BAB II PENGATURAN PERWALIAN KARENA PERCERAIAN
C. Perwalian
Untuk pengaturan perwalian di Indonesia dilihat dari dua paradigma yaitu saat sebelum dan setelah diberlakukannya Undang-undang terbaru yaitu Undang-undang Perkawinan Nomor I tahun 1974 tentang Perkawinan yang ditetapkan pada tanggal 2 Januari 1974.
1. Sebelum diberlakukannya UUP
Negara Indonesia menganut tiga sistem hukum yaitu sistem Hukum Adat, sistem Hukum Islam, dan sistem Hukum Barat (Kitab Undang-undang Hukum Perdata), dimana ketiga sistem hukum ini memiliki karakteristik dan ciri khas masing-masing yang mengakibatkan terjadinya perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Hal ini menyebabkan terjadinya pluralisme hukum di Indonesia.
Pada masa sebelum kemerdekaan negara Indonesia, ketiga sistem hukum tersebut diberlakukan bagi golongan-golongan penduduk yang berbeda-beda seperti yang diatur dalam ketentuan pasal 163 IS yang berasal dari pasal 109 RR baru menyatakan, bahwa dalam hubungan berlakunya BW di Indonesia, penduduk di Hindia Belanda dibagi dalam 3 golongan yaitu golongan Eropa, golongan Timur
asing dan golongan Bumiputera (Indonesia asli).58Pembagian golongan mejadi tiga kelompok tersebut juga berdampak kepada bidang hukum yang diberlakukan untuk golongan-golongan tersebut.
Untuk golongan Eropa terdiri dari orang-orang Belanda, orang-orang Eropa diluar Belanda, orang-orang Jepang, semua orang yang berasal dari wilayah lain dengan ketentuan wilayah itu tunduk kepada hukum keluarga yang secara substansial memiliki asas hukum yang sama dengan hukum Belanda. Untuk golongan Timur Asing terdiri dari orang-orang yang bukan merupakan orang Eropa atau pribumi yaitu orang-orang Arab, India atau Pakistan dan Cina. Untuk golongan Pribumi terdiri dari orang-orang Indonesia asli.
Setelah mengetahui pembagian ketiga golongan penduduk tersebut di atas maka kemudian dibedakan pemberlakuan ketentuan hukum bagi ketiga kelompok tersebut. Untuk golongan orang-orang Eropa diberlakukan KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan peraturan pencatatan sipilnya sebagaimana dimuat dalam Staatsblaad 1849 Nomor 25.
Untuk golongan Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan KUH Perdata dengan sedikit perubahan dan penambahan dan peraturan pencatatan sipilnya sebagaimana diatur dalam staatsblaad 1917 Nomor 130, sedangkan bagi golongan Timur Asing lainnya yaitu Arab, India atau Pakistan berlaku hukum adat dan agama mereka masing-masing sepanjang tidak
58Asis Safioedin,Beberapa Hal Tentang Burgerlijk Wetboek(Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990) hal.7
melakukan penundukan diri terhadap hukum perdata barat. Untuk golongan pribumi yang kemudian dibagi lagi menjadi golongan pribumi yang beragama Islam berlaku hukum (perkawinan) Islam yang telah diterima dalam hukum adat dan untuk pencatatannya telah diatur dalam Undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk Nomor 32 Tahun 1954 (yang berasal dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, talak, dan Rujuk yang semula berlaku untuk Jawa dan Madura), yang mencabut Huwelijks Ordonnantie Buitengewesten Staatsblaad 1932 Nomor 482 dan juga semua peraturan-peraturan dari Pemerintah Swapraja tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk untuk Umat Islam yang berlainan dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 sedangkan bagi golongan pribumi beragama Kristen di Jawa, Minahasa, dan Ambon berlaku
Huwelijkes Ordonnantie Christen Indonesia (Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia) dan sebagaimana dimuat dalam staatsblaad 1933 Nomor 74 dan peraturan pencatatan sipilnya dimuat dalam staatsblaad 1933 Nomor 75 dan bagi golongan pribumi lainnya berlaku hukum adat. Bagi mereka yang melakukan perkawinan campuran berlaku ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken) sebagaimana dimuat dalam Staatsblaad 1898 Nomor 158 dan peraturan pencatatan sipil bagi mereka yang melakukan perkawinan campuran ini mengikuti aturan-aturan dalam Staatsblaad 1904 Nomor 279.59Peraturan-peraturan yang digunakan antara lain:
a) Kitab Hukum Perdata (KUH Perdata)
Mengutip definisi perwalian dari Subekti tersebut di atas, perwalian adalah pengawasan anak di bawah umur. Anak di bawah umur yang berarti belum dewasa, menurut KUH Perdata pasal 330 adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Perwalian memiliki tiga asas60:
1) Asas tidak dapat dibagi-bagi kecuali, apabila seorang wali Ibu
(moedervoogdes)kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadimedevoogd.61
2) Asas persetujuan dari keluarga, dalam perwalian ini keluarga harus diminta persetujuan. Dalam hal keluarga tidak ada persetujuan dan tidak datang sesudah diadakan pemanggilan, maka dapat dituntut atas dasar pasal 524 KUH pidana.62
3) Asas orang-orang yang dipanggil menjadi wali atau yang diangkat menjadi wali.
