• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Serologi Sistiserkosis pada Babi yang dijual di Pasar Remu Kota Sorong, Papua Barat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prevalensi Serologi Sistiserkosis pada Babi yang dijual di Pasar Remu Kota Sorong, Papua Barat."

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI SEROLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI

YANG DIJUAL DI PASAR REMU KOTA SORONG

PAPUA BARAT

YULIANA FATIE

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Prevalensi Serologi Sistiserkosis Pada Babi yang Dijual di Pasar Remu Kota Sorong Papua Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014 Yuliana Fatie

(4)

ABSTRAK

YULIANA FATIE. Prevalensi Serologi Sistiserkosis pada Babi yang dijual di Pasar Remu Kota Sorong, Papua Barat. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA dan SRI MURTINI.

Penularan Taenia solium dan Cysticercus cellulosae pada manusia sangat dipengaruhi oleh sanitasi lingkungan yang buruk dan tingkat kematangan daging yang dikonsumsi. Studi mengenai kejadian sistiserkosis pada babi di wilayah Papua Barat belum banyak dilakukan sehingga dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang di jual di pasar Remu Kota Sorong, Papua Barat. Penelitian ini dilakukan dengan memeriksa 30 sampel serum, daging babi dan organ viseralnya. Pada pemeriksaan daging babi dan organ viseral tidak ditemukan adanya kista Cysticercus cellulosae. Sampel serum diperiksa dengan metode Sandwich ELISA yang berfungsi mendeteksi keberadaan antigen Cysticercus cellulosae dalam sampel serum. Hasil uji ELISA menunjukkan satu diantaranya positif mengandung antigen Cysticercus cellulosae dengan prevalensi 3.33%, sehingga dapat disimpulkan bahwa presentase serum positif ini tergolong rendah. Hal ini dipengaruhi oleh sanitasi lingkungan yang baik, cara pemasaran, lokasi pengambilan sampel, dan cara mengolah daging babi yang berbeda dengan daerah endemis seperti Jayawijaya dan daerah pemekaran di sekitarnya.

Kata kunci: Babi, ELISA, Pasar Remu Sorong, Sistiserkosis. ABSTRACT

YULIANA FATIE. 2014. Seroprevalence of Cysticercosis in Porcine in Remu Market Sorong,West Papua. Supervised by FADJAR SATRIJA and SRI MURTINI.

Taenia solium and Cysticercus cellulosae are transmitted depending on environmental sanitation and maturity level of the porcine meat. The study of the incidence of cysticercosis in West Papua has not done, the aim of this study were determine the incidence of cysticercosis in pigs which by examined sold in Remu Market Sorong, West Papua. The study was done by examined 30 samples of pigs, serum, meat, and viscera.The samples were observed to detect the present of the cysts of Cysticercus cellulosae. The result shows Cysticercus cellulosae cysts was absent in both porcine meat and viscera. The serum was examined using Sandwich ELISA method to detect the presence of Cysticercus cellulosae antigen. The result of ELISA test showed only one sample (3.33%) contains Cysticercus cellulosae antigen. It can be concluded that the serologic prevalence of Cysticercus cellulosae in Sorong is low. This could be influenced by environmental sanitation, marketing system, and the different way to process porcine meat between Sorong, and other endemic area such as Jayawijaya and Paniai District.

(5)

PREVALENSI SEROLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI

YANG DIJUAL DI PASAR REMU KOTA SORONG

PAPUA BARAT

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli hingga September 2012 ini adalah Prevalensi Serologi Sistiserkosis Pada Babi yang Dijual di Pasar Remu Kota Sorong Papua Barat.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh Fadjar Satrija MSc PhD selaku pembimbing skripsi utama yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penyelesaian skrpsi ini serta Dr Drh Sri Murtini MSi selaku pembimbing akademik dan skripsi yang telah banyak mengarahkan dalam pembelajaran akademik dan memberikan saran serta bimbingan selama penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pada Bapak Beny Oropa, Paulus Karet, dan Nimbrot Harra yang telah banyak membantu selama pengambilan sampel di lapangan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Karel Fatie serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya serta seluruh teman-teman Imapa Bogor dan Geochelone FKH 46.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Morfologi Taenia solium 2

Siklus Hidup Taenia solium 2

Taeniasis dan Sistiserkosis pada manusia 3

Sistiserkosis pada Babi 3

Metode deteksi sistiserkosis 4

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat 4

Desain Penelitian 5

Deteksi dan Identifikasi sistiserkus pada babi 5

Protokol ELISA 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat kejadian sistiserkosis pada babi 7

Kondisi peternakan babi 9

Cara pengolahan dan pola makan masyarakat Sorong 10

Rantai pemasaran daging babi 10

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 12

Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 13

LAMPIRAN 15

(10)

DAFTAR TABEL

1 Daerah asal dan jumlah babi yang dilakukan pemeriksaan postmortem

dan serologis 7

2 Hasil pengamatan dan wawancara kondisi peternakan 9 3 Hasil pengamatan dan wawancara cara pengolahan dan cara makan 10 4 Hasil pengamatan dan wawancara rantai pemasaran daging babi 11

