• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PERWALIAN KARENA PERCERAIAN

B. Perceraian

Salah satu penyebab terjadinya perwalian adalah dikarenakan perceraian, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan orang tua. Mengapa hanya menjelaskan perceraian dalam penelitian ini sebagai penyebab terjadinya perwalian? Karena putusan MA No. 372K/ PDT/ 2008 dalam penelitian ini adalah permohonan perwalian yang diawali dari suatu perceraian di antara kedua orang tuanya. Berbagai hukum mengenai perceraian di Indonesia adalah sebagai berikut :47

1. Bagi orang-orang Eropa dan keturunan Eropa, berlaku KUH Perdata atau

Burgerlijk Wetboek(BW);

2. Bagi orang-orang Cina dan keturunan Cina berlaku KUH Perdata atau BW; 3. Bagi orang-orang Timur Asing bukan Cina (Arab, India dan sebagainya)

berlaku hukum adat mereka masing-masing

4. Bagi orang Indonesia asli berlaku bermacam-macam aturan yaitu :

a) Bagi orang beragama Islam, berlaku hukum Islam sebagai bagian dari hukum adat;

b) Bagi yang beragama Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon berlaku

Huwelijkes Ordonnantie Christien Indonesiers(HOCI) (S 1933 No 74); c) Bagi mereka yang tidak termasuk a dan b berlaku hukum adatnya diatur

dalam Pasal 131 ayat 6Indische Staatsregeling(IS).

5. Bagi mereka yang berada dalam perkawinan campuran berlaku Gemengde Huwelijken Regeling(GHR) (S 1898 No 158).

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) bagi semua warga negara pada tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP, maka berbagai hukum tersebut di atas yang berdasarkan Pasal 131 IS menjadi terhapus, sepanjang ketentuan Pasal 66 UUP.

Pasal 66 UUP telah menghapus semua ketentuan-ketentuan mengenai dan berhubungan dengan perkawinan yang dijumpai dalam BW, HOCI, GHR dan peraturan-peraturan lain sejauh materinya telah diatur dalam UUP. Jadi menurut Pasal ini yang dihapus, atau tidak berlaku itu adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam beberapa peraturan yang telah ada, sejauh hal-hal itu telah diatur dalam undang- undang ini, bukan peraturan perundangan itu secara keseluruhan, sehingga hal-hal yang tidak diatur dan tidak bertentangan dengan UUP, masih tetap dipakai.

Penelitian ini menyangkut golongan keturunan etnis Cina maka untuk penerapan hukum perwalian yang digunakan untuk menganalisis kasus ini berpedoman kepada KUH Perdata karena dalam UUP masih belum banyak mengatur mengenai perwalian karena perceraian sebanyak yang diatur dalam KUH Perdata,

maka hal-hal yang tidak diatur dan tidak bertentangan dengan UUP, masih tetap dipakai pengaturan dalam KUH Perdata.

Semua peraturan yang mengatur hubungan-hubungan masyarakat seperti pengaturan perkawinan, perceraian, perwalian disebut dengan hukum objektif. Peraturan itu tertuju kepada semua orang secara umum tanpa menunjukkan kepada orang-orang tertentu. Artinya peraturan itu tidak memihak, karena jika memihak tentu sulit, bagaimana caranya untuk membuat peraturan yang berlaku kepada setiap orang? Hukum objektif adalah peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah yang mengatur hubungan-hubungan sosial.48

Perceraian di dalam KUH Perdata didahului dengan adanya pisah meja dan ranjang antara pasangan suami isteri. Perpisahan meja dan ranjang ini harus dilakukan sampai genap lima tahun. Apabila tidak diikuti dengan adanya perdamaian antara suami-isteri maka dapatlah dilakukan perceraian dengan putusan Hakim.

Perceraian menurut UUP hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Di mata hukum, perceraian tentu tidak bisa terjadi begitu saja. Artinya, harus ada alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan sebuah perceraian. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang berwenang memutuskan, apakah sebuah perceraian layak untuk dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang

48Syahruddin Husein,Pengantar Ilmu Hukum(Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 2004) hal. 172

menyangkut konsekuensi terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan perceraian.49

Dalam mengajukan gugatan perceraian, alasan bercerai menjadi pertimbangan penting bagi pengadilan untuk menindaklanjuti gugatan cerai tersebut. Karena itu Penggugat harus memiliki alasan bercerai yang dibenarkan dan sah menurut hukum. Di lain sisi, alasan bercerai juga menjadi pertimbangan atau tolak ukur bagi pengadilan dalam memutuskan sejumlah persoalan lain yang terkait erat dengan proses perceraian itu sendiri.

