap Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat Cina oleh
Orang-orang Cina perantauan ini mudah bergaul dengan penduduk lokal
sehingga mereka bisa diterima dengan baik. Para perantau yang membawa keluarga
mereka kemudian membentuk perkampungan yang disebut dengan “Kampung Cina”,
di kota-kota dimana terdapat banyak orang Cina bertempat tinggal, kampung ini lalu
disebut dengan Pecinan. Orang-orang yang tinggal di Pecinan ini kemudian banyak
yang menjadi pedagang.
Ketika bangsa barat, terutama Belanda dengan perusahaan dagangnya (VOC)
memasuki Indonesia dan memonopoli perdagangan di Indonesia, para pedagang dari
negeri Chin yang sudah menguasai perdagangan selama beratus-ratus tahun ini
bentrok dengan bangsa Belanda. Akibatnya, VOC dan kemudian pemerintah Belanda
memberikan beberapa konsesi berupa hak-hak istimewa kepada bangsa Cina di
Indonesia. Salah satunya adalah mereka dianggap sebagai penduduk Timur Asing
yang dianggap mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi daripada warga
penduduk pribumi.40
Orang Cina, bersama dengan orang Arab, secara hukum digolongkan sebagai
Orang Timur Asing dengan implikasi bahwa hukum yang diberlakukan pada mereka
bukan hukum Belanda atau hukum adat pribumi. Dampaknya adalah bahwa mereka
itu tidak tergolong sebagai Belanda dan tidak tergolong pula sebagai pribumi. Mereka
adalah Orang Asing dari Timur. Mereka mempunyai hak untuk mengajukan diri
menjadi warga negara Belanda, sehingga hukum yang diberlakukan kepada mereka
40Julyana,Analisis Yuridis Pembagian Harta Bersama Milik Orang Tua Yang Dilakukan
adalah sama dengan yang diberlakukan terhadap orang-orang Belanda yang ada di
Indonesia.41
Penggunaan istilah Cina, untuk menyebut warga negara Indonesia keturunan
Cina yang disahkan dengan Undang-undang sebagai warga negara atau warga negara
keturunan Cina, yang dalam bahasa asingnya ialah Indonesian Citizens of Chinese descent, apabila digunakan dalam bahasa Indonesia melukai perasaan golongan tersebut, sebab dirasakan sebagai penghinaan. Istilah tersebut dalam peredaran masa
mengalami devaluasi, karena seolah-olah diasosiasikan dengan sifat atau watak yang
jelek seperti Cina mindring (lintah darat), Cina loleng (jorok) dan pula
menggambarkan status sosial yang inferior yang dialami golongan itu pada masa penjajahan, meskipun jauh lebih baik dari golongan pribumi.
Oleh karena itu di kalangan orang-orang Cina sebutan untuk menunjukkan
orangnya diusahakan untuk diganti dengan sebutan Cina yang tidak mengandung
konotasi yang kurang baik seperti istilah yang lain. Sedangkan sebutan untuk
negaranya, dipakai istilah Tiongkok. Kedua istilah tersebut pada tahun 1928 diakui
oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda sebagai istilah resmi.
Penggunaan istilah Cina dan Tiongkok ini menyebar pula ke Tanah
Semenanjung dan Singapura, karena eratnya hubungan antar negeri tersebut dengan
Sumatera yang telah menggunakan sebutan Cina dan Tiongkok. Kesadaran dari
orang-orang Cina yang berbahasa Melayu juga mendorong memperluas penggunaan
sebutan itu.42
Pada akhir abad ke 19 Pemerintah Belanda bermaksud hendak memisah
golongan Cina dari golongan Timur Asing. Usaha pertama kali pada tahun 1896
gagal. Akhirnya pemerintah Belanda berhasil dan tidak ragu-ragu lalu diterbitkanlah
staatsblaad 1917 no.129 dan dinyatakan mulai berlaku pada 1 Mei 1919.
