• Tidak ada hasil yang ditemukan

Classification of Coral Reef Lifeform using Hydroacoustic Instrument Simrad EY 60 in Pari Island

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Classification of Coral Reef Lifeform using Hydroacoustic Instrument Simrad EY 60 in Pari Island"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

KLASIFIKASI LIFEFORM TERUMBU KARANG

MENGGUNAKAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD

EY 60 DI PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU

JAFRY FERDINAN MANUHUTU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Klasifikasi Lifeform Terumbu

Karang menggunakan Instrumen Hidroakustik Simrad EY 60 di Pulau Pari

Kepulauan Seribu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

(3)

ABSTRACT

JAFRY FERDINAN MANUHUTU

.

Classification of Coral Reef Lifeform using Hydroacoustic Instrument Simrad EY 60 in Pari Island. Supervised JAYA INDRA and MANIK M. HENRY

In Indonesia, hydroacoustic methods has been used in variuous marine research and development, however, it’s vast potensial application has not been fully explored. This thesis describes an attempt to classify coral reef lifeform using hydroacoustic method. Data collection was carried out in Pari Island, Jakarta day 13 from 17 july 2009, and the analysis of volume backscattering strength (SV) and surface backscattering strength (SS) values obtained from SIMRAD EY 60 Instrument on several category of coral reef lifeform. Data validation of the coral reef lifeform was performed using Line Intercept Transect Method (LIT) and Visual Observation, which was recorded using under water video. Results show that the average value of surface backsacttering strength (SS) range from -25dB until -40dB, depend on the lifeform. The strength of first echo (E1) varied from -17,75dB to -34,99dB, while for the second echo (E2), it varied from -22,81dB to -43,25dB. The E1 E2 map shows that the acoustic method successfully cluster the lifeform at observation site into three groups.

(4)

RINGKASAN

JAFRY FERDINAN MANUHUTU

.

Klasifikasi Lifeform Terumbu Karang Menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY 60 di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan HENRY M. MANIK.

Terumbu karang sering disebut sebagai rain forest di laut sebab luar biasa diversity dari kehidupan mereka. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan tropik terbesar di dunia. Saat ini luasan terumbu karang diperkirakan ± 81% dalam kondisi terancam keberadaannya. Fenomena ini terjadi seiring dengan kemajuan kegiatan manusia terutama bidang industri yang menimbulkan berbagai akses serta berkaitan dengan limbah dan aktivitas penangkapan ikan dan juga global climate change.

Upaya pelestarian karang telah dilakukan dengan menggabungkan beberapa program secara terpadu, diantaranya pemantauan eksosistim secara berkala, rehabilitasi ekosistim terumbu karang yang rusak dengan pembuatan artificial reef dan tranplantasi karang. Konservasi ekosistim yang masih baik dan pemanfaatan secara berkelanjutan, serta studi – lain yang terus dikembangkan.

Didasari oleh adanya masalah klasifikasi terumbu karang maka ada dua kategori metode pemetaan habitat terumbu karang yaitu: berdasarkan observasi atau pengukuran langsung (visual sensus) dan metode tidak langsung melalui peralatan penginderaan jauh yaitu airbone dan satellite remote sensing, Selanjutnya, berkembang dua metode tidak langsung (indirect) berdasarkan instrumen penginderaan jauh yang digunakan, baik berdasarkan penginderaan jauh optik (optical remote sensing) atau penginderaan jauh akustik (acoustical remote sensing).

Metode akustik dianggap mampu memberikan solusi dalam pendugaan karakteristik dasar perairan, sejumlah penelitian lanjutan mengenai dasar perairan pun dilakukan. Tingginya variasi yang terjadi pada dasar perairan membuat banyak hal yang masih belum jelas dalam pendugaan karakteristik dasar perairan menggunakan metode akustik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis nilai hambur balik atau volume backscattering strength (SV) dan surface backscattering strength (SS) beberapa jenis lifeform terumbu karang serta mengembangkan pengklasifikasian nilai tersebut untuk survei cepat terumbu karang.

Pengambilan data akustik dilakukan di perairan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta pada tanggal 13-17 Juli 2009. Data yang diperoleh dari pengukuran dilapangan berupa data akustik (seperti kedalaman, posisi geografis dan parameter akustik antara lain SV dan echo time travel sedangkan data visual terumbu karang yang dilakukan dengan cara pemotretan setiap lifeform terumbu karang Analisis Data akustik dilakukan di Balai Riset Perikanan Tangkap menggunakan perangkat lunak Matlab.

(5)

akustik sehingga proses perekaman akustik tepat berada diatas lifeform terumbu karang. Setelah lokasi dan transek ditandai, dilanjutkan dengan pengambilan data lifeform terumbu karang yang didukung dengan foto, kemudian dianalisis lebih lanjut. Survei akustik dilakukan dilokasi berdasarkan pelampung sebagai tanda, kapal dalam keadaan diam dan digerakkan menggunakan dayung.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini terlihat bahwa dari hasil ekstrak data maka nilai volume backscattering strength (SV) sangat tinggi dari tiap lifeform karang berkisar antara -10dB sampai -20dB yang berada pada kedalaman 2 dan 2,5 meter. Berdasarkan nilai mean surface backsacattering strength (SS) untuk kedelapan lifeform terumbu karang berkisar antara -27,5dB sampai -32,5dB. Dari hasil proses pengolahan data dan pemetaan antara E1 dan E2 dari tiap kategori lifeform karang, dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai E1 dan E2. Jenis terumbu karang yang termasuk dalam klasifikasi yang tinggi adalah lifeform Foliose (CF), Branching (CB) dan Acropora Branching (ATB) yang mempunyai nilai E1 berkisar antara -15dB sampai -23dB, sedangkan yang termasuk klasifikasi sedang adalah lifeform Masive (CM), Acropora Tabular (ACT) dan Acropora Digitale (ACD) yang mempunyai nilai E1 berkisar antara -20dB sampai -29dB dan klasifikasi yang rendah adalah lifeform Mushroom (CMR) dan Sponge (SP) yang mempunyai nilai E1 berkisar antara -30dB sampai -35 dB.

(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta Dilindungi Undang – Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah

b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya

(7)

KLASIFIKASI LIFEFORM TERUMBU KARANG

MENGGUNAKAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD

EY 60 DI PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

JAFRY FERDINAN MANUHUTU

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis : Klasifikasi Lifeform Terumbu Karang menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY 60 di Pulau Pari, Kepulauan Seribu

Nama : Jafry Ferdinan Manuhutu

NIM : C552070011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc Dr. Ir. Henry M. Manik, MT

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan

Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena begitu besar kasih

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul

Klasifikasi Lifeform Terumbu Karang Menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY 60 di Pulau Pari Kepulauan Seribu.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar –

besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Indra Jaya. M Sc dan Dr. Ir Henry M. Manik, MT

selaku Ketua dan Anggota pembimbing yang dengan kesabaran dan

ketulusan hati membimbing sehinga penyusunan tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA dan Dr. Ir. Djisman Manurung,

M.Sc selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan saran

bimbingan, arahan dan masukan bagi penulisan ini.

3. Ketua Mayor Teknologi Kelautan dan staf pengajar Program Studi

Teknologi Kelautan, atas segala ilmu yang diberikan selama ini.

4. Staf pengajar Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua buat

dukungan dan semangat yang terus diberikan.

5. Ditjen Dikti yang telah memberikan dana BPPS, Program Mitra

Bahari-Coremap II yang telah membantu dana bantuan penulisan skripsi.

6. Ir. Tati Purwati, M.Si atas segala bantuan fasilitas dan ijin pengunaan

peralatan echosounder dilapangan selama penelitian berlangsung.

7. Teman-teman TEK angkatan 2007, khususnya Muhamad Iqbal, S.pi yang

membantu penulis selama penulisan tesis ini.

