• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemodelan Dinamika Sinyal Termoreseptor Dingin Terhadap Perubahan Suhu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemodelan Dinamika Sinyal Termoreseptor Dingin Terhadap Perubahan Suhu"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN DINAMIKA SINYAL TERMORESEPTOR

DINGIN TERHADAP PERUBAHAN SUHU

FIRMAN AHMAD KIRANA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemodelan Dinamika Sinyal Termoreseptor Dingin terhadap Perubahan Suhu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

FIRMAN AHMAD KIRANA. Pemodelan Dinamika Sinyal Termoreseptor Dingin terhadap Perubahan Suhu. Dibimbing oleh HUSIN ALATAS dan IRZAMAN.

Termoreseptor merupakan reseptor di dalam tubuh yang peka terhadap perubahan suhu. Termoreseptor mengirimkan sinyal listrik sebagai respon terhadap suhu. Sinyal listrik dikirimkan dalam bentuk potensial aksi atau spike. Spike yang muncul berulang-ulang dalam waktu singkat disebut dengan burst. Jumlah spike tiap burst dan periode antarburst bergantung pada suhu yang diterima oleh termoreseptor.

Tujuan penelitian ini adalah merancang model yang dapat menggambarkan sinyal termoreseptor sebagai fungsi suhu. Telah ada model yang menggambarkan sinyal tersebut dalam keadaan suhu tunak. Dalam penelitian ini, model itu dimodifikasi fungsinya agar lebih sesuai dengan kenyataan dan agar dapat menggambarkan sinyal akibat suhu yang berubah (suhu transien). Peubah dari persamaan yang dimodifikasi dibuat sama nilainya dengan model sebelumnya pada suhu tertentu lalu ditampilkan hasilnya pada berbagai suhu tunak. Pada suhu di bawah 15 C, model yang telah dimodifikasi dapat menggambarkan sinyal yang lebih baik daripada model sebelumnya.

(5)

SUMMARY

FIRMAN AHMAD KIRANA. Modelling of Dynamic of Cold Thermoreceptor Signal with Change of Temperature. Supervised by HUSIN ALATAS and IRZAMAN.

Thermoreceptor is a receptor in the body which is sensitive to temperature. It passes information in the form of electrical signal as a response of temperature which is known as action potential or spike. Spikes which appear repeatedly in a short time are known as burst. Number of spikes per burst and burst period depend on its temperature.

The objectives of this research are designing a model which can describe thermoreceptor signal as function of temperature. There was a model that describes signal in a steady state temperature. In this research, the function which is used in the model will be modified become more realistic and it can describe signal due to change of temperature (transient temperature). The variable of modified equation is set a same value with previous model at certain temperature then the result is plotted in various temperatures. At temperature below 15 C, the modified model can describe signal better then previous model.

On transient temperature response, there is needs addition equation. Number of spikes per burst pattern due to change of temperature is signed with a peak dynamic response which is produces higher number of spikes per burst. The model must be able to produce these phenomena. By adjusting the temperature allow number of spikes per burst, the equation which is produces high number of spikes per burst is modeled successfully. The equation can describe thermoreceptor signal as a function of time. The number of spikes per burst pattern which are produced from this equation is gives similar result with the result from literature. So, our model can be used as a reference to describe thermoreceptor signal due to change of temperature.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidik an, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biofisika

PEMODELAN DINAMIKA SINYAL TERMORESEPTOR

DINGIN TERHADAP PERUBAHAN SUHU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Tesis : Pemodelan Dinamika Sinyal Termoreseptor Dingin Terhadap Perubahan Suhu

Nama NIM

: Firman hmad Kirana : G751130221

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Ketua

Ketua Program Studi Biofisika

Dr Mersi Kumiati, MSi

Tanggal Ujian: 16 November 2015

Diketahui oleh

Drlr

7

Anggota

Dekan Sekolah Pascasarjana

(10)

PRAKATA

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Sholawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam. Keinginan penulis untuk menerapkan ilmu fisika pada biologi yang sudah dipikirkan sejak kuliah sebelumnya dicoba diwujudkan dengan melanjutkan kuliah di Biofisika IPB. Ketertarikan penulis di bidang teori mengantarkan penulis melakukan penelitian dengan judul Pemodelan Sinyal Termoreseptor Dingin terhadap Perubahan Suhu.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Husin Alatas dan Bapak Irzaman selaku pembimbing, Bapak Firman dan staf IPB lainnya yang telah membantu penulis mengurus administrasi dan menyiapkan keperluan penulis, kedua orang tua penulis atas segala doa dan dukungannya, serta teman-teman Biofisika 2013 atas segala bantuan dan kerja samanya. Di samping itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada calon istri penulis yang telah membantu merapikan tampilan slide seminar penulis dan juga kesabarannya telah bersedia menunggu penulis menyelesaikan studi S2-nya untuk dilamar sehingga memotivasi penulis untuk bersegera menyelesaikan studinya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

