• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komparasi Efisiensi Dan Pendapatan Usahatani Kedelai Pada Lahan Sawah Tadah Hujan Dan Lahan Kering Di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komparasi Efisiensi Dan Pendapatan Usahatani Kedelai Pada Lahan Sawah Tadah Hujan Dan Lahan Kering Di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPARASI EFISIENSI DAN PENDAPATAN USAHATANI KEDELAI

PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DAN LAHAN KERING

DI KABUPATEN PIDIE JAYA, ACEH

MUHAMMAD ISMAIL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul “Komparasi Efisiensi dan Pendapatan Usahatani Kedelai pada Lahan Sawah Tadah Hujan dan Lahan Kering di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD ISMAIL. Komparasi Efisiensi dan Pendapatan Usahatani Kedelai pada Lahan Sawah Tadah Hujan dan Lahan Kering di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan AMZUL RIFIN.

Produktivitas kedelai nasional masih sebesar 1.45 ton per hektar, sedangkan potensi hasil yang dicapai 2.0-3.0 ton per hektar. Penanaman kedelai telah umum dilakukan oleh petani namun pengelolaan usahatani yang tepat akan mampu meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani. Hipotesis awal adalah produksi dan produktivitas usahatani kedelai di lahan sawah tadah hujan lebih tinggi dibandingkan produksi dan produktivitas usahatani kedelai di lahan kering. Faktor-faktor produksi pada usahatani kedelai yang diduga berpengaruh terhadap produktivitas kedelai adalah lahan, benih, pupuk padat, pupuk cair, pestisida padat, pestisida cair, dan tenaga kerja yang berasal dari luar dan dalam keluarga petani.

Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani kedelai pada lahan sawah tadah hujan dan lahan kering; menganalisis pendapatan usahatani kedelai pada lahan sawah tadah hujan dan lahan kering; dan menganalisis dampak lahan sawah tadah hujan dan lahan kering terhadap efisiensi teknis dan pendapatan usahatani kedelai di Kabupaten Pidie Jaya. Penelitian ini menggunakan data cross section input dan output usahatani kedelai periode September-Desember 2014 melalui wawancara mendalam secara langsung pada 100 petani responden.

Analisis efisiensi yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan stochastic frontier dan metode estimasi Maximum Likelihood Estimate (MLE). Dilakukan juga analisis usahatani untuk menghitung pendapatan usahataninya. Hasil analisis menunjukkan bahwa efisiensi teknis usahatani kedelai pada lahan sawah tadah hujan lebih tinggi dibandingkan dengan efisiensi teknis usahatani kedelai di lahan kering, namun setelah dilakukan uji beda dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan efisiensi teknis dari kedua tipe lahan. Sementara itu, faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani kedelai yang merupakan sumber inefisiensi teknis usahatani yaitu umur, pendidikan formal petani, pengalaman berusahatani kedelai, jumlah tanggungan keluarga, dummy keikutsertaan mengikuti penyuluhan, dan dummy tipe lahan.

(5)

SUMMARY

MUHAMMAD ISMAIL. Efficiency and income comparation of soybean farming at rainfed and dry land in Pidie Jaya district, Aceh. Supervised by ANNA FARIYANTI and AMZUL RIFIN.

National soybean productivity is about 1.45 ton/ha, while the potential of product which is accomplished is about 2.0–3.0 ton/ha. Soybean cultivation has been generally done by farmers but the right farming management will increase the farming production and income. The initial hypothesis is production and productivity of soybean farming in rainfed land is higher than the production and productivity of soybean farming in dry land. In soybean farming production factors which are expected to affect to soybean productivity are land, seed, solid fertilizer, liquid fertilizer, solid pesticide, liquid pesticide and the labors that come from outside or inside of farmer family.

The aims of this research were to analyze the factors that influence technical efficiency of soybean farming in rainfed and dry land; to analyze the revenue of soybean farming in rainfed and dry land; and to analyze the impact of rainfed and dry land toward the technical efficiency and the revenue of farming in Pidie Jaya district. This research used cross section input and output data of soybean farming in September to December 2014 period by doing direct deep interview to 100 farmers as respodents.

Efficiency analysis in this research used pattern stochastic frontier approach and Maximum Likelihood Estimate (MLE) estimation method. Moreover, the farming analysis to count the farming’s revenue was done. The result showed that the technical efficiency of soybean farming in rainfed land is higher than the technical efficiency of soybean farming in dry land, but after the test of difference was done, it can be stated that there is no difference in technical efficiency between those two land types. Meanwhile, factors that influence the technical efficiency of soybean farming as the source of farming technical inefficiency are age, farmer’s formal education, experience of doing soybean farming, the number of dependents, participation in attending extention dummy, and land type dummy.

The result showed that the variables which have a significant affect to explain the sources of soybean farming technical inefficiency are farmer’s age and the experience in doing soybean farming by 15 percent each. The t-independent test result showed that there is no difference of technical efficiency level and the income of soybean farming between both of those two land type. Nevertheless, soybean farming in rainfed land is relatively more efficient in technical efficiency but the income of farming in dry land is higher. It is recommended that farmers apply the recommendation technology which was taught appropriately to obtain maximal productivity.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

KOMPARASI EFISIENSI DAN PENDAPATAN USAHATANI KEDELAI

PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DAN LAHAN KERING

DI KABUPATEN PIDIE JAYA, ACEH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis sembahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah efisiensi, dengan judul Komparasi Efisiensi dan Pendapatan Usahatani Kedelai pada Lahan Sawah Tadah Hujan dan Lahan Kering di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Amzul Rifin, SP MA selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.

2. Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik.

3. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Dosen Penguji pada pelaksanaan Ujian Tesis sekaligus Ketua Program Studi Agribisnis dan Dr Ir Suharno, MAdev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat, bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan pada Program Studi Agribisnis.

4. Ir Basri Abu Bakar, MSi selaku Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh, dan Ir T Iskandar, MSi selaku mantan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar pada Program Studi Agribisnis Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

5. Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

6. Teman-teman seperjuangan pada Program Studi Agribisnis Angkatan III, Sekolah Pascasarjana IPB atas diskusi, masukan dan keceriaan selama mengikuti pendidikan.

7. Teman-teman anggota Himpunan Mahasiswa Wirausaha Pascasarjana (HIMAWIPA) IPB yang banyak memberikan bantuan moril dan kebahagiaan selama menuntut ilmu di kampus IPB.

8. Secara khusus dengan penuh rasa cinta dan hormat, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Ayahanda Muhammad Djamil, BA (alm) dan Ibunda Dra H Nurdiah Manurung serta Bapak mertua Abdul Wahab (alm) dan Ibu mertua Warsinem (alm) yang selalu mendoakan untuk keberhasilan penulis.

(12)

10. Pihak-pihak lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, namun telah banyak turut memberikan sumbangan saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB.

Akhir kata, tesis ini penulis persembahkan kepada pembaca sebagai pengetahuan dan sumber informasi yang diharapkan berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL i

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN iii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

TINJAUAN PUSTAKA 7

Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis 7

Usahatani kedelai 10

Lahan dan Tipe Lahan 11

KERANGKA PEMIKIRAN 13

Kerangka Pemikiran Teoritis 13

Teori Produksi 13

Konsep Efisiensi Teknis 14

Konsep Efisiensi Berorientasi Input 16

Kerangka Operasional 17

METODE PENELITIAN 19

Lokasi dan Waktu Penelitian 19

Jenis dan Sumber Data 19

Metode Penentuan Sampel 19

Analisis dan Pengolahan Data 20

Analisis Fungsi Produksi Stochastic frontier 20

Analisis Efisiensi Teknis dan Efek Inefisiensi Teknis 22

Uji Hipotesis 24

Koefisien Determinasi 26

Uji beda 27

Analisis Pendapatan Usahatani Kedelai 28

GAMBARAN UMUM PENELITIAN 29

Keadaan Geografi dan Topografi Kabupaten Pidie Jaya 29

Karakteristik Responden 31

Keragaan Usahatani Kedelai 35

HASIL DAN PEMBAHASAN 45

Analisis Fungsi Produksi dan Efisiensi Teknis Usahatani Kedelai 45

(14)

Dampak Tipe Lahan terhadap Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani

Kedelai 61

KESIMPULAN DAN SARAN 65

Simpulan 65

Saran 65

DAFTAR PUSTAKA 66

RIWAYAT HIDUP 83

LAMPIRAN 73

RIWAYAT HIDUP 85

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan luas areal panen, produktivitas, dan produksi kedelai