8. Kedua orang tua, istri terkasih Netje dan ketiga anak Fernando, Jesica dan

Marxel atas dukungan doa, material, waktu dan kasih sayang mereka.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan

tesis ini, sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat

membangun untuk memperbaiki dan menyempurnakan tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahir di Ambon pada tanggal 29 Januari 1973 dari Ayah

Dominggus dan Ibu Ina Maria Nanlohy. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan

Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura dan

menamatkannya pada tahun 2000.

Selanjutnya pada tahun 2000-2001, penulis mengabdi sebagai dosen luar

biasa pada Diploma (D3) Budidaya Perairan, Universitas Negeri Papua. Dan

semenjak tahun 2002 penulis diangkat sebagai staf pengajar pada Jurusan Ilmu

Kelautan, Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Negeri

Papua (UNIPA).

Pada tahun 2007 penulis diberi kesempatan mengikuti program Magister

Sains di Program Studi Teknologi Kelautan (TEK) atas bantuan dana dari BPPS.

Tulisan berjudul Klasifikasi Lifeform Terumbu Karang menggunakan Instrumen

(12)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL

... xii

DAFTAR GAMBAR

... xiii

DAFTAR LAMPIRAN

... xiv

1

PENDAHULUAN

... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Kerangka Pemikiran ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

2

TINJAUAN PUSTAKA

... 6

2.1 Terumbu Karang... ... 6

2.2 Bentuk Pertumbuhan Karang ... 7

2.3 Karang Lunak ... 14

2.4 Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang ... 14

2.5 Kondisi Terumbu Karang Kepulauan Seribu ... 15

2.6 Metode Akustik ... 15

2.7 Transmisi Gelombang Akustik ... 16

2.8 Time Varied Game ... 17

2.9 Hambur Balik Akustik pada dasar perairan ... 17

2.10 Bottom Scattering Pada Dasar Perairan ... 19

2.11 Echosounder Split Beam ... 21

3

METODE PENELITIAN

... 22

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 22

3.2 Alat dan Bahan ... 23

3.2.1 SIMRAD EY 60 Scientific Echosounder System ... 23

3.2.2 Kapal ... 23

3.3 Metode Pengumpulan Data... 24

3.3.1 Observasi Visual... ... 24

3.3.2 Metode Pengukuran Akustik Lifeform Terumbu Karang... ... 24

3.4 Pemrosesan dan Analisis Data ... 25

(13)

xi

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

... 27

4.1 Data Lapangan ... 27

4.2 Data Akustik ... 27

4.3 Komputasi Echo Life form Terumbu Karang... 28

4.4 Pola Puncak Echo Lifeform Terumbu Karang ... 30

4.5.Puncak Echo (Peak) Surfacebackscattering Strength (SS) Lifeform Terumbu Karang . ... 31

4.6 Pengelompokan Kekasaran/E1 dan Kekerasan/E2 ... ... 33

4.6 Pengklasifikasian Lifeform Terumbu Karang ... ... 34

5

KESIMPULAN DAN SARAN

... 35

5.1 Kesimpulan ... 35

5.1 Kesimpulan ... 35

DAFTAR PUSTAKA

... 36
(14)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Klasifikasi komunitas terumbu karang ... 6

2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian... ... 23

3 Setting alat SIMRAD EY 60 scientific echosounder sistem ... 25

4 Hasil pengamatan visual dilapangan ... ... 27

5 Nilai surface backscattering strength (dB) lifeform terumbu karang dan Sponge ... 32

(15)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ... 4

2a Beberapa tipe pertumbuhan karang batu (Stony Coral )... .. 8

2b Beberapa tipe pertumbuhan karang batu (Stony Coral ) ... 9

2c Beberapa tipe pertumbuhan karang batu (Stony Coral ) ... 10

3 Prinsip pengoperasian alat akustik ... 16

4 Bentuk echo yang berbeda dari dasar yang keras dan lunak (a) amplitudo sinyal echo dan (b) kurva akumulasi energi ... 18

5 Bentuk suara saat ditransmisikan pada dua medium yang berbeda impedansi dan kekasarannya ... 19

6 Variasi nilai backscattering yang dihasilkan oleh berbagai frekuensi ... 20

7 Lokasi Penelitian ... ... 22

8 Contoh Echogram kategori lifeform terumbu karang... .. 28

9 Echogram SV (dB) tiap kategori lifeform terumbu karang dan Sponge ... .. 29

10 Nilai rata – rata SV dasar (dB) lifeform terumbu karang dan Sponge ... .. 31

(16)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Dokumentasi survei,peralatan instrumentasi akustik

yang digunakan dalam penelitian ... 41

2 Jenis lifeform terumbu karang yang ditemukan pada lokasi

penelitian penelitian ... ... 42

(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terumbu karang sering disebut sebagai rain forest di laut sebab luar biasa

diversity dari kehidupan mereka. Sebagai satu dari kehidupan kompleks di dunia,

terumbu karang merupakan rumah untuk lebih dari 4000 species ikan yang

berbeda, 700 species dari coral, ribuan tumbuhan-tumbuhan dan hewan – hewan

lain (ICRAN 2006).

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan tropis terbesar di dunia

dengan garis pantai sepanjang lebih dari 95.000 km2 mengelilingi ±17.000 pulau serta mempunyai luasan terumbu karang ± 51.020 km2 (Burk et al. 2002). Saat ini luasan terumbu karang diperkirakan ± 81% dalam kondisi terancam

keberadaannya (Spelding et al. 2001), Fenomena ini terjadi seiring dengan

kemajuan kegiatan manusia terutama bidang industri yang menimbulkan berbagai

akses serta berkaitan dengan limbah, aktivitas penangkapan ikan dan global

climate change.

Untuk pengelolaan khususnya sumber – sumber terumbu karang, yang

pertama penting mengidentifikasi terumbu karang yang akan dikelola. Sebuah

program monitoring dapat menyediakan informasi dari tempat diversity, kondisi

dari syarat habitat – habitat dan perubahan dalam lingkungan.

Salah satu cara untuk mengetahui bagaimana karateristik dari lautan itu

sendiri adalah dengan mempelajari bentuk/karateristik dari dasar perairan yang

antara lain berupa tipe substrat atau sedimen beserta organisme yang hidupnya

didasar perairan. Perkembangan penelitian mengenai dasar perairan telah banyak

dilakukan dimana para peneliti berusaha untuk mencari hubungan antara

parameter di dasar perairan (organisme bentos, vegetasi perairan dan ikan

demersal) berupa hubungan korelasi antara tipe substrat dengan organismenya.

Penelitian – penelitian mengenai habitat terumbu karang telah banyak

dilakukan seperti metode klasifikasi habitat menggunakan satelit dan pemotretan

udara telah diterapkan untuk pemetaan habitat terumbu karang (Mumby et al.

1997, diacu dalam Walker B.K et al. 2008), metode–metode bathymetri, seperti

side-scan sonar atau survei multibeam tetapi hanya mengungkapkan kehadiran

(18)

2

sistim dasar laut seperti menggunakan QTC View, telah sukses untuk

membedakan antara tipe dasar (Hamilton 2001; Anderson et al. 2002, diacu dalam

Walker BK et al. 2008).

Penggunaan metode hidroakustik merupakan salah satu alternatif yang

dewasa ini telah dikembangkan untuk mendapatkan informasi tentang klasifikasi

substrat dasar dan vegetasi bawah air, karena keuntungannya yang lebih efektif

dan efisien untuk pemantauan dan pemetaan ekosistim air dibandingkan metode

lain seperti pemanfaatan citra satelit dan pemantauan secara konvensional

(visual sensus).

Dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk melakukan penelitian

mengklasifikasikan lifeform karang menggunakan Instrumen Hidroakustik Simrad

EY 60.

1.2 Perumusan Masalah

Upaya pelestarian karang telah dilakukan dengan menggabungkan

beberapa program secara terpadu, diantaranya pemantauan eksosistim secara

berkala, rehabilitasi ekosistim terumbu karang yang rusak dengan pembuatan

artificial reef (Clark & Edward 1999) dan tranplantasi karang (Birkeland. 1997).