2 PEMODELAN SINYAL TERMORESEPTOR PADA SUHU TUNAK 3

Pendahuluan 3

Metode 5

Hasil dan Pembahasan 5

Simpulan 8

3 PEMODELAN SINYAL TERMORESEPTOR PADA SUHU TRANSIEN 9

Pendahuluan 9

Metode 9

Hasil dan Pembahasan 10

Simpulan 16

4 PEMBAHASAN UMUM 17

5 SIMPULAN DAN SARAN 19

Simpulan 19

Saran 19

DAFTAR PUSTAKA 20

LAMPIRAN 21

(12)

DAFTAR GAMBAR

2.1 Rata-rata jumlah spike tiap burst sebanding dengan tumpang tindih

dua kurva 4

2.2 Hubungan fungsi linear dan tangen hiperbolik pada nilai b, A, dan 6 2.3 Sinyal termoreseptor dalam berbagai suhu tunak 7 2.4 Interspike of interval histogram (ISIH) 7

2.5 Rata-rata jumlah spike tiap burst 8

3.1 Model perubahan suhu semu 10

3.2 Sinyal akibat perubahan suhu dari 40 C menjadi (a) 35 C, (b) 30 C, (c) 25 C, (d) 20 C, dan (e) 15 C dengan a = 0,002 11

3.3 Letak terjadinya burst yang berdekatan 12

3.4 Kurva bAcos(t) dan 1Acos(t) dengan T = 8,75 12

3.5 Kurva T dengan a = 0,002 13

3.6 Nilai a sebagai fungsi suhu 13

3.7 Burst pertama yang terjadi ketika nilai T paling rendah 14 3.8 Sinyal akibat perubahan suhu dari 40 C menjadi (a) 35 C,

(b) 30 C, (c) 25 C, (d) 20 C, dan (e) 15 C dengan a sebagai

fungsi T 15

3.9 Jumlah spike tiap burst sebagai fungsi waktu 15 3.10 (a) Sinyal termoreseptor dan (b) jumlah spike tiap burst akibat

penurunan suhu secara bertahap 15

4.1 Perbedaan kurva yang nilainya diset linear dan yang diset tangen hiperbolik pada rentang suhu 15 C hingga 40 C 17 4.2 Perbedaan kurva yang nilainya diset linear dan yang diset tangen

hiperbolik di bawah suhu 15 C 17

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penelitian tentang indra manusia sudah berlangsung sejak lama. Indra adalah penghubung antara dunia luar dengan diri manusia. Informasi yang diterima/diukur oleh indra disampaikan melalui saraf ke sistem saraf pusat dalam bentuk sinyal listrik. Kulit adalah salah satu dari pancaindra manusia. Walaupun kulit dikenal sebagai indera peraba, sebenarnya banyak yang dapat diukur oleh kulit, di antaranya adalah yang berkaitan dengan suhu. Reseptor di kulit yang berkaitan dengan suhu dikenal dengan termoreseptor. Ada dua jenis termoreseptor, yaitu termoreseptor hangat dan termoreseptor dingin. Termoreseptor hangat adalah termoreseptor yang peka terhadap suhu di atas suhu tubuh normal dan juga peka terhadap kenaikan suhu. Termoreseptor dingin adalah termoreseptor yang peka terhadap suhu rendah dan juga peka terhadap penurunan suhu. Pola sinyal yang dihasilkan termoreseptor hangat pun berbeda dengan termoreseptor dingin (Yong-Gang dan Liu 2007). Penelitian kali ini fokus membahas termoreseptor dingin.

Telah ada model persamaan yang menghubungkan impuls saraf yang terjadi dalam bentuk sinyal listrik terhadap suhu dalam keadaan tunak (Roper, P et.al. 2000). Model ini belum menggambarkan sinyal yang diperoleh akibat perubahan suhu. Padahal termoreseptor sangat aktif ketika terjadi perubahan suhu. Ada juga kurva yang menyatakan hubungan antara suhu dengan jumlah impuls yang dihasilkan (Yong-Gang dan Liu 2007), tetapi informasi itu tidak menggambarkan bentuk sinyal yang terjadi. Dalam penelitian ini, model Roper et al. (2000) dimodifikasi sehingga pada suhu yang sangat rendah modelnya masih dapat digunakan, terutama untuk menggambarkan sinyal termoreseptor dingin akibat penurunan suhu. Perlu dibuat model tambahan untuk menggambarkan sinyal akibat penurunan suhu karena perubahan sinyalnya tidak sederhana. Jumlah impuls yang dihasilkan akan meningkat secara tajam lalu turun kembali dengan jumlah impuls akhir lebih tinggi daripada jumlah impuls sebelum suhunya diturunkan. Model tambahan tersebut, yang terkopel dengan persamaan yang menggambarkan sinyal pada suhu tunak, harus dapat mengakomodasi fenomena tersebut.

Perumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh suhu terhadap sinyal termoreseptor?

2. Bagaimana pengaruh perubahan suhu terhadap sinyal termoreseptor?

(14)

2

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah membuat model persamaan yang dapat menggambarkan sinyal termoreseptor akibat pengaruh suhu, baik dalam keadaan tunak maupun dalam keadaan transien.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada peneliti tentang prenyampaian informasi dalam sistem saraf dan menjadi dasar teori untuk pemodelan sinyal termoreseptor akibat perubahan suhu dalam bentuk yang sederhana.