Indonesia tahun 2009-2015 1

2 Luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai Provinsi Aceh tahun

2010-2015 3

3 Jumlah penduduk berdasarkan usia di Kabupaten Pidie Jaya tahun 2014 29 4 Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian pokok. 30 5 Sebaran jumlah responden petani kedelai di Kabupaten Pidie Jaya 33 6 Sebaran jumlah responden petani kedelai menurut status kepemilikan

lahan 33

7 Deskripsi statistik output dan input faktor produksi usahatani kedelai SLPTT dan non SLPTT per hektar di Kabupaten Pidie Jaya pada 2014 37 8 Hasil estimasi parameter fungsi produksi stochastic frontier pada

usahatani kedelai dengan metode OLS di Kabupaten Pidie Jaya 46 9 Hasil estimasi parameter fungsi produksi stochastic frontier pada

usahatani kedelai dengan metode MLE di Kabupaten Pidie Jaya 47 10 Efisiensi teknis pada usahatani kedelai di Pidie Jaya pada MT II

(September-Desember 2014) 50

11 Hasil estimasi parameter sumber-sumber inefisiensi teknis usahatani

kedelai di Kabupaten Pidie Jaya 51

12 Rata-rata pendapatan usahatani dan RC rasio usahatani kedelai per hektar musim tanam pada lahan sawah tadah hujan 57 13 Rata-rata pendapatan usahatani dan RC rasio usahatani kedelai per

hektar musim tanam pada lahan kering 59

14 Perhitungan biaya dan pendapatan usahatani kedelai dari kedua tipe

lahan (secara gabungan) 63

DAFTAR GAMBAR

1 Efisiensi teknis dan alokatif pada orientasi input 16

(15)

3 Sebaran petani responden berdasarkan kelompok umur (2014) 31 4 Sebaran petani responden berdasarkan tingkat pendidikan formal

(2014) 32

5 Sebaran petani responden berdasarkan pengalaman berusahatani

kedelai (2014) 32

6 Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan (2014) 34 7 Sebaran petani responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga

(2014) 34

8 Sebaran petani responden berdasarkan keikutsertaan mengikuti

penyuluhan (2014) 35

9 Pola tanam pada lahan sawah tadah hujan di Desa Balee Musa

Kabupaten Pidie Jaya (2014) 36

9 Petani di daerah penelitian melakukan penanaman kedelai di lahan

kering 41

10 Waduk penampungan air saat musim hujan di Desa Balee Musa 42

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji heterokedastik untuk model fungsi produksi usahatani kedelai di Kabupaten Pidie Jaya dengan uji Gletjser ... 73 2 Rata-rata biaya input usahatani kedelai per hektar per musim tanam... 74 3 Rata-rata biaya penggunaan tenaga kerja petani sampel kegiatan

usahatani kedelai per hektar di Kabupaten Pidie Jaya pada Musim Tanam II (September-Desember 2014)... 74 4 Uji T independent tingkat efisiensi teknis usahatani kedelai pada lahan

sawah tadah hujan dan lahan kering di kabupaten Pidie Jaya Musim Tanam II (September-Desember 2014)... 75 5 Uji T independent pendapatan atas biaya total usahatani kedelai pada

lahan sawah tadah hujan dan lahan kering di kabupaten Pidie Jaya Musim Tanam II (September-Desember 2014) ... 76 6 Hasil pendugaan fungsi produksi Cob-Douglas metode OLS dengan

menggunakan program SAS 9.0 usahatani kedelai pada lahan sawah tadah hujan dan lahan kering di kabupaten Pidie Jaya Musim Tanam II (September-Desember 2014) ... 77 7 Hasil uji normalitas fungsi produksi Cob-Douglas metode OLS dengan

menggunakan program SAS 9.0 usahatani kedelai pada lahan sawah tadah hujan dan lahan kering di kabupaten Pidie Jaya Musim Tanam II (September-Desember 2014) ... 78 8 Hasil pendugaan fungsi rata-rata (OLS) dan fungsi produksi stochastic

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai dengan nama latin Glycine max (kedelai kuning); Glycine soja (kedelai hitam) merupakan salah satu komoditas pangan strategis setelah padi dan jagung yang berperan sebagai bahan baku utama berbagai produk pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia secara luas. Kedelai sebagai komoditas strategis terlihat dari beberapa manfaat seperti memiliki protein yang tinggi serta olahan biji kedelai juga digunakan pada produk makanan dan non makanan serta sebagai bahan baku pakan ternak. Kedelai berperan sebagai sumber nabati yang penting dalam rangka peningkatan gizi masyarakat karena selain aman bagi kesehatan juga relatif murah dibandingkan sumber protein hewani (Swastika et al. 2007). Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia biji kedelai yang kaya protein dan lemak serta beberapa bahan gizi penting lainnya, seperti vitamin (asam fitat) dan lesitin, dimanfaatkan sebagai sumber protein nabati utama. Biasanya diolah dalam berbagai bentuk produk seperti tahu (tofu), bermacam-macam saus penyedap (salah satunya kecap, yang aslinya dibuat dari kedelai hitam), tempe, susu kedelai (baik bagi orang yang sensitif laktosa), tepung kedelai, minyak (dari sini dapat dibuat sabun, plastik, kosmetik, resin, tinta, krayon, pelarut, dan biodiesel), serta taosi atau tauco. Selain digunakan sebagai sumber protein bagi manusia, bahan pangan ini juga merupakan sumber protein bagi hewan. Bahan baku pakan ternak menggunakan kedelai dan sekitar 90 persen makanan ternak berasal dari kedelai (Tomich 1992).

Demikian banyaknya produk pangan maupun non pangan yang tergantung pada bahan baku kedelai, namun Indonesia hingga saat ini masih dihadapkan pada permasalahan rendahnya produktivitas kedelai nasional, produksi lokal tidak mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri. Produksi kedelai nasional terus mengalami penurunan, data Badan Pusat Statistik (2016) pada Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi kedelai mengalami penurunan selama tiga tahun terakhir. Penurunan produksi ini seiring dengan penurunan luas panen hingga tahun 2013, namun untuk tahun 2015 BPS telah mencatatkan perolehan produksi Angka Ramalan II sebesar 982 967 ton dari luas panen 624 848 hektar.

Tabel 1 Perkembangan luas areal panen, produktivitas, dan produksi kedelai Indonesia tahun 2009-2015

Tahun Luas Panen (hektar) Produktivitas (ton/hektar) Produksi (ton)

2009 722 791 1.35 974 512

2010 660 823 1.37 907 031

2011 622 254 1.37 851 286

2012 567 624 1.49 843 153

2013 550 793 1.42 779 992

2014 615685 1.55 954 997

2015* 624 848 1.57 982 967

Rataan 623 545 1.45 899 134

(18)

2

Sampai saat ini produktivitas kedelai di tingkat petani masih rendah, rata-rata hanya 1.45 ton/hektar sedangkan potensi hasilnya bisa mencapai 2.0-3.0 ton/hektar. Penelitian yang dilakukan pemerintah pada uji lapang membuktikan produksi kedelai Indonesia sebenarnya mampu mencapai 2.0-2.5 ton/hektar (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat 2008). Rendahnya produktivitas ini disebabkan permasalahan yang terjadi pada sistem agribisnis secara keseluruhan. Pada subsistem onfarm belum luasnya penggunaan benih bermutu di tingkat petani, tipe lahan yang bermasalah dalam hal penyediaan air, waktu tanam yang tidak tepat, serta belum lengkapnya teknologi yang diterapkan. Terpenuhinya faktor-faktor atau input-input yang mempengaruhi produktivitas tersebut justru menjadi peluang upaya peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas di tingkat petani. Peningkatan produksi dan produktivitas kedelai salah satunya melalui peningkatan luas penanaman, namun harus diiringi dengan penggunaan varietas unggul, pupuk serta adopsi teknik budidaya lainnya.

Ketersediaan kedelai di pasar akan sangat berdampak pada kestabilan nasional. Hal ini disebabkan karena ketidaktersediaannya di pasar dengan harga murah akan menimbulkan kerawanan pangan di Indonesia. Ketersediaan kedelai sepanjang tahun dengan harga yang stabil terus menjadi perhatian pemerintah. Hal ini dilakukan pemerintah untuk meminimalkan gejolak multiplier effect di masyarakat. Sebagai komoditas pangan yang strategis, mungkin terlalu berisiko bila diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Laju permintaan kedelai yang terus meningkat dan tidak diimbangi oleh peningkatan produksi kedelai dalam negeri, akibatnya kesenjangan antara konsumsi dan produksi kedelai domestic harus dipenuhi melalui impor. Dengan alasan tersebut pemerintah terus berupaya menyediakan kedelai di pasar melalui impor. Volume impor kedelai Indonesia (ton) dari tahun 2007 hingga 2011 berdasarkan data Food Association Organization (2014), berurut sebagai berikut: 1 411 589, 1 173 097, 1 314 620, 1 740 505, dan 2 088 616 dengan rata-rata sebesar 1 545 685 ton setiap tahunnya.

