DAN PERIKANAN KOTA BINJAI PADA TAHUN 2005
TESIS
Oleh
DIKKO AMMAR
097011087/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DAN PERIKANAN KOTA BINJAI PADA TAHUN 2005
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
DIKKO AMMAR
097011087/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PELAYANAN TEKHNIS DAERAH (UPTD) BALAI BENIH IKAN DINAS PETERNAKAN
DAN PERIKANAN KOTA BINJAI PADA
TAHUN 2005 Nama Mahasiswa : Dikko Ammar
Nomor Pokok : 097011087
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Syamsul Arifin, SH, MH) (Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Syamsul Arifin, SH, MH
Nim : 097011087
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : ANALISIS HUKUM GANTI RUGI PADA PENGADAAN
TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM YANG
DILAKUKAN PEMERINTAH KOTA BINJAI
UNTUK PEMBANGUNAN KANTOR UNIT
PELAYANAN TEKHNIS DAERAH (UPTD) BALAI BENIH IKAN DINAS PETERNAKAN DAN
PERIKANAN KOTA BINJAI PADA TAHUN 2005 Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
ikan dinas peternakan dan perikanan, dimana proyek pengadaan tanah tersebut dimulai pada tahap perencanaan tahun 2004 dan pelaksanaan dimulai pada akhir Tahun 2005 Pelaksanaan pengadaan tanah hingga proses akhir penyelesaian rampung hingga akhir Tahun 2006, sehingga keluar Peraturan Presiden republik Indonesia tentang pengadaan tanah yang baru yakni Peraturan Presiden republik Indonesia nomor 65 Tahun 2006.
Maka terjadi perbandingan tiga ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah, antara lain sebelum keluarnya Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005, yakni Keputusan Presiden nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden nomor 36 tahun 2005 itu sendiri, serta sesudah keluarnya Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005 yakni Peraturan Presiden nomor 65 Tahun 2006, Landasan hukum pengadaan tanah yang dipergunakan ialah Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005.
Proses ganti rugi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota untuk keperluan pembangunan kantor unit pelaksana tekhnis daerah (UPTD) balai benih ikan dinas peternakan dan perikanan Binjai pada tahun 2005 sesuai dengan prosedur, yakni berdasarkan ketentuan dari Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia nomor 1 tahun 1994 tentang ketentuan pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 55 tahun 1993 tentang pengadaan tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan umum.
Ganti rugi yang telah disepakati antara masyarakat dan pemerintah kota Binjai ialah dalam bentuk uang tunai sebesar Rp. 22.480,- (dua puluh dua ribu empat ratus delapan puluh rupiah) untuk setiap meter perseginya dan untuk total tanah keseluruhan seluas 4.474,75 M2 (empat ribu empat ratus tujuh puluh empat koma tujuh puluh lima meter persegi) atau sejumlah Rp. 100.592.380,- (seratus juta lima ratus sembilan puluh dua ribu tiga ratus delapan puluh rupiah) sebagaimana yang dituangkan dalam Surat Keputusan Walikota Binjai nomor 593-2129/K/2005 tertanggal 16 September 2005.
Fish Service where the project of providing the land began its plan in 2004 and the implementation began at the end of 2005. The last process of providing the land completed in 2006 so that the new President Regulations of the Republic of Indonesia no.65/2006 came out.
There were three kinds of government executory provisions; namely, the President Regulations No.36/2005 which consisted of the President Decree No.55/1993 and the President Regulations No.36/2005 itself and after the appearance of the President Regulations No.36/2005; namely, the President Regulations No.65/2006. The legal basis of providing the land was the President Regulations No 36/2005.
The process of compensation conducted by the Municipal Government to build the UPTD office for fish hatchery of Livestock and Fish Service in 2005 had met the procedure which was based on the Regulations of the State Minister of Land, in this case, Head of National Land Board of the Republic of Indonesia No. 1/1994 on the implementation of the Regulation of the President of the Republic of Indonesia No.55/1993 on the land provision for the implementation of public utility.
The agreed compensation between the residents and the government of Binjai was Rp. 22,480 (twenty two thousand four hundred and eighty rupiahs) in cash for each square meter for the total number of 4,474.75 m2(four thousand four hundred and seventy four point seventy five square meters) or the total of Rp.100,592,380 (one hundred million five hundred ninety two thousand three hundred and eighty rupiahs) as it was stipulated in the Mayor Decree no. 593/2129/K/2005 on September 16, 2005.
GANTI RUGI PADA PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN
UMUM YANG DILAKUKAN PEMERINTAH KOTA BINJAI UNTUK
PEMBANGUNAN KANTOR UNIT PELAYANAN TEKHNIS DAERAH
(UPTD) BALAI BENIH IKAN DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KOTA BINJAI PADA TAHUN 2005 ”.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, Penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. BapakProf. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi
Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. MHum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi
Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. BapakProf. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN,selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus
Pembimbing Utama yang dengan penuh perhatian memberikan bimbingan dan
saran kepada Penulis.
4. IbuDr. T. Keizerina Devi, A, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Penguji yang
7. Bapak Notaris Syafnil Gani SH, MHum, selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan serta kritik yang membangun kepada Penulis.
8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu staf pengajar serta para pegawai di Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Kepada yang terhormat dan terkasih kedua orang tuaku (Alm) Agustin Effendy
dan Sri Hidayati yang telah sabar dan ikhlas membesarkan dan memberikan
dukungan kepada Penulis hingga memperoleh gelar Magister Kenotariatan.
10. Buat keluarga besarku, Kakak-kakakku Nia Agraida Sari dan suami, Mira
Agraida dan suami, adik-adikku Dikki Tamara dan Zia August serta Aisya
Agraida, serta keponakan-keponakan yang lucu-lucu dan membanggakan, terima
kasih yang tulus buat doa dan semangatnya.
11. Kepada yang terhormat juga disampaikan kepada (Alm) Notaris Muli Malem
Ginting, yang banyak Memotofasi penulis untuk melanjutkan studi ke Magister
Kenotariatan.
12. Buat Notaris Nilawati, Pengacara Suwandi, beserta rekan-rekan yang lain, Kak
Dewi, Edo, Sinta, Yuli, terimakasih atas dukungan waktu dan Motifasinya, hingga
penulis memperoleh gelar Magister Kenotariatan.
13. Buat teman-temanku, Arif, terimakasih untuk yang selalu menemaniku pada saat
melakukan penelitian di lapangan.
14. Untuk Fitria Azfin, terimakasih untuk dukungan semangatnya.
15. Keluarga besar mahasiswa-mahasiswi Program Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Angkatan 2009 terkhusus kelas A (ketua
kelas : J.E. Melky Purba, makasih ya bang untuk penyemangat teman-teman
dilokal A dalam menyelesaikan tesis) semoga kekeluargaan kita terjaga selalu dan
menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Desember 2011 Penulis,
Nama : Dikko Ammar
Tempat/Tanggal lahir : Binjai, 19 Mei 1984
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status : Lajang
Agama : Islam
Alamat : Jl. Jati Nomor 18, Kelurahan Jati Negara
Kecamatan Binjai Utara, Kota Binjai.
II. KELUARGA
Nama Ayah : Alm. Agustin Effendy
Nama Ibu : Sri Hidayati.
