• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penambahan Kadar Magnesium Pada Aluminium Terhadap Kekuatan Tarik Dan Struktur Mikro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Penambahan Kadar Magnesium Pada Aluminium Terhadap Kekuatan Tarik Dan Struktur Mikro"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENAMBAHAN KADAR MAGNESIUM PADA ALUMINIUM TERHADAP KEKUATAN

TARIK DAN STRUKTUR MIKRO

SKRIPSI

Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

MUHAMMAD SYAHREZA NASUTION NIM. 070401022

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ABSTRAK

Aluminium banyak digunakan di dalam aplikasi bidang teknik yang mensyaratkan sifat mekanis yang memadai seperti pengujian tarik dan foto mikro. Sifat mekanis yang disyaratkan untuk aplikasi bidang teknik sangatlah penting sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai sifat mekanis Aluminium dengan paduannya. Pada penelitian ini dilakukan penambahan Magnesium kedalam Aluminium sesuai variasi yang dikerjakan yaitu 2%, 4% dan 6% unsur Magnesium, kemudian dilakukan pengujian tarik dan foto mikro. Hasil pengujian menunjukkan sifat mekanis Aluminium dengan penambahan unsur Magnesium. Nilai dari kekuatan tarik dapat dilihat perbedaannya pada setiap spesimen uji. Pada hasil mikrostruktur berwarna hitam yang menunjukkan Magnesium dan warna putih keperakan merupakan Aluminium. Dengan bertambahnya unsur persen Magnesium pada pengujian tarik, maka kekuatan tarik akan menurun. Dan pada foto mikro terlihat bahwa semakin besar unsur Magnesiumnya, maka cacat yang terjadi pada specimen akan semakin banyak.

(3)

ABSTRACT

Aluminium is widely used in engineering applications that require adequate mechanical properties such as tensile test and micro-photographs. Mechanical properties required for engineering applicationsis very important so need to do research on the mechanical properties of Aluminum alloys. In this study the addition of Magnesium into Aluminum alloya ccording to the variation of work that is 2%, 4% and 6% of the elements Magnesium, tensile testing was then performed and the micropicture. Test results show the mechanical properties of Aluminum with the addition of Magnesium element. The value of tensile strength can be seen the difference on each test specimen. On the microstructure shows a black Magnesium and Aluminum is a silvery white color. With increasing Magnesium element percent in tensile testing, the tensile strength decreases. And the microphoto element is seen that the greater the Magnesium, the defects that occurin the specimens will be more and more.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat di selesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat bagi mahasiswa Teknik Mesin dalam menyelesaikan studi di Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Pengaruh Penambahan Kadar Magnesium Pada Aluminium Terhadap Kekuatan Tarik Dan Struktur Mikro”.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orang tua, yang telah banyak memberikan materi dan moril serta

dukungan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan tugas sarjana ini.

2. Bapak Dr.Ing.Ir. Ikhwansyah Isranuri sebagai ketua Departemen Teknik

Mesin FT-USU dan selaku dosen pembimbing penulis dalam penyelesaian

tugas sarjana ini.

3. Bapak Suprianto ST. MT yang telah banyak meluangkan waktu untuk

berdiskusi dalam menyelesaikan tugas sarjana ini.

4. Bapak/Ibu Staff Pengajar dan Pegawai di Departemen Teknik Mesin USU.

5. Bang Sarjana dan Bang lilik yang telah banyak memberi dukungan dan

membantu dalam menyelesaikan tugas sarjana ini.

6. Teman Satu team (Bang Fadli, Andus, Ifan, Ari) yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk bergabung dalam penyelesaian tugas

sarjana ini.

7. Teman-teman seperjuangan Teknik Mesin khususnya (Defriandry Dinata

Siregar, Wicahya Indra Agustian dan Van Ryzal Purba) yang banyak

memberi motivasi serta teman-teman angkatan 2007.

8. Rindi Restuti Siregar yang selalu memberi semangat untuk menyelesaikan

tugas sarjana ini.

9. Abang, adik-adik dan keluarga besar penulis yang banyak memberi

dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan kuliah dan hingga tugas

sarjana ini selesai.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat digunakan

sebagai pengembangan ilmu yang didapat selama dibangku kuliah. Apabila

terdapat kesalahan dalam penyusunan serta bahasa yang tidak tepat dalam skripsi

(5)

dan kritikan yang bersifat membangun dalam penyempurnaan skripsi ini. Akhir

kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

seluruh kalangan yang membacanya.

Medan, Februari 2012

Penulis,

NIM : 070401022

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR NOTASI ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penilitian ... 2

1.3.1 Tujuan Umum ... 2

1.3.2 Tujuan Khusus ... 2

1.4 Batasan Masalah ... 3

1.5 Sistematika Penulisan ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aluminium ... 4

2.1.1 Sejarah Aluminium ... 4

2.1.2 Sifat-Sifat Aluminium ... 5

2.2 Magnesium ... 7

2.2.1 Sejarah Magnesium ... 7

2.2.2 Sifat-Sifat Magnesium ... 8

2.3 Paduan Aluminium-Magnesium ... 9

2.4 Pengecoran ... 10

2.4.1 Sejarah Pengecoran ... 10

2.4.2 Teori Pengecoran ... 10

2.4.3 Proses Pengecoran ... 11

2.4.4 Pembuatan Cetakan ... 14

(7)

2.6 Metallography ... 22

2.7 Variabel Riset dan Analisis ... 26

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 28

3.2 Bahan dan Alat Peneilitian ... 28

3.2.1 Bahan Penelitian ... 28

3.2.2 Alat Penelitian ... 30

3.3 Proses Peleburan ... 34

3.4 Pengujian Tarik ... 36

3.4.1 Set Up Pengujian Tarik ... 36

3.4.2 Prosedur Pengujian ... 37

3.5 Pengujian Metallography ... 38

3.5.1 Set Up Pengujian Metallography ... 38

3.5.2 Prosedur Pengujian ... 39

3.6 Diagram Alir Penelitian ... 40

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pembuatan Spesimen dari Proses Peleburan ... 41

4.2 Hasil Pengujian ... 41

4.2.1 Hasil Pengujian Tarik ... 41

4.2.2 Hasil Uji Metallography ... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 65

5.2 Saran ... 65

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diagram Fasa Magnesium, Suhu(°C) Vs Mg(%) ... 8

Gambar 2.2 DiagramFasa Al-Mg Temperatur (°C) Vs % Mg ... 9

Gambar 2.3 Saluran Masuk ... 13

Gambar 2.4 Mesin Uji Tarik ... 15

Gambar 2.5 Hasil dan Kurva Pengujian Tarik ... 16

Gambar 2.6 Sampel Standar Uji Tarik E8 ASTM volume 3 ... 16

Gambar 2.7 Profil Data Hasil Uji Tarik ... 17

Gambar 2.8 Diagram Tegangan-Regangan Aluminium ... 19

Gambar 2.9 Diagram Tegangan-Regangan Linier ... 20

Gambar 2.10 Patahan Hasil Uji Tarik dari Aluminium ... 21

Gambar 2.11 Alat Uji Foto Mikro ... 22

Gambar 3.1 (a) Aluminium Dalam Bentuk Batangan ... 28

Gambar 3.1 (b) Aluminium Yang Sudah Dipotong ... 29

Gambar 3.2 (a) Magnesium Dalam Bentuk Batangan ... 29

Gambar 3.2 (a) Magnesium Yang Sudah Dipotong ... 29

Gambar 3.3 Bahan Bakar (kayu) ... 30

Gambar 3.12 Proses Peleburan Aluminium-Magnesium ... 35

Gambar 3.13 Proses Pengadukan Aluminium-Magnesium ... 35

Gambar 3.14 Proses Penuangan Aluminium-Magnesium kedalam Cetakan ... 35

Gambar 3.15 Bentuk Spesimen Hasil Coran ... 36

(9)

Gambar 3.17 Set Up Pengujian Metallography ... 38

Gambar 3.18 Diagram Alir Penelitian ... 40

Gambar 4.1 Bentuk Spesimen Uji Tarik ... 41

Gambar 4.2 Kurva Hasil Pengujian Tarik, P (kgf) vs L (mm)

Al 98% - Mg 2% spesimen I ... 42

Gambar 4.3 Kurva Hasil Pengujian Tarik, P (kgf) vs L (mm)

Al 98% - Mg 2% spesimen II ... 42

Gambar 4.4 Kurva Hasil Pengujian Tarik, P (kgf) vs L (mm)

Al 98% - Mg 2% spesimen III ... 43

Gambar 4.5 Kurva Hasil Pengujian Tarik, P (kgf) vs L (mm)

Al 96% - Mg 4% spesimen I ... 43

Gambar 4.6 Kurva Hasil Pengujian Tarik, P (kgf) vs L (mm)

Al 96% - Mg 4% spesimen II ... 44

Gambar 4.7 Kurva Hasil Pengujian Tarik, P (kgf) vs L (mm)

Al 96% - Mg 4% spesimen III ... 44

Gambar 4.8 Kurva Hasil Pengujian Tarik, P (kgf) vs L (mm)

Al 94% - Mg 6% spesimen I ... 45

Gambar 4.9 Kurva Hasil Pengujian Tarik, P (kgf) vs L (mm)

Al 94% - Mg 6% spesimen II ... 45

Gambar 4.10 Kurva Hasil Pengujian Tarik, P (kgf) vs L (mm)