Konservasi ekosistim yang masih baik dan pemanfaatan secara berkelanjutan,

serta studi – studi lain yang terus dikembangkan.

Airbone dan teknologi remote sensing semakin banyak digunakan untuk

monitoring habitat - habitat terumbu karang. Untuk semakin akurat dan peta–peta

dapat diandalkan, kalibrasi dari alogaritma pemetaan dan validasi dari hasil

peta-peta adalah penting (Green et al. 2000). Bermacam metode – metode survei bentik

telah digunakan untuk validasi seperti visual checks (Mazel et al. 2003) Line

Intercept (Andrefouet et al. 2003), Video (Louchard et al. 2003) dan survey

digital (Joyce et al. 2004).

Banyak teknik efektif untuk implementasi tidak selalu jelas dan banyak

metode-metode survei bentik yang dapat dipilih (English et al. 1997; Hill &

Wilkinson 2004, diacu dalam Walker BK et al. 2008). Metode-metode tersebut

memiliki banyak kekurangan dalam survei, hal ini disebabkan kebutuhan

(19)

3

Di Indonesia teknologi hidroakustik telah diterapkan dalam kegiatan

penelitian dan pengembangan kelautan, namun penerapan tersebut hingga saat ini

masih sangat terbatas. Misalnya dalam dunia perikanan penerapannya baru sampai

pada tahap inventarisasi awal sumberdaya ikan, sedangkan penelitian dan

penerapan teknologi hidroakustik pada daerah terumbu karang sampai saat ini

relatif sangat sedikit dilakukan.

Metode akustik dianggap mampu memberikan solusi dalam pendugaan

karakteristik dasar perairan, sejumlah penelitian lanjutan mengenai dasar perairan

pun dilakukan. Tingginya variasi yang terjadi pada dasar perairan membuat

banyak hal yang masih belun jelas dalam pendugaan karakteristik dasar perairan

menggunakan metode akustik. Padahal seperti yang diketahui bahwa metode

akustik sangat efektif pada penyediaan informasi tentang laut dalam dan dasar laut

dan telah digunakan pada laut baltik untuk klasifikasi dasar (Tegowski 2005).

1.3 Kerangka Pemikiran.

Hewan bentik memiliki hubungan erat dengan jenis dasar perairan yang

mereka tempati. Oleh karena itu bidang perikanan membutuhkan klasifikasi

sediment dan dasar perairan untuk memetakkan habitat bagi hewan bentik

(Orlowski 2007). Bermacam metode–metode konvensional survei bentik telah

digunakan untuk validasi terumbu karang seperti visual checks, line intercept

transect, video dan survei–survei digital dalam melakukan klasifikasi terhadap

terumbu karang. Tetapi masih banyak kelemahannya disebabkan pengamatan

cenderung tidak dapat dilakukan secara bersamaan karena sampling mencakup

daerah yang luas, serta membutuhkan waktu dan biaya yang sangat besar.

Didasari oleh adanya masalah klasifikasi terumbu karang maka ada dua

kategori metode pemetaan habitat terumbu karang yaitu: berdasarkan observasi

atau pengukuran langsung (visual sensus) dan metode tidak langsung melalui

peralatan penginderaan jauh yaitu airbone dan satelite remote sensing

(Green at al. 2000). Karena membutuhkan waktu dan tenaga, metode ini dinilai

tidak efektif. Selanjutnya, berkembang dua metode tidak langsung (indirect)

berdasarkan instrumen penginderaan jauh yang digunakan, baik berdasarkan

(20)

4

(acoustical remote sensing). Lokasi penelitian dipilih pada perairan digugusan

Pulau Pari yang memiliki habitat terumbu karang. Sounding akustik dilakukan

untuk mendapatkan nilai volume backscattering strength (SV) beberapa jenis

lifeform terumbu karang. Untuk pengambilan sampel terumbu karang dilakukan

dengan observasi visual (pemotretan) sebagai groundtruth sampling pada lokasi

tersebut. Pengambilan sampel tersebut untuk memperoleh data klasifikasi terumbu

karang pada daerah tersebut.

Secara diagramatik kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini

seperti ditunjukkan pada Gambar 1

Gambar 1 Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian. Masalah klasifikasi substrat dasar terumbu karang

Survei akustik Observasi visual & Optik

SIMRAD EY 60 Scientific echosounder

Raw data

(Pengukuran akustik terumbu)

Echo logging

Echo post processing sofware

Volume backscaterring strength (SV) Surface backscattering strength (SS)

Penyelaman

Photo

Identifikasi visual

Jenis lifeform

terumbu karang

Validasi

TVG

GPS

Noise filtering

(21)

5

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai hambur balik atau

volume backscattering strength (SV) dan surface backscattering strength (SS)

beberapa jenis lifeform terumbu karang serta mengembangkan pengklasifikasian

nilai tersebut untuk survei cepat terumbu karang.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pola sebaran nilai

hambur balik atau volume backscattering strength (SV) dan surface

backscattering strength (SS) yang dihasilkan oleh beberapa jenis lifeform terumbu

karang. Pola yang didapatkan dari nilai volume backscattering strength (SV) ini

kemudian dapat digunakan untuk memetakan dan mengklasifikasikan lifeform

(22)

6

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan kumpulan organisme karang yang hidup

diperairan laut dangkal terutama di daerah tropis. Ekosistim terumbu karang

komponen utamanya disusun oleh hewan – hewan karang dari kelas Anthozoa,

Ordo Scleractinia, yang mampu membuat rangka karang dari kalsium karbonat

(Vaughan dan Well 1943, diacu dalam Supriharyono 2000). Hewan karang adalah

hewan sessile renik, umumnya berada dalam ekosistim bersama hewan laut lain

seperti soft coral, Hydra, anemone laut dan lain – lain yang termasuk kedalam

Phylum Cnidaria (Coelenterata) Veron (2000) dimana klasifikasi dari komunitas

hewan–hewan dalam ekosistim terumbu karang tersebut adalah (stony coral) yaitu

hewan yang tergolong dalam Ordo Sclerectinia dimana kerangkanya terbangun

dari rangka kapur (Nontji 2002).

Tabel 1 Klasifikasi komunitas terumbu karang (Veron 2002) Klas Hydrozoa

Ordo Hydroidea (Hydroids)

Ordo Milleporina (meliputi Genus Millepora)

Ordo Stylasterina (meliputi Genus Distichopora and Stylaster)

Klas Cubozoa (Sea Wasps)

Klas Anthozoa

Sub Klas Octocorallia

Ordo Helioporacea (Genus Heliopora)

Ordo Alcyonacea (Soft corals, Tubipora, sea fans)

Ordo Pennatulacea (sea pens)

SubKlas Hexacorallia

Ordo Actiniaria (sea Anemones)

Ordo Zoanthidia (zoanthids)

Ordo Corallimorpharia ( corallimorpharians)

Ordo Scleractinia ( stony corals)

SubKlas Ceriantipatharia

(23)

7

Berkaitan dengan pembentukan terumbu karang, umumnya terbagi dua

kelompok yaitu karang yang membentuk terumbu (hermatipik) dan karang yang

tidak dapat membentuk terumbu (ahermatipik). Kelompok pertama dalam

prosesnya bersimbiosis dengan zooxanthellae dan membutuhkan sinar matahari

untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian dikenal reef building

corals, sedangkan kelompok kedua tidak dapat membentuk bangun kapur

sehingga dikenal dengan non reef building corals yang secara normal hidupnya

tidak bergantung pada sinar matahari (Veron 2002)

2.2 Bentuk Pertumbuhan Karang

Jenis karang dari genus yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan

(growth form) yang berbeda pada suatu lokasi pertumbuhan. Kondisi fisik yang

sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan yang mirip walaupun secara

taksonomi berbeda. Adanya perbedaan bentuk pertumbuhan disebabkan oleh

beberapa faktor diantaranya adalah kedalaman, arus, dan topografi dasar perairan

(English et al. 1997).

