• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Dan Kelimpahan Kumbang Cerambycid (Coleoptera: Cerambycidae) Di Cagar Alam Pangandaran, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Dan Kelimpahan Kumbang Cerambycid (Coleoptera: Cerambycidae) Di Cagar Alam Pangandaran, Jawa Barat"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KUMBANG

CERAMBYCID (COLEOPTERA: CERAMBYCIDAE) DI

CAGAR ALAM PANGANDARAN, JAWA BARAT

SEPTIANI DEWI ARISKA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keanekaragaman dan Kelimpahan Kumbang Cerambycid (Coleoptera: Cerambycidae) di Cagar Alam Pangandaran, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

SEPTIANI DEWI ARISKA. Keanekaragaman dan Kelimpahan Kumbang Cerambycid (Coleoptera: Cerambycidae) di Cagar Alam Pangandaran, Jawa Barat. Dibimbing oleh TRI ATMOWIDI dan WORO ANGGRAITONINGSIH NOERDJITO.

Kawasan cagar alam Pangandaran merupakan hutan hujan dengan luas 497 Ha. Kawasan hutan ini sangat unik karena berbentuk semenanjung dengan dikelilingi pantai di bagian barat dan timur, sedikit terpisah dari daratan utama Kabupaten Pangandaran. Karena letaknya yang unik, kawasan cagar alam Pangandaran memiliki kekhasan flora dan fauna dataran rendah dengan pengaruh faktor lingkungan pantai yang cukup besar.

Famili Cerambycidae merupakan famili keenam terbesar dalam ordo Coleoptera. Kumbang cerambycid mudah dikenal karena memiliki antena yang panjangnya dapat mencapai lebih dari separuh tubuhnya. Kumbang cerambycid mempunyai bentuk mata yang menakik (notched), yakni seolah-olah mata mengelilingi pangkal antena. Sebagian besar larva cerambycid hidup sebagai pengebor kayu, terutama pada kayu mati, kayu yang sedang melapuk, dan beberapa pada kayu kering. Sebagian kecil larva cerambycid hidup pada cabang dan ranting tumbuhan yang sehat.

Keanekaragaman spesies kumbang cerambycid di suatu kawasan berkaitan dengan heterogenitas vegetasi, terutama tumbuhan berkayu. Beberapa spesies kumbang cerambycid hanya ditemukan di kawasan hutan primer atau hutan sekunder, sedangkan beberapa spesies lainnya ditemukan di hutan yang telah terdegradasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalis keanekaragaman dan kelimpahan kumbang cerambycid di cagar alam Pangandaran dan mengetahui efektivitas penggunaan perangkap Artocarpus dan Ficus dalam koleksi kumbang cerambycid.

Pengambilan sampel kumbang cerambycid dilakukan di 4 lokasi, yang meliputi 2 lokasi di taman wisata alam dan 2 lokasi di cagar alam. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan perangkap cabang Artocarpus dan Ficus. Di setiap lokasi, dipasang 10 perangkap Artocarpus dan 10 perangkap Ficus. Pemasangan perangkap dilakukan secara sistematik yang dipasang berselang-seling antara perangkap Artocarpus dan Ficus dengan jarak antar perangkap sekitar 50 m. Koleksi sampel dilakukan setiap 3 hari sekali, yaitu pada hari ke 3, ke 6, ke 9, dan ke 12 setelah pemasangan perangkap. Spesimen kumbang yang terkoleksi kemudian diidentifikasi dan dianalisis dengan menghitung indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks kemerataan, indeks dominansi, dan indeks kesamaan Bray-Curtis.

(5)

kawasan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kondisi habitat, ketersediaan tumbuhan berkayu, musuh alami, dan faktor lingkungan.

Keanekaragaman spesies cerambycid tertinggi terdapat di lokasi taman wisata alam I. Hal ini diduga karena lokasi ini didominasi oleh vegetasi pohon besar, tutupan tajuk rapat, dan terdapat banyak pohon tumbang yang melapuk. Batang kayu dan ranting lapuk merupakan habitat bagi larva cerambycid, sehingga kondisi ini sangat mendukung kehadiran kumbang cerambycid. Spesies yang dominan di lokasi taman wisata alam I, diantaranya Acalolepta rusticatrix, Gnoma confusa, S. binotata, Nyctimenius javanus, dan Pothyne vittata. Spesies yang dominan di semua lokasi pengamatan ialah S. binotata, N. javanus, dan P. melanura. Spesies cerambycid yang terkoleksi di cagar alam Pangandaran termasuk dalam cerambycid yang umum ditemukan di Jawa. Tujuh spesies cerambycid yang ditemukan, yaitu Myagrus javanicus, Cacia curta, S. obliquefasciata, S. fuscotriangularis, P. triangularis, N. javanus, dan Exocentrus artocarpi merupakan cerambycid yang hanya terdistribusi di Jawa.

Keanekaragaman dan kelimpahan kumbang cerambycid pada perangkap dipengaruhi oleh tahap kelayuan. Kumbang cerambycid lebih banyak terkoleksi dengan perangkap cabang Artocarpus dibandingkan perangkap cabang Ficus. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi daun pada perangkap cabang Ficus lebih cepat layu dan rontok dibandingkan daun cabang Artocarpus. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap jumlah individu dan spesies yang datang pada perangkap. Kata kunci: Cerambycidae, keanekaragaman, kelimpahan, perangkap Artocarpus,

(6)

SUMMARY

SEPTIANI DEWI ARISKA. Diversity and Abundance of Cerambycid Beetles (Coleoptera: Cerambycidae) in Pangandaran Nature Reserve, West Java. Supervised by TRI ATMOWIDI and WORO ANGGRAITONINGSIH NOERDJITO.

Pangandaran nature reserve is rain forest with an area about 497 hectares. This forest is very unique, a peninsula surrounded by coasts in west and east. As a unique natural reserve areas, Pangandaran has specific lowland flora and fauna that was influenced by beach environment.

Cerambycidae is the sixth-largest family in order Coleoptera. Cerambycid beetles were easily recognized by its antennae were longer than body length. Cerambycid beetle has notched eye, the eyes surround the base of the antennae. Adult female beetles lay eggs under bark of branch. Most of cerambycid larvae are known as wood boring, mainly on dead wood, decaying wood, and some on dry wood. Only a few of them live on the branches and twigs of healthy plants.

The diversity of cerambycid beetles related to the heterogeneity of vegetation, particularly woody plants. Several species of cerambycids are only found in primary or secondary forest, while the others can be found in degraded forests. This study aimed to analyze the diversity and abundance of cerambycid beetles in Pangandaran nature reserve and to study effectiveness of Artocarpus and Ficus branch traps to collect cerambycid beetles.

Trapping of cerambycid beetles was conducted in four locations, i.e. two locations in the natural park and two others in nature reserve area. Cerambycid beetles were trapped by using Artocarpus and Ficus branch traps. We set up 10 Artocarpus and 10 Ficus traps in each location. Traps were set up systematically. Collection of cerambycid beetles were conducted in 3rd, 6th, 9th, and 12th days after traps set up. Data of cerambycid were analysed using Shannon-Wiener diversity index, evenness index, dominance index, and Bray-Curtis similarity index.

Cerambycid beetles collected from Pangandaran nature reserve area belong to subfamily Lamiinae, consist of 12 genera and 20 species. Lamiinae is characterized by has a flat face, body elongated, cylindrical, and pronotum slightly narrowed from the base of elytra. The highest abundance of cerambycid was found in open area (nature reserve I). This location was dominated by Atimura bacillina, Sybra alternans, S. binotata, Pterolophia uniformis, and P. melanura. Higher abundance of cerambycid species in a region can be affected by several factors, including habitat conditions, availability of woody plants, natural enemies, and environmental factors.

The highest diversity of cerambycid found in natural park I. This location is dominated by a large tree vegetation, dense canopy cover, and many decayed fallen trees that supported cerambycid beetles. Dominant species found in natural park I were Acalolepta rusticatrix, Gnoma confusa, S. binotata, Nyctimenius javanus, and Pothyne vittata. Dominant species found in all locations were S. binotata, N. javanus, and P. melanura.

(7)

Myagrus javanicus, Cacia curta, S. obliquefasciata, S. fuscotriangularis, P. triangularis, N. javanus, and Exocentrus artocarpi only distributed in Java.