Al 94% - Mg 6% spesimen III ... 46

Gambar 4.11 Daerah Patahan Spesimen Aluminium Coran

Setelah Uji Tarik ... 46

Gambar 4.12 Grafik Nilai Tegangan,

Tegangan Tarik (MPa) Vs Spesimen ... 49

Gambar 4.13 Grafik Nilai Tegangan Rata-Rata,

Tegangan Rata-Rata (MPa) Vs Kadar Mg (%) ... 50

Gambar 4.14 Grafik Nilai Regangan,

Regangan (%) Vs Spesimen ... 53

Gambar 4.15 Grafik Nilai Regangan Rata-Rata,

(10)

Gambar 4.16 Grafik Nilai Modulus Elastisitas,

Modulus Elastisitas (MPa) Vs Spesimen ... 57

Gambar 4.17 Grafik Nilai Modulus Elastisitas Rata-Rata, Modulus Elastisitas Rata-Rata (MPa) Vs Kadar Magnesium (%) ... 58

Gambar 4.18 Bentuk Patahan dari Aluminium Coran Setelah Uji Kekuatan Tarik ... 59

Gambar 4.19 Spesimen Foto Mikro ... 60

Gambar 4.20 Foto Mikro Mg 2% Pada 200× Pembesaran ... 60

Gambar 4.21 Foto Mikro Mg 4% Pada 200× Pembesaran ... 61

Gambar 4.22 Foto Mikro Mg 6% Pada 200× Pembesaran ... 62

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sifat Mekanis Bahan ... 21

Tabel 4.1 Nilai Tegangan ... 49

Tabel 4.2 Nilai Regangan ... 53

Tabel 4.3 Nilai Modulus Elastisitas ... 57

(12)

DAFTAR NOTASI

Simbol Arti Satuan

P Beban kgf

D Diameter cm

σ Tegangan MPa

ε Regangan %

E Modulus Elastisitas MPa

Lf Panjang Akhir cm

Lo Panjang Awal cm

∆L Pertambahan Panjang cm

A Luas Penampang cm2

(13)

ABSTRAK

Aluminium banyak digunakan di dalam aplikasi bidang teknik yang mensyaratkan sifat mekanis yang memadai seperti pengujian tarik dan foto mikro. Sifat mekanis yang disyaratkan untuk aplikasi bidang teknik sangatlah penting sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai sifat mekanis Aluminium dengan paduannya. Pada penelitian ini dilakukan penambahan Magnesium kedalam Aluminium sesuai variasi yang dikerjakan yaitu 2%, 4% dan 6% unsur Magnesium, kemudian dilakukan pengujian tarik dan foto mikro. Hasil pengujian menunjukkan sifat mekanis Aluminium dengan penambahan unsur Magnesium. Nilai dari kekuatan tarik dapat dilihat perbedaannya pada setiap spesimen uji. Pada hasil mikrostruktur berwarna hitam yang menunjukkan Magnesium dan warna putih keperakan merupakan Aluminium. Dengan bertambahnya unsur persen Magnesium pada pengujian tarik, maka kekuatan tarik akan menurun. Dan pada foto mikro terlihat bahwa semakin besar unsur Magnesiumnya, maka cacat yang terjadi pada specimen akan semakin banyak.

(14)

ABSTRACT

Aluminium is widely used in engineering applications that require adequate mechanical properties such as tensile test and micro-photographs. Mechanical properties required for engineering applicationsis very important so need to do research on the mechanical properties of Aluminum alloys. In this study the addition of Magnesium into Aluminum alloya ccording to the variation of work that is 2%, 4% and 6% of the elements Magnesium, tensile testing was then performed and the micropicture. Test results show the mechanical properties of Aluminum with the addition of Magnesium element. The value of tensile strength can be seen the difference on each test specimen. On the microstructure shows a black Magnesium and Aluminum is a silvery white color. With increasing Magnesium element percent in tensile testing, the tensile strength decreases. And the microphoto element is seen that the greater the Magnesium, the defects that occurin the specimens will be more and more.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Aluminium adalah logam berwarna putih keperakan yang lunak.

Aluminium juga merupakan logam yang paling banyak terdapat di kerak bumi,

dan unsur ketiga terbanyak setelah oksigen dan silikon. Aluminium terdapat di

kerak bumi sebanyak kira-kira 8,07% hingga 8,23% dari seluruh massa padat dari

kerak bumi, dengan produksi tahunan dunia sekitar 30 juta ton pertahun dalam

bentuk bauksit dan bebatuan lain (corrundum, gibbsite, boehmite, diaspore, dan

lain-lain). Sulit menemukan Aluminium murni di alam karena Aluminium

merupakan logam yang cukup reaktif.

Aluminium tahan terhadap korosi karena fenomena pasivasi. Pasivasi

adalah pembentukan lapisan pelindung akibat reaksi logam terhadap komponen

udara sehingga lapisan tersebut melindungi lapisan dalam logam dari korosi.

Aluminium murni adalah logam yang lunak, tahan lama, ringan, dan dapat

ditempa dengan penampilan luar bervariasi antara keperakan hingga abu-abu,

tergantung kekasaran permukaannya. Aluminium memiliki berat sekitar satu

pertiga baja, mudah ditekuk, permesinan, dicor, ditarik (drawing), dan diekstrusi.

Resistansi terhadap korosi terjadi akibat fenomena pasivasi, yaitu

terbentuknya lapisan Aluminium oksida ketika Aluminium terpapar dengan udara

bebas. Lapisan Aluminium oksida ini mencegah terjadinya oksidasi lebih jauh.

Aluminium paduan dengan tembaga kurang tahan terhadap korosi akibat reaksi

galvanik dengan paduan tembaga.

Aluminium juga merupakan konduktor panas dan elektrik yang baik. Jika

dibandingkan dengan massanya, Aluminium memiliki keunggulan dibandingkan

dengan tembaga, yang saat ini merupakan logam konduktor panas dan listrik yang

cukup baik, namun cukup berat.

Aluminium banyak digunakan dalam komponen otomotif, kemasan

makanan dan minuman, pesawat militer, dll. Sifat tahan korosi dari Aluminium

diperoleh karena terbentuknya lapisan Aluminium oksida (Al2O3) pada

(16)

sekaligus sukar dilas, karena perbedaan melting point (titik cair). Aluminium

umumnya melebur pada temperatur ±660,320C dan Aluminium oksida melebur

pada temperatur 2519oC.

Penggunaan Aluminium yang sangat luas akan mengakibatkan timbulnya

limbah yang dampaknya akan sangat berbahaya untuk lingkungan. Selain itu,

bahan dasar untuk membuat Aluminium (alumina) sangat terbatas dan

pengolahannya memerlukan dana yang cukup besar. Oleh karena itu perlu

dilakukan daur ulang (recycle) dari limbah Aluminium untuk digunakan sebagai

material teknik.

Salah satu cara daur ulang (recycle) adalah dengan proses peleburan.

Unsur Magnesium termasuk dalam salah satu campuran yang paling baik untuk

Aluminium, dimana hasil paduan dari kedua unsur ini lebih ringan dibandingkan

dengan besi atau baja, ketahanan korosi yang baik, mengurangi kebisingan (Low

Noise) pada pesawat dan mampu mesin yang baik.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan

penelitian pada paduan Aluminium-Magnesium sebagai material Low Noise. Pada

dasarnya unsur Magnesium dapat meningkatkan kemampuan serap bunyi dan

kekuatan tarik (tensile strength) jika dibandingkan dengan unsur Aluminium

murni. Tetapi jika kadar yang diberikan berlebihan, maka terdapat kemungkinan

kekuatan tarik akan menurun.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik

dari paduan Aluminium-Magnesium melalui mechanical propertiesnya.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan Khusus dari penelitian adalah:

(17)

b. Memperoleh Mechanical Properties menggunakan pengujian kekuatan tarik

(tensile strength).

c. Mendapatkan bentuk struktur mikro dari paduan Aluminium-Magnesium

dengan menggunakan foto mikro.

d. Mengetahui penambahan kadar Magnesium terhadap perubahan titik cair

Aluminium pada diagram fasa Aluminium-Magnesium.

e. Mengetahui hubungan antara kekuatan tarik, foto mikro, kekerasan dan

porositas.