Alasan-alasan perceraian menurut KUH Perdata ada empat macam yaitu :50 1. Zina(overspel);

2. Ditinggalkan dengan sengaja(kwaadwillige verlating)

3. Penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan dan

4. Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa.

Kemudian empat alasan dalam Pasal 209 KUH Perdata ini diperluas oleh Jurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 12 Juni 1968 Nomor 105 K/ Sip/ 1968, tentang diterimanya onheelbare tweespalt yaitu dalam hal terjadi perselisihan atau pertengkaran antara suami-isteri secara terus menerus dan tidak mungkin didamaikan lagi, sebagai alasan perceraian.51

49Budi Susilo,Prosedur Gugatan Cerai(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007) hal.20 50Subekti,op.cit.,hal.42-43

51Djaja S. Meliala,Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga (Bandung: Nuansa Aulia, 2007) hal. 124

Setelah diundangkannya UUP maka maka ditambahkan dua alasan lagi termasuk di dalamnya alasan karena perselisihan dari Jurisprudensi MA RI disebutkan diatas :

1. Salah satu pihak mendapat cacad badan/ penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ isteri;

2. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan/ pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (Pasal 19 PP 9/ 1975). Umumnya proses pengajuan gugatan perceraian ditempuh melalui sejumlah tahapan, yaitu sebagai berikut :52

1. Mengajukan permohonan atau gugatan perceraian

2. Pengadilan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah permohonan tersebut diajukan, harus memanggil pasangan suami-isteri terkait untuk diminta penjelasan atas alasan gugatan perceraian yang diajukan. Namun sebelumnya, pengadilan harus mengupayakan jalan perdamaian.

3. Proses persidangan mulai dari pengajuan gugatan sampai dengan putusan. 4. Tahap eksekusi, sejumlah dampak yang timbul akibat eksekusi perceraian

adalah, sebagai berikut :

a) Terhadap suami-isteri, hubungan ikatan perkawinan menjadi putus. b) Terhadap anak, adanya penjatuhan hak asuh anak.

c) Terhadap harta benda, harta bersama dibagi rata, terkecuali harta bawaan dan perolehan, selama tidak diatur lain dalam perjanjian, dan diluar penentuan kewajiban nafkah dari pihak pria untuk mantan isteri dan anak. Akibat perceraian (menurut KUH Perdata) :53

1. Istri mendapatkan kembali statusnya sebagai wanita yang tidak kawin.

2. Persatuan harta perkawinan menjadi terhenti, dan dapat dilakukan pemisahan dan pembagiannya, harta bersama dibagi dua (Pasal 128 KUH perdata), dalam hal perkawinan yang kedua kalinya diatur dalam Pasal 181 dan 182 KUH Perdata.

3. Kekuasaan orang tua juga terhenti, untuk anak di bawah umur terserah kepada Pengadilan, siapa yang akan ditunjuk menjadi wali (Pasal 229 ayat 1 KUH Perdata). Kewajiban memberi nafkahpun akan terhenti kecuali apa yang diatur dalam Pasal 225 KUH Perdata.

Pasal 225 KUH Perdata mengatur mengenai ketidakmampuan salah satu pihak dari orang tua yang bercerai yang ditunjuk untuk menafkahi anak-anak maka dari pihak yang satu baik si mantan suami atau si mantan isteri diharuskan membayar sebagian tunjangan yang telah ditentukan oleh Pengadilan Negeri untuk membantu pihak yang tidak mampu.