Diversity and abundance of cerambycid beetles collected in the traps were affected by the condition of leaves. The number individual and species of cerambycid beetles collected by Artocarpus trap was higher than Ficus trap. Condition of the leaves of Ficus were faster wilt than Artocarpus leaves. These conditions affected the number of individuals and species of cerambycid trapped. Keywords: abundance, Artocarpus trap, Cerambycidae, diversity, structure

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biosains Hewan

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KUMBANG

CERAMBYCID (COLEOPTERA: CERAMBYCIDAE) DI

CAGAR ALAM PANGANDARAN, JAWA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

Judul Tesis : Keanekaragaman dan Kelimpahan Kumbang Cerambycid (Coleoptera: Cerambycidae) di Cagar Alam Pangandaran, Jawa Barat

Nama : Septiani Dewi Ariska NIM : G352124041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Drs Tri Atmowidi, MSi Ketua

Prof Dr Woro A. Noerdjito Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Biosains Hewan

Dr Ir R. R. Dyah Perwitasari, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah keanekaragaman hayati, dengan judul Keanekaragaman dan Kelimpahan Kumbang Cerambycid (Coleoptera: Cerambycidae) di Cagar Alam Pangandaran, Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Tri Atmowidi dan Prof. Woro Anggraitoningsih Noerdjito selaku pembimbing. Di samping itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Yana selaku Ketua BKSDA Pangandaran yang telah memberikan izin penelitian, Bapak Sarino (staf Laboratorium Entomolgi, LIPI) yang telah membantu identifikasi sampel kumbang cerambycid. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan adik yang telah membantu baik secara moril maupun materil. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman BSH 2012 dan 2013, teman-teman kosan Harmony 2 atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

METODE 4

Waktu dan Lokasi Penelitian 4

Koleksi Kumbang Cerambycid 6

Preservasi Kumbang Cerambycid 7

Identifikasi Kumbang Cerambycid 8

Pengukuran Faktor Lingkungan 9

Analisis Data 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Hasil 11

Keadaan Umum Kawasan Cagar Alam Pangandaran 11

Keanekaragaman dan Kelimpahan Kumbang Cerambycid 11 Efektivitas Penggunaan Perangkap Artocarpus dan Perangkap Ficus 16

Pembahasan 17

Kelimpahan Kumbang Cerambycid di Cagar Alam Pangandaran 17 Keanekaragaman Kumbang Cerambycid di Cagar Alam Pangandaran 18 Efektivitas Penggunaan Perangkap Artocarpus dan Perangkap Ficus 20

SIMPULAN DAN SARAN 21

Simpulan 21

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 22

LAMPIRAN 25

(14)

DAFTAR TABEL

1 Titik koordinat dan ketinggian lokasi pengambilan sampel kumbang

cerambycid di cagar alam Pangandaran 5

2 Parameter lingkungan di kawasan cagar alam Pangandaran 11 3 Spesies kumbang cerambycid yang terkoleksi di empat lokasi dengan

menggunakan perangkap Artocarpus dan perangkap Ficus 12 4 Indeks keanekaragaman (H'), kemerataan (E), dan dominansi (D)

kumbang cerambycid di kawasan cagar alam Pangandaran 15 5 Matriks kesamaan komunitas kumbang cerambycid antar lokasi di

kawasan cagar alam Pangandaran 15

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian di kawasan taman wisata alam dan cagar alam Pangandaran: Taman Wisata Alam I (I), Taman Wisata Alam II (II),

Cagar Alam I (III), Cagar Alam II (IV) 5

2 Lokasi pengambilan sampel kumbang cerambycid: Taman Wisata Alam I (a), Taman Wisata Alam II (b), Cagar Alam I (c), dan Cagar

Alam II (d) 6

3 Skema pemasangan perangkap di setiap lokasi pengambilan sampel di cagar alam Pangandaran. AT=Artocarpus trap, FT=Ficus trap 7 4 Koleksi kumbang cerambycid: perangkap Artocarpus (a), perangkap

Ficus (b), koleksi kumbang dengan metode beating (c), spesimen

kumbang dalam botol sampel (d) 7

5 Karakter subordo kumbang: Adephaga (a), Polyphaga (b).

ks3=metakoksa; s1-2=sklerit 1-2 8

6 Morfologi Cerambycidae yang digunakan untuk identifikasi: sisi dorsal (a), sisi ventral (b). ma=mata, pa=pangkal antena, lt=lateral tubercle, prn=pronotum, ant=antena, el=elytra, esu=elytra sutura, eap=elytra apeks, sku=skutelum, fm=femur, tb=tibia, tr=tarsus, tor=toraks,

kp=kepala, ab=abdomen, md=mandibula, ks1=prokoksa, ks2=mesokoksa, ks3=metakoksa, s1-5=sklerit 1-5 9 7 Spesies cerambycid yang terkoleksi di kawasan cagar alam

Pangandaran: A. rusticatrix (a), E. luscus (b), M. javanicus (c), C. javanus (d) (tribe Monochamini), C. curta (e), C. herbaceae (f) (tribe Mesosini), G. confusa (g) (tribe Gnomini), N. javanus (h) (tribe Nyctimeniini), E. artocarpi (i) (tribe Acanthocinini), P. vittata (j) (tribe

Agapanthiini) 13

8 Spesies cerambycid yang terkoleksi di kawasan cagar alam Pangandaran: A. bacillina (a), S. alternans (b), S. fuscotriangularis (c), S. lateralis (d), S. binotata (e), S. obliquefasciata (f) (tribe Apomecynini), P. uniformis (g), P. triangularis (h), P. melanura (i), P.

secuta (j) (tribe Pteropliini) 14

9 Dendogram kesamaan komunitas kumbang cerambycid berdasarkan

(15)

10 Hasil analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA) antara faktor lingkungan dengan spesies kumbang cerambycid yang terkoleksi di

cagar alam Pangandaran 16

11 Cerambycid yang terkoleksi dengan perangkap Artocarpus (AT) dan perangkap Ficus (FT): jumlah individu (a), jumlah spesies kumulatif (b) 17 12 Cerambycid yang terkoleksi dengan perangkap Artocarpus (AT) dan

Ficus (FT) di setiap lokasi: jumlah individu (a), dan jumlah spesies (b) 17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kunci Identifikasi untuk Subfamili Cerambycidae 25

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cagar alam Pangandaran merupakan kawasan konservasi yang berada di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Secara geografis cagar alam Pangandaran terletak pada 108° 40' BT dan 7° 43' LS. Kawasan ini memiliki topografi landai dan berbukit dengan ketinggian 0-75 m dpl. Pada awalnya kawasan hutan Pangandaran berstatus sebagai Suaka Margasatwa berdasarkan GB No. 19 Stbl. 669 tanggal 7 Desember 1934 dengan luas 497 Ha. Pada tahun 1961, di kawasan ini ditemukan bunga Rafflesia padma, sehingga kemudian statusnya diubah menjadi kawasan Cagar Alam berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.34/KMP/1961. Pada tahun 1978, sebagian wilayah cagar alam seluas 37.7 Ha yang berbatasan dengan pemukiman statusnya diubah menjadi taman wisata alam karena dinilai memiliki potensi yang dapat mendukung pengembangan pariwisata alam berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.170/Kpts/Um/3/1978 (Disparbud Jabar 2013).

Cagar alam Pangandaran merupakan salah satu kawasan hutan hujan yang sangat unik, karena berbentuk semenanjung dengan dikelilingi pantai di bagian barat dan timur. Kawasan hutan ini menjorok ke arah laut, sedikit terpisah dari daratan utama Kabupaten Pangandaran. Karena letaknya yang unik, kawasan cagar alam Pangandaran memiliki kekhasan flora dan fauna dataran rendah dengan pengaruh faktor lingkungan pantai yang cukup besar.

Salah satu bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya ialah serangga. Serangga memiliki beberapa nilai penting, diantaranya nilai ekologi, endemisme, konservasi, pendidikan, budaya, estetika, dan ekonomi (Little 1957). Coleoptera merupakan ordo yang memiliki keanekaragaman tinggi, yaitu sekitar 40% dari total serangga, dan diperkirakan 10% diantaranya terdapat di Indonesia. Kumbang memiliki dua pasang sayap, dengan pasangan sayap depan yang keras (elytra) yang menutupi sayap belakang yang berbentuk seperti membran (Borror et al. 1989). Kumbang dapat berperan sebagai herbivor, predator, fungivor, sumber makanan bagi organisme lain, serta berperan penting dalam siklus hara (Packham et al. 1992; Grove 2002).

Cerambycidae merupakan famili keenam terbesar dalam ordo Coleoptera (White 1983). Famili Cerambycidae terdiri atas delapan subfamili, yakni Parandrinae, Prioninae, Lepturinae, Spondylidinae, Necydalinae, Dorcasominae, Cerambycinae, dan Lamiinae (Heffern 2013). Cerambycidae merupakan kelompok kumbang yang mudah dikenal karena memiliki antena panjang, yang dapat mencapai lebih dari separuh panjang tubuhnya. Panjang antena pada kumbang betina dewasa dapat mencapai sepanjang tubuhnya, sedangkan pada kumbang jantan dewasa dapat mencapai dua kali atau lebih dari panjang tubuhnya (Noerdjito et al. 2003). Bentuk mata umumnya menakik (notched), yaitu mata mengelilingi pangkal antena. Bentuk tubuh biasanya memanjang, bersisi sejajar dengan panjang 3-73 mm. Formula tarsi terlihat 4-4-4, namun sebenarnya 5-5-5, karena ruas ke 4 sangat kecil dan tersembunyi (Borror et al. 1989).