1.4 Batasan Masalah

Adapun batasan dari permasalahan ini hanya dibatasi pada kajian untuk

mendapatkan mechanical properties (uji tarik) dan mengetahui bentuk struktur

mikro dari paduan Aluminium-Magnesium.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini disajikan dalam tulisan yang terdiri dari 5 bab.

a. Bab 1: Pendahuluan. Berisikan tentang latar belakang, perumusan masalah,

tujuan penelitian, batasan masalah dan sistematika penulisan.

b. Bab 2: Tinjauan Pustaka. Berisikan tentang sejarah Aluminium, sifat-sifat

Aluminium, sejarah Magnesium, sifat-sifat Magnesium, paduan

Aluminium-Magnesium, sejarah pengecoran, teori pengecoran, proses pengecoran,

pembuatan cetakan, uji tarik, metallography dan variabel riset dan analisis.

c. Bab 3: Metodologi Penelitian. Berisikan urutan cara yang dilakukan. Dimulai

dari waktu dan tempat dilaksanakan penelitian, bahan yang digunakan,

kemudian alat yang digunakan, proses peleburan, pengujian tarik yang meliputi

set up alat uji tarik dan prosedur pengujian dan pengujian metallography yang

meliputi set up alat uji metallography dan prosedur pengujian, dan diagram alir

penelitian.

d. Bab 4: Data dan Analisa Data. Berisi tentang data dan analisa data dari hasil

penelitian dari uji tarik dan hasil uji metallography.

e. Bab 5: Kesimpulan dan Saran. Berisikan kesimpulan dari penelitian dan saran

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aluminium

2.1.1 Sejarah Aluminium

Aluminium diambil dari bahasa Latin: alumen, alum. Orang-orang Yunani

dan Romawi kuno menggunakan alum sebagai cairan penutup pori-pori dan bahan

penajam proses pewarnaan. Pada tahun 1787, Lavoisier menebak bahwa unsur ini

adalah Oksida logam yang belum ditemukan. Pada tahun 1761, de Morveau

mengajukan nama alumine untuk basa alum. Pada tahun 1827, Wohler disebut

sebagai ilmuwan yang berhasil mengisolasi logam ini. Pada tahun 1807, Davy

memberikan proposal untuk menamakan logam ini Aluminum, walau pada

akhirnya setuju untuk menggantinya dengan Aluminium. Nama yang terakhir ini

sama dengan nama banyak unsur lainnya yang berakhir dengan “ium”.

C.M. Hall seorang berkebangsaan Amerika dan Paul Heroult

berkebangsaan Prancis, pada tahun 1886 mengolah Aluminium dari Alumina

dengan cara elektrolisa dari garam yang terfusi. Selain itu Karl Josep Bayer

seorang ahli kimia berkebangsaan Jerman mengembangkan proses yang dikenal

dengan nama proses Bayer untuk mendapat Aluminium murni.

Proses Bayer ini mendapat Aluminium dengan memasukkan bauksit halus

yang sudah dikeringkan kedalam pencampur lalu diolah dengan soda api (NaOH)

dibawah pengaruh tekanan dan suhu diatas titik didih. NaOH akan bereaksi

dengan bauksit menghasilkan Aluminat Natrium yang larut. Selanjutnya tekanan

dikurangi dengan ampas yang terdiri dari oksida besi, Silicon, Titanium dan

kotoran-kotoran lainnya dipisahkan. Lalu Alumina Natrium tersebut dipompa ke

tangki pengendapan dan dibubuhkan kristal hidroksida Alumina sehingga kristal

itu menjadi inti kristal. Inti dipanaskan diatas suhu 980°C dan menghasilkan

Alumina dan dielektrosida sehingga terpisah menjadi oksigen dan Aluminium

murni. Pada setiap 1 kilogram Aluminium memerlukan 2 kilogram Alumina dan 4

(19)

Penggunaan Aluminium ini menduduki urutan kedua setelah besi dan baja dan

tertinggi pada logam bukan besi untuk kehidupan industri.

Secara historis, pengembangan praktek pengecoran untuk Aluminium dan

paduannya merupakan prestasi yang relatif baru. Paduan Aluminium tidak

tersedia dalam jumlah yang substansial untuk pengecoran tujuan hingga lama.

Setelah penemuan pada tahun 1886 dari proses elektrolitik pengurangan

Aluminium oksida oleh Charles Martin Hall di Amerika Serikat dan Paul Heroult

di Perancis. Meskipun penemuan Hall disediakan Aluminium dengan biaya sangat

kecil, nilai penuh dari Aluminium sebagai bahan pengecoran tidak didirikan

sampai paduan cocok untuk proses pengecoran yang sedang berkembang. Sejak

sekitar 1915, kombinasi keadaan-secara bertahap mengurangi biaya, perluasan

transportasi udara, pengembangan pengecoran paduan spesifik, sifat yang lebih

baik, dan dorongan yang diberikan oleh dua perang dunia telah mengakibatkan

penggunaan terus meningkat dari Aluminium coran. Aluminium dan Magnesium

paduan coran, logam ringan, yang membuat langkah-langkah cepat ke arah

penggunaan teknik yang lebih luas.

Aluminium dasar paduan mungkin secara umum akan ditandai sebagai

sistem eutektik, mengandung bahan intermetalik atau unsur-unsur sebagai fase

berlebih. Karena kelarutan relatif rendah sebagian besar elemen paduan dalam

Aluminium dan paduan kompleksitas yang dihasilkan, salah satu paduan dasar

Aluminium dapat berisi beberapa fasa logam, yang terkadang cukup kompleks

dalam komposisi. Fasa ini biasanya lebih larut lumayan dekat suhu eutektik dari

pada suhu kamar, sehingga memungkinkan untuk panas-mengobati beberapa dari

paduan oleh solusi dan penuaan panas-perawatan (Purnomo, 2004).

2.1.2 Sifat-sifat Aluminium

Aluminium telah menjadi salah satu logam industri yang paling luas

penggunaannya di dunia. Aluminium banyak digunakan di dalam semua sektor

utama industri seperti angkutan, konstruksi, listrik, peti kemas dan kemasan, alat

(20)

Adapun sifat-sifat Aluminium antara lain sebagai berikut:

a) Ringan

Memiliki bobot sekitar 1/3 dari bobot besi dan baja, atau tembaga dan banyak

digunakan dalam industri transportasi seperti angkutan udara.

b) Tahan terhadap korosi

Sifatnya durabel sehingga baik dipakai untuk lingkungan yang dipengaruhi

oleh unsur-unsur seperti air, udara, suhu dan unsur-unsur kimia lainnya, baik di

ruang angkasa atau bahkan sampai ke dasar laut.

c) Kuat

Aluminium memiliki sifat yang kuat terutama bila dipadu dengan logam lain.

Digunakan untuk pembuatan komponen yang memerlukan kekuatan tinggi

seperti: pesawat terbang, kapal laut, bejana tekan, kendaraan dan lain-lain.

d) Mudah dibentuk

Proses pengerjaan Aluminium mudah dibentuk karena dapat disambung dengan

logam/material lainnya dengan pengelasan, brazing, solder, adhesive bonding,

sambungan mekanis, atau dengan teknik penyambungan lainnya.

e) Konduktor listrik

Aluminium dapat menghantarkan arus listrik dua kali lebih besar jika

dibandingkan dengan tembaga. Karena Aluminium tidak mahal dan ringan,

maka Aluminium sangat baik untuk kabel-kabel listrik overhead maupun

bawah tanah (Surdia, T. 1992).

f) Konduktor panas

Sifat ini sangat baik untuk penggunaan pada mesin-mesin/alat-alat pemindah

panas sehingga dapat memberikan penghematan energi.

g) Memantulkan sinar dan panas

Aluminium dapat dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki kemampuan

pantul yang tinggi yaitu sekitar 95% dibandingkan dengan kekuatan pantul

sebuah cermin. Sifat pantul ini menjadikan Aluminium sangat baik untuk

(21)

h) Non magnetik

Aluminium sangat baik untuk penggunaan pada peralatan elektronik, pemancar

radio/TV dan lain-lain. Dimana diperlukan faktor magnetisasi negatif.

2.2 Magnesium

2.2.1 Sejarah Magnesium

Magnesia merupakan daerah di Thessaly. Senyawa-senyawa Magnesium

telah lama diketahui. Black telah mengenal Magnesium sebagai elemen pada

tahun 1755. Davy berhasil mengisolasikannya pada tahun 1808 dan Busy

mempersiapkannya dalam bentuk yang koheren pada tahun 1831. Magnesium

merupakan elemen terbanyak kedelepan di kerak bumi. Magnesium tidak muncul

tersendiri, tapi selalu ditemukan dalam jumlah deposit yang banyak dalam bentuk

magnesite, dolomite dan mineral-mineral lainnya. Logam ini sekarang dihasilkan

di AS dengan mengelektrolisis Magnesium klorida yang terfusi dari air asin,

sumur, dan air laut.

Paduan Magnesium merupakan logam yang paling ringan dalam hal berat

jenisnya. Magnesium mempunyai sifat yang cukup baik seperti Alumunium,

hanya saja tidak tahan terhadap korosi. Magnesium tidak dapat dipakai pada suhu

diatas 150°C karena kekuatannya akan berkurang dengan naiknya suhu.

Sedangkan pada suhu rendah kekuatan Magnesium tetap tinggi.

Magnesium dan paduannya lebih mahal daripada Alumunium atau baja

dan hanya digunakan untuk industri pesawat terbang, alat potret, teropong, suku

cadang mesin dan untuk peralatan mesin yang berputar dengan cepat dimana

diperlukan nilai inersia yang rendah. Logam Magnesium ini mempunyai

temperatur 650°C yang perubahan fasanya dapat dilihat pada gambar 2.1.

Karena ketahanan korosi yang rendah ini maka Magnesium memerlukan

perlakuan kimia atau pengecekan khusus segera setelah benda dicetak tekan.

Paduan Magnesium memiliki sifat tuang yang baik dan sifat mekanik yang baik

dengan komposisi 9% Al, 0,5% Zn, 0,13% Mn, 0,5% Si, 0,3% Cu, 0,03% Ni dan

(22)

Gambar 2.1 Diagram fasa magnesium (www.aluminiumlearning.com)

2.2.2 Sifat-Sifat Magnesium

Magnesium merupakan logam yang ringan, putih keperak-perakan dan

cukup kuat. Magnesium mudah ternoda di udara, dan Magnesium yang

terbelah-belah secara halus dapat dengan mudah terbakar di udara dan mengeluarkan lidah

api putih yang menakjubkan.