DAFTAR GAMBAR

1 Siklus hidup Taenia solium 3

2 Kondisi babi yang diumbar & dikandangkan sepanjang hari 9 3 Cara menyembelih dan menjual daging babi di pasar Remu Sorong 12

DAFTAR LAMPIRAN

(11)

PENDAHULUAN

Sistiserkosis merupakan salah satu penyakit parasitik yang disebabkan oleh infeksi larva metacestoda atau Cysticercus cellulosae dari Taenia solium. Babi merupakan inang antara dari Taenia solium dan berperan sebagai sumber infeksi Cysticercus cellulosae bagi manusia. Sistiserkosis sering terjadi pada daerah yang banyak mengkonsumsi daging babi dan memiliki sanitasi lingkungan yang rendah.

Kasus sistiserkosis dan taeniasis sering ditemukan di Propinsi Sumatra Utara, Bali, dan Papua. Pada tahun 2007 Propinsi Papua dimekarkan wilayahnya menjadi dua propinsi yaitu Propinsi Papua dan Papua Barat. Propinsi Papua memiliki dua Kabupaten yang endemis sistiserkosis yaitu Jayawijaya dan Paniai (Salim et al. 2009). Sorong dan wilayah lainnya di Propinsi Papua Barat merupakan wilayah yang kurang mendapat informasi tentang bahaya dan dampak penyakit ini namun memiliki potensi untuk terjadinya sistiserkosis. Studi tentang kejadian sistiserkosis di Papua Barat pernah dilakukan di Kabupaten Manokwari dengan memeriksa 274 sampel serum manusia dan terbukti delapan diantaranya positif mengandung sistiserkus (Wandra et al. 2007), sedangkan studi mengenai kejadian sistiserkosis pada babi di wilayah Propinsi Papua Barat belum pernah dilakukan. Studi tentang kejadian sistiserkois pada manusia dan babi serta penyebarannya di Propinsi Papua lebih banyak dilakukan di Kabupaten Jayawijaya, Paniai, serta beberapa daerah pemekaran dari Jayawijaya yaitu Yahukimo, Tolikara, dan Pegunungan Bintang (Subahar et al. 2000; Wandra et al. 2003).

Perumusan Masalah

Wilayah di Propinsi Papua Barat merupakan wilayah yang belum diketahui data kejadian sistiserkosis pada babi sehingga penelitian ini didesain untuk mengetahui :

1. Tingkat kejadian sistiserkosis pada babi di Sorong

2. Pengaruh manajemen pemeliharaan, sanitasi lingkungan, dan pola pengolahan, mata rantai pemasaran serta tingkat konsumsi daging babi terhadap kejadian sistiserkosis di Sorong

Tujuan Penelitian

(12)

2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemerintah Kota dan Kabupaten Sorong untuk meningkatkan usaha dalam pengendalian dan pencegahan kejadian sistiserkosis. Selain itu, diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai pengaruh manajemen pemeliharaan, sanitasi lingkungan, dan pola pengolahan daging terhadap kejadian sistiserkosis di Sorong, Papua Barat.

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Morfologi Taenia solium

Taenia solium merupakan salah satu jenis cacing pita yang tinggal dan hidup di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikasi taksonomi cacing pita ini termasuk dalam kelas Eucestoda, ordo Taenidae, family Taenidae dan genus Taenia. Tergolong dalam satu genus dengan Taenia solium adalah Taenia saginata dan Taenia asiatica yang juga bersifat zoonosis (Rajshekkhar et al. 2003).

Cacing dewasa dapat tumbuh hingga mencapai panjang 2-8 meter di dalam usus halus manusia. Tubuh cacing ini terdiri atas tiga bagian yaitu skoleks, leher, dan strobila. Skoleks merupakan anggota tubuh yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies Taenia dan berfungsi untuk melekat pada dinding usus. Strobila merupakan bagian tubuh yang terdiri dari rangkaian proglotida yang terletak di belakang leher. Proglotida terbagi atas tiga bagian berdasarkan perkembangan organ reproduksinya yaitu proglotida muda, dewasa, dan gravid (mature). Setiap proglotid gravid dapat mengeluarkan 40.000 telur (Levine 1994).

Siklus Hidup Taenia solium

(13)

3

Gambar 1 Siklus hidup T. solium (CDC 2013)

Siklus hidup Taenia solium diawali ketika cacing dewasa yang hidup di usus halus manusia melepaskan segmen proglotid yang mengandung telur infektif dan keluar dari tubuh manusia bersama feses.Telur infektif yang dikeluarkan jika termakan oleh babi maka di dalam tubuh babi, telur akan berkembang menjadi larva yang mendiami otot-otot pengunyah seperti otot masseter dan lidah serta otot-otot yang banyak bergerak seperti jantung, diafragma, dan kaki belakang. Daging yang mengandung kista jika termakan dalam kondisi kurang matang maka kista akan berkembang menjadi cacing dewasa di dalam organ tubuh manusia. Selain itu, manusia juga dapat terinfeksi jika secara tidak sengaja menelan telur berembrio melalui makanan/air yang tercemar oleh feses penderita taeniasis. Telur cacing juga dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui mekanisme autoinfeksi yaitu penderita taeniasis akan menelan telur berembrio melalui tangannya yang tercemar feses (Kraft 2007).