(18)

2

atau pada celah pohon yang baru ditebang. Setelah telur menetas, larva cerambycid akan mengebor masuk ke dalam kayu (Noerdjito 2011). Sebagian besar larva cerambycid diketahui hidup sebagai pengebor kayu, terutama pada kayu mati, kayu yang sedang melapuk, dan beberapa pada kayu kering. Sebagian kecil larva cerambycid hidup pada cabang dan ranting tumbuhan yang sehat (Kalshoven 1981). Beberapa spesies larva cerambycid hidup sebagai pengebor pohon bambu dan berbagai tanaman rumput (Noerdjito et al. 2005). Fase dewasa kumbang ini hidup sebagai pemakan nektar, pucuk daun, dan kulit kayu (Noerdjito 2011).

La Mantia et al. (2010) melaporkan bahwa keanekaragaman spesies kumbang cerambycid yang ditemukan di suatu kawasan berkaitan dengan heterogenitas vegetasinya. Beberapa spesies kumbang cerambycid hanya ditemukan di kawasan hutan, dan beberapa spesies lainnya ditemukan di kawasan terbuka atau hutan terganggu (hutan tebangan, perubahan hutan menjadi agroforestri, hutan bekas kebakaran), sehingga struktur komunitas kumbang cerambycid di suatu kawasan adalah khas. Struktur kumbang cerambycid dapat digunakan sebagai bioindikator suatu kawasan hutan (Noerdjito et al. 2004).

Di Asia, sekitar 35.000 spesies kumbang cerambycid telah teridentifikasi dan sekitar 800 spesies dilaporkan dari hutan dataran rendah di Kalimantan Timur (Makihara 1999). Keanekaragaman kumbang cerambycid telah dilaporkan di beberapa kawasan di Jawa diantaranya 150 spesies di Taman Nasional Gunung Halimun (Makihara & Noerdjito 2002), 38 spesies di Taman Nasional Gunung Ciremai (Noerdjito 2008), 13 spesies di Kebun Raya Bogor (Noerdjito 2010), dan 38 spesies di Gunung Salak (Noerdjito 2012). Selain itu, keanekaragaman kumbang cerambycid juga dilaporkan di Sumatera, yaitu 72 spesies di Jambi (Fahri 2013). Koleksi kumbang cerambycid yang tersimpan di Museum Zoologicum Bogoriense (MZB), Pusat Penelitian Biologi, LIPI sekitar 1200 spesies yang terkoleksi dari berbagai wilayah di Indonesia (Makihara & Noerdjito 2004).

Penelitian mengenai kumbang cerambycid di kawasan cagar alam Pangandaran belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai kumbang cerambycid sebagai data awal untuk mengetahui tingkat keanekaragaman dan kelimpahannya.

Perumusan Masalah

(19)

3

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalis tingkat keanekaragaman dan kelimpahan kumbang cerambycid di kawasan cagar alam Pangandaran; (2) mengukur efektivitas penggunaan perangkap cabang Artocarpus dan perangkap cabang Ficus untuk koleksi kumbang cerambycid.

Manfaat Penelitian

(20)

4

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel kumbang cerambycid dilakukan pada bulan Mei 2014 di kawasan cagar alam Pangandaran, Jawa Barat. Pengambilan sampel kumbang dilakukan di 4 lokasi, yaitu 2 lokasi di kawasan taman wisata alam (TWA I dan TWA II) dan 2 lokasi di kawasan cagar alam (CA I dan CA II) (Gambar 1). Data koordinat dari setiap lokasi pengambilan sampel ditentukan menggunakan Global Positioning System (GPS) (Tabel 1).

Preservasi dan identifikasi spesimen dilakukan di Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong. Deskripsi dari masing-masing lokasi pengambilan sampel kumbang cerambycid ialah sebagai berikut:

a. Lokasi I: Taman Wisata Alam I (TWA I)

Lokasi TWA I berada di dekat pantai timur yang berbatasan dengan wilayah cagar alam. Lokasi ini memiliki kanopi tertutup dan terdapat banyak pohon tumbang dan kayu lapuk. Vegetasi yang dapat dijumpai, diantaranya ki buaya (Leea indica), kenanga (Cananga odorata), caruy (Pterospermum javanicum), ki kores (Physchotria viridiflora), ki minyak (Casearia sp.), dan jati (Tectona grandis) (Gambar 2a).

b. Lokasi II: Taman Wisata Alam II (TWA II)

Lokasi TWA II berada di dekat situs peninggalan sejarah Batu Kalde, melewati kawasan Goa Lanang dan Sumur Mudal. Lokasi ini memiliki kanopi tertutup, terdapat banyak pohon tumbang dan kayu lapuk. Vegetasi yang dapat dijumpai, diantaranya kondang (Ficus variegata), jati (T. grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), caruy (P. javanicum), hantap heulang (Sterculia coccinea), dan jambu alas (Syzygium densiflora) (Gambar 2b).

c. Lokasi III: Cagar Alam I (CA I)

Lokasi ini merupakan kawasan terbuka dengan topografi sedikit berbukit. Vegetasi yang dapat dijumpai, diantaranya jati (T. grandis), beringin (Ficus benjamina), seruni (Chrysanthemum indicum), ki hujan (Samanea saman), singkil (Premna spp.), sembung (Blumea balsamifera), kelepu (Nauclea orientalis), kiara (Ficus microcarpa), dan salam (Eugenia polyantha). Di kawasan ini juga banyak ditemukan vegetasi perdu (Gambar 2c).

d. Lokasi IV: Cagar Alam II (CA II)

(21)

5

Gambar 1 Lokasi penelitian di kawasan taman wisata alam dan cagar alam Pangandaran: Taman Wisata Alam I (I), Taman Wisata Alam II (II), Cagar Alam I (III), Cagar Alam II (IV).

Tabel 1 Titik koordinat dan ketinggian lokasi pengambilan sampel kumbang cerambycid di cagar alam Pangandaran

Lokasi Titik Koordinat Ketinggian

(m dpl) Taman Wisata Alam I 07° 42' 43.0'' LS

108° 39' 73.0'' BT 37

Taman Wisata Alam II 07° 42' 41.2'' LS

108° 39' 60.2'' BT 43

Cagar Alam I 07° 42' 64.8'' LS

108° 39' 36.3'' BT 65

Cagar Alam II 07° 42' 50.4'' LS

108° 39' 14.6'' BT 23

(22)

6

Gambar 2 Lokasi pengambilan sampel kumbang cerambycid: Taman Wisata Alam I (a), Taman Wisata Alam II (b), Cagar Alam I (c), dan Cagar Alam II (d).

Koleksi Kumbang Cerambycid

Koleksi kumbang cerambycid dilakukan dengan menggunakan perangkap cabang tumbuhan nangka (Artocarpus heterophyllus) dan cabang tumbuhan awar-awar (Ficus septica). Perangkap cabang ini digunakan sebagai penarik kehadiran kumbang cerambycid. Perangkap cabang Artocarpus dan Ficus ini berupa seikat cabang tumbuhan (5 cabang beserta daunnya, dengan panjang sekitar 1 m) diikatkan pada cabang pohon atau batang kayu pada ketinggian ±1.5 m dari permukaan tanah dan dibiarkan sampai layu untuk menarik kehadiran kumbang cerambycid (Noerdjito et al. 2003). Di setiap lokasi, dipasang 10 perangkap Artocarpus dan 10 perangkap Ficus. Pemasangan perangkap dilakukan secara sistematik, yang dipasang berselang-seling antara perangkap Artocarpus dan perangkap Ficus. Jarak antar perangkap sekitar 50 m (Gambar 3).

Koleksi sampel dilakukan pada hari ke 3, ke 6, ke 9, dan ke 12 setelah pemasangan perangkap. Koleksi sampel dilakukan dengan metode beating, yaitu menggoyangkan atau memukul perangkap dengan dialasi penadah kain putih berukuran 2m x 1m di bagian bawahnya. Kumbang cerambycid yang terjatuh ke penadah, kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel yang telah ditetesi dengan

(a) (b)

(23)

7 ethyl acetat (Gambar 4). Kumbang yang telah dibius, kemudian disimpan untuk di proses menjadi koleksi kering.