Bagi negara berkembang swasembada pangan merupakan kunci utama untuk memperkokoh ketahanan pangan nasionalnya. Sumarno et al. (1989), Rasahan (1999) dan Baharsjah (2004) menyebutkan ketergantungan pada impor pangan dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi, dan politik nasional. Kemampuan memenuhi konsumsi pangan dalam negeri juga ditentukan oleh kinerja pasar internasional yang berada di luar jangkauan kendali pemerintah, oleh karena itu penting sekali upaya peningkatan produktivitas komoditas strategis bagi suatu negara. Adapun ketahanan pangan yang ingin dicapai pemerintah harus didahului dengan tercapainya swasembada pangan itu sendiri. Oleh sebab itu peningkatan produksi pangan terus diupayakan oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun 2013-2017 memuat empat kebijakan utama pembangunan pertaniannya, yaitu: 1) swasembada yang berkelanjutan, 2) peningkatan diversifikasi pangan, 3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor hasil pertanian, 4) peningkatan kesejahteraan petani. Adapun target produksi tanaman pangan utama tahun 2014 untuk padi sebesar 76.56 juta ton, jagung sebesar 20.82 juta ton, dan kedelai sebesar 2.7 juta ton.

(19)

3 dengan lima cara yaitu: 1) peningkatan produktivitas, 2) perluasan areal tanam, 3) peningkatan stabilitas hasil, 4) mengurangi senjang hasil, dan 5) mengurangi kehilangan hasil. Pemerintah telah menetapkan target swasembada kedelai dengan harapan bisa memenuhi kebutuhan nasional. Kebijakan dan target-target tahunan produksi kedelai agar tercapai swasembada kedelai tahun 2014 sudah disusun, yaitu meliputi: (1) peningkatan produktivitas, (2) peningkatan luas areal panen, (3) pengamanan produksi, dan (4) pengembangan kelembagaan dan pembiayaan. Keempat kebijakan tersebut juga merupakan fokus pencapaian dalam perspektif subsistem agribisnis.

Suyamto dan Widiarta (2013) menyebutkan secara nasional peningkatan produktivitas usahatani ditargetkan meningkat secara bertahap hingga mencapai 1.55 ton/hektar, luas areal panen meningkat hingga 1 742 juta hektar sehingga produksi mencapai 2.7 juta ton pada tahun 2014. Adapun daerah-daerah yang dijadikan wilayah pengembangan kedelai yakni Provinsi Aceh, Bengkulu, Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Saat ini terdapat enam Provinsi yang berkontribusi besar dalam penyediaan kedelai. Provinsi Jawa Timur menempati urutan pertama dengan total produksi sebesar (329 461 ton), selanjutnya Jawa Tengah (99 318 ton), Nusa Tenggara Barat (91 065 ton), Jawa Barat (51 172 ton), Sulawesi Selatan (45 693 ton) dan Aceh (45 018 ton) (BPS, 2014).

Provinsi Aceh menjadi salah satu provinsi yang diharapkan mampu mengembangkan kedelai baik secara kuantitas maupun kualitas. Dimana dengan rata-rata luas panen 36104 ha dan produktivitas 1.45 ton/hektar serta total produksi 52 365 ton (BPS 2016) ini menjadi potensi yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah sehingga mampu menjadi provinsi penyangga kebutuhan kedelai nasional. Berdasarkan data BPS, luas areal panen dan total produksi kedelai Provinsi Aceh maupun nasional sejak tahun 2010 hingga 2015 mengalami fluktuasi, demikian pula dengan produktivitasnya. Adanya peningkatan produktivitas ini diduga diperoleh dari penerapan teknologi onfarm yang lebih baik oleh petani dan perluasan areal panen. Lebih lengkap luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai Provinsi Aceh terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai Provinsi Aceh tahun

2010-2015

Tahun Luas Panen (hektar) Produktivitas

(ton/hektar) Produksi (ton)

2010 37 469 1.42 53 347

2011 35 370 1.41 50 006

2012 35 599 1.45 51 439

2013 30 579 1.47 45 027

2014 42 784 1.48 63 352

2015* 34 826 1.47 51 024

Rata-rata 36 104 1.45 52 365

(20)

4

Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pertanian1 telah menetapkan Provinsi Aceh sebagai salah satu sentra produksi kedelai nasional seluas 60 000 hektar dengan target produksi sebesar 123 400 ton. Hal ini sejalan dengan temuan Puslitbangtan (2010), yang menyatakan Provinsi Aceh memiliki nilai Location Quotient (LQ) sedang. Artinya lahan pertanian Provinsi Aceh memiliki kemampuan medium/sedang terhadap sumbangan perekonomian provinsi dan nasional, dimana Kabupaten Aceh Besar, Pidie Jaya, Aceh Utara, Aceh Barat, Aceh Selatan memiliki luas 181 390 hektar untuk pengembangan komoditas kedelai.

Berdasarkan kesesuaian lahan dan potensinya untuk penanaman kedelai di Provinsi Aceh, Mulyani et al. (2009) menyebutkan terdapat 6 500 hektar berpotensi tinggi, 175 824 hektar potensi sedang, dan 163 586 hektar berpotensi rendah dengan total luas lahan sebesar 345 910 hektar. Lebih rinci Mulyani et al. (2009) menjelaskan lahan yang sesuai untuk kedelai berdasarkan penggunaan lahannya sebagai berikut: 141 655 hektar pada lahan sawah, 2 567 pada tegalan, 37 790 hektar pada lahan perkebunan, 58 157 hektar pada kebun campuran, 105 741 hektar pada lahan alang-alang atau semak belukar dengan total seluas 345 910 hektar.

Lahan dan tipe lahan merupakan faktor produksi utama dalam berusahatani. Tipe lahan sangat terkait dengan kondisi fisik biotik dan abiotik di dalamnya yang turut menentukan kesesuaian pengusahaan komoditas tertentu. Kesesuaian lahan terhadap komoditas yang akan diusahakan harus menjadi perhatian petani maupun pemerintah dalam mengelola input beserta target produksinya. Kedelai umumnya diusahakan setelah padi pada lahan sawah irigasi dan tadah hujan, sedangkan pada lahan kering bergantung pada ketersediaan air pada musim hujan. Lahan dengan tipe dan karakteristiknya akan menentukan jenis, jumlah, maupun input-input yang digunakan dalam usaha pencapaian produksi suatu komoditas. Penggunaan tipe lahan ini juga sangat menentukan produktivitas dari tanaman kedelai tersebut, dimana membahas produktivitas terkait dengan efisiensi teknis. Oleh sebab itu perlu dilakukannya penelitian efisiensi teknis usahatani kedelai terkait dengan penggunaan tipe lahan.

Perumusan Masalah

Lahan sebagai tempat berusahatani merupakan faktor produksi utama dalam sistem agribisnis karena digunakan oleh hampir semua komoditas pertanian. Persaingan penggunaannya meluas kepada sektor non pertanian seperti pemukiman dan sarana publik lainnya. Oleh karena pentingnya penyediaan pangan khususnya kedelai, maka pemerintah mengupayakan pengusahaan kedelai tidak hanya pada lahan sawah namun telah menuju pada lahan kering yang juga potensial untuk digunakan. Lahan dengan tipe dan karakteristiknya akan menentukan jenis, jumlah, maupun input-input yang digunakan dalam usaha pencapaian produksi suatu komoditas.

Komalasari (2008) yang menyebutkan potensi pengembangan agribisnis kedelai mempunyai prospek cukup besar, salah satunya didukung oleh potensi lahan. Pernyataan tersebut didukung oleh Zakaria et al. (2010) yang menyatakan

1

(21)

5 komoditas kedelai layak diusahakan pada semua agroekosistem lahan di Indonesia.

Secara spesifik Badan Litbang Pertanian (2015) menyebutkan lahan kering beriklim kering di Provinsi Aceh dataran rendah seluas 687 523 hektar dan di dataran tinggi seluas 598 622 hektar berpotensi untuk pengembangan padi gogo, jagung, kedelai, kacang tanah, serta tanaman buah dan sayuran berupa tegalan, ladang dan kebun campuran. Seluas 58 090 hektar lahan kering beriklim kering sesuai untuk pengembangan kedelai. Sedangkan lahan kering beriklim basah seluas 1 189 hektar. Permasalahan yang dihadapi antara lain, kesuburan rendah, bersifat masam, miskin bahan organik dan rawan erosi.

Produktivitas padi sawah menurut data BPS tahun 2013 di Provinsi Aceh sebesar 4.70 ton per hektar dan di Kabupaten Pidie Jaya sebesar 5.09 ton per hektar sedangkan produktivitas padi bukan sawah pada tahun yang sama di Kabupaten Pidie Jaya sebesar 2.47 ton per hektar dan Provinsi Aceh sebesar 2.46 ton per hektar. Adapun pada lahan sawah irigasi petani lebih memilih tidak menanam kedelai karena tersedianya air untuk penanaman padi, sehingga tidak ditemukan data produktivitas kedelai pada lahan sawah.