Taeniasis dan Sistiserkosis pada Manusia

Taniasis dan sistiserkosis sering terjadi di negara berkembang yang memiliki populasi dan tingkat konsumsi daging babi yang tinggi serta rendahnya tingkat pendidikan dan sarana prasarana (Dorny et al. 2003). Kasus sistiserkosis pada manusia ditandai dengan adanya kista Taenia solium di dalam organ otot, otak, mata, dan jantung manusia. Gejala yang ditimbulkan penderita yaitu gagal jantung, hidrosephalus, gangguan penglihatan, epilepsi serta gangguan lainnya tergantung pada tempat predileksi dari larva ini.

Sistiserkosis pada Babi

(14)

4

Cysticercus cellulosae mencapai 0.12%. Maitindom (2008) melakukan studi pada babi yang di jual di pasar Jibaman Kabupaten Jayawijaya Papua dengan tingkat prevalensi mencapai 77,1% untuk Cysticercus cellulosae. Infeksi ringan sistiserkosis pada babi tidak memperlihatkan dampak yang serius namun memiliki dampak ekonomis yaitu adanya penolakan daging pada pemeriksaan postmortem, baik sebagai daging untuk konsumsi lokal ataupun untuk diekspor sehingga merugikan baik untuk pemilik, ekonomi secara regional maupun nasional (Radfar et al. 2005).

Metode Deteksi Sistiserkosis

Metode yang sering digunakan untuk mendiagnosa taeniasis dan sistiserkosis pada manusia maupun hewan meliputi metode serologis dan non serologis. Metode serologis yang sering digunakan yaitu uji enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dan enzyme linked immunoelectro transfer blot (EITB). Uji ELISA digunakan untuk mendeteksi keberadaan Cysticercus cellulosae melalui antibodi anti Cysticercus cellulosae dalam serum (Sato et al. 2003). Prinsip kerja ELISA yaitu mendeteksi keberadaan ikatan spesifik antara antigen dan antibodi atau sebaliknya. Teknik EITB merupakan salah satu tes yang paling spesifik yang memiliki tingkat spesifitasnya mencapai 100% (Tsang et al. 1989, dalam Dorny et al. 2003). Keuntungan dari uji serologis yaitu dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakit pada hewan hidup serta relatif tidak mahal dan mudah dilakukan untuk sejumlah besar sampel serum (Dorny et al. 2003).

Metode non serologis yang sering digunakan yaitu palpasi lidah dan pemeriksaan postmortem (OIE 2008). Teknik palpasi lidah membutuhkan keahlian yang tinggi, memiliki sensitifitas yang rendah dan hanya mampu mendeteksi ternak yang terinfeksi berat. Pemeriksaan postmortem digunakan untuk mendeteksi sistiserkus pada daging babi sebelum dijual atau dikonsumsi. Teknik palpasi lidah memiliki sensitivitas 16.1% dan spesifitas 100%, sedangkan pemeriksaan postmortem memiliki sensitivitas 38.7% dan spesifitas 100% (Dorny et al. 2004). Model ELISA yang mendeteksi antibodi memiliki sensitivitas 45.2% dan spesifitas 88.2%, sedangkan model ELISA yang mendeteksi antigen memiliki sensitivitas 92.3% dan spesifitas 98.7% (Van Kerckhoven et al. 1998, dalam Dorny et al. 2000).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

(15)

5 Sorong. Identifikasi sistiserkus dari sampel serum yang diambil dilakukan di Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Desain Penelitian

Penelitian ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama yaitu dilakukan pengambilan sampel serum dari 30 ekor babi yang disembelih dan dijual di Pasar Remu Kota Sorong, Papua Barat. Sebelum babi disembelih, dilakukan pencatatan mengenai asal Distrik, jenis kelamin, bobot badan, umur, dan tanggal pengambilan sampel. Selanjutnya, dilakukan pengambilan sampel darah dan pengamatan terhadap daging babi dan organ viseral. Sampel darah yang diambil tersebut kemudian diinkubasi dalam suhu ruang selama satu jam. Darah tersebut kemudian diinkubasikan kembali dalam refrigerator selama 24 jam pada suhu 4 °C hingga terbentuk serum. Setelah terbentuk serum, selanjutnya dipanen dengan cara meletakkannya dalam tabung mikro berukuran 1.5 ml lalu disimpan di freezer hingga diidentifikasi. Bagian kedua yaitu dilakukan pengamatan dan wawancara terhadap manajemen dan sistim pemeliharaan, rantai pemasaran, cara pengolahan daging, dan sanitasi lingkungan. Pengamatan dan wawancara dilakukan pada sembilan Distrik yang berbeda dengan mewawancarai dua responden berbeda tiap Distriknya. Selain itu, dilakukan juga wawancara pada dua orang penjual daging dan dilakukan pengamatan terhadap kondisi tempat jual beli daging serta pasar secara keseluruhan. Bagian ketiga yaitu dilakukan pengambilan data populasi ternak babi di Dinas Peternakan Kota dan Kabupaten Sorong.