Gambar 3 Skema pemasangan perangkap di setiap lokasi pengambilan sampel di cagar alam Pangandaran. AT=Artocarpus trap, FT=Ficus trap.

Gambar 4 Koleksi kumbang cerambycid: perangkap Artocarpus (a), perangkap Ficus (b), koleksi kumbang dengan metode beating (c), spesimen kumbang dalam botol sampel (d).

Preservasi Kumbang Cerambycid

Preservasi spesimen kumbang dilakukan dengan metode standar (Borror 1989). Metode preservasi ini mencegah adanya kerusakan pada spesimen yang akan menyulitkan dalam proses identifikasi. Preservasi kumbang cerambycid dilakukan dengan pinning dan labelling. Pinning dilakukan dengan cara

(a)

(d) (c)

(24)

8

menusukkan jarum pada bagian elytra sebelah kanan. Pinning dilakukan untuk kumbang yang berukuran lebih dari 10 mm. Kumbang yang berukuran kurang dari 10 mm ditempelkan pada point card. Penggunaan point card dilakukan dengan cara menyentuhkan lem pada ujung point card kemudian disentuhkan pada bagian toraks sebelah kiri, dengan kepala menghadap ke depan. Setelah pinning, dilanjutkan dengan proses labelling yang meliputi lokasi, waktu koleksi, metode koleksi, dan nama kolektor. Spesimen kumbang kemudian dimasukkan ke dalam oven selama satu minggu, lalu dimasukkan ke dalam freezer selama satu minggu. Selanjutnya spesimen dibawa ke ruang koleksi untuk proses identifikasi.

Identifikasi Kumbang Cerambycid

Spesimen diidentifikasi hingga tingkat genus berdasarkan Cherepanov (1990). Cerambycidae diidentifikasi hingga tingkat spesies berdasarkan Makihara & Noerdjito (2002), Noerdjito et al. (2004), dan membandingkan dengan koleksi spesimen yang terdapat di Museum Zoologicum Bogoriense (MZB), LIPI. Semua spesimen kumbang cerambycid yang telah diidentifikasi disimpan di MZB, LIPI.

Karakter yang diamati pada tingkat subordo adalah metakoksa membagi atau tidak membagi ruas pertama abdomen (Gambar 5). Karakter yang diamati pada tingkat famili adalah ada tidaknya sutura notopleural, elytra menutup atau tidak menutup abdomen, panjang antena kurang atau lebih dari separuh panjang tubuh, mata utuh atau berlekuk mengelilingi pangkal antena (Gambar 6).

(25)

9

Gambar 6 Morfologi Cerambycidae yang digunakan untuk identifikasi: sisi dorsal (a), sisi ventral (b). ma=mata, pa=pangkal antena, lt=lateral tubercle, prn=pronotum, ant=antena, el=elytra, esu=elytra sutura, eap=elytra apeks, sku=skutelum, fm=femur, tb=tibia, tr=tarsus, tor=toraks,

kp=kepala, ab=abdomen, md=mandibula, ks1=prokoksa, ks2=mesokoksa, ks3=metakoksa, s1-5=sklerit 1-5.

Pengukuran Faktor Lingkungan

Di setiap lokasi pengamatan dilakukan pengukuran parameter lingkungan, meliputi suhu udara (˚C), kelembaban (%), kecepatan angin (m/s), dan intensitas cahaya (lux). Selain itu, di setiap lokasi juga diamati mengenai jenis vegetasi yang dominan, penutupan tajuk, dan keberadaan kayu lapuk dan membusuk.

Analisis Data

Spesies kumbang cerambycid yang terkoleksi dianalisis dengan menghitung indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H'), indeks kemerataan (E), dan indeks dominansi (D) (Magurran 1988). Komposisi spesies kumbang cerambycid antar lokasi dianalisis dengan indeks kesamaan Bray-Curtis (Bray & Curtis 1957), dan dibuat dalam bentuk matriks dan dendogram dengan menggunakan program Paleontological Statistics (PAST) versi 1.93. Indeks kesamaan Bray-Curtis dianalisis untuk mempelajari kemiripan komunitas kumbang cerambycid antar lokasi pengamatan. Hubungan antara lokasi pengamatan, spesies, dan faktor

(26)

10

lingkungan dianalisis menggunakan Canonical Correspondence Analysis (CCA) dalam program PAST versi 1.93. Rumus-rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H')

Indeks keanekaragaman menunjukkan kekayaan spesies dalam suatu komunitas dan memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian jumlah per individu per spesies.

ni : jumlah individu spesies ke-i N : jumlah individu total

2. Indeks Kemerataan (E)

Indeks kemerataan menunjukkan komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas.

Indeks dominansi menunjukkan ada atau tidaknya spesies yang mendominasi spesies lainnya dalam suatu komunitas.

D = Pi ² Keterangan:

D : indeks dominansi Pi : ni/N

ni : jumlah individu spesies ke-i N : jumlah individu total

4. Indeks Kesamaan Bray-Curtis

Indeks kesamaan Bray-Curtis menunjukkan tingkat kemiripan komunitas antar lokasi pengamatan.

=� +�2� Keterangan:

BC : indeks kesamaan Bray-Curtis Si : jumlah spesies pada lokasi i Sj : jumlah spesies pada lokasi j Cij : jumlah spesies yang sama

(27)

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Keadaan Umum Kawasan Cagar Alam Pangandaran

Kondisi lingkungan di kawasan cagar alam Pangandaran selama pengambilan sampel kumbang cerambycid memiliki suhu berkisar 30°C-32°C, kelembaban berkisar 70%-80%. Kecepatan angin dan intensitas cahaya di lokasi CA I (1,3 m/s dan 4306,5 lux) lebih tinggi dibandingkan ketiga lokasi lainnya, karena lokasi CA I merupakan kawasan terbuka (Tabel 2).

Tabel 2 Parameter lingkungan di kawasan cagar alam Pangandaran

Parameter Satuan Lokasi

Keterangan: TWA = taman wisata alam, CA = cagar alam

Keanekaragaman dan Kelimpahan Kumbang Cerambycid

Kumbang cerambycid yang terkoleksi dari empat lokasi pengamatan sebanyak 574 individu, yang termasuk dalam satu subfamili, 8 tribe, 12 genus, dan 20 spesies. Semua cerambycid yang terkoleksi termasuk dalam subfamili Lamiinae. Genus yang paling banyak terkoleksi di kawasan cagar alam Pangandaran ialah Sybra dan Pterolophia (masing-masing 5 spesies dan 4 spesies). Jumlah spesies cerambycid tertinggi (17 spesies) terkoleksi dari lokasi TWA I dan terendah di CA I (9 spesies). Di lokasi TWA II dan lokasi CA II masing-masing terkoleksi 11 spesies dan 13 spesies (Tabel 3).

Komposisi spesies kumbang cerambycid yang ditemukan di empat lokasi pengamatan bervariasi. Spesies yang dominan di semua lokasi pengamatan ialah Sybra binotata, Nyctimenius javanus, dan Pterolophia melanura. Spesies lain yang juga dominan namun tidak ditemukan di kawasan terbuka (CA I) ialah Acalolepta rusticatrix, Cacia curta, Gnoma confusa, dan Pterolophia triangularis. Selain itu, juga terdapat spesies yang hanya terkoleksi di satu lokasi pengamatan, diantaranya Cereopsius javanus (TWA I), S. lateralis (CA I), S. obliquefasciata (CA II), dan Exocentrus artocarpi (CA II) dengan kelimpahan individu yang sangat rendah (1-2 individu).

(28)

12

Tabel 3 Spesies kumbang cerambycid yang terkoleksi di empat lokasi dengan menggunakan perangkap Artocarpus dan perangkap Ficus

Subfamili Tribe

Genus (spesies)

Taman Wisata Alam Cagar Alam

(29)

13

Gambar 7 Spesies cerambycid yang terkoleksi di kawasan cagar alam Pangandaran: A. rusticatrix (a), E. luscus (b), M. javanicus (c), C. javanus (d) (tribe Monochamini), C. curta (e), C. herbaceae (f) (tribe Mesosini), G. confusa (g) (tribe Gnomini), N. javanus (h) (tribe Nyctimeniini), E. artocarpi (i) (tribe Acanthocinini), P. vittata (j) (tribe Agapanthiini).

a

1 cm

b

1 cm

d

1 cm

c

1 cm

e

0.5 cm

f

0.5 cm

g

1 cm

h

0.5 cm

i

0.3 cm

j

(30)

14

Gambar 8 Spesies cerambycid yang terkoleksi di kawasan cagar alam Pangandaran: A. bacillina (a), S. alternans (b), S. fuscotriangularis (c), S. lateralis (d), S. binotata (e), S. obliquefasciata (f) (tribe Apomecynini), P. uniformis (g), P. triangularis (h), P. melanura (i), P. secuta (j) (tribe Pteropliini).

i

0.5 cm

j

0.5 cm

a

0.3 cm

b

0.3 cm

c

0.3 cm

d

0.3 cm

e

0.3 cm

f

0.3 cm

g

0.5 cm

h

(31)

15 Keanekaragaman dan kemerataan spesies kumbang cerambycid tertinggi ditemukan pada lokasi TWA I (H'=2.09, E=0.74) dan terendah di lokasi CA I (H'=1.52). Keanekaragaman spesies di lokasi TWA II dan lokasi CA II relatif sama (H'=1.70 dan H'=1.75) (Tabel 4).