Berdasarkan bentuk pertumbuhanya karang terbagi atas karang Acropora

dan non-Acropora (English et al. 1997). Karang jenis Acropora lebih mudah

dibedakan dan memiliki jumlah jenis dan penyebaran sangat luas dibandingkan

jenis lainnya. Perbedaan Acropora denga non-Acropora terletak pada struktur

skeletonnya, Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radikal

koralit, sedangkan non Acropora hanya memiliki radial koralit (English et al.

1994, diacu dalam Van Woesik 2002). Pertumbuhan dari struktur ini sangat

bervariasi, tergantung pada jenis hewan karang dan kondisi lingkungannya,

dengan kisaran pertumbuhan umumnya antara 0,3 sampai 10 cm per tahun

(Vaughan dan Wells 1943, diacu dalam Van Woesik 2002).

Beberapa tahun belakangan untuk mempermudah pencatatan, banyak

peneliti tidak mencatat karang pada tingkat spesies, tetapi yang digunakan adalah

mengidentifikasi dengan teknik pendekatan bentuk pertumbuhan (lifeform), yang

dimulai di Australia Institut of Marine Science (AIMS) kemudian banyak diikuti

secara luas di dunia ( De Vantier.. 1986).

(24)

8

Sumber: English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997)

(25)

9

Sumber: English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997

(26)

10

Sumber: English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997)

(27)

11

Berdasarkan bentuk dari pertumbuhan (lifeform) (Wood 1977, diacu dalam

English et al. 1997) mengelompokkan pertumbuhan karang (lifeform) atas

bentuk/tipe :

a)Tipe Padat (masive) yaitu bentuk atau tipe yang berbentuk seperti bola,

ukurannya bervariasi mulai dari sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah.

Permukaannya halus dan padat. Jika beberapa bagian dari karang ini mati, maka

akan berkembang menjadi tonjolan sedangkan bila berada di daerah dangkal maka

bagian atasnya akan berbentuk seperti cincin. Karang ini biasanya ditemukan

disepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng terumbu yang dewasa serta

belum terganggu atau rusak, karang ini dapat berperan sebagai tempat

perlindungan serta sebagai daerah pencarian makanan (feeding ground) bagi ikan

– ikan karang dan hewan lainnya. Contohnya: Patygyra Daedalea

Sumber foto: English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997)

b)Tipe bercabang (Branching) yaitu bentuk atau tipe karang yang memiliki

cabang dengan ukuran cabang lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau

diameter yang dimilikinya (English et al. 1997). Karang jenis ini banyak terdapat

disepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama pada bagian yang

terlindung atau setengah terbuka, bentuk karang yang demikian biasanya

dijadikan tempat berlindung bagi ikan – ikan karang. Contohnya : Seriatopora

(28)

12

Sumber foto : English SA, Wilkinson .R, Baker VJ (eds) (1997)

c)Tipe kerak (Encrusting) yaitu bentuk atau tipe karang yang menutupi

permukaan dasar terumbu atau sering ditemukan merambat diatas permukaan

biota karang masive ataupun karang yang sudah mati. Pertumbuhan karang ini

menyerupai kerak dengan permukaannya yang kasar dan keras serta berlubang –

lubang kecil. Contohnya: Porites Vaughani,Montipora Undata

Sumber foto : English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997)

d)Tipe meja (Tabulate) yaitu bentuk atau tipe karang yang menyerupai meja

dengan permukaan yang lebar dan datar. Karang ini ditopang oleh sebuah batang

yang terpusat dan tertumpu pada satu sisi membentuk sudut. Contohnya :

(29)

13

Sumber foto : English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997)

e)Tipe Daun (Foliose) yaitu bentuk atau tipe karang yang tumbuh dalam

bentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu. Dapat berukuran

besar dan kecil serta membentuk lipatan yang melingkar. Contohnya: Merulina

ampliata, Montipora aequituberculata.

Sumber foto :English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997)

f) Tipe Jamur (Mushroom) yaitu bentuk atau tipe karang yang berbentuk oval

dan tampak seperti jamur dengan sekat–sekat yang berjur serentak dari sisi –

sisinya hingga bertemu pada bagian tengahnya sehingga menyerupai jamur.

Permukaannya agak cembung atau cekung dengan ukuran yang bervariasi.

(30)

14

Sumber foto :English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997)

2. 3 Karang Lunak (Soft coral )

Karang lunak lebih dikenal dengan Alcyonaria merupakan satu jenis

Coelenterata yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan fisik terumbu

karang. Dengan tubuh yang lunak dan kokoh, tubuh Alcyonaria lentur dan tidak

mudah putus. Tubuh Alcyonaria lembek tetapi disokong oleh sejumlah besar

duri–duri yang kokoh, berukuran kecil dan tersusun sedemikian rupa sehingga

tubuh Alcyonaria lentur dan tidak mudah putus. Duri-duri mengandung kalsium

karbonat yang disebut spikula (Manuputty 1986).

Karang lunak ini dikenal dengan tekstur tubuhnya yang lunak dan

tertanam dalam masa gelatin, biasanya hidup di daerah pasang surut terendah

yang aman terhadap kekeringan dan selalu berada pada perairan yang jernih dan

mengandung sedikit sekali endapan. Koloni yang bercabang biasanya melekat

pada substrat yang keras. Secara fisiologis karang ini mempunyai persamaan

dengan karang batu dalam proses respirasi, mekanisme pengaturan organ dalam

untuk mengambil makanan dari luar, serta dalam pengeluaran zat-zat yang tidak

dipakai dalam tubuh.

2.4 Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang

Umumnya karang tumbuh pada daerah terbuka yang menghadap ke laut.

Keanekaragaman, penyebaran dan pertumbuhan karang hermatipik ini sangat

tergantung pada kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Kondisi lingkungan ini

(31)

15

adanya gangguan, baik yang berasal dari alam atau aktivitas manusia. Gangguan

dapat berupa faktor fisik-kimia dan biologis. Faktor – faktor fisik-kimia yang

diketahui dapat mempengaruhi kehidupan atau laju pertumbuhan karang, antara

lain adalah cahaya matahari, suhu, salinitas dan sedimen. Sedangkan faktor

biologis, biasanya berupa predaktor (Supriharyono 2000).

2.5 Kondisi Terumbu Karang Kepulauan Seribu

Kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu banyak diteliti oleh berbagai

lembaga penelitian seperti P3O, LIPI, UNESCO, LAPI-ITB, Balai Taman

Nasional Kepulauan Seribu, dan lain–lain. Secara umun kondisi terumbu karang

di Kepulauan Seribu dikategorikan dalam kondisi buruk hingga sedang

(LAPI-ITB 2001, diacu dalam Situmorang 2004). Persentase tutupan karang

hidup hanya berkisar antara 0-24,9 % dan 25 - 49,9%. Kerusakan terumbu karang

sebagian diakibatkan oleh penambangan karang batu untuk bahan bangunan serta

penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan kimia

( LAPI - ITB 2001, diacu dalam Situmorang 2004).

Dari berbagai pengamatan yang dilakukan tercatat terumbu karang yang

terdapat di Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta mencakup 68 genera dan sub

genera134 spesies (LAPI - ITB 2001, diacu dalam Situmorang 2004)

2.6 Metode Akustik

Akustik merupakan ilmu yang mempelajari gelombang suara dan

perambatannya dalam suatu medium, dalam hal ini mediumnya adalah air laut.

Instrumen yang digunakan dalam metode akustik adalah sistem SONAR

(Sound Navigation and Ranging) yakni suatu instrumen yang digunakan untuk

memperoleh informasi tentang objek-objek bawah air dengan memancarkan

gelombang suara dan mengamati/menganalisis echo yang diterima. Prinsip

dari pengoperasian metode akustik adalah dimulai dari timer yang berfungsi

sebagai penanda pulsa listrik untuk mengaktifkan pemancaran pulsa yang akan

dipancarkan oleh transmitter melalui transducer. Selanjutnya, transducer

mengubah energi listrik menjadi energi suara ketika suara akan dipancarkan

(32)

16

target seperti ikan atau dasar perairan dimana gelombang akustik ini akan

dipantulkan kembali dalam bentuk echo dan akan diterima oleh transducer

dan mengubahnya menjadi energi listrik dan diteruskan ke receiver amplifier.