Asas pertama menyebutkan, bahwa perwalian hanya ada satu wali, hal ini dapat dilihat dalam pasal 331 KUH Perdata yang menyebutkan perwalian mulai berlaku:63
1) Jika seorang wali dianggap oleh Hakim dan pengangkatan dilakukan dalam kehadirannya. Jika terjadi pengangkatan tidak dalam kehadirannya, saat pengangkatan harus diberitahukan kepadanya;64
60Soedharyo Soimin,Hukum Orang dan Keluarga(Jakarta: Sinar Grafika,2004) hal.56 61Subekti,op.cit.,hal.53
62Soedharyo Soimin, op.cit.,hal.57-58
63Martiman Prodjohamidjojo,Hukum Perkawinan Indonesia,(Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing,2001),hal.63-64
2) Jika seorang wali diangkat oleh salah satu dari kedua orang tuanya, pada saat pengangkatan itu, karena meninggalnya memperoleh kekuatan untuk berlaku dan si yang diangkat menyatakan sesanggupannya menerima pengangkatan itu;
3) Jika seorang perempuan bersuami diangkat sebagai wali, baik oleh Hakim maupun oleh salah satu dari kedua orangtuanya pada saat ia dengan bantuan atau kuasa dari suaminya atau dengan kuasa dari Hakim menyatakan kesanggupannya menerima pengangkatan itu;
4) Jika suatu perhimpunan yayasan atau lembaga amal atas permintaan atau kesanggupan sendiri diangkat menjadi wali pada saat mereka menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu;
5) Dalam hal termaksud dalam pasal 358 pada saat pengesahan;
6) Jika seorang menjadi wali karena hukum, pada saat terjadinya peristiwa yang mengakibatkan perwaliannya.
Dalam segala hal, bilamana suatu pemberitahuan tentang pengangkatan wali diatur oleh pasal-pasal dalam KUH Perdata. Balai Harta Peninggalan wajib menyelenggarakan pemberitahuan itu selekas-lekasnya. Menurut Pasal 331b KUH Perdata jika terhadap anak-anak belum dewasa yang ada di bawah perwalian, diangkat seorang wali lain atau karena hukum orang lain menjadi wali, maka berakhirlah perwalian yang pertama pada saat perwalian yang kedua mulai berlaku, kecuali Hakim menentukan saat yang lain.
Dalam Pasal 377 KUH Perdata yang dapat dibebaskan dari perwalian adalah sebagai berikut :
1) Mereka yang dalam melakukan jawatan negara berada di luar Indonesia; 2) Anggota-anggota tentara darat dan laut dalam menunaikan tugasnya;
3) Mereka yang melakukan jawatan umum di luar keresidenan mereka; atau pun merekalah, yang karena jawatan itu diwajibkan pergi ke luar keresidenan pada saat-saat tertentu; orang-orang tersebut dalam nomor-nomor yang lalu boleh meminta supaya dilepas dari perwalian, apabila alasan-alasan tertera di dalamnya, timbul setelah angkatan mereka;
4) Mereka yang telah mencapai umur genap enam puluh tahun; jika mereka diangkat sebelumnya, maka bolehlah mereka meminta supaya dilepas dari perwalian, setelah berumur enam puluh lima tahun;
5) Mereka yang terganggu oleh sesuatu penyakit atau kesusahan yang berat dan cukup terbukti; mereka terakhir boleh meminta dilepas, jika penyakit atau kesusahan itu timbul setelah angkatan mereka sebagai wali;
6) Mereka yang diserahi tugas memangku dua perwalian, sedangkan mereka sendiri tidak mempunyai anak-anak.