III. PENDIDIKAN
1. SD Negeri Nomor 028288 Binjai (1990-1996)
2. SMP Negeri 1 Binjai (1996-1999)
3. SMU Negeri 1 Binjai (1999-2002)
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi Medan (2003-2007)
5. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Keaslian Penelitian ... 8
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11
1. Kerangka Teori ... 11
2. Konsepsi ... 20
G. Metode Penelitian... 22
1. Sifat Penelitian... 22
2. Jenis Penelitian ... 22
3. Metode Pengumpulan Data... 24
4. Alat Pengumpulan Data... 25
5. Analisis Data... 26
BAB II PERBANDINGAN ANTARA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 55 TAHUN 1993 DENGAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 36 TAHUN 2005 SERTA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 65 TAHUN 2006 PADA PENGADAAN TANAH YANG DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH KOTA BINJAI PADA TAHUN 2005... 27 A. Pengaturan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Tahun 2006. ... 34
C. Pengaturan Pelaksanaan Pengadaan Tanah menurut Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 serta Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 ... 39
BAB III KONSEP GANTI RUGI TERHADAP TANAH YANG DI BELI OLEH PEMERINTAH KOTA BINJAI DARI MASYARAKAT UNTUK PEMBANGUNAN KANTOR UNIT PELAYANAN TEKNIS DAERAH (UPTD) BALAI BENIH IKAN DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KOTA BINJAI PADA TAHUN 2005... 46
A. Tinjauan Umum Ganti Rugi... 46
B. Konsep ganti rugi yang dilakukan Pemerintah kota Binjai pada pengadaan tanah untuk kepentingan umum... 62
BAB IV PENETAPAN HARGA DALAM PELAKSANAAN GANTI RUGI PADA PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM YANG DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH KOTA BINJAI ... 66
A. Proses Penetapan harga dalam Pelaksanaan Ganti Rugi Pada Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum... 66
B. Kendala Teknis dan Yuridis dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Unit Pelaksanaan Teknis Daerah Balai Benih Ikan Dinas Peternakan dan Perikanan Kota Binjai pada Tahun 2005 ... 94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 99
A. Kesimpulan ... 99
B. Saran ... 100
ikan dinas peternakan dan perikanan, dimana proyek pengadaan tanah tersebut dimulai pada tahap perencanaan tahun 2004 dan pelaksanaan dimulai pada akhir Tahun 2005 Pelaksanaan pengadaan tanah hingga proses akhir penyelesaian rampung hingga akhir Tahun 2006, sehingga keluar Peraturan Presiden republik Indonesia tentang pengadaan tanah yang baru yakni Peraturan Presiden republik Indonesia nomor 65 Tahun 2006.
Maka terjadi perbandingan tiga ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah, antara lain sebelum keluarnya Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005, yakni Keputusan Presiden nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden nomor 36 tahun 2005 itu sendiri, serta sesudah keluarnya Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005 yakni Peraturan Presiden nomor 65 Tahun 2006, Landasan hukum pengadaan tanah yang dipergunakan ialah Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005.
Proses ganti rugi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota untuk keperluan pembangunan kantor unit pelaksana tekhnis daerah (UPTD) balai benih ikan dinas peternakan dan perikanan Binjai pada tahun 2005 sesuai dengan prosedur, yakni berdasarkan ketentuan dari Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia nomor 1 tahun 1994 tentang ketentuan pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 55 tahun 1993 tentang pengadaan tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan umum.
Ganti rugi yang telah disepakati antara masyarakat dan pemerintah kota Binjai ialah dalam bentuk uang tunai sebesar Rp. 22.480,- (dua puluh dua ribu empat ratus delapan puluh rupiah) untuk setiap meter perseginya dan untuk total tanah keseluruhan seluas 4.474,75 M2 (empat ribu empat ratus tujuh puluh empat koma tujuh puluh lima meter persegi) atau sejumlah Rp. 100.592.380,- (seratus juta lima ratus sembilan puluh dua ribu tiga ratus delapan puluh rupiah) sebagaimana yang dituangkan dalam Surat Keputusan Walikota Binjai nomor 593-2129/K/2005 tertanggal 16 September 2005.
Fish Service where the project of providing the land began its plan in 2004 and the implementation began at the end of 2005. The last process of providing the land completed in 2006 so that the new President Regulations of the Republic of Indonesia no.65/2006 came out.
There were three kinds of government executory provisions; namely, the President Regulations No.36/2005 which consisted of the President Decree No.55/1993 and the President Regulations No.36/2005 itself and after the appearance of the President Regulations No.36/2005; namely, the President Regulations No.65/2006. The legal basis of providing the land was the President Regulations No 36/2005.
The process of compensation conducted by the Municipal Government to build the UPTD office for fish hatchery of Livestock and Fish Service in 2005 had met the procedure which was based on the Regulations of the State Minister of Land, in this case, Head of National Land Board of the Republic of Indonesia No. 1/1994 on the implementation of the Regulation of the President of the Republic of Indonesia No.55/1993 on the land provision for the implementation of public utility.
The agreed compensation between the residents and the government of Binjai was Rp. 22,480 (twenty two thousand four hundred and eighty rupiahs) in cash for each square meter for the total number of 4,474.75 m2(four thousand four hundred and seventy four point seventy five square meters) or the total of Rp.100,592,380 (one hundred million five hundred ninety two thousand three hundred and eighty rupiahs) as it was stipulated in the Mayor Decree no. 593/2129/K/2005 on September 16, 2005.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi manusia, tanah merupakan hal terpenting bagi hidup dan kehidupannya, di
atas tanah, manusia dapat mencari nafkah seperti bertani, berkebun dan beternak,
diatas tanah pula manusia membangun rumah sebagai tempat bernaung dan
membangun berbagai bangunan lainnya untuk perkantoran dan sebagainya.1
Untuk memenuhi kebutuhan tanah, dalam usaha untuk melaksanakan
pembangunan, Pemerintah mengadakan atau menyediakan tanah berdasarkan
undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 atau dikenal dengan Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) dengan kebijakan melalui pencabutan, pengadaan tanah dan
pelepasan hak atas tanah yang dikehendaki oleh rakyat secara pribadi maupun
golongan.2
Kewenangan Pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan tumbuh dan
mengakar dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan
bahwa bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk
dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, kemudian ditunaskan secara
kokoh dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau disebut juga dengan
1Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip kepentingan umum dalam pengadaan tanah untuk pembangunan(Jakarta, sinar grafika 2007) hal 1.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang selanjutnya merambat keberbagai
Peraturan organik dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Peraturan Presiden dan Peraturan yang diterbitkan oleh pimpinan instansi teknis di
bidang pertanahan.3
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dalam Pasal 1 ayat (2)
menyatakan bahwa :
“Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional”.
Pada Pasal tersebut diatas mengandung pengertian bahwa bumi, air dan
kekayaan alam Indonesia setiap perolehan dan penguasaannya tidak boleh
merugikan kepentingan pihak lain. Karena bumi atau tanah, air dan kekayaan alam
adalah milik bersama seluruh bangsa Indonesia dan bersifat abadi yaitu seperti hak
ulayat pada masyarakat hukum adat.
Negara adalah organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria. Ini berarti Negara
mempunyai hubungan hukum dengan tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia
sehingga atas dasar Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara
mempunyai wewenang untuk mengatur persediaan, perencanaan, penguasaan dan
penggunaan tanah, serta pemeliharaan tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia
dengan tujuan agar dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria berbunyi : Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) memberi wewenang untuk :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi air dan ruang angkasa.4
Tanah sebagai sumber daya alam yang dipergunakan untuk pokok-pokok
kemakmuran rakyat harus dikuasai Negara, artinya Negaralah yang berwenang
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan.