Dalam receiver amplifier ini, sinyal listrik lemah yang dihasilkan oleh transducer

setelah echo diterima harus diperkuat beberapa ribu kali sebelum diteruskan ke

unit peraga untuk ditampilkan dalam bentuk echogram (Simmonds dan

MacLennan 2005). Prinsip dari pengoperasian alat hidroakustik seperti

ditunjukkan pada Gambar 3

[image:32.595.105.489.76.585.2]

Sumber: MacLennan dan Simmonds 2005 Gambar 3 Prinsip pengoperasian alat akustik.

2.7. Transmisi gelombang akustik

Kecepatan suara dalam air laut adalah satu variabel oseanografi yang

mempengaruhi proses transmisi suara pada medium tersebut. Hal tersebut

dipengaruhi oleh kedalaman, musim, lokasi geografis dan waktu pada suatu

tempat. Perhitungan kecepatan suara di air laut dapat disederhanakan dengan

menggunakan tiga parameter yaitu suhu, salinitas dan tekanan atau kedalaman.

Persamaan (1) menjabarkan proses perhitungan kecepatan suara (c) pada medium

air laut (Waite 2002):

(33)

17

dimana : C = kecepatan suara, dalam (m/sec),1490

T = Temperatur, dalam derjat celcius (oC),100C S = Salinitas, dalam part per thousand (ppt), 35 ppt

h = kadalaman, dalam meter

Dalam perambatannya, terjadi transmission loss akibat adanya absorpsi

dari medium dan adanya kehilangan akibat penyebaran (spreading) didalam

medium air serta banyak hal lainnya.

2.8 Time Varied Gain

Salah satu hal yang membedakan scientific echosounder dan echosounder

biasa terdapatnya fungsi Time Varied Game (TVG) pada scientific echosounder .

TVG berfungsi untuk menghilangkan efek kehilangan energi suara saat merambat

pada medium air baik saat dipancarkan dan juga saat suara atau echo yang

dipantulkan target menuju receiver. Koreksi yang dilakukan oleh TVG akan

memberikan nilai pantulan dari target yang lebih akurat (MacLennan dan

Simmonds 2005). Koreksi TVG memiliki dua modus, yaitu modus linier (20 log

r) dan modus eksponensial (40 log r). Modus linier memberikan keakuratan yang

lebih baik pada pengukuran target kelompok, termasuk dasar perairan. Sedangkan

modus eksponensial digunakan untuk mendeteksi target tunggal di kolom perairan

(Biosonics 2004).

2.9 Hambur Balik Akustik pada dasar perairan.

Algoritma yang dikembangkan untuk klasifikasi habitat terumbu karang

merupakan pengamatan dari perbedaan aras gema (echo level) dari vegetasi dan

dasar perairan (Tegowski et al. 2003). Bagaimanapun, bentuk dan durasi dari

gema akan berbeda dari pulsa suara aslinya dan distorsi tersebut mengandung

informasi mengenai proses backscattering dari akustik dasar perairan seperti relief

dan sifat–sifat geoakustik dasar perairan (Strenlicht & Mountier 2003).

Besarnya tingkat penetrasi dan pantulan (refleksi) sedimen juga ditentukan

oleh dua jenis sedimen itu sendiri (Krastel et al. 2006) dimana dasar laut atau

sedimen dengan sifat yang lebih keras akan memberikan pantulan dengan nilai

amplitudo yang lebih besar (Hamilton 2001). Nilai backscatering strength

(34)

18

dipengaruhi oleh kekasaran permukaan sedimen dan heterogenitas volume

sedimen (Fonsesca & Mayer 2007). Gambar 5 memperlihatkan echo yang

dihasilkan oleh dua karakteristik dasar laut yang berbeda.

[image:34.595.114.500.145.478.2]

Sumber: Burczynski 2004

Gambar 4 Bentuk echo yang berbeda dari dasar yang keras dan lunak (a) amplitudo sinyal echo dan (b) kurva akumulasi energi.

Daerah yang memiliki dasar perairan yang keras seperti dasar berbatu akan

menghasilkan sudut pada dasar perairan tersebut yang dapat menghamburkan

(scattering) energi suara ketika pulsa suara yang diberikan sampai pada dasar

perairan (Urick 1983). Sejumlah kasus menyebutkan bahwa terkadang nilai

second echo tidak didapatkan pada daerah dasar berbatu yang umumnya

cenderung memiliki struktur yang lebih kasar (roughess). Kasus yang sama juga

terjadi pada dasar pasir yang bergelombang, karena adanya energi yang hilang

dari hamburan yang disebabkan oleh bentuk dari dasar perairan tersebut

(35)

19

Sumber: Urick 1983

Gambar 5 Bentuk suara saat ditransmisikan pada dua medium yang berbeda impedansi dan kekasarannya.

2.10 Bottom Backscattering pada dasar perairan

Dasar perairan laut memiliki karakteristik memantulkan dan

menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya permukaan perairan

laut. Namun efek yang dihasilkan lebih kompleks karena sifat dasar laut yang

tersusun atas beragam unsur mulai dari berbatuan yang keras hingga lempung

yang halus dan tersusun atas lapisan – lapisan yang memiliki komposisi yang

berbeda – beda (Urick 1983).

Lebih lanjut Urick (1983) menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak

terdapat hubungan yang kuat antara frekuensi yang digunakan dengan nilai bottom

backscattering yang dihasilkan dari dasar laut dengan tipe batu dan pasir berbatu

serta pasir yang mengandung cangkang kerang. Hal ini diakibatkan oleh tekstrur

permukaan dasar tersebut yang cenderung lebih kasar sehingga energi suara yang

mengenai dasar tersebut akan terhamburkan. Sedangkan untuk jenis dasar atau

sediment yang lebih halus, penggunaan frekuensi diatas 10 kHz akan

memperlihatkan kecenderungan adanya hubungan antara frekuensi dan jenis dasar

[image:35.595.118.484.92.299.2]
(36)

20

Sumber :Urick 1983

Gambar 6 Variasi nilai backscattering yang dihasilkan dari berbagai frekuensi.

Nilai backscattering yang diberikan oleh dasar perairan biasanya memiliki

intensitas [dB] yang besar, namun diperlukan juga pembatasan agar hanya nilai

pemantulan dari dasar laut yang ingin diamati dapat terekam dengan baik.

(Orlowski. 2007) menyebutkan bahwa batas minimum deteksi (threshold) echo

yang kembali dari dasar perairan adalah -60 dB ( mengacu pada standar EY 500).

Batas ini memberikan gambaran yang stabil terhadap seluruh area penelitian,

dimana dasar perairan yang memiliki karakteristik nilai pantulan yang lemah juga

dapat terdeteksi.

Karena nilai reverberation pada dasar berbatu memberikan nilai yang

lebih besar dibandingkan dengan dasar berlumpur. Kemudian hal ini dijadikan

sebagai suatu landasan untuk mengaitkan backscattering dari dasar laut terhadap

tipe dasar tersebut, seperti lumpur, lempung, pasir dan batu. Walaupun disadari

bahwa ukuran dari partikel yang dikaitkan tersebut hanyalah indikator tidak

langsung terkait dengan backscattering yang dihasilkan (Urick 1983; Richardson

(37)

21

2.11 Echosounder Split Beam.

SIMRAD EY 60 scientific echosounder system merupakan sistim akustik

bim terbagi (split beam) yang merupakan metode baru yang dikembangkan untuk

memperbaiki kelemahan–kelemahan dari metode hidroakustik sebelumnya seperti

sistem akustik tunggal (single beam) dan sistem akustik ganda (dual beam). Ide

pembuatan split beam pertama kali ditemukan di Amerika, tetapi penerapan

teknologinya di kembangkan oleh Norwegia dengan memproduksi Simrad split

beam acoustic system pada dekade 1975 -1985.

