EVALUASI KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
DENGAN KOMPENSASI LAHAN
DI PROVINSI JAWA BARAT
S. AGUS CAHYADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan dengan Kompensasi Lahan di Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
RINGKASAN
S. AGUS CAHYADI. Evaluasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan dengan Kompensasi Lahan di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh IIN ICHWANDI dan DODIK RIDHO NURROCHMAT.
Kebijakan penggunaan kawasan hutan (PKH) dengan kompensasi lahan untuk provinsi dengan luas kawasan hutan di bawah 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, merupakan salah satu upaya pemenuhan areal kawasan hutan bagi kepentingan pembangunan nasional untuk penggunaan di luar sektor kehutanan. Pedoman pelaksanaan kebijakan PKH ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1978 melalui Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/Kpts/DJ/I/1978 yang dalam perkembangan sampai sekarang yaitu Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 telah mengalami banyak pergantian dan perubahan. Dalam kebijakan PKH ini dasar yang dipakai para pihak (instansi pemerintah, badan usaha milik negara atau swasta dan yayasan yang telah berbadan hukum) untuk menggunakan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan di luar sektor kehutanan adalah izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), tetapi dalam kenyataannya untuk mendapatkan IPPKH ini para pihak membutuhkan waktu yang lama.
Evaluasi kebijakan PKH ini dimaksudkan untuk menganalisis isi kebijakan PKH dan mengungkap efektifitas pelaksanaan kebijakan PKH dengan kompensasi lahan. Penelitian ini dilakukan di lembaga dan badan usaha atau pihak yang terkait dengan kebijakan PKH dengan kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat yang dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan September 2014. Metode yang digunakan adalah dengan pendekatan deskriptif kualitatif dengan jenis studi kasus. Analisis yang digunakan adalah analisis perubahan substansi pengaturan pada pergantian peraturan perundang-undangan kebijakan PKH, analisis proses penerbitan IPPKH dengan kompensasi lahan, analisis kesenjangan yang terdiri dari disharmoni, inkonsistensi dan ambivalensi kebijakan, dan evaluasi proses retrospektif yang dipusatkan pada masalah-masalah serta kendala-kendala yang terjadi selama implementasi berlangsung dengan kriteria evaluatif efektivitas dan efisiensi.
Data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil studi dokumentasi dan wawancara semi terstruktur. Wawancara dilakukan terhadap pihak pembuat kebijakan dan yang terlibat lansung dengan terbitnya IPPKH yang terdiri dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Kehutanan dan Perum Perhutani; dan pihak yang menggunakan kawasan hutan yang terdiri dari pemegang IPPKH dan pemegang persetujuan prinsip PKH yang belum mendapatkan IPPKH.
memperoleh IPPKH dengan kompensasi lahan baik substansi dan pengaturannya sudah terperinci dengan jelas. Ditinjau dari kesenjangan isi yang terkandung didalamnya tidak terjadi disharmoni kebijakan tetapi terdapat inkonsistensi dan ambivalensi kebijakan.
Pelaksanaan kebijakan PKH dengan kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat belum efektif dan efisien, ditinjau dari keberhasilan memperoleh IPPKH, keberhasilan penambahan luas dan pengelolaan kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi, waktu yang diperlukan pemegang persetujuan prinsip PKH untuk mendapatkan IPPKH serta waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk pengelolaan kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi. Kendala terbesar yang dihadapi oleh pihak yang akan menggunakan kawasan hutan untuk memperoleh IPPKH dalam kebijakan ini adalah sulitnya menyediakan lahan kompensasi.
SUMMARY
S. AGUS CAHYADI. The Evaluation of the Use of Forest Area with Land Compensation Policy in West Java Province. Supervised byIIN ICHWANDI and DODIK RIDHO NURROCHMAT.
The policy on the Use of Forest Area (UFA) with land compensation for province which the forest area is less than 30% of the watercatchment area, island, and/or province itself, is one of government efforts to provide forest area for national development, particularly for the non forestry purposes. The guideline for UFA was first issued in 1978 as the Decree of Director General of Foresty number 64/kpt/DJ/I/1978. In its development, the regulation undergone shifting and revisions until the latest regulation regarding UFA, P.16/Menhut-II/2014. This regulation has been a legal reference for stakeholders (government offices, state-owned enterprises, privates, foundation) to use forest area partially for non forestry purposes, named as the Leasehold Forest Area License (LFAL). In fact, it takes more time for stakeholders to obtain the concessionaires
The evaluation of the UFA with Land Compensation Policy is intended to analyze the content of policy and to reveal the effectiveness of the policy implementation. The research was conducted at the institution, enterprises and other parties related to the evaluation of the UFA with compensation Land in West Java Province during June – September 2014. The method of the research is qualitative descriptive with case study. The analysis applied for the research is analysis on change of regulation’s substance regarding the regulation shifting for the UFA policy, analysis on issuance of LFAL with land compensation, gap analysis which consists of disharmony, inconsistency and policy ambivalence, and evaluation of retrospective process focus on problems and distractions during the implementation based on the standar of evaluative, effectiveness and efficiency.
The data of the research have been obtained by documentative study and semi-structured interview. The interview was conducted with the policy makers of the LFAL consists of the Ministry of environment and forestry, Forestry Local office, Perum Perhutani, and LFAL holders as well as the holder of principal approval of UFA which have not been granted by LFAL.
The study indicates that the regulation shifting and revisions for the UFA implementation guideline since 1978 to 2014, were conducted to improve the main points of regulation and its substance to make them clear, objective and well formulated. In term of the issuance of LFAL by the Ministry of environment and forestry, the time arrangement for the process, task and authority of stakeholders, as well as the requirements and responsibilty that must be met to obtaint the LFAL with compensation land, have been detailed and clear both in substance and setting. In term of content gap, there is no policy disharmony, however, it indicates the inconsistency and ambivalence of policy.
LFAL as well as time and cost for the management of forest area derived from compensation land. The most constraint is to provide compensation land.
Keywords : compensation land, effectiveness, efficiency, leasehold forest area license, the policy on the use of forest area
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
EVALUASI KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
DENGAN KOMPENSASI LAHAN
DI PROVINSI JAWA BARAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
Judul Tesis : Evaluasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan dengan Kompensasi Lahan di Provinsi Jawa Barat
Nama : S. Agus Cahyadi NIM : E151110101
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Iin Ichwandi, MSc FTrop Ketua
Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc FTrop Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Dr Tatang Tiryana, SHut MSc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah yang maha kasih atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini ialah Evaluasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan Dengan Kompensasi Lahan di Provinsi Jawa Barat. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr Ir Iin Ichwandi, MSc FTrop selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc FTrop selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala masukan, saran dan arahannya selama proses pembimbingan yang semakin menambah wawasan dan pemahaman penulis. 2. Narasumber: Ibu Dra Luluk Nurohmah, Bapak Endi Sugandi, SH MH, Bapak
Didik Heramba, SH, Bapak Ir Roberto Perdamean, Bapak Ir Budi Mulia, Bapak Iwan Nur Hidayat, ST, Bapak Aris, Bapak Eten, Bapak Andis, Bapak Usep, dan narasumber lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 3. Seluruh pihak yang telah membantu penyediaan data, informasi, literatur dan
semua kebutuhan dalam penelitian.