Ruang Lingkup Penelitian

(15)

2

PEMODELAN SINYAL TERMORESEPTOR

PADA SUHU TUNAK

Pendahuluan

Sistem saraf terdiri atas dua bagian: sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf tepi dibagi menjadi sistem saraf sensori (afferent) dan sistem saraf motorik (efferent). Sistem saraf sensori membawa informasi dari reseptor ke sistem saraf pusat. Reseptor adalah struktur sensori yang mendeteksi perubahan dalam lingkungan internal atau respon terhadap adanya rangsangan tertentu. Reseptor dapat berupa sel saraf atau sel khusus pada jaringan lain (Martini dan Nath 2009). Informasi yang berasal dari lingkungan diubah oleh reseptor menjadi perubahan potensial listrik lalu disampaikan ke sistem saraf sensori kemudian menuju sistem saraf pusat dalam bentuk sinyal listrik.

Setiap sel memiliki membran pembungkus sel yang dapat menjaga adanya perbedaan potensial antara bagian dalam dan bagian luar membran sel. Potensial membran pada sel yang tidak mengalami gangguan disebut dengan potensial istirahat (resting potential). Potensial istirahat pada sel saraf adalah sebesar -70 mV (Martini, Nath 2009). Ketika ada rangsangan yang cukup kuat pada reseptor, akan terjadi potensial aksi, yaitu naiknya potensial sel saraf menjadi 30 mV tetapi setelah itu langsung turun kembali. Potensial aksi sering juga disebut dengan istilah spike. Seringkali muncul spike berkali-kali dalam waktu singkat. Burst adalah ritme pembangkitan beberapa spike dalam waktu yang singkat, diikuti dengan periode inaktif (Roper et al. 2000).

Termoreseptor atau reseptor suhu adalah saraf ujung bebas yang terletak di dermis, di otot rangka, di hati, dan di hipotalamus. Reseptor dingin berjumlah tiga atau empat kali lebih banyak daripada reseptor hangat. Tidak ada perbedaan struktur antara reseptor hangat dan dingin telah diteliti. Termoreseptor merupakan phasic receptors, reseptor yang sangat aktif ketika suhu berubah, tetapi dengan cepat menyesuaikan diri pada suhu yang stabil (Martini, Nath 2009).

Ada perbedaan pola sinyal yang dihasilkan antara termoreseptor hangat dengan termoreseptor dingin. Frekuensi impuls tertinggi pada termoreseptor hangat terjadi pada suhu yang lebih tinggi daripada termoreseptor dingin (Ring dan de Dear 1991). Pada termoreseptor hangat, suhu yang lebih tinggi menghasilkan frekuensi impuls yang lebih tinggi. Pola sinyal seperti ini tidak seperti pada termoreseptor dingin.

(16)

4

 

  cos ) cos( 1 )

cos( t A t

A b dt d     

 (2.1)

Nilai

dt d

pada persamaan itu menggambarkan sinyal termoreseptor. Ada dua bagian utama dari persamaan (2.1), yaitu bAcos(t) dan 1Acos(t). Burst terjadi ketika bagian pertama lebih dari bagian kedua. Rata-rata jumlah spike tiap burst sebanding dengan tumpang tindih (overlap) dari dua kurva yang ditunjukkan pada Gambar 2.1, yaitu selama nilai bAcos(t) lebih tinggi daripada 1Acos(t) (Roper et al. 2000).

Jumlah spike tiap burst dapat diatur dengan mengubah nilai b, A, atau Ω. Nilai b berpengaruh terhadap posisi kurva bagian bawah, nilai A berpengaruh terhadap amplitudo fungsi trigonometri, dan nilai berpengaruh terhadap frekuensinya. Periode antar-burst dapat diatur dengan mengubah nilai Ω. Roper et al. (2000) mengeset nilai b, A, atau Ω sebagai fungsi dari suhu. Untuk menghasilkan durasi burst dan periode antar-burst yang berkurang ketika suhu dinaikkan secara kuasi-statik, Roper et al. (2000) telah memodelkan kebergantungan termal b, A, atau Ω dengan fungsi linear.

T T A A A T b b b T T T          0 0 0 (2.2)

dengan b0,bT,A0,AT,0, dan T adalah konstanta. Roper et al. (2000) telah menentukan nilai b0= 0,675, bT = 0,007, A0 = 0,3, AT = 0,001, 0 = -/150,

T

 = /1500. Model tersebut mendekati simulasi numerik model utuh pada rentang suhu 17,8 C hingga 40 C (Roper et al. 2000).

Gambar 2.1 Rata-rata jumlah spike tiap burst sebanding dengan tumpang tindih dua kurva

(17)

5 jumlah spike tiap burst dan periode antar-burst dapat dihitung (Schäfer K et al. 1986).