Magnesium digunakan di fotografi, flares, pyrotechnics, termasuk

incendiary bombs. Magnesium sepertiga lebih ringan dibanding Aluminium dan

dalam campuran logam digunakan sebagai bahan konstruksi pesawat dan missile.

Logam ini memperbaiki karakter mekanik, fabrikasi dan las Aluminium ketika

digunakan sebagai alloying agent. Magnesium digunakan dalam memproduksi

grafit dalam cast iron, dan digunakan sebagai bahan tambahan conventional

propellants. Magnesium juga digunakan sebagai agen pereduksi dalam produksi

uranium murni dan logam-logam lain dari garam-garamnya. Hidroksida (milk of

magnesia), klorida, sulfat (Epsom salts) dan sitrat digunakan dalam kedokteran.

Magnesite digunakan untuk refractory, sebagai batu bata dan lapisan di

(23)

2.3 Paduan Aluminium-Magnesium

Aluminium lebih banyak dipakai sebagai paduan daripada logam paduan

sebab tidak kehilangan sifat ringan dan sifat-sifat mekanisnya serta mampu cornya

diperbaiki dengan menambah unsur-unsur lain. Unsur-unsur paduan yang tidak

ditambahkan pada Aluminium murni selain dapat menambah kekuatan

mekaniknya juga dapat memberikan sifat-sifat baik lainnya seperti ketahanan

korosi dan ketahanan aus.

Keberadaan Magnesium hingga 15,35% dapat menurunkan titik lebur

logam paduan yang cukup drastis, dari 660oC hingga 450oC. Namun, hal ini tidak

menjadikan Aluminium paduan dapat ditempa menggunakan panas dengan mudah

karena korosi akan terjadi pada suhu di atas 60oC. Keberadaan Magnesium juga

menjadikan logam paduan dapat bekerja dengan baik pada temperatur yang sangat

rendah, di mana kebanyakan logam akan mengalami failure pada temperatur

tersebut. Gambar diagram fasa Aluminium-Magnesium dapat dilihat pada gambar

2.2.

Gambar 2.2 Diagram fasa Paduan Al-Mg, temperatur vs persentase Mg

(24)

2.4 Pengecoran

2.4.1 Sejarah Pengecoran

Sejarah pengecoran dimulai ketika orang mengetahui bagaimana

mencairkan logam dan bagaimana membuat cetakan. Hal itu terjadi kira-kira

4.000 tahun sebelum Masehi, sedangkan tahun yang lebih tepat tidak diketahui.

Coran dibuat dari logam yang dicairkan, dituang ke dalam cetakan, kemudian

dibiarkan mendingin dan membeku.

Awal penggunaan logam oleh orang ialah ketika orang membuat perhiasan

dari emas atau perak tempaan, dan kemudian membuat senjata atau mata bajak

dengan menempa tembaga, hal itu dimungkinkan karena logam-logam ini terdapat

di alam dalam keadaan murni, sehingga dengan mudah orang menempanya.

Kemudian secara kebetulan orang menemukan tembaga mencair, selanjutnya

mengetahui cara untuk menuang logam cair kedalam cetakan, dengan demikian

untuk pertama kalinya orang dapat membuat coran yang berbentuk rumit. Coran

tersebut dibuat dari perunggu yaitu suatu paduan tembaga, timah dan timbal yang

titik cairnya lebih rendah dari titik cair tembaga.

Pengecoran perunggu di lakukan pertama di Mesopotamia, kira-kira 3000

tahun sebelum Masehi. Teknik ini diteruskan ke Asia Tengah, India dan Cina.

Kemudian teknik pengecoran Mesopotomia diteruskan juga ke Eropa pada tahun

1500 - 1400 sebelum Masehi. Baru pada abad ke 14 saja pengecoran besi kasar

dilakukan secara besar-besaran. Cara pengecoran pada zaman itu ialah

menuangkan secara langsung logam cair yang di dapat dari biji besi, ke dalam

cetakan, jadi tidak dengan jalan mencairkan kembali besi kasar seperti cara

sekarang. Coran paduan Aluminium dibuat pada akhir abad 19 setelah cara

pemurnian elektrolisasi ditemukan.

2.4.2 Teori Pengecoran

Pengecoran logam merupakan salah satu ilmu pengetahuan tertua yang

dipelajari oleh umat manusia. Ilmu pengecoran logam terus berkembang dengan

pesat. Berbagai macam metode pengecoran logam telah ditemukan dan terus

disempurnakan, diantaranya adalah centrifugal casting, investment casting, dan

(25)

membuat komponen dengan cara menuangkan bahan yang dicairkan ke dalam

cetakan. Bahan di sini dapat berupa metal maupun non-metal. Untuk mencairkan

bahan diperlukan furnace (dapur kupola). Furnace adalah sebuah dapur atau

tempat yang dilengkapi dengan heater (pemanas). Bahan padat dicairkan sampai

suhu titik cair dan dapat ditambahkan campuran bahan seperti chrome, silikon,

titanium, Aluminium dan lain-lain agar bahan menjadi lebih baik.

Aplikasi dari proses pengecoran sangat banyak salah satunya dapat

ditemukan dalam pembuatan komponen permesinan. Proses pengecoran dilakukan

melalui beberapa tahap mulai dari pembuatan cetakan, persiapan dan peleburan

logam, penuangan logam cair ke dalam cetakan, pembersihan coran dan proses

daur ulang pasir cetakan. Hasil pengecoran disebut dengan coran atau benda cor.

Proses pengecoran bisa dibedakan atas 2 yaitu proses pengecoran dan proses

pencetakan. Proses pengecoran tidak menggunakan tekanan sewaktu mengisi

rongga cetakan sedangkan proses pencetakan adalah logam cair ditekan agar

mengisi rongga cetakan. Cetakan untuk kedua proses ini berbeda dimana proses

pengecoran cetakan biasanya dibuat dari pasir sedangkan proses pencetakan,

cetakannya dibuat dari logam.

2.4.3 Proses Pengecoran

Proses pengecoran akan dihasilkan Aluminium dengan sifat-sifat yang

diinginkan. Aluminium murni memiliki sifat mampu cor dan sifat mekanis yang

tidak baik, maka dipergunakanlah Aluminium alloy untuk memperbaiki sifat

tersebut. Beberapa elemen alloy yang sering ditambahkan diantaranya Tembaga,

Magnesium, Mangan, Nikel, Silikon dan sebagainya.

Pada desain coran perlu dipertimbangkan beberapa hal sehingga diperoleh

hasil coran yang baik, yaitu bentuk dari pola harus mudah dibuat, cetakan dari

coran hendaknya mudah, cetakan tidak menyebabkan cacat pada coran.

Untuk membuat cetakan, dibutuhkan saluran turun yang mangalirkan

cairan logam kedalam rongga cetakan. Besar dan bentuknya ditentukan oleh

ukuran, tebalnya irisan dan macam logam dari coran. Selanjutnya diperlukan

(26)

penuangan. Karena kualitas coran tergantung pada saluran turun, penambah,

keadaan penuangan, maka penentuannya memerlukan pertimbangan yang teliti.

Sistem saluran adalah jalan masuk bagi cairan logam yang dituangkan ke

dalam rongga cetakan. Tiap bagian diberi nama, dari mulai cawan tuang dimana

logam cair dituangkan dari ladle, sampai saluran masuk ke dalam rongga cetakan.

Bagian-bagian tersebut terdiri dari: cawan tuang, saluran turun, pengalir, dan

saluran masuk.

a. Cawan tuang

Merupakan penerima yang menerima cairan logam langsung dari ladle.

Cawan tuang biasanya berbentuk corong atau cawan dengan saluran turun di

bawahnya. Cawan tuang harus mempunyai konstruksi yang tidak dapat

melakukan kotoran yang terbawa dalam logam cair dari ladle. Oleh karena itu

cawan tuang tidak boleh terlalu dangkal. Kalau perbandingan antara: H tinggi

logam cair dalam cawan tuang dan d diameter cawan, harganya terlalu kecil,

umpamanya kurang dari 3, maka akan terjadi pusaran-pusaran dan timbullah

kerak atau kotoran yang terapung pada permukaan logam cair. Karena itu

dalamnya cawan tuang sebaiknya dibuat sedalam mungkin. Sebaliknya kalau

terlalu dalam, penuangan menjadi sukar dan logam cair yang tersisa dalam cawan

tuang akan terlalu banyak sehingga tidak ekonomis. Oleh karena itu kedalaman

cawan tuang biasanya 5 sampai 6 kali diameter.