4. Teman-teman IPH angkatan 2011 atas kebersamaan dan dukungannya selama ini
5. Ibu, Bapak dan Ibu Mertua, kakak-kakak dan adik-adikku atas doa dan dukungannya
6. Istriku tercinta yang selalu setia memberikan doa dan dukungannya . Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xv
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
2. TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Publik 4
Implementasi Kebijakan 5
Evaluasi Kebijakan 5
3. METODOTOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian 10
Tahapan Kajian Penelitian 10
Metode Penelitian 11
Teknik Pengumpulan Data 12
Jenis dan Sumber Data 12
Teknis Analisis Data 13
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Peraturan Perundang-undangan Pedoman
Pelaksanaan Kebijakan PKH dan Proses Penerbitan IPPKH 16 Kesenjangan Isi dalam Permenhut Nomor
P.16/Menhut-II/2014 26
Pelaksanaan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan
dengan Kompesasi Lahan di Provinsi Jawa Barat 30 5. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 51
Saran 52
DAFTAR PUSTAKA 52
DAFTAR TABEL
1. Penggantian dan perubahan Permenhut tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan dari tahun 2006 sampai dengan 2014 1
2. Tipe-tipe evaluasi formal 9
pelaksanaan kebijakan PKH
4. Perubahan pengaturan ruang lingkup kegiatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang dapat diproses dengan prosedur pinjam
pakai kawasan hutan 18
5. Ketidaksesuaian terminologi 26
6. Inkosistensi sistematika pecantuman kewajiban pemegang IPPKH 28 7. Ambivalensi dalam Permenhut No. P.16/Menhut-II/2014 29 8. IPPKH pihak pemegang persetujuan prisip PKH yang memperoleh
IPPKH dengan jangka waktu kurang atau sama dengan dua tahun 30 9. Masalah pihak pemegang persetujuan prisip PKH yang
memperoleh IPPKH dengan jangka waktu kurang atau sama dengan dua tahun dalam pemenuhan persyaratan persetujuan
prinsip PKH 31
10.Masalah dan kendala pihak pemegang persetujuan prisip PKH yang memperoleh IPPKH dengan jangka waktu kurang atau sama dengan dua tahun dalam pemenuhan kewajiban persetujuan prinsip
PKH 32
11.IPPKH pihak pemegang persetujuan prisip PKH yang memperoleh
IPPKH dengan jangka waktu lebih dari dua tahun 34 12.Masalah pihak pemegang persetujuan prisip PKH yang memperoleh
IPPKH dengan jangka waktu lebih dari dua tahun dalam pemenuhan
persyaratan persetujuan prinsip PKH 35
13.Masalah dan kendala pihak pemegang persetujuan prisip PKH yang memperoleh IPPKH dengan jangka waktu lebih dari dua
tahun dalam pemenuhan kewajiban persetujuan prinsip PKH 37 14.Persetujuan prinsip PKH Kementerian Pekerjaan Umum 38 15.Keberhasilan pemegang persetujuan prinsip PKH memperoleh
IPPKH berdasarkan kategori kegiatan yang dilakukan 42 16.Pihak dan luas IPPKH pemegang IPPKH untuk kegiatan
pertambangan 43
17.Pihak dan luas areal pemegang persetujuan prinsip PKH untuk
kegiatan sumber daya energi yang belum memperoleh IPPKH 43 18.Pihak dan luas areal pemegang IPPKH untuk kegiatan sumber
daya energi 43
19.Areal lahan kompesasi yang telah masuk dalam RPKH Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat dan Banten dari tahun 2000
DAFTAR GAMBAR
1. Tahapan kajian penelitian 11
2. Bagan alir penerbitan IPPKH 22
3. Bagan alir pemenuhan kewajiban penyediaan lahan kompensasi 25 4. Komposisi kategori pihak dari 38 pemegang persetujuan prinsip
PKH yang telah memperoleh IPPKH 45
5. Komposisi kategori pihak dari 9 pemegang persetujuan prinsip
PKH yang belum memperoleh IPPKH 45
6. Jumlah penerbitan IPPKH per tahun dari tahun 1984 sampai
dengan 2013 di Provinsi Jawa Barat 46
7. Komposisi status proses pengukuhan kawasan hutan dari 38
areal lahan kompesasi 46
8. Lokasi areal IPPKH dan lahan kompensasi PT. Tambang
Semen Sukabumi 48
9. Lokasi areal IPPKH dan lahan kompensasi PT. Lumbung
Mineral Santosa 49
10.Komposisi jangka waktu yang dibutuhkan dari 38 pihak
pemegang persetujuan prinsip PKH untuk memperoleh IPPKH 49 11.Komposisi jangka waktu yang lebih dari dua tahun dari 25 pihak
pemegang persetujuan prinsip PKH untuk memperoleh IPPKH 50
DAFTAR LAMPIRAN
1. Ruang lingkup kegiatan pembangunan di luar kegiatan kehutananyang dapat diproses dengan prosedur pinjam pakai
kawasan hutan 55
2. Pengaturan fungsi kawasan hutan untuk pinjam pakai kawasan
hutan. 56
3. Pengaturan tentang kompesasi pinjam pakai kawasan hutan 57 4. Pengaturan persyaratan permohonan penggunaan kawasan hutan 59 5. Pengaturan tata waktu dalam pengurusan pinjam pakai kawasan
hutan di tingkat Kementerian LHK 61
6. Pengaturan jangka waktu persetujuan PKH dan IPPKH 62 7. Persyaratan permohonan PKH dalam Permenhut No.
16/Menhut-II/2014 dan pihak-pihak yang terkait dalam pemenuhannya 63 8. Keberhasilan pemegang persetujuan prinsip PKH memperoleh
IPPKH sampai dengan tahun 2013 65
9. Luas kawasan hutan dan status hukum dari lahan kompensasi yang sudah diserahkan kepada Kementerian LHK sampai dengan
tahun 2013 68
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kawasan hutan termasuk segala potensi yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia. Kawasan hutan selain dimanfaatkan hasilnya baik kayu maupun hutan non kayu dan jasa lingkungan juga digunakan untuk keperluan di luar sektor kehutanan untuk kepentingan pembangunan. Salah satu kebijakan publik di bidang kehutanan dalam pengelolaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan adalah kebijakan penggunaan kawasan hutan (PKH). Kebijakan PKH merupakan salah satu upaya pemenuhan areal kawasan hutan bagi kepentingan pembangunan nasional untuk penggunaan diluar sektor Kehutanan (Nurrochmat et al. 2012). Kepentingan pembangunan diluar sektor kehutanan dalam kebijakan PKH ini meliputi kepentingan religi, pertambangan, instalasi pembangkit listrik, jaringan telekomunikasi, jalan umum, jalan tol, jalur kereta api, prasarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai prasarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi, sarana dan prasarana sumber daya air, fasilitas umum, industri selain industri primer hasil hutan, pertahanan dan keamanan, prasarana penunjang keselamatan umum, penampungan sementara korban bencana alam, pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan dan energi.