Kenaikan atau penurunan produksi dapat terjadi karena perubahan penggunaan faktor-faktor produksi. Pada dasarnya petani akan mengubah penggunaan faktor-faktor produksi usahataninya bila akan meningkatkan pendapatannya. Tinaprilla (2012) menyebutkan sesungguhnya faktor-faktor inefiesiensi produksi harus menjadi perhatian dalam berusahatani, artinya pengelolaan usahatani menjadi faktor penentu keberhasilan. Terkait dengan pendapatan usahatani, harga jual produk harus menjadi penarik bagi petani agar mau mengusahakannya secara berkelanjutan.

Harga output menjadi penting karena posisi petani masih sebagai price taker. Di sinilah peran penting pemerintah sebagai salah satu elemen penting dalam subsistem penunjang. Pemerintah dengan kebijakannya tidak hanya dapat menentukan harga input dan output, melainkan dapat menyediakan sarana produksi, akses pembiayaan, informasi, serta perbaikan teknologi bagi suatu usahatani. Hal penting lainnya adalah bagaimana pemerintah mampu meningkatkan kemampuan pengelolaan usahatani bagi petani sebagai pengelola usahatani agar mampu berproduksi secara efisien.

Penelitian tentang efisiensi dan pendapatan usahatani telah banyak dilakukan. Topik penelitian ini didasarkan pada besarnya peluang peningkatan produksi kedelai Provinsi Aceh melalui pemanfaatan lahan kering yang tersedia dan peningkatan produktivitas usahatani. Adapun dari sisi onfarm kedelai itu sendiri bagaimana petani mampu mengelola input-input produksi yang digunakannya. Dengan demikian, penting untuk membandingkan tingkat efisiensi usahatani, faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan pendapatan usahatani kedelai agar diperoleh solusi peningkatan maupun perbaikannya, baik dari sisi petani maupun pemerintah selaku penentu kebijakan pertanian. Menurut Tinaprilla (2012), penelitian efisiensi menjadi lebih penting bagi negara berkembang dimana potensi peningkatan produksi pertanian melalui perluasan area produksi dan pengadopsian teknologi baru sangat terbatas.

(22)

6

kebutuhan kedelai nasional. Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan maka research question yang diajukan adalah apakah terdapat perbedaan efisiensi teknis dan pendapatan usahatani kedelai di lahan sawah tadah hujan dengan lahan kering di Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, dan research question yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya, maka pelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani

kedelai pada lahan sawah tadah hujan dan lahan kering di Kabupaten Pidie Jaya.

2. Menganalisis pendapatan usahatani kedelai pada lahan sawah tadah hujan dan lahan kering di Kabupaten Pidie Jaya.

3. Menganalisis dampak lahan sawah tadah hujan dan lahan kering terhadap efisiensi teknis dan pendapatan usahatani kedelai di Kabupaten Pidie Jaya.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi berbagai pihak, yaitu:

1. Petani sebagai pelaku sekaligus pengelola usahataninya.

2. Pemerintah (policy maker), diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengambilan kebijakan pertanian dalam rangka peningkatan produksi kedelai maupun kebutuhan komoditas pangan lainnya.

3. Peneliti (researcher), sebagai referensi kajian perencanaan dan pengembangan potensi wilayah sentra produksi komoditas pangan daerah.

Ruang Lingkup Penelitian

Untuk mengamati tingkat efisiensi teknis dan pendapatan usahatani kedelai, maka penelitian difokuskan pada sentra produksi yang mempunyai tipe lahan sawah tadah hujan, dan lahan kering sekaligus yang memiliki produktivitas tinggi, sedang, dan rendah. Lokasi penelitian yang dipilih adalah hamparan penanaman kedelai pada lahan sawah tadah hujan, dan lahan kering sentra produksi di Provinsi Aceh. Analisis difokuskan pada efisiensi teknis, serta dilanjutkan dengan menganalisis pendapatan dan dampak tipe lahan sebagai faktor produksi utama usahatani. Oleh karena itu, data yang digunakan merupakan data tahapan budidaya, biaya produksi, harga input, dan harga jual produk di tingkat petani di lokasi penelitian. Sementara pada aspek pemasaran, informasi yang dikumpulkan hanya harga jual kedelai di tingkat petani. Aspek pemasaran lebih luas tidak dibahas pada penelitian ini.

(23)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis

Amaza & Ogundari (2008) menguji faktor-faktor penentu efisiensi teknis (TE) produksi kedelai di sabana Guinea. Menggunakan fungsi produksi sthocastic frontier, dengan teknik estimasi maksimum likelihood (MLE) dalam analisisnya. Data yang dikumpulkan pada tahun 2006 dari sampel 182 petani kedelai di Borno, Nigeria. Hasil MLE mengungkapkan bahwa luas lahan, bibit, tenaga kerja keluarga, tenaga kerja yang disewa, dan pupuk merupakan faktor utama yang terkait dengan perubahan dalam output dari kedelai dan signifikan (ρ=0.05). Faktor-faktor produksi seperti luas lahan, bahan tanam (benih), tenaga kerja keluarga, tenaga kerja yang disewa, dan pupuk memberi efek positif pada output dengan variabel luas lahan, bibit dan tenaga kerja keluarga signifikan pada α=0.05. Ini merupakan indikasi bahwa variabel luas lahan, bibit dan tenaga kerja keluarga merupakan penentu penting dari produksi kedelai di daerah penelitian.

Hasil analisisnya menunjukkan rata-rata technical efficiency (TE) sekitar 79 persen. Implikasinya adalah bahwa produksi kedelai bisa meningkat sekitar 21 persen melalui peningkatan penggunaan sumber daya yang tersedia pada kondisi pengaplikasian teknologi eksisting. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pendidikan; akses pasar dan traksi hewan berpengaruh positif pada TE petani. Sementara itu, faktor usia dan jenis kelamin berpengaruh negatif TE dengan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen. Implikasi kebijakan dari temuan ini adalah bahwa petani dengan linkage pasar yang efektif, akses ke pendidikan, khususnya fasilitas pendidikan penyuluhan dan kredit untuk membeli traksi hewan akan memperkuat tingkat TE dan potensi produktivitas petani saat ini kedelai di Borno, Nigeria Utara.

Idrisa et al. (2010) juga meneliti faktor-faktor penentu yang diduga meningkatkan adopsi benih kedelai di kalangan petani di Borno Selatan. Menggunakan 360 responden yang dipilih melalui prosedur pengambilan sampel secara bertingkat. Teknik statistik inferensial model logit, digunakan untuk memperkirakan kemungkinan adopsi teknologi oleh responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sosial ekonomi yang signifikan mempengaruhi adopsi benih unggul kedelai petani adalah skala usahatani dan biaya tenaga kerja luar keluarga. Faktor-faktor ini secara statistik signifikan pada lima persen. Variabel luas lahan signifikan (ρ≤0,05), tetapi berhubungan negatif dengan adopsi penggunaan benih bermutu di Borno Selatan, Nigeria. Ini menegaskan hipotesis bahwa skala usahatani yang lebih kecil lebih respons terhadap peningkatan pendapatan usahatani. Ditemukan bahwa luas lahan, yang merupakan indikator status kekayaan, secara signifikan (ρ≤0.05) meningkatkan adopsi benih kedelai di antara responden di daerah penelitian.

(24)

8

Selain itu kegiatan penyuluhan harus mendidik dan mendorong petani pada pemanfaatan kedelai sebagai sumber pangan bergizi bagi rumah tangga.

Chang et al. (2011) menggunakan SFA untuk meneliti efisiensi produksi pertanian kacang industri di daerah California, sedangkan Essilfie (2011) menggunakannya untuk menentukan beberapa karakteristik sosial ekonomi dan praktek manajemen yang mempengaruhi efisiensi teknis dalam produksi jagung di pusat Ghana. SFPF digunakan oleh Si & Wang (2011) untuk memeriksa pertumbuhan produktivitas, efisiensi teknis, dan perubahan teknis dalam sektor kedelai di China. Data yang digunakan adalah panel data set dari 12 besar provinsi penghasil kedelai di seluruh negara selama periode 1983-2007.

Ligeon et al. (2013) meneliti efisiensi produksi kacang di Bulgaria menggunakan produksi batas stokastik (stochastic frontier production) dengan pendekatan Tobit mengevaluasi efisiensi teknis dan inefisiensi usahatani kacang di Bulgaria dengan menggunakan panel data pada 2000-2002. Adapun Maganga (2012) melalui penelitian empirisnya meneliti mengenai efisiensi teknis produsen kentang di Kabupaten Dedza, Irlandia menggunakan data dari 200 petani. Ia menggunakan SFA dengan model fungsi Translog untuk menduga tingkat efisiensi teknis pertanian dengan pendekatan dugaan parameter MLE. Penggunaan fungsi produksi model Translog ini bertujuan untuk mengetahui hubungan substitusi atau komplementer antar variabel yang digunakan.