Deteksi dan Identifikasi Sistiserkus pada Babi

Deteksi keberadaan sistiserkus pada babi yang dijual di Pasar Remu Kota Sorong dilakukan dengan menggunakan metode Sandwich ELISA. Deteksi keberadaan sistiserkus dilakukan terhadap 30 sampel serum babi. Serum kontrol positif yang digunakan berasal dari penelitian Assa (2011) yang dalam pemeriksaan postmortem ditemukan adanya sistiserkus dalam daging babi. Babi tersebut berasal dari peternakan rakyat di Kabupaten Jayawijaya, sedangkan serum kontrol negatif yang digunakan berasal dari peternakan di Jawa Tengah.

Protokol ELISA

(16)

6

Pre-treatment serum dilakukan dengan mencampurkan 37.5 µL serum dan 37.5 µL larutan TCA (tricloroacetic acid 5% dalam aquabides) dalam tabung mikro. Campuran tersebut dikocok dengan vortex hingga homogen lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 20 menit. Setelah diinkubasi, campuran tersebut di vortex lagi lalu disentrifus selama sembilan menit pada kecepatan 12000 g. Setelah sembilan menit, diambil supernatant yang terbentuk dengan pipet mikro lalu dicampurkan dengan larutan karbonat/bikarbonat pH 10 sebanyak 37.5 µL di dalam tabung mikro. Campuran tersebut kemudian disimpan pada suhu 4 °C hingga akan digunakan.

Coating dilakukan dengan melapisi sumuran cawan dengan antibodi penangkap dalam konsentrasi 5 µg/mL coating buffer karbonat/bikarbonat pH 9.8. Antibodi penangkap yang digunakan dalam penelitian ini berupa antibodi monoklonal anti Taenia saginata (kode produksi : B158C11A10). Sebanyak 50 µL antibodi penangkap dimasukkan ke dalam masing- masing sumur kecuali sumur A1 dan B1. Sumur A1 dan B1 merupakan sumur kontrol untuk substrat buffer dan hanya diisi dengan 50 µL coating buffer. Selanjutnya, dilakukan inkubasi di dalam shaker inkubator selama 30 menit pada suhu 37 °C. Setelah itu, dilakukan pencucian dengan PBS Tween-20 0.05% (buffer pencuci) sebanyak satu kali menggunakan pipet mikro multi channel.

Blocking dilakukan untuk menutup permukaan sumur yang tidak dilekati oleh antibodi penangkap. Tahap ini dilakukan dengan memasukkan 50 µL larutan blocking berupa New Born Calf Serum 1% di dalam buffer pencuci pada setiap sumur. Cawan tersebut diinkubasi dalam shaker inkubator selama 15 menit pada suhu 37 °C.

Pemasukan sampel dilakukan dengan memasukkan sampel serum yang telah dipre-treatment sebanyak 50 µL ke dalam masing-masing sumur sesuai dengan pola. Cawan tersebut, kemudian diinkubasi dalam shaker inkubator selama 15 menit pada suhu 37 °C. Kemudian, tiap-tiap sumur dalam cawan tersebut dicuci sebanyak lima kali menggunakan buffer pencuci.

Pemberian antibody pendeteksi dilakukan dengan memasukan sebanyak 50 µL antibodi pendeteksi dengan konsentrasi 1.25 µg/mL larutan blocking ke dalam setiap sumur kecuali sumur A1 dan B1. Sumur A1 dan B1 hanya diisi dengan larutan blocking sebanyak 50 µL. Selanjutnya, cawan tersebut diinkubasikan di dalam shaker inkubator pada suhu 37 °C selama 15 menit. Antibodi pendeteksi yang digunakan berupa antibodi monoklonal anti Taenia saginata yang telah dikonjugasikan dengan biotin.

Pemberian konjugat dilakukan dengan cara memasukkan konjugat berupa streptavidin (1/10000 µl larutan blocking) sebanyak 50 µL kecuali sumur A1 dan B1. Kedua sumur ini diisi dengan 50 µL larutan blocking. Kemudian cawan tersebut diinkubasikan dalam shaker inkubator pada suhu 37 ºC selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan pencucian dengan buffer pencuci sebanyak lima kali.

(17)

7

Pemberian stop solution dilakukan dengan cara menambahkan 50 µL larutan stop solution pada setiap sumur. Tahap ini bertujuan menghentikan reaksi pada sumur. Larutan stop solution yang digunakan berupa asam kuat H2SO4.