Peraturan Menteri yang saat ini menjadi pedoman dalam pelaksanaan kebijakan PKH adalah Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Peraturan perundangan-undangan yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kebijakan ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1978 melalui Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/Kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Pinjam Pakai Tanah Kawasan Hutan, selanjutnya pada tahun 1994 diganti dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang mengalami enam kali perubahan dan pada tahun 2006 diganti dengan Permenhut Nomor P.14/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Penggantian dan perubahan Permenhut tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan dari tahun 2006 sampai dengan 2014 seperti dapat dilihat pada Tabel 1:
Tabel 1 Penggantian dan perubahan Permenhut tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan dari tahun 2006 sampai dengan 2014
Tahun terbit
Permenhut Perubahan I Perubahan II
2006 Nomor P.14/Menhut-II/2006 Nomor P.64/ Menhut-II/2006
2008 Nomor P.43/Menhut-II/2008
2011 Nomor P.18/Menhut-II/2011 Nomor P.38/Menhut-II/ 2012 Nomor P.14/Menhut-II/2013
2014 Nomor P.16/Menhut-II/2014
2
Berdasarkan Permenhut Nomor P.16/Menhut-II/2014, PKH adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukannya. Pihak-pihak yang dapat menggunakan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan adalah instansi pemerintah, badan usaha milik negara atau swasta dan yayasan yang telah berbadan hukum. Dasar yang dipakai oleh para pihak untuk melakukan kegiatan di sebagian kawasan hutan di luar sektor kehutanan adalah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). IPPKH untuk kegiatan pembangunan di luar sektor kehutanan selain kegiatan survei dan eksplorasi pertambangan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi adalah dengan kompensasi berupa lahan, yang dalam pemberiannya didahului dengan penerbitan persetujuan prinsip PKH. Persetujuan prinsip PKH ini merupakan persetujuan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), yang didalamnya berisi persetujuan tentang jenis kegiatan, letak dan luas kawasan hutan yang akan digunakan, serta semua kewajiban yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan IPPKH. Jangka waktu persetujuan prinsip ini adalah selama dua tahun dan dapat diperpanjang.
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, yang berdasarkan data pada Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan sampai dengan tahun 2013, merupakan provinsi yang paling banyak mendapatkan IPPKH yaitu sebanyak 38 izin. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh IPPKH setelah mendapatkan persetujuan prinsip PKH yang pertama kalinya dari 38 pihak ini, sebagian besar yaitu sebanyak 25 pihak lebih dari dua tahun. Jumlah penerbitan IPPKH dari tahun 1984 yang merupakan tahun pertama kali terbitnya IPPKH sampai dengan tahun 2013 dari tahun ke tahun mengalami kenaikan dan penurunan.
Perumusan M asalah
Easton (1953) dalam Islamy (2000) menyatakan bahwa kebijakan negara atau pemerintah seharusnya bersifat obyektif, dan tersusun dengan baik karena merupakan pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh warga masyarakat. Publik mempunyai kepentingan yang sangat besar atas dampak kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung akan menyentuh masyarakat. Nugroho (2011), mengemukakan bahwa sebelum suatu kebijakan publik diganti harus dievaluasi terlebih dahulu, hal ini perlu dijadikan acuan untuk menghindari kebiasaan buruk administrasi publik di Indonesia yang sering menerapkan prinsip ganti pejabat peraturannya harus diganti dan supaya setiap kebijakan tidak diganti hanya karena keinginan atau selera pejabat yang saat itu berwenang.
akan mempengaruhi pelaksanaan kebijakan penggunaan kawasan hutan bagi calon pengguna atau yang telah menggunakan kawasan hutan.
Kebijakan PKH sesuai Permenhut Nomor P.16/Menhut-II/2014, bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, sedangkan dasar para pihak untuk menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tersebut adalah IPPKH. Dengan demikian dengan sering berganti dan berubahnya peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kebijakan ini, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh IPPKH, naik turunnya jumlah penerbitan IPPKH dari tahun 1984 sampai dengan tahun 2013, maka penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana efektifitas kebijakan penggunaan kawasan hutan dengan kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat?
2. Faktor-faktor apakah yang menjadi penentu atau kendala bagi terlaksananya kebijakan penggunaan kawasan hutan dengan kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat?
3. Opsi-opsi kebijakan penggunaan kawasan hutan apa saja yang efektif diterapkan di Provinsi Jawa Barat?
Tujuan Penelitian
Menurut Nugroho (2011), t ujuan evaluasi adalah untuk mengetahui kesenjangan antara harapan dan pencapaian suatu kebijakan, serta bagaimana menutup kesenjangan tersebut, sehingga evaluasi harus dipahami sebagai sesuatu yang positif, karena bertujuan untuk mencari kekurangan dan menutup kekurangan bukan untuk menyalahkan pihak yang mengeluarkan kebijakan. Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis isi kebijakan PKH
2. Menganalisis efektifitas implementasi kebijakan PKH dengan kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat.
3. Mengevaluasi faktor-faktor yang menjadi penentu keberhasilan dan kegagalan kebijakan PKH dengan kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat. 4. Merekomendasikan opsi-opsi kebijakan PKH yang efektif diterapkan di
Provinsi Jawa Barat.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat yaitu:
1. Secara teoritis diharapkan dapat memperkaya kajian akademis tentang efektifitas kebijakan PKH dengan kompensasi lahan.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Publik
Kebijakan publik dalam kepustakaan internasional disebut public policy. James E. Anderson (1979) dalam Subarsono (2006), mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Nugroho (2011) mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah sebuah fakta strategis daripada fakta politis ataupun teknik. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Sebagai sebuah strategi, kebijakan publik tidak saja bersifat positif, namun juga negatif, dalam arti pilihan keputusan bersifat menerima salah satu dan menolak yang lain. Meskipun terdapat ruang bagi win-win dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi, tapi pada akhirnya ruang untuk win-win sangat terbatas sehingga kebijakan publik lebih banyak pada ruang zero-sum-game, yaitu menerima yang ini dan menolak yang lain. Kebijakan publik juga dapat didefinisikan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada. Kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Nugroho 2011).
Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah. Pertama, langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau kedua, memformulasikan kebijakan turunan dari kebijakan publik tersebut (Nugroho 2011). Implementasi melibatkan usaha dari pembuat kebijakan untuk mempengaruhi bawahannya atau staf pegawainya untuk memberikan pelayanan atau mengatur perilaku kelompok sasaran. Untuk kebijakan yang sederhana, cukup melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementor, namun sebaliknya, untuk kebijakan yang sifatnya makro, maka upaya implementasi akan melibatkan berbagai institusi mulai dari aparatur tingkat desa hingga pemerintah pusat, yang berpotensi memunculkan kerumitan dalam pelaksanaannya (Subarsono 2006).
Nugroho (2011), menyarankan bahwa pada prinsipnya ada lima tepat untuk mengukur keefektifan dalam implementasi. Pertama, apakah kebijakannya sendiri sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Tepat yang kedua adalah tepat pelaksanaannya, tepat yang ketiga adalah tepat target, t epat keempat adalah tepat lingkungan dan tepat kelima adalah tepat proses. Menurut pandangan Weimer dan Vining (1999 dalam Subarsono 2006), t erdapat tiga variabel besar yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program, antara lain: 1. Logika kebijakan. Hal ini dimaksudkan agar suatu kebijakan yang
ditetapkan ialah kebijakan yang masuk akal dan mendapat dukungan teoritis. Isi dari suatu kebijakan atau program harus mencakup berbagai aspek yang memungkinkan untuk diimplementasikan dalam tataran praktik.