b. Saluran turun

Salurun turun adalah saluran yang pertama yang membawa cairan logam

dari cawan tuang kedalam pengalir dan saluran masuk. Saluran turun dibuat lurus

dan tegak dengan irisan berupa lingkaran. Kadang-kadang irisannya sama dari

atas sampai bawah, atau mengecil dari atas kebawah yang pertama dipakai kalau

dibutuhkan pengisian yang cepat dan lancar, sedangkan yang kedua dipakai

apabila diperlukan penahan kotoran sebanyak mungkin. Salurun turun dibuat

dengan melubangi cetakan dengan mempergunakan satu batang atau dengan

memasang bumbung tahan panas yang dibuat dari samot. Samot ini cocok untuk

membuat salurun turun yang panjang. Ukuran diameter saluran turun bervariasi,

(27)

c. Pengalir

Pengalir adalah saluran yang membawa logam cair dari saluran turun ke

bagian-bagian yang cocok pada cetakan. Pengalir biasanya mempunyai irisan

seperti trapesium atau setengah lingkaran sebab irisan demikian mudah dibuat

pada permukaan pisah, lagi pula pengalir mempunyai luas permukaan yang

terkecil untuk satu luas irisan tertentu, sehingga lebih efektif untuk pendinginan

yang lambat. Pengalir lebih baik sebesar mungkin untuk melambatkan

pendinginan logam cair. Logam cair dalam pengalir masih membawa kotoran

yang terapung, terutama pada permulaan penuangan sehingga harus

dipertimbangkan untuk membuang kotoran tersebut. Perpanjangan pemisah dibuat

pada ujung saluran pengalir agar logam cair yang pertama masuk akan mengisi

seluruh ruang pada cetakan, serta membuat kolam putaran pada saluran masuk

dan membuat saluran turun bantu.

d. Saluran Masuk

Saluran masuk adalah saluran yang mengisikan logam cair dari pengalir

kedalam rongga cetakan. Saluran masuk dibuat dengan irisan yang lebih kecil dari

pada irisan pengalir, agar dapat mencegah kotoran masuk kedalam rongga

cetakan. Bentuk irisan saluran masuk biasanya berupa bujur sangkar, trapesium,

segitiga atau setengah lingkaran yang membesar kearah rongga cetakan untuk

mencegah terkikisnya cetakan. Kadang-kadang irisannya diperkecil ditengah dan

diperbesar lagi kearah rongga. Pada pembongkaran saluran turun, irisan terkecil

ini mudah diputuskan sehingga mencegah kerusakan pada coran. Saluran masuk

dapat dilihat pada gambar 2.3.

(28)

Pada gambar 2.3 diatas terlihat posisi saluran masuk diletakkan disamping

saluran pengalir, tujuannya penghubung atau aliran cairan kedalam coran yang

akan dibentuk. Saluran masuk tidak bagus terlalu panjang, dapat mengakibatkan

penurunan temperatur ke dalam coran yang akan dibentuk.

2.4.4 Pembuatan Cetakan

Ada 2 jenis cetakan yang sering digunakan pada proses pengecoran, yaitu:

a. Cetakan Logam

Cetakan yang biasa digunakan pada pengecoran logam adalah cetakan

logam. Cetakan logam umumnya sering digunakan karena porositas yang terjadi

lebih sedikit bila dibandingkan dengan cetakan pasir. Pada penuangan, logam cair

mengalir melalui pintu cetakan, maka bentuk pintu cetakan harus dibuat

sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu aliran logam cair. Pada umumnya

logam cair dituangkan dengan pengaruh gaya berat, walaupun dapat juga

dipergunakan tekanan pada logam cair selama atau setelah penuangan.

Pengecoran cetak adalah suatu cara pengecoran dimana logam cair ditekan ke

dalam cetakan logam dengan tekanan tinggi.

b. Cetakan Pasir

Cara ini dibuat dengan cara memadatkan pasir. Pasir yang dipakai adalah

pasir alam atau pasir buatan yang mengandung tanah lempung. Biasanya

dicampurkan pengikat khusus seperti air-kaca, semen, resin furan, resin fenol

(minyak pengering), dan bentonit karena penggunaan zat-zat tersebut memperkuat

cetakan atau mempermudah pembuatan cetakan.

Untuk membuat coran, harus dilakukan beberapa proses seperti pencairan,

pembuatan cetakan, penuangan, pembongkaran dan pembersihan coran. Untuk

mencairkan logam bermacam-macam dapur yang dipakai. Umumnya kupola

(dapur induksi frekwensi rendah) dipergunakan untuk besi cor, dapur busur listrik

(dapur induksi frekwensi tinggi) digunakan untuk baja tuang dan dapur krus untuk

paduan tembaga atau coran paduan ringan, karena dapur ini dapat memberikan

logam cair yang baik dan sangat ekonomis untuk logam-logam tersebut. Cetakan

(29)

2.5 Uji Tarik

Uji tarik termasuk dalam pengujian bahan yang paling mendasar.

Pengujiannya sangat sederhana dan sudah memiliki standarisasi di seluruh dunia

(Amerika ASTM E8 dan Jepang JIS 2241). Dengan melakukan uji tarik suatu

bahan, maka akan diketahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap energi

tarikan dan sejauh mana material itu bertambah panjang. Alat eksperimen untuk

uji tarik ini harus memiliki cengkeraman (grip) yang kuat dan kekakuan yang

tinggi (highly stiffness). Gambar mesin uji tarik dapat dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Mesin Uji Tarik (Tensile Test)

Bila gaya tarik terus diberikan kepada suatu bahan (logam) sampai putus,

maka akan didapatkan profil tarikan yang lengkap berupa kurva seperti

digambarkan pada Gambar 2.5. Kurva ini menunjukkan hubungan antara gaya

tarikan dengan perubahan panjang. Profil ini sangat diperlukan dalam desain yang

(30)

Gambar 2.5 Hasil dan kurva pengujian tarik

Hal paling penting dalam pengujian tarik adalah kemampuan maksimum

bahan tersebut dalam menahan beban. Kemampuan ini umumnya disebut

Ultimate Tensile Strength” disingkat dengan UTS, atau Tegangan Tarik

Maksimum. Gambar spesimen uji tarik yang sesuai dengan standar E8 ASTM

volume 3 bisa dilihat pada gambar 2.6.

(31)

Detail profil uji tarik dan sifat mekanik logam dapat dilihat pada gambar

2.7.

Gambar 2.7 Profil data hasil uji tarik

(www.infometrik.com)

Analisa uji tarik dimulai dari titik O sampai D sesuai dengan arah panah

dalam gambar. Keterangannya dalah sebagai berikut:

• Batas Elastis σE (Elastic Limit)

Dalam Gambar 2.7. dinyatakan dengan titik A. Bila sebuah bahan diberi beban

sampai pada titik A, kemudian bebannya dihilangkan, maka bahan tersebut akan

kembali ke kondisi semula (tepatnya hampir kembali ke kondisi semula) yaitu

regangan “nol” pada titik O (lihat inset dalam Gambar 2.7.). Tetapi bila beban

ditarik sampai melewati titik A, hukum Hooke tidak lagi berlaku dan terdapat

perubahan permanen dari bahan. Terdapat konvensi batas regangan permamen

(permanent strain) sehingga masih disebut perubahan elastis yaitu kurang dari

0.02%, tetapi sebagian referensi menyebutkan 0.005%. Tidak ada standarisasi

yang universal mengenai nilai ini.

• Batas Proporsional σp (Proportional Limit)

Titik sampai dimana penerapan hukum Hooke masih bisa ditolerir. Tidak ada

standarisasi tentang nilai ini. Dalam praktek, biasanya batas proporsional sama

(32)

• Deformasi Plastis (Plastic Deformation)

Yaitu perubahan bentuk yang tidak kembali ke keadaan semula. Pada Gambar

2.7. yaitu bila bahan ditarik sampai melewati batas proporsional dan mencapai

daerah landing.

• Tegangan Luluh Atas σuy (Upper Yield Stress)

Tegangan maksimum sebelum bahan memasuki fase daerah landing peralihan

deformasi elastis ke plastis.

• Tegangan Luluh Bawah σly (Lower Yield Stress)

Tegangan rata-rata daerah landing sebelum benar-benar memasuki fase

deformasi plastis. Bila hanya disebutkan tegangan luluh (yield stress), maka

yang dimaksud adalah tegangan ini.

• Regangan Luluh εy (Yield Strain)

Regangan permanen saat bahan akan memasuki fase deformasi plastis.

• Regangan Elastis εe (Elastic Strain)

Regangan yang diakibatkan perubahan elastis bahan. Pada saat beban dilepaskan

regangan ini akan kembali ke posisi semula.

• Regangan Plastis εp (Plastic Strain)

Regangan yang diakibatkan perubahan plastis. Pada saat beban dilepaskan

regangan ini tetap tinggal sebagai perubahan permanen bahan.

• Regangan Total (Total Strain)

Merupakan gabungan regangan plastis dan regangan elastis, εT = εe+εp.

Perhatikan beban dengan arah OABE. Pada titik B, regangan yang ada adalah

regangan total. Ketika beban dilepaskan, posisi regangan ada pada titik E dan

besar regangan yang tinggal (OE) adalah regangan plastis.

• Tegangan Tarik Maksimum TTM (UTS, Ultimate Tensile Strength)

Pada Gambar 2.7. ditunjukkan dengan titik C (σβ), merupakan besar tegangan maksimum yang didapatkan dalam uji tarik.

• Kekuatan Patah (Breaking Strength)

Pada Gambar 2.7. ditunjukkan dengan titik D, merupakan besar tegangan

dimana bahan yang diuji putus atau patah.

Untuk hampir semua logam, pada tahap sangat awal dari uji tarik,

(33)

perubahan panjang bahan tersebut. Ini disebut daerah linier atau linear zone.