Watkins et al. (2013) meneliti pada program Rice Research Verification Program (RRVP) dengan tujuan memaksimalkan hasil panen pada lahan yang sudah terdaftar pada program tersebut. Hasil dari faktor program RRVP ini mampu mendukung terjadinya efisiensi teknis secara secara penuh dengan skor satu pada usahatani padi di Arkansas. Disebutkan pula faktor sarana irigasi memiliki nilai positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap efisiensi teknis. Penggunaan inlet irigasi memiliki nilai positif dan signifikan tingkat efisiensi pada padi hibrida varietas Clearfield. Singh & Singh (2013), menyebutkan irigasi dan pasokan listrik mampu mempengaruhi kegiatan pertanian di India.

Hasil penelitian Gunawan et al. (2007) membuktikan rata-rata produksi riil kedelai di Kabupaten Bojonegoro per hektar yang menerapkan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) menjadi lebih tinggi sebesar 1.559 ton dari 1.2 ton. Hal ini menjelaskan bahwa pengelolaan input produksi sangat diperlukan dalam upaya peningkatan produktivitas kedelai. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah pembinaan atau penyuluhan agar meningkatkan pengetahuan dan kemampuan petani, sehingga akan meningkatkan produksi kedelai.

Hal senada juga dinyatakan dalam laporan Dinas Pertanian Jawa Barat (2008) pada budidaya padi yang telah menerapkan SLPTT menyatakan, produksi meningkat pada tahun 2008 sebesar 10 111 069 ton gabah kering giling (GKG) dibanding tahun 2007 sebesar 9 914 019 ton GKG. Penerapan SLPTT di Provinsi Jawa Barat berpengaruh secara signifikan sebesar dua persen terhadap peningkatan produksi padi.

(25)

9 para petani yang kekurangan modal untuk mengadakan input-input usahatani sayurannya.

Sama halnya dengan Fernandez & Nuthall (2009), Singh & Singh (2013), dan Rafiana et al. (2010) yang menunjukkan fasilitas kredit memberi nilai negatif pada inefisiensi. Adapun Singh & Singh (2013) menggunakan data panel dan regresi Tobit dalam penelitiannya menyatakan akses kredit tidak berpengaruh secara signifikan terhadap efisiensi usahatani. Hal ini disebabkan mekanisme pengiriman ataupun pengembalian kredit tidak terwujud dengan baik. Kondisi ini mengakibatkan hasil pertanian belum mampu memberikan masukan pendapatan untuk mengembalikan kredit karena produksi yang tidak sesuai dengan harapan. Strategi menghadapi kondisi tersebut hal yang dapat dilakukan adalah perbaikan mekanisme pengiriman dan peminjaman kredit dan seleksi calon penerima kredit. Berbeda halnya dengan Maganga (2012) yang menyatakan fasilitas kredit tidak memberikan pengaruh secara signifikan terhadap efisiensi teknis kentang di Dedza, Pusat Malawi.

Penelitian Kusnadi et al. (2011) tentang efisiensi produksi usahatani padi menyebutkan faktor keanggotaan petani dalam kelompok tani. Disebutkan bahwa variabel keanggotaan petani dalam kelompok tani signifikan dan berpengaruh nyata dengan nilai koefisien positif 0.319 terhadap inefisiensi. Artinya petani yang menjadi anggota kelompok tani semakin meningkatkan inefisiensi yang memiliki makna menurunkan efisiensi. Hasil estimasi tidak sesuai dengan hipotesis, hal ini disebabkan kenyataan pada lapang petani ikut secara aktif dalam kegiatan kelompok tani. Senada dengan itu Maganga (2012) menyatakan kunjungan penyuluh kepada petani untuk memberikan penyuluhan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap efisiensi teknis usahatani kentang di Malawi. Untuk meningkatkan efisiensi teknis sayuran di Provinsi Samsun, Turki, Bozoglu & Ceyhan (2007) merekomendasikan strategi penyediaan layanan penyuluhan yang lebih baik dan program pelatihan bagi petani.

Otitoju & Arene (2010) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis kedelai skala menengah di Benue State, Nigeria. Dengan menggunakan stochastic frontier menghasilkan faktor usia yang bernilai negatif terhadap efisiensi teknis. Peneliti lain yang mendukung faktor usia bernilai positif dengan inefisiensi atau dengan kata lain semakin tua petani maka usahatani yang dijalankannya semakin tidak efisien yaitu Rafiana et al. (2010). Begitu pula dengan hasil peneitian Maganga et al. (2012) yang menyatakan bahwa faktor usia memiliki hubungan negatif terhadap efisiensi teknis dan signifikan pada lima persen dengan fungsi produksi stochastic frontier model Translog. Artinya semakin tua petani maka efisiensi teknis semakin menurun.

(26)

10

berhubungan positif terhadap efisiensi teknis, sehingga memiliki kemampuan pengelolaan usahatani yang lebih baik.

Peneliti lain ada pula yang menyatakan faktor usia merupakan suatu apriori dalam efisiensi teknis dan tidak memiliki pengaruh secara signifikan, yaitu Killic et al. (2009). Killic et al. (2009) meneliti efisiensi hazelnut di Turki dengan menggunakan DEA dan analisis regresi Tobit menghasilkan faktor usia yang tidak berpengaruh secara signifikan. Ia menyebutkan hubungan apriori antara umur petani dan efisiensi adalah tidak tentu, karena petani tua yang memiliki banyak pengalaman mungkin juga kurang mampu mengadopsi ide-ide baru.

Tahir et al. (2010) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi kedelai di Sulawesi Selatan adalah pengalaman petani, jumlah angkatan kerja dalam keluarga, jumlah pupuk urea, KCl, pupuk organik, dummy status kepemilikan lahan sistem bagi hasil, dummy varietas kedelai, dummy jarak tanam, dan dummy tipe lahan. Sementara itu, faktor yang berpengaruh positif terhadap peningkatan efisiensi teknis adalah luas lahan, umur petani, pendidikan, dan pengalaman petani.

Usahatani Kedelai

Nurasa (2012) membandingkan produksi dan pendapatan usahatani kedelai petani peserta SLPTT dan non peserta di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Hasilnya menunjukkan produksi kedelai yang dihasilkan petani peserta SLPTT lebih tinggi 36-42 persen dibandingkan petani non peserta. Secara usahatani kedelai petani menunjukkan kelayakan ekonomi dengan nilai R/C lebih dari satu. Produktivitas kedelai pada petani non peserta SLPTT berkisar 1.1-1.2 ton/hektar, dan pada petani peserta SLPTT 1.5-1.7 ton/hektar.

Pelaksanaan program SLPTT kedelai berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas kedelai dibanding dengan kelompok non-SLPTT. Berdasarkan analisis imbangan biaya dan pendapatan, nilai R/C untuk petani peserta SLPTT berkisar 1.91-1.92 dan untuk petani non-SLPTT adalah 1.18-1.50. Sedangkan secara agregat nilai R/C usahatani kedelai pada agroekosistem lahan sawah irigasi adalah 1.91, lahan sawah tadah hujan adalah 1.91 dan lahan kering tegalan 1.92. Dengan kondisi tersebut, maka usahatani kedelai di seluruh agrosistem secara finansial adalah layak diusahakan.

Hartono & Novia (2014) meneliti efisiensi usahatani padi sawah di daerah irigasi dan non irigasi. Disebutkan bahwa penggunaan input (benih, pupuk urea, NPK Phonska) usahatani lebih besar pada daerah irigasi, sebaliknya penggunaan pestisida lebih tinggi pada daerah non irigasi. Dengan penggunaan input yang lebih besar, produksi padi per hektar di daerah irigasi mencapai dua kali lipat dibandingkan non irigasi. Meskipun produksi padi di daerah irigasi lebih tinggi, namun pendapatan usahatani keduanya tidak terlalu berbeda. Pendapatan usahatani padi di daerah irigasi sekitar Rp 37 juta sementara di daerah non irigasi sekitar Rp 34 juta.

(27)

11 usahatani kedelai di Kabupaten Garut masih layak dan menguntungkan apabila diusahakan.

Demikian pula Sujiati et al. (2012) yang melakukan perbandingan pada petani yang menerapkan teknologi PTT dengan non PTT di Desa Trimulyo Kecamatan Kayen Kabupaten Pati. Disebutkan bahwa penerimaan usahatani kedelai varietas Grobogan dengan penerapan teknologi PTT sebesar RP 8 226 110.97 dengan total biaya sebesar Rp 4 294 870.50, sedangkan melalui metode non PTT diperoleh penerimaan sebesar Rp 6 106 345.41 dengan total biaya sebesar Rp 3 753 426.82. Pada dasarnya kedua metode yang digunakan memberikan keuntungan dan layak untuk diterapkan petani. RC rasio yang diperoleh masing-masing sebesar 1.89 dan 1.60.