Disamping itu negaralah yang berwenang menentukan dan mengatur hubungan
hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah.5
Penguasaan dan penataan tanah oleh Negara diarahkan pemanfaatannya untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penguasaan tanah oleh
Negara, sesuai dengan tujuan pemanfaatannya, perlu memperhatikan kepentingan
masyarakat luas dan tidak menimbulkan sengketa tanah.6
Oleh karena itu untuk dapat menggunakan sebidang tanah, orang baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum harus
mempunyai suatu hak atas tanah yang telah ditentukan oleh Peraturan
Perundang-4A.P. Parlindungan,Komentar atas Undang-undang Pokok Agraria, Bandung, Mandar Madju,
1998, hal. 16
5 Syafruddin Kalo, op cit hal 12.
Undangan yang berlaku. Penggunaan tanah tanpa hak adalah dilarang, termasuk
penggunaan tanah untuk pembangunan oleh Pemerintah harus terlebih dahulu
dilandasi dengan alas hak atas tanah.
Pembangunan oleh Pemerintah, khususnya pembangunan fisik mutlak
memerlukan tanah. Tanah yang diperlukan itu, dapat berupa tanah yang dikuasai
secara langsung oleh negara (tanah negara) atau tanah yang sudah dipunyai
dengan suatu hak oleh suatu subyek hukum (tanah hak). Jika tanah yang
diperlukan untuk pembangunan itu berupa tanah negara, pengadaan tanahnya
tidaklah sulit, yaitu Pemerintah dapat langsung mengajukan permohonan hak atas
tanah tersebut untuk selanjutnya digunakan untuk pembangunan. Oleh karena itu
tanah yang diperlukan untuk pembangunan umumnya adalah tanah hak.
Didalam Peraturan Hukum Agraria, tanda bukti hak (sertifikat) baru keluar
setelah diadakan pendaftaran tanah itu, artinya tanah itu telah terdaftar dan tercatat
dalam buku tanah yang dilengkapi dengan gambar situasi (surat ukur) dari tanah
tersebut. Sejak inilah tanah tersebut baru disebut tanah hak sesuai dengan jenis hak
yang diberikan.7 Jenis hak yang diberikan dapat berupa hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan, dan hak pakai.
Dalam kaitannya dengan pembangunan fisik tersebut diatas, Pemerintah
Kota Binjai pada Tahun 2005 memerlukan tanah untuk keperluan pembangunan
kantor unit pelaksana tekhnis daerah (UPTD) balai benih ikan dinas peternakan dan
perikanan, dimana proyek pengadaan tanah tersebut dimulai pada tahap perencanaan,
yakni instansi Pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan kepada
Walikota Binjai, setelah disetujui oleh walikota, selanjutnya dimasukkan dalam
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) pada Tahun 2004,
untuk dianggarkan pada Tahun 2005 dan pelaksanaan pengadaan tanah tersebut
dimulai pada akhir Tahun 2005. Pelaksanaan pengadaan tanah hingga proses akhir
penyelesaian rampung hingga akhir Tahun 2006, sehingga keluar Peraturan Presiden
republik Indonesia tentang pengadaan tanah yang baru yakni Peraturan Presiden
republik Indonesia nomor 65 Tahun 2006.
Dalam hal pelaksanaan ganti rugi atas tanah masyarakat oleh Pemerintah kota
Binjai untuk pembangunan unit pelayanan tekhnis daerah (UPTD) Balai Benih Ikan
Dinas Peternakan Dan Perikanan Kota Binjai pada Tahun 2005, maka terjadi
perbandingan tiga ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah, antara lain sebelum
keluarnya Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005, yakni Keputusan Presiden
nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden nomor 36 tahun 2005 itu sendiri, serta
sesudah keluarnya Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005 yakni Peraturan
Presiden nomor 65 Tahun 2006.
Pada tahapan perencanaan yakni tahun 2004, ketentuan yang berlaku terhadap
pengadaan tanah ialah Keputusan Presiden nomor 55 tahun 1993 dan ketentuan
pelaksanaan pengadaan tanah ialah peraturan Menteri Agraria Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia nomor 1 tahun 1994, sedangkan pada
tahapan pelaksanaan pengadaan tanah terjadi pada tahun 2005 dan ketentuan yang
pengadaan tanah bagi pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan umum dan
Peraturan Pelaksanaan Pengadaan tanah belum keluar sehingga masih berpedoman
pada Keputusan Menteri Agraria, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia nomor 1 tahun 1994 dan tahapan Penyeesaian selesai pada tahun 2006,
sehingga keluar peraturan yang baru yakni Peraturan Presiden nomor 65 tahun 2006,
perubahan atas Peraturan Presiden nomor 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah
bagi pelasanaan Pembangunan Untuk Kepentingan umum.
Pada pelaksanaan pengadaan tanah Tahun 2005, ketentuan pelaksanaan
pengadaan tanah masih mengacu pada Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia nomor 1 Tahun 1994 tentang ketentuan
pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Dikarenakan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
nomor 3 Tahun 2007 belum keluar, yang mengatur ketentuan pelaksanaan Peraturan
Presiden nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Presiden nomor 65 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Presiden nomor 36
Tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum, sehingga menjadi menarik untuk diteliti dengan judul“ Analisis
Tekhnis Daerah (UPTD) Balai Benih Ikan Dinas Peternakan dan Perikanan Kota Binjai pada Tahun 2005”.
B. Perumusan Masalah.
Berangkat dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam penulisan ini sebagai berikut:
1. Bagaimana dengan perbandingan antara Keputusan Presiden nomor 55 Tahun
1993 dengan Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005 serta Peraturan Presiden
nomor 65 Tahun 2006 pada pengadaan tanah yang dilakukan oleh Pemerintah
kota Binjai pada Tahun 2005.
2. Bagaimana dengan ganti rugi terhadap tanah yang di ambil oleh Pemerintah
Kota Binjai dari masyarakat untuk kepentingan umum, apakah sudah sesuai
dengan prosedur ?
3. Bagaimana Penetapan harga dalam ganti rugi pada Pengadaan tanah untuk
kepentingan umum yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Binjai ?
C. Tujuan Penelitian.
Perumusan tujuan penulisan selalu berkaitan erat dalam menjawab
permasalahan yang menjadi fokus penulisan, sehingga penulisan hukum yang akan
dilaksanakan tetap terarah. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini
adalah:
1. Untuk mengetahui ketentuan yang berlaku terhadap pengadaan tanah yang
1993 dengan Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005 serta Peraturan Presiden
nomor 65 Tahun 2006.
2. Untuk mengetahui p r o s e s ganti rugi terhadap tanah yang di ambil oleh
Pemerintah Kota Binjai dari masyarakat untuk kepentingan umum, apakah
sudah sesuai dengan prosedur.
3. Untuk mengetahui Penetapan harga dalam ganti rugi pada Pengadaan tanah
untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Binjai.
D. Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penulisan sebagaimana tersebut di atas,
selanjutnya hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat untuk :
1. Manfaat Teoritis
Memberikan tambahan wawasan dan masukan pengetahuan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pada ilmu hukum Agraria.
2. Manfaat Praktis
Memberikan tambahan wawasan dan masukan kepada Pemerintah dan
Pemerintah daerah, tentang pengadaan tanah untuk pembangunan serta
masyarakat yang memerlukan informasi yang berkaitan dengan pengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
E. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “Analisis
Hukum Ganti Rugi Pada Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Yang
dilakukan Pemerintah Kota Binjai Untuk Pembangunan Kantor Unit Pelayanan
Tekhnis Daerah (UPTD) Balai Benih Ikan Dinas Peternakan dan Perikanan Kota
Binjai pada Tahun 2005” belum pernah ada yang meneliti sebelumnya.