2. Lingkungan tempat kebijakan dioperasikan. Maksud dari lingkungan ini ialah kondisi sosial, politik, ekonomi, pertahanan, keamanan, fisik atau geografis.
3. Kemampuan implementor. Keberhasilan suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh kompetensi dan ketrampilan dari para implementor kebijakan. Untuk itu, diperlukan pengembangan kualitas SDM, komitmen, dan jumlah implementor yang memadai.
Evaluasi Kebijakan
Sebuah kebijakan yang diterapkan harus memperoleh pengawasan supaya dapat dipertanggungjawabkan. Wujud pengawasan tersebut berupa evaluasi kebijakan yang dapat dilaksanakan setelah beberapa waktu atau periode berjalannya suatu kebijakan. Selain menilai efektifitas, evaluasi juga berfungsi untuk menilai ketercapaian tujuan dari suatu kebijakan. Menurut Thomas Dye (1987) dalam Parsons (2008) evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang objektif, sistematis dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tujuan yang ingin dicapai.
Nugroho (2011), menyampaikan bahwa ciri dari evaluasi kebijakan adalah: 1. Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan
6
2. Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan target kebijakan.
3. Prosedur dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi. 4. Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau kebencian.
5. Mencakup rumusan, implementasi, lingkungan, dan kinerja kebijakan.
Sifat evaluasi, menurut Dunn (2003), evaluasi menghasilkan tuntutan-tuntutan yang bersifat evaluatif sehingga evaluasi mempuyai karakteristik yaitu : 1. Fokus Nilai
Evaluasi difokuskan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi.
2. Interdependensi Faktor Nilai
Tuntutan evaluasi tergantung baik ”fakta” maupun ”nilai”. Untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya bahwa hasil-hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok atau seluruh masyarakat; untuk menyatakan demikian, harus didukung oleh bukti bahwa hasil-hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu. Oleh karena itu, pemantauan merupakan prasyarat bagi evaluasi.
3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau
Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup premis-permis nilai , bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi- aksi dilakukan (ex ante).
4. Dualitas Nilai
Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada dapat dianggap sebagai intrinsik (diperlukan bagi dirinya) ataupun ekstriksik (diperlukan karena hal itu mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain). Nilai-nilai sering ditata di dalam suatu hirarki yang merefleksikan kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran.
Fungsi dan Kriteria Evaluasi
Dalam analisis kebijakan evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama yaitu (Dunn 2003):
1. Memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan telah dicapai.
mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan masalah yang dituju. Dalam menanyakan kepantasan tujuan dan sasaran, analis dapat menguji alternatif sumber nilai maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas.
3. Memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan. Evaluasi dapat pula menyumbang pada definisi alternatif kebijakan yang baru atau revisi kebijakan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu dihapus dan diganti dengan yang lain.
Menurut Dwidjowijoto (2007) evaluasi mempuyai empat fungsi yaitu eksplanasi, kepatuhan, audit dan akunting. Eksplanasi karena dengan evaluasi evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan. Fungsi kepatuhan , yaitu melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan. Fungsi audit, melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan. Fungsi akunting karena dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut
Dunn (2003), menyatakan bahwa dalam menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan digunakan tipe kriteria yang berbeda-beda untuk mengevaluasi hasil kebijakan. Di bawah ini adalah beberapa kriteria evaluasi: 1. Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu kebijakan mencapai hasil yang
diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Efektivitas ini berkaitan dengan rasionalitas teknik, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau moneternya.
2. Efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha. Ukuran-ukuran yang digunakan dalam kriteria efisiensi adalah jangka waktu pelaksanaan kebijakan, sumber daya manusia yang diberdayakan untuk melaksanakan kebijakan,
3. Kecukupan (adequacy), berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria ini menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
4. Kesamaan atau perataan (equity), berhubungan erat dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat.
5. Responsivitas, berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
8
Pendekatan dalam Evaluasi Kebijakan
Evaluasi implementasi kebijakan mempunyai dua aspek penting yang saling berhubungan, yaitu aspek menggunakan berbagai macam metode untuk memantau hasil kebijakan publik dan aspek berbagai aplikasi nilai untuk menentukan manfaat hasil kebijakan. Pendekatan-pendekatan dalam evaluasi kebijakan (Dunn 2003) :
1. Evaluasi Semu
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi valid tentang hasil kebijakan tanpa berusaha untuk menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan. Asumsi utama dari evaluasi semu adalah ukuran manfaatnya suatu kebijakan atau nilai terbukti dengan sendirinya atau tidak kontroversial. Analis dalam evaluasi semu menerapkan bermacam-macam metode (rancangan ekspeimental-semu, kuseioner, random sampling, teknik statistik) untuk menjelaskan variasi hasil kebijakan sebagai produk dari variable masukan dan proses.
2. Evaluasi Formal
Menggunakan metode desktriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil-hasil kebijakan dan mengevaluasi hasil tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utama dari evaluasi formal adalah tujuan dan sasaran pengambil kebijakan dan administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai.
Analis dalam evaluasi formal menggunakan berbagai macam metode yang sama seperti yang dipakai dalam evaluasi semu dan tujuannya adalah identik untuk menghasilkan informasi yang valid dan data dipercaya mengenai variasi-variasi hasil kebijakan dan dampak yang dapat dilacak dari masukan dan proses kebijakan. Meskipun demikian perbedaannya adalah bahwa evaluasi formal menggunakan undang-undang, dokumen-dokumen program, dan wawancara dengan pembuat kebijakan dan administrator untuk mengidentifikasikan, mendefinisikan dan menspesifikkan tujuan dan target kebijakan. Kelayakan dari tujuan dan target yang diumumkan secara formal tersebut tidak ditanyakan. Dalam evaluasi formal tipe-tipe kriteria evaluatif yang paling sering digunakan adalah efektivitas dan efisiensi.
Tabel 2 Tipe-tipe evaluasi formal
Dari Tabel 2 menunjukan terdapat empat variasi dalam evaluasi formal yaitu evaluasi perkembangan, evaluasi proses retrospektif, evaluasi eksperimental dan evaluasi hasil retrospektif yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Evaluasi Perkembangan
Dalam varian ini evaluasi formal berupaya untuk menunjukan kegiatan/aktivitas evaluasi kebijakan secara eksplisit yang diciptakan untuk melayani kebutuhan sehari-hari staf program. Evaluasi perkembangan yang meliputi beberapa ukuran pengontrolan langsung terhadap aksi-aksi kebijakan, telah digunakan secara luasuntuk berbagai situasi di sektor-sektor publik dan swasta. Evaluasi perkembangan karena bersifat formatif dan meliputi kontrol secara langsung, dapat digunakan untuk mengadaptasi secara langsung pengalaman baru yang diperoleh melalui manipulasi secara sistematis terhadap variabel masukan dan proses. b. Evaluasi proses retrospektif
Evaluasi proses retrospektif, yang meliputi pemantauan/evaluasi program setelah program tersebut diterapkan untuk hangka waktu tertentu. Varian ini cenderung dipusatkan pada masalah-masalah dan kendala-kendala yang terjadi selama implementasi berlangsung, dan tidak memperkenankan dilakukannya manipulasi langsung terhadap masukan atau proses. Dalam Evaluasi ini lebih menggantungkan pada deskripsi ex post (retrospektif) tentang kegiatan aktifitas kebijakan yang selanjutnya berhubungan dengan keluaran dan dampak yang diperoleh.