Pembacaan nilai absorbansi dilakukan dengan menggunakan ELISA reader dengan panjang gelombang 492 nm dan 655 nm. Penghitungan rataan nilai absorbansi dari masing-masing sampel serum dilakukan setelah didapat nilai absorbansi dari hasil pembacaan. Penentuan nilai cutoff didapatkan dari hasil perhitungan nilai t-student dari kontrol negatif.

Status sampel serum ditentukan berdasarkan rasio rata-rata dari nilai absorbansi (OD) terhadap nilai cut off. Serum dinyatakan positif mengandung antigen sirkulasi Cysticercus cellulosae bila nilai rasio antara rataan nilai absorbansinya dengan cut off bernilai lebih besar dari 1. Serum dinyatakan negatif mengandung antigen sirkulasi Cysticercus cellulosae bila nilai rasio antara rataan nilai absorbansinya dengan cut off kurang dari 1. Serum positif menunjukkan bahwa di dalam serum tersebut mengandung antigen Cysticercus cellulosae, sedangkan serum negatif menunjukkan bahwa serum tersebut tidak mengandung antigen Cysticercus cellulosae. Data hasil pemeriksaan ELISA selanjutnya dianalisis dengan meteode deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkat Kejadian Sistiserkosis pada Babi

Penelitian ini dilakukan dengan memeriksa 30 sampel daging babi dan organ viseral dari 19 ekor babi betina dan 11 ekor babi jantan lalu diambil sampel serumnya untuk diteliti lebih lanjut dengan metode Sandwich ELISA. Fokus penelitian ini yaitu melihat ada tidaknya sestiserkus pada daging babi dan organ viseral serta mengambil serumnya sehingga tidak mempertimbangkan faktor bobot badan, ras, umur, dan jenis kelamin dari ternak yang diambil. Pemeriksaan postmortem dan serologis secara lengkap tersaji pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 Daerah asal dan jumlah babi yang dilakukan pemeriksaan postmortem dan serologis Positif Negatif Positif Negatif Jantan Betina

(18)

8

Hasil pemeriksaan postmortem dari 30 ekor babi yang diambil sampel serumnya pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ditemukannya kista sistiserkus pada daging babi dan organ viseral. Pemeriksaan postmortem pada penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati atau memeriksa daging babi dan organ viseral secara menyeluruh tetapi tidak dilakukan penyayatan. Hasil pemeriksaan postmortem ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maitindom (2008) di Jayawijaya. Maitindom melakukan pemeriksaan postmortem terhadap 12 ekor babi yang disembelih dan di jual di Pasar Jibaman dan terlihat tujuh ekor diantaranya positif (58.3%) mengandung Cysticercus cellulosae. Hal ini menunjukkan bahwa kasus sistiserkosis pada babi yang dijual di Pasar Jibaman tersebut cukup tinggi. Kedua hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang sangat besar karena disebabkan oleh perbedaan Kota atau Kabupaten asal dilakukanya pengambilan sampel, kondisi sanitasi lingkungan, jumlah sampel yang diambil, serta perbedaan manajemen pemeliharaan dan cara mengolah makanan.

Hasil uji serologis pada Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 30 sampel serum yang diperiksa dari sembilan Distrik yang berbeda terdapat satu sampel positif mengandung antigen Cysticercus cellulose dengan prevalensi 3.33 %. Data uji serologis pada Tabel 1 menunjukkan bahwa prevalensi sistiserkosis di wilayah Kota dan Kabupaten Sorong termasuk dalam kategori daerah non endemik karena presentase kasus sistiserkosis yang ditemukan berada di bawah sepuluh persen. Pengkategorian ini sesuai dengan pernyataan dari Garcia et al. (2003) yang menyatakan bahwa suatu daerah dikatakan endemis sistiserkosis jika memilki prevalensi lebih dari sepuluh persen.

Jumlah sampel yang diperiksa dalam penelitian ini sebanyak 30 sehingga satu temuan positif akan memberikan presentase kasus yang besar. Jumlah sampel yang diperiksa berjumlah 30 karena sesuai dengan jumlah babi yang disembelih dan dijual di pasar tersebut per harinya yaitu 2- 3 ekor. Selain itu, populasi babi di wilayah Kota dan Kabupaten Sorong yang tidak terlalu banyak yaitu kurang dari 1545 ekor sehingga pengambilan sejumlah sampel untuk diperiksa sudah representative. Metode pemeriksaan yang digunakan pada penelitian ini yaitu pemeriksaan postmortem dan teknik deteksi antigen ELISA (Ag – ELISA). Masing-masing metode memiliki tingkat sensitivitas dan spesifitas yang berbeda sehingga dapat memberikan hasil uji yang berbeda. Antigen ELISA memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dari pemeriksaan postmortem sehingga mampu mendeteksi sistiserkosis pada tingkat infeksi ringan (Dorny et al. 2000). Pemeriksaan postmortem memiliki sensitivitas yang rendah sehingga dapat menyebabakan tidak terdeteksinya Cysticercus cellulosae pada tingkat infeksi ringan.