Dengan berlakunya Stbl.1917 no.129 bagi golongan Timur Asing Cina maka
berlakulah hukum kekayaan dan hukum waris testamenter Barat, hukum keluarga,
termasuk hukum perkawinan Barat bagi golongan Timur Asing Cina itu. Dengan
demikian golongan Timur Asing Cina takluk kepada KUH Perdata, kecuali beberapa
peraturan mengenai formalitas sebelum perkawinan, tidak boleh beristri lebih dari
seorang dan perkawinan dilangsungkan di hadapan Kantor Catatan sipil.
Sebelum masa berlakunya Stbl.1917 no.129, laki-laki dan wanita Cina yang
akan melangsungkan perkawinannya mereka tunduk dan dilakukan sesuai dengan
hukum adat mereka, yaitu dimulai lebih dahulu dengan suatu pertunangan yang
dilakukan oleh pihak laki-laki calon suami dan calon isteri. Setelah semua ketentuan
dipenuhi,dimana calon pengantin pria menyerahkan sejumlah uang kepada calon
pengantin, lalu dapatlah dilangsungkan perkawinan. Diatas suatu kursi merah
ditandulah pengantin wanita, diiringi dengan bunyian musik dan digotong ke rumah
pengantin pria. Setelah kedua mempelai ini dipertemukan dilakukan makan bersama.
42Paulus,Kewarganegaraan RI ditinjau dari UUD 1945 Khususnya Kewarganegaraan
Upacara itu dihadiri oleh keluarga dan sahabat kenalan. Dan setelah itu selesailah
upacara perkawinan.43
Kemudian dalam tahun 1917 mulailah diadakan pembedaan antara golongan
Cina dan bukan Cina yaitu untuk golongan Cina diadakan satu peraturan sendiri
mengenai hukum perdata mereka yang diletakkan dalam S.1917 No. 129 (berlaku
untuk seluruh Indonesia sejak 1 September 1925), yang menaklukkan orang-orang
Cina pada hukum perdata Eropa hampir seluruhnya, termasuk juga hukum
perkawinan pada umumnya.
Sesudah berjalannya Stbl. 1917 no. 129, yaitu untuk Jawa-Madura pada 1 Mei
1919 di Jawa dan Madura dan 1 September 1925 di seluruh Indonesia, jika ada
kiranya orang-orang Cina melaksanakan perkawinan menurut cara adatnya yang lama
tidak berdasarkan Stbl. 1919 no. 129, maka jika perkawinan-perkawinan tersebut
lahir anak-anak maka anak-anak yang lahir itu dianggap anak-anak yang lahir diluar
perkawinan yang sah.
Sebelum Stbl. 1917 no. 129 itu orang-orang Cina yang mempunyai isteri
disebut isterinya itu “bini kawin” dan sementara itu masih juga dapat mengambil
seorang isteri kedua dan yang disebut dalam istilah mereka “bini muda”. Anak-anak
yang lahir dari “bini muda” ini merupakan anak yang sah dengan segala akibat-akibat
hukum, menerima pusaka dan sebagainya.
Seorang pria yang sudah punya “bini kawin” dapat memelihara “bini muda”,
dan prosedurnya tidaklah serupa dengan upacara “bini kawin”, tanpa dengan
pertunangan, tanpa ditandu, tanpa musik dan tanpa surat kawin. Yang ada adalah
pembayaran dan makan bersama.
Anak yang lahir dari “bini muda” tidak sama dengan anak yang lahir dari
“bini kawin”, jika pengambilan “bini muda” itu dilaksanakan sesudah 1 (satu)
September 1925 diseluruh Indonesia.