Tabel 4 Indeks keanekaragaman (H'), kemerataan (E), dan dominansi (D) kumbang cerambycid di kawasan cagar alam Pangandaran

Indeks TWA I TWA II CA I CA II

H' 2.09 1.70 1.52 1.75

E 0.74 0.71 0.69 0.68

D 0.20 0.25 0.28 0.28

Keterangan: TWA = taman wisata alam, CA = cagar alam

Berdasarkan indeks kesamaan Bray-Curtis, kesamaan komunitas kumbang cerambycid antar lokasi pengamatan berkisar 0.34-0.81 (Tabel 5). Kumbang A. rusticatrix, G. confusa, dan N. javanus mendominasi di lokasi TWA I dan TWA II. Cerambycid yang paling banyak terkoleksi di lokasi CA II ialah A. rusticatrix, G. confusa, S. obliquefasciata, dan E. artocarpi, sedangkan cerambycid yang banyak terkoleksi di lokasi CA I ialah A. bacillina, S. alternans, S. lateralis, S. binotata, P. uniformis, dan P. melanura. Berdasarkan dendogram, kesamaan komunitas yang paling tinggi adalah antara lokasi TWA I dan TWA II, sedangkan komunitas cerambycid di lokasi CA I terpisah (Gambar 9).

Tabel 5 Matriks kesamaan komunitas kumbang cerambycid antar lokasi di kawasan cagar alam Pangandaran

Keterangan: TWA = taman wisata alam, CA = cagar alam

(32)

16

Kehadiran kumbang cerambycid di suatu kawasan dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Kecepatan angin dan intensitas cahaya berpengaruh besar terhadap distribusi spesies A. bacillina, S. lateralis, dan P.melanura di lokasi CA I. Distribusi spesies E. luscus lebih dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Kumbang S. binotata dapat ditemukan di semua lokasi pengamatan. Kelembaban tidak berpengaruh signifikan terhadap distribusi spesies cerambycid di kawasan cagar alam Pangandaran (Gambar 10).

Gambar 10 Hasil analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA) antara faktor lingkungan dengan spesies kumbang cerambycid yang terkoleksi di cagar alam Pangandaran.

Efektivitas Penggunaan Perangkap Artocarpus dan Perangkap Ficus

Kumbang cerambycid yang terkoleksi pada perangkap Artocarpus (342 individu) lebih banyak dibandingkan perangkap Ficus (232 individu). Dari 20 spesies yang terkoleksi, 12 spesies terkoleksi pada kedua perangkap dan delapan spesies (C. javanus, C. curta, C. herbaceae, S. fuscotriangularis, S. lateralis, S. obliquefasciata, P. secuta, dan E. artocarpi) hanya terkoleksi pada perangkap Artocarpus.

(33)

17

(a)

(a) (b)

Gambar 11 Cerambycid yang terkoleksi dengan perangkap Artocarpus (AT) dan perangkap Ficus (FT): jumlah individu (a), jumlah spesies kumulatif (b).

Di semua lokasi, jumlah individu yang terkoleksi pada perangkap Artocarpus lebih banyak dibandingkan pada perangkap Ficus (Gambar 12a). Dari total 20 spesies, sebanyak delapan spesies terkoleksi pada perangkap Artocarpus dan 12 spesies terkoleksi pada dua macam perangkap. Semua spesies yang terkoleksi pada perangkap Ficus juga terkoleksi pada perangkap Artocarpus (Gambar 12b).

Gambar 12 Cerambycid yang terkoleksi dengan perangkap Artocarpus (AT) dan Ficus (FT) di setiap lokasi: jumlah individu (a), dan jumlah spesies (b).

Pembahasan

Kelimpahan Kumbang Cerambycid di Cagar Alam Pangandaran

(34)

18

Larva cerambycid yang berukuran kecil umumnya lebih tertarik pada cabang atau ranting tumbuhan yang berukuran kecil. Kvamme & Wallin (2011) melaporkan bahwa kumbang Stenostola ferrea yang memiliki ukuran 8-14 mm menyukai tanaman Tilia spp. sebagai tanaman inang yang memiliki diameter cabang dan ranting berukuran 1-20 cm. Maeto et al. (2002) juga melaporkan ukuran diameter pohon berpengaruh terhadap keanekaragaman kumbang cerambycid di suatu habitat. Kelimpahan spesies cerambycid di suatu kawasan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kondisi habitat, ketersediaan tumbuhan berkayu, musuh alami, dan faktor lingkungan.

Spesies A. bacillina banyak terkoleksi di lokasi terbuka (CA I). Menurut Noerdjito et al. (2009), spesies ini merupakan spesies indikator hutan terganggu, karena biasanya spesies ini banyak ditemukan di kawasan hutan terbuka atau hutan terganggu akibat penebangan, kebakaran, dan alih fungsi kawasan. Spesies A.rusticatrix dan E.luscus lebih banyak terkoleksi di lokasi TWA I dan TWA II. Menurut Noerdjito et al. (2009), spesies tersebut merupakan indikator untuk hutan alam, karena kumbang ini banyak ditemukan di kawasan hutan primer atau hutan sekunder. Menurut Tscharntke et al. (2002), spesies yang berukuran besar lebih rentan terhadap kerusakan habitat dibandingkan dengan yang berukuran kecil, karena spesies berukuran besar bereproduksi lebih lambat dan membutuhkan energi yang lebih banyak. Beberapa spesies kumbang cerambycid juga diketahui sebagai hama tanaman, seperti Plocaederus ferrugineus yang menjadi hama tanaman jambu mete (Asogwa et al. 2009), Rhytidodera integra dan Palimna annulata sebagai hama tanaman mangga (Amirullah et al. 2014).

Keanekaragaman Kumbang Cerambycid di Cagar Alam Pangandaran

Kumbang cerambycid yang terkoleksi dari kawasan cagar alam Pangandaran terdiri atas satu subfamili Lamiinae, 12 genus, dan 20 spesies. Subfamili Laminae memiliki ciri morfologi posisi muka datar dan bentuk pronotum yang sedikit menyempit dari dasar elytra (Borror et al. 1989). Subfamili Lamiinae merupakan kelompok kumbang yang besar, mencakup berbagai genus dengan warna dan ukuran yang beragam. Di Asia Tenggara, kumbang Lamiinae telah teridentifikasi sekitar 180 genus, dan masih banyak yang belum teridentifikasi (Fah 2010). Umumnya, kumbang cerambycid ini tertarik pada cabang dan ranting mati (Kalshoven 1981). Kelompok Lamiinae merupakan cerambycid yang aktif di siang hari. Kelompok ini juga diketahui tertarik dengan tumbuhan Artocarpus. Makihara (1999) melaporkan sebanyak 279 spesies kumbang cerambycid dari subfamili Lamiinae dikoleksi di Kalimantan Timur, 38 spesies diantaranya ditemukan pada tumbuhan Artocarpus sebagai tumbuhan inangnya.

(35)

19 Keanekaragaman spesies cerambycid tertinggi terdapat di lokasi TWA I. Lokasi ini didominasi oleh vegetasi pohon besar, tutupan tajuk rapat, dan terdapat banyak pohon tumbang yang melapuk. Batang kayu dan ranting lapuk merupakan habitat bagi larva cerambycid, sehingga lokasi ini sangat mendukung kehadiran kumbang cerambycid. Menurut Noerdjito et al. (2003), kumbang cerambycid memiliki ketergantungan dengan kayu mati dan sensitif dengan kondisi hutan. Hal ini juga sesuai dengan laporan Fellin (1980), bahwa larva kumbang cerambycid memakan kayu mati dan berperan penting dalam proses pelapukan. Spesies yang dominan di lokasi TWA I, diantaranya A. rusticatrix, G. confusa, S. binotata, N. javanus, dan P. vittata. Kumbang A. rusticatrix, G. confusa, dan P. vittata merupakan cerambycid yang berukuran besar (> 10 mm). Larva kumbang cerambycid yang berukuran besar biasanya lebih memilih cabang atau ranting kayu yang besar untuk meletakkan telur dan perkembangan larvanya.