Hubungan antara bekas suami dan bekas isteri tetap ada, apabila pihak yang minta bercerai dan yang dimenangkan oleh Hakim, tidak mempunyai cukup kekayaan

untuk biaya hidup dalam hal mana pihak yang dikalahkan dapat ditentukan oleh Hakim untuk memberi nafkah kepada pihak yang lain (Pasal 225 KUH Perdata).54

Kepada si isteri, jika ia tidak mempunyai penghasilan cukup dan kepada anak- anak yang diserahkan pada si isteri itu oleh Hakim dapat ditetapkan tunjangan nafkah yang harus dibayar oleh suami tiap waktu tertentu. Permintaan untuk diberikan tunjangan nafkah ini oleh si isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatannya untuk mendapatkan perceraian atau tersendiri. Penetapan jumlah tunjangan oleh Hakim diambil dengan mempertimbangkan kekuatan dan keadaan si suami. Apabila keadaan ini tidak memuaskan, suami dapat mengajukan permohonannya supaya penetapan itu oleh Hakim ditinjau kembali.

Adakalanya juga, jumlah tunjangan itu ditetapkan sendiri oleh kedua belah pihak atas dasar kesepakatan. Juga diperbolehkan untuk mengubah dengan perjanjian ketentuan-ketentuan mengenai tunjangan tersebut yang sudah ditetapkan dalam keputusan Hakim. Jika seorang janda kawin lagi, ia kehilangan haknya untuk menuntut tunjangan dari bekas suaminya.55

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut UUP ialah :

1. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

54Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia(Jakarta: Sumur Bandung, 1991) hal.154

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana Bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut;

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/ atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Dari kedua penjelasan mengenai akibat perceraian menurut KUH Perdata dengan UUP terdapat perbedaan, di dalam KUH Perdata disebutkan akibat dari perceraian menimbulkan perwalian sedangkan di dalam UUP akibat dari perceraian hanya mengatur kewajiban dari orang tua khususnya Bapak terhadap anak.

Jadi melihat dari pengaturan perceraian dalam KUH Perdata maka bagi anak yang orang tuanya bercerai mereka berada di bawah perwalian karena kekuasaan orang tua telah berakhir.

Bagi orang-orang yang takluk pada KUH Perdata, yaitu bagi orang-orang Cina dan Eropa, berlaku Pasal-pasal 229 sampai dengan 230c KUH Perdata, yang pada pokoknya menguasakan kepada Pengadilan Negeri untuk menentukan siapa dari kedua orang tua yang bercerai itu, diwajibkan memelihara anak-anaknya.56

Isi Pasal 229 KUH Perdata :

“Setelah perceraian diperintahkan, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah akan kedua orang tua dan sekalian keluarga sedarah dan semenda dari anak-anak yang belum dewasa. Pengadilan Negeri menetapkan terhadap tiap-tiap anak, siapakah dari kedua orang tua itu, kecuali sekiranya keduanya telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua mereka, harus melakukan perwalian atas anak-anak itu,

dengan mengindahkan keputusan-keputusan Hakim yang dulu-dulu, dengan mana kiranya pernah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua.

Penetapan ini berlaku setelah hari keputusan perceraian memperoleh kekuatan mutlak. Sebelum itu pemberitahuan tak usah dilakukan dan perlawanan atau permintaan bandingan tak boleh dimajukan.

Terhadap Penetapan itu, si bapak atau si ibu yang tidak diangkat menjadi wali, boleh melakukan perlawanan, apabila ia atas panggilan termaksud dalam ayat pertama, telah tidak datang menghadap. Perlawanan itu harus dimajukan dalam waktu tiga puluh hari setelah Penetapan diberitahukan kepadanya.

Si bapak atau si ibu yang setelah datang menghadap atas panggilan tidak dijadikan wali, atau yang perlawanannya telah ditolak, boleh memajukan permintaan banding terhadap penetapan tersebut, dalam waktu tiga puluh hari setelah hari tersebut dalam ayat kedua.

Ayat keempat Pasal 206 berlaku terhadap pemeriksaan kedua orang tua”. Isi Pasal 230 KUH Perdata:

“Berdasar atas hal-hal yang terjadi setelah keputusan perceraian memperoleh kekuatan mutlak, Pengadilan Negeri berkuasa mengubah penetapan-penetapan yang diberikan menurut ayat pertama pasal yang lalu, atas permintaan kedua orangtua atau salah seorang mereka dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah akan kedua orang tua itu, wali pengawas dan para keluarga sedarah dan semenda dari anak-anak yang belum dewasa. Penetapan ini boleh dinyatakan, segera dapat dilaksanakan, kendati perlawanan atau banding, dengan atau tanpa ikatan jaminan

Apa yang ditentukan dalam ayat ke lima Pasal 206, berlaku dalam hal ini”. Isi Pasal 230a KUH Perdata :

“Jika kiranya anak-anak yang belum dewasa itu tidak sesungguhnya telah berada dalam kekuasaan seorang, yang menurut Pasal 229 atau 230 diwajibkan melakukan perwalian, atau dalam kekuasaan si suami, si isteri, atau Dewan Perwalian, kepada siapa anak-anak itu dipercayakannya, menurut Pasal 214 ayat kesatu, maka dalam penetapan harus diperintahkan pula penyerahan anak-anak tersebut.