7) Mereka yang diserahi tugas memangku satu perwalian, sedangkan mereka sendiri mempunyai anak-anak;
9) Orang-orang perempuan. Orang perempuan yang dalam keadaan tak bersuami telah menerima suatu perwalian, boleh meminta supaya dilepas, apabila ia kawin.
10) Mereka yang tidak bertalian keluarga sedarah atau semenda dengan anak yang belum dewasa, jika dalam daerah hukum Pengadilan Negeri, dimana perwalian itu diperintahkan, ada keluarga sedarah atau semenda yang cakap memangkunya.
Pengaturan untuk yang dikecualikan dari Perwalian diatur dalam Pasal 379 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut :
1) Mereka yang sakit ingatan; 2) Mereka yang belum dewasa;
3) Mereka yang ada di bawah pengampuan;
4) Mereka yang telah dipecat, baik dari kekuasaan orang tua, maupun dari perwalian, namun yang demikian itu hanya terhadap anak-anak belum dewasa, yang mana dengan ketetapan Hakim mereka telah kehilangan kekuasaan orang tua atau perwalian mereka, dan dengan tak mengurangi ketentuan dalam pasal 318g dan 382d;
5) Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti, bendahara, juru buku dan agen Balai Harta Peninggalan, kecuali terhadap anak-anak tiri mereka sendiri.
Dalam perwalian yang berhak dan wajib melaksanakan adalah dimulai dari orangtua, saudara-saudara yang bertali darah, bertali adat atau bertali emas, atau dalam hubungan perkawinan menurut susunan masyarakat adat bersangkutan dan bentuk perkawinan yang dilakukan orangtua si anak (perkawinan jujur, perkawinan semenda, perkawinan bebas).
Pada umumnya menurut hukum adat semua anak yang belum dewasa ataupun sudah dewasa, belum kawin atau sudah kawin, kesemuanya berada di bawah pengaruh kekuasaan orangtua dan keluarga atau kerabatnya menurut susunan kemasyarakatan adat dan bentuk perkawinan yang dilakukan orangtuanya. Begitu pula baik orangtua maupun anggota keluarga atau kerabat dari anak dapat mewakili anak dalam perbuatan hukum di dalam atau di luar pengadilan. Perbuatan mewakili itu disesuaikan dengan persoalan yang dihadapi dan kepentingan yang akan diselesaikan bagi anak yang bersangkutan. Begitu pula harus diingat bahwa yang dimaksud dengan anak dalam keluarga atau kerabat adat tidak diukur menurut batas umur, dewasa atau belum dewasa, belum kawin atau sudah kawin, begitu pula apakah itu anak kandung ataukah anak adat, anak tiri, anak angkat, anak akuan, anak asuh, anak pungut dan lain sebagainya.
Di lingkungan masyarakat yang patrilineal (patriarchat) yang berkuasa atas pemeliharaan anak dan pendidikan anak, termasuk harta kekayaan, penguasaannya berada terutama di tangan bapak dan anggota keluarga atau kerabat menurut garis pria. Pengertian penguasaan di tangan bapak dan anggota keluarga atau kerabat pria, ialah segala sesuatunya yang terutama mengatur kepentingan si anak adalah pihak
bapak, yang pengaturannya berdasarkan musyawarah (kesepakatan) kerabat pria. Hal ini tidak berarti bahwa pihak ibu atau pihak wanita tidak diikutsertakan tetapi yang lebih besar peranannya adalah menurut garis bapak, sedangkan pihak ibu sebagai pelengkap. Mungkin juga pihak Ibu yang aktif menyelesaikan tetapi tetap apa yang dilakukannya adalah atas nama pihak bapak si anak. Dalam masyarakat yang susunannya matrilineal (matriachat), yang terutama berperanan adalah pihak ibu. Kaum pria dari pihak ibu si anak, sedangkan pihak bapak menjadi pelengkap. Hal mana tidak berarti dari pihak bapak tidak dapat mewakili si anak, namun kedudukannya sebagai wakil adalah atas nama dari pihak ibu. Di dalam masyarakat yang bersifat parental ataupun bilateral yang berkuasa atas pemeliharaan anak dan pendidikan anak terutama adalah orangtua, yaitu bapak dan ibunya bersama-sama. Jika salah satu dari orangtua sudah tidak ada, maka ayah atau ibu yang masih hidup bertanggung jawab; apabila semua orangtua sudah tidak ada lagi, maka terserah diantara saudara-saudara ayah atau saudara-saudara ibu yang mampu dan bersedia untuk mendidik dan memelihara anak itu. Kalau juga tidak ada di antara anggota keluarga atau kerabat dari orangtua yang dekat atau jauh yang bersedia melaksanakan kekuasaan orangtua dan menjadi wali si anak, dapat saja dilaksanakan oleh para tetangga atau sahabat kenalan orangtua yang bersedia.