Dengan berlakunya Stbl. 1917 no. 129, yang mengatur hukum perkawinan
bagi golongan Timur Asing Cina, maka tidaklah lenyap seluruh hukum adat untuk
bangsa Cina tersebut di Indonesia. Hukum adat untuk orang Cina masih terus berjalan
dan diantaranya ada yang dipertahankan dengan mendapat aturan, diantara lain adalah
tentang pengambilan anak pungut, yaitu suatu adat yang berkembang didalam
golongan Cina. Adat pengambilan anak pungut ini tetap dipertahankan dan diatur
dalam Stbl. 1917 no. 129, Bab II yang isinya antara lain, hanya boleh mengangkat
anak laki-laki, sedangkan untuk pengangkatan anak perempuan boleh dilakukan,
hanya jika menggunakan akta otentik, selain dari itu batal demi hukum.44
Untuk pengangkatan anak dalam adat Cina ada tiga jenis yaitu yang pertama
anak tersebut adalah anak yatim piatu yang tidak diketahui marganya atau nama
orang tuanya, biasanya jenis pengangkatan seperti ini orang tua angkatnya dapat
memberi nama anak tersebut beserta marganya dan menganggap dia sebagai anggota
keluarga sendiri.
44
Yang kedua anak tersebut anak yatim piatu dan memiliki nama marga. Anak
angkat jenis ini tidak perlu diberi nama marga lagi cukup nama anak saja. Anak
angkat ini juga masih bisa tinggal dalam lingkungan keluarganya sendiri.
Yang ketiga anak asuh atau anak yang di kwepang, dalam tradisi Cina yang dimaksud dengan anak yang dikwepang adalah anak yang kondisi badannya kurang sehat atau tidak cocok dengan orang tuanya menurut perhitungan hong shuinya
(peruntungannya). Anak yang di kwepang adalah anak yang memiliki orang tua, memiliki nama marga dan nama sendiri. Biasanya anak yang di kwepang masih tinggal bersama orang tua aslinya, dan memanggil keluarga orang tua angkat sebagai
anggota keluarga dalam.
Biasanya ada beberapa alasan mengangkat anak diantaranya yaitu yang
pertama karena tidak memiliki keturunan, biasanya mengangkat anak dari keluarga
sendiri dan biasanya anak laki-laki yang marganya sama yang kemudian diasuh oleh
orang tua angkatnya. Si anak ini nantinya yang akan memenuhi kewajiban mengurus
orang tua angkatnya bukan kepada orang tua kandungnya.
Yang kedua karena masalahciongyaitu dimana tanggal lahir si anak dianggap tidak cocok dengan orang tua kandungnya yang menurut mitos akan menyebabkan
sakit, kematian ataupun kebangkrutan yang dapat ditangkis dengan cara mengangkat
anak orang lain. Untuk proses pengangkatan anak ini menggunakan upacara adat. Jika
hak mewaris dari orang tua angkatnya kecuali diberi wasiat, tapi tetap memiliki hak
mewaris dari orang tua kandungnya.
Yang ketiga untuk mendapatkan keturunan dengan “mancing” anak, yaitu
suatu proses yang dilakukan oleh suami isteri yang belum memiliki keturunan dengan
cara mengangkat anak yang biasanya dari anak kerabat sendiri untuk dianggap
sebagai anak, dirawat dan dipelihara dengan baik, dengan harapan supaya dengan
mengangkat anak tersebut nantinya dapat juga melahirkan keturunan sendiri. Si anak
angkat akan tinggal dengan orang tua angkatnya yang hanya bersifat sementara saja,
sampai si orang tua angkat mempunyai anak sendiri. Setelah adanya keturunan dari
orang tua angkat, si anak angkat dapat tetap tinggal di rumah itu atau dikembalikan
kepada orang tua kandungnya, hal itu terserah keputusan dari orang tua angkatnya.