(19)

9 utama kejadian sistiserkosis pada anjing sehingga satu-satunya penyebab sistiserkosis di Papua adalah Cysticercus cellulosae (Ito et al. 2008).

Kondisi Peternakan Babi

Sistem peternakan babi di wilayah Kota dan Kabupaten Sorong umumnya bersifat semi intensif. Hasil wawancara pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar ternak babi dipelihara dengan cara di kandangkan namun ada juga sebagian kecil yang diumbar pada siang hari dan malamnya dikandangkan. Hasil pengamatan dan wawancara terhadap kondisi peternakan tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil pengamatan dan wawancara kondisi peternakan

Pertanyaan Hasil wawancara

Cara Pemeliharaan ternak babi

a) Dikandangkan 14

b) Dilepas siang hari lalu malam dikandangkan 4

Sanitasi kandang dan lingkungan sekitar peternakan

a) Baik 2

b) Cukup baik 15

Peternak dan warga punya jamban

a) Ya 18

b) Tidak 0

Warga tidak defekasi di sembarang tempat

a) Ya 18

Babi yang dipelihara dengan cara dikandangkan sepanjang hari menyebabkan peluang terjadinya sistiserkosis sangat kecil karena babi tidak dapat mengais makanan pada tanah atau lingkungan yang tercemar larva sistiserkus. Selain itu, kondisi sanitasi kandang dan lingkungan sekitar tempat pemeliharaan babi juga terlihat cukup baik sehingga dapat terhindar dari sistiserkosis dan gangguan penyakit lainnya (Gambar 2B).

Gambar 2 Kondisi pemeliharaan babi di Kota dan Kabupaten Sorong

Ket : A = Diumbar siang hari & malam di kandangkan, B = dikandangkan sepanjang hari.

(20)

10

Kondisi sanitasi lingkungan di wilayah Kota dan Kabupaten Sorong cukup baik jika dibandingkan dengan Jayawijaya. Sanitasi Lingkungan di wilayah ini terlihat cukup baik karena walaupun terdapat sebagian kecil ternak babi yang dipelihara dengan cara diumbar namun peternak serta tetangga sekitarnya memiliki jamban dan tidak melakukan defekasi di sembarang tempat sehingga memiliki resiko yang kecil terhadap kejadian sistiserkosis. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Maitindom (2008) menemukan kasus sitiserkosis yang cukup tinggi di Jayawijaya karena masyarakat tidak memiliki jamban dan melakukan defekasi di sembarang tempat.

Cara Pengolahan dan Pola makan Masyarakat Sorong

Hasil wawancara pada Tabel 3 menunjukkan bahwa masyarakat Sorong memiliki kebiasaan mengolah makanan yang berbeda dengan wilayah Papua lain seperti Jayawijaya dan daerah pemekaran disekitarnya. Hasil pengamatan dan wawancara terhadap cara pengolahan dan pola makan tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil pengamatan dan wawancara cara pengolahan dan pola makan

Pertanyaan Hasil wawancara

Masyarakat di Sorong mengolah makanana terutama daging babi dengan cara dimasak hingga matang dan tidak memiliki kebiasaan bakar batu sehingga kejadian sistiserkosis di wilayah ini tidak tinggi. Hal ini dikarenakan hampir sebagian besar wilayah Sorong dihuni oleh campuran suku-suku baik dari Papua maupun non Papua sehingga telah terjadi pencampuran budaya yang berdampak pada perubahan cara hidup dan mengolah makanan. Hal ini terlihat dengan tidak ditemukannya kista sistiserkus pada pemeriksaan postmortem dan prevalensi Cysticercus cellulosae yang rendah setelah diuji dengan metode Sandwich ELISA. Pangan protein hewani yang sering dikonsumsi masyarakat di wilayah ini yaitu ikan. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa protein hewani yang paling banyak dikonsumsi yaitu ikan karena harganya yang relatif lebih murah dan mudah didapat sehingga menyebabkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi daging babi menjadi sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan Jayawijaya. Selain ikan, protein hewani lainnya yang sering dikonsumsi yaitu daging ayam, tikus hutan, burung, udang, dan makanan laut lainnya.

Rantai Pemasaran Daging Babi

(21)

11 lalu dilakukan proses penawaran harga sehingga dapat dibeli. Biasanya ternak babi langsung disembelih di tempat ataupun di bawa oleh penjual lalu disembelih pada tempat khusus yang dipakai untuk menyembelih yang letaknya dekat dengan area pasar . Hasil pengamatan dan wawancara terhadap mata rantai pemasaran daging babi tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil pengamatan dan wawancara rantai pemasaran daging babi