Pada umumnya keluarga-keluarga Indonesia dalam memelihara dan mendidik anak kemenakannya tidak suka memperhitungkan sebagai kerugian, dikarenakan pengaruh rasa kekeluargaan, rasa keagamaan, dan perikemanusiaan. Hal ini tidak berarti tidak adanya lintah darat dalam pengurusan anak yang memiliki harta warisan
dari orangtuanya. Dalam hal terjadi demikian dapat saja anggota keluarga terdekat lainnya mengajukan masalahnya ke pengadilan, agar kekuasaan orangtua dari si anak atau wali si anak dicabut dan dialihkan kepada orangtua atau wali yang lain, apabila musyawarah keluarga/ kerabat bersangkutan tidak dapat mengatasinya.65
c) Hukum Islam
Di dalam hukum Islam tidak ada aturan yang khusus mengatur kekuasaan orangtua dan perwalian terhadap anak. Namun berdasar kaidah-kaidah yang sudah ada dapat diketahui bahwa yang berhak dan wajib melaksanakan kekuasaan dan perwalian terhadap anak secara berurut dalam urutan pertama adalah bapak atau kakek atau buyut yang masih hidup yang mampu dan tidak ada halangannya. Menurut hukum Islam syarat untuk menjadi wali adalah beragama Islam, sudah dewasa, berakal sehat dan dapat berlaku adil, dan terutama ditarik menurut garis lelaki
(patrilineal).
Apabila pada urutan pertama sudah tidak ada atau tidak mampu atau berhalangan, maka yang berhak dan wajib melaksanakan kekuasaan orangtua dan perwalian adalah pada urutan kedua, yaitu salah satu dari saudara lelaki yang seibu sebapak atau sebapak saja. Jadi dapat saja kakak lelaki menjadi wali dari adik dan sebaliknya, baik yang sekandung maupun yang sebapak saja. Apabila pada urutan kedua tersebut tidak ada, tidak mampu atau berhalangan, maka yang berhak dan wajib melaksanakan kekuasaan orangtua atau bertindak sebagai wali adalah pada
65Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Indonesia menurut: perundangan,hukum
urutan ketiga yaitu, para paman yang sebapak seibu dengan ayah atau paman yang sebapak saja dengan ayah; apabila urutan ketiga tidak ada, tidak mampu dan berhalangan, maka yang berhak dan harus bertanggung jawab adalah urutan keempat yaitu para anak dari paman yang sekandung dengan ayah atau yang sebapak dengan ayah. Dengan demikian perwalian bagi anak-anak sama dengan wali nikah.
Jadi jika kita mengikuti mahzab Syafi’i maka semua anggota keluarga atau wanita mulai dari ibu tidak berhak melaksanakan kekuasaan orangtua dan perwalian anak. Lain halnya dengan mahzab Hanafi, Ibu atau anggota keluarga atau kerabat lain yang wanita boleh melaksanakan kekuasaan orangtua dan perwalian anak.
Jika kesemua urutan yang berhak tersebut tidak ada sama sekali, tidak mampu atau berhalangan semua, maka yang dapat menjalankan kekuasaan orangtua dan perwalian terhadap anak adalah Sultan (pejabat pemerintahan), atau Kadhi (Hakim), sebagaimana hadis riwayat Abu Daud, Tirmidzi dan Ibn Hibban bahwa Nabi menyatakan,’Sultan itu wali bagi orang yang tidak mempunyai wali’. Bahkan menurut mahzab Maliki dan Hambali kalau wali Hakim tidak ada (tidak mampu atau berhalangan) maka setiap orang Islam yang adil dapat menjadi wali.66
Menurut pendapat Soerjono Soekanto mengenai penggolongan penduduk adalah sebagai berikut :67
“Dewasa ini, di antara mereka yang tidak tergolong ke dalam golongan Indonesia, banyak yang telah menjadi Warga negara Indonesia, akan tetapi bagi mereka tetap berlaku hukum yang berbeda. Jelaslah bahwa sistem hukum yang demikian tidak
66Ibid, hal. 155-156 67
mungkin dipertahankan oleh karena tertinggal jauh oleh bidang-bidang lain- lainnya yang menyangkut kebutuhan masyarakat.”