Dari hasil penelusuran keaslian penelitian, penelitian yang menyangkut
pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang pernah dilakukan oleh mahasiswa
program studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera
Utara yaitu :
1. Nama : AZWIR.
NIM : 087011003.
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : Pelaksanaan Ganti Rugi Hak Atas Tanah
Untuk Kepentingan Umum Pada
Pengembangan Bandara Internasional Sultan
Iskandar Muda Nangroe Aceh Darussalam.
Permasalahan :
1. Bagaimana Proses Pelaksanaan ganti rugi harga tanah untuk kepentingan umum
Bandara Internasional Sultan Iskanda Muda (SIM) Nanggroe Aceh Darussalam ?
2. Faktor-faktor penyebab adanya penolakan harga ganti rugi tanah oleh pemegang
hak atas tanah atas keputusan panitia pengadaan tanah pengembangan Bandara
3. Bagaimana upaya ditempuh dalam penyelesaian masalah ganti rugi harga tanah
pengembangan Bandara Internasional Sultn Iskanda Muda (SIM) Nangroe Aceh
Darussalam tersebut ?
2. Nama : Elfriza Meutia
NIM : 002111008
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : Pelaksanaan Hak Atas tanah pada Pengadaan
Tanah untuk kepentingan Umum (Kajian
pembangunan Pelabuhan Ulee Lheue di Kecamatan
Meuraxa)
Permasalahan :
1. Apakah pelaksanaan Pelepasan hak atas tanah untuk pembangunan pelabuhan Ulee
lheue sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku ?
2. Adakah hambatan yang ditemui pada pelaksanaan pelepasan hak atas tanah untuk
pembangunan pelabuhan ulee lheue ?
3. Bagaimanakah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan yang
ditemui dilapangan ?
3. Nama : Abinur Hamzah.
NIM : 047011001.
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : Aspek Yuridis Pelaksanaan Pengadaan
Tanah untuk kepentingan Umum setelah keluarnya
Permasalahan :
1. Bagaimanakah pengaturan pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum sebelum dan sesudah keluarnya Peraturan Presiden nomor 36 tahun 2005 ?
2. Bagaimanakah penentuan besarnya ganti rugi dalam pelaksanaan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum sebelum dan setelah keluarnya peraturan presiden
nomor 36 tahun 2005 ?
3. Kendala-kendala apa saja yang dihadapai dalam proses pelaksanaan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum ?
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena
tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya, 8 dan suatu
teori harus konsisten tentang apa yang diketahui tentang dunia sosial oleh partisipan
dan ahli lainnya, minimal harus ada aturan-aturan penerjemah yang dapat
menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain,9 sedangkan kerangka
teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, thesis mengenai suatu
kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan pegangan
teoritis10.
Menurut W.L. Neuman, yang berpendapat dikutip dari Otje Salman dan anton F
8 H.R. Otje Salman, S dan Anton F Susanto,Teori Hukum, Bandung, Refika Aditama 2005, hal 23.
9 Ibid hal 23
Susanto menyebutkan bahwa : “ Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh
berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang
memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia, ia adalah cara yang
ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”11
Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian Teori
menurut pendapat beberapa ahli, dengan rumusan sebagai berikut : “ Teori adalah
seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk
memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan Kontribusi parsial
bagi keseluruhan teori yang lebih umum.12”
Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam Penelitian ini
adalah aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin, yang mengartikan :
“ Hukum itu sebagai a command of lawgiver (perintah dari pembentuk
Undang-undang atau penguasa) yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan
tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagi suatu sistem yang
logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system) Hukum secara tegas
dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.13
Menurut Jhon Austin apa yang dinamakan sebagai bahan hukum mengandung
didalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan
yang tidak memenuhi unsur-unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagaipositive law,
11 H.R. Otje Salman, S dan Anton F Susanto, opcit hal 22. 12 Ibid hal 23.
tetapi hanyalah merupakan Positive moralty. Unsur perintah ini berarti bahwa
Pertama satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, kedua
Pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan
atau ditaati, ketiga perintah itu adalah pembedaan kewajiban terhadap yang
diperintah, keempat, hal ketiganya hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu
adalah Pihak yang berdaulat.14
Kebutuhan akan tanah terus meningkat dari waktu ke waktu seiring
dengan pertambahan penduduk dan semakin pesatnya pembangunan fisik di
berbagai bidang yang dilakukan oleh Pemerintah. Namun sayangnya kebutuhan
akan tanah dimaksud tidak dapat dipenuhi dengan mudah oleh negara, karena
tanah-tanah negara yang tersedia terbatas jumlahnya. Oleh karenanya tidak terelakkan
lagi masyarakat diharapkan dapat berperan serta untuk merelakan tanah yang
dimilikinya diambil oleh Pemerintah untuk pembangunan demi kepentingan umum.
Pengambilan tanah masyarakat harus dilakukan dengan landasan hukum yang
jelas. Di dalam perkembangannya, landasan hukum pembebasan/pengadaan tanah
telah mengalami proses perkembangan sejak unifikasi Undang-undang Pokok Agraria
Nomor 5 Tahun 1960.
Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum tersebut, hukum adat tentang
tanah dijadikan dasar pembentukan hukum Agraria nasional. hukum adat
dijadikan dasar dikarenakan hukum tersebut dianut oleh sebagian besar rakyat
Indonesia, sehingga hukum adat tentang tanah mempunyai kedudukan yang
istimewa dalam pembentukan hukum Agraria nasional.15
Pasal 5 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa hukum
agraria yang berlaku itu adalah hukum adat, oleh sebab itu didalam membahas hukum
adat tidak boleh terlepas dari sistem yang dianut dalam hukum adat, hal-hal apa yang
ada serta hubungan-hubungan hukum antara masyarakat (anggota masyarakatnya)
dengan tanah.16
Sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria menegaskan bahwa
semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, dengan demikian berarti bahwa hak
atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah boleh bahwa tanahnya itu
akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan
pribadi, terlebih lagi apabila hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada
haknya, sehingga manfaat baik bagi kesejahteraan pemiliknya maupun
bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara.
Pengadaan tanah selalu menyangkut dua sisi dimensi yang harus ditempatkan
secara seimbang, yaitu : “ Kepentingan masyarakat dan kepentingan Pemerintah.
Disatu sisi, pihak Pemerintah atau dalam hal ini sebagai penguasa harus
melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau
demi kepentingan negara dan rakyatnya sebagai salah satu bentuk pemerataan
pembangunan. Sedangkan pihak masyarakat adalah sebagai pihak penyedia sarana
15 Urip Santoso,Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah (Jakarta ; Kencana, 2009) hal 64 16 Chadijah Dalimunthe, Politik Hukum Agraria Nasional terhadap hak-hak atas tanah
untuk melaksanakan pembangunan tersebut karena rakyat atau masyarakat memiliki
lahan yang dibutuhkan sebagai bentuk pelaksanaan pembangunan. Masyarakat
dalam hal ini juga membutuhkan lahan atau tanah sebagai sumber penghidupan”.17
Apabila Pihak Pemerintah dan pihak swasta tidak memperhatikan dan
mentaati ketentuan yang berlaku maka terjadi pertentangan kepentingan yang
mengakibatkan timbulnya sengketa atau masalah hukum, sehingga pihak
penguasa dengan terpaksa pun menggunakan cara tersendiri agar dapat
mendapatkan tanah tersebut yang dapat dinilai bertentangan dengan ketentuan
yang berlaku. Pemilik hak atas tanah pun juga tidak menginginkan apa yang
sudah menjadi hak mereka diberikan dengan sukarela.