Lahan dan Tipe Lahan

Endrizal et al. (2014) menyebutkan dari penelitiannya bahwa produktivitas kedelai petani rata-rata 1.0–1.3 ton per hektar di lahan sawah irigasi Desa Sri Agung, Kecamatan Batang Asam, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi pada MK 2013. Melalui penerapan inovasi teknologi, dengan pendekatan PTT dapat meningkatkan produktivitas kedelai. Varietas Anjasmoro mampu memberikan hasil 1.80 ton per hektar dan dapat meningkatkan produktivitas sebesar 0.5–0.7 ton per hektar. Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa penerimaan diperoleh sebesar Rp 10 800 000 dengan biaya usahatani Rp 5 780 000, maka pendapatan Rp 5 020 000 dengan R/C ratio 1.87. Adapun komponen teknologi PTT kedelai yang diterapkan adalah penggunaan varietas unggul, benih bermutu, pupuk anorganik, pupuk organik dan dolomit sebagai penutup lubang tanam.

Juarsah & Jati (2014) melakukan penelitian pada kondisi tanah dalam cekaman kekeringan di Desa Sri Agung Kecamatan Batang Asam, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Kondisi tanah berwarna hitam kelabu sampai cokelat tua karena bahan organiknya sudah berkurang, struktur remah dan lempung berpasir, kandungan unsur hara rendah dan pH tanah agak masam yaitu dengan pH 4.89. Dimana terjadi hujan sepanjang tahun meskipun dengan intensitas dan sebaran yang beragam antar bulan. Bulan basah adalah bulan dengan curah hujan >200 mm yang termasuk klasifikasi agroklimat C3.

Fibriyanti (2015) menyebutkan melalui penerapan teknologi PTT kedelai pada lahan kering masam di Desa Waihatu, Kecamatan Kairatu Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku kedelai varietas Kaba mampu mencapai produksi sebesar 2.83 ton/hektar. Produksi tersebut melampui potensi hasil berdasarkan deskripsi varietas tersebut, yaitu sebesar 2.13 ton/hektar. Komponen teknologi PTT yang digunakan diantaranya adalah 50 kg/hektar urea, 200 kg/hektar SP36, 75 kg/hektar KCl berdasarkan hasil uji perangkat uji tanah kering (PUTK).

(28)

12

terlantar, sekitar 10.3 juta hektar berada di kawasan budidaya pertanian dan 20.4 juta hektar berada di kawasan budidaya kehutanan.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memiliki potensi lahan kering musiman sebesar 282 ribu hektar atau 21 persen dari total lahan kering musiman di pulau Sumatera yang sebesar 1.31 juta hektar. Jumlah tersebut menunjukkan bahwa provinsi NAD memiliki potensi terbesar ketiga di pulau Sumatera untuk lahan kering musiman di bawah Provinsi Sumatera Utara (429 ribu hektar) dan provinsi Sumatera Selatan (307 ribu hektar) (Badan Litbang Pertanian 2007). Potensi ini sangat besar karena pulau Sumatera memiliki luas area untuk tanaman musiman sekitar 1.31 juta hektar di bawah Kalimantan (3.63 juta hektar) dan Maluku+Papua (1.73 juta hektar) (Mulyani & Syarwani 2013).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi kedelai lebih banyak menggunakan lahan sawah daripada lahan kering dengan perbandingan 70:30 (BPS 2008) karena mudahnya sumber air serta kontur tanah yang lebih bersahabat pada lahan sawah. Kebutuhan akan kedelai juga mengalami peningkatan, pada tahun 2010 kebutuhan kedelai sebesar 2.05 juta ton, sedangkan tahun 2015 sebesar 2.22 juta ton yang artinya mengalami kenaikan sebesar 8.29 persen (Sudaryanto et al. 2010), tren ini berdampak positif karena dapat memacu pertumbuhan ekonomi tetapi harus diimbangi oleh ketersediaan lahan.

Salah satu caranya adalah dengan mengoptimalkan potensi lahan kering untuk tanaman semusim. Sukarman & Suharta (2010) menghitung kebutuhan lahan kering untuk kedelai hingga tahun 2050 sebesar 1.5 juta hektar sementara lahan kering Sumatera hanya sebesar 1.31 juta hektar. Hal ini dapat disiasati dengan pemanfaatan lahan terlantar yang diatur oleh Undang-Undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU PLPPB) serta memanfaatkan lahan potensial yang telah ada sesuai dengan peruntukannya (Mulyani et al. 2011).

(29)

13

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Teori Produksi

Produksi merujuk pada perubahan bentuk berbagai sumberdaya atau input menjadi output berupa barang maupun jasa. Halcrow (1981) mengungkapkan bahwa produksi adalah sebuah proses menciptakan sebuah barang ekonomi atau jasa dari dua atau lebih barang atau jasa lainnya. Kegiatan produksi selalu melibatkan penggunaan input untuk menghasilkan output. Halcrow (1981) menyebutkan bahwa tidak ada produk yang dapat dihasilkan hanya dari satu jenis sumberdaya atau input. Input yang digunakan dapat berupa input tetap dan juga input variabel. Input tetap adalah input yang tidak dapat berubah dengan mudah selama periode waktu tertentu. Sedangkan input variabel adalah input yang dapat divariasikan atau diubah secara mudah dan cepat. Pada produksi jangka panjang, semua input yang digunakan dalam proses produksi dianggap sebagai input variabel, sedangkan pada produksi jangka pendek setidaknya ada satu input yang dianggap sebagai input tetap dan lainnya dianggap input variabel.

Aktivitas produksi melibatkan penggunaan beragam input untuk menghasilkan sejumlah output. Teori produksi dapat digambarkan melalui fungsi produksi, fungsi biaya, fungsi penerimaan, dan fungsi keuntungan. Fungsi produksi (production function) merupakan sebuah persamaan, tabel, atau grafik yang menunjukkan output komoditas maksimum perusahaan yang bisa diproduksi pada setiap periode waktu dengan kombinasi input (Salvatore 2005). Sedangkan menurut Beattie & Taylor (1985), fungsi produksi adalah deskripsi matematis dan kuantitatif dari berbagai macam kemungkinan-kemungkinan produksi teknis yang dihadapi oleh suatu perusahaan. Fungsi produksi menurut Halcrow (1981) adalah sebuah hubungan teknis antara input dan output yang mengindikasikan jumlah output maksimum yang dapat diproduksi dari beberapa input atau kombinasi input.

Fungsi produksi memperlihatkan hubungan atau keterkaitan input dengan output. Apabila bentuk fungsinya telah diketahui atau telah diestimasi maka kita dapat meramalkan besarnya output apabila inputnya berubah. Fungsi produksi yang tepat harus memenuhi beberapa kriteria, seperti mempunyai hubungan dengan persoalan ekonomi, dapat diterima secara teoritis dan logis, sederhana sehingga mudah ditafsirkan, dan dapat menjelaskan persoalan yang diamati (Soekartawi 2003). Lipsey (1993) mengatakan bahwa produksi adalah tindakan dalam membuat komoditas, baik berupa barang maupun jasa. Dalam pertanian, proses produksi begitu kompleks dan terus menerus berubah seiring dengan kemajuan teknologi. Tidak ada produk yang dihasilkan dengan menggunakan satu input. Dalam berproduksi banyak digunakan input-input untuk menghasilkan output.

(30)

14

menggambarkan kuantitas dan kualitas dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk tertentu.

Lipsey (1993) juga mengatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan fungsi yang memperlihatkan output maksimum yang dapat diproduksi oleh setiap input dan oleh kombinasi berbagai input. Nicholson (2002) menyatakan bahwa fungsi produksi memeperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan Tenaga kerja (L). Sebuah fungsi produksi dapat digambarkan dalam cara yang berbeda; dalam bentuk tertulis, menyebutkan dan menggambarkan tiap input yang berhubungan dengan output; dengan membuat daftar input dan hasil output secara numerik dalam tabel; dalam bentuk grafik atau diagram; dan dalam bentuk persamaan aljabar. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut: Y = f (X1, X2, X3, ..., Xn)

dimana Y adalah output dan X1, ... Xn adalah input-input yang berbeda yang terlibat dan ambil bagian dalam produksi Y. Simbol f menggambarkan bentuk hubungan dari perubahan input menjadi output. Model hubungan antara input dan output adalah formulasi fungsi produksi dari bentuk Q = f (K, L, M …), dimana Q merupakan barang keluaran yang memiliki nilai tambah (added value), K merupakan modal selama periode waktu tertentu, L merupakan dari tenaga kerja, dan M merupakan penggunaan bahan baku. Nicholson (2002) juga mengatakan bahwa Produktivitas Fisik Marginal merupakan salah satu input yang didefinisikan sebagai kuantitas output ekstra yang dibagi oleh pengerjaan satu unit tambahan input tersebut ketika pengaruh semua input konstan.

Bentuk persamaan matematis dari fungsi produksi pada dasarnya merupakan abstraksi dari proses produksi yang disederhanakan, sebab dengan melakukan penyederhanaan kejadian-kejadian atau gejala-gejala alam yang sesungguhnya begitu komples dapat digambarkan tingkah lakunya. Dari fungsi produksi dapat dilihat hubungan teknis antara faktor produksi dengan produksinya, serta suatu gambaran dari semua metode produksi yang efisien. Secara matematis fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai berikut:

Y = f (X1, X2, X3, …, Xn);

dimana:Y = jumlah produksi, dan Xn = faktor-faktor produksi. Konsep Efisiensi Teknis

(31)

15 salah satu input. Sebaliknya ukuran yang lebih komprehensif dari total faktor produksi disebut dengan TFP.