Keanekaragaman kumbang cerambycid terendah ditemukan di lokasi CA I. Lokasi CA I merupakan kawasan terbuka dengan intensitas cahaya dan kecepatan angin yang tinggi. Oleh karena itu, hanya beberapa spesies kumbang cerambycid yang mampu beradaptasi pada habitat tersebut. Perbedaan kondisi lingkungan di setiap habitat dapat berpengaruh terhadap pola sebaran vegetasi, sehingga akan mempengaruhi kemerataan spesies kumbang cerambycid (Amirullah et al. 2014). Spesies yang dominan di lokasi CA I ialah A. bacillina, S. binotata, S. alternans, P. uniformis, dan P. melanura yang merupakan cerambycid berukuran kecil. Menurut (Noerdjito 2010), spesies tersebut diketahui mampu beradaptasi pada daerah terbuka. Di lokasi CA I ditemukan beberapa vegetasi perdu yang memiliki cabang dan ranting berukuran kecil. Vegetasi tersebut kemungkinan menjadi tanaman inang untuk beberapa spesies cerambycid. Sesuai dengan laporan Noerdjito (2011), beberapa spesies kumbang cerambycid akan memilih spesies pohon atau semak yang berbeda sebagai tanaman inangnya.

Lokasi TWA I dan lokasi TWA II memiliki kesamaan spesies tertinggi. Sebelas spesies terkoleksi dari lokasi TWA I dan TWA II, yaitu A. rusticatrix, M. javanicus, C. curta, C. herbaceae, G. confusa, S. binotata, N. javanus, P. uniformis, P. triangularis, P. melanura, dan P. vittata. Lokasi TWA I dan TWA II memiliki karakteristik habitat yang relatif sama, yakni didominasi vegetasi pohon besar, tutupan tajuk yang rapat, serta banyak ditemukan kayu dan ranting lapuk.

Spesies kumbang cerambycid yang ditemukan di kawasan cagar alam Pangandaran memiliki kesamaan dengan hasil penelitian di beberapa kawasan di Jawa. Dari 20 spesies yang ditemukan, delapan spesies (A. rusticatrix, A. bacillina, E. luscus, P. melanura, P. uniformis, S. binotata, S. fuscotriangularis, dan S. obliquefasciata) juga ditemukan di Gunung Salak (Noerdjito 2012), dan enam spesies (A. rusticatrix, E. luscus, P. vittata, P. melanura, S. binotata, dan S. fuscotriangularis) juga ditemukan di Gunung Slamet (Noerdjito 2011). Selain itu, enam spesies (A. rusticatrix, E. luscus, A. bacillina, S. lateralis, P. melanura, dan P. secuta) juga ditemukan di Jambi (Fahri 2013). Spesies A. rusticatrix, N. javanus, dan P. melanura dapat ditemukan dibeberapa kawasan, tersebar dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Menurut Noerdjito (2010), spesies tersebut diketahui mampu hidup di berbagai tipe habitat dan mempunyai sebaran yang luas.

(36)

20

spesies yang mampu beradaptasi. Letak kawasan juga dapat menjadi faktor pembatas untuk distribusi beberapa spesies cerambycid. Menurut Tantowijaya (2008), serangga yang hidup di dataran rendah mempunyai ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan serangga yang hidup di dataran tinggi. Hal ini terjadi karena adanya plastisitas morfologi. Selain ketinggian habitat, distribusi kumbang cerambycid juga dapat dipengaruhi oleh keanekragaman vegetasi dan kondisi mikroklimat. Suhu dan kelembaban udara dapat menentukan komposisi spesies kumbang di suatu habitat (Errouissi et al. 2004; Smith & Smith 2006).

Spesies cerambycid yang terkoleksi di cagar alam Pangandaran masih termasuk dalam cerambycid yang umum ditemukan di Jawa. Namun, karena pada penelitian ini baru dilakukan koleksi di sebagian wilayah cagar alam Pangandaran, maka kemungkinan masih dapat terkoleksi spesies lain yang belum pernah tercatat sebelumnya. Dari 20 spesies yang ditemukan, tujuh spesies (M. javanicus, C. curta, S. obliquefasciata, S. fuscotriangularis, P. triangularis, N. javanus, dan E. artocarpi) merupakan cerambycid yang hanya terdistribusi di Jawa (Bezark 2015).

Efektivitas Penggunaan Perangkap Artocarpus dan Perangkap Ficus

Dari 20 spesies yang terkoleksi, 12 spesies terkoleksi dari kedua perangkap dan delapan spesies terkoleksi pada perangkap Artocarpus. Cerambycid yang terkoleksi pada perangkap Artocarpus didominasi oleh spesies berukuran kecil. Spesies kumbang cerambycid pada perangkap juga dipengaruhi oleh ukuran cabang atau ranting yang digunakan. Cabang dan daun Artocarpus yang digunakan berukuran relatif lebih kecil dibandingkan cabang dan daun perangkap Ficus, sehingga lebih banyak menarik spesies cerambycid berukuran kecil. Noerdjito et al. (2011) melaporkan bahwa larva cerambycid yang berukuran besar dapat menggerek dan mengebor batang kayu, sedangkan spesies yang kecil biasanya lebih memilih mengebor cabang dan ranting pohon yang lebih kecil.

(37)

21

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Di kawasan cagar alam Pangandaran terkoleksi 20 spesies kumbang cerambycid yang didominasi oleh cerambycid berukuran kecil, yaitu Sybra dan Pterolophia. Keanekaragaman spesies cerambycid tertinggi terdapat di kawasan taman wisata alam I yang memiliki karakteristik habitat banyak kayu dan ranting lapuk, serta tutupan tajuk yang rapat. Keanekaragaman spesies cerambycid terendah terdapat di lokasi cagar alam I yang merupakan kawasan terbuka. Kelimpahan cerambycid tertinggi terdapat di kawasan cagar alam I yang didominasi oleh spesies S. binotata. Spesies yang dominan di semua lokasi pengamatan ialah S. binotata, N. javanus, dan P. melanura. Perbedaan keanekaragaman dan kelimpahan kumbang cerambycid di setiap lokasi pengamatan merupakan respon terhadap kondisi habitat di kawasan cagar alam Pangandaran. Di kawasan cagar alam Pangandaran, terkoleksi tujuh spesies cerambycid yang hanya terdistribusi di Jawa, yaitu M. javanicus, C. curta, S. obliquefasciata, S. fuscotriangularis, P. triangularis, N. javanus, dan E. artocarpi. Cerambycid yang terkoleksi di cagar alam Pangandaran masih tergolong cerambycid yang umum di Jawa. Penggunaan perangkap cabang Artocarpus lebih efektif dibandingkan perangkap cabang Ficus dalam koleksi kumbang cerambycid.

Saran

(38)

22

DAFTAR PUSTAKA

Amirullah, Ariani C, Suriana. 2014. Keanekaragaman kumbang Cerambycidae (Coleoptera) di kawasan Gunung Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Biowallacea. 1(1):16-24.

Asogwa EU, Eva HD, Stibig HJ, Mayaux P, Gallego J, Richards T, Malingreau JP. 2009. Determination of deforestation rates of the world’s humid tropical forests. Science. 297: 999-1002.

Bezark LG. 2015. A photographic catalog of the Cerambycidae of the world [Internet]. [diunduh 1 April 2015]. Tersedia pada: https://apps2.cdfa.ca.gov/ publicApps/plant/bycidDB/wdefault.asp?w=o

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1989. An Introduction to The Study of Insects. Amerika (US): Saunders College Publishing.

Bray JR, Curtis JT. 1957. An ordination of the upland forest communities of Southern Wisconsin. Ecol Monographs. 27: 325-349.

Chen H, Ota A, Fonsah GE. 2001. Infestation of Sybra alternans (Cerambycidae: Coleoptera) in Hawaii Banana Plantation. Proc Hawaiian Entomol Soc. 35:119-122.

Cherepanov AI. 1990. Cerambycidae of Northern Asia. Dhote AK, penerjemah; Kothekar VS, editor. New Delhi (IN): Amerind Publishing Co. Pvt. Ltd. Terjemahan dari: Usachi Severnoi Azii (Lamiinae). Volume ke-3 Part I. [DISPARBUD JABAR]. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat. 2013.

Cagar Alam Pananjung. [Internet]. [diunduh 06 Maret 2015]. Tersedia pada: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-et.php?id=594&lang=id Errouissi FS, Haloti PJ, Robert AJ, Idrissi, Lumaret JP. 2004. Effects of the

attractiveness for dung beetles of dung pat origin and size along a climate gradient. Environ Entomol. 33(1): 45-53.