Pertanyaan Hasil wawancara

Cara mendapat daging babi untuk di jual

a) Survei ke peternak 16

b) Peternak langsung menghubungi penjual 2

Tempat penyembelihan babi

a) Di tempat peternak 2

b) Di tempat khusus dekat pasar 16

Jumlah babi yang dipotong dan dijual per hari

a) 1-2 ekor 4

b) Di atas meja beralaskan daun pisang 18

Tempat penyembelihan dan penjualan daging terpisah

a) Ya 18

b) Tidak 0

Apakah terdapat rumah potong hewan untuk babi

a) Ya 0

b) Tidak 18

Jumlah ternak babi yang dijual di pasar Remu Sorong berkisar antara 2-3 ekor per hari pada hari biasa dan 5-7 ekor per hari pada hari raya (natal dan tahun baru). Jumlah babi yang disembelih dan dijual ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang disembelih dan dijual di pasar Jibaman Jayawijaya yaitu sebanyak 5-10 ekor per hari (Maitindom 2008). Sedikitnya Jumlah babi yang dipotong dan dijual di pasar remu Sorong sebanding dengan populasi ternak babi yang tidak tinggi di wilayah Kota Sorong yaitu sebesar 895 ekor dan Kabupaten Sorong sebesar 650 ekor (Dinas Peternakan Kota dan Kabupaten Sorong 2012).

(22)

12

Gambar 3 Cara menyembelih dan menjual daging babi di Pasar Remu Sorong

Ket : A & B = Proses penyembelihan, C & D = Cara daging babi dijajakan

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Tingkat kejadian sistiserkosis pada babi yang dijual di pasar Remu Sorong adalah tergolong rendah dengan prevalensi 3.33%. Hasil uji ELISA dari 30 sampel yang diperiksa terbukti satu diantaranya mengandung antigen Cysticercus cellulosae. Prevalensi sistiserkosis yang rendah ini terjadi karena dipengaruhi oleh kondisi sanitasi lingkungan yang baik, tradisi atau budaya, sistem peternakan, cara mengolah makanan, dan perilaku masyarakat yang berbeda antara masyarakat di wilayah Kota dan Kabupaten Sorong dengan masyarakat di wilayah endemis sistiserkosis seperti Jayawijaya dan daerah pemekaran di sekitarnya.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan besaran sampel yang lebih representatif sehingga dapat diketahui lebih jelas prevalensi sistiserkosis di wilayah ini.

D

C

A

(23)

13

DAFTAR PUSTAKA

Ansari JA, Karki P, Dwivedi S, Ghotekar LH, Rauniyar RK, Rijal S. 2003. Neurocysticercosis.Kathmandu University Medical Journal.Vol.1(1):48-55.

[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Cysticercosis [internet].

[diunduh 2013 Februari 08]. Tersedia pada:

http://www.cdc.gov/parasites/cysticercosis/biology.html

Dharmawan NS. 1990. Tingkat kejadian sistiserkosis menurut metode pemeriksaan kesehatan babi di Rumah Potong Hewan Denpasar [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[Dinpet Kota] Dinas Peternakan Kota. 2012. Data Populasi Ternak Babi di wilayah Kota Sorong.

[Dinpet Kab] Dinas Peternakan Kabupaten Sorong. 2012. Data Populasi Ternak Babi di Wilayah Kabupaten Sorong.

Dorny P, Vercammen F, Brandt J, Vansteenkiste W, Berkvens D, Geerts S. 2000. Sero epidemiological study of Taenia saginata cysticercosis in Belgian cattle.VetParasitol. 88: 43-49.

Dorny P, Brandt J, Zoli A, Geerts S. 2003. Immunodiagnostic tools for human and porcine cysticercosis.Acta Trop. 87: 79-86.

Dorny P, Phiri IK, Vercruysse J, Gabriel S, Willingham AL, Brandt J, Victor B, Speybroeck, Berkvens D. 2004. A Bayesian approach for estimating values for prevalence and diagnostic test characteristics of porcine cysticercosis.Int J P arasitol. 34: 569-576.

Garcia HH, Gonzalez EA, Evans WA, Gilman RH. 2003. Taenia Immunological diagnosis of taeniasis and cysticercosis in Asia and the Pasific.Southheast Asian J Trop Med Public Health 39: 37-49.

Kraf R. 2007. Cysticercosis: an emerging parasitic disease. Am Fam Physician.76: 91-96.

Levine ND. 1994. Parasitologi Veteriner. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Pr.

Maitindom FD. 2008. Studi kejadian sistiserkosis pada babi yang dijual di Pasar Jibaman Kabupaten Jayawijaya Papua [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[OIE]. Office International des Epizooties. 2008. Cysticercosis. Terrestrial

Manual:1216-1226.[terhubung berkala]

(24)

14

Radfar MH, Tajalli S, Jlaljadesh M. 2005. Prevalence and morphological of Cysticercus tenuicollis ( Taenia hydatigena cysticerci) from sheep and goats in Iran. Vet Arhiv. 75: 469-476.

Rajshekkhar V, Joshi DD, Doanh NQ, De Van N, Xiaonong Z. 2003. Taenia solium taeniasis/cysticercosis inAsia :Epidemiology, impact and issue. Acta Tropica. 87: 53-60.