Perbedaan split beam dengan metode sebelumnya terdapat pada kontruksi

tranduser yang memiliki empat kuadran yaitu Fore (bagian depan), Alf (buritan

kapal), Port ( sisi kiri kapal ) dan Starboard (sisi kanan Kapal). Selama transmisi,

transmitter mengirimkan daya akustik ke semua bagian tranduser pada waktu

yang bersamaan. Sinyal yang terpantul dari target diterima secara terpisah oleh

masing–masing kuadran.

Selama penerimaan berlangsung keempat bagian tranduser menerima

gema dari target, dimana target yang terdeteksi oleh tranduser terletak pada pusat

dari split beam dan gema dari target dikembalikan dan diterima oleh keempat

bagian pada waktu yang bersamaan. Tetapi jika target yang terdeteksi tidak

terletak pada sumbu pusat split beam, maka gema yang kembali akan diterima

lebih dulu oleh bagian tranduser yang paling dekat dari target atau dengan

mengisolasi target dengan menggunakan output dari split beam penuh (full beam)

( SIMRAD 1993).

Echosounder split beam modern memiliki fungsi Time Varied Gain

(TVG) didalam sistim perolehan data akustik. TVG ini berfungsi secara otomatis

untuk mengeliminir pengaruh attenuattion yang disebabkan baik oleh geometrical

(38)

22

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data akustik dilakukan pada tanggal 13-17 juli 2009 di

sebelah selatan perairan pulau Pari, yang termasuk dalam Kabupaten Administatif

Pulau Seribu, (Gambar 7). Pulau Pari terdiri dari gugus pulau - pulau yang terdiri

dari Pulau Kongsi, Pulau Tengah, Pulau Burung, Pulau Tikus dan Pulau Pari

sendiri. Pulau – pulau ini dikelilingi oleh terunbu karang dengan beberapa pintu

masuk yang disebut kaloran yang menghubungkan perairan diluar dengan

perairan di dalam terumbu. Pulau–pulau tersebut membentuk gugus yang dikenal

dengan gugus pulau Pari. Diantara pulau-pulau tersebut terdapat beberapa goba

dengan kedalaman 10 -12 meter. Lokasi ditentukan berdasarkan informasi dari

nelayan dan masyarakat di sekitar kepulauan pari serta survei awal penyelaman.

# # # # # # # # # # -70.0 -34.0 -48.0 -32.0 -41.0 -43.0 -37.0 -30.0 -25.0 -45.0 P. Pari # Y P. Tikus P. Tengah P. K ongsi

P. B urung

# 0

5

°5

2

' 5°52

'

5

°5

1

' 5°51

' 106°35' 106°35' 106°36' 106°36' 106°37' 106°37' 106°38' 106°38' Darat Per airan Dangkal Garis Pantai

#

0 Titik Stasiun

# Titik Kedalaman Keterangan :

Loka si Pe ne litian

DKI J akar ta Ba nten Jawa

Bara t 6 °1 5 ' 6 °0 0 ' 5 °4 5 ' 5 °3 0 ' 6°1 5 ' 6°00 ' 5°4 5 ' 5°3 0 '

106 °30' 106 °45' 10 7°00' 106 °30' 106 °45' 10 7°00'

Jefr y Ferdinan Manuhutu NRP. C552 07001 1

Ma yor Teknologi Kelautan Sekolah Pas casar jana Institut Perta nian Bogor Grid : Ge ografi

Proyeksi : W GS 84 Sum ber Peta : 1. Peta Ba timetri Dishidros 2. Peta Da sar Indones ia 50.000 Peta Indeks :

Peta Lo kasi P en elitian Pulau P ari

N

E W

S

[image:38.595.108.509.122.780.2]

400 0 400 m

Gambar 7 Lokasi Penelitian.

Pengolahan data akustik dan identifikasi sampel terumbu karang dilakukan

di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan

(39)

23

3.2 Alat dan bahan

3.2.1 SIMRAD EY 60 scientificechosounder system

Pengambilan data akustik menggunakan perangkat SIMRAD EY 60

scientific echosounder system (dokumentasi survei ditampilkan pada lampiran 1).

Transducer split beam dioperasikan dengan menggunakan frekuensi 120 kHz

dengan kecepatan suara sebesar 1545 m/dtk dengan nilai transmitted pulse length

0,64 m/dtk. Selain itu digunakan laptop untuk merekam data secara real time, dan

juga GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui posisi lintang (latitude)

dan bujur (longitude) Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini

diuraikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian No Alat dan bahan Jenis /Type Kegunaan

I Peralatan survey Lapangan

- SIMRAD EY 60 - GPSMAP 198c Sounder - Note book/ PC

- Kapal Nelayan

- SIMRAD - Garmin - Tosiba

- 15 GT

- Perekaman data akustik - menentukan posisi sampling -Pemrosesan dan Penyimpanan

Data

-Penempatan komponen

SIMRAD

II Peralatan Sampling - Roll Meter - Alat Tulis - Tali - Alat selam

50m - Alat ukur daerah survey - Mencatat data karang - Penandaan kategori lifeform - Untuk pengamatan lifeform

3.2.2 Kapal

Survei akustik dilakukan dengan menggunakan kapal nelayan setempat

(15 GT). Penempatan komponen Simrad EY 60 dan laptop berada pada tempat

yang aman dan mudah dioperasikan, tempat yang paling baik adalah di daerah

ruang kemudi. Sedangkan penempatan posisi transducer harus masuk ke dalam

air dan diletakkan di sisi luar kapal pada bagian kiri kapal. Transducer diletakkan

di sebelah kiri dari kapal, ini disebabkan perputaran baling-baling kapal

berlawanan dengan arah jarum jam, sehingga noise yang ditimbulkan oleh

(40)

24

3.3 Metode Pengumpulan data 3.3.1 Observasi Visual

Sebelum dilakukan pengambilan data akustik, dilakukan survei awal

dengan cara penyelaman untuk mencari dan menentukan titik transek

pengambilan data terumbu karang. Setelah titik transek ditentukan, selanjutnya

dilakukan penentuan transek dengan menggunakan metode Line Intercept

Transect (LIT)sepanjang 50m melintasi daerah terumbu karang (Andrefouet et al.

2004). Setiap lifeform terumbu karang yang ditemukan di sepanjang Line

Intercept Transect (LIT) kemudian ditandai dan dicatat. Pemasangan pelampung

(botol aquades) dilakukan dengan cara diikatkan pada setiap lifeform terumbu

karang yang ditemukan, digunakan untuk membantu dalam proses penentuan

tanda pada saat proses perekaman akustik. Pengambilan sampel lifeform terumbu

karang sebagai groundtruth data, dilakukan dengan cara pemotretan masing–

masing lifeform terumbu karang yang ditemukan pada Line Intercept Transect

(LIT) tersebut.

3.3.2 Metode Pengukuran Akustik Lifeform Terumbu Karang.

Sebelum proses sounding akustik dilakukan, terlebih dahulu dilakukan

proses settingan untuk transduser echosounder (Tabel 3). Kemudian dilanjutkan

dengan proses sounding untuk pengumpulan data akustik dilakukan pada setiap

lifeform terumbu karang yang telah ditandai dengan pelampung (botol aquades).

Posisi kapal pada saat proses sounding dalam keadaan mati mesin, artinya kapal

berada pada kecepatan nol untuk mendapatkan data akustik tiap jenis lifeform

terumbu karang. Arah perekaman akustik mengikuti arah angin sehingga tidak

terlalu banyak mendayung, cukup dengan mengulur tali pada jangkar. Data yang

diperoleh dari proses sounding disimpan dalam format file berbentuk (Extension

raw dan Bot) di hard disc kemudian dicatat posisi pengambilannya.