Metode

Penelitian ini mengubah fungsi b, A, dan Ω terhadap suhu. Jika peubah b, A, dan Ω diset linear terhadap T seperti yang dilakukan Roper et al. (2000), ada masalah pada suhu yang sangat rendah, nilai A dan Ω menjadi negatif sehingga pola sinyal yang dihasilkan sudah tidak sesuai lagi dengan yang diharapkan. Durasi burst dan periode antar-burst justru akan menurun jika nilai A dan Ω negatif seiring dengan penurunan suhu. Persamaan itu dapat dimodifikasi menjadi fungsi eksponensial terhadap T untuk mencegah nilai A dan Ω menjadi negatif, tetapi pada suhu tinggi dengan suhu yang sedikit berbeda menghasilkan perbedaan sinyal yang besar. Termoreseptor dingin bekerja pada suhu di sekitar suhu tubuh (suhu hangat). Untuk mengukur suhu yang lebih tinggi daripada suhu tubuh, yang bekerja adalah termoreseptor hangat. Termoreseptor dingin kurang peka pada suhu tersebut. Jadi, fungsi eksponensial kurang cocok untuk menggambarkan sinyal termoreseptor dingin. Solusinya adalah memodifikasi peubahnya menjadi fungsi tangen hiperbolik.

( )

tanh ) ( tanh ) ( tanh 0 0 0 t T t T t T T T C T T C A A A T T C b b b             (2.3)

Fungsi ini memiliki dua asimtot. Untuk mencegah nilai Ω menjadi negatif, nilainya diset nol pada suhu yang sangat rendah (negatif takhingga). Agar mempunyai kemiripan dengan fungsi linear hasil dari rumusan Roper et al. (2000), nilainya diset sama pada suhu tertentu. Persamaan-persamaan tersebut lalu dimasukkan ke dalam perangkat lunak MATLAB untuk dicari hasilnya dengan kode yang ditunjukkan pada lampiran.

Hasil dan Pembahasan

Pada fungsi linear, nilai  akan sama dengan nol pada suhu 10 C. Oleh sebab itu, nilai peubah-peubah pada suhu 10 C diset sebagai nilai asimtot datar pada fungsi tangen hiperbolik dari masing-masing peubah dan nilai asimtot datar bagian atas diset sama dengan suhu 55 C (lihat Gambar 2.2) sehingga diperoleh hubungan pada konstanta fungsi tangen hiperbolik sebagai berikut.

(18)

6

Dari hubungan persamaan di atas diperoleh nilai konstanta yang baru untuk 0

b =0,4475, bT = 0,1575, A0 = 0,3325, A T = 0,225, 0 = 3/200, T = 3/200. Pada suhu 15 C dan 40 C nilai b, A, dan Ω diset sama dengan fungsi linear yang dibuat oleh Roper et al. (2000) sehingga diperoleh C = 0,055 dan Tt = 33,75. Jadi, persamaan yang dihasilkan adalah sebagai berikut.

0,055( 33,75)

tanh ) 75 , 33 ( 055 , 0 tanh ) 75 , 33 ( 055 , 0 tanh 0 0 0             T T A A A T b b b T T T (2.4) Dengan mensubstitusi fungsi b, A, dan  ke dalam persamaan (2.1) dihasilkan sinyal dengan variasi suhu tunak T, pada 40 C, 35 C, 30 C, 25 C, 20 C, dan 15 C seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Pada suhu yang lebih rendah ada lebih banyak spike tiap burst daripada pada suhu tinggi dan periode antar-burst lebih panjang, sedangkan pada T = 40 C terjadi skipping sehingga ada selang antar-spike yang dua kali lebih lama daripada periodenya. Pada kasus ini, periode antar-burst pada T = 40 C adalah sekitar 100 ms. Skipping terjadi dengan waktu 200 ms (lihat Gambar 2.4). Pola skipping menghasilkan multimodal interspike interval histograms (ISIHs) yang merupakan kelipatan dari periode antar-burst (Longtin dan Hinzer 1996). Kenyataannya pada suhu tinggi memang sering terjadi skipping yang biasanya dimodelkan dengan adanya gangguan (noise). Namun model yang dirancang dalam penelitian ini tidak memasukkan adanya gangguan sehingga skipping yang terjadi hanya sedikit. Jika suhu dibuat lebih tinggi, tidak ada lagi spike yang muncul.

(19)

7

Gambar 2.3 Sinyal termoreseptor dalam berbagai suhu tunak

(20)

8

Model ini pada rentang suhu antara 15 C hingga 40 C hanya mempunyai sedikit perbedaan dengan model Roper et al. (2000) yang menggunakan fungsi linear. Hal ini terlihat dari jumlah spike tiap burst yang ditunjukkan pada Gambar 2.5. Perbedaan yang nyata terjadi pada suhu di bawah 15 C. Pada model linear yang dirumuskan oleh Roper et al. (2000), jumlah spike tiap burst akan menjadi sangat tinggi pada suhu yang semakin dekat dengan 10 C. Hal ini tidak realistis, berbeda dengan persamaan yang menggunakan fungsi tangen hiperbolik, jumlah spike tiap burst tidak meningkat secara signifikan pada suhu tersebut. Hal itu dapat bermakna bahwa termoreseptor sudah kurang peka pada suhu ini.

Gambar 2.5 Rata-rata jumlah spike tiap burst

Simpulan

(21)

3

PEMODELAN SINYAL TERMORESEPTOR PADA SUHU

TRANSIEN

Pendahuluan

Manusia memiliki baik termoreseptor hangat maupun dingin, masing-masing dengan kebergantungan firing rate yang berbeda terhadap suhu. Firing rate saraf perasa hangat meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Di sisi lain, firing rate saraf perasa dingin meningkat jika suhu diturunkan. Firing rate termoreseptor bergantung secara statik terhadap suhu, dan secara dinamik terhadap laju perubahan suhu (Yong-Gang, Liu 2007).