Fah CL. 2010. Introduction of longhorn beetle. Subfamily lamiinae. Longhorn beetles of Singapore. [Internet]. [diunduh 11 Februari 2015]. Tersedia pada: http://www.singaporeinsects.com/references.htm

Fahri. 2013. Keanekaragaman dan kelimpahan kumbang cerambycid (Coleoptera: Cerambycidae) pada empat tipe penggunaan lahan di Jambi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Fellin DG. 1980. A review of some interactions between harvesting, residue management, fire, and forest insects and diseases. In: Environmental consequences of timber harvesting in Rocky Mountain coniferous forests. Symposium proceedings. General Technical Report INT-90, 11-13 September 1979, Department of Agriculture, Forest Service, Ogden (US), 335-414.

Grove SJ. 2002. Saproxylic insect ecology and the sustainable management of forests. Annu Rev Ecol Syst. 33: 1-23.

Hanks LM, Millar JG, Paine TD. 1998. Dispersal of the Eucalyptus longhorned borer (Coleoptera: Cerambycidae) in urban landscapes. Environ Entomol. 27: 1418-1424.

(39)

23 from the rain forests of Papua New Guinea and Irian Jaya. Spixiana. 15: 253-260.

Heffern DJ. 2013. A Catalog and Bibliography of Longhorned Beetles from Borneo (Coleoptera: Cerambycidae, Disteniidae and Vesperidae) [bibliografi]. Electronic Version, 2013.1.

Kalshoven LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. Jakarta (ID): PT Ichtiar Baru-Van Hoeve.

Kvamme T, Wallin H. 2011. The genus Stenostola Dejean, 1835 (Coleoptera: Cerambycidae) in Norway, with a review of the biology and the distribution in Fennoscandia. Nor J Entomol. 58: 93-108.

La Mantia T, Bellavista M, Giardina G, Sparacio I. 2010. Longhorn beetles of the Ficuzza (W Sicily, Italy) and their relationship with plant diversity. Biodiv J. 1(1-4): 15-44.

Little FA. 1957. General and Applied Entomology. Texas (US): Texas University. Maeto K, Sato S, Miyata H. 2002. Species diversity of longicorn beetles in humid warm-temperate forests: the impact of forest management practices on old-growth forest species in southwestern Japan. Biodiv and Conserv. 11: 1919-1937.

Magurran AE. 1988. Ecologycal Diversity and Its Measurements. New Jersey (US): Princeton University Pr.

Makihara H. 1999. Atlas of longicorn beetles in Bukit Soeharto Education Forest, Mulawarman University, East Kalimantan, Indonesia. Pusrehut Special Publication. 7: 1-40.

Makihara H, Noerdjito WA. 2002. Longicorn beetles from Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia from 1997-2002 (Coleoptera: Disteniidae and Cerambycidae). Bulletin of the FFPRI. 1: 189-223.

Makihara H, Noerdjito WA. 2004. Longicorn beetles of Museum Zoologicum Bogoriense, identified by Dr. E. F. Gilmour, 1963 (Coleoptera: Distenidae and Cerambycidae). Bulletin of the FFPRI. 31: 49-98.

Noerdjito WA, Makihara H, Sugiharto. 2003. How to find outindicated cerambycid spesies for forest condition status and case of Gunung Halimun National Park, West Java and Bukit Bingkarai Forest, East Kalimantan. Proc. Int. Workshop on The Landscape Level Rehabilitation of Degraded Tropical Forest, 18-19 Feb. 2003, FFPRI, Tsukuba, Japan, pp.57-60.

Noerdjito WA, Makihara H, Sugiharto. 2004. Differences and features of Cerambycid fauna with fragmen of primary, secondary and degraded forest in landscape affected by human impacts and fire and disturbance, East Kalimantan, Indonesia. Proc. Int. Workshop on The Landscape Level Rehabilitation of Degraded Tropical Forest, 2-3 March 2004, FFPRI, Tsukuba, Japan, pp.63-67.

Noerdjito WA, Makihara H, Matsumoto K. 2005. Longicorn beetle fauna (Coleoptera, Cerambycidae) collected from Friendship Forest at Sekaroh, Lombok. Proc. Int. Workshop on The Landscape Level Rehabilitation of Degraded Tropical Forest, 22-23 February, 2005, FFPRI, Tsukuba, Japan, pp. 55-64.

(40)

24

Noerdjito WA, Makihara H, Sugiharto. 2009. Evaluation of various forest conditions based on longhorn beetles (Coleoptera: Cerambycidae) as bio-indicators in east Kalimantan. CDM Plantation and Biodiversity (Tsukuba, 24 February 2009). pp.31-39. FFPRI, Tsukuba: Japan.

Noerdjito WA. 2010. Arti kebun raya Bogor bagi kehidupan kumbang antena panjang (Coleoptera, Cerambycidae). J Biol Indon. 6(2): 289-292.

Noerdjito WA. 2011. Evaluasi kondisi hutan berdasarkan keragaman kumbang antena panjang (Coleoptera, Cerambycidae) di kawasan Gunung Slamet. Berita Biologi. 10(4):521-531.

Noerdjito WA. 2012. Dampak kegiatan manusia terhadap keragaman dan pola distribusi kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae di Gunung Salak, Jawa Barat. J Biol Indones. 8(1): 57-69.

Packham JR, Harding DJL, Hilton GM, Stuttard RA. 1992. Functional Ecology of Woodlands and Forests. London (UK): Chapman Hall.

Smith TM, Smith RL. 2006. Element of Ecology, Sixth Edition. San Fransisco (US): Person Education Inc.

Tantowijaya W. 2008. Altitudinal distribution of two invasive leafminers, Liriomyza huidobrensis Blanchard and L. sativae Blanchard (Diptera: Agromyzydae) in Indonesia [tesis]. Melbourne (AUS): The University of Melbourne.

Tscharntke T, Dewenter IS, Kruess A, Thies C. 2002. Characteristics of insect populations on habitat fragments: A mini review. Ecological Research. 17: 229-239.

(41)

25 Lampiran 1 Kunci Identifikasi untuk Subfamili Cerambycidae

Famili Cerambycidae termasuk ke dalam subordo Polyphaga. Subordo Polyphaga memiliki karakter yang dicirikan dengan metakoksa tidak membagi ruas pertama abdomen, sehingga sklerit 1-5 terlihat jelas. Famili Cerambycidae memiliki karakteristik berupa elytra yang menutupi abdomen, tidak terdapat sutura notopleural di prosternum, panjang antena lebih dari separuh panjang tubuh, dan memiliki bentuk mata berlekuk yang mengelilingi antena. Pada penelitian ini teridentifikasi satu subfamili Lamiinae. Berikut adalah kunci identifikasi hingga tingkat subfamili (modifikasi Cherepanov 1990):

Kunci Identifikasi untuk Subfamili

1a Tarsi terlihat jelas 5 ruas, ruas yang keempat jelas terlihat ………. 2 1b Tarsi tampak 4 ruas, ruas yang keempat sangat kecil dan tersembunyi di

dalam lekuk ruas ketiga yang membesar ………... 3 2a Pronotum dengan tepi lateral tidak membulat, ruas tarsus yang ketiga

bagian tepi melekuk, berwarna coklat mengkilat ……… Parandrinae 2b Pronotum dengan tepi lateral membulat, ruas tarsus yang ketiga membesar,

berwarna kehitaman …...……… Spondylinae 3a Pronotum dengan tepi lateral tidak membulat, koksa depan tidak berbentuk

membulat .……….…... Prioninae 3b Pronotum dengan tepi lateral membulat, koksa depan berbentuk membulat

atau kerucut ………... 4 4a Ruas palpus maksila yang terakhir tumpul di bagian ujung, posisi muka

miring ke depan ……….... 5 4b Ruas palpus maksila yang terakhir meruncing di bagian ujung, posisi

muka vertikal dan miring ke belakang ………..…….. Lamiinae

Subfamili Lamiinae

Karakter subfamili ini adalah posisi muka tegak lurus dan agak miring ke belakang, ruas terakhir palpus maksila berbentuk lancip di bagian ujungnya, bagian lateral pronotum membulat dan sedikit menyempit dari dasar elytra, bentuk tubuh silindris dan bersisi sejajar, tarsi tampak 4 ruas, ruas yang keempat sangat kecil dan tersembunyi di dalam lekuk ruas ketiga yang membesar, dan koksa depan berbentuk membulat atau kerucut.

Lampiran 2 Deskripsi Morfologi Spesies Cerambycidae

Pada penelitian ini teridentifikasi delapan tribe, 12 genus, dan 20 spesies. Berikut adalah deskripsi morfologi dari spesies kumbang cerambycid yang terkoleksi:

Tribe Monochamini

Acalolepta rusticatrix

(42)

26

atau seperti tombol) yang cukup besar, skutelum kecil dengan ujung meruncing, skutelum berwarna silver, elytra berwarna coklat dan terdapat bercak kuning, susunan striae (pori-pori) pada permukaan elytra tidak beraturan. Metatoraks berwara coklat sedikit putih (Gambar 7a).