Tegangan yang terjadi adalah beban yang terjadi dibagi luas penampang bahan

dan regangan adalah pertambahan panjang dibagi panjang awal bahan. Atau

secara matematis dapat ditulis:

�= �

� …(2.1)

Dan

� =∆�

�0�

100% …(2.2)

Hubungan kedua persamaan ini adalah:

E =σ

ε …(2.3) Dimana :

� = Tegangan (MPa)

� = Regangan (%)

�1 = Panjang akhir (cm) �0 = Panjang awal (cm)

E = Modulus elastisitas (MPa)

Grafik tegangan-regangan Aluminium 1100 dapat dilihat pada gambar 2.8.

σyield

0.2%

(34)

Untuk hasil uji tarik yang tidak memiliki daerah linier dan landing yang

jelas, tegangan luluh biasanya didefinisikan sebagai tegangan yang menghasilkan

regangan permanen sebesar 0.2%, regangan ini disebut offset-strain.

Diagram tegangan-regangan bahan keramik dengan menggunakan uji

lentur mirip dengan hasil pengujian tarik untuk bahan logam (Aluminium).

Terdapat hubungan linear antara tegangan dan regangan. Nilai modulus elastisitas

bahan adalah slope (kemiringan) dari nilai tegangan regangan yang dihasilkan.

Diagram tegangan-regangan linier untuk deformasi elastis bahan dapat dilihat

pada gambar 2.9.

Gambar 2.9 Diagram tegangan-regangan linier untuk deformasi elastis bahan

(Callister, 2001)

Dalam bentuk matematis, persamaan dapat ditulis sebagai berikut:

� = ∆�

∆� …(2.4)

Dimana: E = Modulus Elastisitas bahan (MPa)

= Tegangan (MPa)

(35)

Sifat mekanis (pada Tension) dari bahan dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Sifat mekanis (pada Tension) bahan pada suhu kamar untuk jenis

logam paduan.

Gambar patahan spesimen hasil pengujian tarik untuk Aluminium dapat

dilihat pada gambar 2.10.

Gambar 2.10 Patahan hasil uji tarik dari Aluminium

(36)

2.6Metallography

Analisa mikro adalah suatu analisa mengenai struktur logam melalui

pembesaran dengan menggunakan mikroskop khusus metallography. Dengan

analisa mikro struktur, kita dapat mengamati bentuk dan ukuran kristal logam,

kerusakan logam akibat proses deformasi, proses perlakuan panas, dan perbedaan

komposisi.

Sifat-sifat logam terutama sifat mekanis dan sifat teknologis sangat

mempengaruhi dari mikro struktur logam dan paduannya. Struktur mikro dari

logam dapat diubah dengan jalan perlakuan panas ataupun dengan proses

perubahan bentuk (deformasi) dari logam yang akan diuji. Pengamatan

metallography dengan mikroskop optik dapat dibagi dua, yaitu metallography

makro yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran 10-100 kali dan

metallography mikro yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran diatas 100

kali.

Adapun gambar alat uji foto mikro dapat dilihat pada gambar 2.11.

Gambar 2.11 Alat Uji Foto Mikro (Mikroskop optic)

Gambar 2.11 adalah alat uji struktur mikro, yang fungsinya untuk

mengambil gambar dari spesimen yang di uji dengan ukuran 200 x pembesaran

(metallography).

Sebelum melakukan percobaan metallography terhadap suatu material,

terlebih dahulu harus ditentukan material logam apa yang akan diuji. Sebaiknya

(37)

percobaan dengan data mikro struktur yang sebenarnya dari suatu material yang

dijadikan benda uji. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan dalam

percobaan metallography ini adalah sebagai berikut:

a. Cutting (Pemotongan)

Pemilihan sampel yang tepat dari suatu benda uji studi mikroskopik

merupakan hal yang sangat penting. Pemilihan sampel tersebut didasarkan pada

tujuan pengamatan yang hendak dilakukan. Pada umumnya bahan komersil tidak

homogen, sehingga satu sampel yang diambil dari suatu volume besar tidak dapat

dianggap representatif. Pengambilan sampel harus direncanakan sedemikian

sehingga menghasilkan sampel yang sesuai dengan kondisi rata-rata bahan atau

kondisi di tempat-tempat tertentu (kritis), dengan memperhatikan kemudahan

pemotongan pula. Secara garis besar, pengambilan sampel dilakukan pada daerah

yang akan diamati mikrostruktur maupun makrostrukturnya.

Ada beberapa sistem pemotongan sampel berdasarkan media pemotong

yang digunakan, yaitu meliputi proses pematahan, pengguntingan, penggergajian,

pemotongan abrasi (abrasive cutter), gergaji kawat, dan EDM (Electric Discharge

Machining). Berdasarkan tingkat deformasi yang dihasilkan, teknik pemotongan

terbagi menjadi dua yaitu teknik pemotongan dengan deformasi yang besar,

menggunakan gerinda dan teknik pemotongan dengan deformasi kecil,

menggunakan low speed diamond saw. Sebagai contoh, untuk pengamatan

mikrostruktur material yang mengalami kegagalan, maka sampel diambil sedekat

mungkin pada daerah kegagalan (pada daerah kritis dengan kondisi terparah),

untuk kemudian dibandingkan dengan sampel yang diambil dari daerah yang jauh

dari daerah gagal. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam proses memotong, harus

dicegah kemungkinan deformasi dan panas yang berlebihan. Oleh karena itu,

setiap proses pemotongan harus diberi pendinginan yang memadai.

b. Mounting

Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak beraturan

akan sulit untuk ditangani khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan

pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang berupa kawat, spesimen

(38)

penanganannya, maka spesimen-spesimen tersebut harus ditempatkan pada suatu

media (media mounting).

Secara umum syarat-syarat yang harus dimiliki bahan mounting adalah

sebagai berikut :

1. Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa).

2. Sifat eksoterimis rendah.

3. Viskositas rendah.

4. Penyusutan linier rendah.

5. Sifat adhesi baik.

6. Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel.

7. Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah dan bentuk ketidakteraturan

yang terdapat pada sampel.

8. Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM, bahan mounting harus

kondusif.

Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan jenis

reagen etsa yang akan digunakan. Pada umumnya mounting menggunakan

material plastik sintetik. Materialnya dapat berupa resin (castable resin) yang

dicampur dengan hardener, atau bakelit. Penggunaan castable resin lebih mudah

dan alat yang digunakan lebih sederhana dibandingkan bakelit, karena tidak

diperlukan aplikasi panas dan tekanan. Namun bahan castable resin ini tidak

memiliki sifat mekanis yang baik (lunak) sehingga kurang cocok untuk

material-material yang keras. Teknik mounting yang paling baik adalah menggunakan

thermosetting resin dengan menggunakan material bakelit. Material ini berupa

bubuk yang tersedia dengan warna yang beragam. Thermosetting mounting

membutuhkan alat khusus, karena dibutuhkan aplikasi tekanan (4200 lb/in2) dan

panas (1490˚C) pada mold saat mounting.

c. Grinding (Pengamplasan)

Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah terkorosi

memiliki permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan agar

pengamatan struktur mudah untuk dilakukan. Pengamplasan dilakukan dengan

(39)

mesh. Urutan pengamplasan harus dilakukan dari nomor mesh yang rendah

(hingga 150 mesh) ke nomor mesh yang tinggi (180 hingga 600 mesh). Ukuran

grit pertama yang dipakai tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman

kerusakan yang ditimbulkan oleh pemotongan. Hal yang harus diperhatikan pada

saat pengamplasan adalah pemberian air. Air berfungsi sebagai pemidah geram,

memperkecil kerusakan akibat panas yang timbul yang dapat merubah struktur

mikro sampel dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas. Hal lain yang

harus diperhatikan adalah ketika melakukan perubahan arah pengamplasan, maka

arah yang baru adalah 450 atau 900 terhadap arah sebelumnya.

d. Polishing (Pemolesan)

Setelah diamplas sampai halus, sampel harus dilakukan pemolesan.

Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang halus bebas

goresan dan mengkilap seperti cermin dan menghilangkan ketidak teraturan

sampel. Permukaan sampel yang akan diamati di bawah mikroskop harus

benar-benar rata. Apabila permukaan sampel kasar atau bergelombang, maka

pengamatan struktur mikro akan sulit untuk dilakukan karena cahaya yang datang

dari mikroskop dipantulkan secara acak oleh permukaan sampel. Tahap

pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu kemudian dilanjutkan

dengan pemolesan halus.

Ada 3 metode pemolesan antara lain yaitu sebagai berikut:

1. Pemolesan Elektrolit Kimia

Hubungan rapat arus dan tegangan bervariasi untuk larutan elektrolit dan

material yang berbeda dimana untuk tegangan, terbentuk lapisan tipis pada

permukaan, dan hampir tidak ada arus yang lewat, maka terjadi proses etsa.

Sedangkan pada tegangan tinggi terjadi proses pemolesan.