Sesaat setelah terjadi perubahan suhu, termoreseptor memberikan sinyal yang berbeda dengan sinyal akibat suhu dalam keadaan tunak. Respon termoreseptor memiliki bagian statik dan dinamik dan perubahan suhu tiba-tiba menghasilkan puncak respon dinamik yang setelah beberapa detik akan kembali pada respon statik saja. Pada termoreseptor dingin, puncak respon dinamik muncul ketika suhunya menurun (Ring dan de Dear 1991).

Respon dinamik pada termoreseptor dingin terhadap penurunan suhu digambarkan sebagai kenaikan frekuensi spike tiba-tiba yang diikuti dengan penurunan kembali secara bertahap menuju respon statik hingga suhunya tunak (Ring dan de Dear 1991). Adaptasi terhadap perubahan ini berlangsung selama kurang dari satu menit (Lattore et al. 2011). Yong-Gang dan Liu (2007) telah memodelkan pola perubahan frekuensi impuls tersebut. Dari model tersebut dihasilkan kenaikan frekuensi impuls yang semakin besar jika penurunan suhunya semakin besar.

Model yang dirancang oleh Yong-Gang dan Liu (2007) belum menggambarkan sinyal termoreseptor, tetapi hanya menggambarkan pola perubahan frekuensi impulsnya atau jumlah spike-nya. Model yang telah dirancang pada bab sebelumnya juga belum menggambarkan sinyal yang menghasilkan pola perubahan jumlah spike yang seharusnya. Oleh sebab itu, perlu dirancang model tambahan yang dapat menghasilkan jumlah spike tiap burst yang tinggi sebagai puncak respon dinamik ketika terjadi penurunan suhu.

Metode

(22)

10

memperkenalkan istilah suhu semu (pseudotemperature) untuk menyatakan suhu yang perubahannya tidak monoton tetapi diatur mengikuti perubahan jumlah spike. Istilah ini digunakan untuk membedakan dengan perubahan suhu yang sebenarnya. Suhu semu mungkin dapat dianggap sebagai suhu yang kita rasakan. Ketika terjadi penurunan suhu, suhu semu diset menurun secara tajam lalu meningkat perlahan menuju suhu akhir yang nyata. Persamaan yang menggambarkan model itu adalah

0

2 ) ( 0

1 e T

D

T   att  (3.1)

Persamaan tersebut mirip dengan fungsi Morse. Selama proses perubahan suhu, nilai T menyatakan suhu semu dan t menyatakan waktu. Pengaruh konstanta D dan To ditunjukkan pada Gambar 3.1. Konstanta To diperoleh dengan mengurangi suhu akhir (Takhir) dengan D.

Persamaan (3.1) kemudian didiferensiasikan agar perubahan nilai T dapat dinyatakan sebagai fungsi T tanpa mengandung peubah t di dalam persamaan. Pada penelitian ini, nilai D ditetapkan sebesar seperempat dari perbedaan suhu sebelum dan sesudah terjadi perubahan. Untuk mendapatkan sinyal yang bagus, nilai a harus berubah berdasarkan suhu semu. Penurunan suhu semunya harus disesuaikan dengan waktu terjadinya burst agar terjadi peningkatan jumlah spike tiap burst yang tajam pada awalnya jika suhunya turun.

Hasil dan Pembahasan

Model awal yang menggambarkan sinyal pada suhu transien dinyatakan dalam persamaan (3.1). Jika persamaan itu didiferensiasikan akan menjadi

)) ( ) ( ( 2 1 2 0 2 / 1 0 2 / 1 ) ( )

( 0 0

T T T T D a ae e D dt

dT at t at t

          

Gambar 3.1 Model perubahan suhu semu

(23)

11

Dengan menyatakan w(TT0)1/2 atau Tw2 T0 akan menghasilkan

) (

2

2 1/2 2

w w D a dt dw

w  

) (D1/2 w a

dt dw

 (3.2)

Konstanta yang digunakan adalah sebagai berikut. a = 0,002

D = ¼(Takhir –Tawal) (3.3)

T0 = Takhir D (3.4)

Persamaan (3.2) terkopel dengan persamaan (2.1) yang menggambarkan sinyal termoreseptor dengan nilai b, A, dan Ω yang berubah terhadap T sesuai persamaan (2.4). Dari persamaan tersebut dihasilkan sinyal akibat perubahan suhu. Gambar 3.2 menunjukkan hasil sinyal tersebut dengan suhu awal 40 C menjadi suhu akhir 35 C, 30 C, 25 C, 20 C, dan 15 C.

Ternyata peningkatan jumlah spike tiap burst secara tajam saat awal terjadinya perubahan suhu belum terlihat jelas kecuali pada perubahan dari 40 C ke 15 C. Pada perubahan suhu dari 40 C ke 15 C terlihat peningkatannya sangat tajam. Hal ini terjadi akibat penggabungan dua burst yang berdekatan. Fenomena ini akan tampak lebih jelas dengan melihat kurva bAcos(t) dan

) cos(

1At yang merupakan bagian dari persamaan (2.1) seperti ditunjukkan pada Gambar 3.3. Hal itu diselesaikan dengan mengatur nilai a karena nilai tersebut berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya perubahan T.