Pada tanggal 2 Januari 1974 Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor I tahun 1974 dalam rangka menyatukan pengaturan perkawinan, termasuk di dalamnya mengatur perwalian yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia.
2. Setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP)
UUP berlaku untuk setiap warga negara Indonesia yang merupakan Undang- undang unifikasi, yang tadinya dianggap oleh para ahli hukum tidak mungkin didalam hukum perkawinan.
Undang-undang ini mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menampung segala kenyataan yang hidup di dalam masyarakat dewasa ini, yaitu unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya.
Undang-undang ini mengandung asas monogami, tetapi memberikan kesempatan bagi mereka yang menurut agamanya dapat beristri lebih dari seorang dengan mengatur dengan cara memenuhi ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang ini.
Perceraian dipersempit, hanya dapat dilakukan dimuka Pengadilan. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
a) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua, berada di bawah kekuasaan wali.
b) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Mengenai kewajiban dan tanggung jawab wali diatur dalam Pasal 51 UUP. Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang saksi. Mengenai pencabutan kekuasaan wali diatur dalam Pasal 52 UUP. Seorang wali yang telah menyebabkan kerugian harta benda anak yang di bawah kekuasaannya dapat dituntut untuk mengganti kerugian tersebut Pasal 54 UUP.
Namun dalam penerapan di lapangan UUP ternyata masih belum cukup mengakomodir kebutuhan semua golongan suku yang ada di Indonesia. Melihat kenyataan tersebut maka ketentuan-ketentuan hukum mengenai perkawinan yang belum diatur dalam UUP diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan yang sebelumnya.
Setelah keluarnya UUP tersebut mengenai perwalian diatur juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
“dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan bakat dan minatnya, dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak maka kewajiban dan tanggung jawab tersebut dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dalam hal orang tua melalaikan kewajiban dan tanggung jawabnya tersebut terhadap anak mereka terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orangtua dapat dicabut. Dengan pencabutan tersebut maka salah satu orangtua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orangtua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu.
Pengaturan perwalian dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, dalam hal orangtua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan, untuk menjadi wali tersebut diperlukan penetapan pengadilan.,
Pengaturan perwalian diantara KUH Perdata, UUP dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dapat disimpulkan sebagai berikut perwalian menurut UUP adalah untuk anak dibawah umur (belum mencapai delapan belas tahun) atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya
menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak yang pengangkatannya dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Dari ketiga peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa perwalian terjadi ketika seorang anak di bawah umur yang tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tua dan juga belum pernah melangsungkan perkawinan yang berada di bawah pengurusan seseorang atau badan yang ditunjuk oleh Hakim melalui penetapan Pengadilan. Anak yang berada di bawah perwalian adalah:
1. Anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orangtua;
2. Anak sah yang orangtuanya telah bercerai; 3. Anak yang lahir diluar perkawinan
Selain dari ketiga peraturan di atas perwalian untuk anak luar kawin diatur juga di dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Di dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia disebutkan untuk anak warga negara Indonesia yang merupakan anak luar kawin, belum berusia 18 tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai warga negara Indonesia.
Untuk pencatatan kelahirannya sendiri dari anak luar kawin di bawah umur tersebut menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bahwa wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia. Namun apabila
ternyata di negara setempat tidak dilakukan pencatatan kelahiran bagi anak luar kawin di bawah umur tersebut maka pencatatan dilakukan di perwakilan Republik Indonesia setempat yang kemudian mencatat peristiwa kelahiran tersebut dalam register akta kelahiran dan menerbitkan kutipan akta kelahiran yang dilaporkan kepada instansi pelaksana paling lambat 30 hari sejak warga negara Indonesia yang bersangkutan kembali ke Indonesia.
Untuk prosedur pengakuan anak luar kawin yang di bawah umur yang belum kawin diatur juga di dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yaitu bahwa pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Surat Pengakuan Anak oleh Ayah dan disetujui oleh Ibu dari anak yang bersangkutan.