Kalaupun seandainya si anak angkat dipulangkan kembali ke orang tua kandungnya
biasanya akan diberikan kado atau hantaran karena berhasil “mancing” anak. Anak
yang berhasil “mancing” anak ini dapat dua sampai tiga kali “mancing” yang berarti
nanti dia akan mempunyai dua sampai tiga orang tua angkat. Si anak angkat tidak
berhak mewaris dan tidak wajib melakukan “tuaha” kalau orang tua angkatnya meninggal.45
Adat Cina hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat
Cina itu sendiri. Bertahan atau tidaknya sebahagian maupun keseluruhan dari
kebiasaan dan adat istiadat Cina tergantung kepada masyarakat etnis Cina itu sendiri,
apakah masih sesuai adat- istiadat tersebut untuk diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari dengan mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Agama
merupakan faktor penting yang menentukan berlanjutnya kebiasaan budaya Cina.
Bagi keluarga yang menganut kepercayaan Budha dan Tao misalnya, kedekatan
dengan kebudayaan Cina masih kuat karena banyak upacara keagamaan.46
Seperti misalnya untuk orang-orang Cina yang beragama non Budha sudah
tidak lagi melakukan upacara-upacara adat keagamaan pada perayaan hari-hari besar
adat Cina dibandingkan dengan orang-orang Cina yang beragama Budha yang masih
tetap mempertahankan upacara-upacara keagamaan dalam melakukan perayaan
hari-hari besar adat Cina.
Salah satu contohnya pada perayaan Tahun Baru Cina (imlek) bagi
orang-orang Cina yang beragama Buddha mereka masih melakukan serangkaian acara
sembahyang, yaitu sembahyang dua hari sebelum imlek di kuil. Kemudian sehari
sebelum imlek mereka melakukan sembahyang leluhur siang hari di rumah setelah itu
malamnya mereka akan mengadakan acara makan malam berkumpul bersama
keluarga. Pada tengah malamnya mereka akan melakukan sembahyang menghormati
dewa langit. Keesokan harinya barulah acara imlek, yang mana pagi harinya mereka
akan melakukan kembali acara sembahyang leluhur dilanjutkan dengan acara
makan-makan bersama keluarga dan kerabat sembari saling mengucapkan selamat Tahun
Baru satu sama lain diikuti dengan pemberian angpao. Angpao hanya diberikan oleh
mereka yang telah menikah kepada anak-anak atau mereka yang belum menikah
dengan melihat usia juga. Biasanya bagi mereka yang belum menikah tapi sudah
berumur tidak mendapat ang pao lagi.
Bagi mereka orang-orang Cina yang beragama Katolik dalam merayakan
imlek mereka sudah tidak melakukan acara adat sembahyang, mereka hanya
melakukan acara makan-makan berkumpul bersama keluarga dan kerabat, namun
masih diikuti dengan pemberian ang pao.
B. Perceraian
Salah satu penyebab terjadinya perwalian adalah dikarenakan perceraian, yang
mengakibatkan berakhirnya kekuasaan orang tua. Mengapa hanya menjelaskan
perceraian dalam penelitian ini sebagai penyebab terjadinya perwalian? Karena
putusan MA No. 372K/ PDT/ 2008 dalam penelitian ini adalah permohonan
perwalian yang diawali dari suatu perceraian di antara kedua orang tuanya. Berbagai
hukum mengenai perceraian di Indonesia adalah sebagai berikut :47
1. Bagi orang-orang Eropa dan keturunan Eropa, berlaku KUH Perdata atau
Burgerlijk Wetboek(BW);
2. Bagi orang-orang Cina dan keturunan Cina berlaku KUH Perdata atau BW;
3. Bagi orang-orang Timur Asing bukan Cina (Arab, India dan sebagainya)
berlaku hukum adat mereka masing-masing
4. Bagi orang Indonesia asli berlaku bermacam-macam aturan yaitu :
a) Bagi orang beragama Islam, berlaku hukum Islam sebagai bagian dari
hukum adat;
b) Bagi yang beragama Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon berlaku
Huwelijkes Ordonnantie Christien Indonesiers(HOCI) (S 1933 No 74); c) Bagi mereka yang tidak termasuk a dan b berlaku hukum adatnya diatur
dalam Pasal 131 ayat 6Indische Staatsregeling(IS).