(24)

12

Semakin besar nilainya maka semakin cepat perubahannya. Oleh sebab itu, nilainya perlu dibuat tinggi di awal agar jumlah spike tiap burst langsung mengalami kenaikan sejak awal terjadi perubahan T. Ketika jumlah spike tiap burst paling tinggi, nilai a dibuat menjadi rendah agar selang waktu terjadinya burst menjadi lebih lama lalu jumlah spike turun perlahan menuju ke keadaan tunak. Jadi, nilainya diset agar nilai T sudah turun sejak burst pertama setelah terjadi perubahan suhu.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa jumlah spike tiap burst bergantung pada nilai T. Oleh sebab itu, nilai a perlu dinyatakan sebagai fungsi dari T. Selain itu, waktu terjadinya burst juga bergantung pada nilai T. Yang diharapkan adalah terjadinya kenaikan jumlah spike tiap burst yang cukup tajam ketika suhunya mulai berubah, maka nilai a perlu diset agar burst pertama terjadi pada saat T = T0 atau pada saat suhu semu terendah. Berikut ini adalah contoh perhitungannya. Misalkan akan diset perubahan suhu dari 40 C ke 15 C, maka dari persamaan (3.3) dan (3.4) diperoleh nilai D = 6,25 dan T0 = 8,75. Kurva bAcos(t) dan

) cos(

1 At dengan T = 8,75 ditunjukkan pada Gambar 3.4.

Gambar 3.3 Letak terjadinya burst yang berdekatan

(25)

13

Pada Gambar 3.4 diketahui bahwa burst pertama terjadi saat t = 500. Nilai a yang membuat T = T0 pada t = 500 adalah 0,002 seperti ditunjukkan pada Gambar 3.5. Dengan melakukan hal serupa pada perubahan suhu dari 40 C ke berbagai suhu akhir diperoleh beberapa nilai a terhadap suhu yang setelah diregresi menghasilkan persamaan yang ditunjukkan pada Gambar 3.6. Gambar 3.7 menunjukkan kurva bAcos(t) dan 1Acos(t) dengan nilai a yang berubah terhadap suhu dan juga kurva T dari 40 C ke 15 C. Jadi, persamaan akhirnya adalah

D w

e dt

dw 0,1T 1/2

0004 ,

0 atau e

D w

dt

dw 0,1(w2T0) 1/2

0004 ,

0 (3.5)

Gambar 3.5 Kurva T dengan a = 0,002

(26)

14

Gambar 3.7 Burst pertama yang terjadi ketika nilai T paling rendah Gambar 3.8 menunjukkan sinyal akibat perubahan suhu dari 40 C menjadi suhu akhir 35 C, 30 C, 25 C, 20 C, dan 15 C dengan menggunakan persamaan (2.1) dan (2.4). Perubahan nilai T diatur mengikuti persamaan (3.5). Dengan memodifikasi nilai a, peningkatan jumlah spike tiap burst di awal perubahan suhu menjadi lebih terlihat. Penggabungan dua burst akibat perubahan suhu dari 40 C menjadi 15 C tidak lagi terjadi karena penurunan nilai T terjadi lebih cepat dibandingkan dengan sebelumnya seperti ditunjukkan pada Gambar 3.7 dengan garis putus-putus tebal ( ).

Pada Gambar 3.8 terlihat bahwa jika penurunan suhunya lebih besar, jumlah spike tiap burst akan terjadi peningkatan lebih besar. Walaupun peningkatan jumlah spike tiap burst semakin besar ketika suhunya semakin rendah, peningkatan ini dapat terkendali (tidak terlalu besar) karena persamaannya telah dimodifikasi sebagai fungsi tangen hiperbolik seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Jumlah spike tiap burst hanya meningkat sesaat lalu turun kembali. Perubahan suhunya dimulai pada t = 0 ms. Semakin rendah suhu akhirnya, kenaikan jumlah spike tiap burst akan semakin tinggi. Hal ini akan terlihat jelas pada kurva jumlah spike tiap burst sebagai fungsi waktu yang ditunjukkan pada Gambar 3.9. Kurva yang dihasilkan tersebut ada kemiripan dengan yang disampaikan oleh Yong-Gang dan Liu (2007).