2. Pemolesan Kimia Mekanis

Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang

dilakukan serentak di atas piringan halus. Partikel pemoles abrasif dicampur

(40)

3. Pemolesan Elektro Mekanis (Metode Reinacher)

Merupakan kombinasi antara pemolesan elektrolit dan mekanis pada piring

pemoles. Metode ini sangat baik untuk logam mulia, Tembaga, Kuningan, dan

Perunggu.

e. Etching (Etsa)

Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara

selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik

menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel sehingga detil struktur

yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam. Untuk beberapa material,

mikrostruktur baru muncul jika diberikan zat etsa. Sehingga perlu pengetahuan

yang tepat untuk memilih zat etsa yang tepat, yaitu:

1. Etsa Kimia

Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia dimana zat

etsa yang digunakan ini memiliki karakteristik tersendiri sehingga

pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan diamati. Contohnya antara

lain: nitrid acid / nital (asam nitrit + alkohol 95%), picral (asam picric +

alkohol), ferric chloride, hydroflouric acid, dan lain-lain. Perlu diingat bahwa

waktu etsa jangan terlalu lama (umumnya sekitar 4-30 detik), dan setelah dietsa, segera dicuci dengan air mengalir lalu dengan alkohol kemudian

dikeringkan dengan alat pengering.

2. Elektro Etsa (Etsa Elektrolitik)

Merupakan proses etsa dengan menggunakan reaksi elektro etsa. Cara ini

dilakukan dengan pengaturan tegangan dan kuat arus listrik serta waktu

pengetsaan. Etsa jenis ini biasanya khusus untuk stainless steel karena dengan

etsa kimia susah untuk mendapatkan detil strukturnya.

2.7Variabel Riset Dan Analisis

Sebelum peleburan dilakukan, terlebih dahulu ditentukan Aluminium yang

ingin dilebur. Pada penelitian ini ada 3 variasi yang dikerjakan. Peleburan pertama

Aluminium dibutuhkan sebanyak 2,75 kg dimana Magnesium yang akan dipadu

(41)

paduan Aluminium-Magnesium. Tetapi pada peleburan selanjutnya, kandungan

Magnesium yang akan dicampur bervariasi.

Pada peleburan pertama, total Aluminium-Magnesium yang akan dilebur 2,8 kg.

Aluminium 2,75 kg, jadi Magnesium yang dibutuhkan 50 gram. Perhitungannya

sebagai berikut:

Keterangan:

Aluminium: 2750 gram a = % Magnesium yang diinginkan

Magnesium: 50 gram

Solusi: 2750 x �

100 = 50

jadi, a = 50�100

2750

= 1,818%

Jadi hasil % Magnesium yang diinginkan pada percobaan ini adalah

1,818%, tetapi sering terjadi perbedaan hasil uji komposisi yang tidak sesuai

dengan variasi yang diinginkan pada paduan Aluminium-Magnesium ini.

Penyebabnya ialah pada waktu peleburan yang dilakukan banyak terdapat kotoran

pada cairan Aluminium. Maka sebaiknya menggunakan bahan kimia berupa fluks.

Fluks fungsinya ialah pembersih kotoran yang terkandung di dalam

Aluminium-Magnesium pada waktu dilebur. Sehingga pada waktu peleburan tidak

menghasilkan ampas/kotoran yang banyak. Demikian pula pada peleburan

selanjutnya untuk mendapatkan variasi paduan Aluminium-Magnesium yang

(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini berisikan metode yang digunakan untuk menyelesaikan

permasalahan pada skripsi ini. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu:

Melakukan pembuatan spesimen uji tarik dengan menggunakan bahan

Aluminium-Magnesium, pengujian kekuatan tarik dan foto mikro.

3.1 Waktu dan Tempat

Waktu penelitian ini dimulai dari bulan Oktober 2011 sampai dengan

bulan Desember 2011. Tempat dilaksanakannya proses peleburan pada penelitian

ini adalah disebuah industri pengecoran logam yang berada di Jln. Krakatau

tepatnya Jln. Madiosantoso No. 45 C Kelurahan Pulau Brayan Darat I. Adapun

pengujian kekuatan tarik dan foto mikro dilaksanakan di Laboratorium Teknologi

Mekanik dan Laboratorium Metallurgy Departemen Teknik Mesin Fakultas

Teknik Universitas Sumatera Utara.

3.2 Bahan Dan Alat Penelitian 3.2.1 Bahan penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Aluminium

Pada peleburan ini Aluminium yang digunakan adalah Aluminium sekrap

yang telah didaur ulang dan dibentuk menjadi batangan (ingot). Sebelum

dilakukan proses peleburan, Aluminium ini dipotong sesuai ukuran yang

diinginkan terlebih dahulu agar memudahkan proses peleburan. Adapun

Aluminium batangan bisa dilihat pada gambar 3.1 (a) dan Aluminium yang sudah

dipotong bisa dilihat pada gambar 3.1 (b).

(43)

(b)

Gambar 3.1 (a) Aluminium dalam bentuk batangan (b) Aluminium yang sudah

dipotong

b. Magnesium

Pada peleburan ini, juga digunakan Magnesium dalam bentuk batangan

(ingot) yang akan dilebur dengan Aluminium ingot. Sebelum dilakukan proses

peleburan, Magnesium ini juga dipotong terlebih dahulu sesuai ukuran yang

diinginkan agar memudahkan proses peleburan. Magnesium batangan bisa dilihat

pada gambar 3.2 (a) dan Magnesium yang sudah dipotong bisa dilihat pada

gambar 3.2 (b).

(a)

(b)

Gambar 3.2 (a) Magnesium dalam bentuk batangan (b) Magnesium yang sudah

(44)

c. Kayu

Banyak sekali bahan bakar yang digunakan dalam proses peleburan di

dapur crucible, baik itu batubara, briket, kerosin, kayu maupun arang kayu. Kayu

merupakan bahan bakar pengganti kerosin. Selain harga yang lebih murah, kayu

juga dapat menghasilkan panas yang baik untuk peleburan. Bahan bakar (kayu)

dapat dilihat pada gambar 3.3.

Gambar 3.3 Bahan bakar (kayu)

3.2.2 Alat penelitian

a. Mesin Potong

Mesin potong digunakan untuk memotong Aluminium dan Magnesium

yang berbentuk batangan untuk mempermudah proses peleburan. Aluminium dan

Magnesium dipotong hingga menjadi potongan kecil agar dapat ditimbang sesuai

variasi yaang dikerjakan. Mesin potong dapat dilihat pada gambar 3.4.

(45)

b. Dapur Peleburan

Dapur lebur digunakan untuk sumber panas yang dihasilkan dari bahan

bakar berupa kayu bakar dan sebagai alat pelebur logam yang akan dilebur. Dapur

ini terbuat dari batu bata dan semen tahan api. Dapur peleburan dapat dilihat pada

gambar 3.5.

Gambar 3.5 Dapur Peleburan

c. Alat Uji Kekuatan Tarik

Alat uji kekuatan tarik digunakan untuk mengetahui kekuatan dari suatu

material yang telah dibentuk berdasarkan ukuran standar untuk pengujian tarik

(gambar 2.4).

d. Ladle

Ladle merupakan alat penuang dalam peleburan. Aluminium cair yang

memiliki suhu tinggi diambil dari dalam crucible dan dituangkan ke dalam

cetakan. Ukuran dari alat ini disesuaikan dengan volume cetakan dan

penggunanya. Ladle dapat dilihat pada gambar 3.6.

(46)

e. Crucible

Crucible adalah tempat yang digunakan untuk mencairkan Aluminium.

Akan lebih efisien jika diberikan penutup pada bagian atasnya. Dimensi dari

crucible ini juga bergantung pada volume cairan yang diinginkan. Crucible dapat

dilihat pada gambar 3.7.

Gambar 3.7 Crucible dan penutupnya

f. Blower

Blower digunakan untuk menjaga panas yang dihasilkan dari hasil

pembakaran arang. Tanpa alat ini, maka panas yang dihasilkan dari arang tidak

terdistribusi dengan baik dan panas yang dihasilkan tidak maksimal. Blower dapat

dilihat pada gambar 3.8.

(47)

g. Mesin Bubut

Mesin bubut digunakan untuk membentuk spesimen uji tarik. Hasil

cetakan dibentuk menggunakan mesin bubut untuk membentuk spesimen yang

akan diuji pada uji tarik agar ukuran pada spesimen sesuai dengan standar ASTM.

Mesin bubut dapat dilihat pada gambar 3.9.

Gambar 3.9 Mesin Bubut

h. Cetakan Logam

Cetakan logam ini berfungsi untuk menbentuk spesimen pada waktu

penuangan hasil pengecoran. Cetakan logam dapat dilihat pada gambar 3.10.

(48)

i. Mesin Polish

Mesin polish digunakan untuk meratakan permukaan benda uji yang akan

digunakan pada alat foto mikro. Dimana benda kerja harus dipolish secara

bertahap dengan kertas pasir yang telah disediakan hingga pemukaannya halus.

Mesin polish dapat dilihat pada gambar 3.11

Gambar 3.11 Mesin Polish

3.3Proses Peleburan

Pada proses peleburan Aluminium dilebur dengan penambahan unsur

Magnesium untuk kemudian dilakukan uji mekanis pada bahan tersebut.

Penambahan unsur Magnesium dilakukan terhadap Aluminium sesuai dengan

perbandingan yang diinginkan. Pada peleburan Magnesium ini dilakukan

beberapa tahap, yang setiap tahapnya ditambah beberapa persen (%) Magnesium.

Untuk mengetahui pengaruhnya maka dilakukan pengujian mekanis terhadap

Aluminium setelah ditambahkan Magnesium.