5. Bagi mereka yang berada dalam perkawinan campuran berlaku Gemengde Huwelijken Regeling(GHR) (S 1898 No 158).
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
(UUP) bagi semua warga negara pada tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP, maka berbagai hukum
tersebut di atas yang berdasarkan Pasal 131 IS menjadi terhapus, sepanjang ketentuan
Pasal 66 UUP.
Pasal 66 UUP telah menghapus semua ketentuan-ketentuan mengenai dan
berhubungan dengan perkawinan yang dijumpai dalam BW, HOCI, GHR dan
peraturan-peraturan lain sejauh materinya telah diatur dalam UUP. Jadi menurut Pasal
ini yang dihapus, atau tidak berlaku itu adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
beberapa peraturan yang telah ada, sejauh hal-hal itu telah diatur dalam
undang-undang ini, bukan peraturan perundang-undangan itu secara keseluruhan, sehingga hal-hal
yang tidak diatur dan tidak bertentangan dengan UUP, masih tetap dipakai.
Penelitian ini menyangkut golongan keturunan etnis Cina maka untuk
penerapan hukum perwalian yang digunakan untuk menganalisis kasus ini
berpedoman kepada KUH Perdata karena dalam UUP masih belum banyak mengatur
maka hal-hal yang tidak diatur dan tidak bertentangan dengan UUP, masih tetap
dipakai pengaturan dalam KUH Perdata.
Semua peraturan yang mengatur hubungan-hubungan masyarakat seperti
pengaturan perkawinan, perceraian, perwalian disebut dengan hukum objektif.
Peraturan itu tertuju kepada semua orang secara umum tanpa menunjukkan kepada
orang-orang tertentu. Artinya peraturan itu tidak memihak, karena jika memihak tentu
sulit, bagaimana caranya untuk membuat peraturan yang berlaku kepada setiap
orang? Hukum objektif adalah peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah yang
mengatur hubungan-hubungan sosial.48
Perceraian di dalam KUH Perdata didahului dengan adanya pisah meja dan
ranjang antara pasangan suami isteri. Perpisahan meja dan ranjang ini harus
dilakukan sampai genap lima tahun. Apabila tidak diikuti dengan adanya perdamaian
antara suami-isteri maka dapatlah dilakukan perceraian dengan putusan Hakim.
Perceraian menurut UUP hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
Di mata hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Artinya, harus
ada alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan sebuah perceraian. Itu
sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang berwenang memutuskan, apakah
sebuah perceraian layak untuk dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang
menyangkut konsekuensi terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan
melakukan perceraian.49
Dalam mengajukan gugatan perceraian, alasan bercerai menjadi pertimbangan
penting bagi pengadilan untuk menindaklanjuti gugatan cerai tersebut. Karena itu
Penggugat harus memiliki alasan bercerai yang dibenarkan dan sah menurut hukum.
Di lain sisi, alasan bercerai juga menjadi pertimbangan atau tolak ukur bagi
pengadilan dalam memutuskan sejumlah persoalan lain yang terkait erat dengan
proses perceraian itu sendiri.
Alasan-alasan perceraian menurut KUH Perdata ada empat macam yaitu :50
1. Zina(overspel);
2. Ditinggalkan dengan sengaja(kwaadwillige verlating)
3. Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu
kejahatan dan
4. Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa.
Kemudian empat alasan dalam Pasal 209 KUH Perdata ini diperluas oleh
Jurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 12 Juni 1968 Nomor 105 K/ Sip/ 1968,
tentang diterimanya onheelbare tweespalt yaitu dalam hal terjadi perselisihan atau pertengkaran antara suami-isteri secara terus menerus dan tidak mungkin didamaikan
lagi, sebagai alasan perceraian.51
49Budi Susilo,Prosedur Gugatan Cerai(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007) hal.20 50Subekti,op.cit.,hal.42-43