Salim L, Ang A, Handali S, Tsang VCW. 2009. Seroepidemiologic survey of cysticercosis-taeniasis in four central highland district of Papua, Indonesia. Am J Trop Med Hyg. 80: 384-388.

Sato MO, Yamasaki H, Sako Y, Nakao M, Nakaya K, Plancarte A, Kassuku AA, Dorny P, Ito A, Geers S, Hashuguchi Y, Ortis WB. 2003. Evaluation of tongue inspection and serology for diagnosis of Taenia solium Cysticercosis in swine: usefulness of ELISA using purified glycoproteins and recombinant antigen. Vet Parasitol 111: 309 -322.

Soulsby EJL. 1982. Helminths Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. London (GB): Bailliere Tindal.

Subahar R et al.. 2000. Cysticercosis seropositivity in pigs of Jayawijaya District Irian Jaya Indonesia.Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia.Parasitologi 28: 344- 346. Di dalam: Maitindom FD. 2008. Studi kejadian sistiserkosis pada babi yang dijual di Pasar Jibaman Kabupaten Jayawijaya Papua [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Subahar R, Hamid A, Purba W, Widarso, Ito A, Margono SS. 2005. Taeniasis/sistiserkosis di antara anggota keluarga di beberapa desa, Kabupaten Jayawijaya, Papua.Makara Kesehatan. 9: 9-14.

Sutisna P, Fraser A, Kapti IN, Canul RR, Widjana DP, Craig PS, Allan JC. 1999. Community prevalence study of taeniasis and cysticercosis in Bali, Indonesia. Trop Med and Health. 4: 288-294.

(25)

15

LAMPIRAN

Lampiran 1 Nilai Absorbansi Pembacaan ELISA

1 2 3 4 5 6

A 0.028(sc) 0.197(-1) 0.041(01) 0.065(09) 0.037(17) 0.252(25) B 0.022(sc) 0.061(-2) 0.040(02) 0.253(10) 0.028(18) 0.025(26) C 0.044(cc) 0.037(-3) 0.027(03) 0.063(11) 0.021(19) 0.027(27) D 0.023(cc) 0.305(-4) 0.307(04) 0.032(12) 0.037(20) 0.030(28) E 1.563(₊ 1) 0.238(-5) 0.060(05) 0.027(13) 0.885(21) 0.049(29) F 1.516(₊ 1) 0.110(-6) 0.093(06) 0.051(14) 0.034(22) 0.036(30) G 1.478(₊ 2) 0.435(-7) 0.114(07) 0.110(15) 0.066(23)

(26)
(27)

17

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jayapura, Propinsi Papua pada tanggal 05 Juli 1988 dari ayah Ambrosius Fatie dan ibu Bibiana Fatie. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal Penulis dimulai dari SD Inpres Dulan Pok-Pok Fak-Fak, Papua Barat dan lulus pada tahun 2001, yang kemudian dilanjutkan ke SMPN 01 Fak-Fak dan lulus pada tahun 2004. Penulis menyelesaikan pendidikan SMA di SMAN 01 Aimas Kabupaten Sorong dan lulus pada tahun 2007. Penulis melanjutkan pendidikan ke IPB pada tahun yang sama melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dan mengikuti program prauniversitas selama setahun lalu memilih mayor Kedokteran Hewan, namun pada tahun 2008 ditempatkan pada Fakultas Peternakan selama setahun lalu tahun 2009 pindah mayor ke Fakultas Kedokteran Hewan.

Gambar

Gambar 1 Siklus hidup T. solium (CDC 2013)
Tabel 1 Daerah asal dan jumlah babi yang dilakukan pemeriksaan postmortem dan serologis
Tabel 2 Hasil pengamatan dan wawancara kondisi peternakan
Tabel 3 Hasil pengamatan dan wawancara  cara pengolahan dan pola makan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, sekaligus untuk memfokuskan pengumpulan dan analisis data, maka dirumuskan tujuan penelitian ini sebagai berikut: untuk

Pembuktian harus dihadiri pimpinan perusahaan atau yang menerima kuasa dari Direktur Utama/Pimpinan Perusahaan, dengan membawa surat Kuasa dari Direktur utama/Pimpinan Perusahaan,

Perubahan ini akan terjadi pada tubuh baik secara fisik

Instrumen yang berupa tes digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan membaca teks drama peserta didik. Instrumen yang berupa tes berisi soal esai yang harus diisi

Data primer diperoleh dari subjek penelitian yang terdiri dari dua kategori yaitu warga yang mengalami transformasi masyarakat pertanian ke masyarakat industrial

Dalam kegiatan pembelajaran pada siklus I aktivitas siswa masih dalam kategori (cukup) dengan nilai rata-rata 69,23%. Adapun aspek yang memperoleh skor kurang baik yaitu

Persediaan bahan baku pada perusahaan rokok yang bersifat musiman dan harus disimpan dalam waktu tertentu untuk memperkuat cita rasa dari rokok membuat perusahaan

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kinerja keuangan yang signifikan antara BPD Malut dengan BPD Sulut jika diukur