c. Evaluasi eksperimental
Varian evaluasi eksperimental adalah evaluasi kebijakan yang lahir dari hasil kondisi kontrol langsung terhadap masukan dan proses kebijakan. Evaluasi eksperimental yang ideal secaara umum merupakan faktor “eksperimental ilmiah yang terkontrol”, dimana semua faktor yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan, dikontrol, dipertahankan konstan, atau diperlakukan sebagai hipotesis tandingan yang masuk akal.
d. Evaluasi hasil retrospektif
Varian terakhir, evaluasi hasil retrospektif, meliputi pemantauan dan evaluasi hasil tetapi tidak disertai dengan kontrol langsung terhadap masukan-masukan dan prose kebijakan yang dapat dimanipulasi.
3. Evaluasi Keputusan Teoritis
Evaluasi keputusan teoritis menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan. Perbedaan pokok antara evaluasi teori keputusan di satu sisi, evaluasi semu dan evaluasi
Kontrol terhadap aksi kebijakanan
Orientasi terhadap proses kebijakan
Formatif Sumatif
Langsung Evaluasi
perkembangan
Evaluasi eksperimental Tidak langsung Evaluasi proses
retrospektif
10
formal di sisi lainnya, adalah bahwa evaluasi keputusan teoritis berusaha untuk memunculkan dan membuat eksplisit tujuan dan target dari pelaku kebijakan baik yang tersembunyi atau dinyatakan. Ini berarti bahwa tujuan dan target dari para pembuat kebijakan dan administrator merupakan salah satu sumber nilai, karena semua pihak yang membuat andil dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan dilibatkan dalam merumuskan tujuan dan target dimana kinerja nantinya akan diukur. Salah satu tujuan utama dari evaluasi ini adalah untuk menghubungkan informasi mengenai hasil-hasil kebijakan dengan nilai-nilai dari berbagai pelaku kebijakan.
Menurut Palumbo (1987) dalam Parsons (2008) evaluasi kebijakan dibagi menjadi dua jenis yaitu formatif dan sumatif, evaluasi formatif adalah evaluasi yang diakukan ketika kebijakan atau program sedang diimplementasikan dan merupakan analisis tentang “seberapa jauh sebuah program diiplementasikan dan kondisi apa yang bisa meningkatkan implementasi”, sedangkan evaluasi sumatif menganalisis bagaimana suatu kebijakan atau program secara aktual berdampak pada problem yang ditanganinya. Oleh karena itu dalam tahap implementasi sebuah kebijakan diperlukan evaluasi formatif yang memonitor cara di mana sebuah program dikelola atau diatur untuk menghasilkan umpan balik yang bias berfungsi untuk meningkatkan proses implementasi.
3 METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lembaga dan badan usaha atau pihak yang terkait dengan kebijakan PKH dengan kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat. Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Juni sampai dengan September 2014, dengan studi kasus pada tiga kategori pihak yang menggunakan kawasan hutan yaitu:
1. Pihak pemegang persetujuan prisip PKH yang memperoleh IPPKH dengan jangka waktu kurang atau sama dengan dua tahun sejumlah empat pihak yang terdiri dari PT. Rajamandala Eletric Power, PT Lumbung Mineral Santosa, KUD Bumi Karya, PT. Tambang Semen Sukabumi
2. Pihak pemegang persetujuan prisip PKH yang memperoleh IPPKH dengan jangka waktu lebih dari dua tahun sejumlah lima pihak yang terdiri dari Pertamina Geothermal Energy-Chevron Geothermal Indonesia Ltd, PT. Pertamina EP, Koperasi Pondok Pesantren Al- Islah, PT. Atlasindo Utama, dan PT. Akarna Marindo
3. Pihak pemegang persetujuan prisip PKH dengan jangka waktu lebih dari dua tahun tetapi belum memperoleh IPPKH yaitu Kementerian Pekerjaan Umum.
Tahapan Kajian Penelitian
dilihat pada Gambar 1:
Gambar 1 Tahapan kajian penelitian
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan jenis studi kasus. Creswell (2002), menyadur pendapat Merriam (1988) dan Yin (1989), menjelaskan bahwa dalam penelitian studi kasus peneliti menggali kesatuan atau fenomena kasus yang dibatasi oleh waktu dan aktifitas (program, kejadian, proses, institusi atau kelompok sosial) dan mengumpulan
Evaluasi Kebijakan PKH dengan Kompensasi Lahan di Provinsi Jawa Barat
Studi Dokumentasi Wawancara
Tiga Kategori Pihak Pemegang Persetujuan Prinsip PKH
Pihak dengan waktu
≤ 2 tahun
memperoleh IPPKH
Pihak dengan waktu > 2 tahun
memperoleh IPPKH
Pihak dengan waktu > 2 tahun tetapi belum memperoleh IPPKH
Menggali permasalahan yang terjadi, memperoleh klarifikasi, pendapat, dan masukan Mempelajari peraturan
perundang-undangan kebijakan PKH dan dokumen persetujuan prinsip PKH, IPPKH dan lahan kompensasi
Teknis Analisis Data
Analisis Perubahan Substansi Pengaturan pada Pergantian Peraturan Perundang-undangan Kebijakan PKH
Analisis Proses Penerbitan IPPKH dengan Kompensasi Lahan
Analisis Kesenjangan Isi Kebijakan PKH
Evaluasi Proses Retrospektif Triangulasi
12
informasi rinci dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode waktu tertentu.
Keabsahan data di uji dengan triangulasi, yaitu menguji kebenaran dengan membandingkan data hasil studi dokumen dan hasil wawancara, serta data hasil wawancara antar informan. Menurut Moleong (2007) triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.
Dalam pendekatan kualitatif, unit contoh yang digunakan adalah informan sebagai sumber informasi. Dalam Penelitian ini penentuan informan dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu penentuan informan secara sengaja sesuai dengan tujuan penelitian. Informan ditentukan berdasarkan kapasitas, kewenangan, keterlibatan dan kebersediaan informan yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan PKH dengan kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat.
Teknik Pengumpulan Data
Studi Dokumentasi
Metode ini dimaksudkan untuk memperoleh data dengan cara mempelajari berbagai dokumen dan sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan kebijakan PKH di Provinsi Jawa Barat.
Wawancara
Metode wawancara dalam penelitian ini menggunakan wawancara semi terstruktur (semistructured interview). Wawancara semi terstruktur menggunakan beberapa inti pertanyaan yang diajukan, yaitu pewawancara (peneliti) membuat garis besar pokok-pokok pertanyaan, namun dalam pelaksanaannya pewawancara mengajukan pertanyaan secara bebas, pokok-pokok pertanyaan yang dirumuskan tidak perlu dipertanyakan secara berurutan dan pemilihan kata-katanya juga tidak baku, tetapi dimodifikasi pada saat wawancara berdasarkan situasinya. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka dan mendalam, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya (Satori dan Komariah 2009). Dalam penelitian wawancara bertujuan untuk menggali permasalahan yang dialami oleh para pihak yang menggunakan kawasan hutan dan memperoleh klarifikasi, pendapat, dan masukan dari pihak informan yang telah ditentukan.