Epepeotes luscus

Panjang tubuh 2-3 cm. Kepala dan pronotum berwarna coklat mengkilat. Pada bagian kepala dan pronotum terdapat titik-titik berwarna kuning. Pada labium ditumbuhi seta. Sisi tepi pronotum terdapat lateral tubercle kecil dan tajam, terdapat 2 titik hitam pada pangkal elytra, skutelum berwarna putih kekuningan. Elytra berwarna coklat dengan bercak putih (Gambar 7b).

Myagrus javanicus

Panjang tubuh 1-1.5 cm. Pada tepi pronotum terdapat lateral tubercle, terdapat warna kuning pada bagian tengah pronotum membentuk garis vertikal. Tubuh berwarna hampir keseluruhan coklat dengan titik-titik kuning pada permukaan elytra. Permukaan elytra bertekstur kasar dengan striae tidak beraturan . Pada sepertiga bagian ujung elytra berwarna kuning (Gambar 7c). Cereopsius javanus

Panjang tubuh 1.5 cm. Tubuh hampir keseluruhan berwarna hitam, permukaan elytra berwarna hitam mengkilat. Terdapat sedikit seta pada antena segmen pertama, bagian tepi pronotum terdapat lateral tubercle. Pada permukaan elytra terdapat empat bulatan berwarna putih, dan elytra apeks berbentuk datar atau tidak membulat (Gambar 7d).

Tribe Mesosini

Cacia curta

Panjang tubuh 1 cm. Antena dan tungkai ditumbuhi seta, pada antena segmen ke 4 terdapat jumlah seta yang lebih banyak. Pada perbatasan bagian kepala dan pronotum terdapat garis horizontal berwarna putih. Tubuh secara keseluruhan berwarna coklat, pada bagian dekat ujung elytra berwarna putih, serta terdapat tonjolan di bagian ujung abdomen (Gambar 7e).

Cacia herbaceae

Panjang tubuh 0.5 cm. Antena dan tungkai ditumbuhi seta, pada antena segmen ke 4 terdapat jumlah seta yang lebih banyak. Tubuh secara keseluruhan berwarna coklat, warna putih pada bagian ujung elytra hanya terlihat sedikit, serta tidak terdapat tonjolan di belakang abdomen (Gambar 7f).

Tribe Gnomini

Gnoma confusa

(43)

27

Tribe Nyctimenini

Nyctimenius javanus

Panjang tubuh 1 cm. Bentuk pronotum dan tubuh sedikit memanjang. Tubuh berwarna coklat, pada pagian pronotum dan elytra terdapat garis vertikal berwarna hijau. Segmen antena terakhir berwarna putih (Gambar 7h).

Tribe Acanthocinini

Exocentrus artocarpi

Panjang tubuh 0.3 cm. Tubuh secara keseluruhan berwarna hitam. Pada bagian tengah pronotum terdapat garis vertikal berwarna abu-abu. Pada tepi pronotum terdapat lateral tubercle yang kecil dan runcing. Pada permukaan elytra terdapat corak berwarna abu-abu. Elytra apeks berujung tumpul (Gambar 7i).

Tribe Agapanthiini

Pothyne vittata

Panjang tubuh 1.3 cm. Tubuh secara keseluruhan berwarna coklat. Permukaan pronotum dan elytra terdapat garis-garis vertikal berwarna hijau, tidak terdapat lateral tubercle pada tepi pronotum. Pada antena ditumbuhi seta. Bentuk tubuh lonjong dengan elytra apeks berbentuk membulat (Gambar 7j).

Tribe Apomecynini

Atimura bacillina

Panjang tubuh 0.5 cm. Tubuh secara keseluruhan berwarna coklat tua. Elytra berbentuk trapesium dengan permukaan elytra kasar dan memiliki striae. Pada bagian elytra apeks berbentuk agak lancip (Gambar 8a).

Sybra alternans

Panjang tubuh 0.5-1 cm. Tubuh secara keseluruhan berwarna coklat. Pronotum dan elytra berwarna coklat dan terdapat garis-garis vertikal berwarna kuning. Pada bagian elytra apeks berbentuk lancip (Gambar 8b).

S. fuscotriangularis

Panjang tubuh 0.3 cm. Tubuh secara keseluruhan berwarna coklat kehitaman, terdapat bentuk belah ketupat berwarna hitam pada bagian elytra. Pada permukaan elytra terdapat garis-garis vertikal dan terdapat striae (Gambar 8c). S. lateralis

Panjang tubuh 0.5 cm. Tubuh secara keseluruhan berwarna coklat. Pada permukaan elytra terdapat garis-garis vertikal berwarna hitam. Pada bagian tepi elytra hingga kebagian tengahnya terdapat corak berwarna hitam, serta elytra apeks berbentuk lancip (Gambar 8d).

S. binotata

(44)

28

S. obliquefasciata

Panjang tubuh 0.6-1 cm. Permukaan elytra berwarna coklat kehitaman sedikit mengkilat. Bagian ujung elytra berwarna coklat dengan bintik putih dan terdapat corak hitam berbentuk setengah lingkaran, elytra apeks berbentuk lancip (Gambar 8f).

Tribe Pteropliini

Pterolophia uniformis

Panjang tubuh 1.5 cm. Tubuh secara keseluruhan berwarna hitam. Tepi pronotum membulat dan tidak terdapat lateral tubercle. Antena ditumbuhi sedikit seta. Pada permukaan elytra terdapat striae, dan elytra apeks berujung tumpul (Gambar 8g).

P. triangularis

Panjang tubuh 1.5 cm. Tepi pronotum mebulat dan tidak memiliki lateral tubercle. Tubuh keseluruhan berwarna coklat tua. Pada permukaan elytra bagian tengah terdapat corak berbentuk lingkaran berwarna hitam. Elytra apeks berujung tumpul (Gambar 8h).

P. melanura

Panjang tubuh 1.3 cm. Tubuh secara keseluruhan berwarna coklat tua pada tepi dan berwarna hitam mengkilat pada bagian tengah elytra. Tepi pronotum membulat dan tidak memiliki lateral tubercle. Elytra apeks berujung tumpul (Gambar 8i).

P. secuta

(45)

29

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 3 Maret 1990 sebagai anak sulung dari pasangan Kardono dan Useu Nurningsih. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB, lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2012, penulis diterima di Program Studi Biosains Hewan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2015. Selama menempuh Program Pascasarjana, penulis mendapatkan program Beasiswa Fresh Graduate dari Direktorat Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (DIKTI).

Gambar

Gambar 1 Lokasi penelitian di kawasan taman wisata alam dan cagar alam Pangandaran: Taman Wisata Alam I (I), Taman Wisata Alam II (II), Cagar Alam I (III), Cagar Alam II (IV)
Gambar 2 Lokasi pengambilan sampel kumbang cerambycid: Taman Wisata Alam I (a), Taman Wisata Alam II (b), Cagar Alam I (c), dan Cagar Alam II (d)
Gambar 3 Skema pemasangan perangkap di setiap lokasi pengambilan sampel di cagar alam Pangandaran
Gambar 5 Karakter subordo kumbang: Adephaga (a), Polyphaga (b).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Indeks keanekaragaman (H’) dan kemerataan (E) kumbang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian (hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam) di kawasan Taman Nasional

Jenis-jenis kumbang tinja Scarabaeidae di Cagar Alam Lembah Harau tercatat sebanyak 18 Jenis, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan keragaman di daerah Gunung

Jumlah famili dan spesies kupu-kupu yang ditemukan pada empat tipe habitat di Kawasan Cagar Alam Gunung Ambang Sulawesi Utara... Kelimpahan Famili Kupu-Kupu yang ditemukan di

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keanekaragaman dan kelimpahan kumbang antena panjang pada habitat hutan pinus, hutan Agathis, hutan puspa, hutan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendugaan Daya Dukung dan Model Pertumbuhan Populasi Rusa Timor di Cagar Alam/Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran, Ciamis Jawa Barat

Terdapat tiga tipe hutan di Cagar Alam Leuweng Sancang yaitu hutan mangrove, hutan pantai dan hutan dataran rendah pada ekosistem darat (terestrial) dan habitat terumbu karang

1) Kumbang tinja yang ditemukan di Hutan Sokokembang terdiri dari 9 spesies dengan keragaman dan kemerataan spesies yang sedang. 2) Pola distribusi setiap spesies

Kumbang Antena Panjang Genus Sybra (Coleoptera: Cerambycidae) Dari Cagar Alam Pangi Binangga