Efisiensi usahatani merupakan suatu ukuran untuk mengukur keberhasilan proses produksi (Doll & Orazem 1984). Suatu usahatani akan memilih proses penggunaan input paling sedikit untuk menghasilkan output dengan biaya paling rendah agar berjalan efisien. Efisiensi produksi sulit dicapai bila jumlah pemakaian sarana produksi tidak tepat, teknologi tidak memadai, dan harga saprodi yang terlalu mahal. Oleh sebab itu, efisiensi merupakan konsep relatif dalam pengukuran perbandingan rasio aktual output input dengan rasio output input yang maksimal.

Coelli et al. (2005) menyatakan efisiensi dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Efisiensi teknis (technical efficiency). Efisiensi teknis mengukur tingkat

produksi yang dicapai pada tingkat penggunaan input tertentu. Seorang petani secara teknis dikatakan lebih efisien dibandingkan petani lain, apabila dengan penggunaan jenis dan jumlah input yang sama, diperoleh output fisik yang lebih tinggi.

2. Efisiensi harga (price efficiency). Efisiensi harga atau efisiensi alokatif mengukur tingkat keberhasilan petani dalam usahanya untuk mencapai keuntungan maksimum yang dicapai pada saat nilai produk marginal setiap faktor produksi yang diberikan sama dengan biaya marginalnya atau menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menggunakan input dengan proporsi yang optimal pada masing-masing tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki.

3. Efisiensi ekonomis (economic efficiency). Efisiensi ekonomis adalah kombinasi antara efisiensi teknis dan efisiensi harga.

Prinsip optimalisasi penggunaan faktor produksi adalah sebagaimana penggunaan faktor produksi sesuai dengan standar teknis yang telah ditentukan secara seefisien mungkin. Oleh sebab itu, penelitian ini fokus pada efisiensi teknis. Efisiensi teknis adalah rasio output aktual terhadap kemungkinan output maksimal yang dihasilkan. Menurut Kumbakhar & Lovell (2000), produsen dikatakan efisien secara teknis jika dan hanya jika tidak mungkin lagi memproduksi lebih banyak output dari yang telah ada tanpa mengurangi sejumlah output lainnya atau dengan menambah sejumlah input tertentu. Petani yang efisien secara teknis adalah petani yang menggunakan lebih sedikit input dari petani lainnya untuk memproduksi sejumlah ouput pada tingkat tertentu atau petani yang dapat menghasilkan output yang lebih besar atau maksimum dari petani lainnya dengan menggunakan sejumlah input tertentu. Jadi, tersedianya faktor produksi belum tentu menghasilkan nilai produktivitas yang dihasilkan tinggi pula, namun produsen (petani) penting sekali untuk melakukan usahataninya secara efisien.

(32)

16

inefisiensi teknis mengacu pada penyimpangan dari isokuan batas. Efisiensi teknis dapat diukur dengan pendekatan dari sisi output dan sisi input. Efisiensi teknis pada setiap produsen (petani) ke-i dari sisi output diperoleh melalui output observasi terhadap output stochastic batasnya. Berikut persamaan umumnya:

TEi =

dimana:

TEi = efisiensi teknis ke-i

Yi = output yang dihasilkan produsen = produksi batas

Pada saat produsen telah menggunakan sumber dayanya pada tingkat produksi yang masih mungkin ditingkatkan, berarti efisiensi teknis tidak tercapai, karena adanya faktor-faktor penghambat. Banyak faktor yang mempengaruhi tidak tercapainya efisiensi teknis (inefisien) di dalam suatu fungsi produksi. Penentuan sumber dari inefisiensi teknis ini tidak hanya memberikan informasi tentang sumber potensial dari inefisiensi, tetapi juga saran bagi kebijakan yang harus diterapkan atau dihilangkan untuk mencapai tingkat efisiensi total. Estimasi efisiensi produksi masih merupakan subyek penelitian di negara berkembang maupun di negara maju.

Konsep Efisiensi Berorientasi Input

Secara umum konsep efisiensi didekati dari dua sisi pendekatan, yaitu dari sisi alokasi penggunaan input dan dari sisi output yang dihasilkan. Pendekatan dari sisi input membutuhkan ketersediaan informasi harga input dan sebuah kurva isokuan yang menunjukkan kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output secara maksimal. Gambar 1 menunjukkan hubungan penggunaan dua input untuk menghasilkan satu produk dengan asumsi constant ruturn to scale dengan tingkat efisiensi yang dicapai.

Sumber: Farrell, 1957 dalam Coelli et al. 2005

Keterangan: P = Input AA’ = Kurva rasio harga input

R = Efisiensi alokatif SS’ = Kurva fully efficient firms

Q = Efisiensi teknis dan inefisiensi alokatif Q’= Efisiensi teknis dan efisiensi alokatif

P

A

A’

R Q

Q

S’

0 X2/Y

X1/Y S

(33)

17 Pengukuran efisiensi teknis menurut Coelli et al. (2005), dari sisi input merupakan rasio dari input atau biaya batas (frontier) terhadap input atau biaya observasi. Konsep efisiensi dari sisi input diilustrasikan oleh Farrell (1957) pada Gambar 1 mengilustrasikan dengan asumsi kondisi constant return to scale.

Gambar 1 menjelaskan tentang konsep pengukuran efisiensi. Kurva SS’ merupakan isoquant frontier yang menggambarkan kombinasi input minimum untuk menghasilkan ouput satu unit yang secara teknis paling efisien. Jika untuk menghasilkan output satu unit digunakan kombinasi input pada tiitik P maka kombinasi input tersebut dikatakan secara teknis tidak efisien. Kombinasi input yang secara teknis efisien adalah di titik Q. Tingkat efisiensi teknis pada penggunaan kombinasi input adalah OQ/OP. Jika rasio harga-harga input X1 dan Xβ ditunjukkan oleh garis AA’ maka kombinasi input pada titik Q secara alokatif belum efisien. Efisiensi alokatif dapat ditentukan jika garis AA’menyinggung kurva isoquant SS’ yaitu pada titik Q’. Efisiensi alokatif terjadi jika untuk menghasilkan satu unit output digunakan biaya yang terendah yaitu pada garis AA’ (isocost) seperti ditunjukkan pada kombinasi input di titik Q’ atau R sehingga kombinasi input di titik Q sudah efisien secara teknis tetapi belum efisien secara alokatif. Hal ini disebabkan untuk menghasilkan satu unit output masih dapat digunakan kombinasi input yang biayanya terendah yaitu di titik R. Berdasarkan uraian di atas maka efisiensi alokatif adalah OR/OQ. Oleh karena di titik R atau Q’ secara teknis dan alokatif efisien maka efisiensi ekonomi adalah perkalian antara efisiensi teknis dengan efisiensi alokatif sebesar OR/OP.

Kerangka Operasional

Potensi lahan yang dimiliki dan meningkatnya produktivitas menjadikan Provinsi Aceh ditetapkan sebagai salah satu provinsi untuk pengembangan kedelai bagi penyangga produksi dan konsumsi nasional. Produksi kedelai baik lokal maupun nasional sangat dipengaruhi oleh luas areal penanaman dan produktivitas usahataninya. Selain itu harga input produksi dan harga jual produk menjadi faktor penarik bagi petani untuk mau mengusahakan. Berfluktuasinya luas areal panen dapat disebabkan oleh penurunan harga riil kedelai, persaingan dengan komoditas lain, dan lebih rendahnya harga riil kedelai impor dibanding harga riil kedelai lokal. Dibandingkan dengan usahatani padi sawah, produktivitas dan harga jualnya lebih menarik bagi petani. Hal ini yang menyebabkan petani lebih memilih berusahatani padi dibandingkan kedelai. Sedangkan produktivitas kedelai masih rendah dibandingkan potensi hasilnya ataupun hasil-hasil penelitian.

Rendahnya produktivitas ini disebabkan oleh belum luasnya penggunaan benih bermutu dan bersertifikat di tingkat petani, tipe lahan yang bermasalah dalam hal penyediaan air, gangguan hama penyakit, waktu tanam yang tidak tepat, serta belum lengkapnya teknologi yang diterapkan. Diduga belum optimalnya pemanfaatan dan penggunaan input usahatani kedelai pada kegiatan produksi usahatani menjadi penyebab masih rendahnya produktivitas kedelai petani.

(34)

18

telah dikembangkan menjadi Program Upaya Khusus Padi Jagung Kedelai (Upsus Pajale) dengan target sawasembada kedelai pada tahun 2017. Terdapat 17 provinsi menjadi daerah tujuan pengembangannya dengan target capaian sebesar 1.2 juta ton.