Jenis dan Sumber Data
1. Pihak dari Kementerian LHK yang merupakan pihak pembuat kebijakan dan yang terlibat dalam proses terbitnya IPPKH, yang terdiri:
a. Direktur Penggunan Kawasan Hutan.
b. Kepala Sub Direktorat Penggunaan Hutan Wilayah I.
c. Kasubag Peraturan Perundang-undangan II pada Biro Hukum dan Organasisasi Kementerian Kehutanan
2. Pihak dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat yang merupakan pihak yang terlibat dalam proses terbitnya IPPKH khususnya dalam pemenuhan persyaratan untuk memperoleh persetujuan prinsip PKH dan pemenuhan kewajiban persetujuan prinsip PKH untuk memperoleh IPPKH, yaitu Kepala Bidang Planologi Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat.
3. Pihak dari Perum Perhutani yang merupakan pihak yang terlibat dalam proses terbitnya IPPKH khususnya dalam pemenuhan persyaratan untuk memperoleh persetujuan prinsip PKH dan pemenuhan kewajiban persetujuan prinsip PKH untuk memperoleh IPPKH serta sebagai pengelola kawasan hutan, yang terdiri dari:
a. Kepala Biro Analisa Kebijakan dan Penggunaan Kawasan Hutan Perum Perhutani.
b. KSS Tata Batas Biro Perencanaan Sumber Daya Hutan Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat dan Banten
4. Pihak yang menggunakan kawasan hutan yang terdiri dari tiga kategori pihak yang digunakan dalam studi kasus.
Teknik Analisis Data
Analisis Perubahan Substansi Pengaturan pada Pergantian Peraturan Perundang-undangan Kebijakan PKH
Menganalisis perubahan substansi pokok-pokok pengaturan dalam pergantian peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman pelaksanaan kebijakan PKH dari Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/Kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Pinjam Pakai Tanah Kawasan Hutan sampai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan.
Analisis Proses Penerbitan IPPKH dengan Kompensasi Lahan
Menganalisis proses dalam penerbitan IPPKH dengan kompensasi lahan untuk kegiatan eksploitasi/operasi produksi pertambangan dan kegiatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan lainya selain kegiatan survey dan eksplorasi pertambangan di Kementerian LHK, syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi untuk mendapatkanya serta pihak yang terlibat didalamnya.
Analisis Kesenjangan Isi Kebijakan PKH
14
disharmoni kebijakan. 1. Disharmoni kebijakan
Suatu kebijakan dikatakan disharmoni apabila peraturan tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, baik yang secara hierarki kedudukannya lebih tinggi maupun yang setara (Nurrochmat et al. 2013). Dalam analisis disharmoni ini menganut azas penggunaan hukum Lex superior derogat legi inferiori, Lex specialis derogat legi generalis dan Lex posterior derogat legi priori yang mempuyai arti menurut Mertokusumo ( 1986) dalam Purwadi (2013), sebagai berikut:
a. Lex superior derogat legi inferiori.
Azas ini bermakna bahwa peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.
b. Lex specialis derogat legi generalis
Asas ini bermakna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.
c. Lex posterior derogat legi priori.
Asas ini bermakna bahwa aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas lex posterior derogat legi priori mewajibkan menggunakan hukum yang baru.
Dalam penelitian ini analisis disharmoni isi yang terkandung dalam Permenhut Nomor P.16/Menhut-II/2014 dibandingkan dengan:
a. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan
b. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
c. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan
d. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan e. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
f. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
g. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
h. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Tata Cara Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
i. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan
j. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan
k. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan
n. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
o. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perizinan Atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan
p. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.32/Menhut-II/2010 jo. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.41/Menhut-II/2012 jo. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.27/Menhut-II/2014 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan
q. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2010 Jo. Menteri Kehutanan Nomor P.7/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi
r. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 8 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Kehutanan
2. Inkonsistensi kebijakan
Inkonsistensi kebijakan adalah apabila substansi dari peraturan tersebut tidak konsisten (inkonsisten) antara satu ayat atau pasal dengan ayat atau pasal yang lain (Nurrochmat et al. 2013).
3. Ambivalensi kebijakan
Ambivalensi kebijakan adalah apabila dalam peraturan tersebut dalam suatu ayat atau pasal yang tidak jelas karena memiliki makna yang multi tafsir (Nurrochmat et al. 2013).
Evaluasi Proses Retrospektif
Evaluasi proses retrospektif ini ditujukan untuk menganalisis efektifitas serta masalah dan kendala dalam pelaksanaan kebijakan PKH dengan kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat. Dunn (2003) menyampaikan bahwa evaluasi proses retrospektif adalah evaluasi yang meliputi pemantauan/evaluasi program setelah program tersebut diterapkan untuk jangka waktu tertentu. Varian ini cenderung dipusatkan pada masalah-masalah dan kendala-kendala yang terjadi selama implementasi berlangsung. Dalam Evaluasi ini lebih menggantungkan pada deskripsi ex post (retrospektif) tentang kegiatan aktifitas kebijakan yang selanjutnya berhubungan dengan keluaran dan dampak yang diperoleh. Dalam evaluasi formal kriteria evaluatif yang digunakan adalah efektivitas dan efisiensi. 1. Efektivitas, berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil
yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan, yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan (Dunn 2003). Dalam penelitian ini efektivitas diukur dari:
a. Keberhasilan memperoleh IPPKH.
b. Keberhasilan penambahan luas dan pengelolaan kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi penyerahan lahan kompensasi.
16
menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha. Ukuran-ukuran yang digunakan dalam kriteria efisiensi adalah waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Dunn 2003). Dalam penelitian ini efisensi diukur dari:
a. Waktu yang diperlukan pemegang persetujuan prinsip PKH untuk mendapatkan IPPKH.
b. Biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan IPPKH dibandingkan dengan hasil yang diterima dari kegiatan penggunaan kawasan hutan
c. Waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk pengelolaan kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Peraturan Perundang-undangan Pedoman Pelaksanaan Kebijakan PKH dan Proses Penerbitan IPPKH
Pergantian dan Perubahan Peraturan Perundang-undangan Pedoman Pelaksanaan Kebijakan PKH
Peraturan perundang-undangan di tingkat peraturan menteri yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kebijakan PKH mulai diterbitkan semenjak tahun 1978, sampai dengan tahun 2014 dari waktu ke waktu peraturan perundang-undangan ini mengalami pergantian dan perubahan seperti dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Pergantian dan perubahan peraturan perundang-undangan pedoman pelaksanaan kebijakan PKH
Pergantian Pendukung / Perubahan
Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/Kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Pinjam Pakai Tanah Kawasan Hutan
- Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri
Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 0120.K/10/M.PE/ 1984; Nomor 029/Kpts-II/1984 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan.