Masalah pengadaan tanah sangat rawan dalam penanganannya sebagaimana
dinyatakan oleh Soimin yaitu : “ Masalah pengadaan tanah menyangkut hajat hidup
orang banyak, kalau dilihat dari kebutuhan Pemerintah akan tanah untuk keperluan
berbagai macam kebutuhan, satunya jalan yang dapat ditempuh yaitu membebaskan
tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hukum adat maupun hak-hak yang melekat
di atasnya.”18
Dasar hukum dari pengadaan hak atas tanah yang pertama berdasarkan
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok- pokok Agraria yang menyatakan bahwa untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
17 Maria Sumardjono,Kebijakan pertanahan antara Regulasi dan Implementasi: Penerbit buku Kompas, Jakarta 2001.Hal 32.
atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut
cara yang diatur dengan Undang-undang.
Di samping itu, pengambilan tanah oleh Negara juga diatur dalam Pasal 1
juncto Pasal 5 undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak atas
tanah dan benda-benda di atasnya yang menyatakan bahwa negara dapat mencabut
hak atas tanah milik perorangan tetapi disertai dengan ganti rugi yang layak.19
Berdasarkan Pasal 27, 34 dan 40 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
ketentuan dasar pokok-pokok agraria, suatu hak itu hapus karena pencabutan hak
untuk kepentingan umum dan karena penyerahan sukarela oleh pemiliknya.
Berdasar dari kedua ketentuan tersebut maka pengadaan hak atas tanah tersebut
merupakan suatu proses pelaksanaannya membutuhkan peran serta masyarakat
atau rakyat untuk memberikan tanahnya untuk kepentingan pembangunan
dimana masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah bebas melakukan suatu
perikatan dengan pihak penyelenggara pengadaan tanah untuk pembangunan
tanpa ada paksaan dari siapapun.
Menurut Fauzi Noer :
Tanah merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia
oleh karena sebagian besar kehidupan bergantung pada tanah. Mengingat
penting fungsi dan peran tanah bagi kehidupan manusia maka perlu
adanya suatu landasan hukum yang menjadi pedoman dan sebagai bentuk
jaminan kepastian hukum, dalam pelaksanaan penyelesaian pertanahan,
khususnya pada persoalan pengadaan hak atas tanah untuk kepentingan
umum.20
Pengadaan tanah dipandang sebagai langkah awal dari pelaksanaan
pembangunan yang merata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau
masyarakat itu sendiri baik yang akan digunakan untuk kepentingan umum
maupun kepentingan swasta. Pengadaan tanah untuk pembangunan hanya
dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak atas tanah mengenai
dasar dan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu
sendiri.
Masalah pokok yang menjadi sorotan atau perhatian dalam pelaksanaan
pengadaan hak atas tanah adalah : “ Menyangkut hak-hak atas tanah yang status
dari hak atas tanah itu akan dicabut atau dibebaskan, sehingga dapat dikatakan
bahwa unsur yang pokok pokok dalam pengadaan hak atas tanah adalah ganti
rugi yang diberikan sebagai pengganti atas hak yang telah dicabut atau
dibebaskan”21
Tanah di samping mempunyai nilai ekonomis juga mempunyai nilai
sosial, yang berarti hak atas tanah tidaklah mutlak akan tetapi Negara harus
menghormati atas hak-hak yang diberikan atas tanah kepada warga negaranya,
20 Fauzi Noer, 1997,Tanah Dan Pembangunan, Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal 7
yang dijamin dengan Undang-undang.
Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria memberikan arahan dalam hal
pengadaan tanah tersebut harus mengacu pada :
1. Kepentingan umum
2. Hak atas tanah dapat dicabut
3. Dengan memberikan ganti kerugian yang layak
4. Diatur dengan suatu Undang-Undang.22
Berdasarkan Pasal 15 Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
telah ditegaskan bahwa dalam pelaksanaan tafsiran atau penetapan mengenai ganti
rugi harus memperhatikan bahwa penetapan ganti rugi haruslah didasarkan pada
nilai nyata atau harga tanah, nilai jual bangunan dan tanaman.
Dengan tercapainya kata sepakat mengenai ganti rugi di antara para pihak,
dapat memudahkan Pemerintah dalam melaksanakan tujuan pengadaan hak atas
tanah baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan swasta.
Selain itu Pemerintah dapat melaksanakan pembangunan sesuai dengan
rencana tata ruang serta terlaksananya suatu tertib hukum di bidang pertanahan yang
tercantum dalam Keputusan Presiden nomor 7 Tahun 1979, yaitu :
1. Tertib di bidang Hukum pertanahan
Tertib di bidang pertanahan merupakan keadaan dimana :
a. Seluruh perangkat Peraturan perundang-undangan di bidang Pertanahan
telah tersusun secara lengkap dan komprehensif.
b. Semua Peraturan perundang-undangan di bidang Pertanahan telah diterapkan pelaksanaannya secara efektif.
c. Semua pihak yang menguasai/menggunakan tanah mempunyai hubungan hukum yang sah yang bersangkutan menurut Peraturan perundangan yang berlaku.
2. Tertib di bidang administrasi pertanahan, merupakan keadaan dimana : a. Untuk setiap bidang tanah telah tersedia catatan mengenai aspek-aspek
ukuran fisik, penguasaan, penggunaan, jenis hak dan kepastian hukumnya, yang dikelola dalam sistem informasi pertanahan yang lengkap.
b. Terdapat mekanisme prosedur/tata cara kerja pelayanan di bidang pertanahan yang sederhana, cepat dan murah tetap menjamin kepastian hukum yang dilaksanakan secara tertib dan konsisten.
c. Penyimpanan warkah-warkah yang berkaitan dengan pemberian hak dan pensertipikatan tanah dilaksanakan secara tertib, beraturan dan terjamin keamanannya.
3. Tertib di bidang penggunaan tanah, merupakan keadaan dimana :
a. Tanah telah digunakan secara lestari, optimal, serasi dan seimbang. Sesuai dengan potensinya guna berbagai kehidupan dan penghidupan yang diperlukan untuk menunjang terwujudnya tujuan nasional.
b. Penggunaan tanah di daerah perkotaan telah dapat menciptakan suasana yang aman, tertib, lancar dan sehat.
c. Tidak terdapat pembentukan kepentingan antar sektor dalam peruntukan tanah.
4. Tertib di bidang Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup, merupakan keadaan dimana :
a. Penanganan bidang pertanahan telah dapat menunjang kelestarian lingkungan hidup.
b. Pemberian hak atas tanah dan pengarahan penggunaannya telah dapat menunjang terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
c. Semua pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah telah melaksanakan kewajiban sehubungan dengan pemliharaan tanah tersebut.23
2. Konsepsi.
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, karena konsep adalah
sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada
dalam pikiran (berupa ide).
Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan
observasi antara abstraksi dan realitas.24
Selanjutnya, Suwandi Suryabrata memberikan arti khusus apa yang dimaksud
dengan konsep, menurut beliau, sebuah konsep berkaitan dengan definisi
operasional. “ Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
digeneralisasi dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional.”25
Konsep dapat dilihat dari segi subyektif dan obyektif, dari segi subyektif
konsep merupakan suatu kegiatan intelek untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari
segi obyektif, konsep merupakan suatu yang ditangkap oleh kegiatan intelek tersebut,
hasil dari tangkapan akal manusia itulah yang dinamakan konsep.26
Konsep merupakan “ alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain,
seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep
merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep
adalah suatu Konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang
berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis”.27
Dalam kerangka konseptional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian
24 Masri Singarimbun, dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES,Jakarta, 1999, hal 34.
25 Suwandi Suryabrata,Metodelogi Penelitian,Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hal3. 26 Yooke Tjuparmah S Komaruddin,Kamus istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta: Bumi Aksara, 2006, hal 122.
yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.28Selanjutnya konsep atau
pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalah dan
kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta
mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya
adalah definisi secara singkat dari sekolompok fakta atau gejala itu. Maka konsep
merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, Konsep menentukan antara
variable-variable yang ingin menentukan antara adanya gejala empiris.29
Beranjak dari judul tesis ini, yaitu : “Analisis Hukum Ganti Rugi Pada
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Yang dilakukan Pemerintah Kota
Binjai Untuk Pembangunan Kantor Unit Pelayanan Tekhnis Daerah (UPTD) Balai
Benih Ikan Dinas Peternakan dan Perikanan Kota Binjai pada Tahun 2005”. maka
dapatlah dijelaskan konsepsi ataupun pengertian dari kata demi kata dalam judul
tersebut, yaitu sebagai berikut :
a. Analisis Hukum adalah menganalisis semua aspek hukum yang berkaitan
dengan ganti rugi tanah antara Pemerintah Kota Binjai dan masyarakat
pemilik lahan untuk pembangunan Kantor Unit Pelayanan Tekhnis Daerah
(UPTD) Balai Benih Ikan Dinas Peternakan dan Perikanan Kota Binjai.
b. Ganti rugi adalah penggantian kerugian atas apa yang diderita oleh salah satu
pihak, dalam hal ini ialah masyarakat pemilik lahan yang tanahnya di ambil
28 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal 7.
oleh Pemerintah kota Binjai.
c. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan
cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan
tanah, bangunan, tanaman dan segala sesuatu yang berada diatasnya bagi
pembangunan kantor unit pelaksana teknis daerah (UPTD) balai benih ikan
dinas peternakan dan perikanan kota Binjai
d. Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat
untuk pembangunan kantor unit pelaksana teknis daerah (UPTD) balai benih
ikan dinas peternakan dan perikanan kota Binjai
e. Pemerintah ialah Pemerintahan kota Binjai melalui dinas Peternakan dan
Perikanan.
f. Pembangunan adalah pembangunan kantor unit pelaksana teknis daerah
(UPTD) balai benih ikan dinas Peternakan dan Perikanan kota Binjai.
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian.
Spesifikasi penelitian dalam penulisan bersifat deskriptif analitis, yaitu data
hasil penelitian, baik yang berupa data hasil studi dokumen yang menggambarkan
Peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan
praktek pelaksanaan hukum in concreto yang menyangkut permasalahan maupun
penelitian lapangan yang berupa hasil pengamatan dianalisa secara kualitatif.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu
penelitian hukum kepustakaan. Menggunakan pendekatan yuridis normatif oleh
karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norm). Pengertian kaedah
meliputi asas hukum, kaedah dalam arti sempit (value), Peraturan hukum konkret.
Penelitian yang berobjekan hukum normatif berupa asas-asas hukum, sistem hukum,
taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.30
Penelitian ini sering disebut juga penelitian dokumenter untuk memperoleh data
sekunder dibidang hukum. Penelitian lebih meliputi penelitian asas-asas hukum,
sumber-sumber hukum, Peraturan perundang-undangan yang berlaku,
literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan. Titik berat penelitian tertuju pada
penelitian dokumenter, yang berarti lebih banyak menelaah dan mengkaji data
sekunder yang diperoleh dari penelitian.
Dalam penelitian ini yang menjadi obyek penelitian adalah:
1. Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Menerima Ganti Rugi,
tertanggal 27 September 2005, yang ditanda tangani oleh Pemerintah kota
Binjai dengan masyarakat pemilik lahan dan disaksikan oleh Panitia pengadaan
tanah kota Binjai pada Tahun 2005.
2. Surat Keputusan Walikota Binjai, Nomor 593-2129/K/2005, tentang
Penetapan harga ganti rugi tanah untuk keperluan pembangunan gedung Balai
Benih Ikan dan Kolam Pembibitan Ikan, Pemerintah Kota Binjai di Kelurahan
Kebun Lada, Kecamatan Binjai Utara, Kota Binjai, tertanggal 16 September
2005.
3. Surat Keputusan Walikota Binjai, Nomor 593-2037/K/2005, tentang
Pembentukan Panitia Pengadaan tanah untuk keperluan pembangunan gedung
Balai Benih Ikan dan Kolam Pembibitan Ikan, Pemerintah Kota Binjai di
Kelurahan Kebun Lada, Kecamatan Binjai Utara, Kota Binjai, tertanggal 8
September 2005.
3. Metode Pengumpulan Data.
Sebagai penelitian hukum Normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi
kepustakaan. Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam
penulisan tesis ini, penulis menggunakan data sekunder dan data primer. Data
sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dari arsip-arsip, bahan
pustaka, data resmi pada instansi Pemerintah, Undang-Undang, makalah yang ada
kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti, yang terdiri dari :
a). Bahan hukum primer,31 yaitu bahan hukum yang mengikat, yaitu :
Undang Dasar 1945, Undang Nomor 5 Tahun 1960 jo.
Undang-undang nomor 20 Tahun1961
b). Bahan hukum sekunder,32yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum
primer, antara lain berupa tulisan atau pendapat pakar hukum dibidang
Pertanahan mengenai asas-asas berlakunya hukum pertanahan terutama dalam
31 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1988, halaman 55.
menetapkan kebijakan pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum.
c). Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang
untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, surat kabar, internet
serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.33
Selain data sekunder, penulis juga menggunakan data primer, yaitu data yang
diambil langsung dengan wawancara yang dilakukan secara terarah (directive
interview),34yaitu kepala Dinas Peternakan dan Perikanan kota Binjai, kepala Badan
Lingkungan Hidup Kota Binjai, yang pada waktu Tahun 2005 menjabat sebagai
anggota pada panitia pengadaan tanah, Kepala Dinas Catatan Sipil dan
Kependudukan, juga menjabat sebagai anggota pada pengadaan tanah untuk
pembangunan pada Tahun 2005 yang digunakan sebagai data pembanding dan
Kepala Tata Pemerintahan, selaku pemegang arsip pengadaan tanah untuk
kepentingan umum.
4. Alat Pengumpulan Data.
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya
serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini
diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara :
a. Studi dokumen.
Studi dokumen digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca,
mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang
berkaitan dengan materi penelitian.35
b. wancara.
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dimana penulis melakukan
percakapan atau tatap muka yang terarah kepada pihak yang berkepentingan guna
memperoleh keterangan atau data-data yang diperlukan.
5. Analisis Data.
Penelitian ini bersifat deskriptif. Data hasil penelitian yang berupa data hasil
studi dokumen (data sekunder), data hasil pengamatan dan wawancara dianalisis
dengan metode analisis kualitatif,36 dengan maksud untuk memaparkan apa yang dianalisis
tadi secara sistematis dan menyeluruh untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Penarikan
kesimpulan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode deduktif.
35Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986,
halaman 21.
BAB II
PERBANDINGAN ANTARA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 55 TAHUN 1993 DENGAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR
36 TAHUN 2005 SERTA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 65 TAHUN 2006 PADA PENGADAAN TANAH YANG DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH
KOTA BINJAI PADA TAHUN 2005
Pada tahap pelaksanaan dalam pengadaan tanah yang dilakukan oleh
Pemerintah Kota Binjai, terjadi pada Tahun 2005, sehingga mengacu kepada
Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005, sebelum dilaksanakan tahapan
pelaksanaan, terlebih dahulu diadakan tahapan perencanaan, baik itu proses
pengusulan hingga proses pembangunan fisik. Tahapan pelaksanaan dilakukan pada
Tahun 2005 sehingga mengacu pada Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005, dan
berpedoman pada ketentuan pelaksanaan pengadaan tanah berdasarkan pada
Peraturan menteri Agraria, kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
nomor 1 Tahun 1994 tentang pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia
nomor 55 Tahun 1993 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum dikarenakan ketentuan pelaksanaan pengadaan tanah pada
Peraturan Presiden nomor 36 tahun 2005 belum keluar dan selanjutnya proses
penyelesaian dilakukan hingga akhir Tahun 2006, sehingga keluar Peraturan Presiden
nomor 65 Tahun 2006.
Pada pengadaan tanah yang terjadi pada tahun 2005 di Kota Binjai, ketentuan
tentang peraturan perundang-undangan, berlaku azas hukum umum, yakni antara lain
Peraturan yang baru mengalahkan peraturan yang lama (Lex posteriori derogat legi
sehingga ketentuan yang digunakan oleh pemerintah kota Binjai ialah Peraturan
Presiden nomor 36 tahun 2005, dengan tetap menggunakan Ketentuan pelaksanaan
Pengadaan tanah nomor 1 tahun 1994 tentang ketentuan pelaksanaan Keputusan
Presiden Republik Indonesia nomor 55 tahun 1993 tentang pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunana untuk kepentingan umum.
Dalam hal ini terjadi perbandingan ketentuan pengadaan tanah, yakni menurut
Keputusan Presiden nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden nomor 36 Tahun
2005 serta Peraturan Presiden nomor 65 Tahun 2006.
A. Pengaturan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum berdasarkan Keputusan Presiden nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005 serta Peraturan Presiden nomor 65 Tahun 2006.
Sebelum diterbitkannya keppres nomor 55 Tahun 1993 masalah pengadaan
tanah untuk kepentingan umum diatur dalam :
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 15 Tahun 1975 tentang ketentuan
mengenai tata cara pembebasan tanah.
2. Peraturan menteri dalam negeri nomor 15 Tahun 1975 tentang ketentuan
mengenai tata cara pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah bagi
pembebasan tanah oleh pihak swasta.
3. Peraturan menteri dalam negeri nomor 2 Tahun 1985 tentang tata cara pengadaan
tanah untuk keperluan proyek pembangunan untuk wilayah Kecamatan.
Dengan diterbitkannya Keputusan Presiden nomor 55 Tahun 1993 maka ketiga
Pengertian pengadaan tanah dalam Keputusan Presiden nomor 55 Tahun 1993
yaitu setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.
Menurut pendapat Prof. Arie. S. Hutagalung, SH. Mli bahwa :
“ Lingkup Pengadaan tanah tidak cukup hanya berhenti sampai pada proses pemberian ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah tersebut. Dengan berpedoman kepada Kepres no 55 Tahun 1993 pelaksanaan pengadaan tanah bagi kepentingan umum harus memperhatikan kepentingan warga masyarakat yang terkena pembebasan tanah. Untuk itu lingkup kegiatan pengadaan tanah harus meliputi pula pihak-pihak yang terkena dampak akibat pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut tetap terpelihara kesejahteraan hidupnya dan bahkan lebih baik dari kehidupan semula sebelum terkena proyek pembangunan.”37
Keputusan Presiden nomor 55 Tahun 1993 menegaskan bahwa ketentuan
tentang pengadaan tanah yang diatur dalam Keputusan Presiden ini semata-mata
hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum. Dengan demikian, maka ketentuan ini hanya bisa
diterapkan kalau ada tuntutan kepentingan umum menghendaki diadakannya suatu
proyek atau kegiatan tertentu dari pembangunan yang menghendaki pengadaan tanah.
Dalam pasal 1 angka 2 Keputusan Presiden nomor 55 Tahun 1993 pengadaan
tanah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yaitu kegiatan
yang melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah
yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.
37 Arie Sukanti Hutagalung, Serba Aneka masalah tanah dalam kegiatan ekonomi (suatu
Pada tanggal 3 Mei 2005 Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden nomor 36
Tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum, terbitnya Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005 karena
Keputusan Presiden nomor 55 Tahun 1993 dipandang tidak sesuai lagi sebagai
landasan hukum pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum tidak jelas
apakah alasan terkait aspek filosofis, yuridis, sosiologis atau karena pertimbangan
yang bersifat pragmatis yang lazim disebut “terobosan”.38
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 diciptakan dengan pertimbangan :
1. Terjadinya peningkatan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan tanah, pengadaan tanahnya perlu dilakukan secara cepat dan
transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak
yang sah atas tanah.
2. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
sebagaimana telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden nomor 55 Tahun 1993
sudah tidak sesuai dengan landasan hukum dalam rangka melaksanakan
pembangunan untuk kepentingan umum.
Pengertian pengadaan tanah dalam Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005
adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi
38Maria S.W. Sumardjono,Kebijakan pertanahan antara Regulasi dan Implementasi (Jakarta:
kepada yang melepaskan atau yang menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.39
Pada Keputusan Presiden nomor 55 Tahun 1993, metode pengadaan tanah
berupa pencabutan hak atas tanah tidak mencerminkan prinsip penghormatan
terhadap hak atas tanah dan asas-asas pengadaan tanah, karena pencabutan hak yang
dilakukan dengan undang-undang nomor 20 Tahun 1961 tersebut harus dalam
keadaan yang memaksa, tetapi pada Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005,
pencabutan hak dapat dilakukan dengan alasan pembangunan untuk kepentingan
umum, Pemerintah melalui panitia pengadaan tanah dapat serta merta mencabut hak
atas seseorang yang tidak mau pindah dari tanah yang ia tempati. Pencabutan hak atas
tanah adalah mekanisme yang dianut oleh Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005
apabila kata sepakat tak kunjung tercapai. Padahal perolehan tanah harus tetap
mengedepankan asas hukum dan musyawarah.
Maka untuk meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah
dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum, maka Pemerintah mengubah dan menambah beberapa pasal pada
Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005 dengan menerbitkan Peraturan Presiden
nomor 65 Tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Presiden nomor 36 Tahun
2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum yang ditetapkan pada tanggal 5 juni 2006.
39 Indonesia, Peraturan Presiden nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pengertian pengadaan tanah menurut Peraturan Presiden nomor 65 Tahun 2006
tersebut ialah setiap kegiaan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pengadaan tanah menurut Peraturan
Presiden nomor 65 Tahun 2006 dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan
hak atas tanah yang dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas
tanah.40
Pada pasal 2 ayat 2 dari Peraturan Presiden nomor 65 Tahun 2006 disebutkan
bahwa : Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum oleh Pemerintah atau Pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar
menukar atau dengan cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Menurut Syafruddin Kalo, pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memuat azas-azas :
1. Azas kesepakatan/konsensus.
Seluruh kegiatan pencabuan hak dan segala aspek hukumnya, seperti pemberian ganti rugi, pemukiman kembali dan pemulihan kembali kondisi sosial ekonomi, hukum harus dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah. Kesepakatan ini dilakukan atas dasar persetujuan kehendak kedua belah pihak tanpa adanya unsur paksaan kesilapan dan penipuan serta dilakukan dengan itikad baik, Apabia dalam kesepakatan itu dilaksanakan adanya unsur kesilapan, paksaan dan penipuan, maka kesepakatan dapat dibatalkan.