Cara pertama Aluminium di dapat dari sebuah industri peleburan

Aluminium, lalu dipotong hingga menjadi beberapa bagian menggunakan mesin

potong agar mempermudah proses peleburan (gambar 3.4). Kemudian Aluminium

terlebih dahulu dilebur hingga mencair pada temperatur 600-660 ˚C, setelah mencapai suhu diatas, Magnesium dimasukkan ke dalam cairan aluminium yang

(49)

Gambar 3.12 Proses peleburan Aluminium-Magnesium

Setelah proses peleburan antara Aluminium-Magnesium berlangsung,

maka akan dilakukan proses pengadukan agar campuran

Aluminium-Magnesiumnya merata. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.13.

Gambar 3.13 Proses pengadukan Aluminium-Magnesium

Setelah dilakukan proses pengadukan, hasil peleburan antara Aluminium

-Magnesium dituang ke dalam cetakan logam. Seperti yang ditunjukkan pada

gambar 3.14.

(50)

Setelah proses penuangan Aluminium-Magnesium ke dalam cetakan,

maka cetakan dibuka untuk mengeluarkan spesimen hasil coran. Seperti yang

ditunjukkan pada gambar 3.15.

Gambar 3.15 Bentuk spesimen hasil coran

Setelah spesimen tersebut dikeluarkan, maka spesimen kemudian akan

dibersihkan untuk dimesin. Spesimen yang dimesin mempunyai standar ukuran

masing-masing dari setiap pengujian. Spesimen yang telah dimesin akan diuji

dengan menggunakan uji tarik (tensile test).

3.4Pegujian Tarik

Tujuan dilakukannya pengujian tarik adalah untuk mengetahui

kemampuan bahan tersebut menahan beban maksimum dan sejauh mana material

tersebut bertambah panjang. Pengujian tarik sudah mempunyai standar yang

sesuai, yaitu standar E8 ASTM volume 3.

3.4.1 Set Up Pengujian Tarik

Gambar set up pengujian tarik dapat dilihat pada gambar 3.16. Gambar ini

menerangkan nama dan kegunaan masing-masing bagian dari mesin uji tarik

(51)

Gambar 3.16 Set up pengujian tarik

Adapun keterangan gambar 3.16 diatas adalah:

a. Chuck berfungsi mengikat spesimen uji.

b. Spesimen uji

c. Hidrolik berfungsi menaik turunkan pencekam atas dan bawah.

d. Alat penunjuk beban berfungsi menunjukkan beban pada waktu pengujian.

e. Strain recorder berfungsi sebagai tempat diletakkannya kertas grafik.

f. Panel control berfungsi sebagai alat yang menghidupkan dan mematikan mesin

uji tarik.

g. Motor yang berfungsi untuk menggerakkan mesin uji tarik.

3.4.2 Prosedur Pengujian

Adapun prosedur pengujian pada pengujian tarik adalah sebagai berikut:

a. Spesimen dijepit pada chuck.

b. Kertas grafik diletakkan pada strain recorder.

c. Jarum pada load dial gouge diletakkan pada angka nol dan diberikan beban

pada spesimen hingga mencapai beban maksimum.

d. Pompa dihidupkan.

e. Motor memberikan beban pada hidrolik.

a b c

d

e

f

(52)

f. Hidrolik menggerakkan column naik ke atas.

g. Amati besarnya beban pada load dial gouge (alat penunjuk beban) yang

terhubung dengan strainrecorder sewaktu melakukan pengujian.

h. Setelah spesimen putus, maka pompa dimatikan.

3.5Pengujian Metallography

Tujuan dilakukannya pengujian metallography adalah untuk mengetahui

bentuk struktur mikro dari suatu material.

3.5.1 Set Up Pengujian Metallography

Gambar set up pengujian metallography dapat dilihat pada gambar 3.17.

Gambar 3.17 Set up pengujian metallography

Adapun keterangan gambar pada gambar 3.17 adalah sebagai berikut:

a. Alat untuk memperbesar zoom pada lensa optik.

b. Optik.

c. Alat untuk memutar spesimen pada kaca optik.

d. Alat untuk menggganti kaca optik.

e. Kaca Optik.

f. Spesimen.

a

b

e

(53)

3.5.2 Prosedur Pengujian

Adapun prosedur pengujian metallography adalah sebagai berikut:

a. Menyiapkan benda uji dengan menghaluskan pada spesimen benda yang akan

dilakukan pengujian.

b. Benda uji digosok dengan kertas amplas menggunakan mesin polish (gambar

3.11) diatas permukaan yang rata dan penggosokan dilakukan dengan

menggunakan kertas amplas tahan air yang dialiri air. Ukuran kertas amplas

yang digunakan adalah kekasaran 400, 800, 1000, dan 1500 permukaan yang

dihaluskan dengan amplas hanya satu permukaan saja.

c. Kemudian dibersihkan dan digosok menggunakan pasta poles (autosol) sampai

mengkilap kemudian menyiapkan alat etsa yang diperlukan yaitu : tabung

reaksi, gelas ukur dan pipet. Kemudian bahan yang dipergunakan yaitu:

Alkohol 96 %, 24 ml air, 5 ml nital dan 0,5 hf.

Larutan bahan etsa tersebut dicampur dan diaduk, lalu teteskan ke benda uji

selama ± 10 detik. Kemudian permukaan benda yang akan diuji dengan etsa

dibersihkan dengan cairan alkohol dan cuci benda uji dengan air bersih

kemudian keringkan.

d. Benda uji yang telah dietsa diletakkan diatas landasan (anvil) tegak lurus

dengan lensa mikroskop dan diambil gambar dengan pembesaran yang dipakai

200 X.

3.6 Diagram Alir Penelitian

Diagram alir penelitian menunjukkan proses yang dilakukan selama

peneltian. Langkah awal dari penelitian ini adalah mempelajari tentang paduan

Aluminium-Magnesium (studi literatur Al-Mg). Setelah itu dilanjutkan dengan

proses peleburan Aluminium-Magnesium. Setelah melakukan proses peleburan

Aluminium-Magnesium maka dilanjutkan dengan pencetakan spesimen. Setelah

pencetakan spesimen, maka akan dilakukan pengujian. Pengujian yang dilakukan

pada penelitian ini adalah pengujian tarik. Setelah dilakukan pengujian, maka

akan didapat data dari hasil pengujian tersebut. Setelah didapat data dari hasil

(54)

pengolahan data, maka selanjutnya akan dilakukan penulisan laporan. Setelah

penulisan laporan ini selesai, maka penelitian ini sudah selesai dilaksanakan.

Gambar diagram alir dapat dilihat pada gambar 3.18.

Gambar 3.18 Diagram alir penelitian Mulai

Studi Literatur Al-Mg

Peleburan Al dan Mg

Mencetak Spesimen

Pengujian

Data Pengujian

Pengolahan Data

Hasil

Laporan

Selesai

(55)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pembuatan Spesimen dari Proses Peleburan

Bentuk dari spesimen pengujian tarik sudah mempunyai standar dengan

meenggunakan standar dari Annual book of ASTM Vol.3 E8M-00b. Gambar

spesimen pengujian tarik dari paduan Aluminium-Magnesium dapat dilihat pada

gambar 4.1.

Gambar 4.1 Bentuk Spesimen Uji Tarik

4.2Hasil Pengujian

Hasil pengujian pada penelitian ini meliputi hasil pengujian tarik dan hasil

pengujian foto mikro.

4.2.1 Hasil Pengujian Tarik

Berikut adalah gambar dari kurva pengujian tarik:

a. Spesimen I Al 98% - Mg 2%

Dari kurva pengujian tarik spesimen I dengan variasi Al 98% - Mg 2%

terlihat beban ultimate (Pu) mempunyai nilai 1020 kgf, beban fracture (Pf)

Gambar

Gambar 2.5 Hasil dan kurva pengujian tarik
Gambar 2.7 Profil data hasil uji tarik
Gambar 2.9 Diagram tegangan-regangan linier untuk deformasi elastis bahan
Gambar patahan spesimen hasil pengujian tarik untuk Aluminium dapat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Struktur mikro aluminium foam setelah dilakukan penambahan magnesium sebanyak 4% hasilnya memperlihatkan bahwa.. magnesiumdalam bentuk serpihan-serpihan.Porositas yang tidak

Pengujian struktur mikro dan pengujian kekerasan dilakukan di Laboratorium Bahan Teknik, Program Diploma Teknik Mesin, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada (UGM)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kuat arus pengelasan terhadap kekuatan tarik dan struktur mikro hasil pengelasan SMAW pada material Aluminium 6061

Berdasarkan hasil pengujian tarik dan tekuk pada aluminium 5083 dengan variasi arus listrik dan sudut kampuh maka didapat variasi sudut terbaik pada penelitian ini

Data penelitian yang berjumlah 3 data yakni variasi magnesium dengan kadar 0% (raw material), variasi magneium dengan kadar 1% dan variasi magnesium dengan kadar 4%,

Berdasarkan uraian diatas, akan dilakukan penelitian dengan proses pengecoran menggunakan metode stir casting dengan penambahan berbagai variasi unsur, dengan judul

MAGNESIUM PADA PROSES PENGECORAN VELG ALUMINIUM DENGAN METODE PENGECORAN CETAKAN TEKAN TERHADAP TINGKAT KEKERASAN, KEKUATAN IMPACT DAN STRUKTUR MIKRO.. Skripsi,

Grafik hasil uji tarik Berdasarkan dari pengujian tarik yang telah dilakukan mendapatkan hasil seperti pada tabel 3 pada spesimen dengan variasi parameter kecepatan putar 910 rpm