- SKB Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri
Kehutanan Nomor 969.K/05/M.PE/ 1989; Nomor 429/Kpts-II/1989 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan. SKB ini sekaligus mencabut SKB yang terdahulu
SK Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
- SK Menteri Kehutanan Nomor 56/Kpts-II/1994 - SK Menteri Kehutanan Nomor 41/Kpts-II/1996 - SK Menteri Kehutanan Nomor 614/Kpts-II/1997 - SK Menteri Kehutanan Nomor 720/Kpts-II/1999 - SK Menteri Kehutanan Nomor 450/Kpts-II/2004. SK
ini sekaligus mencabut SK Menteri Kehutanan Nomor 56/Kpts-II/1994
- Permenhut Nomor P.12/Menhut-II/2004
Permenhut Nomor
P.14/Menhut- II/ 2006, tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan
- Permenhut Nomor P.64/Menhut-II/2006
Permenhut Nomor
P.43/Menhut-II/ 2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Tidak ada perubahan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011
- Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.38/Menhut-II/2012
- Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14/ Menhut-
II/ 2013
Permenhut Nomor
P.16/Menhut-II/ 2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
1. Ruang lingkup kegiatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang dapat diproses dengan prosedur pinjam pakai kawasan hutan
18
Tabel 4 Perubahan pengaturan ruang lingkup kegiatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang dapat diproses dengan prosedur pinjam pakai kawasan hutan
Hanya mencantumkan kepetingan umum, pertahanan nasional dan pertambangan tanpa ada rincian kegiatannya
SK Menteri Kehutanan
No.55/Kpts-II/1994 dan perubahanya
Kepentingan umun telah mulai dirinci jenis-jenis kegiatannya
Permenhut No. P.14/ Menhut- II/ 2006 dan perubahanya
Terdapat penambahan satu kepentingan pembangunan yaitu kepentingan religi, tetapi dalam pengaturanya juga belum merinci jenis kegiatan kepentingan religi, pertambangan dan pertahanan keamanan, hanya merinci jenis kegiatan untuk kepentingan umum
Permenhut No.P.43/ Menhut- II /2008
Pengaturan masih sama dengan Permenhut No.
P.14/Menhut-II/ 2006 hanya terdapat penambahan satu jenis kegiatan baru yaitu sarana keselamatan lalu lintas laut/udara
Permenhut No. P.18/ Menhut- II/2011 dan perubahanya
Pengaturan telah terperinci menjadi jenis-jenis kegiatan dari setiap kepentingan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum, pertahanan dan keamanan, dan terdapat penambahan jenis kegiatan untuk kepetingan pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan dan energi.
Permenhut No. P.16/ Menhut-II/2014
Pengaturan masih sama dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa dalam pergantian peraturan perundang-undangan yang menjadi menjadi pedoman dalam pelaksanakan kebijakan PKH sejak SK Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/ Kpts/ DJ/I/ 1978 sampai Permenhut Nomor P.16/ Menhut-II/2014, substansi pengaturan ruang lingkup kegiatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang dapat
diproses dengan prosedur pinjam pakai semakin terperinci dengan jelas (Lampiran 1).
Pengaturan ruang lingkup sejak Permenhut Nomor P.18/Menhut-II/2011 dan perubahannya telah menyesuaikan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
2. Fungsi kawasan hutan untuk pinjam pakai kawasan hutan
semua fungsi kawasan hutan. Sejak Permenhut Nomor P.14/Menhut-II/2006, terjadi pembatasan yang mengatur bahwa hanya kawasan hutan yang mempunyai status fungsi hutan produksi dan hutan lindung saja yang dapat digunakan. Pengaturan untuk kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung hanya boleh dengan pola pertambangan bawah tanah kecuali bagi 13 izin/perjanjian di bidang pertambangan yang telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 (Lampiran 2).
3. Kompensasi pinjam pakai kawasan hutan
Pengaturan jenis kompesasi pinjam pakai kawasan hutan sejak Permenhut Nomor P.14/Menhut-II/2006, tidak hanya terbatas kompensasi lahan saja, tetapi ada penambahan kompensasi baru yaitu PNBP dan reboisasi kawasan hutan yang rusak serta rehabilitasi daerah aliran sungai. Pengaturan pemberlakuan jenis dan besaran kompensasi telah disesuaikan dengan luas kawasan luas kawasan hutannya di bawah atau di atas 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, pihak yang menggunakan kawasan hutan dan jenis kegiatan yang akan dilakukan diatur sejak SK Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 (Lampiran 3)
Perubahan pengaturan besaran kompensasi PNBP sejak Permenhut Nomor P.43/Menhut-II/2008 didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan, untuk perubahan pengaturan sejak Permenhut Nomor P.18/Menhut-II/2011 dan perubahanya, didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
4. Persyaratan permohonan penggunaan kawasan hutan
Pengaturan persyaratan permohonan penggunaan kawasan hutan mulai diatur semenjak diterbitkanya SK Menteri Kehutanan No. 55/Kpts-II/1994, semenjak peraturan ini ke setiap pergantian peraturan perundang-undangan mengalami penambahan jumlah persyaratannya, hal ini karena adanya penyesuaian dengan peraturan perundang-undangan terkait lainya yang baru, perubahan pengaturan yang cukup besar terutama sejak Permenhut Nomor P.18/Menhut-II/2011 dan perubahanya, karena telah didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
Perubahan pengaturan persyaratan sejak Permenhut Nomor P.18/Menhut-II/2011, semakin terperinci karena pemberlakuan persyaratan telah membedakan pengaturan persyaratan menjadi syarat administrasi dan teknis, syarat untuk instansi pemerintah dan non pemerintah, jenis-jenis kegiatan yang akan dilakukan, letak lokasi yang dimohon terletak dalam wilayah Perum Perhutani atau tidak. Sejak Permenhut No. P.16/ Menhut-II/2014 juga telah mengatur khusus untuk perizinan kegiatan pertambangan komoditas mineral jenis batuan telah membedakan yang luasanya kurang atau lebih 10 hektar (Lampiran 4).
20
Pengaturan tata waktu dalam pengurusan pinjam pakai kawasan hutan telah diatur sejak lahirnya kebijakan ini yaitu SK Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64/Kpts/DJ/I/1978 yang mengatur hanya pada penyelesaian permohonan kegiatan pertambangan dan energi untuk memperoleh persetujuan prinsip PKH, selanjutnya pada SK Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994 mengatur permohonan untuk semua kegiatan pada tahap memperoleh persetujuan prinsip PKH.
Pengaturan ini mengalami kemunduran pada dua periode pergantian peraturan perundang-undangan yaitu pada Permenhut No. P.14/Menhut-II/2006 dan perubahanya dan Permenhut Nomor P.43/Menhut-II/2008 yang tidak ada pengaturan. Pada pergantian berikutnya yaitu sejak Permenhut Nomor P.18/Menhut-II/2011 telah diatur kembali dan sudah menyeluruh dari semua proses pengurusan pinjam pakai kawasan hutan dan pada perkembangan terakhir juga telah dipercepat waktu proses pengurusan izin pinjam pakai kawasan hutan khususnya waktu penyelesaian persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan dan permohonan persetujuan calon lahan kompensasi (Lampiran 5).