(27)

15

Gambar 3.8 Sinyal akibat perubahan suhu dari 40 C menjadi (a) 35 C, (b) 30 C, (c) 25 C, (d) 20 C, dan (e) 15 C dengan a sebagai fungsi T

Gambar 3.9 Jumlah spike tiap burst sebagai fungsi waktu

Gambar 3.10 (a) Sinyal termoreseptor dan (b) jumlah spike tiap burst akibat penurunan suhu secara bertahap

(b) (a)

(28)

16

Simpulan

(29)

4

PEMBAHASAN UMUM

Modifikasi fungsi b, A, dan menjadi fungsi tangen hiperbolik dapat menggambarkan sinyal termoreseptor pada rentang suhu yang lebih lebar. Model ini pada rentang suhu antara 15 C hingga 40 C menggambarkan sinyal yang mirip dengan model Roper et al. (2000) yang fungsi b, A, dan diset linear terhadap suhu seperti ditunjukkan pada Gambar 4.1. Pada suhu di bawah 15 C perbedaannya terlihat lebih jelas seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2. Jadi, kelebihan dari model ini adalah jumlah spike tiap burst pada suhu yang sangat rendah tidak terlalu besar. Periode antar-burst pada suhu yang sangat rendah juga tidak terlalu besar dibandingkan dengan model Roper et al. (2000). Periode antar-burst terkait dengan nilai . Semakin kecil nilai semakin besar periodenya. Nilai juga berpengaruh terhadap jumlah spike tiap burst. Pemodelan pada suhu transien dirancang dengan merekayasa nilai ini. Nilai b dan A juga disesuaikan nilainya.

Gambar 4.1 Perbedaan kurva yang nilainya diset linear dan yang diset tangen hiperbolik pada rentang suhu 15 C hingga 40 C

(30)

18

Untuk memudahkan pembuatan model pada suhu transien, nilai b, A, dan diatur dengan mengubah nilai T karena nilai-nilai tersebut merupakan fungsi dari T. Semakin kecil nilai T, semakin besar jumlah spike-nya. Untuk menghasilkan jumlah spike yang tinggi, nilai T diturunkan lebih rendah daripada suhu akhir. Besar penurunan nilai T yang dianggap suhu semu ditentukan dengan konstanta D pada persamaan (3.3). Dalam penelitian ini, nilai D dirumuskan sebagai fungsi dari perbedaan suhu awal dan suhu akhir. Untuk menghasilkan model yang lebih sesuai dengan eksperimen, nilai D dapat diatur kembali. Dari Gambar 3.1 dapat diketahui bahwa semakin besar nilai D akan semakin besar pula penurunan suhu semunya yang mengakibatkan kenaikan jumlah spike-nya semakin besar. Jadi, untuk meningkatkan kenaikan jumlah spike ketika terjadi perubahan suhu dapat dilakukan dengan memperbesar nilai D. Akan tetapi, ketika nilai D diubah, nilai a juga perlu diatur lagi hingga dapat menghasilkan sinyal yang bagus kembali, sedangkan nilai T0 tidak perlu diatur ulang karena nilainya menyesuaikan dengan nilai D.

(31)

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Model yang telah dimodifikasi dengan menggunakan fungsi tangen hiperbolik dapat memberikan hasil yang mirip dengan model sebelumnya pada rentang suhu 15 C hingga 40 C untuk menampilkan sinyal termoreseptor dingin pada suhu tunak. Jumlah spike tiap burst yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan model sebelumnya pada rentang suhu tersebut. Kelebihan model ini adalah dapat menggambarkan sinyal dengan jumlah spike tiap burst yang tidak terlalu besar pada suhu yang lebih rendah.

Selain dapat memodelkan sinyal termoreseptor pada suhu tunak, model ini juga dikembangkan dengan persamaan tambahan yang terkopel sehingga dapat menggambarkan sinyal saat terjadinya penurunan suhu dengan adanya peningkatan jumlah spike tiap burst yang tinggi di awal perubahan suhu. Lalu jumlah spike tersebut turun kembali menuju keadaan tunak dengan jumlah spike akhir lebih tinggi daripada jumlah spike sebelum suhunya diturunkan. Peningkatan jumlah spike tiap burst lebih terlihat pada penurunan suhu yang lebih rendah, tetapi peningkatan ini tidak terlalu tinggi karena persamaannya telah dimodifikasi sebagai fungsi tangen hiperbolik terhadap suhu. Pola perubahan jumlah spike tiap burst tersebut sesuai dengan data eksperimen. Jadi, model yang dirancang dalam penelitian ini dapat diusulkan sebagai rujukan untuk menggambarkan sinyal termoreseptor akibat perubahan suhu.

Saran

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Braun HA, Bade H, dan Hensel H. 1980. Static, dynamic discharge patterns of bursting cold fibres related to hypothetical receptor mechanisms. Pflügers Archiv—European Journal of Physiology. 386(1):1–9.

Latorre R, Brauchi S, Madrid R, dan Orio P. 2011. A Cool Channel in Cold Transduction. Physiology 26(4):273-285.

Longtin A dan Hinzer K. 1996. Encoding with bursting, subthreshold oscillations, and noise in mammalian cold receptors. Neural Computation. 8(1):215–255. Martini FH dan Nath JL. 2009. Fundamentals of Anatomy & Physiology. San

Fransisco (USA): Pearson Education.

Ring, JW dan de Dear, Richard. 1991. Temperature Transients: a Model for Heat Diffusion through the Skin, Thermoreceptor Response and Thermal Sensation. Indoor Air. 4(1):448-456.

Roper P, Bressloff PC, dan Longtin A. 2000. A Phase Model of Temperature-Dependent Mammalian Cold Receptors. Neural Computation. 12(1):1067-1093.

Schäfer K, Braun HA, dan Isenberg C. 1986. Effect of Menthol on Cold Receptor Activity. Analysis of Receptor Processes. The Journal of General Physiology. 88:757-776.