Ketentuan dalam ayat kedua, ketiga, keempat dan kelima Pasal 319h berlaku dalam hal ini”.

Isi Pasal 230b KUH Perdata :

“Dalam penetapan termaksud dalam ayat kesatu Pasal 229, Pengadilan Negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah seperti teratur pula dalam ayat tersebut, dan setelah mendengar Dewan Perwalian, jika kiranya ada kekhawatiran, bahwa si bapak atau si ibu, yang tidak diangkat menjadi wali, tidak akan memberi tunjangan secukupnya guna pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang belum

dewasa boleh memerintahkan pula kepada orang tua itu supaya untuk keperluan tersebut tiap-tiap minggu, tiap-tiap bulan atau triwulan memberikan sejumlah uang, yang ditentukan pula dalam penetapan, kepada Dewan Perwalian.

Ketentuan-ketentuan dalam ayat kedua, ketiga, keempat dan kelima Pasal 229 berlaku juga terhadap perintah ini”.

Pengadilan Negeri yang menentukan siapa yang menjadi wali setelah memeriksa keadaan orang tua apakah ada diantara mereka yang telah dipecat dari kekuasaan orang tuanya. Penetapan wali berlaku setelah keluarnya keputusan perceraian yang berkekuatan hukum mutlak. Apabila dari pihak bapak atau Ibu yang tidak diangkat menjadi wali keberatan terhadap hasil penetapan tersebut dapat mengajukan perlawanan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah penetapan wali keluar, apabila perlawanannya ditolak dapat mengajukan banding.

Suatu penetapan pengangkatan wali dapat diubah oleh Pengadilan Negeri apabila ada yang mengajukan keberatan namun sebelumnya mendengarkan penjelasan dari kedua orang tua, wali pengawas dan para keluarga sedarah dan semenda dari anak-anak yang belum dewasa atau di bawah umur tersebut. Penetapan ini sifatnya harus segera dilaksanakan setelah hari keputusan perceraian memperoleh kekuatan mutlak (Pasal 229 KUH Perdata).

Sebelum putusan dijatuhkan, selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan demi kebaikan suami isteri beserta anak-anaknya, pengadilan dapat mengizinkan suami isteri untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Demikian pula proses perceraian yang sedang terjadi antara suami-isteri, tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya memberikan nafkah kepada isterinya dan

anak-anaknya. Harus dijaga jangan sampai harta kekayaan baik yang dimiliki bersama oleh suami isteri maupun harta kekayaan suami atau isteri menjadi telantar atau tidak terurus dengan baik, sebab hal seperti itu tidak hanya menimbulkan kerugian kepada suami isteri, melainkan mungkin juga mengakibatkan kerugian bagi pihak lain atau pihak ketiga. Oleh karena itu, selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat :

1. Menentukan nafkah yang harus ditanggung suami;

2. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, seperti biaya sekolah, biaya makan sehari-hari, biaya kesehatan dan lain sebagainya

3. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak isteri.

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas bermaksud untuk melindungi kepentingan-kepentingan anak-anak yang masih di bawah umur korban perceraian kedua orang tuanya, agar hidup mereka tetap selalu terjamin ke depannya hingga mereka dewasa meskipun sudah tidak lagi tinggal serumah dengan kedua orang tua yang utuh.

Menurut Pasal 230c KUH Perdata :

“Dalam hal tak adanya perintah seperti termaksud dalam ayat kesatu Pasal yang lalu. Dewan Perwalian boleh menuntut akan tunjangan itu di muka Hakim, setelah Putusan perceraian dibukukan dalam register catatan sipil”.

Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat perkawinan, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.57

Dokumen terkait