Tranduser yang digunakan pada penelitian ini adalah EY 60 yang

merupakan jenis bim terbagi (split beam). Pada saat proses sounding posisi

orientasi transduser adalah downward looking (grazing angle ≈ 90 derajat)

atau pemancaran secara vertikal dengan frekuensi 120kHz dan lebar beam

(41)

25

permukaaan air laut, sedangkan kategori lifeform karang yang yang terukur oleh

transduser berada pada kedalaman 2 sampai 2,5 meter. SIMRAD EY 60

merupakan jenis transduser split beam dengan spesifikasi dari SIMRAD EY 60

[image:41.595.112.489.172.435.2]

scientific echo sounder system dapat dilihat pada Tabel. 3

Tabel 3 Setting alat SIMRAD EY 60 Scientific Echosounder Sistem

Parameter Nilai

Tipe Transduser ES120-7c

Frekuensi (f ) 120 kHz

Kecepatan suara (c) 1545 m/s Interval sampel 0.012 m Koefisien absorbsi (α ) 39.11dB /Km

Gain (G) 25.50 dB

Equivalent beam angle (ψ ) 210

Daya pancar (P) 50 W

Lama pulsa (Pulse Duration) 0.64 m/s Kedalaman transduser 0.5 m Lebar surat, sirkular (θ) 7 deg ± 1

Directivity D 650± 20 %

DI = 10 log D 28± 1 dB

Threshold -60dB

3.4 Pemrosesan dan Analisis Data

Setelah survey selesai dilakukan, dilanjutkan dengan kegiatan pemrosesan

data. Data echo yang dihasilkan diproses dengan sistim pengolah lanjut (past

processing) dengan perangkat lunak SIMRAD EP 500 echo processing system

versi 5,0. Perangkat lunak ini menghasilkan echogram dan parameter fisik dugaan

(depth, volume backscattering) dengan format file berbentuk (extension raw dan

bot). Proses pengolahan akustik menghasilkan data keberadaan terumbu karang

berdasarkan tahapan :

3.4.1 Ekstrak data Read Kraw (Rick Towler – NASA Alaska, 2008 )

Proses pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat lunak Matlab

v.7.6.0.(R2008a). Perangkat ini juga digunakan mengekstraksi nilai mentah dari

data akustik yang masih dalam format file berbentuk (extension raw dan bot) .

Untuk melakukan ekstraksi data akustik menggunakan Matlab dan diperlukan

(42)

26

dimodifikasi (Purnawan. 2009) sehingga mampu menampilkan output yang

diinginkan. Selain Matlab, perangkat lunak Echoview v.4 juga digunakan sebagai

pembanding dan membantu mendapatkan echogram yang lebih detail dari masing

– masing lifeform terumbu karang

1. Akustik Volume Backscattering Strength (SV)

Untuk pengolahan volume backscattering Strength (SV) didapat dengan

mengintegrasi data akustik yang sudah diekstrak. Pengolahan dilakukan pada nilai

peak intensity atau nilai maksimum SV Raw. Nilai ini dianggap sebagai nilai

volume backscattering strength (SV) yang dihasilkan oleh permukaan lifeform

terumbu karang dengan menggunakan persamaan

SV = 10 log Sv...(2)

Selain volume backscattering strength (SV), penelitian ini juga

menggunakan variabel surface backscatttering strength (SS) sebagai parameter

akustik dasar perairan yang digunakan untuk menghubungkan bottom volume

backscatttering coeficient (Svb) dan Surface backscatttering coeficient (ss)

(Manik et al. 2006). Nilai Ss diperoleh dengan menggunakan persamaaan :

(

/2

)

ψ

ss =

Svb

Φ

...(3)

Pada peak bottom echo, nilai integrasiΨΦ sehingga persamaan (3)

menjadi :

(

)

Svb

=

ss /2 ...(4)

SS [dB] =10 log ss...(5)

dimana ,

Φ = instantaneous equivalent beam angle for surface scattering Ψ = equivalent beam angle of the volume scattering

C = kecepatan suara

(43)

27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Lapangan

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dengan melakukan penyelaman

dilokasi penelitian, diperoleh delapan jenis lifeform terumbu karang yaitu:

massive, branching, foliose, acropora tabular, acropora branching, mushroom,

Sponge dan acropora Digitale (Lampiran 2). Lokasi penelitian berada pada lintang 05085’922’’ - 05085’927’’ dan bujur 106062’41’’- 106062’42’’ yang dapat dilihat pada Tabel 4. Secara umum kondisi dasar perairan adalah heterogen dan

kontur yang agak curam dengan kedalaman sounding akustik lifeform terumbu

karang pada kedalaman 2 dan 2,5 meter berdasarkan data echosounder.

Tabel 4 Hasil pengamatan visual dilapangan

4.2 Data Akustik.

Echogram merupakan penampang melintang dari hasil rekaman akustik,

sumbu x adalah jumlah ping dan sumbu y adalah range/kedalaman (m). Echogram

ini digunakan sebagai fungsi quality control dan analisa data. Skala Gray

menunjukkan bahwa nilai raw SV antara -10 sampai -120 dB, dimana backcatter

strength dan gambaran tekstur dari sidescan dan multibeam sonar dapat

memberikan informasi tentang tipe dasar laut (De moustier and Matsumoto 1993;

Huvenne et al. 2002; Collier and Brown 2005). Informasi dari sistim ini cocok

untuk analisis intensitas backscatter (Hamilton 2001) Perbedaan relatif pada Titik

Posisi

Kategori lifeform Kode Kedalaman

LS BT

1 05

0

85’922’’ 106062’41’’

Foliose (CF) 2,5 meter

2 05

0

85’922’’ 106062’41’’

Masive (CM) 2 meter

3 05

0

85’923’’ 106062’41’

Branching (CB) 2,5 meter

4 05

0

85’923’ 106062’41’’

Acropora Tabular (ACT) 2 meter

5 05

0

85’923’’ 106062’41’’

Sponge (SP) 2,5 meter

6 05

0

85’923’’ 106062’41’’

Acropora Digitale (ACD) 2,5 meter

7 05

0

85’927’’ 106062’41’’

Mushroom (CMR) 2,5 meter

(44)

28

pengembalian backscatter digabungkan untuk perbedaan relatif pada tipe dasar

Pengembalian yang tinggi secara akustik menunjukkan pemantulan dari sebuah

tipe dasar yang keras, sementara pengembalian yang lemah menunjukkan

pembelokan akustik yang kembali dan dihubungkan untuk tipe dasar yang halus

atau rusak (Nasby-Lucas et al 2002; Roff et al 2003).

Echogram

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

4,5

5

5,5

6

6,5

7

[image:44.595.116.500.210.547.2]

-120 -80 -60 -40 -20 0

Gambar 8 Contoh Echogram kategori lifeform terumbu karang.

4.3 Komputasi Echo Lifeform Terumbu Karang

Hasil ekstrak data menggunakan program readEYRaw Matlab 7.6.0

menghasilkan tampilan echogram yang merupakan hasil penjabaran dari setiap

ping dari nilai volume backscattering strength (SV), dengan unit decibel (dB).

Tampak terlihat garis merah tebal disekitar 2 sampai 2,5 meter, garis tersebut

merupakan nilai volume backscattering strength (SV) yang cukup tinggi sekitar

antara -10dB sampai -20 dB yang berasal dari permukaan lifeform terumbu

karang. Hal ini menunjukkan tekstur dari tiap lifeform terumbu karang tersusun Kolom

Perairan

Dasar lifeform karang /First Echo,E1

(45)

29

Lifeform Coral Acropora Tabular

4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 Sv (dB) -120 -80 -60 -40 -20 0

dari karang atau pecahan karang yang memiliki ukuran partikel permukaan yang

besar atau cukup keras yang mampu mengembalikan sinyal akustik dengan nilai

volume bacscatttering strength (SV) yang tinggi. (Mitchell & Hughes C. 1994;

Mc Mullen et al. 2007). Keseluruhan tipical echogram lifeform terumbu karang

ditampilkan pada Gambar .9.