(33)

21

LAMPIRAN

Lampiran 1 Pengkodean pada MATLAB dengan judul file Ttransient3.m

function fungsi = Ttransient3(t,y,k);

D = k(1); T0 = k(2);

% akar(T-T0)=y(2) T=y(2)^2+T0; tstart = 0; a=0.0004; % A0=0.3; % AT=0.001; % b0=0.675; % bT=0.007; % omega0=-pi/150; % omegaT=pi/1500; % A=A0+AT*T; % b=b0-bT*T; % omega=omega0+omegaT*T; A0=0.3325; AT=0.0225; b0=0.4475; bT=0.1575; omega0=3*pi/200; omegaT=3*pi/200; C=0.055; Tt=33.75; A=A0+AT*tanh(C*(T-Tt)); b=b0-bT*tanh(C*(T-Tt)); omega=omega0+omegaT*tanh(C*(T-Tt));

if t<tstart dy2=0; dy3=0;

cos1 = (b - A*cos(omega*t)); cos2 = (1 + A*cos(omega*t));

else

dy2=a*exp(0.10*T)*(D^0.5 - y(2)); dy3=0.002*(D^0.5 - y(3));

cos1 = (b - A*cos(omega*(t-tstart))); cos2 = (1 + A*cos(omega*(t-tstart)));

end

% plot(t,cos1,t,cos2) % hold on

fungsi=[cos1 + cos2*cos(y(1)) dy2

(34)

22

Lampiran 2 Pengkodean di MATLAB dengan judul file kurva2.m tmax=4000;

xvalues=0:1:tmax; Tawal = 40;

Takhir = 15;

if Takhir <= Tawal

D=(Tawal-Takhir)/4;

else

D= -(Tawal-Takhir)

end

T0 = Takhir-D;

akarT =-(Tawal-T0)^0.5;

[t,y]=ode23tb(@Ttransient3,xvalues,[0 akarT akarT],[],[D,T0]); T=y(:,2).^2+T0;

T2(:,1)=y(:,2).^2+T0; T2(:,2)=y(:,3).^2+T0; dy=diff(y(:,1));

% plot(t(1:tmax),dy(1:tmax),'-') % hold on

% plot(t,T)

plotyy(t(1:tmax),dy(1:tmax),t,T2)

title('40 ke 15')

(35)

23

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada bulan Januari 1987. Penulis adalah putra

kedua dari Drs Sukendar dan Dra Mun’imah Apt. Keinginan untuk belajar Biologi telah ada sejak SMA, tetapi penulis lebih memilih Program Studi Teknik Mesin di Institut Teknologi Bandung (ITB) ketika menempuh pendidikan sarjana karena penulis lebih menyenangi pelajaran fisika, terutama mekanika. Walaupun kuliah di Teknik Mesin, penulis tetap belajar Biologi bahkan mengambil beberapa matakuliah di Biologi. Tugas sarjananya pun berkaitan dengan biomekanika

dengan judul “Simulasi Pergerakan Gigi akibat Penarikan oleh Kawat Gigi Tipe Pegas Retraksi Seksional” dan menamatkannya pada tahun 2011.

Gambar

Gambar 2.1 Rata-rata jumlah spike tiap burst sebanding dengan tumpang tindih dua kurva
Gambar 2.2 Hubungan fungsi linear dan tangen hiperbolik pada nilai b, A, dan Ω
Gambar 2.4 Interspike of interval histogram (ISIH)
Gambar 2.5 Rata-rata jumlah spike tiap burst
+7

Referensi

Dokumen terkait

PERUBAHAN KARAKTER FISIOLOGIS DAN MIKROBIOLOGIS BUAH CABAI MERAH ( Capsicum annuum L.) SELAMA PENYIMPANAN POTi. IN POT , SUHU DINGIN, DAN

dipertahankan; (3) penyimpanan suhu dingin (20,58 o C) tidak meningkatkan masa simpan buah, sementara mutu buah sama dengan kontrol; (4) kombinasi perlakuan menggunakan AVG 1,25

Suhu sangat mempangaruhi kualitas gula cair yang dihasilkan, semakin rendah suhu pemasakan akan menghasilkan kualitas yang semakin tinggi, hal ini ditunjukkan

Oleh karena itu hasil tes atensi pada kelas ideal yang lebih rendah dari kelas panas dan dingin, karena siswa berada dalam suhu yang nyaman dan siswa sudah terbiasa

Kematian ini diakibatkan oleh meningkatnya metabolisme tubuh ikan pada suhu hangat yang menyebabkan ikan bergerak lebih agresif dibandingan dengan perlakuan suhu dingin dan

Perlakuan konsentrasi kitosan 3% pada suhu dingin mampu mempertahankan total gula reduksi dan vitamin C pada buah sehingga dapat meningkatkan daya simpan buah

Peneliti ingin mengetahui kemampuan bertahan sel untuk hidup pada suhu yang berbeda. Sehingga pada penelitian ini peneliti memberikan intervensi yaitu suhu kamar dan suhu

(1) Kalor adalah bentuk energi yang berpindah dari suhu panas ke suhu dingin (2) Kalor adalah bentuk energi yang berpindah dari benda yang suhu tinggi ke benda yang suhu rendah..