6. Jangka waktu persetujuan PKH dan IPPKH
Pengaturan jangka waktu persetujuan prinsip PKH baru diatur sejak Permenhut Nomor P.14/Menhut-II/2006 yang mengatur selama dua tahun dan dirubah menjadi dua tahun dan dapat diperpanjang sejak Permenhut Nomor P.43/Menhut-II/2008. Perubahan pengaturan jangka waktu menjadi dua tahun dan dapat diperpanjang ini, memungkinkan pemegang persetujuan prinsip PKH dapat memperpanjang masa berlaku persetujuan prinsipnya apabila kewajiban-kewajibannya belum terpenuhi dalam rangka memperoleh IPPKH.
Pengaturan jangka waktu IPPKH mulai diatur sejak SK Menteri Kehutanan Nomor 55/Kpts-II/1994, yang mengatur maksimal selama 5 tahun dan dapat diperpanjang. Pengaturan jangka waktu IPPKH berdasarkan jenis kegiatan dan kepentinganya sejak Permenhut No. P.43/Menhut-II/2008 (Lampiran 6). Pengaturan jangka waktu persetujuan prinsip PKH dan IPPKH sejak Permenhut Nomor P.18/Menhut-II/2011 sudah berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
menjadi pedoman dalam pelaksanaan kebijakan dari tahun 1978 sampai dengan tahun 2014 juga telah disesuaikan dengan terbitnya beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait yang secara hierarki lebih tinggi kedudukannya.
Perubahan dan penambahan pengaturan selain sebagaimana tersebut di atas, juga terdapat perubahan pengaturan bentuk perizinan pinjam pakai kawasan hutan yaitu sejak Permenhut Nomor P.14/Menhut-II/2006 dari perjanjian pinjam pakai kawasan hutan pada peraturan perundang-undangan sebelumnya menjadi izin pinjam pakai kawasan hutan, perubahan bentuk perizinan ini berpengaruh kepada posisi Kementerian LHK menjadi semakin dominan dalam mengatur dan melaksanakan kewenangannya dalam kebijakan ini.
Proses Penerbitan IPPKH
Proses penerbitan IPPKH untuk kegiatan eksploitasi/operasi produksi pertambangan dan kegiatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan selain kegiatan survey dan eksplorasi pertambangan didahului dengan penerbitan persetujuan prinsip PKH, yang didalamya memuat semua kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang persetujuan prinsip PKH dalam rangka untuk dapat mengajukan IPPKH. Sedangkan penerbitan IPPKH untuk kegiatan survey dan eksplorasi pertambangan tanpa didahului penerbitan persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan. IPPKH untuk kegiatan survey dan eksplorasi pertambangan dilaksanakan dengan tanpa adanya kompensasi lahan, sehingga dalam penelitian ini pembahasan yang dilakukakan hanya pada IPPKH untuk kegiatan eksploitasi/operasi produksi pertambangan dan kegiatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan lainya selain kegiatan survey dan eksplorasi pertambangan. Secara garis besar proses penerbitan IPPKH untuk kegiatan eksploitasi/operasi produksi pertambangan dan kegiatan pembangunan di luar kegiatan kehutanan selain kegiatan survey dan eksplorasi pertambangan dan tata waktunya dapat digambarkan pada Gambar 2.
22
Sumber: Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Gambar 2 Bagan alir penerbitan IPPKH
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses penilaian persyaratan dan penelahaan untuk permohonan PKH dalam memperoleh persetujuan prinsip PKH adalah pihak di lingkup Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan yang didalamnya terdapat Direktorat yang membidangi perizinan penggunan kawasan hutan, dan kewenangan pihak-pihak telah jelas. Kewenangan untuk menerbitkan surat
Penilaian persyaratan
Penerbitan Persetujuan Prinsip PKH
Pemenuhan Kewajiban Persetujuan Prinsip PKH
Penerbitan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Tidak
Permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan
Penilaian
Surat Pemberitahuan
Tidak
Paling lama 75 hari kerja
Paling lama 75 hari kerja 2 tahun dan dapat diperpanjang
Penelahaan
Tidak
Surat Penolakan
Surat Pemberitahuan
Paling lama 15 hari kerja
Paling lama 5 hari kerja
Ya
Ya
Ya Permohonan PKH
pemberitahuan adalah Direktur yang membidangi perizinan penggunan kawasan hutan atas nama Direktur Jenderal Planologi Kehutanan, sedangkan surat penolakan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan atas nama Menteri LHK. Keterlibatan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan dan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dalam proses penelahaan permohonan penggunaan kawasan hutan, hanya apabila Direktur Jenderal Planologi Kehutanan memandang perlu untuk meminta pertimbangan teknis sesuai dengan tugas dan kewenangannya masing-masing.
Pihak yang terlibat dalam proses penilaian dalam memperoleh IPPKH setelah pemegang persetujuan prinsip PKH memenuhi semua kewajibannya melibatkan dua eselon I di lingkup Kementerian LHK yaitu Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Sekretariat Jenderal Kementerian LHK yang kewenangan serta tugas masing-masing pihak telah jelas dalam proses penyelesaian permohonan ini. Kewenangan untuk menerbitkan surat pemberitahuan adalah Direktur Jenderal Planologi Kehutanan atas nama Menteri LHK.
Persyaratan permohonan PKH
Persyaratan yang harus dilengkapi dalam mengajukan permohonan PKH untuk memeroleh persetujuan prinsip PKH dibagi menjadi dua kategori yaitu persyaratan administrasi dan teknis. Persyaratan administrasi terdiri dari lima syarat dan terdapat dua syarat yang melibatkan pihak instansi pemerintah yaitu untuk syarat izin atau perjanjian dibidangnya dan rekomendasi gubernur atau bupati, dari dua syarat yang melibatkan instansi pemerintah ini, rekomendasi gubernur atau bupati yang lebih banyak melibatkan unsur insntansi pemerintah.
Pada persyaratan teknis dari enam syarat terdapat tiga syarat yang melibatkan pihak instansi pemerintah yaitu Izin lingkungan dan dokumen Amdal atau UKL-UPL, pertimbangan teknis Direktur Jenderal yang membidangi Mineral dan Batubara pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau Pertimbangan teknis Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi pertambangan dan Pertimbangan teknis Direktur Utama Perum Perhutani, dari ketiga syarat ini yang paling banyak melibatkan unsur instansi pemerintah adalah Izin lingkungan dan dokumen Amdal atau UKL-UPL, yaitu sebanyak empat pihak yang terdiri dari 3 pihak instansi pemerintah dan satu Komisi Penilai Amdal. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, Komisi ini terdiri dari 12 unsur instasi pemerintah untuk Komisi Penilai Amdal pusat, sembilan unsur pemerintah untuk Komisi Amdal provinsi terdiri sembilan unsur dan tujuh unsur instasi pemerintah untuk Komisi Amdal kabupaten. Ditinjau dari substansi dari setiap persyaratan yang ada dalam Permenhut ini telah disesuaikan dengan pihak yang mengajukan permohonan, jenis kegiatan yang akan dilakukan, cakupan wilayah administrasi permohonan, luas permohonan dan letak areal permohonan berada di wilayah kerja Perum Perhutani atau tidak (Lampiran 7).
Kewajiban pemegang persetujuan prinsip PKH