Upaya ekstensifikasi yang dilakukan secara bersama-sama menerapkan prinsip peningkatan produktivitas usahatani kedelai melalui penerapan komponen teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) kedelai. Ketiga strategi peningkatan produksi ini diharapkan mampu menjadi solusi penyediaan kedelai nasional. Sesuai dengan pendapat Bakhsh et al. (2006) menyebutkan bahwa ada tiga alternatif cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi kentang yaitu menambah luas lahan, mengembangkan dan mengadopsi teknologi baru, dan menggunakan sumberdaya yang tersedia secara lebih efisien.

Analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Stochastic frontier Analysis (SFA). Analisis dan model pendekatan tersebut diharapkan mampu menjawab dari tujuan penelitian ini. Analisis SFA digunakan untuk melihat tingkat efisien usahatani kedelai secara teknis, alokatif, dan ekonomis. Faktor-faktor produksi yang diduga mampu meningkatkan produksi dalam kegiatan produksi usahatani kedelai adalah luas lahan tanam, jumlah tenaga kerja, modal, dan manajemen. Adapun variabel input produksi yang digunakan yaitu jumlah benih, pupuk, dan pestisida. Variabel pada fungsi produksi ini merupakan faktor produksi (input-input) yang digunakan dalam proses budidaya kedelai di lokasi penelitian.

Hasil analisis dari metode ini diharapkan mampu menjawab tujuan penelitian, yaitu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani, tingkat pendapatan usahatani, dan dampak tipe lahan pada usahatani kedelai terhadap pendapatan petani di Provinsi Aceh. Hal penting lain yang akan diperoleh yaitu: diketahui faktor-faktor inefisiensi apa saja yang berpengaruh pada usahatani kedelai di Provinsi Aceh, sehingga dapat ditentukan upaya perbaikan pengelolaan usahatani oleh petani maupun pemerintah.

Faktor/input produksi:

lahan, benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, teknologi

Faktor efisiensi teknis: - Umur/usia petani

- Tingkat pendidikan formal - Pengalaman berusahatani - Jumlah tanggungan keluarga - Keikutsertaan dalam kegiatan

penyuluhan

Pengelolaan usahatani

Harga output Masalah produktivitas usahatani

Penerimaan usahatani

Pendapatan usahatani Efisiensi Teknis

Produksi

Tipe lahan

[image:34.595.104.474.498.726.2]

Biaya produksi Harga input

(35)

19

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Provinsi Aceh dengan penentuan lokasi secara purposive (sengaja). Dipilih Kabupaten Pidie Jaya karena merupakan salah satu sentra produksi dan pengembangan kedelai. Kabupaten Pidie Jaya juga menjadi kabupaten yang ditentukan oleh pemerintah daerah sebagai daerah pengembangan kedelai dalam pelaksanaan program PAT kedelai tahun 2014. Ditentukannya Desa Balee Musa Kecamatan Bandar Kabupaten Pidie Jaya sebagai lokasi penelitian didasarkan atas terpenuhinya kriteria lahan sawah tadah hujan dan lahan kering sesuai tujuan penelitian. Di desa tersebut penanaman kedelai di lahan sawah tadah hujan maupun di lahan kering dilakukan dalam periode waktu yang sama, yaitu pada Musim Tanam kedua (September-Desember 2014).

Perlunya menentukan lokasi yang memiliki periode tanam yang sama antara kedua tipe lahan yang dibandingkan didasarkan pada tujuan menghindari bias dalam menganalisis pengaruh tipe lahan terhadap produksi. Perbedaan waktu tanam dan tipe lahan yang berbeda diduga akan mempengaruhi tingkat produksi, efisiensi, dan pendapatan usahatani. Kedua tipe lahan menjadi faktor produksi bagi usahatani atau produksi kedelai. Pengumpulan data dimulai dari bulan Pebruari sampai dengan Mei 2015.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dengan metode survei melalui teknik wawancara mendalam (indepth interview) dengan menggunakan daftar pertanyaan. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara dengan petani pemilik maupun penggarap usahatani kedelai di lokasi penelitian. Data sekunder dikumpulkan secara desk study dari berbagai sumber, antara lain: Badan Pusat Statistik, Dinas/Instansi terkait, lembaga penelitian di daerah serta publikasi ilmiah, seperti buku, jurnal, disertasi, dan laporan hasil penelitian serta sumber lain yang mendukung.

Metode Penentuan Sampel

Pemilihan sampel/responden dilakukan secara total sampling melalui Focus Group Discussion (FGD). Dasar penetuan petani kedelai yang dimaksud memiliki kriteria sebagai berikut: (1) petani yang menanam kedelai pada MK II 2014 dan tidak gagal panen, (2) petani dari lahan sawah tadah hujan maupun lahan kering yang melakukan penanaman dalam periode waktu yang sama yaitu September 2014.

(36)

20

ditemukan seorang anggota kelompok tani lahan sawah menjadi anggota kelompok tani lain pada kelompok tani lahan kering.

Pemilihan sampel sebanyak 50 orang petani dari masing-masing tipe lahan dengan asumsi populasi menyebar normal. Menurut teorema batas sentral (central limit theorem) untuk ukuran sampel yang cukup besar (n≥γ0), rata-rata sampel terditribusi di sekitar rata-rata populasi yang mendekati distribusi normal (Cooper & Emory 1996).

Analisis dan Pengolahan Data

Analisis data dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap pertama menganalisis pendapatan petani kedelai dengan menggunakan rasio pendapatan. Tahap kedua menganalisis faktor-faktor produksi usahatani untuk melihat efisiensi usahatani dengan menggunakan pendekatan SFA.

Analisis Fungsi Produksi Stochastic frontier

Penggunaan SFA berimplikasi pada pilihan bentuk fungsional. Analisis fungsi produksi stochastic frontier dapat digunakan untuk mengukur dan mengestimasi efisiensi produksi dari usahatani kedelai pada sisi input, sekaligus faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik secara internal atau pun eksternal dalam usahatani secara simultan sesuai dengan tujuan penelitian ini. Data yang terkumpul ditabulasi pada Microsoft Excell, kemudian diolah dengan menggunakan program SAS 9.6 dan Frontier 4.1

Fungsi produksi kedelai pada penelitian ini menggunakan fungsi produksi stochastic frontier production function. Model yang dikembangkan oleh Coelli et al. (2005) dengan persamaan Cobb-Douglas. Model akan disesuaikan dengan hasil pengumpulan data primer di lapangan, karena persamaan Cobb-Douglas lalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linear, maka terdapat asumsi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum digunakan, antara lain: 1. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol karena logaritma dari nol adalah

suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui.

2. Terdapat asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan dalam fungsi produksi, maksudnya, jika fungsi produksi Cobb-Douglas yang dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan dan bila diperlukan analisis yang memerlukan lebih dari satu model, maka perbedaan model tersebut terletak pada intersep dan bukan pada kemiringan garis (slope) model tersebut. 3. Setiap variabel bebas adalah perfect competition.

4. Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim sudah tercakup pada faktor kesalahan (error term).

Fungsi Cobb-Douglas juga memiliki kelemahan yang perlu diperhatikan, antara lain:

Gambar

Tabel 1 Perkembangan luas areal panen, produktivitas, dan produksi kedelai Indonesia tahun 2009-2015
Tabel 2   Luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai Provinsi Aceh tahun 2010-2015
Gambar 2 Kerangka pemikiran operasional
Tabel 3  Jumlah penduduk berdasarkan usia di Kabupaten Pidie Jaya tahun 2014
+7

Referensi

Dokumen terkait

Fraksi diklorometana dipilih untuk dilanjutkan pada tahap pemisahan dan pemurnian, hal ini dilakukan karena massa hasil dari partisi fraksi diklorometana lebih

17 Berdasarkan analisis di dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel impor, FDI, dan harga minyak dunia berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia

Pertama, pembelajaran fluida statis melalui pembelajaran kolaboratif dengan penilaian formatif yang terdiri atas lima fase telah berhasil diimplementasikan pada siswa kelas XI IPA

jamban di Kelurahan Tanjung Kecamatan Rasanae Barat Kota Bima • Memenuhi syarat jika semua KK (100% KK) sudah memiliki jamban dan laik digunakan • Tidak memenuhi

Metode yang digunakan adalah Proportional Random Sampling dan diperoleh 39 petani padi responden yang terdiri dari 3 petani padi lahan luas, 12 petani padi

Hasil evaluasi kebijakan HPP gabah periode 2004 – 2006 (dalam rentang sepuluh tahun awal pelaksanaannya) memberikan beberapa informasi menarik untuk perspektif ke

Hasil analisis Apraisal terhadap penokohan Santiago yang difokuskan pada penggambaran perasaan, perilaku, dan kondisi fisik menunjukkan bahwa aspek Afek ( Affect )

IDENTIFIKASI DAN UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI ISOLAT BAKTERI ASAM LAKTAT DARI FERMENTASI UDANG (CINCALOK) TERHADAP Vibrio parahaemolyticus DAN