Lifefom Coral Foliose

35 40 45 50 55 60 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 SV (dB) -120 -80 -60 -40 -20 0

Lifeform Coral Masive

35 40 45 50 55 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 Sv (dB) -120 -80 -60 -40 -20 0

Lifeform Coral Branching

15 20 25 30 35 40 45 50 55 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 Sv (dB) -120 -80 -60 -40 -20 0

Lifeform Coral Acropora Digitale (ACD)

5 10 15 20 25 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 Sv(dB) -120 -80 -60 -40 -20 0

Lifefom Coral Mushroom

60 65 70 75 80 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 Sv(dB) -120 -80 -60 -40 -20 0

Lifeform Coral Acropora Branching

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 Sv(dB) -120 -80 -60 -40 -20 0

Lifefom Sponge (SP)

[image:45.595.104.473.154.760.2]

5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6.5 7 -120 -80 -60 -40 -20 0

(46)

30

4.4 Pola Puncak Echo Lifeform Terumbu Karang.

Informasi mengenai tipe dasar, sedimen dan vegetasi dasar perairan dapat

dilakukan dengan sinyal echo. Sinyal echo dapat disimpan dan diperoleh secara

bersamaan dengan data GPS dan dapat dapat diproyeksikan pada suatu data

digital. Berdasarkan echo akustik yang terekam oleh echosounder maka terlihat

adanya pola perambatan suara akustik (echo) yang menggambarkan adanya

pantulan yang berasal first echo maupun dari second echo dari tiap lifeform

terumbu karang seperti terlihat pada Gambar 10. Pola puncak echo

memperlihatkan pola puncak yang diindikasi sebagai kategori lifeform terumbu

karang dengan nilai volume backscattering strength (SV) dasar yang bervariasi.

Puncak echo pertama (first echo) dari volume backscattering strength maksimum

terlihat pada kedalaman sekitar 2,5 sampai 3 meter, sedangkan echo kedua

(47)

31

-1208 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1

SV Dasar (dB)

Lifeform Coral Foliose

Stdv SV

-1208 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5

SV Dasar (dB)

Lifeform Coral Masive

Stdv SV

-1208 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5

SV Dasar (dB)

Lifefom Coral Branching

Stdv SV

-1208 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1

0.5 Lifefom Coral Tabular

Stdv SV

-1208 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5

Lifeform Coral Aropora Digitale

Stdv SV

-120 -100 -80 -60 -40 -20 0 -88 7.57 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0,5

LIfeform Coral Mushroom

Stdv SV

-110 -100 -90 -80 -70 -60 -50 -40 -30 -20 -10 7 6.5 8 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1

0.5 Lifefom Coral Acropor Branching

Stdv SV

-120 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 8 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1

0.5 Lifeform Coral Songe

[image:47.595.104.493.85.738.2]

SS SV

Gambar 10 Nilai rata–rata SV dasar (dB) lifeform terumbu karang dan sponge.

4.5 Puncak Echo (Peak) Surface Backscattering Strength (SS) Lifeform Terumbu Karang.

Untuk mengurangi data yang tidak diinginkan dalam proses pengolahan

surface scattering strength (SS) maka dilakukan pemilihan data (filtering).

(48)

32

yaitu pada threshold >10 dan <60 dB. Pembatasan ini dimaksudkan untuk

mendapatkan karakteristik pola echo yang nantinya ditampilkan pada setiap

lifeform terumbu karang yang didapat dari raw data echosounder. Uraian program

menggunakan Matlab pada lampiran 3.

Nilai surface backscattering strength (SS) diperoleh dari puncak nilai Raw

volume backsacttering strength (SV) echo permukaan. Hasil pengolahan surface

backscattering strength (SS) dengan menggunakan Matlab terlihat bahwa nilai

maksimum dan minimum surface backscattering strength (SS) bervariasi untuk

kedelapan lifeform terumbu karang, dimana nilai mean surface backscattering

strength (SS) untuk kedelapan lifeform terumbu karang berkisar antara -27,5dB

sampai -32,5dB (Tabel 5). Hal ini diduga bahwa nilai surface backscattering

strength (SS) dipengaruhi oleh impedansi akustik dan kekasaran (roughness)

permukaan lapisan lifeform terumbu karang.

Tabel 5 Nilai surface backscattering strength (dB) lifeform terumbu karang dan sponge

Terlihat juga bahwa nilai surface backscattering strength (SS) dari

lifeform cukup besar untuk kategori lifeform karang yang ditemukan, ini

menandakan bahwa tekstur dari lifeform terumbu karang terdiri dari karang

maupun pecahan karang. Hal ini sesuai dengan hasil Siwabessy (2001) yang

menjelaskan bahwa nilai backscattering dari dasar yang keras akan lebih besar

dibandingkan nilai backsacttering dari dasar perairan yang lunak. Titik Kategori Lifeform Maximum SS

(dB)

Minimum SS (dB)

Mean SS (dB)

1 Foliose -25,0 -35,0 -30,0

2 Masive -20,0 -40,0 -30,0

3 Branching -20,0 -40,0 -30,0

4 Acropora Tabular -25,0 -55,0 -27,5 5 Acropora Digitale -25,0 -40,0 -32,5

6 Mushroom -20,0 -40,0 -30,0

7 Acropora Branching -25,0 -40,0 -32,5

(49)

33

4.6 Pengelompokan Kekasaran/E1 dan Kekerasan /E2

Klasifikasi sistim akustik dasar menggunakan lebar beam echosounder

untuk mendapatkan informasi dasar laut akustik seperti kekerasan/E1 (Hardness)

dan kekasaran/E2 (Roughnes). Hasil analisa kekasaran/E1 dan kekerasan/E2

memperlihatkan karakteristik kekasaran/E1 dan kekerasan/E2 terhadap volume

backscattering strength dari lifeform terumbu karang. Hasil pengolahan data

lifeform terumbu karang dengan menggunakan Matlab 7.6.0 (R2008a) terlihat

memiliki nilai yang berbeda (Tabel 6). Hasil yang diperoleh terlihat nilai E2

maximum lebih kecil dibandingkan dengan nilai maximum E1, Hal ini disebabkan

sinyal pada pantulan kedua telah mengalami pengurangan atau proses loss

attenuation karena telah dihamburkan (scattered) mengenai dasar sebagai

pantulan pertama dan kemudian dihamburkan kembali ke permukaan perairan,

sehingga sinyal yang kembali telah mengalami pengurangan. Dasar perairan laut

memiliki karakteristik memantulkan dan menghamburkan kembali gelombang

suara seperti halnya permukaan perairan laut. Efek yang dihasilkan lebih

kompleks karena sifat dasar laut yang tersusun atas beragam unsur mulai dari

bebatuan yang keras hingga lempung yang halus serta lapisan – lapisan yang

[image:49.595.113.509.489.711.2]

memiliki komposisi yang berbeda – beda (Urick, 1983).

Tabel 6 Nilai E1 dan E2 lifeform terumbu karang dan sponge

Titik E2 (dB) Std (±) E1(dB) Std (±) Lifeform

1 -43,25 1,52 -20,88 3,01 Foliose (CF)

2 -37,57 2,01 -34,99 1,91 Masive (CM)

3 -37,42 2,15 -17,89 3,28 Branching (CB)

4 -25,16 3,05 -22,19 3,22 Acropora Tabular (ACT)

5 -30,01 -3,21 -26,25 2,47 Acropora Digitale (ACD)

6 -22,81 3,31 -22,00 3,01 Mushroom (CMR)

7 -42,77 1,45 -17,75 3,05 Acropora Branching (ATB)

8 -33,41 3,41 -31,68 2,06 Sponge (SP)

9 -50,2 5,61 -49,6 5,95 Dasar Pasir & tidak terdapat

karang*

(50)

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian.
Tabel 1  Klasifikasi komunitas terumbu karang (Veron 2002)
Gambar 2 a  Beberapa Tipe Pertumbuhan Karang Batu (Stony Coral).
Gambar 2b  Beberapa Tipe Pertumbuhan Karang Batu (Stony Coral).
+7

Referensi

Dokumen terkait