2. Azas Kemanfaatan
Pencabutan atau pembebasan tanah pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat bagi yang membutuhkan tanah dan pihak masyarakat yang tanahnya dicabut atau dibebaskan. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat terwujud sehingga
40 Indonesia, peraturan Presiden tentang perubahan atas peraturan Presiden nomor 65 tahun
pembangunan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana peruntukan berbagai fasilitas kepentingan umum.
3. Azas Kepastian
Pelaksanaan Pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus dilakukan dengan cara-cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga masyarakat dan semua pihak yang terkait dapat dengan pasti mengetahui hak-hak dan kewajiban masing-masing, agar peraturan itu dapat bermakna sosial dalam arti dapat benar-benar terwujud sebagai perilaku yang riil.
4. Azas Keadilan
Penempatan azas keadilan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pengadaan tanah untuk kepentingan umm adalah dalam arti diletakkan sebagai dasar penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi yang harus diberikan kepada pemilik tanah dan orang-orang yang terkait dengan tanah yang dicabut atau dibebaskan haknya untuk kepentingan umum. Disisi lain prinsip keadilan juga harus meliputi pihak yang membutuhkan tanah agar dapat memperoleh tanah sesuai dengan rencana peruntukannya dan memperoleh perlindungan hukum. 5. Azas Musyawarah
Azas ini harus mencerminkan adanya persetujuan antara pemilik lahan dan orang yang membutuhkan tanah yang telah dinyatakan secara tegas oleh yang bersangkutan, kemudian harus diikuti dengan akte pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi yang disetujui oleh kedua belah pihak.
6. Azas keterbukaan
Dalam proses pencabutan atau pembebasan tanah, warga masyarakat yang terkena dampak berhak mengetahui informasi berkenaan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan perolehan tanah dan pemukiman kembali. Penyebaran infoemasi dapat dilakukan melalui penyuluhan hukum dan media yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas.
7. Azas keikut sertaan.
Azas ini dimaksudkan untuk menempatkan posisi pihak yang memerlukan tanah dan pihak yang tanahnya dicabut atau dibebaskan harus diletakkan secara sejajar dalam seluruh proses pengambil alihan tanah.
8. Azas minimalisasi dampak dan kelangsungan kesejahteraan ekonomi
Pencabutan atau pembebasan tanah dilakukan dengan upaya untuk meminimalkan dampak negatif atau dampak penting yang mungkin timbul dari kegiatan pembangunan disertai dengan upaya untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat yang terkena dampak, sehingga kesejahteraan sosial ekonomi menjadi lebih baik atau minimal setara dengan keadaan sebelum pencabutan atau pembebasan.41
B. Perbandingan Kepentingan umum antara Keputusan Presiden nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005 serta Peraturan Presiden nomor 65 Tahun 2006.
a. Kepentingan umum menurut Keputusan Presiden nomor 55 Tahun 1993. Definisi dari kepentingan umum belum dapat dikatakan spesifik, kepentingan
umum sebagai konsep harus berjalan berdampingan dengan terwujudnya negara.
Negara dibentuk demi kepentingan umum dan hukum merupakan sarana utama untuk
mewujudkan kepentingan umum tersebut. Hukum tidak mempunyai pilihan lain
kecuali disamping menjamin kepentingan umum juga melindungi kepentingan
perorangan agar keadilan dapat terlaksana. Begitu pentingnya arti kepentingan umum
dalam kehidupan bernegara dan dalam praktiknya berbenturan dengan kepentingan
individu maka perlu didefinisikan dengan jelas.42
Menurut Maria S.W. Sumardjono kepentingan umum sebagai konsep tidak sulit dipahami tapi tidak mudah didefinisikan, kepentingan umum menurut Keputusan Presiden nomor 55 Tahun 1993 didefinisikan sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat, sedangkan mengenai kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dibatasi pada kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh Pemerintah, serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Dengan demikian interprestasi kegiatan yang termasuk dalam kategori kepentingan umum dibatasi pada terpenuhinya ketiga unsur tersebut.43
Pengertian kepentingan umum yang lebih spesifik dan jelas terdapat pada
undang-undang nomor 20 Tahun 1961 dan instruksi Presiden nomor 9 Tahun 1973
tentang pedoman pelaksanaan Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang
42 Sunarno, Tinjauan kritis terhadap kepentingan umum dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan umum” http;//www.umy.ac.id/hukum/download/nanrno.htm. tanggal 05 Oktober 2011. pukul 20.00 WIB.
ada di atasnya, yaitu suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan yang bersifat
kepentingan umum apabila kegiatan tersebut menyangkut ;
- Kepentingan bangsa dan negara.
- Kepentingan masyarakat luas;
- Kepentingan rakyat banyak;
- Kepentingan pembangunan.44
Tanah yang dihaki seseorang bukan hanya mempunyai fungsi bagi pemilik hak
saja, tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya maka
dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan bukan hanya kepentingan yang
berhak sendiri saja yang dipakai sebagai pedoman, tetapi juga harus diingat dan
diperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan antara
kepentingan yang mempunyai dan kepentingan masyarakat.45
Pembatasan bidang-bidang yang termasuk dalam kepentingan umum
disebutkan dalam pasal 5 ayat 1 dari Keputusan Presiden nomor 55 Tahun 1993
menyebutkan bahwa kepentingan umum berdasarkan Keputusan Presiden ini dibatasi
untuk pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki Pemerintah serta tidak
digunakan untuk mencari keuntungan, meliputi sebagai berikut :
a. Jalan umum, saluran pembuangan air;
b. Waduk bendungan dan bangunan perairan lainnya termasuk saluran irigasi ;
44 Indonesia, Instruksi presiden tentang pedoman-pedoman pelaksanaan pencabutan hak-hak
atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya, Inpres nomor 9 tahun 1973, pasal 1.
45 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, sejarah pembentukan Undang-undang Pokok
c. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat.
d. Pelabuhan atau bandar udara atau terminal.
e. Peribadatan;
f. Pendidikan atau sekolahan;
g. Pasar umum atau pasar inpres;
h. Fasilitas pemakaman umum;
i. Fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir,
lahr dan bendacana lainnya;
j. Pos dan telekomunikasi;
k. Sarana olah raga;
l. Stasiun penyiaran radio, televisi serta sarana pendukungnya;
m. Kantor Pemerintah;
n. Fasilitas angkatan bersenjata republik Indonesia.
b. Kepentingan umum menurut Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden nomor 65 Tahun 2006
Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden nomor 36 Tahun 2005 menyebutkan bahwa
kepentingan umum sebagai kepentingan sebagian besar masyarakat. Selanjutnya
dalam pasal 5 disebutkan bahwa pembangunan untuk kepentingan yang dilaksanakan
Pemerintah atau Pemerintah daerah meliputi 21 bidang kegiatan. Dalam Perpres
Nomor 36 Tahun 2005 tidak dimuat batasan untuk kriteria kepentingan umum